REVIEW MATERI
DINASTI ABBASIYYAH (750 – 1258 M)
Diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah SEJARAH PERADABAN ISLAM
Dosen Pengampu
Muhammad Amiruddin, Lc., M.Pd.
Disusun oleh :
1. Rara Puspita PutrI (210703110015) 2. Nur Rasyid Saputro (210703110019) 3. Alvina Milaffaiza (210703110040) 4. Hikmah Helmi Bahtiar(210703110054) 5. Carlyna Septi Aisya (210703110105)
JURUSAN FARMASI
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU-ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG
2022
REVIEW MATERI DINASTI ABBASIYYAH (750 – 1258 M)
A. Pendiriaan Dinasti Abbasiyyyah
Dinasti Abbasiyah atau Kekhalifahan Abbasiyah adalah kekhalifahan kedua Islam yang berkuasa di Baghdad (sekarang ibu kota Irak). Kekhalifahan ini berkembang pesat dan menjadikan dunia Islam sebagai pusat pengetahuan dengan menerjemahkan dan melanjutkan tradisi keilmuan Yunani dan Persia.
Kekhalifahan ini berkuasa setelah merebutnya dari Bani Umayyah dan menundukan semua wilayahnya kecuali Andalusia. Bani Abbasiyah dirujuk kepada keturunan dari paman Nabi Muhammad yang termuda, yaitu Abbas bin Abdul-Muthalib (566-652 M), oleh karena itu mereka juga termasuk keturunan Bani Hasyim. Berkuasa mulai tahun 132H/750M dan memindahkan ibu kota dari Damaskus ke Baghdad.
Pada awalnya Muhammad bin Ali, cicit dari Abbas menjalankan kampanye untuk mengembalikan kekuasaan pemerintahan kepada keluarga Bani Hasyim di Persia pada masa pemerintahan Khalifah Umar bin Abdul Aziz. Selanjutnya pada masa pemerintahan Khalifah Marwan II, pertentangan ini semakin memuncak dan akhirnya pada tahun 750 M, Abu al-Abbas as-Saffah berhasil meruntuhkan Dinasti Umayyah dan kemudian dilantik sebagai khalifah.
Dinasti Abbasiyah berhasil memegang kekuasaan kekhalifahan selama tiga abad, mengkonsolidasikan kembali kepemimpinan gaya Islam dan menyuburkan ilmu pengetahuan dan pengembangan budaya Timur Tengah.
Tetapi pada tahun 940 M kekuatan kekhalifahan menyusut ketika orang-orang non-Arab, khususnya orang Turki (dan kemudian diikuti oleh Mamluk di Mesir pada pertengahan abad ke-13), mulai mendapatkan pengaruh dan mulai memisahkan diri dari kekhalifahan.
Meskipun begitu, kekhalifahan tetap bertahan sebagai simbol yang menyatukan umat Islam. Pada masa pemerintahannya, Bani Abbasiyah mengklaim bahwa dinasti mereka tak dapat disaingi. Namun kemudian, Said bin Husain, seorang muslim Syiah dari dinasti Fatimiyyah mengaku dari keturunan Nabi Muhammad, mengklaim dirinya sebagai Khalifah pada tahun
909M, sehingga timbul kekuasaan ganda di daerah Afrika Utara. Pada awalnya ia hanya menguasai Maroko, Aljazair, Tunisia dan Libya. Namun kemudian, ia mulai memperluas daerah kekuasaannya sampai ke Mesir dan Palestina, sebelum akhirnya Bani Abbasyiah berhasil merebut kembali daerah yang sebelumnya telah mereka kuasai, dan hanya menyisakan Mesir sebagai daerah kekuasaan Bani Fatimiyyah. Dinasti Fatimiyyah kemudian runtuh pada tahun 1171M. Sedangkan Bani Umayyah bisa bertahan dan terus memimpin komunitas Muslim di Spanyol, kemudian mereka mengklaim kembali gelar Khalifah pada tahun 929M, sampai akhirnya dijatuhkan kembali pada tahun 1013M.
1. Asal-usul Berdirinya Dinasti Abbasiyah
Pemerintahan Dinasti Abbasiyah merupakan kelanjutan dari pemerintahan Dinasti Umayyah yang telah runtuh di Damaskus.
