• Tidak ada hasil yang ditemukan

LAPORAN PRAKTIKUM METODE ANALASIS FISIKOKIMIAPERCOBAAN 6

N/A
N/A
Wilandani Sabilla

Academic year: 2023

Membagikan "LAPORAN PRAKTIKUM METODE ANALASIS FISIKOKIMIAPERCOBAAN 6"

Copied!
24
0
0

Teks penuh

(1)

LAPORAN PRAKTIKUM METODE ANALASIS FISIKOKIMIA PERCOBAAN 6

PEMISAHAN ZAT AKTIF DENGAN EKSTRAKSI FASE PADAT

Disusun oleh:

Kelompok 2/Shift B

Suci Kusuma Dewi (10060321042)

Nasywa Asy Syaffa’ Parwoko (10060321044)

Wega (10060321045)

Dila Andriani (10060321046)

Nazwa Aliifah Fachruddin (10060321047)

Devina Amalia Fitri (10060321048)

Tanggal Percobaan : 2 November 2022 Tanggal Laporan : 9 November 2022 Nama Asisten : Mutia Yustika, S. Farm

LABORATORIUM FARMASI TERPADU UNIT A PROGRAM STUDI FARMASI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS ISLAM BANDUNG

2022 M /1444 H

(2)

PERCOBAAN 6

PEMISAHAN ZAT AKTIF DENGAN EKSTRAKSI FASE PADAT

I. Tujuan Percobaan

1. Melakukan pemisahan bahan kimia obat dan sediaan obat tradisional (jamu) dengan metode ekstraksi fase padat.

2. Melakukan analisis kualitatif hasil ekstraksi fase padat dengan metode Kromatografi Lapis Tipis (KLT).

3. Melakukan analisis kualitatif hasil fase padat dengan metode Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (KCKT).

II. Prinsip Percobaan

Prinsip ekstraksi fase padat adalah analit yang terlarut dalam suatu pelarut yang mempunyai daya elusi rendah dimasukan kedalam carridge, lalu analit akan terperangkap pada medium SPE. Seteleh itu analit tersebut kemudian dapat dikilas dengan pelarut lain yang berdaya elusi rendah dan kemudian pada akhirnya dielusi dengan pelarut berdaya elusi kuat dengan volume kecil.

III. MSDS

1. Aquadest (Dirjen POM, 1979)

Warna : Jernih

Rasa : Tidak Berasa

Bau : Tidak Berbau

Pemerian : Cairan Jernih Berat molekul : 18,02 g/mol pH Larutan : 5,0-7,0

Stabilitas cocok : Stabil pada semua bentuk seperti es, dapat disimpan dalam wadah yang

2. Methanol (Dr. Soemanto, 1998)

(3)

Rumus molekul : CH3OH Massa molar Penampilan : 32.04 g/mol

Penampilan : senyawa alcohol alifatik, jernih, tidak berwarna dan berbau alcohol beracun

Densitas : 0.7918 g/cm, liquid

Titik lebur : 1-97 °C, -142.9 °F (176 K) Titik didih : 64.7 °C. 148,4 °F (337.8 K) Kelarutan dalam air : larut dalam air dalam segala

perbandingan

Kelarutan : larut dalam eter, benzene, dan keton Viskositas : 0.59 mPa's at 20 °C

Kecepatan evaporasi : 2.1 (butyl acetat = 1) Tekanan uap : 100 mm Hg (21,2°C)

3. Parasetamol (Dirjen POM, 1995)

Rumus molekul : C8H9NO₂

Berat molekul : 151,16 g/mol

Pemerian : Serbuk hablur, putih, tidak berbau rasa sedikit pahit

Kelaruan : Larut dalam air mendidih

dan dalam natrium hidroksida 1 N, mudah larut dalam etanol

Jarak lebur : antara 168 dan 172"

Air : tidak lebih dari 0,5%

Sisa pemijaran Penyimpanan : tidak lebih dari 0,1%

Penyimpanan : Dalam wadah tertutup rapat, tidak tembus cahaya

4. Kloroform (Dirjen POM, 1995)

(4)

Rumus molekul : CHCL3

Berat molekul : 119,38 g/mol

Pemerian : Cairan jernh, tidak

berwarna, mudah mengalir, mempunyai sifat khas.bau eter, rasa manis dan

membakar. Mendidih pada suhu lebih kurang 61°C dipengaruhi oleh cahaya.

Kelarutan : Sukar larut dalam air, dapat bercampur dengan etanol, dengan eter, dengan benzene, dengan heksana, dan dengan lemak dan minyak menguap.

Bobot jenis : antara 1,476 dan 1,480, menunjukan 99,0% sampai 99,5% CHCL

Titik didih :61°C (141,8°F)

Titik leleh : -63,5 °C (-82,7°F)

Kebakaran : tidak mudah terbakar.

Mudah mengiritasi mata, kulit Penyimpanan dari 30°C:

dalam wadah tertutup rapat, terlindung dari cahaya, pada suhu tidak lebih

5. Ammonium Hidroksida (Dr. Soemanto, 1998) Rumus molekul : NHLOH

Bobot molekul :35.05

Pemerian : Berbentuk cairan, Biru ammonia, berbau tajam, tidak berwarna

(5)

Titik leleh : -69,2°C (-92,6°F) Bobot jenis : 0,898 (Air-1)

Kelarutan : mudah larut dalam air dingin

Kebakaran : tidak mudah terbakar. Mudah mengiritasi mata, kulit.

