MODEL KARAKTERISTIK
PERKAMPUGAN BUDAYA BETAWI SETU BABAKAN
Kearifan Lokal Berbasis Industri Kreatif (Tahun III)
Dr. Siti Gomo Attas, M.Hum.
Dr. Gres Grasia Azmin, S.Hum., M.Hum.
Dr. Marwiah, S.Pd., M.Pd.
UNIVERSITAS NEGERI JAKARTA 2019
i
Buku bahan ajar berjudul “Model Karakteristik Perkampungan Budaya Betawi Setu Babakan: Kearifan Lokal Berbasis Industri Kreatif” ini merupakan karya dari hasil penelitian (Tahun II) yang dilakukan oleh penulis di Unit Pengelola Kawasan Perkampungan Budaya Betawi (UPK-PBB) Setu Babakan, Srengseng Sawah, Jakarta Selatan. Sebagai pemerhati kebudayaan Betawi, buku bahan ajar ini menjadi salah satu bentuk kontribusi peneliti dan Universitas Negeri Jakarta dalam upaya pelestarian, dokumentasi, dan publikasi budaya Betawi di DKI Jakarta.
Dalam penyusunan buku bahan ajar ini, Tim Penyusun sengaja mengangkat kearifan lokal berbasis industri kreatif di UPK-PBB Setu Babakan sebab sebagaimana diketahui bahwa komplek ini sedang dalam geliat melestarikan dan mengembangkan budaya Betawi di bawah pengelolaan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Oleh karena itu, buku ini sangat direkomendasikan untuk dijadikan sebagai bahan ajar untuk memperkenalkan kearifan lokal Betawi yang berbasis pada industri kreatif.
Akhirnya, kami dari Tim Penyusun menyampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah terlibat, baik langsung maupun tidak langsung dalam penyusunan buku bahan ajar ini. Kepada Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (LPPM) Universitas Negeri Jakarta dan DRPM Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi yang telah mempercayakan hibah Penelitian Strategis Nasional Institusi, serta pihak-pihak lain yang tidak dapat disebutkan satu persatu. Semoga karya sederhana ini bermanfaat. Amin!
Jakarta, 30 Agustus 2019 Penyusun,
Dr. Siti Gomo Attas, M.Hum.
ii
HALAMAN JUDUL ... i
KATA PENGANTAR ... ii
DAFTAR ISI ... iii
BAB I Profil Pertunjukan Perkampungan Budaya Betawi Setu Babakan ... 1
BAB II Pengelolaan Industri Kreatif Pertunjukan di PBB Setu Babakan... 4
A. Pertunjukan Gambang Rancag ... 4
B. Pertunjukkan Gambang Kromong ... 16
C. Pertunjukan Sahibul Hikayat ... 19
D. Pertunjukan Lenong Betawi ... 26
E. Pertunjukan Topeng Betawi ... 28
F. Pertunjukan Palang Pintu ... 30
BAB III Pengelolaan Industri Kreatif Batik Betawi PBB Setu Babakan ... 35
BAB IV Pengelolaan Industri Kreatif Kuliner Betawi PBB Setu Babakan ... 38
A. Kerak Telor ... 38
B. Soto Betawi ... 40
C. Gado-Gado Betawi ... 42 DAFTAR PUSTAKA
iii
BAB I
PROFIL PERTUNJUKAN PERKAMPUNGAN BUDAYA BETAWI SETU BABAKAN
Perkampungan Budaya Betawi Setu Babakan merupakan media apresiasi para wisatawan, peneliti, dan masyarakatnya terhadap potensi yang ada. Perkampungan Budaya Betawi (PBB) harus menjadi tempat rekreasi sekaligus sebagai pusat informasi untuk menambah pengetahuan tentang karakteristik kebetawian. Keberadaan Pusat Perkampungan Budaya Betawi Setu Babakan yang terletak di Kampung Srengseng Sawa, Kecamatan Jaga Karsa Jakarta Selatan.
Perkampungan Setu Babakan seluas 289 hektar didirikan dengan Surat Keputusan Gubernur DKI Jakarta nomor 9 tahun 2000. Gapura masuk dengan ukiran kayu yang unik sebagai pintu utama, Ketika memasuka area pertunjukan terdapat bangunan rumah kayu berarsitektur kebetawian. Selain bangunan rumah dengan hiasan pagar kayu berukir, juga terdapat panggung besar di areal tengah. Panggung dikitari oleh tempat duduk penoton yang berbentuk U bersusun dan dibelakang tempat penonton dibatasi oleh bangunan arsitektur klasik yang tinggi, disitulah sebagai bangunan perkantoran UPK yang dipimpin oleh seorang Kepala, Wakil Kepala, dan staf. Acara pertunjukan dijadwalkan oleh UPK yang bekerja sama dengan Kepala Dinas Pariwisata DKI Jakarta, Bamus DKI Jakarta, LKB. Penjadwalan pertunjukan disesuaikan dengan hari libur atau hari penting lainnya, seperti pada hari Sasbtu dan Minggu diadakan pementasan bagi sanggar-sanggar seni dari manapun di wilayah DKI, pementasan itu berupa pertunjukan musik gambang kromong, gambang rancag, lenong, sahibul hikayat, topeng, dan beberapa prosesi upacara pernikahan, sunatan, akikah, khatam quran dan nujuh bulan ala Betawi.
Peran dan fungsi perkampungan Setu Babakan dalam upaya pelestarian dan pengembangan kesenian Betawi menunjukkan, bahwa masih jauh api dari pangganya, peran dan fungsi Setu Babakan belum maksimal. Setu Babakan diharapkan dapat dijadikan pusat perkampungan budaya Betawi sebagai trend setter sehingga wisatawan dan peneliti atau orang yang datang ke Setu Babakan dapat mengapresiasi pertunjukan yang dibutuhkan. Perlu ada upaya untuk membuat model karakteristik pertunjukan di PBB Setu Babakan.
1
Adanya atraksi upacara maupun prosesi budaya, seperti pada acara Lebaran Betawi, yangbeberapa tahun bekangan ini sudah rutin dilakukan, termasuk peringatan HUT DKI Jakarta, dan acara kemeriahan yang dijadwalkan oleh UPK Setu Babakan dijadikan sebagai identitas keberadaan Setu Babakan sebagai cagar budya Betawi. Adanya upaya bertahan dari gempuran modernisasi dan globalisasi. Begitulah, Setu Babakan telah dilihat sebagai wilayah yang masih memelihara keaslian budaya Betawi, ketika tempat-tempat lain di Jakarta hal tersebut sudah tidak ada lagi. Kampung-kampung orang Betawi telah digusur demi pembangunan metropolitan Jakarta. Kantong-kantong budaya Betawi ikut lenyap karenanya. Setu Babakan seperti membayar kembali kerinduan orang akan kawasan konservasi budaya Betawi yang sebelumnya sudah jarang ditemui (Cicih dkk., 2013).
Tentu kehadiran PBB dibutuhkan adanya sikap kreatif dari seniman-seniman Betawi untuk melakukan rekonstruksi terhadap kesenian budaya Betawi yang kurang mendapat sambutan. Kondisi memprihatinkan ini membawa kekhawatiran dalam pengembangan seni budaya Betawi terutama peran dan fungsi perkampungan Setu Babakan dalam upaya pelestarian dan pengembangan kesenian Betawi harus disikapi dengan arif. Mulai dari demografi Setu Babakan yang sedari awal telah terjadi dan mempertanyakan pilihan pada wilayah Setu Babakan. Keberadaan Setu Setu Babakan diharapkan tidak berlaku, seperti Taman Mini Indonesia yang kini telah berubah fungsi hanya sebagai tempat rekreasi.
Perkampungan Setu Babakan harus menjual hal yang berbeda bagi para pengunjungnya, setidaknya kedatangan pengunjung Setu Babakan dapat memperoleh berbagai hal, sehingga nantinya Setu Babakan dapat menjadi Trend Setter sebagai pusat kajian atau tempat untuk mengapresiasi pertunjukan seni budaya Betawi yang berkarakter.
