• Tidak ada hasil yang ditemukan

Lapsus TB Dewasa Tika

N/A
N/A
Cici Kim

Academic year: 2024

Membagikan " Lapsus TB Dewasa Tika"

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

LAPORAN KASUS TB PARU DEWASA

Oleh :

Ni Gusti Agung Ayu Putu Tika Andayani

Pembimbing:

dr. Ni Wayan Restuti Handayani

DALAM RANGKA TUGAS INTERNSHIP PUSKESMAS PENEBEL 1

2022

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena berkat karunianya maka laporan kasus yang berjudul “Kasus TB Dewasa” dapat selesai pada waktunya. Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak

(2)

yang telah membantu dalam penyelesaian laporan kasus ini. Laporan kasus ini disusun sebagai salah satu tugas internship di Puskesmas Penebel 1. Ucapan terima kasih penulis tujukan kepada:

1. dr. I Nyoman Suarya, selaku Kepala Puskesmas Penebel 1 yang telah memberikan kesempatan untuk internship di rumah sakit ini.

2. dr. I Wayan Restuti Handayani, selaku pembimbing internship yang telah memberikan bimbingan dalam pembuatan laporan kasus ini.

3. Ibu Ni Wayan Setiawati, A.Md.Kep, selaku penanggung jawab pelayanan pasien TB di Puskesmas Penebel 1

4. Teman sejawat penulis yaitu Aurora Zahra Hasibuan, Dona Lorenza, dan I Dewa Made Satrianjaya yang membantu penulis dalam penulisan laporan kasus ini.

5. Semua pihak yang tidak bisa penulis sebutkan satu per satu yang telah memberikan dukungan moral dan material kepada penulis.

Penulis menyadari laporan ini masih jauh dari sempurna dan masih banyak terdapat kekurangan sehingga saran dan kritik pembaca yang sifatnya membangun sangat penulis harapkan untuk kesempurnaan laporan kasus ini. Semoga laporan kasus ini dapat bermanfaat bagi pembaca.

Penebel, 25 September 2022 Penulis

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR………... 2

DAFTAR ISI………. 3

BAB I PENDAHULUAN……….... 4

BAB II TINJAUAN PUSTAKA... 5

A. Definisi TB………... 5

B. Epidemiologi TB…………..………... 5

C. Etiologi dan Transmisi TB..……… ………... 5

D. Faktor Risiko TB………….……… 6

E. Patogenesis dan Patofisiologi TB…….……….. 6

F. Manifestasi Klinis TB Paru………. 7 Halaman

(3)

G. Klasifikasi dan Tipe Pasien TB...………...………. 7

H. Diagnosis TB.……….………. 8

I. Tatalaksana ………. 10

BAB III LAPORAN KASUS………. 16

BAB IV PEMBAHASAN………... 18

BAB V SIMPULAN DAN SARAN...……… 20

DAFTAR PUSTAKA………...……... 21

BAB I PENDAHULUAN

Tuberkulosis (TB) merupakan penyakit infeksi yang disebabkan oleh bakteri dari kelompok Mycobacterium yaitu Mycobacterium tuberculosis. Bakteri M.TB berbentuk batang dan bersifat tahan asam sehingga disebut Basil Tahan Asam (BTA). Sumber penularan penyakit TB adalah percik renik dahak yang dikeluarkan pasien TB aktif. Infeksi bakteri M. tuberculosis dapat menyerang hampir semua bagian tubuh. Akan tetapi, paling sering menginfeksi parenkim paru sehingga disebut TB paru. Jika menginfeksi pleura, tulang, kelenjar limfa dan organ ekstra paru lainnya maka disebut TB ekstra paru.1

Berdasarkan Global TB Report WHO 2020, Indonesia menduduki peringkat kedua negara dengan beban Tuberkulosis (TBC) di dunia. Diestimasikan terdapat 845.000 kasus TBC baru setiap tahunnya dengan angka kematian mencapai 98.000 kasus atau setara dengan 11 kematian/jam. Penularan dan perkembangan penyakit TBC semakin meluas karena dipengaruhi oleh faktor sosial seperti kemiskinan, urbanisasi, pola hidup yang kurang aktif, penggunaan tembakau, dan alkohol.2

Strategi directly observed treatment short-course (DOTS) merupakan supervisi konsumsi obat jangka pendek yang dilakukan oleh PMO (Pengawas Menelan Obat).3 Pada

“Stop TB Strategy” pengawasan dan dukungan kepada pasien untuk minum OAT menjadi landasan DOTS dan membantu pencapaian target keberhasilan pengobatan meningkat menjadi 85%. Pada praktiknya, DOTS sebaiknya diterapkan secara fleksibel dan sesuai dengan keadaan masing-masing fasilitas kesehatan sehingga nyaman bagi pasien.1

Pengobatan kasus menular menjadi kunci utama untuk penyembuhan dan pencegahan penularan lebih lanjut sehingga penemuan kasus menjadi kegiatan penting dalam pengendalian TB. Penemuan kasus penting dalam deteksi dini sumber penularan infeksi yang tersembunyi.4 Active case finding (ACF) menitikberatkan penemuan kasus TB dibandingkan menunggu individu bergejala TB datang sendiri untuk memeriksakan diri ke fasilitas kesehatan.5 Pada laporan kasus ini, penulis akan menjabarkan tentang pedoman penatalaksanaan TB di Indonesia dan implementasinya di Puskesmas Penebel 1 sebagai fasilitas pelayanan primer.

