• Tidak ada hasil yang ditemukan

manajemen sumber daya PHK

N/A
N/A
Arientia Purwitasari arientiapurwitasari.2022

Academic year: 2025

Membagikan "manajemen sumber daya PHK "

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

MAKALAH MANAJEMEN SUMBER DAYA MANUSIA PEMBERHENTIAN PEGAWAI

Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas makalah manajemen sumber daya manusia yang diampu oleh Ibu Dr. Dian Normalitasari Purnama, M.Pd.

Disusun Oleh Kelompok 2

Arientia Purwitasari 22803241001 Teguh Dwi Anugrah 22803241003 Muhammad Ali Gufron 22803241011 Dhimas Athoya Antonov 22803241032 Dhea Nabila Althafira 22803241037

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AKUNTANSI FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA

2025

(2)

ii

KATA PENGANTAR

Segala puji Syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas limpahan Rahmat dan hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan Makalah pada mata kuliah Manajemen Sumber Daya Manusia yang berjudul “Pemberhentian Pegawai” yang diampu oleh Ibu Dr.

Dian Normalitasari Purnama, M.Pd. dengan lancar.

Penulis menyadari bahwa dalam penulisan makalah Manajemen Sumber Daya Manusia

“Pemberhentian Pegawai” ini masih terdapat kekurangan dan keterbatasan. Oleh karena itu, kritik dan saran yang bersifat membangun dari pembaca. Semoga tugas riset ini menjadi karya yang bermanfaat.

Yogyakarta, 11 April 2025 Penulis

(3)

iii DAFTAR ISI

PEMBERHENTIAN PEGAWAI ... i

KATA PENGANTAR ... ii

DAFTAR ISI ... iii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 1

C. Tujuan ... 2

BAB II ... 3

PEMBAHASAN ... 3

A. Definisi Pemberhentian Pegawai ... 3

B. Alasan Pemberhentian ... 4

C. Proses Pemberhentian ... 6

D. Undang-Undang Pemberhentian ... 7

BAB III ... 13

PENUTUP... 13

A. KESIMPULAN ... 13

REVIEW ARTIKEL JURNAL ... 14

DAFTAR PUSTAKA ... 17

(4)

1

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Sumber daya manusia (SDM) adalah komponen paling penting bagi suatu perusahaan, dan pengelolaan yang efektif terhadap SDM sangat penting untuk mencapai tujuan organisasi. Pencapaian tujuan perusahaan tidak lepas dari manusia yang berperan aktif dan dominan setiap kegiatan organisasi, karena manusia sebagai perencanan, pelaku, serta penentu terwujudnya tujuan perusahaan. Sumber daya manusia dalam perusahaan perlu adanya pengelolaan secara professional agar terwujud keseimbangan antar kebutuhan karyawan dengan tuntutan dan kemampuan perusahaan (Aswaruddin et al., 2023).Namun, dalam beberapa situasi, perusahaan mungkin perlu melakukan pemberhentian atau PHK sebagai langkah strategis untuk mempertahankan kelangsungan usaha, mengatasi krisis finansial, atau merespons perubahan dalam lingkungan bisnis.

Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) dapat terjadi karena berbagai alasan, baik dari sisi perusahaan maupun karyawan. Dari perspektif perusahaan, alasan umum meliputi restrukturisasi organisasi, efisiensi biaya, atau penutupan unit bisnis yang tidak menguntungkan. Sementara itu, karyawan mungkin memilih untuk mengundurkan diri karena ketidakpuasan kerja, kesehatan, atau alasan pribadi lainnya. Dalam hal ini, penting bagi manajer SDM untuk memahami dan mengelola proses PHK dengan bijaksana agar tidak menimbulkan dampak negatif yang lebih luas. Pengaturan mengenai PHK membutuhkan campur tangan pemerintah karena pemerintahlah yang memiliki fungsi untuk menetapkan kebijakan, melakukanpengawasan, dan melakukan penindakan terhadap pelanggaran peraturan perundang-undangan, dalam hal ini terutama ketentuan PHK (Hasibuan, 2014).

B. Rumusan Masalah

Adapun rumusan masalah dalam penyusunan makalah ini adalah.

1. Apa yang dimaksud dengan pemberhentian pegawai dalam konteks manajemen sumber daya manusia?

2. Apa saja tujuan pemberhentian pegawai dan alasan yang mendasarinya?

3. Bagaimana prosedur atau mekanisme pemberhentian pegawai yang sesuai dengan ketentuan hukum dan prinsip-prinsip MSDM?

(5)

2 C. Tujuan

Berdasarkan rumusan masalah tersebut, maka tujuan pembuatan makalah sebagai berikut.