Pengimplementasian daerah Setu Babakan sebagai Perkampungan Budaya Betawi (PBB) merupakan aktualisasi cita-cita dan impian masyarakat Betawi melalui organisasi- organisasi kebetawian serta usaha dari para tokoh Betawi dan pemerintah melalui Dinas Pariwisata DKI Jakarta. Pengelolaan Industri Kreatif Pertunjukan di PBB Setu Babakan
Latar belakang data di atas melahirkan upaya untuk melanjutkan model karakteristik Perkampungan Budaya Betawi yang selanjutnya disebut PBB di Setu Babakan, dengan cara meningkatkan industry kreatif berdasarkan karkarakter budaya yang telah dikaji dalam tahun I penelitian, Selanjutnya luaran penelitian tahun I yaitu rancangan bahan ajar model karakteristik PBB di Setu Babakan berupa pertunjukan gambang rancag, lenong, topeng, gambang kromong, dan berbagai tarian dan musik Betawi, termasuk kuliner dan arsitektur rumah Betawi, Pada tahun II ini selanjutnya dioptimalkan semua modal karakter tersebut agar dapat memberi manfaat bagi masyarakat perkampungan budaya PBB
khususnya dan umumnya menjadi model pengembangan melalui industry kreatif di wilayah lain di seluruh Indonesia. Kemudian dibuatlah model industry kretif darikarakter PBB Setu Babakan dan perkampungan budaya di wilayah lain dalam bentuk bahan ajar yang akan disosialisasikan dengan tujuan kegiatan ini dapat bermanfaat secara langsung kepada masyarakat sekitar perkampungan Setu Babakan juga wilayah lain melalui pengembangan industri kreatif yang mendukung keberlangsungan ekonomi masyarakat.Adapun hal yang akan dijawab dalam penelitian ini, yaitu (1) bentuk pengelolaan industry kreatif PBB Setu Babakan sebagai wujud untuk meningkatakan ekonomi masyarakat Setu Babakan dan dapat dijadikan model perkampungan budaya di seluruh Indonesia, (2) bentuk atau pola industry kreatif dioptimalkan dalam mengelola PBB sebagai bentuk karakteristik budaya, dan (3) model bahan ajarnya sebagai indistri Budaya Betawi Setu Babakan.
BAB II
PENGELOLAAN INDUSTRI KREATIF PERTUNJUKAN DI PERKAMPUNGAN BUDAYA BETAWI SETU BABAKAN
A. Pertunjukan Gambang Rancag
Pengertian Gambang rancag adalah salah satu bentuk sastra lisan Betawi. Saputra (2009, hlm. 8) mengemukakan bahwa ―gambang rancag adalah seni sastra yang memiliki dua kata, yaitu gambang berarti musik pengiringnya dan rancag adalah cerita yang dibawakan dalam bentuk pantun berkait dan syair.‖
Foto.Gambang Rancag (Dok. Pribadi 2013)
Istilah ngerancag menurut Kamus Dialek Jakarta (dalam Chaer, 2009, hlm. 372) berarti (1) menetak-netak, memenggal-menggal, memotong-motong; (2) penuturan cerita dengan diiringi musik gambang kromong. Istilah tersebut juga dipaparkan oleh Kunst (1934, hlm. 308) dalam bukunya yang berjudul Do Toonkunst van Java yang menyatakan bahwa:
gambang rancag yang hidup di Batavia dan daerah sekitarnya yang memperoleh pengaruh Cina, digunakan untuk mengiringi cerita-cerita yang dinyanyikan (apa yang disebut syair) tentang kejadian mengesankan yang terjadi pada tahun-tahun silam, misalnya cerita Pitung Rampok Betawi, cerita Angkri Digantung di Betawi, cerita Delep Kelebu di Laut, dan biasanya sebagai pembuka diiringi dengan lagu- lagu seperti Jali-Jali, Persi, Surilang, Lenggang Kangkung, Keramet Kerem, dan sebaginya, serta diiringi alat musik yang terdiri dari gambang kayu, kenong, dan gendang.
Selain itu, Sopandi dkk. (1999, hlm. 76−77) dalam buku Gambang Rancag oleh Dinas Kebudayaan DKI Jakarta mengemukakan bahwa
4
gambang rancag berasal dari dua kata, yaitu kata gambang dan rancag. Istilah gambang diartikan sebagai instrumen pokok dalam orkes gambang kromong yang digunakan untuk mengiringi nyanyian sebagai sarana penampilan cerita dalam bentuk pantun berkait.Selanjutnya, kata rancag adalah cerita-cerita rakyat Betawi dalam bentuk pantun atau syair yang dinyanyikan oleh dua orang penyanyi pria, dengan irama dan melodi yang cepat.
Sejarah gambangrancag dimulai sekitar awal abad XVIII, berawal ketika proses pembauran antara orang pribumi dengan orang-orang Cina terjadi. Disebutkan oleh Thomas Ataladdjar (dalam Widodo, 2010, hlm.10) bahwa
―pada tahun 1740 pasukan kaum Cina—yang merasa ditekan oleh beberapa pejabat VOC dengan sistem pajak untuk memperkaya diri melakukan pembalasan dengan cara membunuh beberapa pejabat VOC. Selanjutnya pihak VOC juga membalas dengan kembali melakukan pembunuhan massal terhadap orang-orang Cina, yaitu sekitar 1000 orang Cina terbunuh, termasuk 500 tahanan dan pasien rumah sakit.
Peristiwa itu terjadi pada 9 Oktober 1740.‖
Akibat peristiwa itu, sebagian besar masyarakat Cina, khususnya orang-orang yang berada pada kelas bawah, lebih memilih keluar dari Batavia.Sementara, mereka yang berada di kelas atas tetap meneruskan kehidupan dengan berdagang di dalam area Batavia.
Orang-orang Cina yang keluar Batavia menyebar dan banyak melarikan diri ke pinggiran Batavia, seperti daerah Babelan, Tambun, Bekasi, Lemahabang, Tangerang, Ciampea, Lewiliyang, Jonggol, Cileungsi, Cibarusa dan beberapa daerah di sekitar Jakarta. Berikut digambarkan dalam peta wilayah penyebaran masyarakat Cina dan pribumi dari sumber Mededeelingen No. 5 van het Encyclopaedish Bereau van de Kononklijke Verceni ging
―Koloniaal Instituut‖, Do Bevolking va de Regentsscheppen Batavia, Mester Cornelis en Buitenzorg, (1933, hlm.8) sebagai berikut.
Gambar 2.11 Peta wilayah Batavia dan sekitarnya sebagai wilayah penyebaran orang-orang Cina ke daerah pinggiran kota Batavia (sumber: Mededeelingen No. 5 van het Encyclopaedish Bereau van de Kononklijke
Verceni ging ―Koloniaal Instituut‖, Do Bevolking va de Regentsscheppen Batavia, Mester Cornelis en Buitenzorg, 1933, hlm.8).
Data pada Mededeelingen No. 5 van het Encyclopaedish Bereau van de Kononklijke Verceni ging ―Koloniaal Instituut‖, Do Bevolking va de Regentsscheppen Batavia, Mester Cornelis en Buitenzorg menjelaskan bahwa di wilayah tempat pelarian saat itu banyak orang-orang Cina yang melakukan perkawinan campur dengan orang- orang pribumi. Pembauran orang-orang Cina dengan pribumi juga ditandai dengan masih ditemukannya sampai sekarang beberapa peninggalan klenteng (tempat ibadah) di wilayah tersebut. Contohnya klenteng tua di Cibinong yaitu Klenteng Tanjung Kuit yang terletak 7 km dari Mauk.Klenteng ini dikenal dengan sebutan Klenteng Couw Su Kong.Tidak jauh dari klenteng ini terdapat makam Dewi Neng yang merupakan makam keramat.Menurut tradisi setempat Dewi Neng adalah seorang wanita pribumi yang banyak jasanya terhadap pembangunan Klenteng Couw Su Kong.Hal itulah yang menjadikan makam ini sering diziarahi oleh orang-orang Cina peranakan yang banyak bekerja sebagai petani, terutama di daerah Cibinong.
Dalam penyebaran dan pembauran itu, banyak orang Cina yang bekerja sebagai petani, terutama di daerah Cibinong.Orang-orang Cina ini dikenal dengan istilah ―Cina Teko‖, yakni orang-orang Cina peranakan yang diusir oleh kompeni Belanda dari Batavia.
Ada juga istilah ―Cina Robek‖, yakni orang keturunan Cina yang masuk agama Islam bukan karena keimanan, tetapi untuk menghidarkan diri dari pajak kepala dan hal lain agar mereka mendapat perlindungan.
Akibat pembauran antara orang-orang Cina dan pribumi juga berimbas pada adanya saling pengaruh-mempengaruhi antara mereka.Sebut saja—pembauran kesenian pribumi dengan kesenian orang Cina.Orang Cina turut mengembangkan seni musik gambang kromong. Mereka memasukkan unsur musik tehyan, kongahyan, dan sukong dalam musik gambang kromong. Tidak sedikit dari mereka yang menjadi pendukung aktif sebagai senimannya. Dari kaum orang Cina inilah, musik gambang kromong memperoleh sentuhan unsur pribumi seperti musik gambang, kenong, kecrek, gendang, dan sebagainya.
