3 Satria Ramadhan, “Penyidikan tindak pidana tanpa surat persetujuan berlayar oleh Kantor Syahbandar dan Otoritas Pelabuhan Rengat berdasarkan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2018 tentang Pelayaran” Jurnal Ilmu Hukum, Volume III Nomor 2, Oktober 2018, hal . 5. Berdasarkan uraian di atas, maka permasalahan tindak pidana pelayaran tanpa surat izin berlayar diselidiki dengan judul “Penegakan Hukum Terhadap Tindak Pidana Pemalsuan Surat Persetujuan Berlayar (SK Kajian Nomor 249/Pid.B/2021/ PN Ktp ) )". Untuk mengetahui peraturan hukum pelanggaran pidana Surat Izin Berlayar menurut hukum yang berlaku di Indonesia.
Hukuman bagi pelakunya mensyaratkan bahwa tindak pidana yang dilakukannya memenuhi unsur-unsur yang ditentukan dalam undang-undang. Tanggung jawab pidana adalah tanggung jawab seseorang atas tindak pidana yang dilakukannya dan yang menjadi tanggung jawab orang tersebut adalah tindak pidana yang dilakukannya.
Asumsi
Tindak pidana adalah suatu kejadian yang mengandung unsur perbuatan yang dilarang oleh undang-undang, sehingga orang yang menyebabkan kejadian tersebut dapat dikenai sanksi pidana (hukuman).62 c. Sedangkan pelayaran mengacu pada suatu kesatuan sistem yang terdiri atas transportasi perairan, pelabuhan, keselamatan dan keamanan, serta perlindungan lingkungan maritim.42. Dalam hukum pidana, uang palsu adalah perbuatan yang dilakukan dengan meniru suatu benda yang sama dengan benda aslinya.63.
Surat persetujuan berlayar (port clearance) adalah dokumen negara yang diterbitkan oleh Syahbandar bagi setiap kapal yang akan berlayar dan meninggalkan pelabuhan setelah kapal tersebut memenuhi persyaratan kelaikan laut kapal dan kewajiban lainnya.64. Pengaturan hukum mengenai tindak pidana surat persetujuan navigasi menurut hukum yang berlaku di Indonesia diatur dalam Pasal 264 ayat (1) KUHP juncto Pasal 56 ayat (1) ke-2 KUHP. Pertanggungjawaban pidana atas penggunaan dokumen palsu dalam Surat Persetujuan Navigasi dapat dilihat pada unsur kesalahan pelaku tindak pidana.
Berdasarkan hal tersebut, terdakwa dapat dikualifikasikan sebagai pelaku yang dapat dimintai pertanggungjawaban karena telah memenuhi unsur-unsur kesalahan dalam pasal 264 ayat 1 KUHP. 1. 249/Pid.B/2021/PN Ktp, apabila perbuatan terdakwa menimbulkan keresahan di masyarakat luas dan di dalam diri terdakwa sendiri, dan tidak ditemukan alasan yang dapat menghilangkan tanggung jawab pidana, baik alasan yang membenarkan maupun yang membenarkan.
Keaslian Penelitian
Berdasarkan penulisan hukum di atas, maka penelitian yang dilakukan penulis berbeda isi dan pokok bahasannya dengan penelitian yang dilakukan di atas. Dalam penelitian ini penulis membandingkannya dengan beberapa penelitian yang juga membahas tentang kejahatan pelayaran namun berbeda pembahasannya yaitu. Tesis Fitri Dafreyeni, mahasiswa program Magister Universitas Andalas Padang tahun 2020 berjudul Implementasi Reserse Kriminal Pelayaran di Kepolisian Daerah Perairan Sumatera Barat Universitas Andalas.
Bagaimana penyidikan tindak pidana pelayaran yang dilakukan oleh penyidik pegawai negeri sipil pada Kantor Kesyahbandaran Otoritas Pelabuhan Teluk Bayur (KSOP). Tesis Ilham Tajuddin, mahasiswa Program Magister Hukum Universitas Diponegoro Semarang tahun 2019 yang berjudul Peninjauan Kembali Putusan Pengadilan Perhubungan dan Pertanggungjawaban Pidana Dalam Kecelakaan Kapal Laut Terkait. Bagaimana kedudukan putusan Pengadilan Transportasi dalam sistem peradilan pidana Indonesia dalam konteks KUHAP.