1. Menjelaskan pengertian pemberhentian pegawai dalam konteks manajemen sumber daya manusia.

2. Mengidentifikasi dan menguraikan berbagai jenis pemberhentian pegawai beserta alasan-alasan yang mendasarinya.

3. Menjelaskan prosedur dan mekanisme pemberhentian pegawai yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan prinsip-prinsip MSDM.

(6)

3 BAB II

PEMBAHASAN A. Definisi Pemberhentian Pegawai

Pemberhentian adalah fungsi operasional terakhir dari manajemen sumber daya manusia. Istilah pemberhentian ini identik dengan separation, pemisahan, atau pemutusan hubungan kerja (PHK) karyawan dari suatu organisasi perusahaan.

Pemberhentian adalah pemutusan hubungan kerja seseorang (karyawan) dengan suatu organisasi perusahaan. Dengan pernberhentian berarti berakhir keterikatan kerja karyawan dengan perusahaan (Priyono & Marnis, 2008a). Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) adalah diberhentikannya pekerja dari perusahaan karena kondisi tertentu.

Menurut UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, PHK adalah pengakhiran hubungan kerja dikarenakan suatu hal tertentu yang menyebabkan berakhirnya hak serta kewajiban antara pekerja atau buruh dan pengusaha.

Menurut Mangkunegara (Hamali, 2018)pemutusan hubungan kerja (PHK) atau pemberhentian karyawan adalah pemutusan kerja, baik untuk sementara maupun untuk selamanya yang dilakukan oleh perusahaan atas permintaan karyawan atau karena kehendak pihak perusahaan. Tujuan dari pemberhentian karyawan adalah untuk mempertahankan efektivitas dan efensiensi organisasi perusahaan. Menurut (Hasibuan, 2009) berpendapat bahwa pemberhentian adalah pemutusan hubungan kerja seseorang karyawan dengan suatu organisasi perisahaan. Dengan pemberhentian, berarti berakhirnya keterikatan kerja karyawan terhadap perusahaan. Ranupandojo & Husnan (1982) menyebutkan bahwa pemberhentian tidak lain adalah pemutusan hubungan kerja. Alasan yang biasa dikemukakan dalam pemberhentian adalah karena karyawan- karyawan tersebut dianggap tidak mampu lagi bekerja pada organisasi dengan baik.

Namun, ada pula karena kondisi perusahaan yang memburuk.

Berdasarkan pengertian para ahli di atas, dapat disimpulkan bahwa pemberhentian atau PHK adalah pengakhiran hubungan kerja antara karyawan dan perusahaan karena alasan tertentu. Tujuannya untuk menjaga efektivitas dan efisiensi organisasi, baik atas kehendak karyawan, perusahaan, maupun kondisi eksternal.

(7)

4 B. Alasan Pemberhentian

Pemberhentian pegawai biasanya merupakan langkah terakhir yang dilakukan perusahaan untuk memastikan keberlangsungan perusahaan tersebut, perusahaan tidak seharusnya memberhentikan pegawai mereka tanpa ada alasan yang jelas. Adapun dasar atau alasan yang dapat digunakan perusahaan untuk memberhentikan pegawai mereka adalah :

1. Atas undang-undang ketenagakerjaan.

Berdasarkan Pasal 158 Ayat (1) dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan, aturan perusahaan bisa melakukan PHK jika karyawan melakukan kesalahan berat, antara lain:

a. Melakukan penipuan, pencurian, atau penggelapan barang dan/atau uang milik perusahaan;

b. Memberikan keterangan palsu atau yang dipalsukan sehingga merugikan perusahaan;

c. Mabuk, meminum minuman keras yang memabukkan, memakai dan/atau mengedarkan narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya di lingkungan kerja;

d. Melakukan perbuatan asusila atau perjudian di lingkungan kerja;

e. Menyerang, menganiaya, mengancam, atau mengintimidasi teman sekerja atau pengusaha di lingkungan kerja;

f. Membujuk teman sekerja atau pengusaha untuk melakukan perbuatan yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan;

g. Dengan ceroboh atau sengaja merusak atau membiarkan dalam keadaan bahaya barang milik perusahaan yang menimbulkan kerugian bagi perusahaan;

h. Dengan ceroboh atau sengaja membiarkan teman sekerja atau pengusaha dalam keadaan bahaya di tempat kerja;

i. Membongkar atau membocorkan rahasia perusahaan yang seharusnya dirahasiakan kecuali untuk kepentingan negara; atau

j. Melakukan perbuatan lainnya di lingkungan perusahaan yang diancam pidana penjara 5 tahun atau lebih.