(4)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi

Tuberkulosis (TB) merupakan salah satu penyakit kronik menular melalui penyebaran bakteri Mycobacterium tuberculosis. Bakteri ini berbentuk batang (basil) dan bersifat tahan asam sehingga disebut Basil Tahan Asam (BTA). Sebagian besar kuman TB menginfeksi parenkim paru dan menyebabkan TB paru. Akan tetapi, bakteri ini juga dapat menginfeksi bagian tubuh lainnya seperti pleura, kelenjar limfe, tulang, dan organ ekstra paru lainnya.1

B. Epidemiologi

Berdasarkan Global TB Report WHO 2020, insidensi kasus TB mencapai 10 juta, kasus meninggal (HIV negatif) 1,2 juta, dan kasus meninggal (HIV positif) sebanyak 208 ribu. Saat ini, Indonesia menduduki peringkat kedua negara dengan beban Tuberkulosis (TBC) di dunia di bawah India. Di tahun 2019, diperkirakan terdapat 3,3% dari kasus TB baru dan 18% dari TB paru dengan riwayat pengobatan TB sebelumnya (TB MDR/RR) dengan jumlah yang mencapai 465.000. Pada tahun 2019 diperkirakan terdapat sekitar 845.000 (770.000 - 923.000) kasus TB paru di Indonesia. Sebanyak 19.000 dari kasus baru tersebut merupakan kasus TB-HIV positif. Terdapat 92.000 kasus kematian pada kasus TB-HIV negatif dan 4.700 kematian pada kasus TB-HIV positif di Indonesia.1,2

C. Etiologi dan Transmisi

Terdapat 5 kuman yang dapat menyebabkan TB: Mycobacterium tuberculosis, Mycobacterium bovis, Mycobacterium africanum, Mycobacterium microti dan Mycobacterium cannettii. Mycobacterium tuberculosis menjadi bakteri yang paling menular. TB menular melalui percik renik atau droplet nucleus (<5 microns) yang keluar ketika penderita TB paru sedang bersin atau bicara. Percik renik juga bisa ditularkan melalui prosedur pemeriksaan yang menghasilkan produk aerosol seperti induksi sputum, bronkoskopi dan ketika manipulasi terhadap lesi atau pengolahan jaringan di laboratorium. Percik renik sangat infeksius dan bisa bertahan dalam 4 jam di udara. Ukuran percik renik yang sangat kecil membuat kuman TB dapat melakukan replikasi di ruang alveolar dalam paru.1

Ada 3 faktor yang menentukan transmisi M.TB:1 1. Jumlah kuman yang keluar ke udara.

2. Konsentrasi kuman dalam udara yang ditentukan oleh volume ruang dan ventilasi.

3. Durasi seseorang menghirup udara terkontaminasi.

Setiap sekali batuk rata-rata memproduksi 3.000 percik renik dan sekalii bersin dapat memproduksi 1 juta percik renik. Sementara dosis yang diperlukan terjadinya suatu infeksi TB hanya 1 sampai 10 basil. Kasus yang paling infeksius ialah penularan dari pasien dengan hasil pemeriksaan dahak positif +3. Pasien dengan hasil pemeriksaan dahak negatif bersifat tidak terlalu infeksius. Kasus TB ekstra paru hampir selalu tidak infeksius, kecuali penderita juga terinfeksi pada paru. Individu

(5)

dengan TB laten tidak infeksius kuman tidak bereplikasi dan tidak bisa transmisi ke orang lain.1

TB menular pada ruang yang gelap dan berventilasi minim. Cahaya matahari langsung bisa membunuh tuberkel bacilli dengan cepat. Kontak erat dalam waktu yang lama dengan orang yang sudah terinfeksi TB meningkatkan risiko penularan.

Apabila terinfeksi, proses sehingga paparan tersebut berlanjut menjadi penyakit TB aktif sangat bergantung imunitas individu. Pada individu dengan imunitas baik, 90%

tidak berkembang menjadi penyakit TB dan hanya 10% dari kasus akan menjadi penyakit TB aktif. Kelompok dengan risiko infeksi tertinggi adalah anak dibawah usia 5 tahun dan lanjut usia. Individu dengan imunitas menurun seperti pada pasien HIV, diabetes melitus, pengguna kortikosteroid, dan imunosupresan lain juga rentan terinfeksi TB.1

D. Faktor Risiko1

Kelompok yang memiliki risiko tinggi mengalami sakit TB ialah:

1. Orang dengan penyakit imunokompromais seperti HIV

2. Orang yang mengkonsumsi obat imunosupresan jangka panjang 3. Pengkonsumsi alkohol

4. Perokok

5. Anak balita dan lansia

6. Kontak erat dengan TB aktif yang infeksius

7. Tinggal di tempat dengan risiko tinggi seperti lembaga permasyarakatan 8. Petugas kesehatan

E. Patogenesis dan Patofisiologi

Setelah terinhalasi, nukleus percik renik terbawa ke percabangan trakea- bronkial dan terdeposit pada bronkiolus respiratorik atau alveolus. Nukleus percik renik akan dicerna oleh makrofag alveolus yang akan menghasilkan sebuah respon nonspesifik terhadap basilus. Infeksi yang terjadi melibatkan tingkat virulensi bakteri dan bakterisidal makrofag alveolus yang mencernanya. Apabila basilus dapat bertahan, basilus akan bermultiplikasi di dalam makrofag.1,6

