MAKALAH
USHUL FIQH DAN QOWAID FIQHIYYAH
Dosen Pengampu:
Dr. Nurul Hak, MA
Disusun oleh:
Tiara Lestari (2223140022) Nathasa Deli Calpa (2223140025) Vioza Dwi Arisantika (2223140030)
PROGRAM STUDI PERBANKAN SYARIAH FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI FATMAWATI SUKARNO BENGKULU TAHUN 2023
KATA PENGANTAR
Puji syukur kita ucapkan kehadiran Allah SWT. berkat limpahan karunia-Nya, kami dapat menyelesaikan penulisan makalah ini. Shalawat beserta salam kepada nabi besar Nabi Muhammad Saw, karena atas usahanya kita bisa menikmati indahnya Islam saat ini.
Makalah ini dibuat sebagai tugas mata kuliah Ushul fiqih&Qawaid Fiqhiyyah . Namun, kami tak hanya membuat sebagai formalitas, tetapi juga diwajibkan memahami segala materi yang ada.
Kami berharap, materi yang ada dalam makalah ini dapat bermanfaat sebagai pembelajaran bagi semua orang terima kasih untuk semua pihak yang telah membantu dalam pembuatan makalah ini beberapa kekurangan mungkin masih menjadi milik kami oleh karena itu kritik dan saran yang membangun sangat kami harapkan.
Bengkulu, 23 September 2023
Kelompok 7
Daftar Isi
KATA PENGANTAR...1
BAB I...3
PENDAHULUAN...3
A. LATAR BELAKANG...3
B. RUMUSAN MASALAH...3
C. TUJUAN PENELITIAH...3
BAB II...4
PEMBAHASAN...4
A. Wadhih (JELAS) dan Ghair Wadhih (tidak jelas)...4
1. Wadhih (jelas)...4
2. Ghairu Wadhih (tidak jelas)...5
B. Haqiqah dan majaz...6
C. Pengertian Majaz...7
D. SHARIH DAN KINAYAH...9
E. TA’WIL...9
BAB III...11
PENUTUP...11
A. KESIMPULAN...11
DAFTAR PUSTAKA...12
BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG
Wadlih atau kejelasan adalah nash ialah makna yang ditunjukan oleh bentuk nash itu sendiri tanpa memperhatikan faktor luar. Jika nash itu mengandung takwil dan yang dimaksudkan bukan tujuan asal susunan katanya ,disebut al-dhahir, jika mengandung takwil ,bila yang dimaksudkan adalah tujuan asal susunan katanya disebut al-nash, bila tidak mengandung takwil dan hukumnya menerima nash dinamakan al mufassar(yang ditafsirkan, dan bila tidak mengandung takwil dan hukumnya tidak menerima nash, disebut al mukhakkam(yang ditentukan hukumnya.
Dasar perbedaan tingkatan-tingkatan kejelasan itu ialah mengenai ada tidak adanya kemungkinan mentakwilkannya. nash yang maknanya dapat dipahami dari bentuk nash itu sendiri, dan tidak ada kemungkinan dapat dipahami arti lainnya, maka nash itu lebih jelas dalalahnya dari pada nash yang maknanya dapat dipahami, tapi ada kemungkinan dapat di pahami arti yang lainnya.
Sealain wadilih, ada ghairu wadhih yaitu nash yang tidak jelas dalalahnya.
Nash ini melalui bentuknya sendiri dan tidak dapat menunjukkan arti yang di maksudkannya bahkan untuk memahaminya saja harus menggunakan faktor dari luar.
Jika nash atau dalil itu bisa dihilangkan kesamarannya dengan jalan meneliti dan melalukan ijtihad, maka dalil itu disebut al khafi atau al-musykil.hal-hal yang berkaitan dengan wadhih dan ghagru wadhih selanjutnya akan kita paparkan lebih lanjut pada bagian pembahasan.
