LAPORAN PENDAHULUAN
ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN DENGAN POST APPENDIKTOMI
Disusun Oleh:
I Made Wiradana 40190123093
Noviani Linda Sulistyawati 40190123097 Desi Ari Sandi Hutapea 40190123099
Maya Katarina 40190123100
Debora Arnita Cahyaningrum 40190123107
PROGRAM STUDI NERS FAKULTAS ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS SANTO BORROMEUS
PADALARANG
2024
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang
Penerapan pola hidup sehat dalam kehidupan sehari-hari belum sepenuhnya di terapkan terutama yang berkaitan dengan kesehatan perorangan. Salah satu contohnya adalah kebiasaan masyarakat yang kurang mengkonsumsi serat (diit rendah serat). Hal ini sering di jumpai pada masyarakat perkotaan yang mengadopsi kebiasaan masyarakat modern di Negara-negara maju (Alhadrami, 2016). Kebiasaan yang kurang dalam mengkonsumsi serat ini sering mengakibatkan tinja mengeras.
Tinja yang mengeras pada umumnya dapat mengakibatkan tekanan di dalam sekum.
Hal ini berakibat timbulnya sumbatan fungsional Appendiks dan meningkatkan pertumbuhan kuman, sehingga terjadi peradangan pada Appendiks (Appendicitis) (Alhadrami, 2016).
Appendicitis adalah peradangan dari appendiks vermiformis dan merupakan penyebab penyakit abdomen akut yang sering terjadi di negara berkembang. Penyakit ini dapat mengenai semua umur baik laki-laki maupun perempuan, tetapi lebih sering menyerang laki-laki berusia antara 10 sampai 30 tahun (Brunner & Suddarth, 2014).
Insidensi kasus apendisitis di dunia adalah 11 kasus per 10.000 penduduk pertahun..
Apendisitis tercatat lebih tinggi angka kejadiannya pada negara maju dibandingkan dengan negara berkembang, hal ini diperkirakan erat hubungannya dengan kebiasan pola makan pada beberapa negara maju yang rendah serat dan tingginya angka mengonsumsi makanan cepat saji.
(WHO, 2016) Apendisitis merupakan suatu keadaan darurat yang paling umum terjadi di bagian bedah abdomen dan sebanyak 621.435 kasus apendisitis terjadi di Indonesia. Kementrian Kesehatan menganggap apendisitis merupakan isu prioritas kesehatan di tingkat local dan nasional karena mempunyai dampak besar pada kesehatan masyarakat (Depkes RI, 2017). Dampak penderita ketika tidak dilakukan pembedahan dapat mengakibatkan abses atau perforasi. Insiden perforasi adalah 10%
sampai 32%. Perforasi terjadi secara umum 24 jam pertama setelah awitan nyeri.
Angka kematian yang timbul akibat terjadinya perforasia adalah 10 - 15% dari kasus
yang ada, sedangkan angka kematian penderita apendisitis akut adalah 0,2% - 0,8%
(Depkes RI, 2017).
Masalah keperawatan yang mungkin muncul selama pre operasi diantaranya nyeri akut, hipertermi, gangguan rasa nyaman dan ansietas (Nurarif & Kusuma, 2015). Selama periode post operasi masalah keperawatan yang dapat timbul diantaranya nyeri akut, resiko infeksi, resiko kekurangan volume cairan dan kurang pengetahuan tentang kondisi, prognosis dan kebutuhan pengobatan. Apabila asuhan keperawatan tidak dilakukan maka akan menimbulkan masalah yang lain seperti:
Timbulnya tanda-tanda infeksi, demam. Oleh karena itu, maka diperlukan perawatan profesional yang memberikan asuhan keperawatan yang komprehensif yang meliputi seluruh aspek bio, psiko, sosio dan spiritual serta pendidikan kesehatan dirumah.
Berdasarkan hal tersebut maka kelompok merasa tertarik untuk melaksanakan asuhan keperawatan pada klien dengan Post Operasi Atas Indikasi Apendisitis Akut dan melaporkannya dalam bentuk asuhan keperawatan dengan judul “Asuhan Keperawatan Pada Tn P Dengan Gangguan Sistem Pencernaan : Apendisitis Akut”.
B. Tujuan Penulisan
Mengetahui Asuhan Keperawatan Klien Dengan Nyeri Pada Post Appendiktomi.
.
C. Metode Penulisan
Dalam penulisan makalah, digunakan metode:
1. Metode pengamatan kasus, pengamatan kasus pada klien Dengan Gangguan Sistem Pencernaan Apendisitis
2. Metode kepustakaan, dilakukan dengan bedah buku yang terkait Dengan Gangguan Sistem Pencernaan : Apendisitis
D. Sistematika Penulisan
Penulisan makalah ini dilakukan secara sistematis. Adapun sistematika penulisannya sebagai berikut: Bab I. Pendahuluan, yang berisi latar belakang, tujuan, metode dan sistematika penulisan, kemudian Bab II. Konsep Teori, yang berisikan konsep tentang gangguan KDM. Bab III Pengamatan Kasus yang berisikan pengkajian, analisa data dan diagnosa keperawatan, perencanaan disertai rasionalnya.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Konsep Dasar Appendectomi 1. Pengertian
Apendisitis adalah peradangan akut pada apendiks periformis sehubungan dengan obstruksi lumen dan infeksi bakteri. Biasanya menimbulkan keluhan nyeri abdomen, dimulai dari difus dan periumbilikal setelah itu pindah ke fosa iliaka kanan. Penyakit ini dapat mengenai semua umur, baik laki-laki ataupun perempuan. Tetapi lebih sering menyerang laki-laki berusia antara 10 sampai 30 tahun (Dermawan & Rahayuningsih, 2010 dan Gleadle, 2005).
Apendisitis merupakan peradangan akibat infeksi pada usus buntu atau umbai cacing (apendiks). Usus buntu merupakan sekum, Infeksi ini bisa mengakibatkan peradangan akut sehingga memerlukan tindakan bedah segera untuk mencegah komplikasi yang pada umumnya sangat berbahaya.
(Sjamsuhdayat,R 2010).
Appendektomi adalah pembedahan untuk mengangkat apendiks dilakukan sesegera mungkin unutk menurunkan resiko perforasi (Smeltzer Suzanne, C, 2001)
2. Anatomi Fisiologi a. Anatomi
Appendiks merupakan organ yang berbentuk tabung dengan panjang kira-kira 10 cm dan berpangkal pada sekum. Appendiks pertama kali tampak saat perkembangan embriologi minggu ke delapan yaitu bagian ujung dari protuberans sekum. Pada saat antenatal dan postnatal, pertumbuhan dari sekum yang berlebih akan menjadi appendiks yang akan berpindah dari medial menuju katup ileocaecal.
Pada bayi appendiks berbentuk kerucut, lebar pada pangkal dan menyempit kearah ujung. Keadaan ini menjadi sebab rendahnya insidens apendisitis pada usia tersebut.
Appendiks memiliki lumen sempit di bagian proksimal dan melebar pada bagian distal. Pada appendiks terdapat tiga tanea coli yang menyatu dipersambungan sekum dan berguna untuk mendeteksi posisi appendiks.
Gejala klinik Apendisitis ditentukan oleh letak appendiks. Posisi appendiks adalah retrocaecal (di belakang sekum) 65,28%, pelvic (panggul) 31,01%, subcaecal (di bawah sekum) 2,26%, preileal (di depan usus halus) 1%, dan postileal (di belakang usus halus) 0,4%, seperti terlihat pada gambar dibawah ini.
Appendiks pada Saluran pencernaan
Anatomi Appendiks Posisi Appendiks
b. Fisiologi
Appendiks menghasilkan lendir 1-2 ml per hari. Lendir itu secara normal dicurahkan ke dalam lumen dan selanjutnya mengalir ke sekum. Hambatan aliran lendir di muara appendiks tampaknya berperan pada patogenesis apendisitis. Imunoglobulin sekretoar yang dihasilkan oleh Gut Associated Lymphoid Tissue (GALT) yang terdapat disepanjang saluran cerna termasuk appendiks ialah Imunoglobulin A (Ig-A). Imunoglobulin ini sangat efektif sebagai pelindung terhadap infeksi yaitu mengontrol proliferasi bakteri, netralisasi virus, serta mencegah penetrasi enterotoksin dan antigen intestinal lainnya. Namun, pengangkatan appendiks tidak mempengaruhi sistem imun tubuh sebab jumlah jaringan sedikit sekali jika dibandingkan dengan jumlah di saluran cerna dan seluruh tubuh.
c. Etiologi
Apendisitis belum ada penyebab yang pasti atau spesifik tetapi ada factor prediposisi yaitu:
a. Factor yang tersering adalah obstruksi lumen.
