• Tidak ada hasil yang ditemukan

KEL 2 HTN HES4D

N/A
N/A
Nizar Nashrullah

Academic year: 2024

Membagikan "KEL 2 HTN HES4D"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

WILAYAH NEGARA INDONESIA, GARIS BESAR REFORMASI HUKUM DAN PERUBAHAN SISTEM KETATANEGARAAN INDONESIA SETELAH

PERUBAHAN UUD 1945

M.Hafidz Mahzumi1, Muhammad Nizar Nashrullah2, Zumrotun Najiyah3, Arthur Rama Chesya Yuniar Putra4

[email protected] ,1 [email protected]2 , [email protected]3 , [email protected]4

(2)

Wilayah Negara Indonesia

A. Latar Belakang Wilayah Indonesia

Batas dibedakan dalam dua hal utama, yaitu fungsi batas, dan bentuk batas (fisik).

Batas secara fungsional merupakan manifestasi daripada suatu sistem yang berkaitan dengan adanya diferensiasi antara hak dan kewajiban dalam suatu tatanan lingkungan. Pada dasarnya yang menjadi objek dalam tatanan lingkungan yang menimbulkan perbedaan hak dan kewajiban adalah wilayah.

Secara fungsional, pada umumnya garis batas dimaksudkan untuk memisahkan beberapa hak dan kewajiban masyarakat, anggota masyarakat ataupun negara atas suatu wilayah. Garis batas merupakan identifikasi adanya hak dan kewajiban itu. Hak dan kewajiban tersebut dapat timbul berdasarkan hubungan hukum kelompok sosial masyarakat (adat) dengan wilayahnya, seperti misalnya lingkungan masyarakat hukum adat.

Di laut tidak dikenal batas berkaitan dengan hak-hak hukum adat, meskipun hak-hak tradisional menangkap ikan itu ada. Hal tersebut disebabkan karena selain batas konkrit tidak pernah jelas, juga tidak pernah sesuai dengan batas yang di klaim masyarakat adat lainnya.

Hak-hak tradisional diperairan negara lain yang kemudian melibatkan hak dan kewajiban negara itu dapat diterima sebagai hak-hak tradisional yang sah oleh negara tersebut, akan tetapi lingkungannya diberi batas-batas serta ketentuan-ketentuan lainnya yang membatasi hak-hak tradisional tersebut. Hal tersebut dapat 2 dilihat pada kedua perjanjian RI-Australia Tahun 1974 di laut Timor dan RI-Malaysia Tahun 1983 di laut Natuna.

Garis batas harus dibuat menurut landasan hukum yang jelas, dan sebaliknya pembuatan garis batas senantiasa akan menimbulkan akibat hukum, yaitu hak dan kewajiban bagi kedua belah pihak. Batas-batas wilayah negara merupakan disiplin ilmu hukum yang telah lama berkembang, setidaknya sejak konperensi kodifikasi hukum laut di Den Haag pada tahun 1930. Pada saat itu sudah nampak kecenderungan masyarakat bangsa-bangsa yang beritikad baik, yaitu untuk membatasi dirinya dalam ekspansi wilayahnya ke laut. Garis pangkal Kepulauan yang terbentuk sejak Konvensi Hukum Laut tahun 1982, bukanlah suatu bentuk produk hukum yang tumbuh secara mendadak dan eksklusif, tetapi merupakan kumulasi 5 pertumbuhan hukum secara bertahap. Pelanggaran terhadap hak dan kewajiban tersebut (bukan pelanggaran batas itu an sich) dapat dikenai sanksi, mulai dari sanksi yang ringan sampai kepada sanksi yang berat, sesuai dengan kedudukan garis batas tersebut serta bentuk pelanggaran yang dibuatnya.