2. Keinginan karyawan untuk resign

(8)

5

Perusahaan dapat secara legal memutus hubungan kerja ketika pegawainya mengajukan pengunduran diri (resign)

3. Perubahan status dan efisiensi perusahaan

Perubahaan status perusahaan seperti penggabungan, peleburan, dan perubahan kepemilikan perusahaan dapat menjadi alasan yang legal untuk melakukan PHK. Umumnya, PHK akan dilakukan untuk efisiensi perusahaan seandainya perusahaan memerlukan perampingan karyawan atau ada beberapa posisi yang tidak dibutuhkan lagi. Jika perusahaan bermaksud melakukan efisiensi untuk kemajuan perusahaan, maka alasan PHK bisa dilakukan namun disertai dengan pembayaran kompensasi untuk pegawainya.

4. Perusahaan bangkrut atau akan tutup

Perusahaan bisa saja tutup atau bangkrut ketika mengalami kerugian yang tidak bisa lagi ditanggung. Hal ini bisa saja karena salah dalam pengambilan keputusan dan juga karena faktor bencana alam. Jika perusahaan mengalami kerugian, maka karyawan yang mengalami PHK berhak mendapatkan 1 kali uang pesangon, 1 kali upah penghargaan masa kerja, dan uang penggantian.

5. Karyawan meninggal dunia

Karyawan yang telah dinyatakan meninggal dunia akibat sakit atau karena suatu hal yang tidak terduga, maka hubungan kerja otomatis berakhir.

Dalam hal ini, perusahaan berkewajiban memberikan uang kepada keluarga sebanyak 2 kali uang pesangon, uang penggantian hak, dan 1 kali uang penghargaan kerja.

6. Aturan PHK karena karyawan pensiun

Alasan pemutusan hubungan kerja dikarenakan karyawan telah memasuki usia pensiun, maka karyawan berhak mendapat imbalan pesangon. Besaran pesangon yang akan diterima oleh karyawan telah diatur di Undang-Undang Ketenagakerjaan Pasal 167.

7. Aturan PHK karena karyawan mangkir

(9)

6

Karyawan yang sudah beberapa hari tidak hadir bekerja berturut turut tanpa adanya keterangan yang jelas dan juga bukti yang sah, maka perusahaan berhak melakukan PHK setelah karyawan tersebut mendapatkan teguran lisan maupun tertulis (biasanya surat peringatan/SP) sebanyak 2 kali dan tidak mengindahkan teguran tersebut.

C. Proses Pemberhentian

Pemberhentian karyawan seharunya berdasarkan peraturan dan perundang- undangan yang ada, agar tidak menimbulkan masalah. Seyogyanya pemberhentian dilakukan dengan cara sebaik-baiknya sehingga tetap terjalin hubungan informal yang baik antara perusahaan dengan mantan karyawan tersebut (Priyono & Marnis, 2008b).

Hal di atas pada dasarnya menjadi keinginan kedua belah pihak, teteapi tidak dapat diingkari sering kali terjadi pemberhentian yang berdasarkan pemecatan, akibat terjadinya konflik yang tidak dapat diatasi .

Proses pemecatana harus melalui prosedur sebagai berikut (Priyono & Marnis, 2008b):

1. Musyawarah karyawan dengan pimpinan.

Tahap awal di mana karyawan yang bermasalah diajak berdiskusi langsung oleh pimpinan perusahaan. Tujuannya adalah mencari solusi damai, menyampaikan alasan yang jelas terkait potensi pemutusan hubungan kerja (PHK), dan memberikan kesempatan kepada karyawan untuk menyampaikan pembelaan.

2. Musyarah pimpinan serikat bururh dengan pimpinan perusahaan.

Jika musyawarah langsung tidak mencapai kesepakatan, maka pihak serikat buruh akan turun tangan. Serikat buruh mewakili karyawan untuk melakukan negosiasi ulang dengan pimpinan perusahaan guna mencari penyelesaian yang adil dan menghindari PHK jika memungkinkan.

3. Musyawarah pimpinan serikat buruh, pimpinan perusahaan dan P4D(Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Daerah).

Jika kedua pihak tetap tidak mencapai kata sepakat, masalah ini akan dibawa ke P4D. P4D bertindak sebagai pihak mediasi netral di tingkat daerah yang akan memfasilitasi penyelesaian perselisihan secara objektif dan adil.

4. Musyawarah pimpinan serikat buruh, pimpinan perusahaan dan P4P(Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Pusat).