6. Asam Format (Dr. Soemanto, 1998) Rumus molekul : HCOOH

Bobot molekul :46.03 g/mol

Pemerian : Bentuk cairan, tidak berwarna, mudah terbakar, berbau tajam, berasa asam Titik didih : 101°C

Titik nyala :69°C Titik lebur : 8o C

Bobot Jenis : 1,19 (Air-1)

Kelaruta : mudah larut dalam aseton, larut dalam air dingin, air panas, dan dietileter.

IV. Teori Dasar 4.1 Analisis kualitatif

Analisa kualitatif merupakan suatu proses dalam mendeteksi keberadaan suatu unsur kimia dalam cuplikan yang tidak diketahui.

Analisa kualitatif merupakan salah satu cara yang paling efektif untuk mempelajari kimia dan unsur-unsur serta ion-ionnya dalam larutan.

Analisis kualitatif umumnya juga digunakan untuk mengidentifikasi jenis konstituen pada sampel. Kelebihan dari analisis kualitatif adalah dengan waktu singkat dan mudah dimengerti, sudah memberikan informasi berguna hanya tidak dapat dinyatakan dalam data angka yang pasti.

Analisis kualitatif umumnya menggunakan metode spektroskopi inframerah, resonasi magnetic nuklir, dan spektrometri massa (Harvey, 2000).

(6)

Analisis kualitatif disebut juga analisa jenis yaitu suatu cara yang dilakukan untuk menentukan macam, jenis zat atau komponen-komponen bahan yang dianalisa. Dalam melakukan Analisa kualitatif yang dipergunakan adalah sifat-sifat zat atau bahan, baik sifat-sifat fisis maupun sifat-sifat kimianya. Misalnya ada suatu sampel cairan dalam gelas kimia, bila ingin mengetahui tentang kandungan sampel cair itu maka yang harus dilakukan adalah menganalisa kualitatif terhadap sampel cairan itu (Sugiyono,2014).

4.2 Ekstraksi Fase Padat

Ekstraksi fase padat (EFP) atau yang lebih dikenal dengan solid phase extraction (SPE) merupakan metode pemisahan dimana senyawa yang terlarut atau tersuspensi dalam campuran cairan dipisahkan dari senyawa lain dalam campuran sesuai dengan sifat fisik dan kimianya. Ekstraksi fase padat digunakan untuk memekatkan dan memurnikan sampel untuk analisis. repository.unisba.ac.id 10 Prinsip ekstraksi fase padat yaitu analit yang terlarut dalam suatu pelarut yang memiliki daya elusi rendah dimasukkan ke dalam cartridge dan kemudian akan terperangkap pada medium SPE. Analit tersebut kemudian dapat dibilas dengan pelarut lain yang berdaya elusi rendah dan kemudian akhirnya dielusi dengan pelarut berdaya elusi kuat bervolume kecil (Watson, 2010)

Solid phase extraction (SPE) merupakan salah satu cara yang paling banyak digunakan untuk preparasi sampel. Analit yang tertahan dalam fase diam, kemudian dielusi menggunakan sejumlah kecil pelarut organik yang sesuai. Kelebihan SPE dibanding dengan ekstraksi cair-cair yaitu hanya membutuhkan pelarut dalam jumlah yang kecil, kontaminan lebih sedikit, dan recovery yang dihasilkan lebih baik. Solid phase extraction cocok digunakan untuk memekatkan suatu analit yang jumlahnya kecil sebelum dianalisis menggunakan HPLC (Cornelis et al., 2003).

SPE dapat dibagi menjadi 4 berdasarkan jenis fase diam atau penjerap yang dikemas dalam cartridge, yakni fase normal (normal phase), fase

(7)

terbalik (reversed phase), adsorpsi (adsorption) dan pertukaran ion (ion exchange). Pemilihan penjerap didasarkan pada kemampuannya berikatan dengan analit, dimana ikatan antara analit dengan penjerap harus lebih kuat dibandingkan ikatan antara analit dengan matriks sampel. Sehingga analit akan tertahan pada penjerap. Selanjutnya dipilih pelarut yang mampu melepaskan ikatan antara analit dengan penjerap pada tahap elusi.

Adapun 4 langkah utama dalam penggunaan ekstraksi fase padat, yaitu:

1. Pengkondisian

Kolom atau cartridge dialiri dengan pelarut sampel untuk membasahi permukaan penjerap dan untuk menciptakan nilai pH yang sama, sehingga perubahan-perubahan kimia yang tidak diharapkan ketika sampel dimasukkan dapat dihindari.

2. Retensi sampel

Larutan sampel dilewatkan ke cartridge, dimana pada proses ini analit yang diinginkan akan tertahan pada penjerap sementara komponen lain dari matriks yang tidak diinginkan akan keluar dari cartridge.

3. Pembilasan atau Pencucian

Pembilasan (washing) yang dilakukan dengan penambahan larutan yang mampu menghilangkan sisa matriks yang tertinggal tetapi tidak mempengaruhi interaksi analit dengan penjerap.

4. Elusi

Tahap ini merupakan tahap akhir dari proses SPE yaitu untuk mengambil analit yang dikehendaki jika analit tersebut tertahan pada penjerap. (Gandjar, 2012).