(3)

B. Konsep Batas Laut dalam Kemelut Konflik Pada Masa Kemerdekaan

Dengan menggunakan ’Asas Archipelago’ sebagai dasar hukum laut Indonesia, maka Indonesia akan menjadi negara kepulauan atau ’Archipelagic State’ yang merupakan suatu eksperimen radikal dalam sejarah hukum laut dan hukum tata negara di dunia. Dalam sidangnya tanggal 13 Desember 1957 akhirnya Dewan Menteri memutuskan penggunaan

’Archipelagic state Principle’ dalam tata hukum di Indonesia, yaitu dengan dikeluarkannya

’Pengumuman Pemerintah mengenai Perairan Negara Republik Indonesia’. Dalam pengumuman ini pemerintah menyatakan bahwa semua perairan di sekitar, di antara, dan yang menghubungkan pulau-pulau atau bagian pulau-pulau yang termasuk daratan Negara Republik Indonesia, dengan tidak memandang luas atau lebarnya adalah bagian dari wilayah daratan Negara Republik Indonesia dan dengan demikian merupakan bagian dari perairan nasional yang berada di bawah kedaulatan mutlak Negara Republik Indonesia.

Lalu-lintas yang damai di perairan pedalaman ini bagi kapal-kapal asing dijamin selama dan sekadar tidak bertentangan dengan dan/ atau mengganggu kedaulatan dan keselamatan negara Indonesia. Batas laut teritorial Indonesia yang sebelumnya 3 mil diperlebar menjadi 12 mil diukur dari garis yang menghubungkan titiktitik ujung terluar pada pulau-pulau dri wilayah negara Indonesia pada saat air laut surut.[25]

Dengan keluarnya pengumuman tersebut maka wilayah Indonesia menjadi suatu kesatuan antara pulau-pulau dan laut-laut yang menghubungkan antara pulau-pulau itu.

Dengan demikian wilayah Indonesia tidak terpisah-pisah lagi oleh laut antara satu pulau dengan pulau yang lainnya. Hal ini sesuai dengan bunyi Pengumuman Pemerintah tersebut yang menyatakan:[26] ’Bentuk geografi Indonesia sebagai suatu negara kepulauan yang terdiri dari beribu-ribu pulau mempunyai sifat dan corak tersendiri. Bagi keutuhan territorial dan untuk melindungi kekayaan negara Indonesia semua kepulauan serta laut terletak di antaranya harus dianggap sebagai suatu kesatuan yang bulat’.

C. Reaksi Internasional

Setelah Dewan Menteri pada malam tanggal 13 Desember 1957 bersidang untuk memutuskan Pengumuman Pemerintah mengenai Wilayah Perairan Negara Republik Indonesia, maka pada esok harinya pengumuman tersebut disebarluaskan melalui pers dan radio baik di dalam maupun di luar negeri. Reaksi yang keras bisa diduga terutama berasal dari luar negeri. Banyak komentar yang pedas melalui siaran radio dan pers ditujukan kepada pemerintah RI. Bahkan mulai tanggal 30 Desember 1957 mengalir nota protes diplomatik

(4)

dari negara-negara maritim besar melalui Departemen Luar Negeri RI. Nota protes diplomatik itu bersal dari Amerika Serikat (tanggal 30 Desember 1957), Inggris (3 Januari 1958), Australia (3 Januari 1958), Belanda (3 Januari 1958), Perancis (8 Januari 1958), dan Selandia Baru (11 Januari 1958).[28]

Reaksi dan protes keras dari berbagai negara besar tersebut sudah diperhitungkan oleh pemerintah Indonesia. Hal inipun sudah dicantumkan dalam pengumuman bahwa: ’Pendirian pemerintah tersebut akan diperhatikan dalam konperensi internasional mengenai hak-hak atas lautan yang akan diadakan dalam bulan Februari 1958 di Jenewa’.[29] Oleh sebab itu sebetulnya Indonesia sudah siap mental menghadapi kecaman baik lewat media massa maupun lewat nota protes diplomatik. Bahkan pemerintah Indonesia sudah siap berdebat dalam forum internasional dalam Konperensi Hukum Laut Internasional di Jenewa tanggal 24 Februari hingga 27 April 1958.