Dalam makrofag, tuberkel bakteri akan berkembang dan membelah setiap 23- 32 jam sekali. Mycobacterium tidak memiliki toksin sehingga tidak terjadi reaksi imun segera pada host yang terinfeksi. Bakteri akan terus tumbuh dalam 2-12 minggu dan jumlahnya akan mencapai 103-104 (jumlah yang cukup untuk mengaktivasi respon imun seluler yang menyebabkan uji tuberkulin skin test reaktif). Bakteri lalu merusak makrofag dan mengeluarkan tuberkel basilus dan kemokin yang akan menstimulasi respon imun.1

Sebelum imunitas seluler teraktivasi, tuberkel basili akan menyebar melalui sistem limfatik menuju nodus limfe hilus, masuk ke dalam aliran darah dan menyebar ke organ lain. Sumsum tulang, hepar dan limpa hampir selalu mudah terinfeksi oleh Mycobacteria. Organisme akan menetap di apeks paru, ginjal, tulang, dan otak, yang mana kondisi organ-organ tersebut sangat menunjang pertumbuhan bakteri Mycobacteria.1

1. TB Primer1

(6)

TB primer adalah paparan pertama terhadap tuberker basili yang biasanya pada anak-anak. Basili akan terhidup dan mengendap di alveolus terminal yang biasanya di bagian bawah lobus superior atau bagian atas lobus inferior. Basili terfagosis oleh makrofag sehingga akan bereplikasi dalam makrofag. Makrofag dan monosit lainya akan bereaksi dengan kemokin dan bermigrasi ke fokus infeksi untuk menghasilkan respon imun. Area infeksi ini disebut Ghon focus.

Basili dan antigen selanjutnya bermigrasi keluar Ghon focus melalui jalur limpatik dan membentuk kompleks Ghon primer yang akan membentuk gambaran tipikal nekrosis kaseosa. Apabila sistem imun host baik maka basili dalam makrofag yang ada pada fokus primer akan digantikan dengan jaringan fibrotik dan kalsifikasi. Namun, beberapa basili tetap dorman di fokus primer yang disebut “kuman laten”. Infeksi primer sering kali tidak bergejala dan baru menghasilkan tuberkulin positif dalam 4-6 minggu pasca infeksi.

2. TB pasca primer1

TB pasca primer adalah TB pada host yang pernah tersensitisasi bakteri TB sebelumnya. Proses ini terjadi setelah periode laten yang umumnya terjadi bulanan atau tahunan pasca infeksi primer.

Penyebabnya dapat disebabkan oleh reaktivasi TB laten atau reinfeksi.

Respon imun yang melemah menjadi penyebab reaktivasi TB laten. TB pasca primer memiliki ciri terbentuknya kavitas di lobus superior paru dan kerusakan paru yang terlihat ada C ray cukup luas.

F. Manifestasi Klinis TB Paru1,6 1. Batuk ≥ 2 minggu

2. Batuk berdahak dengan atau tanpa darah 3. Sesak napas

4. Nyeri dada

Manifestasi klinis tersebut dapat disertai oleh gejala lain:

1. Penurunan berat badan 2. Penurunan nafsu makan 3. Demam

4. Malaise 5. Menggigil

6. Keringat malam hari G. Klasifikasi dan Tipe Pasien TB6

1. Klasifikasi berdasarkan lokasi anatomis

a. TB paru melibatkan parenkim paru atau trakeobronkial. TB milier termasuk TB paru karena lesi terdapat di paru. Pasien yang mengalami TB paru sekaligus ekstra paru termasuk kasus TB paru.

b. TB ekstra paru melibatkan organ di luar parenkim paru seperti pleura, KGB, abdomen, saluran genitourinaria, kulit, sendi dan tulang, hingga selaput otak.

2. Klasifikasi berdasarkan riwayat pengobatan

(7)

a. Kasus baru, belum pernah mendapat OAT atau riwayat OAT < 1 bulan

b. Kasus dengan riwayat pengobatan, pernah mendapat OAT 1 bulan lebih

c. Kasus kambuh, pernah mendapatkan OAT dan dinyatakan sembuh atau penderita dengan pengobatan lengkap namun terdiagnosis TB kembali baik karena reaktivasi atau reinfeksi).

d. Kasus pengobatan gagal, pernah mendapatkan OAT dan dinyatakan gagal di akhir masa pengobatan

e. Kasus loss to follow up, pasien yang sudah mendapatkan OAT 1 bulan atau lebih namun tidak meneruskannya selama lebih dari 2 bulan berturut-turut

f. Kasus lain-lain, pasien yang pernah mendapatkan OAT namun tidak diketahui akhir masa pengobatannya

g. Kasus dengan riwayat pengobatan tidak diketahui, pasien tidak diketahui riwayat sebelumnya sehingga tidak bisa dimasukan ke salah satu kategori di atas

3. Klasifikasi berdasarkan hasil pemeriksaan uji kepekaan obat a. Monoresisten: resisten pada salah satu OAT lini pertama

b. Poliresisten : resisten pada lebih dari satu OAT lini pertama selain isoniazid dan rifampisin secara bersamaan

c. TB MDR (multidrug resistant): minimal resisten pada isoniazid dan rifampisin secara bersamaan

d. TB XDR (extensive drug resistant): TB-MDR yang juga resisten pada salah satu OAT golongan fluorokuinolon dan salah satu OAT lini kedua jenis injeksi (kanamisin, kapreomisin, dan amikasin).

e. TB RR (Rifampicin resistant): terbukti resisten pada rifampisin dengan atau tanpa resistensi pada OAT jenis lain. Kelompok ini termasuk TB MR, TB PR, TB MDR, dan TB XDR yang terbukti resisten pada rifampisin.