Pada umumnya obstruksi ini terjadi karena:
1) Hiperplasia dari folikel limfoid, ini merupakan penyebab terbanyak.
2) Adanya faekolit dalam lumen appendiks.
3) Adanya benda asing seperti biji-bijian.
4) Striktura lumen karena fibrosa akibat peradangan sebelumnya.
b. Infeksi kuman dari colon yang paling sering adalah E. Coli dan Streptococcus.
c. Laki-laki lebih banyak dari wanita.
Yang terbanyak pada umur 15-30 tahun (remaja dewasa). Ini disebabkan oleh karena peningkatan jaringan limpoid pada masa tersebut.
d. Tergantung pada bentuk apendiks:
1) Appendik yang terlalu panjang 2) Massa appendiks yang pendek
3) Penonjolan jaringan limpoid dalam lumen appendiks 4) Kelainan katup di pangkal appendiks (Nuzulul, 2009)
d. Klasifikasi
Klasifikasi apendisitis menurut Smeltzer(2013) berdasarkan klinik patologis adalah sebagai berikut:
a. Apendisitis Akut
1) Apendisitis Akut Sederhana (Cataral Apendisitis)
Proses peradangan baru terjadi di mukosa dan sub mukosa disebabkan obstruksi. Sekresi mukosa menumpuk dalam lumen apendiks dan terjadi peningkatan tekanan dalam lumen yang mengganggu aliran limfe, mukosa apendiks jadi menebal, edema, dan kemerahan. Gejala diawali dengan rasa nyeri di daerah umbilikus, mual, muntah, anoreksia, malaise, dan demam ringan. Pada
apendisitis kataral terjadi leukositosis dan apendiks terlihat normal, hiperemia, edema, dan tidak ada eksudat serosa.
2) Apendisitis Akut Purulenta (Supurative Apendisitis)
Tekanan dalam lumen yang terus bertambah disertai edema menyebabkan terbendungnya aliran vena pada dinding apendiks dan menimbulkan trombosis. Keadaan ini memperberat iskemia dan edema pada apendiks. Mikroorganisme yang ada di usus besar berinvasi ke dalam dinding apendiks menimbulkan infeksi serosa sehingga serosa menjadi suram karena dilapisi eksudat dan fibrin.
Apendiks dan mesoapendiks terjadi edema, hiperemia, dan di dalam lumen terdapat eksudat fibrinopurulen. Ditandai dengan rangsangan peritoneum lokal seperti nyeri tekan, nyeri lepas di titik Mc Burney, dan nyeri pada gerak aktif dan pasif.
3) Apendisitis Akut Gangrenosa
Bila tekanan dalam lumen terus bertambah, aliran darah arteri mulai terganggu sehingga terjadi infark dan ganggren. Selain didapatkan tanda-tanda supuratif, apendiks mengalami gangren pada bagian tertentu. Dinding apendiks berwarna ungu, hijau keabuan atau merah kehitaman. Pada apendisitis akut gangrenosa terdapat mikroperforasi dan kenaikan cairan peritoneal yang purulen.
b. Apendisitis Infiltrat
Apendisitis infiltrat adalah proses radang apendiks yang penyebarannya dapat dibatasi oleh omentum, usus halus, sekum, kolon dan peritoneum sehingga membentuk gumpalan massa flegmon yang melekat erat satu dengan yang lainnya.
c. Apendisitis Abses
Apendisitis abses terjadi bila massa lokal yang terbentuk berisi nanah (pus), biasanya di fossa iliaka kanan, lateral dari sekum, retrocaecal, subcaecal, dan pelvic.
d. Apendisitis Perforasi
Apendisitis perforasi adalah pecahnya apendiks yang sudah ganggren yang menyebabkan pus masuk ke dalam rongga perut sehingga terjadi peritonitis umum. Pada dinding apendiks tampak daerah perforasi dikelilingi oleh jaringan nekrotik.
e. Apendisitis kronik
Apendisitis kronik adalah nyeri perut kanan bawah lebih dari 2 minggu, radang kronik apendiks secara makroskopik dan mikroskopik, dan keluhan menghilang setelah apendiktomi. Kriteria mikroskopik apendiks adalah fibrosis menyeluruh dinding apendiks, adanya jaringan parut dan ulkus lama di mukosa, dan infiltrasi sel inflamasi.
Appendic: Normal
Appendicitis Acute (Akut)
Appendicitis Chronic (Kronis) Sumber: www.radiopaedia.org
e. Patofisiologi
Apendisitis biasanya disebabkan oleh penyumbatan lumen apendiks oleh hiperplasia folikel limfoid, fekalit, benda asing, striktur karena fibrosis akibat peradangan sebelumnya, atau neoplasma. Obstruksi tersebut menyebabkan mukus yang diproduksi mukosa mengalami bendungan. Makin lama mukus tersebut makin banyak, namun elastisitas dinding apendiks mempunyai keterbatasan sehingga menyebabkan penekanan tekanan intralumen.
Tekanan yang meningkat tersebut akan menghambat aliran limfe yang mengakibatkan edema, diapedesis bakteri, dan ulserasi mukosa. Pada saat inilah terjadi terjadi apendisitis akut fokal yang ditandai oleh nyeri epigastrium. Bila sekresi mukus terus berlanjut, tekanan akan terus meningkat. Hal tersebut akan menyebabkan obstruksi vena, edema bertambah, dan bakteri akan menembus dinding. Peradangan yang timbul meluas dan mengenai peritoneum setempat sehingga menimbulkan nyeri di daerah kanan bawah. Keadaan ini disebut dengan apendisitis supuratif akut.
Bila kemudian aliran arteri terganggu akan terjadi infark dinding apendiks yang diikuti dengan gangren. Stadium ini disebut dengan apendisitis gangrenosa. Bila dinding yang telah rapuh itu pecah, akan terjadi apendisitis perforasi.
Bila semua proses di atas berjalan lambat, omentum dan usus yang berdekatan akan bergerak ke arah apendiks hingga timbul suatu massa lokal yang disebut infiltrat apendikularis. Peradangan apendiks tersebut dapat menjadi abses atau menghilang. Pada anak-anak, karena omentum lebih pendek dan apediks lebih panjang, dinding apendiks lebih tipis. Keadaan tersebut ditambah dengan daya tahan tubuh yang masih kurang memudahkan terjadinya perforasi.
f. Patoflowdiagram
peritoneum A endic tere an
g. Manifestasi Klinis
Menurut Andra dan Yessie (2013) tanda terjadinya apendisitis antara lain:
a. Nyeri kuadran bawah terasa dan biasanya disertai dengan demam ringan, mual, muntah dan hilangnya nafsu makan.
b. Nyeri tekan local pada titik McBurney bila dilakukan tekanan.
c. Nyeri tekan lepas dijumpai.
d. Terdapat konstipasi atau diare.
e. Nyeri lumbal, bila appendiks melingkar di belakang sekum.
f. Nyeri defekasi, bila appendiks berada dekat rektal.
g. Nyeri kemih, jika ujung appendiks berada di dekat kandung kemih atau ureter
h. Pemeriksaan rektal positif jika ujung appendiks berada di ujung pelvis.
i. Tanda Rovsing dengan melakukan palpasi kuadran kiri bawah yang secara paradoksial menyebabkan nyeri kuadran kanan.
j. Apabila appendiks sudah ruptur, nyeri menjadi menyebar, disertai abdomen terjadi akibat ileus paralitik.
k. Mual dan Muntah
Mual dan muntah sering terjadi beberapa jam setelah muncul nyeri.
l. Anoreksia
Mual dan muntah yang muncul berakibat pada penurunan nafsu makan sehingga dapat menyebabkan anoreksia.
m. Demam
Demam dengan derajat ringan (37,6 -38,5°C) juga sering terjadi pada apendisitis. Jika suhu tubuh diatas 38,6°C menandakan terjadi perforasi.
Nama pemeriksaan Tanda dan gejala
Rovsing’s sign Positif jika dilakukan
palpasi dengan tekanan pada kuadran kiri bawah dan timbul nyeri pada sisi kanan
Psoas sign atau Obraztsova’s sign Pasien dibaringkan pada sisi kiri, kemudian dilakukan ekstensi dari panggul kanan.