Dari pernyataan di atas bahwa konsep batas wilayah negara yang digunakan oleh pemerintah Indonesia bukan merupakan warisan dari pemerintah kolonial Hindia Belanda.

Konsep ‘tanah air’, ‘tanah tumpah darah’, ‘nusantara’ merupakan konsep-konsep yang reinvented dan reinterepreted dari konsep-konsep tradisional yang berakar dari sejarah Nusantara yang dilakukan oleh para tokoh nasionalis selama masa pergerakan nasional.

Kesadaran inilah yang mengondisikan mengapa proses dekolonisasi di bidang hukum laut (maritime law) lebih cepat bila dibandingkan dengan hukum lain seperti hukum pidana.

Cepatnya proses dekolonisasi hukum laut ini tidak dapat dipisahkan dari kebutuhan dan desakan aktual yang dialami oleh bangsa Indonesia dalam perjalanan sejarahnya semenjak proklamasi 17 Agustus 1945.

Konflik dan konfrontasi dengan Belanda selama perang kemerdekaan (1945-1949) dan disusul dengan konflik memperebutkan Papua Barat telah mendorong pemerintah Indonesia untuk segera melakukan dekolonisasi sistem hukum laut yang merupakan warisan kolonial Belanda. Hal ini dirasa perlu untuk segara dilakukan sebab hukum laut warisan Belanda (Ordonansi tahun 1939) memungkinkan Angkatan Laut Belanda untuk menggelar kapal-kapal perangnya di lautlaut di kepulaun Indonesia untuk mengepung daerah RI. Hal ini dimungkinkan karena laut teritorial milik Indonesia pada waktu itu (menurut Ordonansi tahun 1939) hanya 3 mil dari garis pantai pada waktu air surut. Pada waktu itu Angkatan Laut Indonesia tidak dapat berbuat banyak karena masih jauh ketinggalan jika dibandingkan dengan Belanda.

(5)

Garis Besar Reformasi Hukum

A. Penegakan Hukum dalam Era Demokrasi

Sebagaimana dikemukakan di atas, era reformasi adalah identik dengan era demokrasi, hanya yang dijumpai dalam kenyataan di lndonesia saat ini adalah merupakan demokrasi yang "kebablasan" sehingga berubah menjadi Sesuatu anarkhi, sebagaimana yang seringkali kita saksikan akhir-akhir ini bahwa kekuatan "massa" mengalahkan segala bentuk aturan hukum dalam pencapaian suatu tujuan. Ide demokrasi memang berasal dan negara Barat akan tetapi memiliki nilai-nilai yang bersifat universal, yaitu nilai-nilai kebebasan dan persamaan untuk bangsa lndonesia sudah tentu bertumpu pada asas kekeluargaan. Dengan demikian apabila berkenaan dengan nilai-nilai kebebasan dalam keluarga yang tidak terlepas dan kebebasan dan anggota keluarga yang lal dan luga berada dalam ruang hngkup keluarga sebagai kelompok' Nilai persamaan di Indonesia dlmaksudkan sebaga persamaan yang disesuaikan dengan kedudukan dan tanggung jawab dalam masyarakat dan negara.

B. Anaiisis Singkat Terhadap Proses Penegakan Hukum

Tidak dapat dipungkiri Indonesia sesungguhnya adalah penganut teori yang diajarkan oleh Hans Kelsen dengan stufen theon-nyaoleh karenanya disamping kita mengenal sumber hukum yang berlaku juga kita mengenal tata urutan perundang-undanga,r di Indonesia sebagaimana diatur dalam Ketetapan MPR Nomor IIIA4PW2000 tentang Sumber Hukum Dan Tata Urutan Perundangundangan yang didalam pasal 2 disebutkan tata urutan peraturan perundang- un dangan merupakan pedoman dalam pembuatan aturan hukum di bawahnya dan tata urutan peraturan perundang-undangan RI adalah :

