MAKALAH
KONSEP HADIS MUTAWATTIR
Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Analisis Sanad Dosen Pengampu : Mahfuddin. M.Ag
Disusun Oleh :
M. Arzaqi Nassani (30222001) Shifa Aulia (30222005)
Syafira
KELAS A PRODI ILMU HADIS
FAKULTAS USHULUDDIN ADAB DAN DAKWAH UIN K.H. ABDURRAHMAN WAHID PEKALONGAN
TAHUN 2024
PENDAHULUAN A. Latar Belakang
PEMBAHASAN
A. Hadis Mutawatir dan Pembagiannya
Mutawatir secara bahsa adalah bentuk isim fiil dari kata Al-Tawatur yang berarti At-Tatabuk yaitu ber turut-turut. Menurut ulama hadis, mutawatir yaitu Hadis yang diriwayatkan oleh orang banyak yang mustahil menurut adat mereka bersepakat untuk berbuat dusta. Ibnu al-Sahal mendefinisikan hadis mutawatir adalah ungkapan tentang kabar yang dinukilkan (diriwayatkan) oleh orang yang menghasilkan ilmu dengan kebenarannya secara pasti. Dan persyaratan ini harus terdapat secara berkelanjutan pada setiap tingkatan perawi dari awal sampai akhir.
Adapun pendapat dari ‘Ajjaj al-Khatib Yaitu hadis yang diriwayatkan oleh sejumlah perawi yang mustahil secara adat mereka akan bersepakat untuk melakukan dusta (yang diterimanya) dari sejumlah perawi yang sama dengan mereka, dari awal sanad sampai kepada akhir sanad, dengan syarat tidak rusak (kurang) perawi tersebut pada seluruh tingkatan sanad.1
Al-Fayumi berpendapat Mutawatir menurut bahasa berarti mutatabi, yang datang kemudian, yang beriringan atau yang berturut-turut sedangkan menurut istilah kabar yang didasarkan kepada panca indra, yang diberitakan oleh sejumlah orang, yang jumlah tersebut menurut adat kebiasaan tidak mungkin mereka bersepakat (lebih dahulu) atas dusta (dalam pemberitaannya itu). Dalam hal ini bisa dikatakan sebagai hadis mutawatir setidaknya ada empat syarat yang diperlukan:
Pertama, Berita yang ceritakan harus bersifat “mahsus” yang artinya para pemberita itu berpegangan pada panca indra mereka secara meyakinkan bukan menurut pendapatnya atau pemikirannya. Sehingga mereka ketika berkata: saya mendengar dari Nabi Saw., bersabda demikian, atau saya melihat Nabi Saw., berbuat demikian. Tetapi kalau mereka berkata menurut pendapatnya misalkan:
karena Nabi Saw., itu manusia, maka Nabi pun tentunya wafat dan akan menghadap kepada Allah Swt., hal yang demikian tidak berdasarkan atas panca inderanya tetapi
1 Suhartawan, Budi dan Muizzatul Hasanah, "Memahami Hadis Mutawatir Dan Hadis Ahad." Dirayah: Jurnal Ilmu Hadis 3.1 (2022), hal. 5.
lebih kepada pemikirannya. Walaupun logikanya benar. Sehingga apabila berpendapat seperti itu tidak bisa dikatakan sebagai kabar yang mutawatir. 2
Kedua, Jumlah para pemberita itu banyak sehingga menurut adat kebiasaan mereka tidak mungkin bersepakat lebih dahulu untuk berdusta memberitakan tersebut, dan pula tidak mungkin terjadi dengan tidak disengaja. Kriteria jumlah periwayat dikatakan banyak, terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama: Abū Tayyib berpendapat 4 orang (jumlah ini merupakan analog/qiyas dari jumlah saksi yang diperlukan hakim). Sementara Aşḥāb al-Syafi'i berpendapat 5 orang (jumlah ini merupakan analog/qiyas jumlah Nabi yang mendapat gelar Ulul Azmi). Ada Ulama yang berpendapat 7 orang (setara dengan jumlah orang dalam Ashab al- Kahfi). Ada pula yang berpendapat 12 orang, setara dengan jumlah sahabat yang terlibat dalam Ba'iah 'Aqabah I. Sebagian ulama berpandangan 20 orang, berdasar penafsiran dari Q. S al-Anfal: (65), yakni 20 orang mu`min yang tahan uji/sabar akan bisa mengalahkan 200 orang Kafir. Sementara ulama lain menetapkan 40 orang periwayat dengan menganalogkan dengan jumlah minimal untuk dijadikan penolong- penolong yang setia dalam menggapai tujuan tertentu, sebagaimana disebut dalam QS. Al-Anfal: (64). Menurut al-Suyūtī, pandangan yang dipegangi jumhur ulama hadis adalah 10 orang. Namun, meskipun para ulama telah menentukan angka-angka tertentu sebagai batas minimal, tetapi itu bukan acuan yang baku, keyakinan bahwa hadis itu meyakinkan, sebagai acuan kemutawatiran hadis.3
Terlepas dari tidak adanya kesepakatan dari para ulama hadis tentang kriteria jumlah periwayat masuk kategori banyak, karena variasi angka yang mereka tawarkan, namun secara keseluruhan adalah di atas 3 (batasan jama/plural) untuk angka Arab.