4.3 Kromatografi Lapis Tipis

Kromatografi lapis tipis merupakan kromatografi yang fase stasionernya berupa lapisan tipis pada suatu adsorben misalnya silika gel yang dilapiskan pada plat dan fase mobilnya adalah suatu campuran pelarut. Senyawa yang dipisahkan dengan metode kromatografi lapis tipis memiliki mekanisme yang sama dengan kromatografi lain yaitu berkaitan

(8)

dengan perbedaan antara gaya-gaya antarmolekul dalam sampel dengan fase gerak dan fase diam. Tekniknya bergantung pada kombinasi fase gerak dan fase diam yang digunakan/dipilih. Kromatografi lapis tipis merupakan salah satu kromatografi dengan mekanisme kerjanya adsorpsi (Rubiyanto, 2016).

Pelaksanaan kromatograsi lapis tipis menggunakan sebuah lapis tipis silika atau alumina yang seragam pada sebuah lempeng gelas atau logam atau plastik yang keras. Gel silika (atau alumina) merupakan fase diam. Fase diam untuk kromatografi lapis tipis sering kali mengandung substansi yang mana dapat berflouresensi dalam sinar ultra violet. Untuk mendapatkan pemisahan yang sempurna maka perlu dilakukan pemilihan fase diam dan fase gerak secara tepat dan sesuai. Faktor-faktor yang menjadi ukuran pemilihan terhadap kedua fase tersebut antara lain polaritas dan kelarutan. Zat cair sebagai fase gerak akan membawa cuplikan senyawa mengalir pada fase diam sehingga terjadi interaksi berupa adsorpsi. Kecepatan bergerak suatu komponen tergantung pada seberapa besar atau lama komponen tersebut tertahan oleh padatannya (Wulandari, 2011; Rubiyanto, 2016).

Prinsip KLT adalah yaitu memisahkan sampel berdasarkan kepolaran antara sampel dengan pelarut yang digunakkan. Teknik ini biasanya menggunakan fase diam dari bentuk plat silika dan fase geraknya sesuai dengan jenis sampel yang ingin dipisahkan. Larutan atau campuran larutan yang digunakkan dinamakan eluen. Semakin dekat kepolaran antara sampel dengan eluen maka sampel akan semakin terbawa oleh fase gerak tersebut (Subagio, 2005).

Adapun kelebihan dan kekurangan kromatografi lapis tipis : a. Kelebihan

1) Kromatografi lapis tipis banyak digunakan untuk tujuan analis 2) Identifikasi pemisahan komponen dapat dilakukan dengan pereaksi warna, fluoresensi atau dengan radiasi menggunakan sinar ultraviolet

(9)

3) Dapat dilakukan elusi secara menaik (ascending), menurun (descending), atau dengan elusi dua dimensi

4) Hanya membutuhkan sedikit pelarut

5) Ketepatan penentuan kadar akan lebih baik karena komponen yang akan ditentukan merupakan bercak yang tidak bergerak.

b. Kekurangan

1) Butuh ketekunan dan kesabaran yang ekstra untuk mendapatkan bercak atau noda yang diharapkan

2) Memerlukan sistem trial and error untuk menentukan sistem eluen yang cocok.

(Tim Kemendikbud, 2018).

4.4 Kromatografi Cair Kinerja Tinggi

Kromatografi cair kinerja tinggi (KCKT) merupakan sistem pemisahan dengan kecepatan dan efisiensi yang tinggi. Hal ini didukung oleh sistem pompa tekanan tinggi, kemajuan dalam teknologi kolom, dan detektor yang sangat sensitif dan beragam. KCKT mampu menganalisa berbagai cuplikan secara kualitatif maupun kuantitatif, baik dalam komponen tunggal maupun campuran. KCKT merupakan teknik pemisahan yang diterima secara luas untuk analisis dan pemurnian senyawa tertentu dalam suatu sampel pada berbagai bidang, antara lain:

farmasi, lingkungan dan industri-industri makanan. Kegunaan umum KCKT adalah untuk pemisahan sejumlah senyawa organik, anorganik, maupun senyawa biologis, analisis ketidakmurnian (impurities), analisis senyawa-senyawa yang tidak mudah menguap (nonvolatil), penentuan molekul-molekul netral, ionik, maupun zwitter ion, isolasi dan pemurnian senyawa, pemisahan senyawa-senyawa yang strukturnya hampir sama, pemisahan senyawa-senyawa dalam jumlah sedikit (trace elements), dalam jumlah banyak, dan dalam skala proses industri. KCKT merupakan metode yang tidak destruktif dan dapat digunakan untuk analisis kualitatif dan kuantitatif. (Ditjen POM, 1995; Gandjar & Rohman, 2007).

(10)

Analisis menggunakan KCKT relatif lebih cepat, daya pemisahan yang baik, tingkat sensitifitas yang tinggi hingga nanogram/mililiter, pemilihan kolom yang bervariasi, kolom dapat digunakan kembali, dapat menganalisis senyawa dengan ukuran bervariasi dan campuran yang memiliki titik didih yang tinggi (Harmita, 2006).

Keuntungan dari penggunaan KCKT antara lain : a) Waktu analisis cepat.

Biasanya waktu analisis kurang dari satu jam, banyak analisis yang dapat dilakukan dalam waktu 15-30 menit, untuk analisis yang tidak rumit dapat dicapai waktu analisis yang kurang dari 5 menit.

b) Daya pisahnya baik.

Kemampuan pelarut untuk berinteraksi secara selektif dengan fase diam dan fase gerak memberikan parameter tambahan untuk mencapai parameter yang dikehendaki.

c) Peka

Kepekaan sangat tergantung pada jenis detektor dan eluen yang digunakan.

d) Pemilihan kolom dan eluen sangat bervariasi.

e) Kolom dapat dipakai kembali.