B. RUMUSAN MASALAH
1. Apa yang dimaksud al-lafdzul wadhih?
2. Apa yang dimaksud al-lafadzul ghairul ? 3. Apa yang dimaksud haqiqah dan majaz?
4. Apa itu sharih dan kinayah?
5. Dan apa itu ta’wil ? C. TUJUAN PENELITIAH
1. Kita dapat mengetahui apa yang dimaksud dengan al-lafadzul wadhih dan al- lafadzul ghairul.
2. Dapat mengetahui dan memahami pengertian haqiqah dan majaz serta macam- macam pembagiannya.
3. Agar kita dapat memahami apa yang dimaksud dengan sharih, kinayah dan ta’wil.
BAB II PEMBAHASAN A. Wadhih (JELAS) dan Ghair Wadhih (tidak jelas)
Syariat islam adalah aturan hukum yang memiliki kesempurnaan sistem yang berupa teks tertulis (lafadz Al-Qur’an dan As-Sunnah) dan implementasi dalam bentuk [ CITATION IWA19 \l 1057 ]konteks (sosial dan budaya). Syariat islam adalah aturan hukum yang komprehensif dan universal menyangkut segala aspek kehidupan tanpa dibatasi oleh waktu dan tempat.
Namun dalam memahami teks dan konteks syariat tersebut diperlukan suatu instrumen atau perangkat yang menyesuaikan antara makna teks dengan konteks.
Salah satu instrumen atau perangkat untuk memahami teks (lafadz Al-Quran dan As- Sunnah) dan konteks sosial dan budaya tersebut ushul fiqh. Oleh karena itu, metode yang ada dalam ilmu ushul fiqh untuk mengetahui kejelasan lafadz, dikenal dengan istilah wadhih (lafadz yang jelas) dan ghair wadhih (lafadz yang tidak jelas).
1. Wadhih (jelas)
Wadhih adalah makna yang ditunjukan oleh bentuk nash itu sendiri tanpa memperhatikan faktor luar. Secara garis besar, wadhih atau lafadz yang jelas, terbagi kepada 2 macam yaitu:
a. Lafadz yang jelas penunjukannya terhadap makna yang bermaksud, sehingga atas dasar kejelasan itu beban hukum dapat ditetapkan tanpa memerlukan penjelasan dari luar.
b. Lafdz yang belum jelas penunjukannya terhadap makna yang dimaksud kecuali dengan penjelasan dari luar lafadz itu.
Dalam pembahasan wadhih ini, para ulama ushul fiqh membaginya menjadi 4 macam yaitu: nash, dzhahir, mufassar, dan muhkam.
a. Nash
Menurut bahasa pengertian nash adalah adz-dzuhur yang berarti jelas.
Menurut asy-syafi’i adalah AL-Quran dan As-sunnah, baik yang tegas maupun yang tidak tegas. Sedangkan pengertian nash menurut istilah adalah teks yang menunjukkan pada satu makna yang jelas dan tidak mengandung kemungkinan adanya makna yang lain dan makna yang ditunjukan teks tersebut adalah memang maksud asli teks tersebut.
b. Dzhahir
Untuk menetapkan sebuah hukum yang bersumber dari al quran maupun al sunnah di perlukan metode yang tepat, sebab ada kalanya lafaz-lafaz yang terdapat dari keduan sumber (al quran dan al sunnah) tersebut besifat dzhahir (tidak perlu penjelasan),ada pula yang bersifat ta’wil perlu penjelasan.
I. Dzhahir(tidak perlu penjelasan)
Pengertian dzhahir menurut bahasa arab adalah al wadih (yang terang) atau al bayan (yang jelas). Sedangkan dzhahir menurut istilah adalah lafas yang menunjukkan atas makna yang jelas baik dari lisan maupun tulisan.
II. Ta’wil (perlu penjelasan)
Pengertian ta’wil menurut bahasa arab bearti arruju’(kembali) sedangkan menurut istilah adalah memindahkan makna lafaz yang dzahahir kepada yang mungkin dapat di terima oleh akal. Ta’wil adalah suatu usaha untuk memahami lafaz-lafaz melalui pendekatan memahami arti atau maksud sebagai kandungan dari lafaz itu.
c. Mufassar
Mufasar menurut istilah ushul fiqh mengarah kepada suatu lafal atau kalimat yang menunjukkan suatu hukum dengan dalalah, yakni petunjuk yang jelas, tanpa menerima kemungkinan penakwilan dan pertakhsisan, tetapi dapat menerima nasakh pada masa kerasulan
d. Muhkam
Secara bahasa muhkam berasal dari kata ihkam yang berati kekukuhan, kesempurnaan, keseksamaan, dan pencegahan. Namun secara pengertian ini pada dasarnya kata tersebut kembali pada makna pencegahan. Kta muhakam merupakan pengembangan dari kata ahkama, yuhkimu, ihaman yang secara bahasa adalah atqona wa mana’a yang berarti mengkokohkan dan melayang.