(10)

7

Bila di tingkat daerah belum juga berhasil, maka musyawarah dilanjutkan di tingkat pusat dengan melibatkan P4P. Ini adalah eskalasi mediasi ke tingkat nasional yang menangani kasus-kasus perburuhan lebih serius dan kompleks.

5. Pemutusan berdasarkan keputusan pengadilan negeri.

Jika semua upaya musyawarah dan mediasi tidak berhasil, maka langkah terakhir adalah membawa kasus ini ke ranah hukum. Pengadilan negeri akan memberikan keputusan final mengenai sah atau tidaknya pemutusan hubungan kerja tersebut, berdasarkan fakta dan bukti yang diajukan oleh kedua belah pihak.

D. Undang-Undang Pemberhentian

Undang-Undang tentang pemberhentian berkaitan dengan Cipta Kerja di Indonesia adalah Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, yang kemudian mengalami perubahan melalui Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- Undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2022. Dalam perkembangnnya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja resmi dicabut setelah Presiden Joko Widodo menandatangani Perppu Nomor 2 Tahun 2022 sebagai penggantinya. Hal ini dilakukan sebagai respons atas putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menyatakan UU Cipta Kerja sebelumnya inkonstitusional bersyarat, karena proses pembentukannya tidak memenuhi asas keterbukaan publik. Pemerintah menilai Perppu diperlukan untuk menjaga stabilitas ekonomi dan hukum. Ruang lingkup Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang tentang Cipta Kerja ini meliputi: 1) peningkatan ekosistem investasi dan kegiatan berusaha; 2) ketenagakerjaan; 3) kemudahan, pelindungan, serta pemberdayaan Koperasi dan UMK-M; 4) kemudahan berusaha; 5) dukungan riset dan inovasi; 6) pengadaan tanah; 7) kawasan ekonomi; 8) investasi Pemerintah Pusat dan percepatan proyek strategis nasional; 9) pelaksanaan administrasi pemerintahan; dan 10) pengenaan sanksi. Selanjutnya terdapat Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-undang (UU) Nomor 6 Tahun 2023. Apadun yang diatur dalam (UU) Nomor 6 Tahun 2023 tentang pemberhentian meliputi:

1. Upaya Menghindari PHK

Pasal 151 ayat (1): Pengusaha, pekerja/buruh, serikat pekerja/serikat buruh, dan pemerintah harus mengupayakan agar tidak terjadi PHK.

2. Prosedur PHK

(11)

8

a. Pasal 151 ayat (2): Jika PHK tidak dapat dihindari, pengusaha wajib memberitahukan maksud dan alasan PHK kepada pekerja/buruh dan/atau serikat pekerja/serikat buruh.

b. Pasal 151 ayat (3): Jika terjadi perselisihan mengenai PHK, penyelesaiannya dilakukan melalui perundingan bipartit antara pengusaha dan pekerja/buruh dan/atau serikat pekerja/serikat buruh.

c. Pasal 151 ayat (4): Jika perundingan bipartit tidak mencapai kesepakatan, PHK hanya dapat dilakukan setelah memperoleh penetapan dari lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang putusannya telah berkekuatan hukum tetap

3. Pengecualian Pemberitahuan PHK

Pasal 151A: Pemberitahuan PHK tidak perlu dilakukan oleh pengusaha dalam hal:

a. Pekerja mengundurkan diri atas kemauan sendiri.

b. Hubungan kerja berakhir sesuai dengan perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT).

c. Pekerja mencapai usia pensiun sesuai dengan perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.

d. Pekerja meninggal dunia.

4. Larangan PHK

Pasal 153: Pengusaha dilarang melakukan PHK dengan alasan:

a. Pekerja berhalangan karena memenuhi kewajiban terhadap negara.

b. Menjalankan ibadah sesuai agamanya.

c. Menikah, hamil, melahirkan, gugur kandungan, atau menyusui.

d. Mempunyai pertalian darah atau ikatan perkawinan dengan pekerja lain di perusahaan.

e. Mendirikan, menjadi anggota, atau pengurus serikat pekerja.

f. Mengadukan pengusaha yang melakukan tindak pidana.

g. Perbedaan paham, agama, aliran politik, suku, warna kulit, jenis kelamin, kondisi fisik, atau status perkawinan.

h. Dalam keadaan cacat tetap atau sakit akibat kecelakaan kerja.