4. Klasifikasi berdasarkan status HIV

a. Kasus TB dengan HIV positif: kasus TB dengan hasil test HIV positif yang ditegakan saat diagnosis TB atau sebelumnya pasien telah terdiagnosis HIV.

b. Kasus TB dengan HIV negatif: kasus TB pada pasien yang memiliki hasil tes HIV negatif di saat diagnosis TB ditegakkan.

c. Kasus TB dengan status HIV tidak diketahui: kasus TB pada pasien yang tidak memiliki hasil tes HIV dan tidak ada bukti terdapat sebagai register HIV sebelumnya.

H. Diagnosis

Setiap pasien yang terduga TB wajib dikonfirmasi penyakit TBnya dengan pemeriksaan bakteriologis. Berdasarkan rekomendasi WHO, pemeriksaan bakteriologis yang dimaksud adalah pemeriksaan apusan, pemeriksaan biakan atau metode diagnosis cepat. Di wilayah yang laboratoriumnya terstandar, kasus TB paru

(8)

BTA positif ditegakkan berdasarkan hasil BTA positif minimal dari satu spesimen.

Jika laboratorium tidak terpantau mutunya maka TB BTA positif ditegakkan jika dua spesimen BTA positif.1

Berdasarkan rekomendasi WHO, pemeriksaan biakan dan uji kepekaan terhadap rifampisin dan isoniazid dilakukan pada kelompok:1

1. Semua pasien dengan pengobatan OAT sebelumnya

2. Semua pasien HIV yang terdiagnosis TB aktif khususnya pada pasien yang tinggal di daerah dengan prevalensi TB resisten obat yang tinggi 3. Pasien TB aktif yang terpajan pasien TB resisten obat

4. Semua pasien TB baru di daerah yang kasus TB resisten obat primernya > 3%

5. Pasien baru atau riwayat OAT dengan hasil pemeriksaan sputum BTA tetap positif di akhir fase intensifnya.

Pemeriksaan biakan dan uji kepekaan dapat dilakukan dengan metode konvensional uji kepekaan obat dan metode cepat uji kepekaan obat (uji diagnostik molekular cepat). Pemeriksaan biakan M.TB dapat dilakukan dengan medium padat Lowenstein Jensen/LJ atau Ogawa dan medium cair MGIT (Mycobacterium growth indicator tube). Biakan M.TB pada media cair memerlukan waktu minimal 2 minggu sedangkan medium padat memerlukan waktu 28-42 hari. Metode molekule membedakannya M.TB dengan Non-Tuberculous Mycobacteria (NTM) serta mendeteksi mutasi gen yang berperan pada mekanisme kerja OAT lini 1 dan lini 2.

WHO merekomendasikan pemeriksaan molekular LPA (Line probe assay) dan TCM pada spesimen sputum.1

TCM dapat mendeteksi M. tuberculosis sekaligus gen pengkode resisten rifampisin pada sputum dalam waktu 2 jam. Konfirmasi hasil uji kepekaan OAT dengan metode konvensional masih menjadi gold standard. Penggunaan TCM belum menyingkirkan metode biakan dan uji kepekaan konvensional dalam menegakkan diagnosis definitif TB, utamanya pada pasien yang pemeriksaan BTA negatif, serta uji kepekaan OAT guna mengetahui resistensi OAT selain rifampisin.1

Jika tidak berhasil mendapatkan sputum melalui ekspektorasi spontan maka dilakukan tindakan induksi sputum atau prosedur bronkoskopi atau torakoskopi.

Pemeriksaan tambahan untuk semua pasien TB yang terdiagnosis klinis maupun terkonfirmasi bakteriologis adalah pemeriksaan HIV dan gula darah. Pemeriksaan lain dilakukan sesuai indikasi yang pasien miliki misalnya fungsi hati, fungsi ginjal, dan lain-lain.1

(9)

Gambar 1. Alur diagnosis TB dewasa1 I. Tatalaksana

Pengobatan TB merupakan upaya yang paling efisien dalam mencegah penyebaran lebih lanjut bakteri penyebab TB. Prinsip pengobatan adekuat TB paru adalah pengobatan dilakukan dengan pemberian OAT yang tepat yang mengandung 4 jenis obat untuk mencegah terjadinya resistensi, dosis OAT tepat, OAT ditelan secara teratur dan langsung diawasi oleh PMO (Pengawas Menelan Obat) hingga selesai pengobatan, serta pengobatan dilakukan dalam tahap awal dan tahap lanjutan untuk mencegah kekambuhan.1

Pada pengobatan awal, OAT diberikan setiap hari. Tujuan dari pengobatan tahap awal adalah menurunkan jumlah kuman yang ada dalam tubuh pasien secara efektif dan mengurangi dampak dari sebagian kecil kuman yang mungkin sudah resisten sebelum pasien diobati. Tahap awal pengobatan pada pasien baru harus diberikan dalam 2 bulan.1