Demikian pula dengan cerita-cerita rancagan yang dibawakan dalam pertunjukan gambang rancag. Secara perlahan tampak kadar pengaruh Cina dalam lagu dan lirik rancag serta orkes gambang kromong semakin hari semakin berkurang. Kejadian ini sama seperti musik tanjidor yang dikembangkan oleh orang Eropa yang lama kelamaan menjadi musik pribumi dan dikenal sebagai musik tradisi Betawi.
Semakin melemahnya pengaruh Cina terhadap perkembangan orkes gambang kromong yang mengiringi gambang rancag juga ditopang oleh hadirnya seniman pribumi seperti penyanyi legenda Benyamin Sueb, Ida Royani, Lilis Suryani, Ritta Zahra, Herlina
Efendi dan sebagainya. Keadaan ini membuat lagu-lagu dan iringan musik gambangkromong semakin dekat di telinga orang-orang pribumi sehingga musik gambang kromong lama kelamaan menjadi ciri musik orang pribumi, terutama masyarakat Betawi.
Hal penunjang lainnya—dari perubahan tersebut adalah sentuhan cerita-cerita yang dahulu berbau cerita dari kalangan orang Cina, seperti Sam Pek Eng Tai, yakni roman Cina klasik yang sangat digemari pada saat itu, termasuk cerita Pho Sie Lie Tan, yaitu cerita tentang suka duka seorang putra raja Cina zaman dahulu.
Kaitan antara kesenian gambang rancag dengan orkes gambangkromong menurut Japp Kunst (1934, hlm. 308; dalam Ruchiat 1981, hlm.1) ditandai oleh peranan orang- orang Cina yang berhasil memasukkan unsur musik mereka yang diselaraskan dengan musik kaum pribumi.Perpaduan lainnya yang juga dilakukan dengan memasukkan lagu- lagu Cina, seperti Sipatmo, Kongjilok, Phopantaw, Citnosa, Macutay, Cutaypan dan sebaginya. Sementara lagu-lagu pribumi yang biasa turut dimainkan dalam musik gambangkromong untuk selingan dalam pertunjukan gambangrancag, seperti lagu-lagu Jali-jali, Persi, Surilang, Bale-Bale, Lenggang Kangkung, Gelatik Nguknguk, Onde-Onde dan sebaginya. Menurut data dari Yayah Andi Saputra (2009) bahwa:
sejak tahun 1911, di Toko Djin Vich dan Co (Loa Yoe Djin) di daerah Pancoran, Batavia, menjual macam-macam versi atau judul rancag, antara lain: (1) Rancag Roemah Angoes Besar di Maoek, (2) Rancag Sie Mioen, (3) Rancag Nona Boedjang, (4) Rancag Orang Maen Kartoe, (5) Rancag Pak Baira di Tambun, (6) Rancag Si Pitoeng, (7) Rancag Entjek A Kiong Mati Dibunuh, (8) Rancag Orang Bersobat dengan Komedi Bangsawan, (9) Rancag Orang Dimadu, (10) Rancag Orang Derep Kelaboe, (11) Rancag Patima Mati Diboenoe, (12) Rancag Tukang Ketjot di Betawi, (13) Rancag Anak Ajem, (14) Rancag Sang Kodok, (15) Rancag Roepa-Roepa Burung, (16) Rancag Djago Si Angkrik, (17) Rancag Pak Tjenteng Soekain Mantoenya, (18) Rancag Di Buih Ponya Sengsara, (19) Rancag Tukang Sado Ditjela-tjelain.
Dari ke-19 lagu rancag tersebut sampai sekarang yang masih biasa dibawakan adalah Rancag Si Pitoeng dan Rancag Djago Si Angkrik, sementara rancag lainnya setelah tahun 1970-an sudah jarang dibawakan.
Menurut sejarah dan catatan Japp Kunst (1934, hlm. 308) diungkapkan bahwa
―sekitar abad ke XIX dan awal abad XX rombongan-rombongan orkes gambangkromong biasanya dimiliki oleh cukong-cukong golongan Cina peranakan.‖Di kalangan seniman gambang kromong, para cukong dikenal dengan istilah ―tauke‖.Para cukong itulah yang menanggung segala biaya, termasuk berbagai kebutuhan anggota-anggotanya.Bahkan ada pula yang menyediakan perumahan khusus bagi anak buahnya, istilah ini biasa disebut
―bapak angkat‖ seniman-seniman gambang kromong.Budaya kepemilikan anak buah atau
anak angkat grup musik adalah salah satu peninggalan sistem perbudakan yang pernah berlaku di Indonesia.Sistem perbudakan ini berkahir pada pertengahan abad XIX.Sistem perbudakan pada masa itu dianggap dapat mengangkat status keluarga dengan pemikiran semakin banyak budak semakin tinggi status sosial seseorang—ditentukan oleh jumlah kepemilikan budak.
Para pemilik rombongan biasanya menerima ―uang tanggapan‖, yaitu pembayaran dari yang menanggap kesenian mereka.Pada umumnya orkes gambangkromong disajikan oleh golongan masyarakat Cina peranakan dalam rangka memeriahkan berbagai pesta, misalnya pesta perkawinan. Pada kesempatan-kesempatan demikian orkes gambangkromong digunakan untuk mengiringi nyanyian dan tarian yang biasa disebut Cokek.Rombongan gambang kromong dengan cokek-cokeknya biasa disebut Wayang Cokek. Para undangan ikut menari berpasangan dengan Cokek yang dalam istilah setempat disebut ngibing. Informan dalam wawancara tanggal 12 Oktober 2013, Ruchiat (86 tahun), menegaskan bahwa acara demikian merupakan atraksi utama dari para buaya-buaya ngibing pada masa itu, bahkan sampai dewasa ini. Budaya ngibing ini pada akhir tahuan 1990-an dan awal 2000-an masih bisa kita saksikan di sekitar wilayah Cileungsi dan sekitarnya, terutama di Jalan Raya Narogong—di daerah Pangkalan 5, Pangkalan 9, dan Pangkalan 12.
Pada acara-acara tertentu, misalnya pada pesta keluarga dengan undangan terbatas tanpa diadakan tarian, orkes gambang kromong biasanya digunakan untuk mengiringi cerita yang dinyanyikan.Ceritanya dibawakan dalam bentuk syair atau pantun.Kebanyakan cerita yang dibawakan adalah dalam bahasa Melayu yang umumnya berupa cerita-cerita tentang berbagai perisitiwa yang pernah terjadi dan mengesankan seperti cerita Angkri, Pitung, Keramat Karem dan sebaginya.Dalam wawancara tanggal 12 Oktober 2013, Ruchiat (86 tahun) menegaskan bahwa ―cara penyajian rancagan disertai dengan acting teater yang cukup memikat hati para penggemarnya.Pertunjukan demikian itu, yakni hadirnya orkes gambang kromong megiringi nyanyian syair atau pantun cerita disebut gambang rancag.Syair atau pantun yang dinyanyikan disebut rancagan. Menyanyikan atau berpantunnya disebut ngerancag.
Sebagai salah satu bentuk teater bertutur (istilah yang dilansir pada akhir tahun 1980), pertunjukan gambang rancag dititikberatkan pada cara pembawaan cerita dan pada musiknya. Ada pendapat yang menyatakan tidak mustahil bila Lenong, salah satu teater Betawi, merupakan kelanjutan dari teaterisasi gambang rancag. Hal ini tentunya perlu mendapat penilitian yang lebih lanjut.
Menurut Japp Kunst—seorang etnomusikolog Belanda, pada tahun 1930-an abad ini kehidupan gambang rancag sebagai pertunjukan terbilang masih cukup baik, dalam arti masih cukup banyak dipagelarkan sebagai pertunjukan panggilan. Hal ini didukung oleh tulisan Japp Kunst yang banyak menulis tentang musik dari berbagai suku di Indonesia.Dalam salah satu bukunya De Toonkunst van Java yang diterbitkan pada tahun 1934 mengenai musik khas Betawi, bentuk pertunjukan gambang digambarkan sebagai salah satu waditranya. Lebih jelas lagi Japp Kunst (1934, hlm. 308) mengatatakan bahwa:
orkes gambang kromong, terutama di Batavia dan daerah sekitarnya yang memperoleh pengaruh Cina, digunakan untuk mengiringi cerita-cerita yang dinyanyikan (apa yang disebut syair) tentang kejadian-kejadian mengesankan yang terjadi pada tahun-tahun silam, misalnya cerita Si Pitung Rampok Betawi, cerita Angkri Digantung di Betawi, cerita Delep Kelebu di Laut, dengan lagu-lagu seperti Jali-Jali, Persi, Surilang, Lenggang Kangkung, Kramat Karem dan sebagainya, dengan diiringi alat musik yang terdiri dari gambang kayu, kenong, dan gendang.