Ketiga, ada keseimbangan jumlah periwayat yang terlibat dalam periwayatan di setiap tabaqah-nya. Jumlah periwayat dalam tingkatan sahabat, tabi' in, dan tabi' tābi în jumlahnya banyak. Oleh karenanya, tidak bisa dikategorikan
2 Suhartawan, Budi dan Muizzatul Hasanah, "Memahami Hadis Mutawatir Dan Hadis Ahad." Dirayah: Jurnal Ilmu Hadis 3.1 (2022), hal. 6
3 Muhammad Alfatih Suryadilaga, "Ilmu Sanad Hadis." Yogyakarta: Idea Press Yogyakarta (2017), hal. 143
sebagai hadis mutawatir, ketika jumlah sahabat 6, tabi' in 2, dan tābi' tabi'în 7, karena jumlah tabi'in yang meriwayatkan hadis hanya 2 orang. Keseimbangan jumlah periwayat dalam tingkatan tidak bisa diartikan sebagai jumlah periwayat pada tiap tabaqah harus sama persis, tetapi lebih didasarkan pada jumlah periwayat dalam semua tingkatan masuk kategori banyak.4
Keempat, Menurut adat kebiasaan mereka tidak mungkin bersepakat untuk melakukan kebohongan secara bersama-sama. Seperti mereka (para perawi) yang datang dari daerah yang berbeda-beda, tidak saling mengenal, tidak pernah berkomunikasi antara satu dengan yang lain.5 Dan juga jumlah periwayat yang banyak dari setiap tingkatan tabaqahnya sehingga mustahil bagi mereka melakukan kedustaan secara berjamah.
Melihat penjelasan para ulama yang sangat detail, hadis mutawatir dibagi menjadi beberapa bagian, yaitu sebagai berikut :
Pertama, Mutawatir lafdzi adalah hadis-hadis yang lafadz-lafadz perawi itu sama, baik hukum maupun artinya (maknanya). Menurut Ibnu Hibban dan Al Hazimiy berpendapat bahwa hadis mutawatir sebagaimana definisi tersebut di atas tidak ada wujudnya. Sedangkan menurut Ibnu Sholah yang pendapatnya diikuti oleh Imam Nawawi bahwa hadis Mutawatir Lafdzi sedikit sekali dan sulit diberikan. Contohnya:
Siapa berbohong atas namaku (rasulullah Saw) dengan sengaja, maka dia menempati tempat duduknya dari neraka.
Akan tetapi ketika melihat hadis ini kita akan menemukan bahwa hadis mutawatir lafdzi tersebut ada lafadz-lafadz yang lain yang hampir sama bunyinnya.
Adapun di bawah ini ada sejumlah mukilah hadis-hadis yang berdusta atas nama Nabi Muhammad SAW.
4 Muhammad Alfatih Suryadilaga, "Ilmu Sanad Hadis." Yogyakarta: Idea Press Yogyakarta (2017), hal. 144
5Moh Jufriyadi Sholeh, "Telaah Pemetaan Hadis Berdasarkan Kuantitas Sanad." Bayan lin-Naas:
Jurnal Dakwah Islam 6.1 (2022), hal. 37.
Pertama, Hadis sesungguhnya berdusta atas namaku
Dari Al Mughirah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, ”Aku mendengar Nabi Muhammad Saw., bersabda, Sesungguhnya berdusta atas namaku tidak sama dengan berdusta atas nama orang lain. Siapa saja yang berdusta atas namaku dengan sengaja maka tempatilah tempat duduknya di neraka (Al-Bukhari no.
1209).
Kedua, Hadis ancaman berdusta atas nama nabi
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, ”Rasulullah Saw., bersabda, ”Siapa saja yang berdusta atas namaku secara sengaja, maka tempatilah tempat duduknya di neraka. Muttafaq ‘alaihi (Al-Bukhari dan Muslim, 2006, 4).