(Johnson & Stevenson, 1991).

4.5 Parecetamol

Parasetamol merupakan serbuk hablur putih, tidak berbau, dan memiliki rasa sediki pahit. Parasetamol larut dalam 1:70 air dingin, 1:20 air mendidih, 1:7 etanol, 1:13 aseton, 1:40 gliserol, 1:9 propilen glikol serta larut dalam metanol, dimetil formalmida, etil diklorida, dan dalam larutan alkali hidroksida. Parasetamol memiliki titik leleh 168-172ºC dan pH 5,3-6,5. Tablet dapat didefinisikan sebagai bentuk sediaan solid yang mengandung satu atau lebih zat aktif dengan atau tampa berbagai eksipien (yang meningkatkan mutu sediaan tablet, kelancaran sifat aliran bebas,

(11)

sifat kohesivitas, kecepatan desintegrasi, dan sifat anti lekat) dan dibuat dengan mengempa campuran serbuk dalam mesin tablet (Dirjen POM, 1979; Siregar, 2010).

Penggunaan paracetamol dalam dosis yang berlebihan dan dalam jangka waktu yang lama dapat mengakibatkan kerusakan hati. Efek samping paracetamol jika dibanding fenasetin lainnya lebih ringan khususnya tidak nefrotoksis, tidak menimbulkan euforia dan ketergantungan psikis (Grace P.T., 2015).

Gambar 1. Struktur Parasetamol

V. Alat Bahan

Bahan Alat

Aquabides steril Alat-alat gelas yang biasa digunakan di laboratorium analisis

Metanol pro KCKT Bejana KLT Baku pembanding

parasetamol yang diperoleh dari industri farmasi

Kolom Zorbax ODS 4,6 mm ID x 250 mm (5 µm) dan filter membran PTFE 0,45 μm

Cartridge EFP Strata C18-E Phenomenex 200 mg/3 mL

Penampak bercak sinar UV 254 nm

Metanol p.a Pipa kapiler

Kloroform p.a Pipet mikro Eppendorf 100- 1000 µL

(12)

Asam format Seperangkat alat KCKT (Agillent) dengan detektor UV 254 nm

Aquades Timbangan analitik

(Radwag XA 82/220/2X) NH4OH

Pelat KLT GF254 (Merck) Serbuk simplisia Curcumae xanthorrizhae rhizoma (rimpang temulawak), Curcumae domesticae rhizoma (rimpang kunyit) dan Zingiberis officinalis rhizoma (rimpang jahe)

VI. Prosedur

6.1 Ekstraksi Fase Padat

Pada percobaan kali ini ditimbang sebanyak 1 gram sampel jamu simulasi yang telah ditambahkan paracetamol, kemudian dimasukkan kedalam vial, ditambahkan 8 mL asam format 5% dalam air. Dikocok dengan menggunakan shaker 3D selama 15 menit. Kemudian saring campuran tersebut hingga didapat filtrat sebanyak 2 mL lalu dimasukkan kedalam vial yang sudah diberi label pada vial. Dilakukan pengisian kolom EFP OASIS C18 secara berturut-turut dengan 1,5 mL metanol dan 1,5 mL aquadest. Selanjutnya dilakukan retensi, dengan dipindahkannya kolom EFP kedalam vial retensi, diambil sebanyak 800 mL sampel jamu simulasi ke dalam kolom EFP dan dibiarkan hingga menetes perlahan. Dicuci kolom dengan 3 mL aquadest. Dielusikan analit dengan 3 mL NH4OH 2,5% dalam metanol. Dilakukan analisis kualitatif dengan KLT.

6.2 Analisis Kualitatif dengan KLT

(13)

Percobaan kaliin terlebih dahulu dibuat fase gerak kloroform metanol (9:1) sebanyak 10mL, kemudian dilakukan penjenuhan fase gerak.

Totolkan masing-masing larutan standar filtrat simulasi, larutan sisa retensi, larutan hasil cucian, dan larutan hasil elusi KLT GF254 dengan menggunakan pipa kapiler pada plat KLT. Plat KLT dijenuhkan dengan fase gerak. Plat KLT dijenuhkan dalam bejana dan dielusi hingga eluen mencapai tanda batas. Kemudian dikeringkan dan dilihat dan diamati dibawah penampak bercak sinar tampak UV 254 nm. Dibandingkan bercak ekstrak dengan bercak standar.

6.3 Analisis kualitatif dengan KCKT 6.3.1 Larutan standar

Ditimbang 25 mg baku pembanding PCT dimasukan ke dalam labu takar 50 mL. Diencerkan dengan fase gerak ad 50 mL. Dikocok hingga homogen. Kemudian dipipet sebanyak 1 mL dimasukan ke dalam labu takar 10 mL. Diencerkan dengan fase gerak ad 10 mL. Disaring larutan dengan menggunakan membran PTFE 0,45 μm. Dimasukan kedalam vial.

Larutan siap diinjeksikan ke dalam KCKT.

6.3.2 Larutan uji

Disaring masing-masing filtrat jamu simulasi, larutan sisa retensi larutan hasil cucian dan larutan hasil elusi elusi ekstraksi fase padat dengan membran PTFE 0,45 μm. Ditampung didalam vial. Larutan siap diinjeksikan ke dalam alat KCKT. Sebelum larutan standar dan larutan uji masing-masing diinjeksikan, syringe dibilas dahulu sesuai dengan larutan yang akan digunakan, kemudian diambil sebanyak 40 μL, dan diinjeksikan masing-masing larutan standar dan uji ke dalam alat KCKT.