Bagaimana akibat hukum dari putusan pengadilan pelayaran dan kecelakaan pelayaran terkait dengan UU No. Tesis Sumardiman, mahasiswa Program Magister Hukum Universitas Sumatera Utara tahun 2019 yang berjudul Pertanggungjawaban Pidana Nakhoda Atas Kecelakaan Kapal Berdasarkan UU No. 17 Tahun 2008 tentang transportasi laut.
Metode Penelitian
- Sifat Penelitian
- Alat Pengumpulan Data
- Prosedur Pengambilan dan Pengumpulan Data
- Analisis Data
Metode penelitian ini berfungsi sebagai pedoman dan landasan tata cara melakukan penelitian operasional untuk menulis suatu karya ilmiah yang dilakukan peneliti. Penelitian ini bersifat deskriptif analitis, yaitu mengungkapkan hukum-hukum dan peraturan-peraturan yang berkaitan dengan teori-teori hukum yang menjadi pokok penelitiannya.46 Deskriptif analitis, merupakan suatu metode yang digunakan untuk menggambarkan suatu keadaan atau keadaan yang terjadi atau berlangsung dengan tujuan untuk memberikan data yang akurat. objek penelitiannya, sehingga dapat menggali hal-hal yang ideal, kemudian dianalisis dari teori hukum atau peraturan perundang-undangan yang berlaku.47 Dalam tulisan ini akan diuraikan kondisi mengenai tindak pidana pemalsuan surat kuasa pelaut. Pendekatan perundang-undangan (status Approach) atau pendekatan hukum adalah penelitian terhadap produk hukum. 66 Pendekatan perundang-undangan ini dilakukan untuk menyelidiki seluruh peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan penelitian yang akan diteliti.
Pendekatan perundang-undangan ini akan membuka peluang bagi peneliti untuk mengkaji apakah terdapat konsistensi dan kesesuaian antara suatu undang-undang dengan undang-undang.67. Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian kepustakaan dengan alat pengumpulan data berupa studi dokumen. Data sekunder di bidang hukum ditinjau dari kekuatan mengikatnya dapat dibedakan menjadi 3 (tiga), yaitu bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier.48.
Data sekunder dikumpulkan dari penelitian kepustakaan yang meliputi bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier.70 Data tersebut diperlukan untuk penelitian normatif. Bahan hukum primer, yaitu bahan hukum yang mengikat,49 terdiri dari beberapa peraturan hukum: KUHP dan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran. Bahan hukum sekunder yaitu bahan yang menjelaskan bahan hukum primer berupa buku-buku yang berkaitan dengan permasalahan yang diteliti.
Bahan hukum tersier yaitu bahan hukum yang memberikan petunjuk dan penjelasan mengenai hukum primer dan sekunder50 seperti kamus hukum.
Pengaturan Mengenai Tindak Pidana Pengoperasian Kapal Penangkap Ikan Tanpa Disertai Surat Persetujuan Berlayar
Mekanisme penerbitan surat persetujuan navigasi (port clearance) menurut peraturan kementerian masing-masing diatur dalam Pasal (3). Untuk memperoleh Surat Persetujuan Pelayaran (port clearance), pemilik atau operator kapal mengajukan permohonan tertulis kepada Syahbandar dengan menggunakan format seperti pada contoh pada Lampiran I CM. Berkas permohonan penerbitan surat persetujuan berlayar (port clearance) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diserahkan kepada portir setelah seluruh kegiatan di atas kapal selesai dan kapal siap berlayar sebagaimana tercantum dalam surat pernyataan. kesiapan kapal untuk berangkat oleh Nakhoda (Master Sailing Statement).
Surat dan dokumen yang dilampirkan pada saat pengajuan surat permohonan izin navigasi (izin pelabuhan). Atas dasar temuan atau ringkasan pemenuhan persyaratan administrasi dan teknis kemampuan berlayar kapal, nakhoda pelabuhan menerbitkan izin berlayar. Surat persetujuan berlayar hanya berlaku selama 24 (dua puluh empat) jam dari waktu keberangkatan yang ditentukan dan hanya dapat digunakan untuk 1 (satu) kali pelayaran.
Surat persetujuan pelayaran (port clearance) berlaku selama 24 (dua puluh empat) jam sejak waktu pemberangkatan yang ditentukan dan hanya dapat digunakan untuk 1 (satu) pelayaran.” Surat persetujuan berlayar yang ditandatangani oleh pejabat sebagaimana diatur dalam Pasal 7 (tujuh) segera diserahkan kepada operator pemilik kapal atau badan usaha yang ditunjuk sebagai agen kapal untuk diteruskan kepada nakhoda kapal. Mengoperasikan kapal penangkap ikan tanpa Sertifikat Navigasi dikategorikan sebagai pelanggaran berdasarkan Undang-Undang Perikanan.