Positif jika timbul nyeri pada kanan bawah
Obturator sign Pada pasien dilakukan fleksi
panggul dan dilakukan rotasi internal pada panggul.
Positif jika timbul nyeri pada hipogastrium atau vagina
Dunphy’s sign Pertambahan nyeri pada
tertis kanan bawah dengan batuk
Ten Horn sign Nyeri yang timbul saat
dilakukan traksi lembut pada korda spermatic kanan
Kocher (Kosher)’s sign Nyeri pada awalnya pada daerah epigastrium atau
sekitar pusat, kemudian berpindah ke kuadran kanan bawah.
Sitkovskiy (Rosenstein)’s sign Nyeri yang semakin bertambah pada perut kuadran kanan bawah saat pasien dibaringkan pada sisi kiri
Aure-Rozanova’s sign Bertambahnya nyeri dengan
jari pada petit triangle kanan (akan positif Shchetkin Bloomberg’s sign)
Bloomberg sign Disebut juga dengan nyeri
lepas. Palpasi pada kuadran kanan bawah kemudian dilepaskan tiba-tiba
MC Burney sign Melakukan penekanan
terhadap titik McBurney (McBurney's point) yang terdapat di 2/3 antara umbilikus dan anteriot superior iliacspine (ASIS).
(+) : terdapat nyeri tekan pada McBurney's point.
(–) : tidak ada nyeri tekan.
h. Komplikasi
Komplikasi terjadi akibat keterlambatan penanganan Apendisitis. Faktor keterlambatan dapat berasal dari penderita dan tenaga medis. Faktor penderita meliputi pengetahuan dan biaya, sedangkan tenaga medis meliputi kesalahan
diagnosa, menunda diagnosa, terlambat merujuk ke rumah sakit, dan terlambat melakukan penanggulangan. Kondisi ini menyebabkan peningkatan angka morbiditas dan mortalitas.
Adapun jenis komplikasi diantaranya:
a. Abses
Abses merupakan peradangan appendiks yang berisi pus. Teraba massa lunak di kuadran kanan bawah atau daerah pelvis. Massa ini mula-mula berupa berupa flegmon flegmon dan berkembang berkembang menjadi menjadi rongga yang mengandung mengandung pus. Hal ini terjadi bila Apendisitis gangren atau mikroperforasi ditutupi oleh omentum.
b. Perforasi
Perforasi adalah pecahnya appendiks yang berisi pus sehingga bakteri menyebar ke rongga perut. Perforasi jarang terjadi dalam 12 jam pertama sejak awal sakit, tetapi meningkat tajam sesudah 24 jam. Perforasi dapat diketahui praoperatif pada 70% kasus dengan gambaran klinis yang timbul lebih dari 36 jam sejak sakit, panas lebih dari 38,50C, tampak toksik, nyeri tekan seluruh perut, dan leukositosis terutama polymorphonuclear (PMN).
Perforasi, baik berupa perforasi bebas maupun mikroperforasi dapat menyebabkan peritonitis
c. Peritonitis
Peritonitis adalah peradangan peritoneum, merupakan komplikasi berbahaya yang dapat terjadi dalam bentuk akut maupun kronis. Bila infeksi tersebar luas pada permukaan peritoneum menyebabkan timbulnya peritonitis umum. Aktivitas peristaltik berkurang sampai timbul ileus paralitik, paralitik, usus meregang, dan hilangnya cairan elektrolit mengakibatkan dehidrasi, syok, gangguan sirkulasi, dan oligouria. Peritonitis disertai rasa sakit perut yang semakin hebat, muntah, nyeri abdomen, demam, dan leukositosis
i. Tes Diagnosis
Pemeriksaan untuk mengetahui apendisitis menurut (Dermawan &
Rahayuningsih, 2010) :
a. Laboratorium, terdiri dari pemeriksaan darah lengkap dan C-reactiv protein (CRP). Pada pemeriksaan darah lengkap ditemukan jumlah leukosit antara 10.000-18.000/mm3 (leukositosis) dan neutrofil diatas 75%, sedangkan pada CRP ditemukan jumlah serum yang meningkat.
CRP adalah salah satu komponen protein fase akut yang akan meningkat 4-6 jam setelah terjadinya proses inflamasi, dapat dilihat melalui proses elektroforesis serum protein. Angka sensitivitas dan spesifisitas CRP yaitu 80% dan 90%.
b. Radiologi, terdiri dari pemeriksaan ultrasonografi (USG) dan Computed Tomography Scanning (CT-scan). Pada pemeriksaan USG ditemukan bagian memanjang pada tempat yang terjadi inflamasi pada apendiks, sedangkan pada pemeriksaan CT-scan ditemukan bagian yang menyilang dengan fekalith dan perluasan dari apendiks yang mengalami inflamasi serta adanya pelebaran sekum. Tingkat akurasi USG 90-94% dengan angka sensitivitas dan spesifisitas yaitu 85% dan 92%, sedangkan CT- Scan mempunyai tingkat akurasi 94-100% dengan sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi yaitu 90-100% dan 96- 97%.
c. Pemeriksaan Penunjang Lainnya
1) Pada copy fluorossekum dan ileum termasuk tampak irritable
2) Pemeriksaan colok dubur: menyebabkan nyeri bila di daerah infeksi, bisa dicapai dengan jari telunjuk. Pemeriksaan colok dubur diperlukan untuk mengevaluasi adanya peradangan apendiks.
Pertama-tama tentukan diameter anus dengan mencocokkan jari.
Apabila yang diperiksa adalah pediatrik, maka jari kelingking diperlukan untuk melakukan colok dubur. Pemeriksaan colok dubur dengan manifestasi nyeri pada saat palpasi mencapai area inflamasi.
Pemeriksaan juga mendeteksi adanya feses atau masa inflamasi apendiks. Pada rectal taoucher, apabila terdapat nyeri pada arah jam 10-11 merupakan petunjuk adanya perforasi.
3) Uji psoas dan uji obturator
Pemeriksaan fisik ada 2 cara pemeriksaan, yaitu:
a) Psoas Sign
Penderita terlentang, tungkai kanan harus lurus dan ditahan oleh pemeriksa. Penderita disuruh aktif memfleksikan articulatio coxae kanan, akan terasa nyeri di perut kanan bawah (cara aktif).
Penderita miring ke kiri, paha kanan di hiperektensi oleh pemeriksa, akan terasa nyeri di perut kanan bawah (cara pasif).
b) Obturator Sign
Gerakan fleksi dan endorotasi articulatio coxae pada posisi supine akan menimbulkan nyeri. Bila nyeri berarti kontak dengan Obturator internus, artinya apendiks terletak di pelvis.
j. Penatalaksanaan Medis a. Pra Operasi
1) Observasi
Dalam 8-12 jam setelah timbulnya keluhan, tanda dan gejala apendisitis seringkali belum jelas, dalam keadaan ini observasi ketat perlu dilakukan. Pasien diminta melakukan tirah baring dan dipuasakan. Pemeriksaan abdomen dan rectal serta pemeriksaan darah (leukosit dan hitung jenis) diulang secara periodik, foto abdomen dan thoraks dilakukan untuk mencari kemungkinan adanya penyulit lain. Kebanyakan kasus diagnosa ditegakkan dengan lokalisasi nyeri di daerah kanan bawah dalam 12 jam setelah timbulnya keluhan.
2) Antibiotik
Apendisitis tanpa komplikasi biasanya tidak perlu diberikan antibiotik, kecuali apendisitis gangrenosa atau
apendisitis perforasi. Penundaan tindakan pembedahan sambil memberikan antibiotik dapat mengakibatkan abses atau perforasi.
b. Intra Operasi
Apendiktomi (pembedahan untuk mengangkat apendiks) dilakukan sesegera untuk menurunkan risiko perforasi. Apendiktomi dapat dilakukan dibawah anestesi umum dengan insisi abdomen bawah atau dengan laparoskopi, yang merupakan metode terbaru yang sangat efektif.
Apendiktomi dapat dilakukan dengan menggunakan dua metode pembedahan, yaitu secara tehnik terbuka/pembedahan konvensional (laparotomi) atau dengan tehnik laparoskopi yang merupakan teknik pembedahan minimal invasif dengan metode terbaru yang sangat efektif.