1. UUD 1955

2. Ketetapan MPR RI 3. Undang-Undang

4. Peraturan Pemerrntah Pengganti Undang-undang 5. Peraturan Pemerintah

6. Keputusan Presiden 7. Peraturan Daerah

Perubahan Sistem Ketatanegaraan Indonesia Setelah Perubahan UUD 1945

UUD 1945 telah mengalami perubahan sebanyak empat kali, hal tersebut juga berdampak terhadap sistem ketatanegaraan negara Indonesia yang harus dirubah. Perubahan

(6)

terjadi dalam beberapa Lembaga negara, baik mengenai hubungan antar Lembaga negara, ataupun terkait pembubaran Lembaga negara yang telah ada.

Penambahan Lembaga negara setelah amandemen UUD 1945 misalnya Komisi Yudisial (KY), Mahkamah Konstitusi (MK), dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD).

Sedangkan Lembaga negara yang dibubarkan setelah amandemen UUD yaitu Dewan Pertimbangan Agung (DPA)1.

Perubahan terhadap UUD 1945 adalah salah satu tujuan utama dari reformasi, yang kemudian diselesaikan selama empat tahun berturut-turut melalui Sidang Tahunan MPR pada tahun 1999, 2000, 2001, dan 2002. Perubahan sistem peraturan undang- undangan Indonesia untuk menyesuaikannya dengan kondisi negara dan masyarakat Indonesia.

Dengan tambahan perubahan, UUD 1945 sebagai dasar hukum negara Indonesia diharapkan lebih sesuai dengan kebutuhan rakyat dan sesuai dengan kondisi saat ini. Karena UUD 1945 setelah perubahan dianggap lebih demokratis dibandingkan dengan versi sebelumnya.

Latar Belakang perubahan UUD 1945:

1. UUD 1945 membentuk struktur ketatanegaraan yang bertumpu pada MPR, yang sepenuhnya menerapkan kedaulatan rakyat. Hal ini menyebabkan institusi ketatanegaraan tidak memiliki checks and balances.

2. Undang-Undang Dasar 1945 memberikan presiden pemegang kekuasaan eksekutif atau kekuasaan yang sangat besar. Presiden memiliki kekuasaan eksekutif yang kuat dalam sistem UUD 1945, memiliki hak prerogatif seperti rehabilitasi dan kekuasaan legislatif karena dia memiliki kewenangan untuk membentuk Undang-undang.

3. Pasal-pasal UUD 1945 yang terlalu “fleksibel” dapat menghasilkan lebih dari satu interpretasi, atau berbagai interpretasi, seperti Pasal 7 UUD 1945 (sebelum diubah).

4. UUD 1945 terlalu banyak memberi Presiden kekuasaan untuk mengatur hal-hal penting dengan Undang-undang. Presiden juga memiliki kekuasaan legislatif untuk merumuskan undang-undang penting sesuai keinginannya.

Ketentuan konstitusi yang memuat aturan dasar tentang kehidupan yang demokratis, supremasi hukum, pemberdayaan rakyat, penghormatan hak asasi manusia, dan otonomi daerah tidak cukup mendukung dalam rumusan UUD 1945 tentang semangat penyelenggaraan negara.

1 Sri Warjiati, “Sistem Ketatanegaraan Indonesia Pasca Amandemen UUD 1945,” al-Daulah: Jurnal Hukum dan Perundangan Islam 2, no. 2 (October 1, 2012): 186.

(7)

Setelah perubahan, MPR saat ini hanya terdiri dari anggota DPR dan DPD. Anggota DPR mewakili kepentingan partai politik, dan anggota DPD mewakili kepentingan daerah di sekitarnya. Dengan demikian, tidak ada lagi “perintah kursi” untuk militer dan kelompok lainnya karena anggota MPR dipilih oleh rakyat.

