LAPORAN INDIVIDU
LAPORAN PENDAHULUAN PASIEN JIWA DENGAN ISOLASI SOSIAL
Disusun Untuk Memenuhi Tugas Laporan Individu Praktek Profesi Keperawatan Departemen Keperawatan Jiwa di Puskesmas Bantur
Oleh:
Nama : Siti Nurlailiyah NIM : P17212235065
PRAKTEK PROFESI KEPERAWATAN JIWA PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI NERS
JURUSAN KEPERAWATAN POLTEKKES KEMENKES MALANG
TAHUN AKADEMIK 2023/2024
LAPORAN PENDAHULUAN
ASUHAN KEPERAWATAN PASIEN DENGAN GANGGUAN ISOLASI SOSIAL
I. KASUS (MASALAH UTAMA) ISOLASI SOSIAL
II. TUJUAN TEORI
1. Teori (sesuai kasus yang di pilih) a. Pengertian
Isolasi sosial merupakan keadaan dimana seseorang individu mengalami penurunan atau bahkan sama sekali tidak mampu berinteraksi dengan orang lain disekitarnya. Pasien isolasi sosial mengalami gangguan dalam berinteraksi dan mengalami perilaku tidak ingin berkomunikasi dengan orang lain disekitarnya, lebih menyukai berdiam diri, mengurung diri, dan menghindar dari orang lain (Yosep, Sutini, 2014).
Menarik diri merupakan suatu keadaan dimana seseorang menemukan kesulitan dalam membina hubungan secara terbuka dengan orang lain (Townsend M.C. dalam Muhith A, 2015). Sedangkan, penarikan diri atau withdrawal merupakan suatu tindakan melepaskan diri baik perhatian ataupun minatnya terhadap lingkungan sosial secara langsung yang dapat bersifat sementara atau menetap (Depkes RI, dalam Muhith A, 2015). Jadi menarik diri adalah keadaan dimana seseorang menemukan kesulitan dalam membina hubungan dan menghindari interaksi dengan orang lain secara langsung yang dapat bersifat sementara atau menetap
b. Penyebab
Menurut Townsend, M.C, 1998 (dalam Muhith, A. 2015), tanda dan gejala isolasi sosial meliputi :
a. Kurang spontan.
b. Apatis (acuh tak acuh terhadap lingkungan).
c. Ekspresi wajah kurang berseri (ekspresi sedih).
d. Afek tumpul
e. Tidak merawat dan memperhatikan kebersihan diri f. Tidak ada atau kurang terhadap komunikasi verbal.
g. Menolak berhubungan dengan orang lain.
h. Mengisolasi diri (menyendiri)
i. Kurang sadar dengan lingkungan sekitarnya.
j. Asupan makan dan minuman terganggu.
k. Aktivitas menurun.
Rendah diri. Jadi perilaku ini biasanya disebabkan karena seseorang menilai dirinya rendah, sehingga timbul perasaan malu untuk berinteraksi dengan orang lain. Bila tidak dilakukan intervensi lebih lanjut, maka akan menyebabkan perubahan sensori: halusinasi dan resiko mencederai diri, orang lain, dan lingkungan sekitarnya. Perilaku yang tertutup dengan orang lain juga bisa menyebabkan intoleransi aktivitas yang akhirnya bisa mempengaruhi terhadap ketidakmampuan untuk melakukan perawatan secara mandiri.
c. Rentang Respon
Dalam membina hubungan sosial, individu berada dalam rentang respon yang adaptif sampai maladaptif. Respon adaptif adalah respon individu dalam menyelesaikan masalah yang dapat diterima oleh norma- norma masyarakat. Sedangkan respon maladaptif adalah respon individu dalam menyelesaikan masalah dengan cara-cara yang bertentangan dengan norma-norma agama dan masyarakat. Menurut Riyadi S dan Puerwanto T.