1) Laparatomi
Laparatomi adalah prosedur yang membuat irisan vertical besar pada dinding perut ke dalam rongga perut. Menurut referensi lain laparotomi adalah salah operasi yang dilakukan pada daerah abdomen. Prosedur ini memungkinkan dokter melihat dan merasakan organ dalam dalam membuat diagnosa apa yang salah. Adanya teknik diagnosa yang tidak invansif, laparotomi semakin kurang digunakan dibandingkan masa lalu. Prosedur ini hanya dilakukan jika semua prosedur lainnya yang tidak membutuhkan operasi, seperti pemeriksaan sinar X atau tes darah atau urine atau tes darah, gagal mengungkap penyakit penderita. Teknik laparoskopi yang seminimal mungkin tingkat invansifnya juga membuat laparatomi tidak sesering di masa lalu. Bila laparotomi dilakukan, begitu organ-organ dalam dapat dilihat dalam masalah teridentifikasi, pengobatan bedah yang diperlukan harus segera dilakukan.
Laparatomi dibutuhkan ketika ada kedaruratan perut. Operasi laparatomi dilakukan apa bila terjadi masalah kesehatan yang berat pada area abdomen, misalnya trauma abdomen. Perawatan post laparatomi adalah bentuk pelayanan perawatan yang diberikan kepada penderita-penderita yang telah menjalani operasi pembedahan perut.
Bila penderita merasakan nyeri perut hebat dan gejala-gejala lain dari masalah internal yang serius dan kemungkinan penyebabnya tidak terlihat usus buntu, tukak peptik yang berlubang atau kondisi ginekologi, perlu dilakukan operasi untuk menemukan dan mengoreksinya sebelum terjadi kerusakan lebih lanjut. Sejumlah operasi yang membuang usus buntu berawal dari laparatomi.
Beberapa kasus laparatomi hanyalah prosedur kecil. Pada kasus lain, laparatomi bisa berkembang menjadi pembedahan besar, diikuti oleh transfusi darah dan masa perawatan intensif (David.A 2009).
2) Laparascopi
Laparoskopi berasal dari kata lapara yaitu bagian dari badan mulai iga paling bawah sampai dengan panggul. Teknologi laparoskopi ini bisa digunakan untuk melakukan pengobatan dan juga untuk melakukan diagnosa terhadap penyakit yang belum jelas (David .A 2009).
Keuntungan bedah laparoskopi:
a) Luka operasi yang kecil berkisar antara 3-10 mm.
b) Medan penglihatan diperbesar 20 kali, tentunya hal ini lebih membantu ahli bedah dalam melakukan pembedahan
c) Secara kosmetik bekas luka sangat berbeda dibandingkan dengan luka operasi pasca bedah konvensional. Luka bedah laparoskopi berukuran 3 mm sampai dengan ukuran 10 mm akan hilang atau tersembunyi kecuali penderita mempunyai bakat keloid (pertumbuhan jaringan parut yang berlebihan).
d) Rasa nyeri setelah pembedahan minimal sehingga penggunaan obat-obatan dapat diminimalkan, masa pulih setelah pembedahan jauh lebih cepat dan masa rawat di rumah sakit menjadi lebih pendek, sehingga penderita bisa kembali beraktivitas normal lebih cepat.
e) Banyaknya keuntungan yang diperoleh penderita dengan laparoskopi menyebabkan teknik ini lebih diminati dan bersahabat kepada penderita
c. Post Operasi
Salah satu pembedahan yang mempunyai angka prevelansi yang cukup tinggi adalah laparatomi. Laparatomi merupakan tindakan pembedahan dengan mengiris dinding perut. Komplikasi pada pasien pots operasi laparatomi adalah nyeri yang hebat, perdarahan, bahkan kematian. Nyeri yang hebat merupakan gejala sisa yang diakibatkan oleh operasi pada regio intraabdomen (perut bagian dalam) sekitar 60% pasien menderita nyeri yang hebat 25% nyeri sedang dan 15% nyeri ringan.
Dilakukan observasi tanda-tanda vital untuk mengetahui terjadinya perdarahan di dalam, syok, hipertermia atau gangguan pernapasan, baringkan penderita dalam posisi fowler, menghilangkan nyeri dan, pencegahan komplikasi. Penderita dikatakan baik bila dalam 12 jam tidak terjadi gangguan, selama itu penderita dipuasakan sampai fungsi usus kembali normal. Satu hari pasca operasi penderita dianjurkan untuk duduk tegak di tempat tidur selama 2x30 menit. Hari kedua dapat dianjurkan untuk duduk di luar kamar. Hari ke tujuh jahitan dapat diangkat dan penderita diperbolehkan pulang (Mansjoer, 2003).
B. Konsep Dasar Proses Keperawatan Pada Pasien dengan Apendektomi 1. Asuhan Keperawatan Post Operasi
a. Pengkajian
Menurut Potter & Perry (2010), pengkajian keperawatan klien dengan post apendiktomi yaitu :
1) Siatem Pernafasan
Kaji patensi jalan nafas, laju nafas, irama ke dalam ventilasi, simteri gerakan dinding dada, suara nafas, dan warna mukosa.
2) Sirkulasi
Penderita beresiko mengalami komplikasi kardiovaskuler yang disebabkan oleh hilangnya darah dari tempat pembedahan, efek samping dari anestesi.
Pengkajian yang telah diteliti terhadap denyut dan irama jantung, bersama dengan tekanan darah, mengungkapkan status kardiovaskular penderita.
Kaji sirkulasi kapiler dengan mencatat pengisian kembali kapiler, denyut, serta warna kuku dan temperatu kulit. Masalah umum awal sirkulasi adalah perdarahan. Kehilangan darah dapat terjadi secara eksternal melalui saluran atau sayatan internal.
3) Sistem Persarafan
Kaji refleks pupil dan muntah, cengkeraman tangan, dan gerakan kaki. Jika penderita telah menjalani operasi melibatkan sebagian sistem saraf, lakukan pengkajian neurologi secara lebih menyeluruh.
4) Sistem Perkemihan
Anestesi epidural atau spinal sering mencegah penderita dari sensasi kandung kemih yang penuh. Raba perut bagian bawah tapat di atas simfisis pubis untuk mengkaji distensi kandung kemih. Jika penderita terpasang kateter urine, harus ada aliran urine terus-menerus sebanyak 30-50 ml/jam pada orang dewasa. Amati warna dan bau urine, pembedahan yang melibatkan saluran kemih biasanya akan menyebabkan urine berdarah paling sedikit selama 12 sampai 24 jam, tergantung pada jenis operasi.
5) Sistem Pencernaan
Inspeksi abdomen untuk memeriksa perut kembung akibat akumulasi gas.
Perawat perlu memantau asupan oral awal penderita yang berisiko menyebabkan aspirasi atau adanya mual dan muntah. Kaji juga kembalinya peristaltik setiap 4 sampai 8 jam. Auskultasi perut secara rutin untuk mendeteksi suara usus kembali normal, 5-30 bunyi keras per menit pada masing-masing kuadran menunjukkan gerak peristaltik yang telah kembali.
Suara denting tinggi disertai oleh distensi perut menunjukkan bahwa usus tidak berfungsi dengan baik. Tanyakan apakah penderita membuang gas (flatus), ini merupakan tanda penting yang menunjukkan fungsi usus normal .
b. Diagnosa Keperawatan
1) Nyeri berhubungan dengan prosedur operasi (D.0077)
2) Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan nyeri (D.0054) 3) Risiko Infeksi berhubungan dengan efek prosedur invasi (D.0142)
c. Rencana Keperawatan
No DK (SDKI) Tujuan dan Kriteria Hasil (SLKI) Intervensi (SIKI)
1. Nyeri Akut b.d Prosedur operasi (D.0077)
Penyebab:
a) Agen pencedera fisik( mis abses, amputasi, terbakar, terpotong, prosedur operasi )
Gejala dan Tanda Mayor Subjektif a) Pasien mengeluh nyeri .