2. Ghairu Wadhih (tidak jelas)
Ghairu wadhih adalah lafadz yang tidak t jelas artinya atau nash yang tidak bisa menunjukkan kepada arti yang dimaksud dari lafadznya sendiri, bahkan untuk memahaminya diperlukan faktor atau instrumen lain dari luar. Ghairu wadhih terbagi menjadi 4 macam, yaitu khafi, musykil,mujmal, dan mutasyabih
a. Khafi
Adalah satu lafadz yang sama artinya karena maksud dan tujuan lafadznya tersembunyi pada faktor yang lain. Sebenarnya lafdz kahfi adalah lafadz yang menunjukkan artinya dengan jelas, namun dalam penerapan atau aplikasi artinya terhadap kesamaran dan untuk menghilangkan kesamaran dan tidak jelasan itu diperlukan upaya berpikir secara mendalam melalui penalaran dan ta’wil
b. Musykil
Musykil adalah lafadz yang mempunyai arti yang samar, tersembunyi, dan mempunyai banyak makna dikarenakan oleh lafadz itu sendiri. Lafadz musykil dari segi sighatnya sendiri tidak menunjukkan maksud tertentu, oleh karenanya diperlukan qarinah dari luar yang menjelaskan apa yang dimaksud oleh lafadz tersebut.
c. Mujmal
Untuk memahami maksud yang terkandung dalam AL-quran dan AS-sunnah tidaklah semudah yang kita pikiran, melainkan mebutuhkan ilmu yang menjelaskan kesamaran dan menyingkap maksud-masudnya. Salah satu ilmu tersebut adalah ilmu ushul fiqh yang membantu memahami dan menjelaskan suatu makna pada ayat-ayat yang mujmal (global/umum) dan mubayyan (penjelas).
B. Haqiqah dan majaz 1. Pengertian Hakikat.
Haikat dan majaz adalah dua kata dalam
bentuk muthadayyifan atau relative term, dalam arti sebagai dua kata yang selalu berdampingan dan setiap kata akan masuk kedalam salah satu diantaranya.
Ada beberapa rumusan yang dikemukakan ulama tentang pengertian hakikat itu, yakni:
a. Menurut Ibnu Subki:
ءادتبا هل عضو اميف لمعتسملا ظفللا وه
“Lafaz yang digunakan untuk apa lafaz itu di tentukan pada mulanya.
b. Menurut Ibnu Kudamah:
يلص لا هعوضوم يف لمعتسملا ظفللا وه
“ Lafaz yang digunakan untuk sasarannya semula.”
c. Menurut Wahabah Zuhaili, makna hakikat itu adalah :
مولعم ءيشا لصلا يف هل عضوام هب ديرا ظفل لك يه
“Setiap lafaz yang digunakan untuk menunjukkan arti yang semestinya bagi sesuatu yang sudah maklum (lumrah) untuk dipahami.”
d. Menurut al-Sarkisi:
مولعم ءيشل لصلا يف عوضوم وه ظفل لك
“Setiap lafaz yang ia tentukan menurut asalnya untuk sesuatu yang tertentu.”
e. Menurut al-Utsaimin:
هل عضو اميف لمعتسملا ظفللا
“Lafadz yang digunakan pada asal peletakannya.”
Beberapa definisi diatas mengandung pengertian bahwasannya hakikat itu adalah suatu lafaz yang digunakan untuk menurut asalnya untuk maksud tertentu.
Maksudnya lafaz tersebut digunakan oleh perumus bahasa memang untuk itu.
Seperti kata “kursi”; menurut asalnya memang digunakan untuk tempat tertentu yang memiliki sandaran dan kaki. Meskipun kemudian kata “kursi“ itu sering pula digunakan untuk pengertian kekuasaan, namun tujuan semula kata “kursi” itu bukan untuk itu, tetapi “tempat duduk”. Sedangkan penggunaan suatu kata untuk sasaran (pengertian) lain dinamai “majaz”. Laafaz itu tidak disifati bahwa ia haqiqah atau majaz kecuali setelah digunakan.