Hadis ini berbicara mengenai konsekuensi bahwa hadis ini telah dipalsukan pada zaman beliau dan telah terjadi kebohongan atas nama Rasulullah pada saat itu, sehingga beliau memberikan peringatan dan ancaman bagi orang yang berdusta atas namannya. Akan tetapi pendapat yang ini dianggap tidak memiliki alasan yang
historis, apalgi terkait pemalsuan hadis pada zaman Rasulullah yang mana itu tidak termuat di dalam kitab-kitab terkait dengan asbab al wurud.6
Muhammad ‘Ajjaj Al-Khatib juga menolak terjadinya pemalsuan Hadis pada zaman Rasulullah Saw. Menurutnya itu tidak mungkin terjadi, apalagi jika dilakukan oleh para sahabat, sangat tidak logis. Ia menggambarkan bagaimana perjuangan para sahabat mendampingi Rasulullah Saw, berkorban dengan harta dan jiwa demi tegaknya agama Allah Swt, serta menghadapi berbagai ujian. Disamping itu para sahabat hidup dibawah bimbingan Rasulullah Saw dan mereka menjalani hidup dengan penuh ketaqwaan dan wara’. Sehingga tidak mungkin jika ada salah seorang diantara mereka yang melakukan kebohongan atas nama Rasulullah Saw.
Kemudian ada juga yang menyebutkan bahwa pemalsuan terjadi pada masa sahabat terutama pada zaman khalifah Ali ibn Thalib Ra. Pada masa ini benih perpecahan mulai berkembang dan meluas, orang-orang Islam terpecah menjadi 3 golongan yaitu: golongan pendukung Ali (Shi’ah), golongan pendukung Muawiyah, dan golongan Khawarij.
Perbedaan antar golongan ini awalnya hanya berkisar pada masalah politik, lalu merambat ke bidang aqidah dan ibadah dengan memunculkan hadis dan mengatakan bahwa hadis tersebut berasal dari Rasululah Saw. Hadis palsu atau mawdu‘ adalah apa-apa yang disandarkan kepada Rasulullah Saw yang dibuat secara dusta, apa-apa yang tidak dikatakan, tidak diperbuat dan tidak ditaqrirkan oleh Rasulullah Saw. Para ulama pun menyepakati bahwa tidak halal meriwayatkan hadis mawdu‘ kecuali disertai dengan penjelasan tentang kemawdu‘an (kepalsuan) hadis tersebut.7
Kedua, Hadis mutawatir maknawi adalah suatu hadis yang lafadz serta maknanya berlain-lainnan, tetapi dapat diambil dari kumpulan satu makna yang global. Artinya dengan adanya beberapa hadis yang berlain-lainan lafadz maupun maknannya, tetapi dari bagian hadis tersebut dapat ditarik kesimpulan atau pengertian yang bersifat umum (global). Misalnya hadis-hadis mengenai
6Mohamad Najib, "Pergolakan Politik Umat Islam dalam Kemunculan Hadis Maudhu." Pustaka Setia (2001), hal. 49.
7 Suhartawan, Budi dan Muizzatul Hasanah, "Memahami Hadis Mutawatir Dan Hadis Ahad." Dirayah: Jurnal Ilmu Hadis 3.1 (2022), hal. 8.
mengangkat tangan apabila sedang berdoa. Hadis semacam ini berjumlah sekitar seratus. Semua hadis tersebut menerangkan hal mengangkat tangan ketika sedang berdoa, akan tetapi terdapat dalam beberapa kasus yang berbeda. Masing masing kasus tidak bersifat mutawatir, seperti dalam solat istisqo’, ketika shalat jum’at, ketika qunut dan selainnya. Ada satu kesamaan di antara kejadian–kejadian tersebut yaitu mengangkat tangan ketika berdoa.8
Ketiga, Hadis Mutawatir ‘Amaliy. Menurut M. Syuhudi Ismail menjelaskan bahwa Hadis mutawatir ‘amaliy adalah amalan agama (ibadah) yang dikerjakan oleh Rasulullah Saw., kemudian diikuti para sahabat, dilanjutkan oleh para tabi’in dan seterusnya diikuti oleh generasi demi generasi sampai saat ini.
Mutawatir ‘Amali yaitu hadis yang menyangkut perbuatan Rasulullah yang disaksikan dan ditiru tanpa perbedaan oleh banyak orang, kemudian juga dicontoh dan diperbuat tanpa perbedaan oleh orang banyak pada generasi-generasi berikutnya, yang dinyatakan dalam kaidah ilmu hadis yaitu Sesuatu yang diketahui dengan mudah bahwa ia dari agama dan telah mutawatir dikalangan umat islam bahwa Nabi Saw. mengajarkannya atau menyuruhnya atau selain dari itu. Dari hal itu dapat dikatakan soal yang telah disepakati. Contohnya, kewajiban memiliki wudlu pada waktu shalat, atau keharusan seseorang bersuci dari hadas kecil jika hendak melakukan shalat.9
B. Kitab- Kitab yang Memuat Hadis Mutawatir
Hadis mutawatir banyak dimuat dalam al-kutub al-tis'ah, Şahih al-Bukhari, Şahih Muslim, Sunan Abi Dawud, Sunan al-Nasa't, Sunan Ibn Majah, Sunan al- Turmużi, Sunan al-Darimi, Muwatta Imam Malik dan Musnad Ahmad bin Hanbal, bahkan dengan program CD Mausu'ah al-hadís al-Syarif tercatat ada 8. 193 hadis.