5. Alasan PHK yang Diperbolehkan

Pasal 154A: PHK dapat dilakukan dengan alasan tertentu, antara lain:

(12)

9

a. Perusahaan melakukan efisiensi diikuti dengan Penutupan Perusahaan atau tidak diikuti dengan Penutupan Perusahaan yang disebabkan Perusahaan mengalami kerugian.

b. Perusahaan melakukan restruksasi dimana meliputi penggabungan, peleburan, pemgambilalihan, atau pisahan perusahaan, dan pekerja/buruh tidak bersedia melanjutkan hubungan kerja atau pengusaha tidak tersedia menerima pekerja/buruh.

c. Perusahaan tutup yang disebabkan karena Perusahaan mengalami kerugian secara terrrs menerus selama 2 (dua) tahun.

d. Perusahaan tutup yang disebabkan keadaan memaksa (force majeuf) e. Perusahaan dalam keadaan penundaan kewajiban pembayaran utang.

f. Perusahaan pailit

g. adanya permohonan Pemutusan Hubungan Keda yang diajukan oleh Pekerja/Buruh dengan alasan Pengusaha melakukan perbuatan sebagai berikut:

1) menganiaya, menghina secara kasar atau mengancam Pekerja/ Buruh

2) membujuk dan/atau menyuruh Pekerja/Buruh untuk melakukan perbuatan yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan

3) tidak membayar Upah tepat pada waktu yang telah ditentukan selama 3 (tiga) bulan berturut-turut atau lebih, meskipun Pengusaha membayar Upah secara tepat waktu sesudah itu;

4) tidak melakukan kewajiban yang telah dijanjikan kepada Pekerja/ Buruh 5) memerintahkan Pekerja/Buruh untuk melaksanakan pekerjaan di luar yang

diperjanjikan; atau

6) memberikan pekerjaan yang membahayakan jiwa, keselamatan, kesehatan, dan kesusilaan Pekerja/Buruh sedangkan pekerjaan tersebut tidak dicantumkan pada Perjanjian Kerja

h. adanya putusan lembaga penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial yang menyatakan Pengusaha tidak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud pada huruf g terhadap permohonan yang diajukan oleh Pekerja/Buruh dan Pengusaha memutuskan untuk melakukan Pemutusan Hubungan Kerja.

i. Pekerja/Buruh mengundurkan diri atas kemauan sendiri dan harus memenuhi syarat:

1) mengajukan permohonan pengunduran diri secara tertulis selambat- lambatnya 30 (tiga puluh) hari sebelum tanggal mulai pengunduran diri

(13)

10 2) tidak terikat dalam ikatan dinas; dan

3) tetap melaksanakan kewajibannya sampai tanggal mulai pengunduran diri.

j. Pekerja/Buruh mangkir selama 5 (lima) hari kerja atau lebih berturut-turut tanpa keterangan secara tertulis yang dilengkapi dengan bukti yang sah dan telah dipanggil oleh Pengusaha 2 (dua) kali secara patut dan tertulis;

k. Pekerja/Buruh melakukan pelanggaran ketentuan yang diatur dalam Perjanjian Kerja, Peraturan Perusahaan, atau Perjanjian Kerja Bersama dan sebelumnya telah diberikan surat peringatan pertama, kedua, dan ketiga secara berturut-turut masing-masing berlaku untuk paling lama 6 (enam) bulan kecuali ditetapkan lain dalam Perjanjian Kerja, Peraturan Perusahaan, atau Perjanjian Kerja Bersama;

l. Pekerja/Buruh tidak dapat melakukan pekerjaan selama 6 (enam) bulan akibat ditahan pihak yang berwajib karena diduga melakukan tindak pidana.

m. Pekerja/Buruh mengalami sakit berkepanjangan atau cacat akibat kecelakaan kerja dan tidak dapat melakukan pekerjaannya setelah melampaui batas 12 (dua belas) bulan

n. Pekerja/Buruh memasuki usia pensiun; atau . o. Pekerja/Buruh meninggal dunia.

6. Hak Pekerja yang Terkena PHK

Pasal 156: Dalam hal terjadi PHK, pengusaha wajib membayar:

a. Uang pesangon.

Besarannya tergantung pada masa kerja, mulai dari 1 bulan upah untuk masa kerja kurang dari 1 tahun hingga 9 bulan upah untuk masa kerja 8 tahun atau lebih

b. Uang penghargaan masa kerja.

Diberikan kepada pekerja/buruh dengan masa kerja 3 tahun atau lebih, dengan besaran mulai dari 2 bulan upah hingga 10 bulan upah, tergantung pada lamanya masa kerja

c. Uang penggantian hak.

Meliputi hak-hak yang seharusnya diterima, seperti cuti tahunan yang belum diambil, biaya atau ongkos pulang untuk pekerja/buruh dan keluarganya ke tempat pekerja/buruh diterima bekerja, dan hal-hal lain yang ditetapkan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.