Tujuan pengobatan lanjutan adalah membunuh sisa-sisa kuman yang terdapat dalam tubuh khususnya yang masih persisten sehingga pasien dapat sembuh dan tidak terjadi kekambuhan. Durasi pengobatan tahap lanjutan yakti 4 bulan. Fase lanjutan sebaiknya diberikan setiap hari.1

(10)

Tabel 1. Rekomendasi Dosis OAT1

OAT Dosis Rekomendasi Harian 3 kali per minggu dosis

(mg/kgBB)

maksimum (mg)

dosis (mg/kgBB)

maksimum (mg)

Isoniazid 5 (4-6) 300 10 (8-12) 900

Rifampisin 10 (8-12) 600 10 (8-12) 600

Pirazinamid 25 (20-30) - 35 (30-40) -

Etambutol 15 (15-20) - 30 (25-35) -

Streptomisin* 15 (12-18) - 15 (12-18) -

*Pasien geriatri tidak mentoleransi streptomisin lebih dari 500-700 mg per hari.

Kelompok usia ini diberikan dosis 10 mg/kgBB. Pasien dengan BB <50 kg juga tidak mentoleransi streptomisin lebih dari 500-700 mg per hari.

Tabel 2. Dosis OAT untuk TB-SO menggunakan KDT (Kombinasi Dosis Tetap)6 Betat Badan (kg) Fase intensif setiap hari

dengan KDT RHZE (150/75/400/275)

Fase lanjutan setiap hari dengan KDT RH (150/75) Selama 8 minggu Selama 16 minggu

30 - 37 kg 2 tablet 4KDT 2 tablet

38 - 54 kg 3 tablet 4KDT 3 tablet

≥55 kg 4 tablet 4KDT 4 tablet

Pasien TB kasus baru diasumsikan peka OAT kecuali pasien yang menempati daerah dengan prevalensi resisten tinggi isoniazid dan terdapat riwayat kontak TB RO. Berdasarkan paduan obat standar pasien TB kasus baru diberikan RHZE selama 2 bulan pada fase intensif dan RH selama 4 bulan selama fase lanjutan sebagaimana rekomendasi WHO. Jika tidak tersedia panduan dosis harian fase lanjutan maka dapat diberikan 2RHZE/4R3H3 dengan memenuhi syarat pengawasan yang ketat untuk setiap jenis obat. Jika BTA positif di akhir fase insentif maka tidak lagi direkomendasikan untuk melakukan pengobatan fase sisipan namun direkomendasikan untuk uji kepekaan TB RO dan untuk pengobatan fase lanjutan tetap diberikan.1

Pemantauan respons terapi harus dilakukan pada semua pasien. Pemantauan yang reguler dapat memfasilitasi pengobatan yang lengkap dan reaksi obat yang tidak diinginkan. Berat badan pasien selama pemantauan diukur setiap pengambilan obat guna penyesuaian dosis OAT. Pemeriksaan sputum BTA dilakukan pada akhir bulan

(11)

kedua untuk kasus baru dan akhir bulan ketiga untuk kasus pengobatan ulang. Hasil BTA positif di akhir fase insentif menandakan supervisi yang kurang baik dan ketaatan pasien buruk, OAT memiliki kualitas yang buruk, dosis OAT dibawah standar, kavitas TB besar dan jumlah kuman yang banyak sehingga resolusi lambat, penyakit komorbid yang dimiliki pasien, dan kasus TB yang disebabkan oleh TB RO.1 Apabila BTA masih positif pada bulan kelima atau di akhir pengobatan maka pengobatan dinyatakan gagal dan perlu dilakukan diagnosis cepat TB MDR. Kartu TB 01 ditutup dan pengobatan dinyatakan “gagal”. Pasien dengan BTA negatif di awal pengobatan dan tetap negatif di akhir fase intensif maka pemantauan dahak lebih lanjut tidak perlu dilakukan. Pencatatan yang sistematis mulai dari obat-obatan yang diberikan, respons pengobatan, efek samping, dan hasil akhir pengobatan harus dilakukan pada setiap pasien.1

Tabel 3. Definisi hasil pengobatan TB1

Hasil Definisi

Sembuh Pasien TB paru BTA positif di awal pengobatan dan BTA negatif atau biakan negatif di akhir pengobatan dan memiliki hasil pemeriksaan negatif di salah satu pemeriksaan sebelumnya Pengobatan

lengkap

Pasien TB yang sudah menyelesaikan pengobatan dengan lengkap dan tidak memiliki bukti gagal pengobatan tetapi juga tidak memiliki hasil BTA atau biakan negatif di akhir pengobatan dan satu pemeriksaan sebelumnya baik karena hasilnya tidak ada atau karena tidak dilakukan

Pengobatan gagal

Pasien TB dengan BTA atau biakan positif pada bulan kelima atau di akhir pengobatan

Meninggal Pasien TB yang meninggal selama ataupun sebelum pengobatan TB

Putus obat Pasien TB yang tidak memulai pengobatan setelah terdiagnosis TB atau pasien yang menghentikan pengobatan minimal 2 bulan berturut-turut.