Direkam kromatogram yang terbentuk. Dibandingkan kromatogram larutan uji dan larutan standar. Waktu retensi puncak larutan uji harus sama dengaan waktu retensi puncak larutan standar.

6.3.3 Sistem KCKT

Fase diam : ODS, packing L1

Fase gerak : aquabidestilata : metanol = 3 : 1 (v/v)

(14)

Laju alir : 1,5 mL/menit Lempeng teoritis : 1000

Detektor : UV 243 nm

VII. Data Pengamatan Keterangan

1. Standar PCT 2. Filtrat 3. Retensi 4. Pembiasan 5. Elusi

1.

2.

(15)

3.

Analisis Kualitatif dengan KLT 1. Jarak tempuh eluen= 5,5 cm 2. Jarak tempuh standar= 3,1 cm 3. Jarak tempuh filtrat= 3 cm 4. Jarak tempuh elusi=; 3,2 cm

- Nilai RF

1. RF Standar= 3,1

5,5= 0,563 2. RF Filtrat= 3

5,5= 0,545 3. RF Elusi= 3,2

5,5= 0,582 Analisis Kualitatif deng KCKT

- Waktu Retensi

1. Larutan Standar: 3,527 2. Larutan Uji: 3,497

VIII. Pembahasan

Obat tradisional merupakan bahan atau ramuan yang berupa bahan tumbuhan, bahan hewan, bahan mineral, sediaan sarian (galenik) atau campuran dari bahan tersebut yang secara turun temurun telah digunakan untuk pengobatan berdasarkan pengalaman. Bahan kimia obat (BKO) merupakan zat-zat kimia yang digunakan sebagai bahan utama obat kimiawi yang biasanya ditambahkan dalam sediaan obat tradisional atau

(16)

jamu untuk memperkuat indikasi dari obat tradisional tersebut (BPOM, 2013).

Sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, obat tradisional dilarang menggunakan bahan kimia hasil isolasi atau sintetik berkhasiat obat, narkotika atau psikotropika dan hewan atau tumbuhan yang dilindungi. Akan tetapi, masih banyak produsen obat tradisional atau jamu yang tidak bertanggung jawab mencampurkan BKO kedalam jamu dengan tujuan untuk meningkatkan khasiat dari jamu tersebut sehingga lebih berefek daripada jamu yang tidak ditambahkan BKO. Padahal, bahan-bahan kimia obat tersebut dapat menimbulkan efek negatif di dalam tubuh konsumen jika digunakan dalam jumlah banyak karena dosis yang digunakanya tidak jelas. Jamu yang asli menghasilkan efek farmakologi yang lama hal ini dikarenakan jamu masih kompleks menyebabkan proses adsorbsi lebih lama sehingga efek yang dihasilkan juga akan lama. Sedangkan bahan kimia obat merupakan senyawa tunggal yang mudah teradsorbsi dalam tubuh sehingga menghasilkan efek farmakologi yang cepat. Oleh karena itu, untuk meminimalisir kesalahan dalam pengobatan akibat overdosis dari jamu, perlu dilakukan pengisolasian suatu senyawa BKO yang dicurigai dalam jamu. Metode yang dapat digunakan salah satunya adalah ekstraksi fase padat atau Solid Phase Extraction (BPOM RI, 2006).

Ektraksi fase padat termasuk kedalam salah satu metode ekstraksi yang merupakan ektraksi cair padat. Dikatakan ekstraksi cair padat karena menggunakan pelarut pengekstrak berupa padatan (sorben). Fase yang digunakan pada ekstraksi fase padat kali ini ialah fase terbalik, dimana penjerap atau fase diam bersifat nonpolar dan fasa cair sebagai eluen atau fase gerak bersifat polar. Sehingga pada praktikum ini fase diam yang digunakan yaitu C18 yang mempunyai sifat nonpolar (Leba, 2017).

Pada praktikum kali ini dilakukan pemisahan zat aktif dengan menggunakan ekstraksi fase padat. Tujuan dari praktikum kali ini yaitu untuk melakukan pemisahan bahan kimia obat berupa parasetamol dari

(17)

sediaan obat tradisional (jamu) dengan menggunakan metode ekstraksi fase padat kemudian dilanjutkan dengan analisis kualitatif hasil ekstraksi fase padat dengan metode kromatografi lapis tipis (KLT) untuk mengetahui kebenaran ada atau tidaknya BKO yang terkandung dalam jamu dan kromatografi cair kinerja tinggi (KCKT) untuk membandingkan waktu retensi antara larutan standar dengan larutan uji (sampel).

8.1 Ekstraksi Fase Padat

Sebelum ke tahap ekstraksi larutan filtrat sampel dibuat terlebih dahulu, yaitu serbuk sampel jamu dicampurkan dengan larutan asam format 5%. Tujuan dari mencampurkan sampel dengan asam format adalah untuk melarutkan parasetamol yang terkandung dalam jamu simulasi agar terlarut bersama asam format. Hal ini karena parasetamol dan asam format bersifat asam lemah, sehingga akan saling melarut berdasarkan sifatnya dan tidak terjadi reaksi penggaraman. Selanjutnya larutan dikocok menggunakan lab sheaker selama 15 menit agar asam format dengan parasetamol dalam jamu simulasi dapat terlarut dengan optimal. Setelah itu, larutan di filtrat menggunakan kertas saring, sebelum dilakukan penyaringan kertas saring dilepas dibasahi dengan asam format. Hal ini dilakukan agar pada saat penyaringan parasetamol juga dapat ikut tersaring secara perlahan sehingga didapat filtrat yang diinginkan.