(14)

11 7. Pasal 160: Penahanan Pekerja/Buruh

a. Dalam hal Pekerja/Buruh ditahan pihak yang berwajib karena diduga melakukan tindak pidana, Pengusaha tidak wajib membayar Upah, tetapi wajib memberikan bantuan kepada keluarga Pekerja/Buruh yang menjadi tanggungannya dengan ketentuan sebagai berikut

1) untuk 1 (satu) orang tanggungan, 25% (dua puluh lima persen) dari Upah;

2) untuk 2 (dua) orang tanggungan, 35% (tiga puluh lima persen) dari Upah;

3) untuk 3 (tiga) orang tanggungant, 45% (empat puluh lima persen) dari Upah;

4) untuk 4 (empat) orang tanggungan atau lebih, 50% (lima puluh persen) dari Upah

b. Bantuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan untuk paling lama 6 (enam) bulan terhitung sejak hari pertama Pekerja/Burrrh ditahan oleh pihak yang berwajib

c. Pengusaha dapat melakukan Pemutusan Hubungan Kerja terhadap Pekerja/Buruh yang setelah 6 (enam) bulan tidak dapat melakukan pekerjaan sebagaimana mestinya karena dalam proses perkara pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

d. Dalam hal pengadilan memutuskan perkara pidana sebelum masa 6 (enam) bulan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) berakhir dan Pekerja/Buruh dinyatakan tidak bersalah, Pengusaha wajib mempekerjakan Pekerja/Buruh kembali.

e. Dalam hal pengadilan memutuskan perkara pidana sebelum masa 6 (enam) bulan berakhir dan Pekerja/Buruh dinyatakan bersalah, Pengusaha dapat melakukan Pemutusan Hubungan Kerja kepada Pekerja/Buruh yang bersangkutan.

8. Pasal 61A: Kompensasi untuk Perjanjian Kerja Waktu Tertentu

a. Dalam hal perjanjian kerja waktu tertentu berakhir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 ayat (1) huruf b dan huruf c, Pengusaha wajib memberikan uang kompensasi kepada Pekerja/ Buruh. Hal ini dikarenakan berakhirnya jangka waktu perjanjian kerja aau telah selesainya suatu pekerjaan tertentu.

b. Uang kompensasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan kepada Pekerja/Buruh sesuai . dengan masa kerja Pekerja/Buruh di Perrrsahaan yang bersangkutan

(15)

12

c. Ketentuan lebih lanjut mengenai uang kompensasi diatur dalam Peraturan Pemerintah.

(16)

13

BAB III PENUTUP A. KESIMPULAN

Pemberhentian atau Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) merupakan fungsi operasional terakhir dalam manajemen sumber daya manusia, yang berarti berakhirnya hubungan kerja antara karyawan dan perusahaan karena alasan tertentu. Tujuan utama pemberhentian adalah untuk menjaga efektivitas dan efisiensi organisasi, baik atas kehendak karyawan, perusahaan, maupun karena faktor eksternal seperti kondisi ekonomi. PHK dapat dilakukan berdasarkan ketentuan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, yang menyebutkan bahwa pengakhiran hubungan kerja harus didasarkan pada alasan tertentu, seperti pelanggaran berat oleh karyawan (penipuan, kekerasan, narkotika, perusakan, hingga membocorkan rahasia perusahaan), pengunduran diri, perubahan status atau efisiensi perusahaan, kebangkrutan atau penutupan usaha, pensiun, mangkir tanpa keterangan, dan kematian karyawan.

Setiap jenis PHK memiliki ketentuan kompensasi yang berbeda sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Dalam pelaksanaannya, proses PHK idealnya dilakukan secara bertahap melalui musyawarah antara karyawan dan pimpinan, serikat buruh, dan pihak terkait (P4D, P4P), hingga putusan pengadilan jika diperlukan.

Pemberhentian juga diatur dalam Undang-Undang Cipta Kerja, yang mengalami perubahan melalui Perppu Nomor 2 Tahun 2022 dan kemudian disahkan menjadi Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023. Perubahan ini dilakukan menyusul keputusan Mahkamah Konstitusi yang menyatakan UU Cipta Kerja sebelumnya inkonstitusional bersyarat. Ruang lingkup undang-undang baru ini meliputi berbagai aspek, termasuk ketenagakerjaan, investasi, UMKM, riset, serta stabilitas hukum dan ekonomi. Pada prinsipnya, pemberhentian karyawan harus dilakukan secara manusiawi dan sesuai hukum agar tetap menjaga hubungan baik antara perusahaan dan mantan karyawan.