2. Macam-Macam Haqiqah.
Dari segi ketetapannya sebagai haqiqah, para ulama membagi haqiqah itu kepada beberapa bentuk :
a. Haqiqah Lughawiyyah ( ةيوغللا ةقيقحلا)
ةغللا يف هل عضو اميف لمعتسملا ظفللا
“Lafadz yang digunakan pada asal peletakannya secara bahasa.”
Contohnya : sholat, maka sesungguhnya hakikatnya secara bahasa adalah doa, maka dibawa pada makna tersebut menurut perkataan ahli bahasa.
b. Haqiqah Syar’iyah ( ةيعرشلا ةقيقحلا) yang ditetapkan oleh syari’ (pembuat hukum) sendiri, yaitu :
اعرش هل عوضوملا ىنعملا يف لمعتسملا ظفللا وه Lafaz yang digunakan untuk makna yang di tentukan untuk itu oleh syara’
Umpamanya lafazh shalat untuk perbuatan tertentu yang terdiri dari perbuatan dan ucapan yang di mulai dengan “takbir” dan disudahi dengan
“salam”. Makna shalat yang menurut asal bahasa adalah do’a.
c. Haqiqah ‘Urfiyah Khashshah ((ةص اخخخلا ةخخيقرعلا ةخخقيقحلا, yang ditetapkan oleh kebiasaan suatu lingkungan tertentu, yaitu :
هنم ةفءاط وا ةعامج هيلع حلطصي صاخ يفرع ىنعم يف لمعتسملا ظفللا وه
“Lafazh yang digunakan untuk arti menurut kebiasaan tertentu yang biasa digunakan oleh suatu kelompok atau sebagian diantaranya.”
d. Haqiqah “urfiah “ammah(ص اخلا ةيقرعلا ةقيقحلا)yang ditetapkan oleh kebiasan yang berlaku secara umum.
ماع يفرع ىنعم يف لمعتسملا ظفللا وه
“Lafazh yang digunakan dalam makna menurut yang berlaku dalam kebiasaan umum”
C. Pengertian Majaz.
Sedangkan mengenai pengertian Majaz, maka para ulama Ushul memberikan definisi yang beragam, secara bahasa kata majaz diambil dari kata(
عوضوملا زاجا) yang artinya meninggalkan atau menempuh suatu tempat. Sedangkan menurut istilah majaz adalam menggunakan suatu kata bukan pada makna
asalnya, karena adanya qarinah (indikasi) yang mencegah penggunaan makna asal, disertai adanya hubungan antara kedua makna yang digunakan dan makna asal.
Beberapa ulama ushul merumuskan pengertian majaz itu secara beragam, namun memiliki pengertian yang berdekatan dan saling melengkapi,yaitu:
a. Al-Sarkhisi memberikan definisi :
هل عضو امريغ ءيشل راعتسم وه ظفل لكل مسا
“Nama unbtuk setiap lafaz yang dipinjam untuk digunakan bagi maksud di luar apa yang ditentukan”.
b. Menurut Ibnu Qudamah :
حصي هجو ىلع هعوضوم ريغ يف لمعتسملا ظللا وه
“Lafaz yang digunakan bukan untuk apa yang ditentukan dalam bentuk yang dibenarkan”.
c. Definisi Majaz menurut Ibnu Subki :
ةقلعل ناث عضوب لمعتسملا ظللا وه
“Lafaz yang digunakan untuk pembentukan kedua karena adanya keterkaitan”.
Dari beberapa contoh definisi diatas dapat dirumuskan pengertian lafaz majaz tersebut yaitu :
a. Lafaz itu tidak menunjukkan kepada arti yang sebenarnya sebagaimana yang dikehendaki oleh suatu bahasa;
b. Lafaz dengan bukan menurut arti sebenarnya itu dipinjam untuk digunakan dalam memberi arti kepada apa yang dimaksud;
c. Antara sasaran dari arti lafaz yang digunakan dengan sasaran yang dipinjam dari arti lafaz itu memang ada kaitannya.
3. Macam-Macam Majaz.
Adapun macam-macam majaz, sebagaimana yang disebutkan oleh DR.
