• Tidak ada hasil yang ditemukan

Laporan Kerja Praktek pada PT Pertamina EP Asset 3 Tambun Field

N/A
N/A
DWIKI SATRIA BUDY

Academic year: 2024

Membagikan "Laporan Kerja Praktek pada PT Pertamina EP Asset 3 Tambun Field"

Copied!
50
0
0

Teks penuh

(1)

LAPORAN KERJA PRAKTEK

PT. PERTAMINA EP ASSET 3 TAMBUN FIELD (15 September 2015 – 16 Oktober 2015)

Penyebab dan Penanggulangan Korosi pada Pipa cup Heat

Disusun oleh:

Johanes James 1306368280 Ardi Erianto 120

Fakultas Teknik Universitas Indonesia Teknik Metalurgy dan Material

Depok 2015

(2)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan ke-hadirat Allah SWT. atas terselesaikannya proses kerja praktek ini dan dengan berkat-Nya penulis memperoleh semangat dan ide-ide untuk menyelesaikan tugas khusus dan laporan kerja praktek.

Tujuan utama kerja praktek adalah agar mahasiswa dapat melihat, belajar dan lebih dalam memahami mengenai pekerjaan yang akan dihadapi, mampu menerapkan ilmu yang dipelajari selama kuliah dan menggunakannya untuk memecahkan persoalan nyata di lapangan, serta mampu berkomunikasi dan berkoordinasi dengan baik bersama rekan-rekan dalam suatu lingkungan kerja.

Laporan ini disusun sebagai hasil kerja praktek penulis di perusahan transporter minyak mentah, PT. Pertamina Gas (Pertagas) dengan penempatan selama tiga minggu. Lokasi kantor Pertagas berada di Kenten, Palembang.

Selama pelaksanaan kerja praktek ini, penulis telah dibantu oleh berbagai pihak. Untuk itu penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada:

1. Allah SWT. , atas segala berkat dan perlindungan-Nya sehingga penulis selalu ada dalam keadaan sehat sehingga dapat menyelesaikan laporan ini dengan baik

2. Orang tua kami, ayah dan ibu kami yang tidak hentinya memberikan dukungannya atas semua kegiatan kami.

3. Dr. Sri Harjanto selaku Ketua Departemen Metalurgi dan Material Universitas Indonesia.

4. Dr. Ir. Sotya Astutiningsih, M.Eng. selaku Koordinator Kerja Praktek Departemen Metalurgi dan Material Universitas Indonesia, atas ijin yang diberikan kepada penulis untuk melakukan kerja praktek.

5. Bapak Andre. selaku pembimbing kerja praktek yang telah banyak memberi penulis saran dalam melaksanakan kerja praktek.

6. Segenap staff dan karyawan PT. Pertamina EP di Tambun atas bimbingan dan bantuannya.

7. Semua pihak yang telah membantu, yang penulis tidak dapat sebutkan satu per satu.

Penulis menyadari bahwa masih banyak terdapat kekurangan dan kesalahan dalam laporan ini, oleh karena itu kritik dan saran konstruktif dari pembaca

(3)

budiman sangat penulis harapkan. Semoga laporan kerja praktek ini dapat bermanfaat bagi semua pihak.

Depok, 22 November 2015

Penulis Penulis 2

Johanes James Ardi Erianto NPM 1306368280 NPM 120

Dosen Pembimbing Kerja Praktek Penulis

Dr. Badrul Munir ST., M.Eng.Sc NIM

DAFTAR ISI

(4)

LEMBAR JUDUL…………..……….………1

KATA PENGANTAR……….…………2

DAFTAR ISI………...……….3

BAB 1 PENDAHULUAN………...…4

1.1 Latar Belakang………...5

1.2 Ruang Lingkup………...7

1.3 Maksud dan Tujuan………....8

1.4 Metodologi Penelitian………8

BAB 2 PROFIL PERUSAHAAN………9

2.1 Sejarah Perkembangan Perusahaan………....9

2. 2 Visi dan Misi Perusahaan...10

2.3 Organization Structure...12

2.4 Security Sctructure...12

2.5 Working Area Activity...13

BAB 3 DASAR TEORI……….………18

3.1 Korosi dan Degradasi Material 3.2 Prinsip Korosi18 3.3Termodinamika Korosi20 3.4 Laju Korosi22 3.5 Faktor-Faktor Korosi22 3.6 Metode Inspeksi23 3.7 Upaya Pencegahan dan Pengendalian Korosi26 BAB 4 ANALISA DAN PEMBAHASAN 4.1 Dimensi Permasalahan……….35

4.2Perumusan Pokok Permasalahan………..36

4.3 Interpretasi Data dan Informasi………37

4.3.1 Peformance Kinerja Unit & Permasalahan pada Cooling System Condensate Plant 2………37

4.3.2 Kondisi Chiller dan Media Pendingin……….………..38

(5)

4.3.3 Kondisi Heat Exchanger dan Feed Gas……….41 4.4 Analisa Koreksi………43 4.5 Alternatif Pemecahan Masalah………..…..44 4.5.1Standard Operasi Prosedur sebagai Panduan Pengoperasian…..…..44 4.5.2 Alternatif Pemecahan Masalah pada Heat Exchanger……..…....44 4.5.3 Alternatif Pemecahan Masalah pada Chilling System (Chiller)

………..48

BAB V PENUTUP……….50

Daftar Pustaka……….52

BAB I Pendahuluan 1.1 Latar Belakang

Indonesia merupakan negara yang kaya akan sumber daya alam

(6)

sumber daya alam sebesar 7,76 miliar barel minyak dan 157,14 TSCF gas.

Saat ini pemerintah Indonesia menargetkan produksi minyak mentah Indonesia sebesar 850.000 BOPD. Dengan target sebesar itu, Indonesia dituntut untuk terus meningkatkan kemajuan teknologi agar target produksi bisa tercapai karena industri minyak dan gas bumi merupakan salah satu industri vital sumber penghasil devisa negara.

PT. Pertamina EP mempunyai tantangan yang cukup besar dalam pencapaian visi menjadi perusahaan minyak dan gas bumi kelas dunia. Visi tersebut diimplementasikan dalam misi perusahaan yaitu melaksanakan pengusahaan hulu minyak dan gas dengan berwawasan lingkungan, sehat serta keunggulan yang memberikan nilai tambah bagi pemangku kepentingan. Kebutuhan untuk menjalankan proses produksi dengan baik akan memiliki tantangan dalam hal metode dan biaya pemeliharaan fasilitas- fasilitas produksi eksisting.

Dalam menjalankan proses produksi migas PT. Pertamina EP didukung oleh beberapa lapangan yang bertindak sebagai backbone produksi. Salah satunya adalah Lapangan Tambun yang terletak di Daerah Tingkat II Kabupaten Bekasi Propinsi Jawa Barat. Lapangan Tambun mulai diproduksikan pada bulan Oktober 1999 sampai dengan sekarang. Total hasil produksi Field Tambun tahun 2013 adalah sebagai berikut :

Tabel 1.1 Hasil Produksi Field Tambun Tahun 2013 (Sumber : Laporan Migas 2013)

STRUKTU R

KOMULATIF TAHUN 2013 ProduksiMinya

k (BBL)

AVG/DAY Prod Crude Oil

(BOPD)

Produksi Gas (MMSCF)

AVG/DAY Prod

Gas (MMSCFD)

TBN 1790056.90 4904.30 15931.57 43.65

RDL 270116.00 740.00 229.60 0.63

MB.U 126958.50 347.80 222.18 0.61

PDT 123858.40 339.30 2477.17 6.79

PDB 27286.30 74.80 386.10 1.06

Total Field

2338276.10 6406.20 19246.61 52.73

(7)

Tambun

Dengan hasil produksi seperti tercantum dalam Tabel 1.1, salah satu hal yang menjadi nilai lebih dari Field Tambun yaitu hasil produksi associated gas yang cukup besar. Bila dikonversikan ke dalam barrel oil equivalent (boe), rata-rata hasil produksi Field Tambun adalah sebesar : 13.498 boe. Presentasi produksi gas paling besar didapatkan dari Struktur Tambun, yaitu sebesar 82,78 %.

Associated gas Tambun yang cukup besar dapat diekstrak menghasilkan kondensat yang digunakan untuk menambah hasil produksi Tambun. Dalam melakukan proses tersebut, SP Tambun membangun 2 condensate plant, dimana CP1 dengan kapasitas 12MMSCFD dan CP 2 dengan kapasitas 15 MMSCFD. Secara terminology, Condensate Plant ini efektif digunakan untuk proses mengekstrak kondensat dari associated gas.

Namun, hasil produksi condensate fluktuatif, bahkan saat ini cenderung mengalami penurunan, dapat dilihat grafik di bawah ini :

Gambar 1.1 Grafik Produksi Kondensat CP1 & CP2 tahun 2013-2014 Penurunan produksi kondensat bisa disebabkan karena performance kinerja dan maintenance dari kondisi condensate plant yang kurang bagus.