Tidak

dievaluasi Pasien TB yang tidak memiliki hasil pengobatan pada saat akhir pelaporan kohort pengobatan, termasuk pasien yang sudah pindah ke fasilitas kesehatan lain dan tidak diketahui hasil pengobatannya oleh fasilitas yang merujuk pada batas akhir pelaporan kohort pengobatan

Keberhasilan pengobatan

Jumlah kasus yang hasil pengobatannya sembuh dan lengkap

Sebagian pasien TB tidak mengalami efek samping yang bermakna. Akan tetapi, sebagian kecil mengalami efek samping yang signifikan. Efek samping OAT diklasifikasikan menjadi efek mayor dan minor. Pada pasien dengan efek samping minor sebaiknya pengobatan OAT dilanjutkan dan diberikan terapi simptomatik. Jika

(12)

pasien mengalami efek samping mayor maka OAT penyebab sebaiknya dihentikan.

Tatalaksana efek samping OAT dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4. Efek samping OAT dan tatalaksananya1

(13)

Kategori Efek samping Kemungkinan obat penyebab

Pengobatan Berat Ruam kulit dengan

atau tanpa gatal

Streptomisin,

isoniazid, rifampisin, pirazinamid

Hentikan OAT

Tuli Streptomisin Hentikan

streptomisin Pusing vertigo dan

nistagmus

Streptomisin Hentikan streptomisinq Ikterik tanpa

penyakit hepar (hepatitis)

Streptomisin,

isoniazid, rifampisin, pirazinamid

Hentikan OAT

Bingung (curigai gagal hati imbas obat bila terdapat ikterik)

Isoniazid, pirazinamid,

rifampisin, sebagian besar OAT

Hentikan OAT

Gangguan penglihatan (singkirkan penyebab lainnya)

Etambutol Hentikan etambutol

Syok, purpura, gagal ginjal akut (sangat jarang terjadi, akibat gangguan

imunologi)

Rifampisin Hentikan rifampisin

Oliguria Streptomisin Hentikan

streptomisin Anoreksia, mual

nyeri perut Pirazinamid,

rifampisin, isoniazid Berikan obat dengan bantuan sedikit makanan atau menelan OAT sebelum tidur dan sarankan untuk menelan pil secara lambat dengan sedikit air. Bila gejala menetap atau membutuk atau muntah

berkepanjangan atau terdapat tanda-tanda perdarahan maka pertimbangkan kemungkinan ETD

(14)

Stop TB strategy yang mengawasi dan mendukung pasien untuk minum OAT adalah landasan DOTS (Directly Observed Treatment Short Course) yang dapat mencapai keberhasilan pengobatan sebanyak 85%. Ketaatan pasien berobat OAT penting dalam mencapai kesembuhan, mencegah penularan, dan menghindari terjadinya resistensi obat. PMO (Pengawas Menelan Obat) harus mengobservasi pasien menelan obat berupa tepat obat, tepat dosis dan tepat interval. PMO sebaiknya orang terlatih dan diterima dengan baik oleh pasien dan dipilih bersama dengan pasien. DOTS sebaiknya diterapkan dengan fleksibel sehingga pasien merasa nyaman.1

BAB III LAPORAN KASUS

A. Identitas

- Nama : Tn. INM

- Usia : 32 tahun

- Alamat : Munduk Lumbang - Pekerjaan : Karyawan Swasta - Pendidikan : SMA

B. Anamnesis

- Keluhan utama: batuk tidak berdahak sejak 2 minggu yang lalu - Riwayat penyakit sekarang:

Pada tanggal 18 Mei 2022 datang ke poli umum Puskesmas Penebel 1. Pasien mengeluh batuk lebih dari 2 minggu, demam yang hilang timbul sejak 1 bulan yang lalu, dan penurunan berat badan dari 60 kg menjadi 54,5 kg. Batuk dirasakan tidak berdahak. Tidak ada riwayat sesak, keringat malam hari dan nyeri dada. Pasien merasa dirinya baik-baik saja kondisinya namun batuk yang dirasakan sangat mengganggu. Pasien tidak pernah mengalami keluhan serupa dan tidak minum obat dalam jangka waktu lama. Pasien tidak ada kesulitan makan dan minum.

- Riwayat penyakit dahulu: tidak ada riwayat diabetes, asma, alergi, penyakit jantung dan hipertensi. Pasien tidak pernah dirawat di rumah sakit

- Riwayat penyakit keluarga: tidak ada riwayat serupa pada keluarga. Tidak ada riwayat diabetes, asma, alergi, penyakit jantung dan hipertensi pada keluarga - Riwayat Sosial dan Ekonomi:

- Pasien belum menikah.

- Saat ini masih tinggal bersama orang tua. Pasien tinggal bertiga di rumah yang cukup luas dengan konsep rumah Bali yang mana kamar tidur, kamar mandi dan dapur terletak pada 2 bangunan yang terpisah.

Tidak ada keluhan batuk lama pada orang tua pasien.

- Rumah pasien mendapat cahaya matahari langsung dan berventilasi.

Dinding rumah bata, atap genteng, dan ubin lantai. Rumah memiliki halaman dan tidak padat penduduk. Ukuran kamar pasien 3 m x 4 m

(15)

- Sebelum sakit pasien bekerja di Jatiluwih. Tidak terdapat riwayat sakit TB pada teman kantor. Saat ini pasien sudah bekerja di sebuah café di Seminyak

- Riwayat Kebiasaan dan Gaya Hidup:

- Terdapat riwayat tato dan minum alkohol - Pasien saat ini masih merokok.