(2013) respon adaptif dan maladaptif tersebut adalah:
1) Menyendiri
Merupakan respon yang dilakukan individu untuk merenungkan apa yang telah terjadi atau dilakukan dan suatu cara mengevaluasi diri dalam menentukan rencana-rencana.
2) Otonom
Merupakan kemampuan individu dalam menentukan dan menyampaikan ide, pikiran, perasaan dalam hubungan sosial, individu mampu menetapkan untuk interdependen dan pengaturan diri.
3) Bekerjasama (Mutualisme)
Merupakan kemampuan individu untuk saling pengertian, saling memberi, dan menerima dalam hubungan interpersonal. Saling Ketergantungan (Interdependen) merupakan suatu hubungan saling ketergantungan saling tergantung antar individu dengan orang lain dalam membina hubungan interpersonal.
4) Merasa Sendiri (Loneliness)
Merupakan kondisi dimana individu merasa sendiri dan merasa asing dari lingkungannya.
5) Menarik Diri
Merupakan keadaan dimana seseorang individu mengalami penurunan atau bahkan sama sekali tidak mampu berinteraksi dengan orang lain disekitarnya dan tidak mampu membina hubungan secara terbuka dengan orang lain.
6) Ketergantungan (Dependen)
Merupakan terjadi bila seseorang gagal mengembangkan rasa percaya diri atau kemampuannya untuk berfungsi secara sukses.
7) Manipulasi
Merupakan gangguan hubungan sosial dimana individu memperlakukan orang lain sebagai obyek, hubungan terpusat pada masalah mengendalikan orang lain dan individu cenderung berorientasi pada diri sendiri.
8) Impulsif
Merupakan respon sosial yang ditandai dengan individu sebagai subyek yang tidak dapat diduga, tidak dapat dipercaya, tidak mampu merencanakan sesuatu, tidak mampu belajar dari pengalaman, tidak dapat diandalkan dan penilaian yang buruk.
9) Narsisme
Merupakan individu memiliki harga diri yang rapuh, terus menerus berusaha mendapatkan penghargaan dan pujian, pecemburuan, mudah marah jika tidak mendapatkan pujian dari orang lain.
2. Faktor Predisposisi
Menurut Direja (2011) faktor predisposisi yang mempengaruhi masalah isolasi sosial yaitu:
a) Faktor tumbuh kembang
Pada setiap tahapan tumbuh kembang individu ada tugas perkembangan yang harus dipenuhi agar tidak terjadi gangguan dalam hubungan sosial. Apabila tugas-tugas dalam setiap perkembangan tidak terpenuhi maka akan menghambat fase perkembangan social selanjutnya.
Sumber: Direja (2011)
Menurut Yosep (2009), hidup manusia dibagi menjadi 7 masa dan pada keadaan tertentu dapat mendukung terjadinya gangguan jiwa.
1) Masa Bayi
Masa bayi adalah menjelang usia 2-3 tahun, dasar perkembangan yang dibentuk pada masa tersebut adalah sosialisasi dan pada masa ini timbul dua masalah yang penting yaitu:
➢ Cara mengasuh bayi
Cinta dan kasih sayang ibu akan memberikan rasa hangat/aman bagi bayi dan dikemudian hari menyebabkan kepribadian yang hangat, terbuka dan bersahabat.Sebaliknya, sikap ibu yang dingin acuh tak acuh bahkan menolak di kemudian hari akan berkembang kepribadian yang bersifat menolak dan menentang terhadap lingkungan.
➢ Cara memberi makan
Sebaiknya dilakukan dengan tenang, hangat yang akan memberikan rasa aman dan dilindungi, sebaliknya,pemberian yang kaku, keras, dan tergesa-gesa akan menimbulkan rasa cemas dan tekanan.