(17)

14

REVIEW ARTIKEL JURNAL

Nama Jurnal Jurnal Kertha Semaya

Judul Artikel Pemutusan Hubungan Kerja Secara Sepihak Berdasarkan UU Cipta Kerja (Studi Kasus Pt. Indosat Tbk)

Penulis Axcel Deyong Aponno dan Aisyah Puspitasari Arifiani (Deyong Aponno & Puspitasari Arifiani, 2021)

Tahun 2021

Link https://ojs.unud.ac.id/index.php/kerthasemaya/article/view/76 922/41111

Pendahuluan

Sebagai negara hukum, Indonesia berkewajiban menjamin keadilan bagi seluruh rakyat dalam berbagai bidang, termasuk kesejahteraan yang diwujudkan melalui peraturan ketenagakerjaan. Pada tahun 2020, Pemerintah Indonesia mengesahkan UU Cipta Kerja untuk menciptakan kemudahan dalam usaha, investasi, dan lapangan kerja baru. Meski demikian, masih terdapat hambatan dalam implementasinya, seperti masalah Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) yang sering merugikan pekerja. Salah satu contohnya adalah kasus PT. Indosat Tbk yang melakukan PHK terhadap lebih dari 500 pegawai tanpa perundingan kedua belah pihak, dengan alasan efisiensi perusahaan akibat kerugian bersih.

PHK bagi para buruh menjadi awal masa pengangguran yang berdampak berat bagi kehidupan mereka. Perselisihan antara buruh dan pengusaha sering terjadi karena keputusan PHK yang sewenang-wenang dan adanya tekanan terhadap hak-hak buruh. Buruh sering menganggap PHK hanya sebagai alasan para pengusaha yang menyebabkan ketidakadilan ketika dihadapkan dengan kepentingan perusahaan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor yang dapat mengakibatkan terjadinya PHK berdasarkan UU Cipta Kerja dan upaya perlindungan hukum bagi pegawai PT. Indosat Tbk terhadap PHK sepihak, dengan menggunakan metode penelitian hukum normatif melalui pendekatan perundang-undangan dan pendekatan konseptual.

Metode Penelitian

(18)

15

Penelitian mengenai Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) ini menggunakan metode penelitian normatif dengan pendekatan perundang-undangan (statute approach) dan pendekatan konseptual (conceptual approach) untuk meninjau semua peraturan perundang- undangan terkait kasus yang dihadapi. Pengumpulan bahan penelitian bersumber dari kepustakaan yang terdiri dari bahan hukum primer (undang-undang, putusan hakim, dan ketentuan yang berlaku di Indonesia) dan bahan hukum sekunder (kajian teoritis dari buku, jurnal ilmiah, media internet dan lain-lain) yang berhubungan dengan perlindungan hukum terhadap buruh yang mengalami PHK. Penelitian juga menggunakan teknik analisis kualitatif untuk melihat permasalahan di lapangan dan memberikan saran yang membangun bagi para buruh yang terkena PHK.

Hasil dan Pembahasan

Faktor yang Mengakibatkan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) Pada masa pandemi Covid-19, PHK menjadi tambahan penderitaan bagi masyarakat, khususnya buruh.

Berdasarkan survei Jobstreet Indonesia, 35% pekerja mengalami PHK selama pandemi. PHK diartikan sebagai pengakhiran hubungan kerja yang mengakhiri hak dan kewajiban antara karyawan dan perusahaan. Jenis PHK bermacam-macam, termasuk PHK oleh pengusaha, pekerja, dan PHK batal demi hukum. Pemerintah Indonesia mengesahkan UU Cipta Kerja pada tahun 2020 yang mengatur aspek ketenagakerjaan dan perlindungan hukum. Faktor-faktor yang menyebabkan PHK diatur dalam pasal 154A UU Cipta Kerja, termasuk efisiensi perusahaan, kerugian perusahaan, keadaan memaksa, dan pelanggaran oleh pengusaha.

Upaya Perlindungan Hukum bagi Pegawai PT. Indosat Tbk PT. Indosat Tbk melakukan PHK terhadap 677 karyawan pada tahun 2020 tanpa pemberitahuan dan diskusi dengan pekerja, melanggar ketentuan UU Cipta Kerja. Meskipun alasan PHK sesuai dengan UU Cipta Kerja, PHK secara sepihak tidak dibenarkan. Perusahaan harus memberitahukan rencana PHK dan melakukan perundingan bipartit. Jika perundingan tidak mencapai kesepakatan, PHK dilakukan melalui mekanisme penyelesaian perselisihan hubungan industrial. Perlindungan hukum bagi pekerja diatur dalam pasal 185 UU Cipta Kerja, termasuk perlindungan terhadap hak dasar, keselamatan, kesehatan, dan kesejahteraan pekerja.