Gejala dan Tanda Mayor Objektif a) Tampak meringis
b) Bersikap protektif c) Gelisah
d) Frekuensi nadi meningkat e) Sulit tidur
Gejala dan Tanda Minor – Objektif a) Tekanan darah meningkat b) Pola nafas berubah c) Nafsu makan berubah d) Proses berfikir terganggu e) Menarik diri
Kondisi Klinis Terkait.
a) Kondisi pembedahan
Tujuan: Setelah dilakukan tindakan keperawatan 2 x 24 jam maka keluhan nyeri Kriteria Hasil:
Menurun Cukup
Menurun Sedang Cukup
Meningkat Meningkat Melaporkan
nyeri terkontrol 1 2 3 4 5
Kemampuan mengenali onset nyeri
1 2 3 4 5
Kemampuan mengenali
penyebab nyeri 1 2 3 4 5
Kemampuan menggunakan Teknik non- farmakologis
1 2 3 4 5
Dukungan orang
terdekat 1 2 3 4 5
Penggunaan
analgesik 1 2 3 4 5
Perawatan Sirkulasi Observasi:
a) Identifikasi lokasi, karakteristik,durasi frekuensi, kualitas, intensitas nyeri b) Identifikasi skala nyeri
c) Identifikasi respon nyeri non verbal
d) Monitor keberhasilan terapi komplementer yang sudah diberikan
e) Monitor efek samping penggunaan analgetik
Terapeutik
a) Berikan teknik nonfarmakologis untuk mengurangi nyeri misalnya terapi music, aromaterapi.
b) Kontrol lingkungan yang memperberat rasa nyeri
Edukasi
a) Jelaskan penyebab , periode dan pemicu nyeri
b) Jelaskan strategi meredakan rasa nyeri
c) Anjurkan menggunakan Analgetik secara tepat
d) Ajarkan teknik non
farmakologik untuk mengurangi nyeri
e) Anjurkan berhenti merokok Kolaborasi
a) Kolaborasi pemberian analgetik bila perlu
2. Gangguan mobilitas fisik b.d nyeri
(D.0054)
Penyebab : a) Nyeri
b) Ketidakbugaran fisik c) Program pembatasan gerak Gejala dan Tanda Mayor – Subjektif a) Mengeluh sulit menggerakkan
ekstremitas
Gejala dan Tanda Mayor – Objektif a) ROM menurun
GEJALA dan TANDA MINOR – Subjektif
a) Nyeri saat bergerak
b) Enggan melakukan pergerakan c) Merasa cemas saat bergerak GEJALA dan TANDA MINOR – Objektif
a) Gerakan terbatas b) Fisik lemah
Tujuan: Setelah dilakukan tindakan keperawatan 3x24 jam diharapkan mobilitas fisik meningkat.
Kriteria hasil :
Menurun Cukup
Menurun Sedang Cukup
Meningkat Meningkat Skala Nyeri
menurun 1 2 3 4 5
Gerakan terbatas menurun
1 2 3 4 5
Kelemahan fisik
menurun 1 2 3 4 5
Dukungan ambulasi Observasi:
1) Iidentifikasi adanya nyeri atau keluhan fisik lainnya
2) Identiikasi toleransi fisik melakukan pergerakan 3) Monitor keadaan umum selama
melakukan mobilisasi Terapeutik:
4) Libatkan keluarga untuk membantu pasien dalam meningkatkan pergerakan Edukasi:
5) Jelaskan tujuan dan prosedur mobilisasi
6) Anjurkan melakukan mobilisasi dini
Ajarkan mobilisasi sederhana yang harus dilakukan (mis.
Duduk di tempat tidur)
3. Risiko infeksi b.d efek prosedur invasi ( D. 0142)
Penyebab:
a) Gangguan peristaltic b) Perubahan status nutrisi c) Kerusakan integritas kulit d) Penurunan kerja siliaris e) Kurang terpapar informasi Gejala dan Tanda Mayor Subjektif:
a) Tampak cemas dan bingung b) Mengeluh nyeri
c) Tidak nafsu makan Objektif:
a) Kerusakan jaringan /lapisan kulit Gejala dan Tanda Minor
Subjektif Objektif:
a) Nyeri b) Perdarahan c) Kemerahan d) Hematoma
Tujuan: Setelah dilakukan tindakan keperawatan 2x24 jam diharapkan Tingkat infeksi menurun
Kriteria Hasil:
Meningkat Cukup
Meningkat Sedang Cukup
Menurun Menurun
Demam 1 2 3 4 5
Kemerahan 1 2 3 4 5
Nyeri 1 2 3 4 5
Bengkak 1 2 3 4 5
Memburuk Cukup
Memburuk Sedang Cukup
Membaik Membaik Kadar sel darah
putih 1 2 3 4 5
Pencegahan Infeksi Observasi
a) Monitor tanda gejala infeksi lokal dan sistemik
Terapeutik
a) Batasi jumlah pengunjung b) Berikan perawatan kulit pada
daerah edema
c) Cuci tangan sebelum dan sesudah kontak dengan pasien d) Pertahankan Teknik aseptic
pada pasien berisiko tinggi Edukasi
a) Jelaskan tanda dan gejala infeksi b) Ajarkan cara memeriksa luka c) Anjurkan meningkatkan asupan
cairan Kolaborasi
a) Kolaborasi pemberian imunisasi, jika perlu
d. Implementasi
Implementasi adalah tahapan ketika perawat mengaplikasikan rencana atau tindakan asuhan keperawatan kedalam bentuk intervensi keperawatan untuk membantu pasien dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Tahap pelaksanaan terdiri atas tindakan mandiri dan kolaborasi yang mencangkup peningkatan kesehatan, pencegahan penyakit, pemulihan kesehatan, dan memfasilitasi koping. Agar kondisi pasien cepat membaik diharapkan bekerjasama dengan keluarga pasien dalam melakukan pelaksanaan agar tercapainya tujuan dan kriteria hasil yang sudah dibuat dalam intervensi (Nursalam, 2016).
e. Evaluasi
Evaluasi merupakan tahap akhir dari proses keperawatan meliputi perbandingan yang sistematis dan terencana antara hasil akhir yang teramati dan tujuan atau kriteria hasil yang dibuat pada tahap perencanaan (Asmadi, 2008). Evaluasi dapat berupa struktur, proses dan hasil evaluasi terdiri dari evaluasi formatif yaitu menghasilkan umpan balik selama program berlangsung. Sedangkan evaluasi sumatif dilakukan setelah program selesai dan mendapatkan informasi efektifitas pengambilan keputusan. Evaluasi asuhan keperawatan didokumentasikan dalam bentuk SOAP (subjektif, objektif, assessment, planning) (Achjar, 2010).
BAB III
TINJAUAN KASUS
A. Pengkajian Keperawatan 1. Pengumpulan Data
a. Data Umum.
1) Identitas Pasien
Nama : Tn. S
Usia : 45 Tahun
Jenis kelamin : Laki laki
Agama : Islam
Pendidikan : SMA
Pekerjaan : Karyawan swasta
Status marital : Menikah
Tanggal, jam pengkajian : 12 Mei 2020, jam 14:00 Tanggal, jam masuk : 11 Mei 2020, jam 09:00 Diagnosa Medis : Apendisitis
Alamat : Jl. T
2) Identitas Keluarga/Penanggung Jawab
Nama : Ny. D
Usia : 42 Tahun
Jenis kelamin : Perempuan
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Hubungan dengan pasien: Istri pasien
Alamat : Jl. T
b. Riwayat Kesehatan
1) Riwayat Kesehatan Sekarang a) Alasan Masuk Rumah Sakit :
Klien mengeluh nyeri pada perut kanan bawah dan demam dari semalam. Sebelumnya tgl 11 Mei 2020 klien berobat ke Puskesmas, setelah dilakukan pemeriksaan oleh dokter Puskesmas klien diperkirakan menderita apendisitis. Dokter puskesmas merujuk klien ke Rumah Sakit, tapi di hari itu klien merasa baikan setelah minum obat. Saat efek obat habis nyeri timbul lagi dan keesokan harinya klien memutuskan ke IGD Rumah Sakit.
b) Keluhan utama
Nyeri pada daerah post apendiektomi c) Riwayat Penyakit Sekarang (PQRST)
Klien mengeluh nyeri pada daerah post apendiektomi dibagian abdomen kanan bawah, nyeri seperti ditusuk tusuk serta mengeluh perih, skala nyeri pada skala 6 (0-10), nyeri bertambah ketika melakukan aktivitas dan berkurang saat istirahat.
d) Keluhan yang menyertai Demam
e) Riwayat tindakan konservatif dan pengobatan yang telah didapat Tidak ada
2) Riwayat Kesehatan Masa Lalu
a) Riwayat penyakit atau rawat inap sebelumnya
Klien mengatakan sebelumnya belum pernah di rawat di rumah sakit, hanya mengatakan pernah merasakan sakit kepala, flu dan batuk biasa.
b) Riwayat alergi Tidak ada c) Riwayat operasi
Tidak ada
d) Riwayat transfusi Tidak ada
e) Riwayat pengobatan
Klien mengatakan tidak mempunyai riwayat pengobatan yang lama. Kalo pusing dan demam hanya minum obat dari warung saja
3) Riwayat Penyakit Keluarga Tidak ada
4) Keadaan kesehatan lingkungan rumah
Rumah bersih, lingkungan di sekitar juga bersih, tidak dekat dengan pembuangan sampah, sirkulasi dan ventilasi di rumah juga baik, pengelolaan dan penyediaan makan dirumah juga dilakukan dengan bersih dan higienis
c. Data Biologis
1) Penampilan umum :
Keadaan umum tampak sakit sedang, kesadaran composmentis, GCS 14 E4 M5 V5, klien terlihat lemah, akral hangat, tidak cyanosis, respirasi spontan tanpa oksigen tambahan, tidak sesak, terpasang infus RL 500ml/8jam di sebelah kiri, terpasang kateter urine berwarna kuning jenih, tampak luka post operasi dibagian abdomen kanan bawah tertutup kassa berukuran sekitar 7 cm. Klien terlihat menahan nyeri, klien terlihat memegangi perutnya dan klien kelihatan hati hati saat mobilisasi.