Dinamakan kekhalifahan Abbasiyah karena para pendiri dan penguasanya diambil dari keturunan Abbas, paman Nabi Muhammad SAW yaitu Abbas bin Abdul Mutholib. Adapun penggagas pertama berdirinya Dinasti Abbasiyah adalah Ali bin Abdullah bin Abbas bin Abdul Mutholib bin Abdi Manaf bin Hasyim. Walaupun Ali bin Abdullah tidak sempat mewujudkan berdirinya Daulah Abbasiyah namun anak cucunya berhasil mewujudkan cita-cita Ali bin Abdullah tersebut setelah melalui proses yang sangat panjang. Dengan demikian para pendiri Dinasti Abbasiyah masih keturunan Bani Hasyim. Pada saat Rasullulah SAW menyebarkan Islam di Mekkah, antara Bani Hasyim dan Bani Umayyah sering terjadi pertentangan dan persaingan. Selain karena Bani Umayyah berasal dari golongan hartawan, mereka pun menjadi penentang kuat dakwah Rasulullah SAW. Sedangkan Bani Hasyim merupakan pendukung utama Rasulullah dalam menjalankan dakwahnya.
Setelah pemerintahan Islam berada dibawah kekuasaan Bani Umayyah, keluarga Bani Hasyim adalah adalah pihak yang paling banyak dirugikan. Bani Umayyah mengubah sistem pengalihan
kekuasaan Islam yang demokratis menjadi dinasti turun temurun, terlebih lagi perlakuan para penguasa Bani Umayyah terhadap Ali bin Abi Tholib dan keturunannya yang sangat diskriminatif. Oleh karena itu maka beberapa tokoh dari keturunan Abbas sangat berambisi untuk merebut kekuasaan dari Bani Umayyah
2. Perintis dan pendiri Dinasti Abbasiyyah (Daulah Abbasiyyah)
Dinasti Abbasiyah berdiri 132 H/750 M melalui perjuangan dan proses yang sangat panjang dan berliku. Ada enam tokoh perintis dan pendiri Dinasti Abbasiyah yaitu :
a). Ali bin Abdullah b). Muhammad bin Ali c). Ibrahim bin Muhammad d). Abu Abbas As Safah
e). Abu Ja,far Al Manshur f. Abu Muslim Al Khurasani
Sebelum Dinasti Umayyah runtuh, Bani Abbasiyyah telah memposisikan diri sebagai oposisi yang menyebarkan propaganda anti pemerintahan Dinasti Umayyah. Gerakan ini tidak hanya datang dari Bani Abbas tetapi juga dari Kaum Syi’ah yang ingin menuntut balas atas terbunuhnya Imam Husain bin Ali di Karbala secara keji, dan kaum Mawalli yang menuntut hak, persamaan dan keadilan dari pemerintahan Dinasti Umayyah.
Pemimpin gerakan dakwah ini adalah Ali bin Abdullah bin Abbas, ia sangat berambisi merebut kekuasaan dari Dinasti Umayyah. Untuk mewujudkan keinginannya ia melakukan taktik dan strategi yang lama namun pasti. Ia berpendapat bahwa pemindahan kekuasaan dari satu kelompok ke kelompok yang lain harus mendapat dukungan dari seluruh rakyat. Ali bin Abdullah bin Abbas melakukan propaganda ini kepada masyarakat luas. Untuk mendapatkan simpati masyarakat maka Ali bin Abdullah meminta pendukungnya untuk mengajak seluruh lapisan masyarakat agar membantu keluarga Rasulullah SAW yang telah
diperlakukan tidak adil selama pemerintahan Bani Umayyah. Namun sayang, sebelum mewujudkan cita-citanya beliau wafat pada tahun 124H/
742M. Setelah Ali bin Abdullah wafat kemudian diganti oleh anaknya yaitu Muhammad bin Ali. Namun sayang, sebelum Dinasti Abbasiyah terbentuk Muhammad bin Ali telah meninggal pada tahun 127H/ 745M . Ia melakukan usaha propaganda anti pemerintahan Dinasti Umayyah sebagaimana yang telah dilakukan ayahnya. Muhammad bin Ali memperluas gerakan Dinasti Abbasiyah dan menetapkan tiga kota sebagai pusat gerakan. Ketiga kota itu adalah al-Humaymah sebagai pusat perencanaan dan organisasi, Kuffah sebagai kota penghubung dan Khurasan sebagai pusat gerakan praktis.