Sanksi bagi Perusahaan yang Melakukan PHK Secara Sepihak Pemerintah perlu menetapkan sanksi bagi perusahaan yang melakukan PHK secara sepihak. Sanksi administratif diatur dalam PP Nomor 35 Tahun 2021, termasuk teguran tertulis, pembatalan kegiatan usaha, penghentian sementara alat produksi, dan pembekuan kegiatan usaha. Namun, sanksi

(19)

16

administratif hanya berlaku untuk beberapa pasal, dan UU Cipta Kerja belum mengatur secara eksplisit sanksi bagi perusahaan yang melakukan PHK secara sepihak. Pemerintah perlu menetapkan aturan mengenai sanksi untuk memberikan rasa keadilan bagi buruh.

Kesimpulan

Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) diatur dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, yang menetapkan faktor-faktor yang dapat menyebabkan PHK dan mekanisme yang harus diikuti. PHK tidak boleh dilakukan secara sepihak tanpa pemberitahuan dan perencanaan yang jelas, karena hal ini melanggar nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945.

Kasus PT. Indosat Tbk menunjukkan pelanggaran terhadap ketentuan UU Cipta Kerja, meskipun alasan PHK sesuai dengan undang-undang. Pekerja yang di-PHK secara sepihak harus mendapatkan perlindungan hukum, dan perusahaan yang melakukan PHK secara sepihak perlu dikenakan sanksi yang sesuai untuk melindungi hak-hak warga negara yang dijamin konstitusi.

(20)

17

DAFTAR PUSTAKA

Aswaruddin, Munthe, A. D., Ramadhan, A. H., Rambe, K. F., Masita, M., Sufni, N., & Lubis, M. K. (2023). FAKTOR-FAKTOR KENDALA MEWUJUDKAN KINERJA SUMBERDAYA MANUSIA. Jurnal Penelitian Pendidikan Indonesia, 1(1), 196–200.

Deyong Aponno, A., & Puspitasari Arifiani, A. (2021). PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA SECARA SEPIHAK BERDASARKAN UU CIPTA KERJA (STUDI KASUS PT.

INDOSAT TBK). Jurnal Kertha Semaya, 9(10), 1896–1906.

https://doi.org/10.24843/KS.2021.v09.i10.p14

Hamali, A. Y. (2018). Pemahaman Manajemen Sumber Daya Manusia Strategi Mengelola Karyawan (II). CAPS (Centre For Academic Publishing Service).

Hasibuan, M. S. (2009). Manajemen Sumber Daya Manusia. Bumi Aksara.

Hasibuan, M. S. (2014). Manajemen Sumber Daya Manusia. Bumi Aksara.

Priyono, & Marnis. (2008a). Manajemen Sumber Daya Manusia. Zifatama Publisher.

Priyono, & Marnis. (2008b). Manajemen Sumber Daya Manusia. Zifatama Publisher.

Ranupandojo, H., & Husnan, S. (1982). Manajemen Personalia. BPFE.

Referensi

Dokumen terkait

1) Pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh karena perusahaan tutup yang disebabkan perusahaan mengalami kerugian secara terus menerus selama 2

Serangkaian uraian di atas menggambarkan pola kasus Pemutusan Hubungan Kerja yang selalu berujung pada PHI, yang tidak jarang diantaranya buruh di PHK karena

Ada beberapa permasalahan yang sering timbul dan memicu konflik di dalam perusahaan antara pekerja dan pengusaha misalnya solidaritas terhadap sesama pekerja yang dinilai telah

industrial adalah perbedaan pendapat yang mengakibatkan pertentangan antara pengusaha atau gabungan pengusaha dengan pekerja /buruh atau serikat pekerja/serikat buruh

[3.18] Menimbang bahwa permohonan pengujian konstitusionalitas Pasal 160 ayat (7) UU 13/2003 yang menyatakan, “Pengusaha wajib membayar kepada pekerja/buruh yang mengalami

Hasil penelitian ini adalah perlindungan hukum yang harus diterima oleh pekerja/buruh dapat dibagi menjadi 2 yaitu pertama, perlindungan hukum pekerja/buruh dalam proses Pemutusan

Pemutusan hubungan kerja dengan alasan tersebut di atas adalah batal demi. hukum dan pengusaha wajib mempekerjakan kembali pekerja

dihindari, maka maksud pemutusan hubungan kerja wajib dirundingkan oleh pengusaha dan serikat pekerja/serikat buruh atau dengan pekerja/buruh apabila pekerja/buruh yang