Selanjutnya pengungkapan musik spesifik Betawi yang berikutnya adalah seperti yang terdapat dalam wayang cokek, yaitu
nyanyian dan tarian yang dilakukan oleh wanita-wanita (berasal dari budak-budak).
Pada kesempatan demikian rambut mereka dikepang serta mengenakan baju kurung, Orkesnya terdiri dari gambang kayu, rebab, suling, dan kempul, kadang- kadang ditambah dengan kenong, ketuk, kecrek, dan gendang. Dalam nyanyian sering terdengar kata-kata: Si nona disayang dan Si Baba disayang, artinya Nyonya kusayang, Tuanku sayang.
Dari tulisan Kunst (1934, hlm. 308) dapat ditarik kesimpulan bahwa kehidupan gambangrancag pada waktu itu tidak tertinggal popoularitasnya dengan wayang cokek.
Dengan kata lain, kalaupun tidak lebih menonjol maka sekurang-kurangnya tidak terlalu jauh kedudukannya dari wayang cokek di kalangan penggemarnya.
Entong Dele (55 tahun) mengungkapkan bahwa :jururancag Cina peranakan yang terkenal sektiar tahun 1930-an antara lain Kho Cin Pek, seorang tunanetra dari Petak Sembilan, dan Kucai dari Cileungsi. Pada zaman dahulu, kedua orang itu dianggap paling mahir membawakan syair Pho Sio Lio Tan, Sam Pek Eng Tay, dan cerita-cerita lainnya.Sementara perancag pribumi yang paling terkneal Pa Ji‘an dan Pa Ji‘in dari Bojong Gede.Pa Ji‘an dan Pa Ji‘in mahir dalam memikat hati penontonnya. Dalam wawancara tanggal 12 Oktober 2013, Ruchiat (86 tahun) menegaskan bahwa:
menurut Tanu TRH yang berulang kali pernah menonton pertunjukan gambang rancag oleh perancag Pa Ji‘an dan Pa Ji‘in, jika kedua perancag tersebut sedang membawakan nyanyian rancag—atau menceritakan hal ihwal Si Pitung, Si Angkri, atau tentang Keramat Karem dan kisah-kisah yang lain dengan suara serak-serak
basah, para penonton seakan-akan terkesima. Mereka akan menahan nafas karena khawatir ada kata-kata yang luput dari pendengaran mereka.
Sementara itu mengenai kemunduruan popularitas kesenian gambang rancag, Japp Kunst (1934, hlm. 308) mengungkapkan bahwa:
ketika kesenian gambang rancag mulai menurun popularitasnya dan kedudukannya di tengah masyarakat yang disebabkan oleh berbagai hal, baik yang bersifat internal maupun eksternal, penyebab kemundurannya dimungkinkan karena gambangrancag dianggap musik jalanan murahan karena pada waktu itu sudah banyak gambang, yaitu rombongan yang megadakan pertunjukan keliling sepanjang jalan dari rumah ke rumah atau dikenal dengan istilah ngamen.
Keadaan ini rupanya sebagai salah satu akibat berantai dari krisis ekonomi yang pada saat itu melanda seluruh dunia akibat Perang Dunia I yang dilanjutkan dengan mengganasnya ―Zaman Malayse‖ atau ―Zaman Meleset‖, menurut lidah rakyat pribumi.Pada zaman itu, pemerintah Hindia Belanda memerintahkan rakyat atau kaum pribumi untuk menghemat keuangan.Mereka bahkan menakar biaya hidup satu orang bangsa Indonesia cukup dengan segobang (dua setengah sen) per hari.Dalam situasi perekonomian yang sulit itu tidak ada lagi cukong-cukong Cina yang bersedia menjamin penghidupan rombongan gambang kromong sebagai bapak angkat, ditambah dengan semakin jarangnya orang yang menanggap.
Peristiwa kedua yang berimbahaas pada eksodus besar-besaran orang Cina dan keturunan untuk kembali ke Cina, disebabkan oleh keluarnya Peraturan No. 10 Tahun 1959 yang berisi larangan orang asing termasuk orang Cina untuk memiliki usaha di bidang perdagangan eceran di tingkat kabupaten (di luar ibu kota daerah) dan wajib mengalihkan usaha mereka kepada warga Negara Indonesia. Peraturan ini menjadi kontroversial sehingga memakan korban jiwa orang-orang Cina—yang dikenal dengan peristiwa ―kerusuhan rasial Cibadak‖. Sebagian besar orang Cina dan keturunan menjadi ketakutan dan pergi meninggalkan Indonesia.Akibat peristiwa itu, banyak peralatan kesenian milik Tauke atau orang tua angkat yang menjamin hidup seniman pribumi, berpindah tangan.Pada saat itu peralatan musik orang-orang Cina umumnya diserahkan kepada pembantu atau anak angkat mereka.Dalam wawancara tanggal 11 Januari 2014, Rojali (78 tahun) menegaskan bahwa ―salah satu contohnya adalah Engkong Samad—
mertua Rojali, yang pada peristiwa itu juga mendapat limpahan peralatan musik gambangkromong dari tuannya karena terpaksa harus pergi ke negara asal mereka di Tiongkok untuk menyelematkan diri.‖
Sepeninggal tuan-tuan seniman itu, keadaan kehidupan serba sulit menghinggapi berbagai kesenian rakyat, termasuk rombongan gambang rancag dalam kelompok gambang kromong sehingga harus menjelajahi pelosok-pelosok kota Jakarta dan sekitarnya untuk megadakan pertunjukan dari rumah ke rumah—ngamen. ―Hal ini dilakukan untuk mendapatkan Congin-Nongin‖, menurut Amshar (55 tahun), salah satu seniman gambangrancag yang pernah mengalaminya.
Pengaruh gambang rancag pada lenong tampak pada kebiasaan adanya rancagan pada saat-saat tertentu, misalnya pada waktu sebelum cerita atau tontonan inti dimulai dalam pertunjukan lenong.Maksudnya, lenong yang masih mengikuti tradisi, memiliki kebiasaan atau konvensi bahwa sebelum cerita dimulai biasa didahului dengan ucapan perkenalan yang dinyanyikan, dengan diiringi lagu Persi.
Dalam penyampaian alur cerita pada pertunjukan lenong sering pula terdengar pantun-pantunan, bahkan tidak jarang pada saat-saat yang tegang.Misalnya pada waktu seorang tokoh jagoan berhadapan dengan lawannya.Sebagai contoh di sini diambilkan dari pementasan Lenong Setia Kawan di Taman Mini Indonesia Indah (TMII) pada tanggal 5 maret 1978.
Di situ kentang di sini kentang;
Kentang sepikul dibagi dua;
Di situ nantang di sini nantang;
Lu mukul gua sedia.
Pantunan tersebut kemudian dijawab oleh lawannya juga dengan pantunan. Seperti Samad Modo, Entong Dale, Amsar, Romo Root yang merupakan survival kesenian Betawi, dewasa ini mereka berkecimpung dalam lenong dan wayang cokek. Panggilan untuk ngerancag sudah sangat jarang, bahkan dapat dikatakan sama sekali tidak ada.
Sedangkan ngamen, sejak adanya larangan dari yang berwajib mulai tahun 1950-an memang sudah tidak dilakukan lagi.
Tanpa pembinaan intensif dan terarah, dikhawatirkan gambangrancag, salah satu bentuk pertunjukan khas Betawi, dalam waktu yang tidak lagi lama akan punah. Oleh karena itu, harus ada upaya aktif dari masyarakat dan pemerintah untuk terus melakukan pertunjukan dan penelitian terhadap bagiamana upaya mengembangkan pertunjukan gambang rancag. Hal yang paling utama jika ingin gambang rancag tetap eksis harus ada apresiasi masyarakat. Dalam wawancara 12 Desember 2013, Ruchiat (86 tahun)—Tokoh seni tari Betawi menyatakan bahwa ―bagaimanapun kuatnya bantuan pemerintah dalam pengembangan dan pemberdayaaan kesenian gambangrancag, tidak berarti apa-apa jika
sudah tidak ada apresiasi msyarakat terhadap keberlanjutan kesenian gambangrancag.”Penjelasan Ruchiat tersebut menunjukkan bahwa keadaan gambangrancag di masyarakat sudah hampir punah.Hal ini terlihat dari berkurangnya tanggapan hajatan yang diperoleh langsung dari masyarakat. Saat ini masyarakat cenderung lebih memilih untuk menanggap orgen tunggal daripada kesenian gambang rancag atau kesenian Betawi lainnya. Alasan mereka sederhana, selain lahan untuk panggung di masyarakat hampir habis, juga faktor biaya menanggap gambang rancag lebih mahal dari orgen tunggal.