Selain itu, perubahan yang terjadi pada sistem pemerintahan setelah perubahan jelas terlihat pada kekuasaan MPR. Sebelumnya MPR mempunyai kekuasaan yang tidak terbatas, namun sekarang diberikan kepada rakyat. perubahan juga mencabut kekuasaan Presiden untuk membuat undang-undang dan memberikan kekuasaan tersebut kepada DPR. Oleh karena itu jelas bahwa tujuan perubahan adalah untuk memperkuat posisi check and balance antara DPR sebagai lembaga legislatif dan presiden sebagai lembaga eksekutif.

Setelah amandemen UUD 1945, kewenangan yang dimiliki oleh MPR ini semakin kecil dan hamper tinggal setengahnya saja seperti yang tercantum dalam pasal 3 ayat 1, 2, dan 3 amandemen UUD 1945, yaitu :

1. Mengubah dan menetapkan UUD 1945.

2. Melantik preseden atau waki presiden.

3. Memberhentikan atau mencopot jabatan presiden /wakil presiden jika terbukti bersalah melakukan pelanggaran hukum seperti yang tercantum dalam pasal 7A.

Adanya MPR yang telah dirubah wewenang dan kedudukannya setelah amandemen UUD 1945 agar mendungkung diperkuatnya sistem pemerintahan presidensial Indonesia dan guna menciptakan suatu prinsip saling mengawasi dan mengimbangi (checks and balances) antar semua Lembaga negara, maka dari itu diperlukan Lembaga negara yang kkeudukannya seimbang dan sederajat/tidak ada Lembaga negara yang lebih tinggi.2

Setelah perubahan diterapkan, Presiden masih memiliki (hak veto), yaitu hak untuk membatalkan keputusan, ketetapan, rencana peraturan, dan undang-undang secara absolut.

Dengan demikian, Presiden dapat menolak setiap rancangan undang-undang yang sedang dibahas DPR. Dengan Dibentuknya Dewan Perwakilan Daerah adalah langkah pertama dalam reformasi lembaga legislatif setelah perubahan. Tujuan dari Dewan Perwakilan Daerah (DPD) adalah untuk memberikan kesempatan kepada masyarakat daerah untuk berpartisipasi secara aktif dalam pelaksanaan sistem pemerintahan. Konsep ini sejalan dengan konsep

2 Mahesa Rannie, "Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat, 2018..Pdf,” n.d., 4849.

(8)

otonomi daerah yang sudah ada. Namun kewenangan DPD sangat terbatas dibandingkan dengan DPR.3

Adanya MPR, DPR, dan DPD sebagai tiga Lembaga perwakilan di Indonesia ini kemudian menimbulkan kontra di kalangan masyarakat. DPR memiliki peran yang diperkuat, kedudukan MPR yang sekarang bukan lagi menjadi Lembaga tertinggi dalam suatu negara dan tugasnya tidak setiap hari atau jika diperlukan saja seperti mnemberhentika presiden maupun wakil presiden, kewenangan yang diberikan pada DPD juga sangat terbatas dalam hal legislasi, karena wewenang DPD hanya bisa mengajukan dan mengawasi undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan antara pusat dan daerah, pengelolaan sumberdaya alam dan sumber daya ekonomi.

Bukan hanya itu, kewenangan DPD yang semakin lemah, apalagi ditambah dengan tidak adanya kuasa atau wewenang untuk membentuk undang-undang yang berkaitan dengan pajak, agama dan Pendidikan. Bisa dikatakan DPD hanya bisa memberikan pertimbangan kepada DPR dan melakukan pengawasan terkait pembentukan undang-undang pajak, agama dan Pendidikan. DPD juga hanya bisa memberikan pertimbangan dan melakukan pengasawan terhadap DPR terkait dengan rancangan undang-undang tentang anggaran pendapatan dan belanja negara.4

Penutup

3 Tri Karyanti, “Sistem Ketatanegaraan Indonesia Sebelum dan Sesudah Amandemen” 3, no. 1 (2012).

4 Mahesa Rannie, "Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat, 2018..Pdf,” 4850.

(9)

Sejak dilakukannya amandemen terhadap UUD 1945 sepanjang tahun 1999 sampai 2002, struktur politik dan ketatanegaraan Indonesia mengalami perubahan yang sangat mendasar, termasuk perubahan sistem perwakilan di Indonesia. Setelah amandemen UUD 1945 sistem perwakilan di Indonesia terdiri dari tiga lembaga, yaitu MPR, DPR, dan DPD.