Bila kita tinjau dari unit di dalam sistemnya, proses yang penting dalam

(8)

terjadi masalah pada cooling system ini dapat mengakibatkan hasil produksi kondensat menurun, bahkan mengakibatkan condensate plant trip.

Rendahnya kehandalan cooling system condensate plant melatarbelakangi penulisan KKW kali ini, yang mengevaluasi kinerja dan permasalahan yang terjadi di condensate plant, khususnya pada cooling system. Dari hasil evaluasi, selanjutnya dapat dianalisis untuk menjadi dasar penyelesaian masalah dan mengoptimalkan kinerja cooling system di Condensate Plant Field Tambun.

1.2 Ruang Lingkup

Adapun ruang lingkup dari KKW ini adalah sebagai berikut :

1. Pembahasan teknis dan operasional dari Condensate Plant Struktur Tambun, difokuskan pada Condensate Plant 2.

2. Evaluasi kinerja operasi Condensate Plant 2, khususnya pada proses cooling system.

3. Problem solving dan optimalisasi kinerja Cooling System Condensate Plant Struktur Tambun.

1.3 Maksud dan Tujuan

Maksud dari penulisan KKW ini, diantaranya :

1. Mengetahui alur proses dan kinerja operasi Condensate Plant Struktur Tambun.

2. Mengevaluasi kinerja operasi Condensate Plant Struktur Tambun, khususnya pada Condensate Plant 2.

3. Menganalisa permasalahan yang terjadi pada Cooling System Condensate Plant 2 Struktur Tambun.

1.4 Metodologi Penelitian

Metodologi penelitian dalam penulisan KKW ini adalah sebagai berikut : 4.3.1 Observasi Lapangan

Observasi dilakukan untuk mengetahui operasional kerja dari Condensate Plant dan permasalahan yang sering terjadi di lapangan.

4.3.2 Studi Literatur

Pada studi literature ini digunakan berbagai referensi baik dari internet, buku dan data dari berbagai pihak.

4.3.3 Diskusi

Diskusi antar pihak yang terkait yaitu Fungsi Realibility, Availability and Maintenance (RAM).

(9)

BAB II

PROFIL PERUSAHAAN

2.1 Sejarah Perkembangan Perusahaan

Seiring dengan semakin banyaknya sumber minyak mentah yang sudah ditemukan, pada akhir abad ke-18 mulai didirikan beberapa perusahaan-perusahaan minyak asing, seperti Shell, Stanvac, Royal Dutch Company, dll. yang melakukan pemboran di Indonesia, baru setelah Indonesia merdeka pada tahun 1945, usaha untuk mengambil alih kekuasaan sektor industri minyak dan gas bumi mulai dilakukan.

Berdasarkan Undang-Undang Pertambangan Minyak dan Gas Bumi, UU No.44/1961 dibentuklah tiga perusahaan negara (PN) di sektor minyak dan gas bumi, yakni:

1 PN PERTAMIN berdasarkan PP No.3/1961 2 PN PERMINA berdasarkan PP No.198/1961 3 PN PERMIGAN berdasarkan PP No.199/1961

Pada tahun 1965 PN PERMIGAN dibubarkan, semua fasilitas produksinya diserahkan kepada PN PERMINA dan fasilitas pemasarannya diserahkan kepada PN PERTAMIN. Pada tahun 1968 didirikan PN PERTAMINA yang merupakan gabungan dari PN PERMINA dan PERTAMIN dan pada tanggal 17 September 2003 PN PERTAMINA

(10)

berubah nama menjadi PT. PERTAMINA (Persero). Dalam melaksanakan tugas tersebut, PT. PERTAMINA memiliki empat kegiatan utama, yakni:

a Eksplorasi dan Produksi

Kegiatan ini meliputi pencarian lokasi yang memiliki potensi ketersediaan minyak dan gas bumi, kemungkinan penambangannya, serta proses produksi menjadi bahan baku unit pengolahan.

b Pengolahan

Kegiatan ini meliputi proses distilasi, pemurnian, dan reaksi kimia tertentu untuk mengolah crude menjadi produk yang diinginkan, seperti premium, solar, kerosin, LPG, dll.

c Pembekalan dan Pendistribusian

Kegiatan pembekalan meliputi impor crude sebagai bahan baku unit pengolahan melalui sistem perpipaan, sedangkan kegiatan pendistribusian meliputi pengapalan.

d Penunjang

Contohnya rumah sakit dan penginapan.

2.2 Visi dan Misi Perusahaan Visi:

 REPETITA I (2006-2008): "Menjadi perusahaan minyak dan gas bumi yang efektif dan efisien".

 REPETITA II (2009-2011): "Menjadi produsen migas nomor satu di Indonesia".

 REPETITA III (2012-2014): "Menjadi Pertamina EP Kelas Dunia.".

Misi:

Melaksanakan pengusahaan sektor hulu minyak dan gas dengan berwawasan lingkungan, sehat dan mengutamakan keselamatan serta keunggulan yang memberikan nilai tambah bagi pemangku kepentingan.

Tata Nilai PT. PERTAMINA (Persero) 6C

(11)

1 CLEAN (BERSIH)

Dikelola secara profesional, menghindari benturan kepentingan, tidak menoleransi suap, menjunjung tinggi kepercayaan dan integritas. Berpedoman pada asas-asas tata kelola korporasi yang baik.

2 COMPETITIVE (KOMPETITIF)

Mampu berkompetisi dalam skala regional maupun internasional, mendorong pertumbuhan melalui investasi, membangun budaya sadar biaya dan menghargai kinerja.

3 CONFIDENT (PERCAYA DIRI)

Berperan dalam pembangunan ekonomi nasional, menjadi pelopor dalam reformasi BUMN, dan membangun kebanggaan bangsa.

4 CUSTOMER FOCUSED (FOKUS PADA PELANGGAN)

Berorientasi pada kepentingan pelanggan dan berkomitmen untuk memberikan pelayanan terbaik kepada pelanggan.

5 COMMERCIAL (KOMERSIAL)

Menciptakan nilai tambah dengan orientasi komersial mengambil keputusan berdasarkan prinsip-prinsip bisnis yang sehat.

6 CAPABLE (BERKEMAMPUAN)

Dikelola oleh pemimpin dan pekerja yang profesional dan memiliki talenta dan penguasaan teknis tinggi, berkomitmen dalam membangun kemampuan riset dan pengembangan.

2.2 Profil PT. Pertamina EP

PERTAMINA EP QUICK FACTS

Line of Business : Exploration and Production of Oil and Gas Established : 13 September 2005 as a subsidiary of PT. Pertamina (Persero)

(12)

Working Area : Indonesia

± 113.629 km2 (from Rantau to Papua) 5 Assets, 20 Fields, 28 KSO, 26 TAC,

3 Projects 1 Unitisation Oil Production (2013) : 121,5 MBOPD

Gas Production (2013) : 1.031 MMSCFD Profit after tax (YTD Des 2013) : Rp. 21,5 Bilion Oil Target (2014) : 128 MBOPD Gas Target (2014) : 1.072 MMSCFD Pertamina EP Contribution

for Pertamina Holding : ± Oil 65% dan Gas 70%

Proper : Green – 19 Blue – 7

2.3 Òrganization Structure

Asset 3 General Manager : Fachrizal Asset 3 Tambun Field Manager : Abdullah Petroleum Eng. Ast. Man : Indarwan H

Opr. Planning Ast. Man : Ade Tasya *) Prod. Opr Ast. Man : Djoko Soeseno

WOWS Ast. Man : Ivan O S. *)

Tambun RAM Ast. Man : Dedy Kurniawan

HSSE Ast. Man : Sigit Isbiantoro

Finance Ast. Man : Noviyanti R.

(13)

SCM Ast. Man : Mintro A W.

Jawa Ops. ICT Ast. Man : Rusdadi

2.4 Security Structure

Ass Man HSSE : Sigit Isbiantoro

Senior Security Staff : Para Siswadi

Security Staff : Oding setiadi

PT Mokoginta Z P : Gerrindra

Distrik Tambun : 36 org

Distrik PDT : 17 org

Distrik RDL : 6 org

MB Unit : 6 org

2.5 Working Area and Activity SP. Tambun

65 Sumur dibor (46 Sumur Produksi )

13 Sumur Injeksi 50.000 bwpd Water Injection Plant

Condensate Production ± 400 barrels per day 2 Condensate Plant Flow Process Condensate Plant Struktur Tambun

Struktur Tambun memiliki nilai lebih berupa potensi associated gas yang cukup besar bisa digunakan untuk menambah hasil produksi Tambun dengan cara gas tersebut diekstrak menghasilkan kondensat. Dalam melakukan proses tersebut, SP Tambun membangun 2 condensate plant, dimana CP 1 dengan kapasitas 12 MMSCFD yang bertujuan menambah perolehan kondensat 120-150 barrel per day. Sedangkan CP 2 dengan kapasitas 15 MMSCFD, bertujuan menambah perolehan kondensat sebesar 240 barrel per day. Adapun flow process condensate plant digambarkan pada Gambar 2.1 di bawah ini.