Mengoperasikan kapal penangkap ikan tanpa Surat Izin Berlayar dikatakan merupakan tindak pidana, sehingga seluruh unsur di atas harus dipenuhi.
Tindak Pidana Penangkapan Ikan
Setiap orang yang mengoperasikan kapal asing yang mengangkut penumpang atau barang antar pulau di wilayah perairan Indonesia dipidana tanpa izin pemerintah. Barang siapa yang melayani angkutan laut khusus yang membawa barang milik pihak lain atau barang umum milik pihak lain tanpa izin Pemerintah dipidana. Siapa pun yang menyediakan jasa angkutan di perairan, danau, dan sungai tanpa izin pemerintah akan dikenakan sanksi denda.
Barangsiapa tidak memenuhi kewajibannya dalam pengangkutan penumpang atau barang, khususnya angkutan pos, dipidana. Siapa pun yang mengoperasikan terminal khusus untuk melayani perdagangan masuk dan keluar akan dikenakan sanksi tanpa memenuhi persyaratan dan penetapan pemerintah. Siapa pun yang mengoperasikan kapal dan pelabuhan tanpa memenuhi persyaratan keselamatan dan keamanan transportasi laut, serta perlindungan lingkungan laut, akan dikenakan sanksi.
Siapapun yang mengoperasikan kapal yang tidak memenuhi persyaratan kapal untuk navigasi elektronik/peralatan navigasi akan dikenakan sanksi. Barangsiapa selama berlayar menghalangi nakhoda melaksanakan tugasnya di kapal, dipidana. Barangsiapa menggunakan peti kemas sebagai bagian dari alat angkutnya, dikenakan sanksi tanpa memenuhi persyaratan martabat peti kemas tersebut.
Siapa pun yang menggali atau membuat ulang saluran air atau kolam pelabuhan tanpa izin pemerintah akan dihukum.
Penangkapan Ikan Tanpa Memiliki Atau Memalsukan Surat Izin (SIUP, SIPI, dan SIKPI)
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan juncto Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perubahan Undang-Undang. Adapun SIUP diatur dalam Pasal 26 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan yang menyatakan bahwa setiap orang yang melakukan usaha penangkapan ikan di bidang penangkapan, budidaya, pengangkutan, pengolahan, dan pemasaran ikan di wilayah pengelolaan perikanan. Negara Republik Indonesia harus memiliki SIUP. Surat Izin Penangkapan Ikan (SIPI) adalah izin tertulis yang harus dimiliki oleh setiap kapal penangkap ikan untuk melakukan penangkapan ikan yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari SIUP.44 Terkait dengan Surat Izin Penangkapan Ikan (SIPI) diatur dalam Pasal 27 ayat (1) dan (2) Undang – Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan yang menyatakan bahwa setiap orang yang memiliki dan/atau.
Setiap orang yang memiliki dan/atau mengoperasikan kapal pengangkut ikan di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia wajib memiliki SIKPI, sebagaimana diatur dalam Pasal 28 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan. Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2002 tentang Pelayaran.45 Menurut Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan, yang dimaksud dengan Surat Persetujuan Berlayar adalah dokumen negara yang diterbitkan oleh Syahbandar kepada setiap pelayaran. mengirimkan . yang akan berlayar meninggalkan pelabuhan setelah kapal memenuhi persyaratan kelaikan laut kapal dan. Mengoperasikan kapal penangkap ikan tanpa izin berlayar merupakan tindakan yang melanggar hukum.47 Mengoperasikan kapal penangkap ikan tanpa izin berlayar dianggap sebagai pelanggaran berdasarkan Undang-Undang Perikanan.
UU Perikanan menegaskan, setiap pengoperasian kapal perikanan harus disertai SPB. Ketentuan hukum pidana bagi pelanggar pasal ini juga secara tegas tercantum dalam Pasal 98 UU No. 45 Tahun 2009 tentang perubahan atas UU No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan yang berbunyi: nakhoda kapal penangkap ikan yang tidak memiliki surat persetujuan berlayar sebagaimana dimaksud pada 42 ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp dua ratus. juta rupiah. Izin penangkapan ikan sebelumnya diatur dalam Pasal 32 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan.
Namun berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia No. 45 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas UU No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan, ketentuan mengenai tata cara dan syarat pemberian SIUP, SIPI, dan SIKPI diatur dengan peraturan menteri.