2) Tanda–tanda vital:
Tekanan darah : 100/70 mmHg, di lengan kanan Suhu : 37.8 oC per axilla
Nadi : 95 x/menit, di arteri radialis, irama teratur, denyutan kuat
Pernapasan : 20 x/menit, teratur, jenis pernapasan dada
Nyeri : nyeri pada luka operasi dibagian perut kanan bawah, nyeri seperti ditusuk tusuk, skala nyeri 6/10 (nyeri sedang)
3) Tinggi badan : 161 cm Berat badan : 58 kg IMT : 22.3 kg/m2 (kategori : normal/ideal)
4) Anamnesa, Pemeriksaan Fisik, Masalah Keperawatan a) Sistem Pernapasan
(1) Anamnesa:
Menurut klien saat ini tidak ada sesak yang menggangu aktivitas bai sebelum maupun setelah operasi
(2) Pemeriksaan Fisik:
Inspeksi:
Hidung: pernapasan cuping hidung tidak ada, mukosa hidung tampak merah muda, sekret tidak ada, polip tidak ada, tidak terpasang oksigen, tidak tampak sianosis, bentuk dada simetris, pergerakan dada simetris, retraksi dada baik, dyspnea tidak ada.
Palpasi:
Daerah sinus paranasalis tidak ada nyeri tekan Taktil fremitus tidak terkaji
Perkusi:
Terdengar sonor Batas paru ICS VI Auskultasi:
Vesicular terdengar halus
Bronchial terdengar diatas trachea atau daerah suprasternal Bronchovesicular terdengar nyaring dengan intensitas sedang terdengar didaerah percabangan bronchus dan trachea.
Suara napas tambahan tidak ada
(3) Masalah Keperawatan: tidak ada masalah
b) Sistem Kardiovaskuler (1) Anamnesa:
Klien mengatakan tidak mempunyai riwayat penyakit jantung.
(2) Pemeriksaan Fisik:
Inspeksi:
Ictus cordis tidak terlihat; edema tidak ada; clubbing of the finger tidak ada ; sianosis tidak ada.
Palpasi:
Ictus cordis tidak teraba ; Capillary refill time 2 detik ; thrill tidak ada; edema tidak ada, irama jantung teraba teratur.
Perkusi:
Terdengar sonor Batas-batas jantung:
Kanan atas: SIC II Linea Para Sternalis Dextra Kanan bawah: SIC IV Linea Para Sternalis Dextra Kiri atas: SIC II Linea Para Sternalis Sinistra
Kiri bawah: SIC IV Linea Medio Clavicularis Sinistra Auskultasi:
Bunyi jantung I terdengar lub di ICS 4-5 HR 95x/mnt
Bunyi jantung II terdengar dub di ICS 2 Bunyi jantung tambahan: murmur tidak ada irama gallop tidak ada
(3) Masalah Keperawatan: tidak ada masalah
c) Sistem Pencernaan (1) Anamnesa:
Sebelum operasi : klien mengatakan nyeri pada perut kanan bawah
Setelah operasi : klien mengatakan nyeri pada daerah post apendiektomi dibagian abdomen kanan bawah
(2) Pemeriksaan Fisik:
Inspeksi:
Mulut: bibir lembab, stomatitis tidak ada, lidah bersih Gigi: caries tidak ada, gigi tanggal tidak ada
Abdomen: pergerakan abdomen mengikuti irama nafas, terlihat balutan verban di regio/kuadran kanan bawah post apendiktomi, tampak kemerahan sekitar luka.
Anus: hemorrhoid tidak ada, fissure tidak ada, fistula tidak ada, tanda–tanda keganasan tidak ada
Auskultasi:
Bising usus 12x/menit, kuat Palpasi:
Hepar teraba, nyeri tekan tidak ada Limpa teraba, nyeri tidak ada
Nyeri tekan di regio/kuadran kanan bawah Perkusi:
Terdengar thympani
(3) Masalah Keperawatan: nyeri akut
d) Sistem Perkemihan (1) Anamnesa:
Klien mengatakan tidak ada keluhan sebelum operasi, namun setelah operasi untuk BAK pasien menggunakan kateter urin (2) Pemeriksaan Fisik:
Inspeksi:
Distensi regio hipogastrika tidak ada, terpasang kateter urine, warna urine kuning jernih, jumlah urine ±600 cc dalam 8 jam.
Palpasi:
Nyeri tekan regio hipogastrika tidak ada Perkusi:
Nyeri ketuk daerah costovertebral angle kanan dan kiri tidak ada
(3) Masalah Keperawatan: tidak ada masalah
e) Sistem Endokrin (1) Anamnesa:
Klien mengatakan tidak ada keluhan baik sebelum dan setelah operasi
(2) Pemeriksaan Fisik:
Inspeksi:
Bentuk tubuh: gigantisme tidak ada, kretinisme tidak ada, Pembesaran kelenjar tiroid tidak ada
Pembesaran pada ujung-ujung ekstremitas atas atau bawah tidak ada
Lesi tidak ada Palpasi:
Kelenjar tiroid tidak mengalami pembesaran (3) Masalah Keperawatan: tidak ada masalah
f) Sistem Persarafan (1) Anamnesa:
Klien mengatakan tidak ada masalah baik sebelum dan setelah operasi
(2) Pemeriksaan Fisik:
Orientasi terhadap orang, waktu, tempat
Pasien mengenal orang dengan baik, dapat menyebutkan hari, tanggal dan jam, pasien juga tahu sedang dirawat dimana Memori jangka panjang dan pendek:
Memori jangka panjang dan pendek baik Kemampuan kalkulasi:
Kemampuan kalkulasi baik Inspeksi:
Tingkat kesadaran: Kualitatif : Compos mentis Kuantitatif: GCS 15 (E= 4, M= 6, V=5) Wajah simetris, mulut tidak pelo, spastic tidak ada Suara: artikulasi jelas
Pergerakan tidak terkoordinir/involunter: tidak ada Tes sensori:
Rangsang ringan (kapas) baik Rangsang sentuh baik
Tes diskriminasi baik Lesi di kepala tidak ada Uji saraf kranial:
Nervus I (Olfaktorius): tidak ada gangguan pada penghiduan Nervus II (Optikus): tidak ada gangguan
Nervus III (Okulomotorius): tidak ada gangguan Nervus IV (Troklearis): tidak ada gangguan Nervus V (Trigeminus): tidak terkaji Nervus VI (abdusen): tidak terkaji Nervus VII (Fasial): tidak ada gangguan
Nervus VIII (Vestibulokoklear): tidak ada gangguan keseimbangan dan pendengaran, untuk tes rinne swabach tidak dilakukan
Nervus IX (glosofaringeal): tidak ada gangguan Nervus X (vagus): tidak ada gangguan
Nervus XI (asesorius): tidak terkaji
Nervus XII (hipoglosus): tidak ada gangguan Perkusi:
Refleks fisiologis: tendon biceps tidak terkaji, tendon triceps: tidak terkaji , tendon patela tidak terkaji, tendon Achilles tidak terkaji
Refleks patologis: refleks Babinski tidak terkaji (3) Masalah Keperawatan: tidak ada masalah
g) Sistem Persepsi Sensori (Penglihatan, Pendengaran) (1) Anamnesa:
Klien mengatakan baik sebelum dan sesudah operasi tidak ada masalah
Penglihatan : tidak ada keluhan Pendengaran: tidak ada keluhan
Pemeriksaan fisik:
Inspeksi:
Penglihatan: conjungtiva tidak anemis, sclera tidak ikterik, palpebra normas
Pupil simetris, reaksi cahaya positif, diameter 3/3
Pendengaran: pinna simetris, canalis auditorius eksterna tidak terkaji
Refleks cahaya politzer tidak terkaji, membran timpani tidak terkaji, pengeluaran cairan dari telinga tidak ada
Lesi tidak terkaji Palpasi:
Penglihatan: TIO tidak terkaji Pendengaran: pinna tidak terkaji
(2) Masalah Keperawatan: tidak ada masalah
h) Sistem Muskuloskeletal (1) Anamnesa:
Sebelum operasi : Klien mengatakan tidak ada masalah Setelah operasi : Klien mengatakan belum melakukan aktivitasnya karena masih terasa nyeri diluka operasi. Klien mengatakan nyeri makin bertambah setiap bergerak dan masih dibantu oleh keluarganya. Klien mengatakan takut beraktivitas (2) Pemeriksaan fisik:
Inspeksi:
Ekstremitas atas lengkap dan normal Ekstremitas bawah lengkap dan normal
Atrofi tidak ada, Rentang gerak/range of motion 5/5 Nilai kekuatan otot 5/5
Bentuk columna vertebralis: tidak terkaji
Penggunaan alat/balutan: klien dibantu oleh keluraga saat beraktivitas
Palpasi:
Nyeri tekan pada processus spinosus tidak ada (3) Masalah Keperawatan: Gangguan mobilitas fisik
i) Sistem Integumen (1) Anamnesa:
Sebelum operasi : klien mengatakan tidak ada masalah
Setelah operasi : tampak lesi di abdomen kanan bawah, ada luka sayatan dan tampak kemerahan di sekitar luka
(2) Pemeriksaan fisik:
Inspeksi:
Rambut: warna hitam, distribusi baik, tidak rontok Kuku: normal
Kulit: lesi ada di abdomen kanan bawah. Ada luka sayatan dibagian abdomen kanan bawah tertutup kassa berukuran sekitar 7 cm dan kemerahan di sekitar luka.