Itu berarti cukup banyak hadis yang bisa dikategorikan hadis mutawatir dalam al- kutub al-tis' ah, hanya saja kalau dibandingkan dengan yang Ahad, tetap saja jauh lebih banyak yang Ahad.
8 Moh Jufriyadi Sholeh, "Telaah Pemetaan Hadis Berdasarkan Kuantitas Sanad." Bayan lin-Naas:
Jurnal Dakwah Islam 6.1 (2022), hal. 39.
9 Muhammad Alfatih Suryadilaga, "Ilmu Sanad Hadis." Yogyakarta: Idea Press Yogyakarta (2017),
hal. 154.
Ada beberapa kitab yang disusun musannif-nya khusus memuat hadis mutawatir,di antaranya adalah al-Azhar al- Mutanasirah fial-Akhbari al- Mutawatirah, karya al-Suyūți (w.911H), Qatfual-Azhar, ringkasan al-Azhar(al- Suyūți), Nazmu al-Mutanasir min al-hadis al-Mutawatir, karya Muhammad Abdullah bin Ja'far al-Kattani (w. 1345 H), al-Fawa'id al-Mutakäsirah fi al-Akhbar al- Mutawatirah (al-Suyūți).10
C. Kedudukan Hadis Mutawatir
Mayoritas ulama berpendapat hadis mutawatir berfaedah sebagai ilmu dharuri, yaitu ilmu yang kebenarannya sudah pasti. Kedudukannya sama dengan keyakinan yang didapat melalui kesaksian langsung di lapangan, sehingga tidak ada alasan untuk menolaknya dan wajib mengamalkan petunjuk yang diperoleh darinya. Adapun yang perlu dikaji dalam hadis mutawatir adalah apakah jumlah perawi yang meriwayatkan itu sudah cukup atau belum, perawinya berdusta atau tidak, baik berdusta secara bersama atau secara sengaja, demikian pula keadaan yang melatarbelakangi berita tersebut, terutama apabila jumlah perawi banyak atau sedikit. 11
Hadis mutawatir juga memberikan kepastian (qathi), sehingga bagi orang-orang yang mengingkari hadis mutawatir dihukumi keluar dari agama islam (murtad). Murtad secara bahasa adalah kembali dari sesuatu kepada yang lain, sedangkan secara syariat adalah memutus islam dengan niat kufur atau mengucapkan kekufuran, atau berbuat kufur seperti sujud kepada berhala, baik itu tujuan mengolok-olok dan meyakini sang pencipta bersifat baru. Sedangkan dalam keterangan yang lain murtad adalah sebuah usaha seseorang yang menyatakan diri keluar dari islam. Orang islam yang mengingkari salah satu atau keseluruhan dari arkanul iman atau rukun iman yang enam, yang terdiri dari iman kepada Allah Swt., iman kepada malaikat-malaikat-Nya, iman kepada kitab-kitab-Nya, iman kepada rasul-rasul-Nya, iman kepada hari akhir, dan iman kepada qadha dan qadar.12
KESIMPULAN
10 Muhammad Alfatih Suryadilaga, "Ilmu Sanad Hadis." Yogyakarta: Idea Press Yogyakarta (2017), hal. 144.
11 Suhartawan, Budi dan Muizzatul Hasanah, "Memahami Hadis Mutawatir Dan Hadis Ahad." Dirayah: Jurnal Ilmu Hadis 3.1 (2022), hal. 14
12 Gamal Komandoko, "Ensiklopedia Istilah Islam." (2009), hal. 256.
DAFTAR PUSTAKA
Komandoko, G. (2009). Ensiklopedia Istilah Islam.
Suhartawan, B., & Hasanah, M. (2022). Memahami Hadis Mutawatir Dan Hadis Ahad. Dirayah: Jurnal Ilmu Hadis, 3(1), 1-18.
Suryadilaga, M. A. (2017). Ilmu Sanad Hadis. Yogyakarta: Idea Press Yogyakarta.
Sholeh, M. J. (2022). Telaah Pemetaan Hadis Berdasarkan Kuantitas Sanad. Bayan lin- Naas: Jurnal Dakwah Islam, 6(1), 33-50.
Najib, M. (2001). Pergolakan Politik Umat Islam dalam Kemunculan Hadis Maudhu. Pustaka Setia.