Kedudukan ketiga lembaga perwakilan ini secara jelas diatur dalam amandemen UUD 1945.

Masing-masing lembaga tersebut mempunyai tugas, fungsi, dan kewenangan tersendiri yang diatur pula dalam amandemen UUD 1945, termasuk MPR.

Kewenangan ketiga lembaga perwakilan tersebut berbeda satu sama lain dan ada perbedaannya dengan kewenangannya sewaktu UUD 1945 belum diamandemen, terutama MPR. Diantara ketiga lembaga perwakilan tersebut, kedudukan dan kewenangan MPR dalam struktur ketatanegaraan Indonesia pasca amandemen UUD 1945 yang paling banyak mengalami perubahan. Tidak lagi menjadi lembaga tertinggi negara dan wewenangnya tidak lagi “sekuat” pada saat UUD 1945 belum diamandemen. Semua ini merupakan konsekuensi dari diperkuatnya sistem pemerintahan presidensial Indonesia yang menerapkan checks and balances antar lembaga negara, sehingga kedudukan semua lembaga negara, termasuk lembaga perwakilan sejajar dan tidak ada yang lebih tinggi.

Daftar Pustaka

Karyanti, Tri. “Sistem Ketatanegaraan Indonesia Sebelum dan Sesudah Amandemen” 3, no. 1 (2012).

Mahesa Rannie, "Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat. 2018..Pdf,” n.d.

Warjiati, Sri. “Sistem Ketatanegaraan Indonesia Pasca Amandemen UUD 1945.” al-Daulah:

Jurnal Hukum dan Perundangan Islam 2, no. 2 (October 1, 2012).

Referensi

Dokumen terkait

Menurut UUD 1945 sistem pemerintahan Indonesia adalah presidensial, tetapi dalam praktinya menjadi parlementer, ini terjadi dalam system pemerintahan Indonesia kurun waktu ….

ketiga UUD 1945 yang sekaligus dimaksud untuk memperkuat dan mempertegas anutan sistem pemerintahan presidensial dalam UUD 1945. Dengan sistem pemilihan langsung

Adapun judul dari skripsi adalah “Pemikiran Politik Thomas Hobbes dan Konsep Presidensial di Indonesia berdasarkan UUD 1945 Sebelum Amandemen”.Skripsi ini menjelaskan salah satu

Selain materi amandemen UUD 1945 dan materi non-amandemen, dari hasil Sidang Tahunan MPR 2000 lalu juga dibahas mengenai Laporan tahunan lembaga tinggi negara (Presiden, DPR, BPK,

… MATERI: UUD'45 (ASLI) UUD'45 AMANDEMEN: Negara Hukum: Penjelasan UUD 1945: Pasal 1 ayat 3: Keanggotaan MPR : DPR utusan dearah, utusan golongan (pasal 2 ayat 1)Teks /

Dengan amandemen yang telah dilakukan oleh MPR (Pasal 1 ayat 2 UUD 1945), maka MPR tidak lagi memangku dan sepenuhnya melaksanakan Kedaulatan Rakyat. Ini berarti

10 Tahun 2004, Tap MPR tidak dimasukkan dalam tata urutan perundang-undangan, mengingat telah terjadi perubahan kewenangan MPR secara signifikan, pasca amandemen UUD

Kalau sebelum amandemen UUD 1945 kekuasaan membentuk undang- undang berada di tangan Presiden, maka sesudah amandemen UUD 1945 kekuasaan membentuk undang-undang berada