2) Masa Anak Prasekolah
Pada usia ini sosialisasi mulai dijalankan dan tumbuh disiplin dan otoritas. Hal-hal yang penting pada fase ini adalah:
➢ Hubungan orangtua-anak
➢ Perlindungan yang berlebihan
➢ Otoritas dan disiplin
➢ Perkembangan seksual
➢ Agresi dan cara permusuhan
➢ Hubungan kakak-adik
➢ Kekecewaan dan pengalaman yang menyakitkan
3) Masa Anak Sekolah
Masa ini ditandai oleh pertumbuhan jasmani dan intelektual yang pesat. Pada masa ini anak akan mulai memperluas pergaulan, keluar dari batas-batas keluarga. Masalah- masalah penting yang timbul adalah:
➢ Perkembangan jasmani
➢ Penyesuaian diri di sekolah dan sosialisasi
4) Masa Remaja
Secara jasmaniah, pada masa ini terjadi perubahn-perubahan yang penting yaitu timbulnya tanda-tanda sekunder (ciri-ciri kewanitaan atau kelaki-lakian). Secara kejiwaan, pada masa ini terjadi pergolakan yang hebat. Pada masa ini, seorang remaja mulai dewasa mencoba kemampuannya, di satu pihak ia merasa sudah dewasa, sedangkan di pihak lain belum sanggup dan belum ingin menerima tanggung jawab atas semua perbuatannya.
5) Masa Dewasa Muda
Seseorang yang melalui masa-masa sebelumnya dengan aman dan bahagia akan cukup memiliki kesanggupan dan kepercayaan diri dan umumnya ia akan berhasil mengatasi kesulitan-kesulitan pada masa ini.
Bila mengalami masalah pada masa ini mungkin akan mengalami gangguan-gangguan jiwa.
6) Masa Dewasa Tua
Sebagai patokan, pada masa ini dicapai apabila status pekerjaan dan sosial seseorang sudah mantap. Masalah-masalah yang mungkin timbul adalah:
➢ Menurunnya keadaan jasmani
➢ Perubahan susunan keluarga
➢ Terbatasnya kemungkinan perubahan-perubahan yang baru dalam bidang
pekerjaan atau perbaiki kesalahan yang lalu.
7) Masa Tua
Ada dua hal penting yang perlu diperhatikan pada masa ini yaitu berkurangnya daya tangkap, daya ingat, berkurangnya daya belajar, kemampuan jasmani dan kemampuan sosial ekonomi menimbulkan rasa cemas dan rasa tidak aman serta sering mengakibatkan kesalah pahaman orangtua terhadap orang sekitarnya. Perasaan terasingkan karena kehilangan teman sebaya, keterbatasan gerak, dapat menimbulkan kesulitan emosional yang cukup berat.
b) Faktor Komunikasi Dalam Keluarga
Gangguan komunikasi dalam keluarga merupakan faktor pendukung untuk terjadinya gangguan hubungan sosial, seperti adanya komunikasi yang tidak jelas (double bind) yaitu suatu keadaan dimana individu menerima pesan yang saling bertentangan dalam waktu bersamaan, dan ekspresi emosi yang tinggi di setiap berkomunikasi.
c) Faktor Sosial Budaya
Isolasi sosial atau mengasingkan diri dari lingkungan sosial merupakan suatu faktor pendukung terjadinya gangguan dalam hubungan sosial. Hal ini disebabkan oleh norma- norma yang salah dianut oleh keluarga, dimana setiap anggota keluarga yang tidak produktif seperti lanjut usia, berpenyakitan kronis, dan penyandang cacat diasingkan dari lingkungan sosial.
d) Faktor Biologis
Faktor biologis juga merupakan salah satu faktor pendukung yang menyebabkan terjadinya gangguan dalam hubungan sosial. Organ tubuh yang
jelas mempengaruhi adalah otak. Klien skizofrenia yang mengalami masalah dalam hubungan sosial terdapat struktur yang abnormal pada otak, seperti atropi otak, perubahan ukuran dan bentuk sel-sel dalam limbik dan kortikal (Sutejo, 2017). Klien yang mengalami gangguan jiwa memiliki ciri-ciri biologis yang khas terutama susunan dan struktur syaraf pusat, biasanya klien dengan skizofrenia mengalami pembesaran ventrikel ke-3 sebeah kirinya. Ciri lainnya yaitu memiliki lobus frontalis yang lebih kecil dari rata-rata orang normal (Yosep, 2009).