Kuffah dan Khurasan dianggap sebagai tempat yang strategis, karena banyak dihuni oleh masyarakat muslim non-Arab yang merasa tidak puas dengan pemerintahan DinastiUmayyah yang memperlakukan mereka secara tidak adil. Usahanyabenar-benar mendapat dukungan kuat dari masyarakat muslim non-Arab.
Sepeninggal Muhammad bin Ali kemudian dilanjutkan oleh anaknya yaitu Ibrahim aI-Imam. Ia juga melakukan propaganda anti DinastiUmayyah. Ia menunjuk seorang khurasan sebagai panglima perangnya, yaitu Abu Muslim al-Khurasani. Abu Muslim al-Khurasani adalah seorang pemuda yang menampilkan bakat kepemimpinan dan keberanian yang luar biasa. Padahal, waktu ia dijemput sebagai panglima perang oleh Ibrahim Al-Imam ia baru berusia 19 tahun. Ia mencapai sukses besar di Khurasan, ia berhasil menarik simpati sebagian besar penduduk.
Banyak tuan tanah di persia yang mengikutinya, ia berkampanye untuk memunculkan rasa kebersamaan diantara golongan Alawiyyin (keturunan Ali), golongan syi’ah dan orang-orang Persia untuk menentang Dinasti Umayyah yang telah menindas mereka. Abu Muslim al-Khurasani mengajak mereka bekerja sama dengan gerakan Abbasiyah untuk mengembalikan kekhalifahan kepada golongan Bani Hasyim, baik dari keturunan Abbas bin Abdul Mutholib maupun dari keturunan Ali bin Abi Thalib.
Sebelum Abu Muslim Al-Khurasani diangkat sebagai panglima perang, gerakan dakwah dilakukan secara diam-diam. Para da’i dikirim keberbagai penjuru wilayah Islam dengan menyamar sebagai pedagang atau jama’ah haji. Hal itu dilakukan karena belum berani melawan Dinasti Umayyah secara terang-terangan. Setelah Abu Muslim al-Khurasani diangkat sebagai panglima, Ibrahim Al-Imam mendorong Abu Muslim untuk merebut khurasan dan menyingkirkan orang-orang Arab yang mendukung Dinasti Umayyah. Rencana ini diketahui oleh penguasa Dinasti Umayyah. Melihat kondisi tersebut khalifah Marwan II, khalifah terakhir Dinasti Umayyah menganggapnya sebagai ancaman. Ia mengirim pasukan untuk menangkap Ibrahim AlImam lalu diasingkan dan dibunuh tahun 128H/ 746M.
Penangkapan terhadap Ibrahim Al-Iman telah membangkitkan kemarahan saudaranya yaitu Abu Abbas as-Saffah dan Abu Ja’far al- Mansur. Pada tahun 129H/ 747M. Mereka dibantu oleh Abu Muslim al- Khurasani melakukan pemberontakan dan penyerangan dikota-kota penting DinastiUmayyah. Abu Muslim al-Khurasani segera memulai gerakannya.
Dengan pandai ia memanfaatkan pertentangan antara suku Arab Qaisy dan suku Arab Yaman yang sudah berlangsung lama. Pada masa itu orang-orang Yaman mendapat kedudukan yang baik dari Khurasan. Hal itu disebabkan Gubernur Khurasan saat itu berasal dari suku arab Yamani yaitu As’ad bin Abdullah al-Qasri. Pada waktu Abu Muslim al-Khurasani memulai gerakannya, gubernur Khurasan di jabat oleh Nasr bin Sayyar berasal dari suku Arab Qaisy. Abu Muslim al-Khurasani mendekati al-Kirmani, pemimpin suku Arab Yamani di Khurasan. Dengan siasat adu domba gubernur Nasr bin Sayyar berhasil dikalahkan.
Sementara itu Kahtaba danAbu Muslim al-Khurasani maju ke sebelah barat, ia didampingi oleh Khalid bin Barmak. Mereka menyeberangi sungai eufrat dan sampai ke medan karbala. Pertempuran dahsyat pun berkobar.
Gubernur Dinasti Umayyah yang bernama Yazid berhasil dikalahkan.