Prinsip ekstraksi fase padat yaitu analit yang terlarut dalam suatu pelarut yang memiliki daya elusi rendah dimasukkan ke dalam cartridge dan kemudian akan terperangkap pada medium SPE. Analit tersebut kemudian dapat dibilas dengan pelarut lain yang berdaya elusi rendah dan kemudian akhirnya dielusi dengan pelarut berdaya elusi kuat bervolume kecil (Watson, 2010 dalam Sartika dkk, 2015).

Selanjutnya, masuk ke dalam tahapan ekstraksi fase padat yang terdiri atas 4 tahapan yaitu tahap pengkondisian, retensi sampel, pembilasan, dan elusi. Pertama-tama dilakukan tahap pengkondisian. Tahap ini bertujuan untuk membuka pori-pori pada cartridge C18 sehingga

(18)

memudahkan proses pada tahap elusi. Selain itu tahap ini juga bertujuan untuk membuat suasana yang sama agar tidak terjadi perubahan kimia selama proses pengerjaan. Pada tahap ini pelarut yang digunakan harus pelarut yang memiliki daya elusi yang kuat contohnya metanol. Catridge C- 18 bersifat nonpolar karena menggunakan metodode fase terbalik.

Sedangkan, pelarut yang dilewatkan pada kolom ialah metanol dan aquadest karena kedua pelarut tersebut bersifat polar. Pada percobaan ini digunakan pelarut metanol dan air sebanyak masing-masing 1,5 ml yang dimasukkan kedalam cartridge C18 dan dibiarka menetes sampai habis dan di tampung pada vial pengkondisian. Seharusnya pada vial ini tidak terdapat analit karena cairan yang dimasukkan kedalam cartridge C18 tidak mengandung sampel paracetamol (Leba, 2017).

Tahap berikutnya, dilanjutkan dengan tahap retensi atau penjerapan. Tahap ini bertujuan untuk menjerap analit dan mengeluarkan atau mengelusi matriks. Matriks adalah komponen lain selain analit yang ikut terelusi. Pada tahap ini diharapkan analit terjerap pada sorben karena kesamaan sifat antara sorben dengan analit. Sorben bersifat non polar sehingga efektif untuk analit yang bersifat semipolar hingga non polar.

Dalam hal ini parasetamol bersifat semipolar sehingga akan terjadi interaksi antara paracetamol dengan cartridge C18 dan mempunyai afinitas yang tinggi sehingga paracetamol akan terjerap pada cartridge C18. Pelarut yang digunakan pada tahap ini bersifat asam. Digunakan pelarut asam karena pelarut asam dapat mengurangi jumlah matriks sehingga yang terjerap hanya analit. Pelarut asam yang digunakan adalah asam format. Selain itu pelarut yang digunakan pada tahap ini harus mempunyai daya elusi yang rendah sehingga dapat menjerap analit lebih lama. Hasil pada tahap ini ditampung dalam vial hasil retensi maka, pada vial ini diharapkan tidak terdapat analit karena analit seharusnya terjerap sempurna pada cartridge C18.

Selanjutnya adalah pencucian atau pembilasan. Tahap ini bertujuan untuk mengeluarkan matriks-matriks yang masih tertinggal pada cartridge

(19)

C18. Hal ini dapat terjadi karena pada tahap retensi belum tentu semua matriks terelusi oleh karena itu perlu dilakukan pembilasan. Pelarut yang digunakan pada tahap ini adalah pelarut yang tidak dapat melarutkan analit.

Pada percobaan ini digunakan pelarut aquadest karena kelarutan parasetamol dalam aquadest adalah 1 gram dalam 70 bagian atau agak sukar larut. Pelarut yang dipilih hendaknya tidak melarutkan analit agar analit tetap terjerap pada cartridge C18. Hasil tahap ini ditampung dalam vial hasil pembilasan. Seharsunya pada vial ini tidak terdapat analit karena pada tahap ini analit masih diharapkan terjerap cartridge C18 (Depkes RI, 1995).

Tahap terakhir adalah tahap elusi. Tahap ini bertujuan untuk mengeluarkan analit dari penjerap yaitu cartridge C18. Digunakan pelarut yang bisa melarutkan parasetamol. Parasetamol adalah senyawa yang bersifat asam sehingga digunakan pelarut basa sehingga asam dan basa bercampur menghasilkan garam sehingga parasetamol dapat larut dan terelusi keluar cartridge C18. Maka, digunakan basa berupa NH4OH. Hasil tahap ini ditampung dalam vial hasil analit. Seharusnya pada vial ini mengandung analit saat dianalisis lebih lanjut. Selanjutnya semua vial hasil ektraksi fase padat dianalisis kualitatif dengan KLT untuk melihat pada vial mana saja yang terkandung analit dengan menggunakan pembanding baku parasetamol.

8.2 Analisis Kualitatif dengan KLT

Kromatografi lapis tipis memiliki prinsip, yaitu pemisahan senyawa multi komponen dengan menggunakan dua fase yaitu fase diam dan fase gerak. Pada percobaan ini, pertama-tama fase gerak dibuat dengan kloroform-metanol dengan perbandungan 9 : 1 sebanyak 10 mL. Kemudain lakukan chamber menggunakan fase gerak. Penjenuhan chamber bertujuan untuk menyamaratakan tekanan uap dari fase gerak yang digunakan sehingga pemisahan dapat berjalan dengan baik (Kusmardiyani dan Nawawi, 1992).