C. Pemeriksaan Fisik

- Keadaan umum : tampak sakit ringan

- GCS : E4M6V5 (CM)

- BB : 54,5 kg

- TB : 173 cm

- Tekanan darah : 104/82 mmHg

- Suhu : 37 C

- RR : 20x/menit

- Nadi : 80x/menit

- Saturasi oksigen : 98%

- Leher dan kepala : tidak ada pembesaran KGB

- Jantung : BJ I dan II tunggal, murmur (-), gallop (-)

- Paru : Vesikuler semua lapang paru, wheezing (-) ronkhi (-) - Abdomen : supel, distensi (-), BU (+) normal

- Ekstremitas : Akral hangat, CRT < 2 detik, jari tabuh (-) D. Pemeriksaan Penunjang

- TCM 19 Mei 2022 dahak pagi rifampisin sensitif - HIV negatif

- GDS 121 E. Diagnosis Kerja

TB paru kasus baru terkonfirmasi bakteriologis, HIV negatif F. Tatalaksana

- OAT KDT RHZE kategori 1 sebanyak 4 tablet

- Pengobatan fase intensif dilakukan 56 hari dimulai tanggal 24 Mei 2022 - 18 Juli 2022

- Pengobatan fase lanjutan dilakukan mulai tanggal 20 Juli 2022 dengan menggunakan KDT OAT RH 3 kali seminggu

G. Prognosis

- Ad functionam : bonam - Ad sanationam : bonam - Ad vitam : bonam

BAB IV PEMBAHASAN

Tn. INM awalnya mengeluh batuk lebih dari 2 minggu, demam yang hilang timbul sejak 1 bulan yang lalu, dan penurunan berat badan dari 60 kg menjadi 54,5 kg sehingga

(16)

berobat ke Puskesmas Penebel 1. Pasien belum pernah mengalami keluhan serupa dan belum pernah minum OAT. Tidak ada riwayat serupa pada keluarga dan teman kerja pasien. Pasien memiliki kebiasaan merokok, minum alkohol, dan bertato. Kebiasaan merokok dan minum alkohol ini merupakan beberapa faktor risiko terinfeksi TB selain pasien imunokompromais, pengguna imunosupresan jangka panjang, balita, lansia, riwayat erat dengan pasien TB, dan faktor pekerjaan seperti nakes.

Gejala yang dialami Tn. INM mengarah ke gejala TB paru sehingga dilakukan pemeriksaan dahak. Sebagaimana Panduan Nasional Pelayanan Kedokteran Tatalaksana Tuberkulosis Tahun 2020, pasien terduga TB dikonfirmasi dengan pemeriksaan bakteriologis TCM apabila memiliki akses pada pemeriksaan tersebut. Pasien di Puskesmas Penebel 1 yang terduga TB mengumpulkan 2 pot dahak yaitu dahak sewaktu dan pagi hari untuk dikirim ke BRSU Tabanan guna pemeriksaan TCM. Hasil pemeriksaan TCM Tn. INM ialah MTB positif, rifampisin sensitif. Selain pemeriksaan bakteriologis MTB, pada pasien terduga TB juga dilakukan pemeriksaan HIV dan GDS untuk memastikan adanya komorbid imunokompromais dan diabetes melitus tipe 2. Berdasarkan hasil pemeriksaan mulai dari anamnesis, pemeriksaan fisis, dan pemeriksaan penunjang, Tn. INM mengalami TB paru kasus baru terkonfirmasi bakteriologis, HIV negatif.

Berdasarkan diagnosis, Tn. INM mendapatkan OAT kategori 1. Pada fase intensif, pasien mendapatkan 4 tablet KDT RHZE sesuai dengan berat badan pasien 54,5 kg.

Pengobatan fase intensif berlangsung 56 hari yaitu pada tanggal 24 Mei 2022 - 18 Juli 2022.

Di akhir fase intensif, dilakukan pemeriksaan bakteriologis BTA untuk melihat keberhasilan terapi fase intensif. Hasil BTA Tn. INM sudah negatif di akhir fase intensif. Selanjutnya, terapi dilaksanakan pada fase lanjutan dengan pemberian KDT RH sebanyak 4 tablet. Terapi dilanjutkan dalam 6 bulan ke depan hingga tuntas. Efek samping dari pengobatan yang dirasakan oleh pasien hanya urin yang berwarna kemerahan. Tidak keluhan yang dirasakan oleh pasien.

Pada pasien telah dilakukan konseling mengenai sanitasi, pengetahuan TB, dan juga kondisi gizi. Berdasarkan hasil anamnesis, lingkungan rumah pasien sudah termasuk rumah sehat karena memiliki tempat pembuangan limbah, ventilasi dan pencahayaan baik, tidak lembab, memiliki halaman, dan tidak padat penduduk. Pada pasien tidak memiliki masalah soal gizi meskipun sewaktu awal sakit terdapat penurunan berat badan sebanyak 6 kg. Setelah pengobatan fase intensif, berat badan pasien mulai naik kembali dan gejala batuk sudah tidak ada lagi. Konseling juga dilakukan untuk meningkatkan pengetahuan pasien mengenai penyakit tuberkulosis mulai dari penyebabnya, penyebarannya, cara pencegahannya, etika batuk, dan tahapan pengobatannya.