Namun Kahtaba gugur dalam pertempuran itu. Dibagian timur, tentara Dinasti Abbasiyah terus bergerak maju. Putra khalifah Marwan dikalahkan Abu Ayun, Seorang panglima Dinasti Abbasiyah. Khalifah Marwan II
akhirnya memimpin langsung usaha terakhir untuk mempertahankan Dinastinya. Ia menggerakkan 120.000 tentara menyeberangi sungai tigris serta maju menuju Zab Hulu atau Zab Besar.
Akhirnya khalifah Marwan II terkepung dikota Damaskus, namun ia berhasil melarikan diri ke Yordania lalu ke Palestina, pemberontak terus mengikutinya dan menaklukkan setiap kota kedalam kekuasaan Bani Abbasiyah. Tidak ada lagi tempat baginya untuk melarikan diri selain Mesir, yang kebanyakan penduduknya tidak menyukai DinastiUmayyah akibat kekejaman dan ketidakadilan yang mereka terima. Akibatnya, Khalifah Marwan II dihadang oleh pasukan Abbasiyah yang dikirim oleh Abu Abbas as-Saffah. Pada tahun 132H/ 750M, Khalifah Marwan II ditangkap dikota kecil yaitu al-Askar sebelah timur kota Fustath ibu kota Mesir saat itu. Kepalanya dipenggal lalu dikirim kepada Abu Abbas sebagai bukti kekalahan musuhnya.
Dengan terbunuhnya Khalifah Marwan II, maka berakhirlah kekuasaan Dinasti Umayyah di Damaskus dan berdirilah Daulah Abbasiyah dengan khalifah pertama Abu Abbas as- Saffah yang memerintah tahun 132-136H/
750-754M. Abu Abbas as-Saffah di baiat sebagai khalifah di masjid Kuffah.
B. Pola Pemerintahan Dianasti Abbasiyyah
Pemerintahan Dinasti Abbasiyah selalu dinisbatkan kepada paman Nabi Muhammad, yakni al-Abbas bin Abdul Muthalib. Sedangkan kekhalifahan pertama dari pemerintahan Abbasiyah dimulai oleh Abdullah bin al-Saffah bin Muhammad bin Ali bin Abdullah bin Abbas bin Abdul Muthalib. Dinasti Abbasiyah berkuasa selama lima abad, yakni dari tahun 132-656 H (750-1258) M). Bagi kalangan bani Hasyim, setelah Rasulullah wafat yang paling berhak berkuasa adalah keturunan beliau.
Sebelum berdirinya Dinasti Abbasiyah terdapat tiga poros utama yang merupakan pusat kegiatan, antara satu dengan yang lain memiliki kedudukan tersendiri dalam memainkan peranannya untuk menegakkan kekuasaan keluarga besar paman Rasulullah. Dari nama al-Abbas paman Rasulullah inilah nama ini disandarkan pada tiga poros pusat kegiatan, yakni Humaimah, Kufah,
Khurasan. Humaimah merupakan tempat yang tentram, di tempat inilah keluarga Bani Hasyim bermukim dan bertempat tinggal para petingginya berjumlah seratus orang di bawah para pimpinannya yang berjumlah dua belas orang dengan puncak kepemimpinannya ada pada al-Imam Muhammad bin Ali.
Propaganda Bani Abbasiyah dilaksanakan dengan strategi yang cukup matang sebagai gerakan rahasia. Akan tetapi, Imam Ibrahim pemimpin Abbasiyah yang berkeinginan mendirikan kekuasaan Abbasiyah, gerakannya diketahui oleh Khalifah Umayyah terakhir Marwan bin Muhammad. Ibrahim akhirnya ditangkap oleh pasukan Dinasti Umayyah dan dipenjara di Haran sebelum akhirnya dieksekusi. Ia mewariskan kedudukannya kepada adiknya Abul Abbas ketika ia tahu bahwa dirinya akan terbunuh, dan memerintahkan untuk berpindah ke Kufah. Sedangkan pemimpin propaganda diberatkan kepada Abu salamah.\
Penguasa Umayyah di Kufah, Yazid bin Umar bin Hubairah, ditaklukkan oleh Abbasiyah dan diusir ke Wasit. Abu Salamah selanjutnya berkemah di Khufa yang telah ditaklukan pada tahun 132 H. Abdullah bin Ali, salah seorang paman Abul Abbas diperintahkan untuk mengejar Khalifah Umayyah Terakhir, Marwan bin Muhammad bersama pasukannya yang melarikan diri, di mana akhirnya dapat di taklukkan di dataran rendah sungai Zab. Pengejaran pun dilanjutkan ke Mausul, Haran dan menyeberangi sungai Eufrat hingga sampai ke Damaskus. Khalifah itu melarikan diri hingga ke Mesir dan terbunuh di Busir, wilayah al-Fayyum, dibawah pimpinan Salih bin Ali, seorang paman al- Abbas yang lain. Dengan demikian, maka tumbanglah kekuasaan Dinasti Umayyah, lalu berdirilah kekuasaan Dinasti Abbasiyah.