Wahbah Zuhailiseperti halnya pada haqiqah adalah sebagai berikut :
a. Majazlughawi yaitu menggunakan lafaz bukan untuk arti yang sesungguhnya, karena adanya qarinah lughawi, atau tuntutan kebahasaan. Seperti menggunakan kata asad (yang artinya macan) digunakan untuk arti : “ laki- laki yang pemberani”
Menurut Utsaimin, Maka jika majaz tersebut dengan penyerupaan, dinamakan majaz Isti’arah (ةراعتسا), seperti majaz pada lafadz singa untuk seorang laki-laki yang pemberani. Isti’arah (peminjaman kata lain) itu merupakan bentuk yang terbanyak dari penggunaan lafaz majaz.
b. Majaz Syar’i, yaitu menggunakan lafaz bukan untuk arti yang sesungguhnya, karena ada qarinah syar’iyah. Seperti menggunakan lafaz shalat (yang arti aslinya adalah do’a) digunakan untuk arti “suatu ibadah yang tertentu”.
c. Majaz ‘Urfi Khas, yaitu menggunakan lafaz bukan untuk arti yang sesungguhnya karena adanya tuntutan kebiasaan yang tertentu.Seperti
menggunakan lafaz لاحلا yang artinya “berubah” digunakan untuk menentukan keadaan seseorang yang baik ataupun yang buruk.
d. Majaz ‘Urfi ‘Am, yaitu menggunakan lafaz bukan untuk arti yang sesungguhnya Seperti menggunakan lafaz ةبادلا yang artinya hewan, digunakan untuk arti “orang yang bodoh”.
Sedangkan Profesor Amir Syarifuddin di dalam bukunya menyebutkan bentuk-bentuk majaz itu sebagai berikut :
a. Adanya tambahan dari susunan kata menurut bentuk yang sebenarnya.
Seperti tambahan kata ك yang terdapat dalam firman Allah dalam surat
“al-Syura; 11( ءيش هلثمك سيل).
b. Adanya kekurangan dalam susunan suatu kata yang sebenarnya.
Umpamanya firman Allah dalam surat Yusuf ayat; 82 ةيرقلا لئساو(tanyalah penduduk kampung itu).
c. Mendahulukan dan membelakangkan, atau dalam pengertian “menukar kedudukan suatu kata”. Umpamanya firman Allah dalam surat dalam surat an-Nisa’ ayat; 11
d. Meminjam kata lain atau Isti’arah. Yaitu menamakan sesuatu dengan menggunakan (meminjam) kata lain, seperti memberi nama si A yang
“pemberani” dengan “singa”.
4. Cara Mengetahui Haqiqah dan Majaz.
Asal penggunaan kata (menurut prinsipnya) adalah menurut hakikatnya dan tidak beralih kepada penggunaan majaz, kecuali dalam keadaan yang terpaksa.
Suatu kata baru dapat diketahui keadaannya sebagai majaz bila ada qarinah (petunjuk) yang mengirinya. Karena itu perlu diketahui yang haqiqah dan majaz itu dan antara keduanya dapat dibedakan.
Adapun untuk mengetahui lafaz haqiqah adalah secara sima’i (ىعامس ) yaitu dari pendengaran terhadap apa yang bisa dilakukan orang-orang dalam berbahasa.
Tidak ada cara lain untuk mengetahuinya selain dari itu. Juga tidak dapat diketahui melalui analogi. Sebagaimana keadaan hukum syara’ yang tidak dapat dikjetahui kecuali melalui nash syara’ itu sendiri.
Cara menegtahui lafaz majaz adalah melalui usaha mengikuti kebiasaan orang Arab dalam penggunaan isti’arah (peminjam kata). Adapun cara orang Arab menggunakan kata lain untuk dipinjam bagi maksud lain adalah adanya kaitan antara maksud kedua kata itu baik di dalam bentuk maupun dalam arti.
Contoh keterkaitan dalam bentuk adalah menggunakan kata al-Ghaaith (طئاغلا ) yang berarti tempat yang tenang di belakang yang dijadikan majaz terhadap kata
“buang air besar” karena buang air besar itu memang biasa dilakukan di tempat yang tenang di belakang.