Pada pasien telah dilakukan active case finding dengan melakukan pengecekan sputum pada seluruh anggota keluarga yang tinggal bersama pasien dan semua hasilnya negatif. Pasien saat ini merasa mendapatkan dukungan yang besar dari pihak Puskemas terutama mengenai pengobatan. Pasien mengatakan jika PMO pasien adalah petugas dari puskemas langsung. Orang tua pasien tidak terlalu mengawasi karena menilai pasien sudah paham dan mempunyai kesadaran untuk berobat hingga tuntas. Pasien sampai saat ini tidak ada kendala mengenai pekerjaan. Pasien masih bekerja di sebuah café di Seminyak. Tidak ada stigma yang buruk yang pasien rasakan selama terdiagnosis TB. Pasien sudah paham

(17)

mengenai penyebaran TB sehingga pasien selalu menggunakan masker dan tidak meludah di sembarang tempat.

BAB V SIMPULAN

Tn. INM mengeluh batuk lebih dari 2 minggu, demam yang hilang timbul sejak 1 bulan yang lalu, dan penurunan berat badan dari 60 kg menjadi 54,5 kg. Belum ada riwayat minum OAT dan tidak ada riwayat keluhan serupa. Berdasarkan Panduan Nasional Pelayanan Kedokteran Tatalaksana Tuberkulosis Tahun 2020, Tn. INM mengarah pada gejala terduga TB sehingga dilakukan pemeriksaan TCM. Dilakukan juga pemeriksaan HIV dan GDS untuk mengkonfirmasi adanya komorbid pada pasien. Setelah menjalani serangkaian pemeriksaan Tn. INM terdiagnosis TB paru kasus baru terkonfirmasi bakteriologis, HIV negatif. Oleh sebab itu, pasien mendapatkan tatalaksana OAT kategori 1 yaitu KDT RHZE pada fase intensif dan KDT RH pada fase lanjutan.

Berdasarkan hasil anamnesis, lingkungan rumah pasien memenuhi syarat rumah yang sehat yakni karena memiliki tempat pembuangan limbah, ventilasi dan pencahayaan baik, tidak lembab, memiliki halaman, dan tidak padat penduduk. Setelah terdiagnosis, dilakukan active case finding untuk memeriksa semua sputum anggota keluarga yang tinggal serumah dengan pasien dan hasilnya semua negatif. Tidak ada stigma buruk yang didapatkan pasien tentang kondisinya saat ini. Konseling mengenai TB yang telah dilakukan oleh petugas kesehatan telah banyak memberikan informasi untuk pasien sehingga pasien lebih waspada dengan kondisinya agar tidak menularkan penyakitnya ke orang lain.

DAFTAR PUSTAKA

1. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Tatalaksana Tuberkulosis. Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia; 2019.

2. WHO. Global tuberculosis report 2020 [Internet]. Geneva; 2020 [dikutip 1 November 2022]. Tersedia pada: https://www.who.int/publications/i/item/9789240013131

3. Prameswari A. The Evaluation of Directly Observed Treatment Short-Course (DOTS) Implementation for TB in Hospital X. J Medicoeticolegal Dan Manaj Rumah Sakit.

2018;7(2).

4. Sreeramareddy CT, Qin ZZ, Satyanarayana S, Subbaraman R, Pai M. Delays in diagnosis and treatment of pulmonary tuberculosis in India: a systematic review. Int J Tuberc Lung Dis Off J Int Union Tuberc Lung Dis. Maret 2014;18(3):255–66.

5. Eang MT, Satha P, Yadav RP, Morishita F, Nishikiori N, van-Maaren P, dkk. Early detection of tuberculosis through community-based active case finding in Cambodia.

BMC Public Health. Desember 2012;12(1):1–10.

6. PDPI. Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan Tuberkulosis di Indonesia. Jakarta:

Pedoman Dokter Paru Indonesia; 2021.

(18)

Referensi

Dokumen terkait

Pasien TB ekstraparu sangat mungkin juga menderita TB paru pemeriksaan sputum negatif foto thorax membantu menentukan

Kasus yang tidak memenuhi definisi pada TB Paru BTA positif. Kriteria diagnostik TB Paru BTA negatif harus meliputi:.. a) Paling tidak 3 spesimen dahak SPS hasilnya

Paduan OAT ini diberikan untuk pasien baru:  Pasien baru TB paru BTA positif.  Pasien TB paru BTA negatif foto toraks positif  Pasien TB

Menurut keterangan dari petugas pengelola TB paru Puskesmas Poriaha pada tahun 2015 jumlah pasien penyakit TB paru BTA + sebanyak 21 pasien , 21 pasien dinyatakan tahap

Pemeriksaan foto toraks pada ODHA memegang peranan penting dalam penegakan diagnosis. TB paru khususnya

Adalah pasien TB yang sebelumnya pernah mendapat pengobatan TB dan telah dinyatakan sembuh atau pengobatan lengkap, kemudian kembali lagi berobat dengan hasil pemeriksaan dahak

Adalah angka yang menunjukkan prosentase pasien baru TB baru BTA positif yang menyelesaikan pengobatan (baik yang sembuh maupun pengobatan lengkap) diantara

Variabel terikat: Keberhasilan Pengobatan TB Paru Adalah hasil pengobatan TB Paru dari uji bakteriologik dan klinik pada penderita TB paru BTA (+) yang menjalani pengobatan