Pada periode pertama pemerintahan Bani Abbasiyah mencapai masa keemasan. Secara politis para khalifah betul-betul tokoh yang kuat dan merupakan pusat kekuasaan politik sekaligus agama. Di sisi lain kemakmuran masyarakat mencapai tingkat tertinggi, periode ini juga berhasil menyiapkan landasan bagi perkembangan filsafat dan ilmu pengetauan dalam Islam
Perdaban dan perkembangan kebudayaan islam tumbuh dan berkembang bahkan mencapai kejayaan pada masa Abbasiyah. Hal tersebut dkarenakan Dinasi Abbasiyah pada periode tersebut lebih menekankan pembinaan kebudayaan dan peradaban Islam daripada peluasan wilayah. Dan disinilah letak perbedaan pokok antara Dinasti Abbasiyah dan Dinasti Umayyah.
Puncak kejayaan Dinasti Abbasiyah terjadi pada masa Khalifah Harun ar- Rasyid (786-809 M). Dan anaknya al-Ma’mun (813-833 M). ketika ar-Rasyid memerintah, negara dalam keadaan makmur, kekayaan melimpah, keamanan terjaminwalaupun ada juga pemberontakan, dan luas wilayahnya mulai dari Afrika Utara hngga ke India.
Salah satu yang berkebang dalam masa kejayaan Islam Dinasti Abbasiyah ialah kemajuan dalam ilmu pengetahuan dan filsafat. Itu semua terbukti dari beberapa penyusunan buku yang dilakukan pada masa tersebut dan juga ilmu penerjemahan.
Setelah sekian lama mengalami kejayaan Dinasti Abbasiyah akhirnya mengalami kemunduran pada tahun 1258 M. Semua bangunan kota serta istana emas milik Dinasti Abbasiyah runtuh sebab serangan Mongol. Meruntuhkan perpustakaan yang merupakan gudang Ilmu, dan membakar semua buku-buku yang ada di dalamnya. Dan pada tahun 1400 M. kota tersebut diserang pula oleh pasukan Timur Lenk dan pada tahun 1508 M. oleh tentara kerajaan Safawi.
Setelah terjadinya serangan Mongol, khalifah pun kembali ke Baghdad bersama dengan Ibnu al-Alqami dan Nashiruddin al-Thusi. Di bawah rasa takut dan tekanan yang hebat khalifah pun mengeluarkan emas, perak, dan barang- barang berharga lainnya untuk diberikan kepada pasukan Mongol. Akan tetapi, sebelumnya Ibnu al-Alqami dan Nashiruddin al-Thusi membisiki pasukan Mongol untuk tidak menerima tawaran perdamaian dari Khalifah.
Tatkala Khalifah kembali dengan membawa barang-barang yang banyak.
Namun justru pasukan Mongol mengintruksikan untuk mengeksekusi khalifah.
Dengan demikian, pada hari Rabu tanggal 14 Safar, terbunuhlah Khalifah al-
Mu’tashim Billah. Dalang dibalik terbunuhnya khalifah adalah Ibnu al-Alqami dan Nashiruddin al-Thusi.
Bersamaan dengan gugurnya khalifah, pasukan Mongol pun menyerbu masuk ke Baghdad tanpa perlawanan yang berarti sehingga jatuhlah kota tersebut. Dilaporkan bahwa jumlah orang yang tewas kala itu adalah dua juta jiwa. Tidak ada yang selamat kecuali kaum Yahudi, kaum Nasrhani, orang- orang yang meminta perlindungan kepada pasukan Mongol, orang-orang yang berlindung di rumah Ibnu al-Alqami, serta pasukan konglomerat yang membagi-bagikan harta mereka kepada pasukan Mongol.