Bersamaan dengan proses penjenuhan tersebut, larutan standar parasetamol, filtrat jamu, larutat sisa retensi, larutan hasil cucian, dan hasil

(20)

elusi ditotolkan pada plat KLT GF254 menggunakan pipa kapiler. Plat KLT GF254 memiliki sifat relatif polar dan dapat menghasilkan fluorosensi pada panjang gelombang 254 nm karena adanya gugus kromofor pada noda.

Gugus kromofor adalah gugus yang dapat menghasilkan warna. Pada panjang gelombang 254 nm, gugus kromofor akan menunjukkan noda yang berwarna gelap, Pembentukan warna dapat diamati di bawah sinar UV (Firdaus dan Pri, 2009). Masukkan plat ke dalam bejana lalu elusi hingga eluen mencapai tanda batas. Setelah itu, plat dikeringkan dan di lihat di bawah penampak bercak sinar UV 254 nm. Menggunakan panjang gelombang tersebut karena 254 nm masuk rentang panjang gelombang UV yaitu 200–400 nm, sama seperti panjang gelombang parasetamol (Tulandi dkk, 2015).

Hasil pengamatan menunjukkan panjang jarak tempuh eluen adalah 5,5 cm, panjang jarak tempuh standar adalah 3,1 cm, dan panjang jarak tempuh filtrat adalah 3,3 cm, dan jarak tempuh elusi adalah 3,2 cm. Maka, dari panjang jarak tempuh tersebut dapat ditentukan nilai Rf. Retention atau retardation factor (Rf) adalah sebuah nilai atau ukuran yang mana didapat berdasarkan posisi noda setiap zat terlarut pada plat kromatografi lapis tipis (Wulandari, 2011).

Nilai Rf standar dihitung dan didapatkan sebesar 0,564, nilai Rf filtrat sebesar 0,545, dan nilai Rf elusi sebesar 0,582. Dapat dibandingkan berdasarkan data, nilai Rf yang didapatkan dan juga jarak bercak memiliki nilai dan posisi yang berdekatan. Maka, dapat ditarik kesimpulan bahwa hasil identifikasi secara kualitatif dengan kromatografi lapis tipis dari sampel jamu adalah positif terdapat bahan kimia obat yaitu parasetamol.

8.3 Analisis Kualitatif dengan KCKT

Prinsip kerja KCKT atau lebih dikenal HPLC (high performance liquid chromatography) adalah pemisahan komponen analit berdasarkan kepolarannya, setiap komponen senyawa yang keluar akan terdeteksi dengan detektor dan direkam dalam bentuk kromatogram. Dalam percobaan

(21)

ini, pertama-tama dibuat terlabih dahulu larutan standar dengan menimbang seksama 25 mg baku pembanding parasetamol ke dalam labu takar 50 mL yang kemudain diencerkan dengan fase gerak hingga tanda batas. Fase gerak yang digunakan adalah aquabidestilata-metanol dengan perbandingan 3 : 1 (v/v). Kemudian, larutan dikocok hingga homogen. Sebanyak 0,1 mL larutan dipipet ke dalam labu takar 10 mL dan diencerkan dengan fase gerak hingga tanda batas. Larutan disaring dengan membran PTFE ukuran 0,45µm. Selanjutnya pada pembuatan larutan uji, masing-masing filtrat jamu simulasi, larutan sisa retensi, larutan hasil cucian, dan hasil elusi ekstraksi fase padat isaring menggunakan membran filter PTFE 0,45µm, tampung dalam vial. Tujuan dilakukannya penyaringan dengan membran filter PTFE 0,45µm adalah agar larutan yang didapatkan lebih jernih (Zainal et al., 2019).

Larutan standar dan larutan uji yang sudah dibuat kemudian diinjeksikan masing-masing ke dalam alat KCKT untuk direkan kromatogramnya. Di dalam kolom tersebut akan terjadi pemisahan senyawa, yang mana analit yang memiliki kepolaran yang sama dengan fase gerak akan terelusi terlebih dahulu dan akan masuk ke dalam detektor.

Sedangkan senyawa analit yang memiliki kepolaran yang sama dengan fase diamakan terelusi lebih lama atau akan terjerat didalam fase diam. Di dalam detektor tersebut analit yang dibawa oleh fase gerak akan terdeteksi, dan recorder untuk menganalisis data hasilnya akan dalam bentuk kromatogram yang menyatakan waktu retensi.

Data hasil pengamatan yang didapatkan yaitu waktu retensi larutan standar sebesar 3,537 dan waktu retensi larutan uji sebesar 3,497.

Berdasarkan hasil yang didapatkan, dapat dibandingkan bahwa waktu retensi kedua larutan memiliki niai yang berdekatan. Maka, dapat ditarik kesimpulan bahwa hasil identifikasi secara kualitatif dengan kromatografi cair kinerja tinggi dari sampel jamu adalah positif terdapat bahan kimia obat yaitu parasetamol.

(22)

IX. Kesimpulan

1. Larutan standar parasetamol filtrat jamu tradisional hasil ekstraksi fase padat dapat dianalisis dengan metode Kromatografi Lapis Tipis (KLT) dan diperoleh nilai Rf standar sebesar 0,563 cm, nilai Rf filtrat sebesar 0,545 cm dan nlai Rf elusi sebesar 0,582 cm.