Ptekie tidak ada, ekimosis tidak ada Palpasi:
Tekstur kulit baik, kelembaban baik Turgor kulit baik
Nyeri tekan di luka post operasi ada
(3) Masalah Keperawatan: nyeri akut dan resiko infeksi
j) Sistem Imun Hematologi (1) Anamnesa:
Klien mengatakan sebelum dan setelah operasi tidak ada masalah
(2) Pemeriksaan fisik:
Inspeksi: pembesaran kelenjar getah bening/limfe tidak ada Lesi: tidak ada
Rumple leed test:tidak dilakukan
Palpasi: pembesaran kelenjar getah bening/limfe tidak ada (3) Masalah Keperawatan: tidak ada masalah keperawatan
d. Data Psikologis
1) Status emosi : klien nampak kooperatif dan tenang saat berkomunikasi 2) Konsep diri :
a) Gambaran diri: Klien mengatakan saat ini saya adalah pasien yang sedang menjalani perawatan setelah operasi
b) Harga diri: Klien mengatakan dengan kondisi sekarang ingin tetap mandiri bila bisa melakukan sendiri
c) Ideal diri: Klien mengatakan harusnya saat mendapat rujukan dari dokter puskesamas, langsung datangke RS tanpa menunda
d) Identitas diri: Klien mengatakan dirinya seorang lelaki, bekerja sebagai karyawan swatsa
e) Peran: klien mengatakan saat ini perannya terganggu karena sedang menjalani perawatan
3) Gaya komunikasi:
a) Kejelasan artikulasi: saat berkomunikasi suara sangat jelas
b) Intonasi: saat komunikasi klien nampak tenang dengan nada bicara rendah
a) Cepat lambatnya: klien kadang bicara agak lambat menyesuaikan kondisi yang masih menahan nyeri dalam bicara verbal
4) Pola interaksi:
Interaksi cukup baik dan terbuka bila di ajak berkomunikasi.
5) Pola mengatasi masalah : klien biasanya berdiskusi bersama keluarga (istrinya) dalam mengatasi masalah.
e. Data Sosio-Spiritual 1) Hubungan sosial:
Menurut klien tidak pernah bermasalah dengan siapapun dalam hubungan sosial bermasyarakat
2) Kultur yang diikuti :
Menurut klien tidak ada kultur yang harus di anut 3) Gaya hidup :
Menurut klien, gaya hidup selama ini sudah baik, pasien tidak merokok dan rajin berolah raga bila ada waktu luang.
4) Kegiatan agama dan relasi dengan Tuhan:
Menurut klien, klien menjalankan ibadah sholat lima waktu dan rajin berdoa
f. Pengetahuan Pasien/Keluarga tentang Penyakitnya
Awalnya pada tanggal 11 Mei 2020 klien sempat berobat ke Puskesmas karena keluhan nyeri perut kanan bawah, setelah dilakukan pemeriksaan oleh dokter Puskesmas, klien diperkirakan menderita apendisitis dan di rujuk ke Rumah Sakit, namun klien menunda karena merasa baikan setelah minum obat, setelah efek obat habis nyeri timbul lagi, lalu klien memutuskan untuk dating ke IGD Rumah Sakit keesokan harinya.
g. Data Penunjang
1) Laboratorium: (cantumkan tanggal, jenis pemeriksaan, hasil dan nilai normal)
12/05/2020
Pemeriksaan Hasil satuan Nilai normal
Hemoglobin 13,7 g/dL 12.0-18.0
Lekosit 12.20 10^3/Ul 4.00-10.00
Eritrosit 42.2 % 37.0-54.0
Trombosit 198 10^3/Ul 150-400
Ureum 20,3 mg/dL 15-45
Kreatinin 0,55 mg/dL 0.6-1.1
SGOT 37 U/L 5-40
SGPT 51 U/L 7-56
2) Radiologi: (cantumkan tanggal pemeriksaan, jenis pemeriksaan, kesan/kesimpulan/hasil pemeriksaan)
Tanggal pemeriksaan
Pemeriksaan Kesimpulan
12/05/2020 Thorax AP, lateral COR : besar dan bentuk baik
Pulmo : hillus baik,
tidak tampak
infiltrate sinus, diafragmabaik.
Kesan : COR dan
Pulmo dalam batas normal
3) Terapi (oral dan parenteral/injeksi)
a) Nama obat : Cefotaxime (injeksi)
Golongan : antibiotic spektrum luas golongan sefalosporin genberasi ketiga
Dosis untuk pasien : 1 x 500 mg
Cara kerja obat : obat ini bekerja dengan cara membunuh bakter dan menghambat pertumbuhannya Indikasi untuk pasien : pneumonia, infeksi saluran kemih, kencing
nanah, meningitis, atau infeksi tulang dan sendi. Selain itu juga untuk mencegah infeksi akibat operasi
Kontra indikasi obat : pasien dengan riwayat hipersensitivitas terhadap cefotaxime atau golongan cephalosporin lainnya. Peringatan penggunaan cefotaxime diberikan pada pasien dengan abnormalitas darah atau riwayat heprsenitivitas terhadap penicillin.
Efek samping obat : reaksi pada lokasi injeksi missal nyeri, kemerahan, dan bengkak. Diare, demam, sakit kepala, mual atau muntah, gatal pada vagina
b) Nama obat : Ketorolac
Golongan : antiinflamasi nonsteroid (OAINS) Dosis untuk pasien : 2x30 mg
Cara kerja obat : obat ini bekerja dengan cara menghambat kerja enzim siklooksigenasi (COX) dimana enzim ini berfungsi dalam membantu pembentukan prostaglandin saat terjadinya luka dan menyebabkan rasa sakit serta peradangan. Ketika kerja enzim CX terhalangi, maka produksi prostaglandin lebih sedikit, sehingga rasa sakit dan peradangan akan berkurang
Indikasi untuk pasien : manajemen jangka pendek untuk nyeri pasca operasi derajat sedang
Kontra indikasi obat : alergi yang diinduksi aspirin atau AINS, tukak peptic akut, perdarahan KV, diatesis hemoragik meliputi gangguan pembekuan, sindroma polip nasal, angioedema, bronkospasme, hypovolemia, dehidrasi, kerusakan fungsi ginjal sedang hingga berat, riwaat asma, sindrom Steven-Johnson.