Demikianlah akhir dari perjalanan dinasti yang pernah membawa Islam Berjaya pada masanya. Kejayaannya bahkan mampu mengalahkan kejayaan Eropa.
C. Ekspansi Wilayah Dinasti Abbasiyyyah
Pada masa pemerintahan dinasti Abbasiyah, luas wilayah kekuasaan Islam semakin bertambah, meliputi wilayah yang telah dikuasai Bani Umayyah, antara lain Hijaz, Yaman Utara dan Selatan, Oman, Kuwait, Irak, Iran (Persia), Yordania, Palestina, Lebanon, Mesir, Tunisia, Al-Jazair, Maroko, Spanyol, Afganistan dan Pakistan, dan meluas sampai ke Turki, Cina dan juga India.
Khalifah Al-Manshur berusaha menaklukan kembali daerah-daerah yang sebelumnya membebaskan diri dari pemerintah pusat, dan memantapkan keamanan di daerah perbatasan. Di antara usaha-usaha tersebut adalah merebut benteng-benteng di Asia, kota Malatia, wilayah Coppadocia, dan Cicilia pada tahun 756-758 M. Ke utara, bala tentaranya melintasi pegunungan Taurus dan mendekati selat Bosporus.
Di pihak lain, dia berdamai dengan kaisar Constantine V dan selama genjatan senjata 758-765 M, Bizantium membayar upeti tahunan. Bala tentaranya juga berhadapan dengan pasukan Turki Khazar di Kaukasus, Daylami di laut Kaspia, Turki di bagian lain Oksus dan India.
D. Peradaban Islam Pada Masa Dinasti Abbasiyyah
Masa pemerintahan Dinasti Abbasiyah merupakan masa kejayaan Islam dalam berbagai bidang, khususnya dalam bidang ilmu pengetahuan dan kebudayaan. Pada zaman ini, umat Islam telah banyak melakukan kajian kritis terhadap ilmu pengetahuan, yaitu melalui upaya penterjemahan karya-karya terdahulu dan juga melakukan riset tersendiri yang dilakukan oleh para ahli.
Kebangkitan ilmiah pada zaman ini terbagi di dalam tiga lapangan, yaitu : kegiatan menyusun buku-buku ilmiah, mengatur ilmu-ilmu Islam dan penerjemahan dari bahasa asing.
Setelah mencapai kemenangan di medan perang, tokoh-tokoh tentara membukakan jalan kepada anggota-anggota pemerintahan, keuangan, undang- undang dan berbagai ilmu pengetahuan untuk bergiat di lapangan masing- masing. Dengan demikian munculah pada zaman itu sekelompok penyair- penyair handalan, filosof-filosof, ahli-ahli sejarah, ahli-ahli ilmu hisab, tokoh- tokoh agama dan pujangga-pujangga yang memperkaya perbendaharaan bahasa Arab.
Banyak ahli dalam bidang-bidang ilmu pengetahuan, seperti; filsafat.
Filosuf terkenal saat itu antara lain adalah Al-Kindi (185-260 H/801-873 M).
Abu Nasr al Faraby (258-339 H/870-950 M), yang menghasilkan karya dalam bentuk buku berjudul Fusus al-Hikam, Al-Mufarriqat, Ara’u ahl al-Madinah al-Fadhilah. Selain mereka, juga ada Ibnu Sina(370-428 H/980-1037 M), Ibnu Bajjah (w. 533 H/1138 M), diantara karyanya adalah Risalatul Wada’, akhlak, kitab al-Nabat, Risalah al-Ittishal al-‘Aql bil Ihsan, Tadbir al-Mutawahhid, kitab al-Nais, Risalah al-Ghayah al-Insaniyah, Al-Ghazali (1059-1111 M), Ibnu Rusyd (520-595 H/1126-1196 M), dan lain-lain. Selain filsafat, juga terjadi perkembangan dan kemajuan dalam bidang Ilmu Kalam atau Teologi.
Diantara tokoh-tokohnya adalah Washil bin Atha, Baqillani, Asyary Ghazali, Sajastani, dan lain-lain.