Menurut Candel dalam Yosep (2009), pada Klienskizofrenia memiliki lesi pada area Wernick’s dan area Brocha biasanya disertai dengan Aphasia serta disorganisasi dalam proses bicara. Adanya hiperaktivitas Dopamine pada Kliendengan gangguan jiwa seringkali menimbulkan gejala skizofrenia.
Menurut hasil penelitian, Neurotransmitter tertentu seperti Norepinephrine pada Klien dengan gangguan jiwa memegang peranan dalam proses learning, memory reinforcement, siklus tidur dan bangun, kecemasan, pengaturan aliran darah dan metabolisme.
Menurut Singgih dalam Yosep (2009), gangguan mental dan emosi juga bisa disebabkan oleh perkembangan jaringan otak yang tidak cocok (Aphasia). Kadang-kadang seseorang dilahirkan dengan perkembangan cortex cerebry yang kurang sekali, atau disebut sebagai otak yang rudimenter. Contoh gangguan tersebut terlihat pada Microcephaly yang ditandai oleh kecilnya tempurung otak. Adanya trauma pada waktu kelahiran, tumor, infeksi otak seperti Enchepahlitis Letargica, gangguan kelenjer endokrin seperti tiroid, keracunan CO (Carbon Monocide) serta perubahan-perubahan karena degenerasi yang mempergaruhi system persyarafan pusat (Yosep, 2009).
3. Faktor Presipitasi
Menurut Herman Ade (2011) terjadinya gangguan hubungan sosial juga dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal seseorang. Faktor stressor presipitasi dapat dikelompokan sebagai berikut:
a) Stressor Sosial Budaya
Stress dapat ditimbulkan oleh beberapa faktor antara faktor lain dan faktor keluarga seperti menurunnya stabilitas unit keluarga dan berpisah dari orang yang berarti dalam kehidupannya, misalnya karena dirawat dirumah sakit.
b) Stressor Psikologi
Tingkat kecemasan berat yang berkepanjangan terjadi bersamaan dengan keterbatasan kemampuan untuk mengatasinya. Tuntutan untuk berpisah dengan orang dekat atau kegagalan orang lain untuk memenuhi kebutuhan ketergantungan dapat menimbulkan kecemasan tingkat tinggi.
4. Sumber Koping
Sumber koping merupakan suatu evaluasi terhadap pi lihan koping pada strategi seseorang. Strategi koping yang digunakan misalnya keterlibatan dalam hubungan yang lebih luas seperti dalam keluarga dan teman, hubungan dengan hewan peliharaan, mengguanakan kreativitas untuk mengekspresikan stres interpersonal seperti kesenian, musik, atau tulisan(Stuart, 2006).
5. Mekanisme Koping
Mekanisme koping digunakan klien sebagai usaha mengatasi kecemasan yang merupakan suatu kesepian nyata yang mengancam dirinya. Mekanisme koping yang sering digunakan adalah proyeksi, splitting (memisah) dan isolasi. Proyeksi merupakan keinginan yang tidak mampu ditoleransi dan klien mencurahkan emosi kepada orang lain karena kesalahan sendiri. Splitting merupakan kegagalan individu dalam menginterpretasikan dirinya dalam menilai baik buruk. Sementara itu, isolasi adalah perilaku mengasingkan diri dari orang lain maupun lingkungan (Sutejo, 2017).
6. Perilaku
Menurut Townsend, M.C, 1998 (dalam Muhith, A. 2015), tanda dan gejala isolasi sosial meliputi :
a) Kurang spontan.
b) Apatis (acuh tak acuh terhadap lingkungan).
c) Ekspresi wajah kurang berseri (ekspresi sedih).
d) Afek tumpul
e) Tidak merawat dan memperhatikan kebersihan diri f) Tidak ada atau kurang terhadap komunikasi verbal.
g) Menolak berhubungan dengan orang lain.
h) Mengisolasi diri (menyendiri)
i) Kurang sadar dengan lingkungan sekitarnya.
j) Asupan makan dan minuman terganggu.
k) Aktivitas menurun.
l) Rendah diri.