(14)

Gambar 2.1 Flow Process Condensate Plant Struktur Tambun Dapat dilihat dari Gambar 2.1 di atas, flow process condensate plant dengan inputan gas bertekanan tinggi dan temperatur tinggi, yang merupakan output dari gas compressor dialirkan masuk ke heat exchanger. Feed gas mengalami proses pendinginan (cooling system), dimana terjadi perpindahan kalor antara media pendingin (glycol dan air) dengan feed gas. Glycol digunakan untuk menurunkan titik beku dari air yang bersirkulasi di dalam chiller, selanjutnya cairan pendingin (chilled liquid) keluar dari chiller masuk ke dalam tube heat exchanger untuk menurunkan temperatur gas yang mengalir pada shell.

Dari cooling system tersebut, sebagian gas mengalami perubahan fasa menjadi liquid. Gas dan liquid dipisahkan di dalam gas liquid coalescer, dimana terjadi proses pemisahan akibat dari perbedaan density dan fraksi berat, gas dialirkan menuju PDT, sedangkan liquid dialirkan ke liquid-liquid separator. Pada liquid-liquid separator, terjadi pemisahan antara liquid dan produced water. Produced water dikirim ke water storage, kemudian akan digunakan untuk water treatment. Sedangkan liquid yang keluar dari separator masih bersifat wild condensate, dimana masih banyak mengandung metana dan etana yang mudah menguap. Perlu

(15)

proses stabilisasi menjadi stable condensate dengan maksimal RVP 10 agar aman untuk ditransportasikan.

Wild condensate masuk ke dalam stabilizing column, lalu dilakukan proses pemanasan oleh reboiler dengan media pemanas therminol, yang terlebih dahulu dipanaskan menggunakan thermal oil heater. Efek dari proses pemanasan tersebut, condensate yang memiliki fraksi yang beratakan ke bagian bawah stabilizing column, sedangkan fraksi hidrokarbon ringan akan mengalami penguapan.

Output dari stabilizing column berupa stabilized condensate yang temperaturnya masih tinggi, sehingga perlu didinginkan menjadi temperatur yang rendah dengan menggunakan condensate cooler untuk menghindari penguapan di dalam tangki penyimpanan kondensat.

Kondensat dialirkan ke dalam cooler mengalami penurunan temperatur, dibantu oleh fin fan (udara). Kemudian kondensat dilewatkan ke ceramic membrane untuk lebih memurnikan kondensat tersebut, sehingga siap dikirim ke proses lebih lanjut menuju condensate tank dengan menggunakan condensate transfer pump.

Spesifikasi dan Operasional Unit Condensate Plant Condensate Plant 1 dan 2 Struktur Tambun memiliki alur proses dan unit yang sama, seperti yang telah digambarkan pada Gambar 2.1.

Namun, terdapat perbedaan pada kapasitas plant, dimana kapasitas CP 1 sebesar 12 MMSCFD dan kapasitas CP 2 sebesar 15 MMSCFD. Unit yang bekerja pada kedua condensate plant ini memiliki kesamaan fungsi dan jenis. Analisa kali ini difokuskan pada condensate plant 2, adapun spesifikasi unit condensate plant 2 ditunjukkan pada tabel berikut.

Tabel 2.1 Spesifikasi Unit Condensate Plant 2 (Sumber : Process &

Instrument Diagram CP 2)

(16)

Spesifikasi dari masing-masing unit pada Tabel 2.1 merupakan dasar operasional unit bekerja. Material dari semua unit hampir sama yaitu berupa carbon steel, namun untuk piping system menggunakan stainless steel. Bila dilihat dari pengoperasian tiap unit, berikut ini data operasional unit condensate plant 2 (Januari 2013 – April 2014).

Gambar 2.2 Grafik Operasional Unit Condensate Plant 2 (Januari 2013 – April 2014)

Berdasarkan Gambar 2.2 di atas, dapat terlihat jam operasional (jam jalan, jam standby dan jam shutdown) dari unit chiller A, chiller B, chiller C, reboiler, thermal oil heater dan fin fan cooler. Bagus atau tidaknya performance kinerja dari unit dipengaruhi oleh jumlah terjadinya shutdown (off) pada unit, dimana Chiller A memiliki jam shutdown yang paling tinggi sebesar 2016 jam. Terjadinya shutdown pada chiller, diakibatkan karena adanya problem di dalam unit tersebut. Bila chiller bermasalah akan berpengaruh pada sistem pendingin pada heat exchanger dan hasil ekstraksi gas menjadi kondensat.

(17)

Pada dasarnya, chilling system bekerja membantu kerja heat exchanger untuk menurunkan suhu gas dari ± 60 0C ke 20 0C agar kandungan C3 plus dalam gas dapat terkondensasi. Media pendingin pada cooling system ini merupakan air, air harus didinginkan hingga ± 60C agar pendinginan tercapai, maka digunakan glycol yang bersifat dapat menurunkan titik beku air. Proses ini berlangsung pada chilling system (chiller).

Proses selanjutnya, chilled liquid output dari chiller, masuk ke dalam tube heat exchanger (6-120C) untuk mendinginkan feed gas dari kompresor eksisting yang masuk mengalir dalam shell heat exchanger (temperatur 600C menjadi 200C). Media pendingin yang keluar dari heat exchanger, akan masuk lagi ke dalam glycol untuk disirkulasikan ke dalam sistem pendingin, sedangkan output gas dialirkan menuju gas liquid coalescer untuk mengekstrak gas dengan liquid (air dan kondensat).

BAB III.

DASAR TEORI

(18)

3.1 Korosi dan Degradasi Material 3.2. Prinsip Korosi

Gambar III.3. Prinsip korosi

Secara terminologi korosi dapat didefinisikan sebagai penurunan kualitas atau kinerja dari suatu material akibat interaksi antara material dengan lingkungan. Dalam ruang lingkup yang lebih sempit lagi pada material yang berbasis logam, korosi merupakan penurunan kualitas dari logam akibat adanya reaksi oksidasi dan reduksi. Walaupun demikian, secara faktor metalurgi, korosi tidak hanya berada dalam cakupan reaksi elektrokimia, namun juga dalam reaksi metalurgi yang memungkinkan logam mengalami degradasi kualitas.

Masalah korosi logam merupakan sesuatu yang signifikan; dalam hal ekonomi, hal tersebut telah diperkirakan bahwa sekitar 5% dari pendapatan negara industri dihabiskan untuk pencegahan korosi dan pemeliharaan atau penggantian produk yang rusak atau terkontaminasi sebagai akibat dari reaksi korosi. Biaya ini dapat berupa kerusakan material yang membutuhkan penggantian komponen maupun turunnya produksi industri dalam kurun waktu tertentu karena kerusakan yang terjadi.

Korosi merupakan kerusakan yang terjadi pada material, khususnya logam dan paduannya, karena reaksi kimia dengan lingkungannya. Reaksi umum korosi adalah sebagai berikut.

M  Mn+ + ne-

(19)

Korosi terjadi ketika logam mengalami kontak dengan agen korosif sehingga membentuk sel galvanik. Sel galvanik terjadi akibat perbedaan potensial yang dapat disebabkan oleh terdapatnya dua buah logam atau lebih yang potensialnya berbeda. Sel galvanik terdiri dari empat komponen, yaitu:

a Anoda

Anoda merupakan logam yang mengalami oksidasi (terkorosi). Logam yang bertindak sebagai anoda adalah logam berpotensial lebih rendah. Anoda melepaskan elektron akibat interaksi dengan ion-ion oksidator yang terdapat pada elektrolit.

Elektron-elektron yang dilepaskan bergerak ke katoda melalui konduktor listrik. Reaksi oksidasi pada anoda adalah sebagai berikut.

M  Mn+ + ne- b Katoda

Katoda bertindak sebagai penerima elektron dari anoda yang akan digunakan ion-ion pengoksidator dalam elektrolit untuk mengalami reaksi reduksi. Logam yang bertindak sebagai katoda adalah logam berpotensial lebih tinggi.

Reaksi reduksi pada katoda adalah sebagai berikut.

i Evolusi hidrogen dari larutan asam atau netral 2H+ + 2e-  H2 (asam)

2H2O + 2e-  H2 + 2OH- (netral dan basa) ii Reduksi oksigen pada larutan asam atau netral

O2 + 4H+ + 4e-  2H2O (asam)

O2 + 2H2O + 4e-  4OH- (netral dan basa) iii Reduksi zat pengoksidasi terlarut

Fe3+ + e-  Fe2+

c Elektrolit

Elektrolit bersifat dapat menghantarkan listrik dan menjadi tempat berkumpul ion-ion pengoksidasi. Pengaruh lingkungan terhadap sifat-sifat elektrolit akan mempengaruhi laju korosi, antara lain: keasaman (pH), temperatur, konsentrasi oksigen dan gas-gas oksidator, dan adanya pengaruh ion klor, sulfida, dan hidroksida.