Adapun bentuk-bentuk peradaban Islam pada masa daulah Bani Abbasiyah adalah sebagai berikut :
a). Kota-Kota Pusat Peradaban
Di antara kota pusat peradaban pada masa dinasti Abbasiyah adalah Baghdad dan Samarra. Baghdad merupakan ibu kota negara kerajaan Abbasiyah yang didirikan Kholifah Abu Ja’far Al-Mansur (754-775 M) pada tahun 762 M. Sejak awal berdirinya, kota ini sudah menjadi pusat peradaban dan kebangkitan ilmu pengetahuan. Ke kota inilah para ahli ilmu pengetahuan datang beramai-ramai untuk belajar. Sedangkan kota Samarra terletak di sebelah timur sungai Tigris, yang berjarak +60 km dari kota Baghdad. Di dalamnya terdapat 17 istana mungil yang menjadi contoh seni bangunan Islam di kota-kota lain.
b). Bidang Pemerintahan
Pada masa Abbasiyah I (750-847 M), kekuasaan kholifah sebagai kepala negara sangat terasa sekali dan benar seorang kholifah adalah penguasa tertinggi dan mengatur segala urusan negara. Sedang masa Abbasiyah II 847-946 M) kekuasaan kholifah sedikit menurun, sebab Wazir (perdana mentri) telah mulai memiliki andil dalam urusan negara. Dan pada masa Abbasiyah III (946-1055 M) dan IV (1055-1258 M), kholifah menjadi boneka saja, karena para gubernur di daerah-daerah telah menempatkan diri mereka sebagai penguasa kecil yang berkuasa penuh. Dengan demikian pemerintah pusat tidak ada apa-apanya lagi.
Dalam pembagian wilayah (propinsi), pemerintahan Bani Abbasiyah menamakannya dengan Imaraat, gubernurnya bergelar Amir/
Hakim. Imaraat saat itu ada tiga macam, yaitu ; Imaraat Al-Istikhfa, Al- Amaarah Al-Khassah dan Imaarat Al-Istilau. Kepada wilayah/imaraat ini diberi hak-hak otonomi terbatas, sedangkan desa/ al-Qura dengan kepala desanya as-Syaikh al-Qoryah diberi otonomi penuh.
Selain itu, dinasti Abbasiyah juga telah membentuk angkatan perang yang kuat di bawah panglima, sehingga kholifah tidak turun langsung dalam menangani tentara. Kholifah juga membentuk Baitul Mal/ Departemen Keuangan untuk mengatur keuangan negara khususnya. Di samping itu juga kholifah membentuk badan peradilan, guna membantu kholifah dalam urusan hukum.
c). Bangunan Tempat Peribadatan dan Pendidikan
Di antara bentuk bangunan yang dijadikan sebagai lembaga pendidikan adalah madrasah. Madrasah yang terkenal saat itu adalah Madrasah Nizamiyah, yang didirikan di Baghdad, Isfahan, Nisabur, Basrah, Tabaristan, Hara dan Musol oleh Nizam al-Mulk seorang perdana menteri pada tahun 456 – 486 H. selain madrasah, terdapat juga Kuttab, sebagai lembaga pendidikan dasar dan menengah, Majlis Muhadhoroh sebagai tempat pertemuan dan diskusi para ilmuan, serta Darul Hikmah sebagai perpustakaan.
Di samping itu, terdapat juga bangunan berupa tempat-tempat peribadatan, seperti masjid. Masjid saat itu tidak hanya berfungsi sebagai tempat pelaksanaan ibadah sholat, tetapi juga sebagai tempat pendidikan tingkat tinggi dan takhassus. Di antara masjid-masjid tersebut adalah masjid Cordova, Ibnu Toulun, Al-Azhar dan lain sebagainya.
d). Bidang Ilmu Pengetahuan
Ilmu pengetahuan pada masa Daulah Bani Abbasiyah terdiri dari ilmu naqli dan ilmu ‘aqli. Ilmu naqli terdiri dari Ilmu Tafsir, Ilmu Hadits Ilmu Fiqih, Ilmu Kalam, Ilmu Tasawwuf dan Ilmu Bahasa. Adapaun ilmu
‘aqli seperti : Ilmu Kedokteran, Ilmu Perbintangan, Ilmu Kimia, Ilmu Pasti, Logika, Filsafat dan Geografi.