2. Baku pembanding parasetamol dan filtrat jamu tradisional dianalisis menggunakan metode Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (KCKT), dimana baku pembanding parasetamol sebagai larutan standar dan filtral jamu tradisisonal sebagai larutan uji, diperoleh waktu retensi larutan uji sebesar 3,497 dan waktu retensi larutan standarnya 3,527 artinya waktu retensi larutan uji mendekati waktu larutan standar atau waktu retensi larutan uji dan standar yang tidak jauh berbeda.

(23)

DAFTAR PUSTAKA

Badan Pengawasan Obat dan Makanan RI. (2013). Batas Maksimum Penggunaan bahan Tambahan Pangan Pengawet. Jakarta: BPOM.

Badan POM, (2006). Pedoman Cara Pembuatan Obat yang Baik. Jakarta: BPOM.

Cornelis, R., Crews, H., Caruso, J., Heumann, K. (2003). Handbook of Elemental Speciation: Techniques and Methodology, John Wiley & Sons Ltd, USA, pp. 81, 99.

Departement Kesehatan Republik Indonesia. (1995). Farmakope Indonesia Edisi IV. Jakarta: Departemen Kesehatan RI.

Dirjen POM. (1979). Farmakope Indonesia. Edisi III. Jakarta: Depkes RI.

Dirjen POM. (1995). Farmakope Indonesia. Edisi IV. Jakarta: Depkes RI.

Dirjen POM. (1995). Farmakope Indonesia. Edisi IV. Jakarta: Depkes RI.

Gandjar, I.G., dan Rohman, A., (2012). Analisis Obat Secara Spektrofotometri dan Kromatografi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Gandjar, G. I., dan Rohman, A., (2007), Kimia Farmasi Analisis, Pustaka Belajar, Yogyakarta.

Harmita, (2006), Analisis Kuantitatif Bahan Baku dan Sediaan Farmasi, Departemen Farmasi FMIPA Universitas Indonesia, Jakarta.

Harvey, David. (2000). Modern Analytical Chemistry. New York: McGraw-Hill Comp.

Johnson, E.L dan Stevenson R. (1991). Dasar Kromatografi Cair, ITB Bandung, Bandung.

Kusmardiyani, S. dan A. Nawawi. (1992). Kimia Bahan Alam. Jakarta: Universitas Bidang Ilmu Hayati.

Leba, Maria A.U. (2017). Buku Ajar Ekstraksi dan Real Kromatografi. Sleman:

Deepublish.

Rubiyanto, D. (2016). Teknik Dasar Kromatografi Edisi 1. Yogyakarta:

Deepublish.

Sartika, Dewi., Wisnuwardhani, Hilda A., Rusdi, Bertha. (2015). Optimasi Metode Ekstraksi Fase Padat Dan KCKT Untuk Analisis Kuantitatif Bahan Kimia

(24)

Obat Parasetamol Dan Deksametason Dalam Jamu Pegal Linu. Prosiding Penelitian SPeSIA Unisba.

Sugiyono. (2014). Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D, cetakan ke- 20. Bandung: Alfabeta.

Tim Kemendikbud. (2018). Melaksanakan Analisis Secara Kromatografi Konvensional Mengikuti Prosedur. Kemendikbud, Jakarta.

Tulandi, G. P., Sudewi, S., Lolo, W. S.,(2015), Validasi Metode Analisis untuk Penetapan Kadar Parasetamol dalam Sediaan Tablet Secara Spektrofotometri Ultraviolet, PHARMACON, Vol. 4, hal. 169-17.

Watson, D.G. (2010). Analisis Farmasi: Buku Ajar untuk Mahasiswa Farmasi dan Praktisi Kimia Farmasi, Edisi 2. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.

Wulandari, Lestyo. (2011). Kromatografi Lapis Tipis. Jember: PT Taman Kampus Presindo.

Zainal TH, Wahyudin E, Rifai R. (2019). Penetapan Kurva Standar Senyawa Tetra Hidroxy Ethyl Disulphate (THES) dalam Plasma Marmut (Cavia porcellus) Menggunakan KCKT. MFF 2018;22(3): 90-92.

Referensi

Dokumen terkait

ANALISA SILDENAFIL SITRAT PADA OBAT TRADISIONAL GALI-GALI DENGAN METODE KROMATOGRAFI LAPIS TIPIS.. KARYA ILMIAH

Penelitian ini bertujuan untuk analisis prednison pada jamu tradisional asam urat dengan metode kromatografi cair kinerja tinggi, menggunakan metode fase terbalik

Obat alam atau yang biasa disebut obat herbal adalah sediaan obat Obat alam atau yang biasa disebut obat herbal adalah sediaan obat baik berupa obat tradisional, fitofarmaka dan

Pada penelitian sebelumnya, pengujian identifikasi bahan kimia obat Fenilbutazon dalam jamu linurat secara kromatografi lapis tipis menunjukan hasil bahwa sediaan

Tadalafil sebagai BKO (Bahan Kimia Obat) pada sediaan jamu kuat pria dapat dianalisis dengan metode Kromatografi Cair Kinerja Tinggi dengan fase terbalik

Berbedadebgan kromatografi kolom yang mana fase diamnya diisikan atau dikemas di dalamnya, padakromatografi lapis tipis, fase diamnya berupa lapisan yang seragam (uniform)

Apa hasil yang dapat diperoleh dari metode Kromatografi Lapis..

Kromatografi lapis tipis (KLT) adalah salah satu metode pemisahan komponen kimia berdasarkan prinsip partisi dan adsorpsi antara fase diam (adsorben) dan fase gerak (eluen)