(20)

Konduktor merupakan penghubung antara anoda dan katoda yang berfungsi mengalirkan elektron dari anoda ke katoda dan juga mengalirkan arus listrik dari katoda ke anoda.

Konduktor dapat berupa kawat penghubung atau logam itu sendiri. Kerusakan akibat korosi merupakan ancaman serius terhadap usia pakai pada mud tank, terlebih bila kondisi operasi menuntut pengendalian korosi yang mutlak harus dilaksanakan dalam merencanakan sistem mud tank. Korosi pada mud tank menjadi sangat penting dalam instalasi perusahaan migas dan panas bumi karena mud tank memegang peranan yang sangat penting dalam operasi pemboran.

3.3. Termodinamika Korosi

Termodinamika adalah suatu ilmu yang mempelajari perubahan energi dalam suatu sistem. Dalam suatu sistem korosi, termodinamika dapat dipakai untuk mengetahui apakah logam dapat bereaksi secara spontan dengan lingkungannya atau tidak. Apabila logam tersebut bereaksi, dapat diketahui bagaimana reaksi yang terjadi, ke mana arah reaksi tersebut, serta berapa besar gaya dorongnya.

Diagram yang dapat menunjukkan suatu reaksi korosi dapat terjadi secara termodinamika adalah diagaram kesetimbangan E-pH atau biasa dikenal dengan diagram Pourbaix. Diagram ini disusun berdasarkan kesetimbangan termodinamika antara logam dengan air dan dapat menunjukan kestabilan dari beberapa fasa secara termodinamika. Diagram ini sangat berguna untuk memprediksi reaksi dan produk korosi dari suatu material pada lingkungan dengan derajat keasaman tertentu. Namun, diagram ini tidak dapat menyajikan informasi untuk laju korosi dari material tersebut.

Dalam suatu diagram pourbaix, keadaan suatu logam terbagi tiga, yakni:

Immune adalah daerah di mana logam berada dalam keadaan aman dan terlindung dari peristiwa korosi.

(21)

Passive adalah daerah di mana logam akan membentuk suatu lapisan pasif pada permukaannya dan terlindung dari peristiwa korosi.

Corrosion adalah daerah di mana logam akan mengalami peristiwa korosi.

Gambar III.4. Diagram Pourbaix Fe 3.4. Laju Korosi

Laju korosi didefinisikan sebagai banyaknya logam yang dilepas tiap satuan waktu pada permukaan tertentu. Laju korosi umumnya dinyatakan dengan satuan mils per year (mpy). Satu mils setara dengan 0,001 inci. Laju korosi dapat ditentukan dengan berbagai cara, di antaranya dengan ekstrapolasi kurva tafel.

Pada tabel berikut dapat dilihat hubungan laju korosi dengan ketahanan korosinya (relatif).

Ketahanan Korosi Relatif

Laju Korosi

Mpy mm/yr µm/yr nm/hr pm/s

Sangat baik < 1 < 0.02 < 25 < 2 < 1

(22)

0.1

Cukup 5 – 20 0.1 – 0.5 100 – 500 10 – 50 20 – 50 Kurang 20 – 50 0.5 – 1 500 – 1000 50 – 150 20 – 50

Buruk 50 –

200 1 – 5 1000 –

5000

150 – 500

50 – 200 Tabel III.2 Laju korosi

3.5. Faktor-Faktor Korosi

Berikut beberapa faktor yang dapat menyebabkan korosi, yakni sebagai berikut.

 Temperatur dan tekanan

 Kelembaban relatif

 pH (pengaruh asam kuat)

 Bahan pengotor padat/terlarut

 Gas-gas (seperti O2, CO2, CO, H2S, SO2, dll.)

 Konstruksi dan mekanis

Selain faktor di atas, terdapat pula beberapa hal yang dapat memicu terjadinya korosi, antara lain:

 Perbedaan material

Sesuai dengan prinsipnya, korosi akan terjadi ketika terdapat perbedaan potensial antara dua material. Sama halnya ketika ada dua material yang berbeda jenis dihubungkan, maka akan terjadi perbedaan potensial yang menyebabkan material dengan potensial yang lebih rendah akan melepas elektron dan dalam jangka waktu tertentu, material tersebut akan terlarut atau habis.

 Komposisi tanah

Beberapa material seperti baja pada umumnya akan lebih tahan terhadap korosi jika berada pada tanah dengan kadar oksigen yang tinggi. Sementara itu, beberapa material lainnya cenderung tahan terhadap korosi pada tanah dengan kandungan oksigen yang rendah.

Untuk mengetahui seberapa parah tingkat korosivitas pada lingkungan tanah, dapat diketahui melalui resistivitasnya menurut acuan BS 7361, yakni sebagai berikut.

(23)

Resistivity Corosivity Ranking

Up to 10 Ω.m Severely Corrosive

10 to 50 Ω.m Corrosive

50 to 100 Ω.m Moderately Corrosive

100 Ω.m and above Slightly Corrosive

Tabel III.3 Resistivitas tanah

 Material lama dan material baru

Material baru pada umumnya memiliki keelektronegatifan yang lebih tinggi dibandingkan dengan material lama.

Keelektronegatifan ini merupakan suatu sifat di mana material akan mengalami pelepasan elektron. Material dengan keelektronegatifan yang lebih besar akan lebih mudah melepas elektron. Secara prinsip korosi, material ini berfungsi sebagai anoda dan akan terkorosi lebih dulu.

3.6. Metode Inspeksi 1 Visual Inspection

Visual inspection adalah salah satu metode NDT yang paling umum digunakan untuk mengevaluasi kondisi dan memberikan kualitas yang lebih baik dari material atau alat yang akan dilakukan uji evaluasi. Metode visual mudah dilakukan, murah, dan biasanya tidak memerlukan peralatan khusus. Ini memerlukan cahaya yang dipantulkan atau ditransmisikan dari benda uji yang dicitrakan dengan perangkat sensitif terhadap cahaya, seperti mata manusia. Seperti metode pengujian umumnya, hal ini membutuhkan visi yang tepat, kondisi pencahayaan yang baik, dan pengetahuan tentang apa sebenarnya yang harus dicari.

Inspeksi visual dapat ditingkatkan dengan berbagai metode pemeriksaan mulai dari kaca pembesar daya rendah hingga borescope.

Perangkat ini juga dapat digunakan dengan sistem kamera televisi.

Persiapan permukaan dapat berkisar dari menyeka dengan kain untuk pembersihan dan pengobatan dengan bahan kimia untuk mengungkapkan rincian dari permukaan. Cacat pada bagian mesin dapat tumbuh akibat beban yang berbeda dan faktor lingkungan,

(24)

Inspeksi visual terkadang dapat mengidentifikasi di mana kegagalan yang paling mungkin terjadi dan mengidentifikasi ketika kegagalan telah dimulai. Inspeksi visual sering memungkinkan para engineer untuk mendeteksi cacat pada tahap awal dan mengambil tindakan yang diperlukan untuk mencegah terjadinya hal tersebut.

Inspeksi visual sering ditingkatkan dengan metode permukaan lainnya, yang dapat mengidentifikasi kelemahan yang tidak mudah terlihat oleh mata telanjang.

2 Magnetic Particle Inspection (MPI)

Magnetic Particle Inspection adalah metode inspeksi yang digunakan dengan memagnetisasi material inspeksi terlebih dahulu dan menggunakan partikel magnet sebagai indikator adanya cacat.

Dengan menggunakan metode ini, cacat permukaan (surface) dan bawah permukaan (subsurface) suatu komponen dari bahan ferromagnetik dapat diketahui. Hal ini bergantung pada saat material atau bagian yang diuji di bawah medan magnet maka diskontinuitas magnet yang umumnya tegak lurus terhadap arah medan akan menyebabkan timbulnya kebocoran medan magnet pada permukaan material. Kehadiran dari kebocoran medan magnet pada suatu diskontinuitas dapat dideteksi menggunakan serbuk/ partikel feromagnetik yang ditaburkan pada permukaan material. Di mana partikel magnetik tersebut akan berkumpul pada bagian yang mengalami kebocoran medan magnet. Berkumpulnya partikel magnet pada daerah diskontinuitas, pada umumnya dapat mengindikasikan lokasi, ukuran, bentuk, dan luas. Partikel magnetik tersebut diaplikasikan di atas permukaan material sebagai magnetik kering atau pertikel basah dalam suatu cairan seperti air atau minyak.

(25)

Gambar III.5. Skema magnetisasi yang menunjukkan kebocoran medan magnet

Gambar III.6. Cara yang digunakan untuk mendeteksi adanya kebocoran medan magnet adalah dengan menaburkan partikel magnetik di permukaan. Partikel-

partikel tersebut akan berkumpul pada daerah kebocoran medan magnet.