7. Masalah Keperawatan
Menurut Sutejo (2017) adapun daftar masalah keperawatan pada klien dengan isolasi sosial sebagai berikut:
a) Risiko gangguan persepsi sensori : Halusinasi b) Isolasi sosial
c) Gangguan konsep diri : Harga Diri Rendah III. Pohon Masalah
IV. Diagnosis Keperawatan
Menurut Sutejo (2017) diagnosis keperawatan dirumuskan berdasarkan tanda dan gejala isolasi sosial yang ditemukan. Jika hasil pengkajian menunjukkan tanda dan gejala isolasi sosial, maka diagnosis keperawatan yang ditegakkan adalah:
1. Isolasi social
2. Gangguan konsep diri : Harga diri rendah 3. Resiko perubahan persepsi sensori: halusinasi V. Rencana Keperawatan
Diagnosis keperawatan
Tujuan (TUM/TU
K)
Kriteria Evaluasi Intervensi Rasional Isolasi sosial
berhubungan dengan ketidak mampuan menjalin hubungan yang
TUM:
Klien dapat berinteraksi dengan orang lain.
TUK : Klien dapat
membina
Setelah3x interaksi klien menunjukan interaksi sosial dengan kriteria hasil:
1. Perasaan nyaman dengan situasi sosial meningkat 2. Perasaan mudah
Modifikasi perilaku keterampilan sosial Observasi:
▪ Identifikasi penyebab kurangnya
keterampilan sosial
▪ Identifikasi focus pelatihan
Membina hubungan saling percaya dengan Klien.
memuaskan di tandai
dengan tidak berminat/
menolak berinterasksi dengan orang lain klien merasa ingin sendiri.
DO :
1. Menarik diri 2. Menolak berinteraksi dengan orang lain
3. Afek datar 4. Tidak ada kontak mata DS : 1. Merasa ingin sendiri 2. Merasa tidak aman di tempat umum atau
lungkungan 3. Merasa berbeda dengan orang lain
4. Merasa tidak mempunyai tujuan yang jelas
hubungan saling percaya
menerima
mengkomunikasik an perasaan meningkat 3. Responsif pada
orang lain meningkat 4. Minat melakukan
kontak emosi meningkat 5. Minat melakukan
kontak fisik meningkat 6. Verbalisasi kasih
sayang meningkat 7. Kontak mata
meningka 8. Ekspresi wajah
responsif meningkat
keterampilan social Terapeutik:
▪ Motivasi untuk berlatih keterampilan social
▪ Beri umpan balik positif (mis.pujian atau penghargaan) terhadap kemampuan asosialisasi
▪ Libatkan keluarga selama latihan keterampilan social, jika perlu
Edukasi
▪ Jelaskan tujuan melatih keterampilan sosial
▪ Jelaskan respon dan konsekuensi
keterampilan sosial
▪ Anjuran
mengungkapkan perasaan akibat masalah yang dialami
▪ Anjurkan mengevaluasi pencapaian setiap interaksi
▪ Edukasi keluarga untuk dukungan keterampilan social
▪ Latih keterampilan social secara bertahap
kontak yang jujur,
singkat, dan konsisten dengan perawat dapat membantu Klien membina kembali interaksi penuh percaya dengan orang lain.
Gangguan Identitas Diri
TUM:
Klien dapat berinteraksi dengan orang lain.