Hamil dan laktasi. Anak < 16 tahun
Efek samping obat : iritasi lambung, mual, nyeri kepala, mengantuk, pusing, diare, dyspepsia, perdarahan, perforasi pada saluran cerna, retensi cairan, edema
4) Diit: lunak
5) Acara infus: RL 500ml/ 8 jam 6) Mobilisasi: bertahap
2. Pengelompokan Data
Data Subyektif Data Obyektif 1. Klien mengeluh nyeri pada daerah
post apendiektomi dibagian abdomen kanan bawah, nyeri seperti ditusuk tusuk serta mengeluh perih, skala nyeri pada skala 6 (0-10), nyeri bertambah ketika melakukan aktivitas dan berkurang saat istirahat.
2. Klien mengatakan belum melakukan aktivitasnya karena masih terasa nyeri diluka operasi.
Klien mengatakan nyeri makin bertambah setiap bergerak dan masih dibantu oleh keluarganya.
3. Klien mengatakan takut beraktivitas
4. Klien mengatakan demam
1. Tampak lesi di abdomen kanan bawah. Ada luka sayatan dibagian abdomen kanan bawah tertutup kassa berukuran sekitar 7 cm dan kemerahan di sekitar luka.
2. Klien terlihat memegangi perutnya
3. Klien kelihatan hati hati saat mobilisasi.
4. Klien terlihat menahan nyeri
5. Lekosit : 12.20 10^3/Ul 6. Suhu : 37.8 oC per axilla 7. Mobilisasi : bertahap
3. Analisis Data
NO Data Etiologi Masalah
1 DS :
Klien mengeluh nyeri pada daerah post apendiektomi dibagian abdomen kanan bawah, nyeri seperti ditusuk tusuk serta mengeluh perih, skala nyeri pada skala 6 (0- 10), nyeri bertambah ketika melakukan aktivitas dan berkurang saat istirahat.
DO :
1. Klien terlihat memegangi perutnya
2. Klien terlihat menahan nyeri
3. Tampak lesi di abdomen kanan bawah. Ada luka sayatan dibagian abdomen kanan bawah tertutup kassa berukuran sekitar 7 cm dan kemerahan di sekitar luka.
Tindakan pembedahan apendiktomi
Terputusnya kontinuitas jarngan
Pelepasan mediator kimia
merangsang hipotalamus dipersepsikan nyeri
nyeri akut
Nyeri Akut (D.0077)
2 DS :
1. Klien mengatakan belum melakukan aktivitasnya karena masih terasa nyeri diluka operasi. Klien mengatakan nyeri makin bertambah setiap bergerak dan masih dibantu oleh keluarganya.
2. Klien mengatakan takut
Pembedahan
Lemah, sakit bila beraktivitas
Gangguan Mobilitas Fisik
Gangguan Mobilitas Fisik
(D.0054)
beraktivitas
DO :
1.Klien kelihatan hati hati saat mobilisasi.
2.Mobilisasi : bertahap 3 DS : Klien mengatakan
demam DO:
1. Tampak lesi di abdomen kanan bawah. Ada luka sayatan dibagian abdomen kanan bawah tertutup kassa berukuran sekitar 7 cm dan
kemerahan di sekitar luka.
2. Lekosit : 12.20 10^3/Ul 3. Suhu : 37.8 oC per axilla
Tidakan pembedahan apendiktomi Luka incisi Pintu masuk kuman
Resiko Infeksi
Resiko Infeksi (D.0142)
B. Diagnosis Keperawatan
1. Nyeri akut b.d agen pencedera fisik (prosedur operasi) (D.0077) 2. Gangguan mobilitas fisik b.d nyeri (D.0054)
3. Resiko infeksi b.d efek prosedur invasif (D.0142)
C. Perencanaan Keperawatan
Perencanaan Keperawatan Pada Tn. S
NO TGL DIAGNOSIS
KEPERAWATAN
PERENCANAAN
TUJUAN INTERVENSI RASIONAL
1. 12/05/2020 Nyeri akut berhubungan dengan agen pencedera fisik (prsedur operasi)
( D. 0077) Data subjektif:
Klien mengeluh nyeri pada daerah post apendiektomi dibagian abdomen kanan bawah, nyeri seperti ditusuk tusuk serta mengeluh perih, skala nyeri pada skala 6 (0-10), nyeri bertambah ketika melakukan aktivitas dan berkurang saat istirahat.
Data objektif : a. Klien terlihat
memegangi perutnya b. Klien terlihat menahan
nyeri
c. Tampak lesi di abdomen kanan bawah. Ada luka sayatan dibagian abdomen kanan bawah tertutup kassa berukuran sekitar 7 cm dan kemerahan disekitar luka
L.08066 Tingkat nyeri
Setelah dilakukan tindakan keperawatan 3 x 24 jam diharapkan tingakt nyeri menurun dengan kriteria hasil :
a. Keluhan nyeri menurun (5) b. Melaporkan nyeri terkontrol
meningkat (5)
c. Kemampuan mengenali nset nyeri meningkat (5)
d. Kemampuan mengenali penyebab nyeri meningkat (5) e. Kemampuan menggunaan teknik nonfarmakolgis meningkat (5)
I.08238 Manajemen nyeri Observasi:
1) Identifikasi lokasi, frekuensi, kualitas, intensitas nyeri
2) Identifikasi skala nyeri 3) Identifikasi faktor yang
memperberat dan memperingan nyeri 4) Monitor keberhasilan terapi
komplementer yang sudah diberikan Terapeutik:
5) Berikan teknik non farmakologis untuk mengurangi rasa nyeri misalnya terapi music, aromaterapi.
6) Fasilitasi istirahat dan tidur Edukasi:
7) Ajarkan teknik nonfarmakologis untuk mengurangi rasa nyeri
Kolaborasi :
8) Kolaborasi pemberian analgetik, jika perlu
1) Untuk mengetahui karakteristik nyeri 2) Untuk mengetahui respon
toleransi nyeri
3) Untuk menentukan faktor yang dapat di tekan 4) Sebagai bahan evaluasi
5) Therapi nonfarmakologi adalah intervensi yang dapat dilakukan mandiri 6) Istirahat dapat mebantu
meningkatkan energy 7) Klien dapat mengetahui
langkah berikutnya untuk mengatasi nyeri.
8) Therapi analgetic diberikan bila therapi nonfarmakologi tidak membantu.
Perencanaan Keperawatan Pada Tn. S
NO TGL DIAGNOSIS
KEPERAWATAN
PERENCANAAN
TUJUAN INTERVENSI RASIONAL
2. 12/05/2020 Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan nyeri ( D. 0054)
Data subjektif:
a. Klien mengatakan belum melakukan aktivitasnya karena masih terasa nyeri diluka operasi.
Klien mengatakan nyeri makin bertambah setiap bergerak dan masih dibantu oleh keluarganya b. Klien mengatakan takut
beraktivitas Data objektif :
a. Klien kelihatan hati hati saat mobilisasi.
b. Mobilisasi: bertahap
L.05042 Mobilitas Fisik
Setelah dilakukan tindakan keperawatan 3 x 24 jam diharapkan mobilitas fisik meningkat dengan kriteria hasil :
a. Nyeri menurun (1)
b. Gerakan terbatas menurun (1) c. Kelemahan fisik menurun (1)
I. 06171 Dukungan Ambulasi Observasi:
7) Iidentifikasi adanya nyeri atau keluhan fisik lainnya
8) Identiikasi toleransi fisik melakukan pergerakan
9) Monitor keadaan umum selama melakukan mobilisasi
Terapeutik:
10) Libatkan keluarga untuk membantu pasien dalam meningkatkan pergerakan
Edukasi:
11) Jelaskan tujuan dan prosedur mobilisasi
12) Anjurkan melakukan mobilisasi dini 13) Ajarkan mobilisasi sederhana
yang harus dilakukan (mis.
Duduk di tempat tidur)
1) Keluhan fisik
mengidentifikasi adanya gangguan
2) Toleransi fisik menentukan
kemampuan pasien dalam ambulasi
3) KU memberikan gambaran keadaan klien
4) Dukungan dari keluarga mempercepat kesembuhan klien
5) Dengan mengetahui tujuan dari ambulasi diharapkan klien dapat mengerti tentang tujuan dari tindakan yang dilakukan
6) Ambulasi dini dapat mengurangi komplikasi dari tirah baring
7) Ambulasi sederhana dapat melatih kemandirian klien dalam memenuhi kebutuhan mobilitas fisik