3 Ultrasonic Testing (UT)

Ultrasonic Testing merupakan salah satu metode NDT yang menggunakan energi suara frekuensi tinggi untuk melakukan proses pengujian/pengukuran. Metode UT bisa digunakan untuk deteksi cacat, evaluasi material, pengukuran dimensi, analisis karakteristik material, dan lainnya.

Peralatan UT terdiri dari beberapa bagian yang memiliki fungsi dan perannya maing-masing, seperti pulser/receiver, tranducer, dan display. Pulser/receiver adalah peralatan elektronik yang dapat memproduksi gelombang elektrik bertegangan tinggi. Dikendalikan oleh pulser, tranducer memproduksi energi ultrasonik berfrekuensi tinggi. Energi ultrasonik tersebut dikeluarkan dan disebarkan melintasi

(26)

(seperti crack) pada lintasan gelombang, sebagian energi akan direfleksikan kembali dari permukaan diskontinu tersebut. Gelombang sinyal yang direfleksikan tersebut diubah menjadi sinyal elektrik oleh tranducer dan ditampilkan pada display.

3.7. Upaya Pencegahan dan Pengendalian Korosi

Korosi pada material logam (dalam hal ini tangki) tidak dapat dicegah, namun dapat dihambat dengan melakukan proteksi korosi.

Terdapat berbagai metode untuk menghambat korosi, antara lain:

1 Material selection 2 Corrosion inhibitor 3 Coating

4 Cathodic protection

Pada aplikasi mud tank, terdapat beberapa proteksi korosi yang telah digunakan, yakni inhibitor dan coating.

1 Material Selection

Material selection atau pemilihan material (dalam hal ini, logam dan paduan) yang sesuai dengan kriteria yang dibutuhkan berdasarkan lingkungannya merupakan salah satu metode dasar pencegahan dan pengendalian korosi. Beberapa contoh pemilihan material adalah sebagai berikut.

 Di lingkungan yang dapat mereduksi hidrogen sebaiknya tidak menggunakan titanium, low carbon steel, atau material martensitic.

 Di lingkungan yang bergaram (mengandung NaCl atau Cl-) sebaiknya jangan menggunakan stainless steel 304 karena dapat menyebabkan terjadinya pitting corrosion.

2 Corrosion Inhibitor

Inhibitor kimia adalah zat yang dapat menghambat atau memperlambat suatu reaksi kimia. Inhibitor apabila ditambahkan ke dalam suatu lingkungan tertentu dapat menurunkan laju korosi dari logam terhadap lingkungan sekitar.

Penambahan dilakukan dengan jumlah yang sedikit secara

(27)

kontinu atau selang waktu tertentu. Inhibitor memiliki mekanisme kerja sebagai berikut.

1 Inhibitor teradsorpsi pada permukaan logam, dan membentuk suatu lapisan tipis dengan ketebalan beberapa molekul inhibitor. Lapisan ini tidak dapat dilihat oleh mata biasa, namun dapat menghambat penyerangan lingkungan terhadap logamnya.

2 Pengaruh lingkungan menyebabkan inhibitor dapat mengendap dan selanjutnya teradsorpsi pada permukaan logam serta melindungi terhadap korosi. Endapan yang terjadi cukup sehingga lapisan yang terjadi data teramati oleh mata.

3 Inhibitor lebih dulu mengkorosi logamnya, dan menghasilkan suatu zat kimia yang kemudian melalui peristiwa adsorpsi dari produk korosi tersebut membentuk suatu lapisan pasif pada permukaan logam.

4 Inhibitor menghilangkan kontituen yang agresif dari lingkungannya.

Inhibitor korosi dibagi berdasarkan jenisnya:

a Inhibitor anodic

Menurunkan laju korosi dengan cara menghambat transfer ion-ion logam ke dalam larutan yang bersifat korosif karena berkurangnya anoda akibat pasivasi.

b Inhibitor katodik

Menurunkan laju korosi dengan cara menghambat salah satu tahap pada proses katodik, seperti pembebasan ion-ion hidrogen, seperti pembebasan ion-ion hidrogen dan penangkapan oksigen.

c Inhibitor organik

Senyawa-senyawa organik yang dapat digunakan, yaitu senyawa-senyawa yang mampu membentuk senyawa kompleks, baik kompleks yang terlarut maupun kompleks

(28)

yang mengendap. Sehingga diperlukan adanya gugus fungsi yang mengandung atom-atom yang mampu membentuk ikatan kovalen terkoordinasi, misalnya atom nitrogen, belerang, pada suatu senyawa tertentu.

Inhibitor memiliki efisiensi dengan persamaan sebagai berikut:

Efisiensi Inhibitor=XAXB XA x100

di mana: XA = laju korosi tanpa inhibitor

XB = laju korosi dengan penambahan inhibitor Inhibitor dikatakan efektif apabila nilai efisiensi lebih besar dari 80%

3 Coating

Coating merupakan suatu strategi yang dapat digunakan untuk mencegah korosi. Utamanya, coating berfungsi sebagai pembatas fisik antara substrat dengan lingkungan yang korosif namun juga dapat berfungsi sebagai sumber bagi senyawa inhibitor. Metallic coating juga berfungsi sebagai pembatas fisik tahan korosi sekaligus bisa menjadi anoda korban dalam proteksi katodik jika diaplikasikan pada logam atau paduan berbeda yang memiliki Ecorr lebih positif. Efisiensi dari coating itu sendiri antara 50% hingga 99% tergantung pada waktu, jenis, dan metode instalasi. Sebelum coating diaplikasikan, permukan material yang akan dicoating harus dipersiapkan.

Coating yang biasa diaplikasikan pada mud tank sebuah rig biasanya digunakan dalam bentuk cat atau painting. Untuk memberikan perlindungan lebih, coating diberikan pada bagian luar dan juga dalam tangki dan coating dapat mengandung logam lain dengan Ecorr lebih rendah sehingga dapat sekaligus berfungsi sebagai anoda korban dalam proteksi katodik melalui pembentukan sel galvanik.

4 Proteksi Katodik

(29)

Proteksi katodik merupakan metode untuk mengurangi laju korosi dengan prinsip suplai elektron dari anoda ke katoda.

Material yang berperan sebagai pelindung disebut dengan anoda. Sementara material yang akan dilindungi disebut dengan katoda. Anoda akan mengalami oksidasi dan melepas elektron untuk disuplai ke katoda sehingga katoda tidak cepat terlarut.

Proteksi katodik merupakan kontrol korosi sekunder.

Metode ini akan efektif digunakan apabila arus listrik di antara anoda dan katoda dapat mengalir dengan baik pada shell (badan) tangki. Jika arus listrik terhambat maka dapat menurunkan efektivitas proteksi katodik yang digunakan. Faktor-faktor yang dapat menghambat aliran arus listrik antara anoda dan katoda sebagai berikut.

1 Aspal, semen, pasir, minyak.

2 Resistivitas tanah yang tinggi atau pondasi batu.

3 Adanya bottom plat tangki lama yang tertinggal pada saat pemasangan tangki baru.

Metal Potential

(Cu/CuSo4)

Steel -850 mV

Steel (sulphate reducing bacteria) -950 mV

Copper alloys -500 to -650 mV

Lead -600 mV

Aluminium -950 to -1200 mV

Tabel III.4. Potensial untuk proteksi katodik

Terdapat dua jenis proteksi katodik yang umum digunakan, yaitu sacrificial anode dan impressed current.

A Sacrificial Anode

Metode anoda korban merupakan metode untuk menghambat korosi dengan menggunakan logam yang lebih rendah potensialnya sehingga akan terkorosi lebih dulu dibandingkan dengan logam yang dilindungi.

(30)

sebagai anoda yang mengalami proses oksidasi di mana elektron-elektron akan dilepas dan mengalir menuju katoda. Logam yang dilindungi berperan sebagai katoda dan menerima elektron yang datang dari anoda sehingga katoda tidak cepat terlarut atau terkorosi. Sementara itu, logam yang berperan sebagai anoda semakin lama akan semakin terlarut karena banyak melepas elektron atau dengan kata lain terkorosi.

Gambar III.7. Skema proteksi katodik anoda korban

Untuk mengetahui logam dan paduan apa saja yang sesuai untuk digunakan sebagai anoda korban, dapat dilihat melalui deret galvanik berikut.

(31)

Gambar III.8. Deret Galvanik

Terdapat tiga macam anoda korban yang biasa digunakan, yakni seng (Zn), aluminium (Al), dan magnesium (Mg). Tiap-tiap anoda memiliki nilai potensial dan rapat arus yang berbeda-beda sesuai dengan tabel berikut.