D. SHARIH DAN KINAYAH
Terdapat dua cara lain dalam penggunaan lafal hakikat dan majas, yaitu sharih dan kinayah. Adapun penjelasannya adalah sebagai berikut :
a. Sharih
Sharih (jelas/terang) Yaitu lafal yang digunakan untuk menjelaskan hakikat, seperti lafal-lafal ijab kabul di antara orang yang berakad dalam pernikahan, maupun akad yang lainnya.
Atau setiap lafal yang terbuka makna dan maksudnya, baik dalam bentuk hakikat atau majas. Maksud yang dikehendaki pembicara dapat diketahui dari lafal yang digunakan tanpa memerlukan penjelasan lain.
Seperti ketika seseorang menceraikan istrinya dengan mengatakan, “Engkau saya ceraikan”.
b. Kinayah
yaitu lafal yang mengatakan sesuatu untuk menunjukkan arti lain. dengan demikian lafal kinayah dapat dipahami setelah dijelaskan oleh dalil.
Umpamanya perkataan seseorang kepada istrinya, “Pulanglah engkau ke rumah ibu mu”.
E. TA’WIL
1. Pengertian Ta’wîl .
Secara etimologi, ta’wîl berasal dari kata ُل ْوللا yang artinya عوجرلا (kembali) dan ةبقاعلا (akibat atau pahala).
Sedangkan dalam terminologi Islam, Ibnu Manzhur menyebutkan dua pengertian ta’wîl secara istilah dalam Lisan Al-Arab; pertama, ta’wîl adalah sinonim (muradhif) dari tafsîr . Kedua, ta’wîl adalah memindahkan makna zhahir dari tempat aslinya kepada makna lain karena ada dalil.
2. Bentuk-bentuk ta’wil
Bentuk-bentuk ta’wîl dikatakan oleh Amir Syarifudin adalah sebagai berikut [12]:
a. Dari segi diterima atau tidaknya suatu ta’wîl ada dua bentuknya :
1. Ta’wîl Maqbul (لوخخخخخخبقملا لخخخخخخيو أخخخخخختلا ) atau ta’wîl yang diterima, yaitu ta’wîl yang telah memenuhi syarat-syarat yang disebut di atas.
2. Ta’wîl ghair al-Maqbul (لوخخبقملا ريخخغ لخخيو أخختلا ) atau ta’wîl yang ditolak, yaitu ta’wîl yang hanya didasarkan kepada selera atau dorongan lain dan tidak memenuhi syarat yang ditentukan.
b. Dari segi dekat atau jauhnya pengalihan makna lafaz yang di ta’wîl dari makna zahirnya, ta’wîl dibagi kedalam dua bentuk :
1. a. Ta’wîl Qarib (بيرقلا ليو أتلا ), yaitu ta’wîl yang tidak jauh beranjak dari arti zhahirnya, sehingga dengan petunjuk yang sederhana dapat dipahami maksudnya. Ta’wîl ini termasuk ta’wîl yang diterima.
2. Ta’wîl Ba’id (ديعبلا ليو أتلا ) yaitu pengalihan dari makna lahir suatu lafaz yang begitu jauhnya, sehingga tidak dapat diketahui dengan dalil yang sederhana.
BAB III PENUTUP A. KESIMPULAN
Pemahaman teks Al-Qur'an adalah suatu kemampuan untuk menginterpretasikan dan memahami pesan-pesan yang terkandung dalam Al-Qur'an, kitab suci umat Islam. Pemahaman teks Al-Qur'an sangat penting dalam kehidupan umat Islam karena Al-Qur'an dianggap sebagai sumber ajaran dan pedoman utama dalam Islam. Pemahaman teks Al-Qur'an melibatkan pemahaman terhadap lafadz (kata-kata) yang terkandung dalam Al-Qur'an dari segi kegunaannya dan kejelasannya.
DAFTAR PUSTAKA
IWAN HERMAWAN, S. (2019). USHUL FIQH METODE KAJIAN HUKUM ISLAM. KUNINGAN: HIDAYATUL QURAN.
satria, e. (2008). ushul fiqh. Jakarta : kencana prenada media group.
Syarifudin, P. D. (2008). UShul Fiqh JIlid 2. Jakarta : KENCANA PRENANDA MEDIA GROUP.