Gambaran di atas adalah selayang pandang gambang rancag di masa lalu. Untuk lebih jelas bagaimana ihwal gambang rancag sekarang berikut akan diuraikan beberapa pertunjukan gambangrancag di DKI Jakarta dan sekitarnya yang telah diamati oleh penulis sejak tahun 2010 sampai tahun 2014.
Ciri dan Fungsi
Ciri gambang rancag Menurut Ruchiat dkk., (2003, hlm.150) bahwa bercirikan nyanyian yang dipantunkan, disebut cerita rancagan, atau cukup disebut rancag atau rancak berbentuk pantun berkait.‖ Jadi, bisa dikatakan gambang rancag adalah musik gambang kromong disertai nyanyian yang menuturkan cerita-cerita rakyat Betawi dalam bentuk pantun atau syair dan dibumbui oleh lawakan atau humor. Cerita yang dibawakan dengan dipantunkan disebut cerita rancag, yang berbentuk pantun berkait dan syair. Berikut adalah contoh rancagan yang berbentuk pantun berkait, yaitu RancagSi Ankri, Jago Pasar Ikan, yang pernah dibawakan Rojali alias Jali Jalut (78 Tahun) dan Samad kelompok Jali Putra Pekayon Gandaria pada tahun 1980.
1.a Ketik kenari cabang patah;
pasang kuping biar terang;
rancag si Angkri punya cerita;
belum lama jadi jago, satu peti mencuri barang.
1.b Ketik kenari cabang patah;
ambil papaya di petuakan;
si Angkri punya cerita;
buayanya di pasar ikan.
Pantun pada rancag disusun secara improvisasi mengikuti jalur cerita yang sudah tetap. Suatu cerita dapat dipanjangkan penyajiannya dengan berbagai tambahan. Sebagai contoh penyajiannya yaitu dengan lawakan yang sering kali menyimpang dari cerita, tetapi tetap disenangi penontonnya. Rancag juga biasa disajikan dengan iringan orkes gambang kromong atau dengan sebutan gambang rancag. Kemudian, pagelaran atau pertunjukan
gambang rancag dilakukan oleh dua orang atau lebih juru rancag yang menceritakan dengan dinyanyikan dan diiringi orkes gambangkromong. Sejak awal gambang rancag dipentaskan tanpa panggung. Tempat pementasan sejajar dengan penonton yang berada di sekelilingnya. Jadi, gambang rancag ini bentuk penyajiannya meliputi pertunjukan yang lengkap dengan iringan orkes dan nyanyian.
Saputra (2009, hlm. 8) mengemukakan bahwa ―gambang rancag bisa disebut sebagai pertunjukan musik sekaligus teater, bahkan sastra.Pertunjukannya terdiri dari dua unsur, yaitu gambang dan rancag, gambang berarti musik pengiringnya dan rancag adalah cerita yang dibawakannya dalam bentuk pantun berkait.Tokoh dalam pantun berkait itu pada umumnya berupa lakon-lakon jagoan, seperti Si Pitung, Si Jampang, dan Si Angkri.Pantun berkait ini dinyanyikan oleh dua orang bergantian seperti berbalas pantun, sehinggga pertunjukan gambang rancag menyerupai pertunjukan musik yang dilengkapi dengan teater dan unsur sastra dalam menyajikannya.
Pada pagelaran atau pertunjukan gambang rancag selalu terbagi atas tiga bagian, bagian pembukaan yang diisi dengan lagu-lagu phobin yang berfungsi mengumpulkan penonton.Bagian kedua diisi dengan penampilan lagu-lagu hiburan atau lagu sayur yang berfungsi sebagai selingan sebelum ngerancag dimulai. Lagu pada bagian kedua ini sama dengan lagu yang dibawakan dalam orkes gambang kromong. Bagian ketiga diisi dengan lagu rancak atau rancag, sementara irama musiknya adalah instrument dendang Surabaya, Gelatik, Ngaknguk, Persi, Phobin Jago, Phobin Tintin, dan Phobin Tukang Sado. Sebagai pemain rancag bukan saja harus bisa bernyanyi, tetapi juga dapat menyusun pantun secara improvisasi, ingat jalan cerita yang akan dibawakan, dan harus ingat lakon-lakon yang dimainkan. Berikut adalah cuplikan rancag Si Pitung.
Ambil simping alasnya kerang;
Pasang pelita terang digantung;
Pasang kuping nyatalah biar terang;
Di gambang rancag buka rancag jago Bang Pitung.
Pada tahun dua puluhan ada seorang juru rancag yang terkenal bernama Jian, seorang tuna netra yang memiliki suara serak-serak basah. Menurut informasi orang Betawi, apabila ia sedang berpantun menceritakan tokoh Si Pitung atau tentang Keramat Dalem dengan iringan musik gambang kromong irama lagu Parsi, umumnya para penonton seakan-akan menahan nafas karena khawatir ada kata-kata yang luput dari pendengarannya (Ruchiat, 2003, hlm. 166). Tokoh rancag yang pernah ada, misalnya: Samad Modo
bersama Rojalialias Jali Jalut di Pekayon, Entong Dale bersama Bedeh di Cijantung Jakarta Timur, dan Amsar bersama Ali di Bendungan Jago Jakarta Pusat.
Sama halnya dengan sebuah pertunjukan, gambang rancag memiliki unsur-unsur pertunjukan. Unsur-unsur dalam pertunjukan gambang rancag meliputi pemain, pemusik, musik, cerita, dan penonton. Pemain adalah orang yang merancag atau menyanyikan pantun berupa cerita yang diiringi oleh musik gambang—musik tersebut dimainkan oleh pemusik, terdiri dari gambang, gong, kecrek, tehyan, kongayan, dan lain-lain. Pertunjukan ditonton oleh penonton dalam suasana yang sesuai konteks acara. Fungsi gambang rancag yang ditentukan oleh masyarakatnya tentu perlu ditanamkan kepada masyarakat pendukungnya agar tradisi ini tetap hidup di tengah masyarakat Betawi. Dengan demikian, baik pemain maupun unsur lainnya sama-sama berpengaruh besar bagi pertunjukan gambang rancag.
Dari pendapat di atas dapat dibedakan pengertian gambang rancag dengan gambang kromong.Gambang rancag, menurut Ruchiat (2003, hlm. 156) adalah
―pertunjukan lagu rancag (berupa cerita Si Pitung, Si Angkri, Si Jampang, Si Conatdan sebagainya) yang diringi musik gambang (gambang kromong).‖Hal ini seperti yang telah diuraikan di atas.Sementara Kleden (1996, hlm. 51) mengemukakan bahwa ―orkes gambang kromong merupakan jenis musik untuk mengiringi pertunjukan lagu-lagu kombinasi yang tidak hanya terdiri dari gambang dan kromong saja tetapi juga disertai orkes Melayu dan orkes dangdut.‖
Kedua pendapat di atas jelas telah membedakan batasan dari jenis seni Betawi ini.Gambang rancag lebih kuat pada unsur sastranya, sedangkan gambang kromong lebih kuat unsur seni musiknya.Oleh karena itu, untuk lebih mengetahui unsur pembentuk tradisi lisan gambangrancag, perlu digambarkan bagian-bagian dalam pertunjukan tradisi lisan gambangrancag.
Menurut Sopandi dkk. (1999, hlm. 28) gambang rancag memiliki aspek-aspek seni, yaitu: 1) musik, 2) sastra, 3) seni rupa, 4) teater (senggakan), 5) bodor, dan 6) pemanggungan. Berikut akan diuraikan beberapa aspek penting dalam tradisi lisan gambang rancag tersebut. Musik, yaitu meliputi: a) tangga nada, b) irama/birama, c) fungsi iringan, d) instrumen, dan e) lagu-lagu.Tangga nada adalah susunan nada yang disusun berurutan, baik naik maupun turun dimulai dari suatu nada hingga ulangannya, baik pada oktaf kecil maupun oktaf besar dengan jumlah nada dan interval tertentu.Tangga nada yang digunakan adalah tangga nada pentatonik, meliputi tangga nada mayor dan tangga nada minor, serta tangga nada grigorian.Irama/birama/maat dalam aspek gambang rancag dapat didefinisikan sebagai berikut.Pertama, istilah maat adalah ukuran waktu
yang digunakan untuk menyajikan bar/mistura dari suatu lagu. Kedua, maat adalah pergantian antara tekanan ringan dan tekanan berat secara teratur dalam tiap-tiap bar/gatra.