Anode Material

Density (g.cm-3)

Potential volts Cu/CuSO4

Amp-hrs per kg

Typical anode current density (A.m

2)

Zn 7.1 -1.10 780 0.5 – 2

Al 2.7 -1.15 2700 0.6 – 2.5

Mg 1.7 -1.55 1230 1.5 – 5.6

Tabel III.5. Rapat arus untuk material anoda korban

Beberapa keuntungan dari metode sacrificial anode adalah:

1 Tidak membutuhkan sumber energi eksternal.

(32)

2 Pemasangan relatif mudah.

3 Biaya perawatan tidak terlalu besar.

4 Jarang mengalami masalah berkaitan dengan stray current.

5 Modal investasi rendah untuk tangki dengan diameter kecil.

6 Tidak sering membutuhkan monitoring.

Sedangkan untuk kekurangan menggunakan metode ini sebagai berikut.

1 Driving potential terbatas.

2 Arus yang dihasilkan rendah.

3 Tidak praktis digunakan untuk melindungi struktur yang besar.

4 Terbatas untuk penggunaan pada tanah dengan resistivitas rendah .

B Impressed Current

Metode proteksi katodik ini tidak berbeda jauh dengan prinsip sacrificial anode atau anoda korban.

Perbedaan antara keduanya terletak pada penggunaan sumber daya eksternal di mana metode impressed current membutuhkan power supply untuk arus listrik.

Arus listrik yang digunakan harus DC (Direct Current) sehingga dibutuhkan peralatan untuk mengubah arus dari AC menjadi DC, seperti transformer rectifier, solar generating, dan thermo-electric generator.

(33)

Gambar III.9. Skema proteksi katodik impressed current

Berbeda dengan sacrificial anode, impressed current menggunakan anoda inert sehingga tidak mudah untuk terlarut atau terkorosi. Dari segi efektivitas lebih baik dibandingkan anoda korban. Terdapat beberapa anoda yang biasa digunakan untuk metode ini, yakni titanium yang dilapisi dengan mixed metal oxide (MMO) atau platinum, silicon iron, grafit, dan magnetit.

Anode material Max volts

Typical anode current density (A.m-2)

Platinum/niobium 100 250 – 1500

Lead/silver/antimon

y 100 250 – 1000

High silicon iron 100 10 – 100

Graphite - 200

Tabel III.6. Rapat arus untuk material anoda impressed current

Keuntungan dari menggunakan metode impressed current, antara lain:

1 Memiliki driving potential yang besar.

2 Arus yang dihasilkan tinggi sehingga dapat digunakan untuk melindungi struktur yang besar.

(34)

4 Dapat digunakan hampir di semua tingkat resistivitas tanah.

Kekurangan dari menggunakan metode impressed current sebagai berikut.

1 Sering mengalami kendala stray current.

2 Biaya operasi dan perawatannya tinggi.

3 Butuh monitoring yang sering.

BAB IV

(35)

ANALISA DAN PEMBAHASAN 4.1 Dimensi Permasalahan

Dari paparan sebelumnya, telah dijelaskan prinsip kerja Condensate Plant Struktur Tambun, khususnya cooling system, dimana proses ini menghasilkan produk ekstraksi kondensat. Dilihat dari performance chiller (Gambar 2.2), mengindikasikan terjadinya masalah di dalam sistem tersebut. Permasalahan aktual yang terjadi hingga menyebabkan performance chiller rendah, diantaranya bocornya tube evaporator pada chiller, sehingga cairan pendingin masuk ke dalam freon R-22 dan mengakibatkan trouble pada compressor chiller hingga tidak dapat beroperasi. Di samping itu, terjadinya permasalahan pada sistem pendingin hingga menyebabkan condensate plant 2 trip, yaitu bocornya tube heat exchanger, bila heat exchanger tidak beroperasi, feed gas dari gas compressor tidak dapat diekstraksi menjadi condensate, sehingga condensate plant pun tidak dapat beroperasi.

Permasalahan di atas terjadi pada Condensate Plant 1 & 2 Struktur Tambun, yang mengakibatkan kedua condensate plant shutdown (tidak beroperasi), dimana Condensate Plant 1 shutdown pada 18 Maret 2014 s.d saat ini (Mei 2014), sedangkan Condensate Plant 2 shutdown pada 19 Maret 2014 s.d 8 April 2014 (19 hari). Bila ditinjau dari aspek keekonomian, shutdown plant ini tentunya membawa kerugian materil bagi Struktur Tambun, berikut ini besarnya kerugian yang ditanggung perusahaan (dikonversikan ke dalam rupiah).

Tabel 4.1 Loss Costs Akibat Shutdown Condensate Plant Plant Shutdown time

(day) Prod. Condensate

(barrel/day) Loss Production (barrel)

CP 1 63 150 9450

CP 2 19 240 4560

Dilihat dari tabel 4.1 di atas, perusahaan mengalami kerugian (loss production) yang besar akibat condensate plant tidak beroperasi. Selain itu, perusahaan pun harus mengeluarkan biaya perbaikan dan penggantian dalam jumlah yang besar agar plant ini dapat beroperasi kembali. Maka dari itu, perlu adanya evaluasi dan analisa terhadap permasalahan ini agar unplanned shutdown plant ini tidak terjadi lagi.

(36)

4.2 Perumusan Pokok Permasalahan

Perumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Bagaimana pengoperasian dan performance kinerja unit (khususnya cooling system) pada Condensate Plant 2 Struktur Tambun?

2. Bagaimana analisa mengenai penyebab permasalahan yang terjadi pada Cooling System Condensate Plant 2 Struktur Tambun?

Bagaimana rekomendasi dan pendekatan pemecahan masalah yang terjadi pada Cooling System Condensate Plant 2 Struktur Tambun?

4.3 Interpretasi Data dan Informasi

4.3.1 Peformance Kinerja Unit & Permasalahan pada Cooling System Condensate Plant 2

Analisa kinerja unit dilakukan untuk meninjau apakah unit memiliki performance yang sudah bagus atau masih rendah. Performance kinerja unit bisa kita hitung melalui perhitungan sebagai berikut.

Performance( )= Running(hours)−Shutdown(hours)

(Running+Standby+Shutdown)hours ...

(4.1)

Berdasarkan data pada Gambar 2.2, dapat terlihat jumlah running, standby, dan shutdown (hours) yang kemudian dihitung dengan menggunakan persamaan 4.1 di atas, sehingga kita peroleh performance kinerja tiap unit.

Adapun hasil perhitungan nilai performance masing-masing unit pada tabel berikut.

Tabel 4.2 Performance Kinerja Unit Condensate Plant 2 (Januari 2013 – April 2014)

No Unit Performance

1 Chiller A 45.11%

2 Chiller B 18.11%

3 Chiller C 92.38%

4 Reboiler 91.92%

5 Thermal Oil Heater 92.04%

6 Fin fan Cooler 92.41%

Dari data tabel di atas, dapat dilihat performance kinerja unit yang masih rendah yaitu Chiller A dan Chiller B, dimana unit ini bekerja di dalam sistem pendingin yang terjadi proses pengekstrasian kondensat dari feed gas. Permasalahan yang bisa mengakibatkan chiller ini shutdown bisa diakibatkan oleh media (demin water dan glycol), material (carbon steel dan tembaga), operasional, dan efek dari kondisi heat exhanger. Selain performance chiller yang rendah, permasalahan lapangan yang terjadi

(37)

yaitu bocornya tube heat exchanger, hingga menyebabkan plant tidak bisa beroperasi.Untuk menganalisa sistem pendingin, dilakukan peninjauan pada heat exchanger dan chiller karena saling berkaitan dan mempunyai efek terhadap kinerja keduanya.

4.3.2 Kondisi Chiller dan Media Pendingin

Telah dijelaskan pada 2.1.2, mengenai operasional unit dan proses cooling system condensate plant 2, dimana sistem ini memiliki 3 chiller (A, B, dan C), masing-masing Chiller mempunyai 2 sistem (terdapat 3 compressor dan 1 evaporator dalam 1 sistem). Rendahnya performance kinerja Chiller saat ini (Tabel 4.2) dikarenakan kemampuan unit menurun, dimana saat ini 4 sistem yang beroperasi, sedangkan 2 sistem tidak beroperasi, hal ini terjadi diindikasikan oleh kebocoran tube evaporator dan mengakibatkan beberapa compressor tidak bisa beroperasi.

Dalam menganalisa penyebab kebocoran tube evaporator, kita lihat beberapa indikasi dari faktor internal maupun eksternal chiller, diantaranya :

1. Faktor Internal

Reaksi yang terjadi antara material tube evaporator dan media pendingin (triethylene glycol dan air pendingin) ada kemungkinan mengakibatkan terjadinya scaling. Untuk mengetahui reaksi kimia yang terjadi akibat kontak antara media pendingin dan material, kita perlu mengetahui kandungan dari masing-masing elemen tersebut.

Adapun pengujian laboratorium keadaan air pendingin sebagai berikut.