TUK : Klien dapat
membina hubungan saling percaya
Setelah dilakukan tindakan keperawatan 3x24 jam diharapkan identitas diri
membaik.
a) Perilaku konsisten meningkat
b) Verbalisasi
kekhawatiran pada reaksi orang lain meningkat
c) Perasaan fluktuatif terhadap diri membeik
d) Persepsi terhadap diri membaik
Orientasi realita Observasi:
▪ Monitor perubahan orientasi
▪ Monitor perubahan kognitif dan perilaku Terapeutik:
▪ Perkenalkan nama saat memulai interaksi
▪ Orientasikan oaring, tempat dan waktu
▪ Hadirkan realita(mis, beri penjelasan alternatif, hindari perdebatan)
▪ Sediakan lingkungan dan rutinitas secara konsisten
▪ Atur stimulus sensorik dan lingkungan (mis.kunjungan, pemandangan, suara, pencahayaan, bau, dan sentuhan)
▪ Gunakan symbol dalam
mengorientasikan lingkungan (mis.tanda, gambar,warna)
▪ Libatkan dalam terapi kelompok orientasi
▪ Berikan waktu istirahat dan tidur yang cukup, sesuai kebutuhan
▪ Fasilitasi akses informasi
(mis.televisi, surat kabar, radio) jika perlu
Membina hubungan saling percaya dengan Klien.
kontak yang jujur,
singkat, dan konsisten dengan perawat dapat membantu Klien membina kembali interaksi penuh percaya dengan orang lain.
Edukasi
▪ Anjurkan perawatan diri secara mandiri
▪ Anjurkan penggunaan alat bantu
(mis.kacamata, alat bantu dengar, gigi palsu)
▪ Ajarkan keluarga dalam perawatan orientasi realita TUM:
Klien dapat berinteraksi dengan orang lain.
TUK : Klien dapat
membina hubungan saling percaya
Setelah dilakukan tindakan keperawatan 1x8 jam diharapkan pesepsi sensori membaik membaik
a) Verbalisasi mendengar bisikan menurun
b) Perilaku halusinasi menurun
Manajemen Halusinasi Observasi
▪ Monitor perilkau yang mengidentifikasi halusinasi
▪ Monitor dan sesuaikan tingkat aktivitas dan
stimulasi lingkungan
▪ Monitor isi halusinasi (mis.kekerasan atau membahayakan diri) Terapeutik
▪ Pertahankan lingkungan yang aman
▪ Lakukan tindakan keselamatan ketika tidak dapat
mengontrol perilaku (mis.limit setting, pembatasan
wilayah,pengekangan fisik,seklusi)
Edukasi
▪ Anjurkan memonitor sendiri situasi
terjadinya halusinasi
▪ Anjurkan bicara pada orang yang dipercaya untuk memberi dukungan dan umpan
Membina hubungan saling percaya dengan Klien.
kontak yang jujur,
singkat, dan konsisten dengan perawat dapat membantu Klien membina kembali interaksi penuh percaya dengan orang lain.
balik korektif terhadap halusinasi
▪ Anjurkan melakukan distraksi
(mis.mendengarkan music,melakukan aktivitas dan teknik relaksasi)
▪ Ajarkan pasien dan keluarga cara
mengontrol halusinasi Kolaborasi
▪ Kolaborasi pemberian obat antipsikotik dan antiansietas, jika perlu.
DAFTAR PUSTAKA
Balitbang Kemenkes RI, 2013. Riset Kesehatan Dasar; RISKESDAS. Jakarta: Balitbang Kemenkes RI
Dermawan D dan Rusdi, 2013. Keperawatan Jiwa; Konsep dan Kerangka Kerja Asuhan Keperawatan Jiwa. Yogyakarta: Gosyen Publishing
Fitria, Nita. 2009. Prinsip Dasar dan Aplikasi Penulisan Laporan Pendahuluan dan Strategi Pelaksanaan Tindakan. Jakarta: Salemba Medika
Herman, Ade. 2011. Buku Ajar Keperawatan Jiwa. Yogyakarta: Nuha Medica Keliat, B.A, dkk. 2006. Proses Keperawatan Kesehatan Jiwa, Ed. 2. Jakarta: EGC Stuart, Gail W.2007. Buku Saku Keperawatan Jiwa. Jakarta: EGC