Selanjutnya gambang rancag dapat dimaknai sebagai sebuah representasi identitas, seperti dalam bentuk kearifan lokal dan mitos masyarakat Betawi. Dari segi kearifan lokal tampak dari bentuk pertunjukan sebagai wadah untuk bersilaturahmi keluarga. Selain itu bentuk kearifan lokal juga didapat dari rumah yang digambarkan dalam cerita sebagai tempat si Pitung merampok, yaitu rumah juragan Haji Syamsudin. Rumah tersebut sampai sekarang masih berdiri kokoh sebagai cagar budaya Betawi yang mewujudkan sebuah kearifan lokal masyarakat Betawi.Berdasarakan cagar budaya tersebut, masyarakat Betawi dapat memaknainya sebagai sebuah bentuk yang menandai perlawanan orang Betawi terhadap kezaliman kekuasaan Belanda pada awal tahun 1800-an. Tokoh Pitung dianggap oleh masyarakat Betawi sebagai pahlawan sebab telah membantu rakyat Betawi dari kekejaman pihak Belanda dan tuan-tuan tanah sebagai kaki tangan Belanda.
Selanjutnya gambangrancag juga dimaknai sebagai simbol mitos, hal ini digambarkan dalam teks rancag bahwa Pitung hanya bisa mati jika ditembak dengan peluru emas. Teks ini dibuat sebagai bentuk representasi identitas oleh masyarakat Betawi kalau Pitung memiliki ilmu yang tinggi, karena hanya bisa mati jika ditembak menggunakan peluru emas hinga membuat Sekot Hena mempersiapkan segala bentuk untuk bisa menangkap si Pitung. Mitos Pitung hanya bisa mati ditembak peluru emas adalah bentuk representasi identitas masyarakat Betawi yang diproduksi oleh orang Betawi. Hal ini menunjukkan bahwa sebagai masyarakat yang dianggap terbelakang, pendidikan rendah, terusir dari tanahnya sendiri yaitu Batavia, maka kehadiran Pitung merupakan bentuk perlawanan dengan penggambaran sosoknya yang memiliki berbagai kekuatan ilmu yang tidak tertandingi. Bahkan meskipun lawannya adalah Sekot Hena (Kepala Polisi di Batavia), ternyata Sekot Hena juga gentar menghadapi Pitung.
Fungsi dari penulisan ini juga dapatMemberikan kontribusi terhadap ilmu pengetahuan secara teoretis dalam memecahkan masalah penelitian.Di samping itu, dapat memberikan kontribusi praktis dari aspek manajemen dengan menyajikan berbagai kebijakan dari temuan yang dihasilkan.Kedua kontribusi tersebut berimplikasi secara langsung terhadap perkembangan gambang rancag dari segi kuantitas dan kualitas.
Perkembangan dari segi kuantitas berimplikasi terhadap meningkatnya jumlah perancag di DKI Jakarta melalui kegiatan pelatihan gambang rancag yang dilakukan, di lima wialayah DKI Jakarta, misalnya Balai Latihan Kesenian (BLK ) Jakarta Timur, BLK Jakarta Utara, BLK Jakarta Pusat, BLK Jakarta Selatan. Materi yang diberikan dalam pelatihan adalah
materi pengenalan pertunjukan gambang rancag, materi pemahaman lagu-lagu rancag, dan materi penguasaan musik yang mengiringi perancag ketika sedang melakukan pertunjukan gambang rancag. Setelah itu mereka diarahkan oleh para panitia dan narasumber pelatihan gambang rancag yang berasal dari ahli atau pemain gambang rancag yang selama ini mahir memainkan pertunjukan gambang rancag sebagai seniman gambang rancag tujuan dari pelatihan gambang rancag agar semua peserta dapat memperoleh pengalaman dan pengetahuan bagaimana cara melakukan pertunjukan gambang rancag agar dapat dimasukan dalam kegiatan pelatihan.
B. Pertunjukan Gambang Kromong
Gambang kromong diambil dari nama dua alat musik, yaitu dua jenis alat perkusi, yakni gambang dan kromong. Gambang terbuat dari sejumlah bilah 18 buah yang terbuat dari kayu suangking, huru batu atau jenis kayu lain ang empuk bunyinya jika dipukul.
Sementara kromong dibuat dariperunggu atau besi, berjumlah 10 buah (10 ―10 pencon‖).
Jenis musik ini adalah perbaduan dari unsur pribumi dan Cina. Pada alat musik gesek didominasi dari Cina, yaitu tehyan, kongahyan, dan sukong. Sedangkan alat musik yang lainnya, yaitu, gambang, kromong, gendang, dan kecrek berasal dari musik pribumi.
Perpaduan kedua unsur kebudayaan tersebut tanpak pula pada perbedaharaan lagu-lagu yang dibawakan dalam pertunjukan musik gambang kromong. Lagu-lagu gambang krong yang diadaptasi dari budaya pribumi seperti, Jali-Jali, Surilang, Persi, Balo-Balo, Lengggang-Lenggang Kangkung, Onde-Onde, Gelatik Nguknguk dan sebagainya.
Sedangkan lagu-lagu yang bercorak Cina seperti, Kong Jilck, Sipatmo, Phe Pantaw, Citnosa, Macuntay, Gutaypan dan sebagainya.
Foto Penyanyi Gambang Kromong, Kamis, 29 Juni 2017 Dok. Pribadi
Sejarah gambang kromong menurut tulisan Phoa Kian Sie dalam Ruchiat (2013:20) bahwa orkes gambang kromong merupakan perkembangan dari orkes Yang
Khim yang terdiri atas Yang-Khim, Sukong, Hosiang, Thehian, Kongahian, Sambian, Suling, Pan, (kecrek) dan Ningnong. Karena Yang-Khim sulit dipeoleh, ada inisiatip menggantimnya dengan gambang yang larasnya diseseuaikan dengan asalanya dari Hokkian. Sementara untuk Sukong, Tehian, dan Kongahian tetap dipakai sebab dapat dibuat di sini. Alat yang dihilangkan adalah Sambian dan Hosiang karena tidak terlalu mengurangi nilai penyajian musiknya.
Adanya pembauran musik pribumi dan Cina menyebabkan musik gambang kromong digemari oleh masyarakat, baik pribumi maupun keturunan. Hal ini tentu dilatarbelakangi oleh adanya proses inkulturasi budaya yang begitu serasi antara pribumi dan Cina. Tak heran jika komunitas atau grup-grup pertunjukan gambang kromong sering mengisi acara kearamaian di masyarakat kampung atau orang pribumi maupun di acara- acara masyarakat Cina, misalnya pada perayaan Cap Gomeh di beberapa wilayah di DKI Jakarta dan Sekitarnya, grup gambang kromong sering diundang atau ditanggap.
Musik Gambang krong sejak tahun 1880 menurut Ruchiat (2013:20) bahwa atas usaha TanWangwe dengan dukungan Bek (Wijk Meester) Pasar Senen Tang Tjoe, orkes gambang mulai dilengkapi dengan Kromong, Kempul, Gendang dan Gong. Lagu-lagu yang dipilih lagu—lagu Sunda popular, seabagaimana ditulis oleh Phe Kian Sio sebagai berikut:“Pertjobaan Wijk Meester Teng Tjoe telah berhasil lagoelagoe gambang ditaboeh dengan tambahan alat tersebut diatas membikin tambah goembira Tjo Kek dan pendengar-pendengarnya . Dan Moelai itoe waktoe lagoe-lagoe Soenda banyak dipake oleh orkes gambang. Djoega orang moelai brani pasang slendang boeat “mengibing” .
Gambaran sejarah di atas dapat dikatakan bahwa awal mulainya musik gambang kromong dikenal oleh masyarakat pribumi. Adanya keberanian untuk mengkolaborasikan dua budaya musik pribumi dan dan Cina. Dulunya musik orkes gambang kromong hanya dimainkan dalam lingkungan keluarga Cina, sejak saat itu jenis musik ini mulai sering diminati dan ditanggap oleh orang pribumi apalagi jika ada keramaian untuk mengiringi pertunjukan musik gambang kromong. Dan mencapai puncaknya setelah masa tahun 70- an, dengan ada beberapa penyanyi Indonesia yang masuk dalam kelompok gambang kromong seperti, Benyamin S., Ida Royani, Lilis Suryani, Herlina effendi, dan lain-lain.
Penyebaran gambang kromong di dki Jakarta dansekitarnya adalah jenis musik yg paling merata. Menurut Data Penelitian lapangan bahwa perkembangan musik Gambang Kromong FIB 2010 sampai sekarang menunjukkan bahwa hampir masyarakat yg komunitasnya banyak Orang Cina maka perkembangan Gambang kromong akan banyak
grup yg tumbuh,seperti di daerah Jakarts Utara dan Jakarta Barat, daripada daerah Jakarta Selatan dan Jakarta Timur.