Tabel 4.3 Hasil Uji Laboratorium Kandungan Air Pendingin (September 2013)

Location Parameter Result Recommendation

CP 2 pH 7.3 6 – 8

Fe Content 465.7 ppm < 12 ppm

Total Hardness 129.7 ppm < 24 ppm

Dilihat dari tabel 4.3 di atas, tingginya kandungan Fe dalam air pendingin (melebihi rekomendasi seharusnya), mengindikasikan terjadinya korosi pada sistem. Selain itu, nilai hardness pun diuji untuk mengetahui jumlah ion calcium dan magnesium yang terkandung dalam air, dimana nilai hardness yang tinggi mengindikasikan

(38)

terjadinya pembentukan scale karena ion calcium terangkat dan bereaksi dengan material.

Tabel 4.4 Hasil Uji Lab Demin Water dan Glycol beserta Reaksi terhadap Material (8 Mei 2014)

Dapat dilihat dari tabel 4.4 di atas, disimulasikan dalam 3 hari, pengaruh dari glycol dan demin water terhadap material eksisting, dimana pengaruh yang paling besar yaitu demin water terhadap carbon steel hingga material kehilangan berat 0,2131 gram. Hal ini yang mengakibatkan terjadinya korosi pada material.

(39)

Gambar 4.2 Kandungan Korosi Material Existing (Pengujian SEM-DAX)

Dilihat pada Gambar 4.2, produk korosi material yaitu korosi oksidasi, dimana Fe content dan Oksigen yang terkandung tinggi, produk karat ini berupa Fe2O3 (hematit). Terjadinya oksidasi di dalam siklus pendingin akibat dari O2 masuk ke dalam sistem. O2 yang terbawa bersama air pendingin akan bereaksi dengan material, sehingga membentuk karat logam dan uap air. Berikut gambar terjadinya oksidasi di dalam sistem pendingin.

(40)

Gambar 4.3 Peristiwa Reaksi Oksidasi pada Logam

Adapun reaksi redoks yang terjadi hingga membentuk karat logam berikut ini.

Oksidasi : 2Fe + 2H2O ---Fe2O3 + 6H+ + 6e

Reduksi : 2CrO4- + 10H+ + 6e ---Cr2O3 + 5H2O Red-oks : 2Fe + 2 CrO4- + 2H+---Fe2O3 + Cr2O3 + 3H2O---

Fe2O3 merupakan produk karat logam berupa partikel-partikel Fe yang terangkat akibat dari adanya oksidasi. Fe2O3 yang terbawa di dalam air pendingin akan mengendap ke bagian bawah glycol storage.

Pada siklus pendingin yang terus menerus, tube evaporator akan terkikis oleh endapan karat (Fe2O3) hingga terjadi kebocoran tube evaporator. Akibat bocornya tube, air pendingin yang mengandung Fe2O3 bisa masuk ke dalam freon, bila hal ini terjadi bisa menyebabkan sistem kompresor tidak bekerja dengan baik, bahkan kompresor mengalami short (konslet) atau motor burn out. Ini yang menyebabkan 2 sistem (6 kompresor) pada chiller tidak bisa beroperasi saat ini.

2. Faktor Eksternal

Bila dilihat dari faktor eksternal, efek kondisi heat exchanger pun berpengaruh karena media pendingin setelah keluar dari chiller, lalu dialirkan masuk ke dalam tube heat exchanger. Air pendingin yang di dalamnya memiliki kandungan tertentu akan bereaksi dengan material tube (Tabel 4.4), reaksi tersebut menyebabkan korosi pada material tube. Hal ini disebabkan oksida-oksida logam yang terbentuk pada proses awal korosi, akan menjadi katalis pada proses selanjutnya.

(41)

4.3.3 Kondisi Heat Exchanger dan Feed Gas

Perubahan fasa gas menjadi kondensat terjadi karena adanya kontak tidak langsung antara media pendingin dan feed gas di dalam heat exchanger, sehingga feed gas mengalami penurunan temperatur.

Permasalahan yang terjadi di lapangan diindikasikan karena adanya korosi pada material tube dan tekanan pengoperasian yang tidak sesuai.

Bila dilihat dari MDR (Manufacture Design Report), MAWP (Maximum Allowable Working Pressure) dari operasional heat exchanger yaitu 27 bar (± 400 psig), sedangkan pengoperasian aktual sebesar ± 440 psig. Dalam mendesain suatu unit, terdapat safety factor 1.2 – 1.4 kali dari MAWP, yang merupakan design pressure dari unit tersebut. Meskipun demikian, pengoperasian aktual seharusnya tidak melebihi MAWP dari unit karena unit beroperasi melebihi kemampuan yang diijinkan secara terus menerus akan mengakibatkan kerusakan dan memperpendek life time dari unit. Bila kebutuhan pengoperasian saat ini sudah tidak sesuai dengan spesifikasi plant, maka seharusnya dilakukan re-design untuk menyesuaikan antara spesifikasi unit dan kebutuhan operasi.

Bila kita tinjau dari kontak antara media (chilled water dan feed gas) dan material tube (carbon steel), bisa terjadi reaksi kimia yang menyebabkan korosi pada material. Untuk mengetahui reaksi yang terjadi, kita harus mengetahui kandungan pada medianya. Korosi logam yang terbentuk secara terus menerus di dalam heat exchanger akan mengakibatkan kebocoran pada tube. Bisa dilihat dari Gambar 4.4 di bawah ini kondisi material existing heat exchanger.

(42)

Kondisi bocornya tube heat exchanger, mengakibatkan condensate plant tidak dapat beroperasi. Untuk mengetahui, berapa besarnya korosi yang terjadi pada tube heat exchanger, kita lakukan pengujian berupa Eddy Current. Test Eddy Current (April 2014) dilakukan untuk mengetahui ketebalan tube heat exchanger eksisting dan metal loss akibat korosi yang terjadi pada material tube (carbon steel), dimana metal loss pada tube heat exchanger Condensate Plant 2 sebesar 20%. Adapun perhitungan corrosion rate dan remaining life yang sesuai dengan kondisi lapangan saat ini sebagai berikut.

Corrosion Rate= TpreviousTactual

Year nowYear previous=(2.11−1.688)mm

2014−2011 =0.563mm/year ...

(4.2)

Remaining Life=TactualTrequired

Corrosion Rate =(1.688−1.2)mm

0.563 =0.87tahun=10bulan

...

(4.3) Keterangan :

Corrosion Rate = laju korosi yang terjadi (mm/year) Tprevious = ketebalan awal, sesuai design (mm)

Tactual = ketebalan aktual rata”, dimana metal loss ± 20% (mm)

Trequired = ketebalan minimal yang diijinkan untuk beroperasi, berdasarkan ANSI/API Standard 660 / ISO 16812 (mm)

4.4 Analisa Koreksi

Dari pembahasan sebelumnya, terlihat permasalahan yang terjadi pada cooling system (heat exchanger dan chiller) beserta analisa penyebab, dimana secara garis besar, penyebab rendahnya performance cooling system yaitu pengoperasian yang belum sesuai dengan spesifikasi dan terjadinya korosi akibat reaksi antara media dan material unit.

Berdasarkan fakta tersebut, evaluasi uji kelayakan dan perbaikan terhadap kualitas cooling system yang selama ini digunakan harus dilakukan.

Beberapa solusi dapat diambil untuk mengatasi permasalahan yang terjadi pada cooling system, sebagai berikut.

(43)

1. Kesesuaian antara operasional dengan kapasitas plant dan spesifikasi unit.

2. Dilakukannya scheduled preventive maintenance dan predictive maintenance.

3. Bila kebutuhan operasi sudah tidak sesuai dengan spesifikasi, dilakukan re-design, seperti rekomendasi penggantian material heat exchanger sesuai dengan kalkulasi kebutuhan operasi saat ini dan optimasi kinerja chilling system.

Solusi-solusi di atas dapat mengatasi permasalahan yang telah dijabarkan sebelumnya, sehingga dapat mengurangi shutdown time unit cooling system condensate plant 2.

4.5 Alternatif Pemecahan Masalah

4.5.1 Standard Operasi Prosedur sebagai Panduan Pengoperasian

Dalam penulisan KKW ini, penulis membuat SOP (Standard Operasi Prosedur) Condensate Plant 2 dari segi operasional dan pemeliharaan. SOP ini disesuaikan pada kondisi aktual, spesifikasi unit, dan kapasitas plant saat ini, dimana di dalamnya ada panduan scheduled maintenance dan beberapa tahapan penanganan bila terjadinya trouble. SOP ini dijadikan sebagai panduan tahap awal, sebelumnya belum ada SOP untuk pengoperasian dan pemeliharaan Condensate Plant 2, yang bisa dijadikan pengajuan ke dalam TKO ke depannya.

4.5.2 Alternatif Pemecahan Masalah pada Heat Exchanger

Berdasarkan penjelasan sebelumnya, pada perhitungan 4.3 di atas, umur heat exchanger pada kondisi pengoperasian saat ini 10 bulan. Korosi yang terjadi pada material tube heat exchanger tinggi, sebesar 0,563 mm/tahun, berdasarkan NACE termasuk kategori Severe termasuk dalam kelas tertinggi tingkat korosinya (> 0.254 mm/tahun). Korosi secara terus menerus akan menghancurkan material tube, sehingga tidak menutup kemungkinan terjadi permasalahan lagi dalam kurun waktu kurang dari remaining life yang diperhitungkan, bila tidak ada tindakan perbaikan atau penggantian.