Pada perkembangan gambang kromong berdasarkan asli dan kombinasi juga menjadi hal yang menarik. Jika gambang kromong yang asli yaitu gambang kromong yang menggunakan alat musik yg sesuai pakem, misalnya penggunaan alat musik yang sesuai dengan awal terbentuknya istilah musik ini tahun 1880-an bahwa harus ada musik gambang, kromong, gendang, kecrek, tehiyan, kongahyan, sukong. Sementara, musik gambang kromong yang kombinasi yaitu musik yang sudah mendapat sentuhan alat-alat musik modern yang kadang-kadang elektronik, seperti gitar melodi, organ, saxopone drum dan sebagainya. Adanya perubahan dari laras pentatonis menjadi diatonis tanpa terasa mengganggu. Adanya penambahan kombinasi ini tidak menjadikan warna musik ini berubah justru dapat lebih mudah diterima oleh telinga anak muda sekarang, masuknya musik kombinasi ini juga diikuti oleh masuknya lagu-lagu pop Betawi secara wajar, tidak dipaksakan, terutama bagi generasi muda tampaknya gambang kromong kombinasi ini ebih komunikatif sekalipun kadang-kadang kecenderungannya tersisihnya suara alat-alat gambang kromong asli oleh alat musik elektronis yang semakin dominan.
Rombongan komunitas gambang kromong di DKI Jakarta dan sekitarnya masih eksis, misalnya dimiliki oleh kelopok yang dilimpin oleh orang pribumi ekonomi lemah, seperti Rombongan Setia Hati pimpinan Amsar di Bendu gan Jago, Rombongan Putra Cijantung pimpinan Marta (yang dulu dipimpin oleh Nyaat), rombongan Haruda putih Pimpinan Samad Modo di Pekayon Gandaria yang sekarang dipimpin oleh Jali Jalut (84 tahun) yang sekarang juga diterusksn oleh Putranya Burhan (46 tahun) dan Firman ( 36 tahun).
Sedang gambang kromong kombinasi biasanya lebih dimiliki oleh grup yang memiliki ekonomi lebih kuat, umumnya didominasi oleh grup Cina, seperti Rombongan Naga Mas pimpinan Bhu Thian Hay (Almarhum), Naga Mustika pimpinan Suryahanda, Selendang Delima "Pimpinan Liem Thian Pi dan sebagainya. dan informasi terakhir bahwa keberadaan grup ini hampir sudah meninggal semua. Gambang kromong di Setu Babakan pada perayaan Lebaran 2017 lalu yaitu dipertunjukan grup Bang Andi dengan musik gambang kromong kombinasi. Pada saat itu dinyanyikan beberapa lagu seperti jail- jali.
C. Pertunjukan Sahibul Hikayat
Sahibul hikayat adalah cerita-cerita yang berasal dari Timur tengah, antara lain bersumber pada cerita Seribu Satu Malam, Alfu Lail Wal lail. Istilah Sahibul Hikayat yang berarti yang empunya cerita. Dalam Arab : Shohibul Hikayat yang berarti yang empunya cerita. Dalam membawakan cerita sahibul hikayat juru hikayat sering mengucapkan kata- kata: ―Menurut sohibul hikayat‖, atau kata ―sahibul hikayat‖. Oleh karena itu, cerita-cerita kelompok ini biasa disebut sahibul hakiyat. Ucapan demikian itu digunakan untuk memberikan tekanan kepada yang akan diceritakan selanjutnya, yang kadang-kadang merupakan hal yang tidak masuk akal, contohnya sebagai cuplikan berikut. ―Jin itu menaroh anaknya di ayunan, Sembari nyanyi di ayun, maksudnya supaya anaknya tidur.
Kata Sohibul hikayat, ayunan itu baru balik sembilan taon kemudian…‖ (Diambil dari salah satu mata acara radio swaasta). Dengan kata-kata sahibul hikayat itu pertanggungjawaban diserahkan kepada yang empunya cerita, yang entah siapa. Sahibul hikayat terdapat di daerah tengah wilayah Budaya Betawi atau Betawi kota, antara Tanah Abang dengan Salemba, antara Mampang Prapatan sampai Taman Sari.
Foto Pertunjukan Sahibul Hikayat 2017, Dok https://www.youtube.com/watch?v=TtFZBlylxrY Pembawa cerita sahibul hikayat, biasa disebut tukang cerita, atau juru hikayat. Juru hikayat yang terkenal pada masa lalu, antara lain haji Ja‘far, Haji Ma‘ruf kemudian Mohammad Zahid, yang terkenal dengan sebutan ‖ wak Jait‖. Pekaian sehari-hari wak jait selalu mengenakan kain pelekat, berbaju potongan sadariah, berpeci hitam. Juru hikayat biasanya bercerita sambil duduk bersila, ada yang sambil memengku bantal, ada pula yang sekali-kali memukul gendang kecil yang diletakkan disampingnya, untuk memberikan aksentuasi pada jalan cerita.
Sampai jaman Mohammad Zahid yang meninggal dalam usia 63 tahun, pada tahun 1993, cerita-cerita yang biasa dibaawakan antara lain Hasan Husin, Malakarma, Indra sakti, Ahmad Muhamad, sahrul Indra Laila bangsawan. Sahibul hikayat digemari oleh masyarakat golongan santri. Dewasa ini biasa digunakan sebagai salah satu media dakwah.
Dengan demikian, sahibul hikayat menjadi panjang, karena banyak ditambah bumbu- bumbu. Humor yang diselipkan disana-sini biasanya bersifat improvisatoristis. Kadang- kadang menyinggung-nyinggung suasana masa kini. Setiap celah-celah dalam jalur cerita diselipakan dakwah agama Islam. Seperti cerita rakyat lainnya, sahibul hikayat bertema pokok klasik, yaitu kejahatan melawan kebajikan. Sudah barang tentu kebajikan yang menang, sekalipun pada mulanya nampak sengaja dibuat menderita kekalahan.
Sahibul hikayat yang berfungsi sebagai media dakwah seperti yang dulu dipertunjukan oleh Mohammad Zaid, kini muncul kembali. Pada perayaan lebaran Betawi di Setu Babaka, kata Zainuddin kepada CNNIndonesia.com. Biasanya sahibul hikayat hanya digelar sewaktu hajatan. Dalam pertunjukan ini, penonton akan menikmati dongeng mengenai perjuangan agama, kisah para nabi, sampai kisah mistis dari seorang penderita, yang disajikan dengan jenaka. ―Orang Betawi kan terkenal jenaka. Lewat perayaan Lebaran Betawi inilah, kami coba sampaikan semangat untuk memelihara seni dan budaya Betawi asli seperti sahibul hikayat kepada masyarakat,‖ katanya.
Penayangan sahibul hikayat pada Perayaan Lebaran Betawi 28 Juli 2017 lalu adalah bentuk kepedulian masyarakat Betawi melalui Bamus Betawi untuk lebih dapat mengetahui bagaimana revitalisasi di lakukan di Perkampungan Budaya Betawi, termasuk untuk lebih mengetahui sahibul hikayat sebagai kebudayaan hibriditas, dan untuk lebih mengenal bagaimana identitas budaya Betawi dalam tradisi sahibul hikayat. Melalui cerita yang disampaikan secara bedakwa diharapkan dapat menanamkan semangat cinta pada budaya lokal Betawi.
Pertunjukan sahibul Hikayat yang digelar pada ―Perayaan Lebaran Betawi‖
tanggal 28 Juli 2017 lalu merupakan betuk revitalisasi sahibul hikayat, yaitu mengangkat kembali kesenian yang mulai punah kepada keluarga besar Betawi di DKI Jakarta dan sekitarnya. Revitalisasi sahibul hikayat yang dilakukan oleh BAMUS Betawi sebagai upaya untuk mengingatkan kembali bahwa di Betawi pernah ada kesenian yang digemari dan hidup di msyarakat kini ada di hadapan mereka. Adapun cerita yang dipilih ketika perayaan lebaran Betawi adalah lakon Hakim Siti Zulfah yang kini dibawakan kembali Ustad Miptah. Adapun masyarakat yang menonton pertunjukan Sahibul Hikayat malam itu, terdiri dari para panitia Lebaran Betawi 2017 dari Bamus Betawi dibantu oleh UPK
Perkampungan Budaya Betawi Setu Babakan serta para penonton dari lima wilayah DKI Jakarta dan sekitarnya.
Pertunjukan sahibul hikayat sebagaimana layaknya atraksi kesenian lainnya, dibawakan oleh pencerita, dalam hal ini sahibul hikayat atau tukang cerita, sang pencerita harus mampu membawakan cerita dengan kepiyawaian dalam menciptakan cerita dengan cara mengingat, apa yang diingat, diulang, diseru, dan ditegaskan oleh penutur cerita, yaitu tradisi Betawi yang bermacam-macam bentuk pengetahuannya yang tentu bisa diterima oleh masyarakatnya. Adapun kutipan awal cerita yang dituturkan oleh sahibul hikayat.