Di samping itu, kondisi pengoperasian saat ini sudah tidak sesuai dengan spesifikasi desain awal, sehingga untuk mencapai target pengoperasian saat ini, diperlukan analisa lebih untuk perbaikan sistem.

(44)

Adapun spesifikasi material eksisting dan besarnya heat transfer menggunakan material eksisting, berikut ini.

Tabel 4.5 Spesifikasi dan Komposisi Material Existing Tube Heat Exchanger

Dilihat dari tabel 4.5 di atas, tidak ada kandungan Chromium pada spesifikasi material, hal ini mengindikasikan perlindungan material terhadap korosi/karat sangat minim hingga menyebabkan terjadinya kebocoran tube heat exchanger, sedangkan nilai kebutuhan heat transfer (berdasarkan data desain engineering) 622430 kcal/hr (683673 Watt).

Alternatif pemecahan atas permasalahan tersebut, diantaranya : 1. Penggantian material tube

Dalam perencanaan penggantian material, beberapa hal yang perlu diperhitungkan dalam menjustifikasi material yang akan digunakan, sebagai berikut.

a. Material yang memiliki kadar Chromium (anti karat) dan hardness yang lebih baik dari material eksisting.

b. Desain material dan tube yang dapat mencapai minimal besarnya heat transfer existing, sehingga pencapaian penurunan gas pada temperatur lingkungan ekstrim pun dapat tercapai.

Berdasarkan berbagai sumber referensi yang digunakan, berikut spesifikasi material yang dapat digunakan dalam perencanaan penggantian existing.

Tabel 4.6 Komposisi Material Rekomendasi Pengganti Material Existing

Berdasarkan referensi TEMA (Tubular Exchanger Manufacturer’s Association) Standard, pada temperatur operasional 1000F (550C), nilai thermal conductivity untuk kedua material di atas, sebagai berikut.

Tabel 4.7 Nilai Thermal Conductivity Material (TEMA Standard) No Material Group Thermal Conductivity

(Btu/hr.ft.F) (W/m.K)

1 SA-213 T11 C 23.6 40.90

(45)

Untuk mengetahui perhitungan heat transfer dan desain yang akan menjadi rekomendasi penggantian material tube heat exchanger, menggunakan perumusan 4.4 berikut ini perhitungannya:

Menggunakan material SA-213 T11 Do/Di

ln(¿) q=2πkL(Ti−¿)

¿

...

(4.4)

0,01905/0,0174 ln(¿)=683236Watt

q=

2π x40,90 W

m. K x5,831m x40K

¿ Rencana perbaikan desain :

Jumlah tube heat exchanger (n) = 188 tubes, sehingga besar qtot = 1,3 x 108 Watt.

Dalam menentukan penggunaan material yang terbaik untuk kondisi pengoperasian saat ini harus meninjau dari beberapa elemen, seperti kandungan Chromium sebagai pelindung material dari karat/korosi dan nilai thermal conductivity material yang mempengaruhi heat transfer. Berikut perbandingan antara kondisi material existing dan rencana material rekomendasi.

Tabel 4.8 Perbandingan Kondisi Material Existing dan Rencana Material Rekomendasi

Berikut ini perhitungan life time desain (berdasarkan ASME VIII-1 2007 A08 UG-28) dengan menggunakan material rekomendasi pada tabel di atas.

(46)

tmin= P

B+0,083

2,167 x D0= 0,351

14 +0,083

2,167 x19,05=0,953mm

...

(4.5)

Life Time(¿)=

(

tdesigntmin

)

CA =(2−0,953)mm 0,1 mm

year

=10,5years

...

(4.6) Keterangan :

tmin = tebal minimum yang diijinkan (mm) P = design pressure (kg/mm2)

B = faktor dengan material SA-213 T11 disesuaikan maks design pressure (berdasarkan ASME II Subpart 3, Part D)

D0 = outside diameter tube (mm)

tdesign = tebal desain yang akan digunakan (mm) CA = Corrosion Allowance (mm/year)

Dilihat dari perhitungan 4.6, bisa terlihat umur ideal dengan menggunakan material rekomendasi di atas, dimana lebih baik dibanding kondisi eksisting. Life time dari desain ini dapat tercapai tentunya dengan pengoperasian unit & sistem, serta scheduled maintenance yang baik.

2. Optimasi Penggunaan O2 Scavenger

O2 scavenger sebagai aplikasi pengurangan O2 content gas Struktur Tambun menggunakan media berupa chemical. O2 scavenger yang baru terpasang saat ini berupa injeksi chemical pada flow line gas sebelum suction gas compressor. Pada dasarnya, chemical diinjeksikan untuk mengikat H2S di dalam gas.

4.5.3 Alternatif Pemecahan Masalah pada Chilling System (Chiller)

Berdasarkan struktur korosi yang terjadi pada material, diindikasikan korosi oksidasi yang berperan besar pada permasalahan di atas. Oksidasi terjadi di dalam chilling system, sehingga harus diminimalisir terjadinya oksidasi yang masuk ke dalam sistem. Di samping itu, dalam pengoperasian, secara konsisten air yang digunakan seharusnya demin water yang sudah teruji kualitasnya (TDS harus 0) agar kemungkinan terjadinya reaksi kimia.

(47)

Gambar 4.5 Venting Glycol Storage (Sumber : P&ID Cooling System CP 2)

Dilihat dari Gambar 4.5 di atas, terdapat venting pada tangki glycol, indikasi masuknya udara dari eksternal masuk ke dalam tangki, sehingga O2 masuk dan terjadi oksidasi. Untuk meminimalisir oksidasi di dalam tangki bisa dilakukan dengan alternatif berikut:

1. Venting pada glycol storage dihilangkan, diganti dengan pemasangan breather valve, sehingga meminimalisir udara dari luar masuk ke tangki.

2. Monitor dan diatur low level cairan (60% dari volume tangki), sehingga tangki tidak mengalami vacuum dan ruang udara di dalam tangki minim.

3. Setiap proses cleaning, diinjeksikan Nitrogen ke cairan pendingin dalam tangki, sehingga Oksigen yang masih terjebak dalam tangki bisa keluar (dibukanya valve).

Gambar

Tabel 1.1 Hasil Produksi Field Tambun Tahun 2013 (Sumber : Laporan Migas 2013)
Gambar 1.1 Grafik Produksi Kondensat CP1 &amp; CP2 tahun 2013-2014 Penurunan produksi kondensat bisa disebabkan karena  performance kinerja dan maintenance dari kondisi condensate plant yang kurang bagus.
Gambar 2.1 Flow Process Condensate Plant Struktur Tambun Dapat   dilihat   dari  Gambar   2.1  di   atas,  flow   process   condensate plant  dengan inputan gas bertekanan tinggi dan temperatur tinggi, yang merupakan  output  dari  gas   compressor  dialir
Gambar 2.2 Grafik Operasional Unit Condensate Plant 2 (Januari 2013 – April 2014)
+7

Referensi

Dokumen terkait

Kebutuhan lembaga tentang komunikasi dan informasi tidak hanya dibutuhkan oleh Pertamina EP Asset 5 yang merupakan perwakilan dari Pertamina EP tetapi juga

Pertamina EP Asset 4 Field Cepu has implemented Safety signs in the area of Main Gathering Station (MGS) Menggung among Prohibition sign, sign Alert, sign Orders must

Dyah Ayuningtyas Purnomo (D0212037) COMMUNITY RELATION DAN CITRA PERUSAHAAN (Studi Deskriptif Kualitatif Aktivitas Community Relation PT. Pertamina EP Asset 4 Field

Judul laporan akhir ini adalah Penerapan Sistem E-Correspondence pada Unit SPRM (Strategic Planning &amp; Risk Management) PT Pertamina EP Asset 2 Prabumulih. Tujuan dari studi

Penelitian untuk mengetahui gambaran tingkat risiko keselamatan pada pipa 6” Crude Oil SP-PDT I – SP Tambun dengan menggunakan Model Studi Analisis Risiko (Djunaidi,

Skripsi ini dengan judul “Analisis Risiko Hazard and Operability Study (HAZOPS) Pada Proses Plant Stasiun Pengumpul Gas (SPG) XI Lembak PT Pertamina EP Asset

Pada hakikatnya Kerja Praktek merupakan gambaran nyata dimana mahasiswa dituntut untuk mengetahui dan memahami semua ilmu dalam teknik perminyakan beserta fungsi

Pertamina EP Asset 4 Field Cepu Safety Driving Kurang Baik f % f % Kondisi Jalan Kurang 17 85 15 20 Baik 4 28,6 10 71,4 Signifikansi = 0,001 Pada tabel 13 menunjukkan bahwa hasil