Hakim Siti Zulfah
“Alkisah, ada Tuan saudagar kaya namanya Tuan saudagar Rosyad, biar dia kaya tapi pelit alias buntut gasiran.Orang kalo pelit, boro-boro surga, baunya aja kagak dapet. Uangnya banyak bukan dikasih ke Lebaran Betawi, bukan dia sumbang ke jalan Allah, tapi dia buang-buang ke jalan maksiat ke bar-bar, dan WTS WTS untuk menghibur diri. Mobilnya 7 paling jelek CRV, setirnya racing, AC nya anyep (dingin), kalo meludah 5 menit jadi es. Bininya namanya Siti Zaenab, lagi hamil 3 bulan : Zaenab : “bang kemane aje sih bang, udah lebaran Betawi abang ngelayap mulu, saya takut anak kita jadi keturunan yang ga bener bang” sambil menangis….Tuan Rosyad : “ Zaenab, ngomong sekali lagi gue tabok berdarah, abang banyak temen dimana-mana, bangsat!” jawab suami marah-marah sembari merokok. Zaenab (manangis makin jadi): “guwe nyesel kawin ama lu bang”.Suami (Tuan saudagar Rosyad) : “udah diem!!”
lalu ambil kunci mobil dan pergi ngelayap .--- Ditengah jalan dekat situ babakan ada tukang ke serabi, namanya Mpok Minah ---Mpok Minah :
“Tuan saudagar Rosyad mau kemana? Penglarisin serabi saya donk”Tuan Rosyad : “serabinya berapa duit Minah?”Mpok Minah : “ah murah, telentang seribu, tengkurap dua ribu”. Tuan Rosyad mabuk-mabukan pulang kerumah teler … (Transkrip Hakim Siti Zulfah, Ustad Miftah, 2017)
Sahibul hikayat sebagai penutur cerita memasukan berbagai inprovisasi dalam cerita dengan arif sesuai apa yang dipahami oleh masyarakat, tujuannya agar cerita yang dibawakan dapat diterima oleh pendengar sahibul hikayat malam itu, misalnya isi cerita yang menceritakan tokoh cerita Tuan Rosyad yang kikir, ditambahkan oleh penutur Uangnya banyak bukan dikasih ke Lebaran Betawi, tujuannya agar pencerita dapat lebih dekat dengan konteks. Termasuk dengan menyebut kekayaaan Tuan Rosyad dengan konteks yang lebih dikenal oleh penonton. Termasuk mengaitkan dengan unsur agama Islam bagimana Tuan Rosyad yang kaya raya tapi tidak menggunakan uangnya di jalan Allah, termasuk digambarkan oleh penutur dengan menyebut perbuatan maksyiat, berpoyapoyah, melupakan anak dan istri dan akhirnya jatuh miskin dan tidak berdaya.
Selanjutnya diceritakan bahwa istri dan anak Tuan Rosyad yang dulu disi-siakan akhirnya
menjadi besar dan menajdi seorang hakim dan pada akhirnya mengadili ayahnya yang jatuh miskin dan diadili oleh anaknya sendiri karena mencuri. Unsur dakwah diangkat dalam sahibul hikayat yang dibawakan, ada ganjaran bagi orang jahat dalam pesan yang umumnya disampaikan dalam cerita sahibul hikayat termasuk cerita Hakim Siti Zulfah.
Pencerita menggunakan perumpamaan-perumpamaan pada sebuah tindakan yang menyimpang dari jalan agama, yaitu nilai agama Islam. Hal itu diingat oleh pencerita dengan cara menambahkan di sani-sini perumpamaan dengan cara memberi contoh penyimpangannya. Pencerita sebagai tukang sahibul hikayat tidak hanya berusaha mengingat jalan cerita Hakim Siti Zulfah, tetapi mengingat perbuatan-perbuatan maksyiat yang biasa dilakukan oleh orang kaya yang kikir ketika sedang mengalami kejayaan.
Ingatan pencerita itu tentu saja tidak hadir begitu saja dalam mengolah cerita tapi ingatan itu sudah hadir dalam kehidupan sehari-hari pencerita dengan kebudayaan yang membesarkan pencerita.
Menurut Koster (2008:39) bahwa tindakan mengingat dari seorang pencerita, seperti sahibul hikayat Ustad Miftah (50 tahun) adalah adalah cara pencerita mendapatkan bahan-bahan yang tersedia dan yang sah untuk dituturkan, yaitu untuk menghubungkannya dengan suara tradisi. Termasuk bagaimana agar pencerita terhindar dari kepakuman dia bertindak seabagai sahibul hikayat dengan melakukan ingatan pada perbuatan-perbuatan yang hitam putih agar cerita yang dibawakan lebih hidup dalam suasana yang ―geer‖
untuk menghadirkan interaksi dengan penonton atau pendengar.
Pada Teks cerita Hakim Siti Zulfah tidak hanya terbatas pada lakon atau jalan cerita Hakim Siti Zulfah, tetapi menurut Koster (2008:40) bahwa teks dalam sahibul Hikayat melingkupi unsur-unsur seperti bunyi suara pencerita, gerak-geriknya, atau alat media, seperti mikrofon yang digunakan, termasuk baca-bacaan mantra atau doa yang dibaca ketika akan memulai membawakan ceritanya. Hal yang selalu menajubkan dari teks lisan yang dituturkan oleh pencerita adalah bagaimana tukang cerita atau sahibul hikayat mampu mebina teks yang dihasilkan olehnya tanpa wujud tulisan apa pun yang boleh digunakan sebagai dasar proses penciptaan atau sutradara yang memberi bimbingan.
Untuk bisa mengerti mengapa pencerita dapat melakukan tersebut, maka kita harus kembali pada konsep mengingat seperti apa yang dikemukakan oleh Lord (1960) tentang bagaimana seorang Guslar menciptakan puisi-puisi epik yang panjang, bahwa cerita-cerita yang panjang dari penciptaan pencipta bukan hadir dari hafalan tetapi merupakan hasil suatu proses yang disebut composition in performance, yaitu penggubahan kata-kata cerita berimprovisasi pada waktu disampaikan.
Penonton atau pendengar dapat dikatakan juga sebagai pencipta atau pembetuk pertunjukan. Bahwa penonton tidak pasif, karena latar belakang, penafsiran dan pewarnaan penonton akan sedikit banyak menentukan panjang pendeknya cerita sahibul hikayat dibawakan. Bahwa peran penonton dalam pertunjukan sahibul hikayat harus diperhatikan keberadaannya. Sebagai pencipta cerita yang dipertunjukkan bukan saja diciptakan oleh pencerita tetapi penonton juga memiliki andil dalam menciptakan pertunjukan sahibul hikayat apakah akan menarik atau tidak cerita dibawakan oleh pencerita, maka harus diciptakan interaksi itu. Jika dilihat dari bentuk pertunjukan tradisi lisan sahibul hikayat keunggulannya terletak pada komunikasi yang terjadi antara pencerita, teks dan penonton harus dilakukan. Bahwa konsep mengingat dalam sebuah pertunjukan harus menjadi amunisi pencerita untuk tidak hanya mengingat lakon cerita tetapi harus mengingat konteks cerita termasuk apa yang diingat oleh penonton dan ada hubungannnya dengan ingatan pada teks cerita.
Jadi revitalisasi pertunjukan sahibul hikayat tidak saja mengupayakan adanya peran masyarakat melalui BAMUS Betawi tetapi dalam hal ini bantuan pemerintah juga diharapkan dalam upaya menghadirkan kembali kesenian sahibul hikayat juga dibutuhkan peran apresiasi pencerita, penonton dan cerita untuk diolah sedemikian rupa sehingga cerita hadir sebagai sebuah pertunjukan yang masih dirindukan dan dipelajari bentuknya masyarakat Betawi.
Sahibul hikayat di Betawi sejak awal juga selalu membawakan cerita-cerita dari Timur Tengah. Bagi masyarakat Betawi wilayah tengah yang sering menyajikan pertunjukan sahibul hikayat. Budaya Arab sebagai budaya yang dominan sudah dimulai sejak awal, hal ini tampak dalam pergaulan identitas masyarakat Betawi tengah telah melakukan hubungan kultural yang sangat kuat dengan kebudayaan Arab misalnya melalui perkawinan. Penggambaran budaya Arab dengan Betawi ini juga tanpak dalam kehidupan masyarakat Betawi Tengah terutama yang hidup di wilayah Tanah Abang, Pekojan dan daerah sekitar Jakarta Pusat.
Tradisi hibriditas misalnya terlihat dalam pembawaan sahibul hikayat Ustad Miftah (50 tahun) layaknya seorang dai, Ustad Miftah membawakan cerita dengan lakon Hakim Siti Zufah dengan gaya seorang mubalik. Pencerita menuturkan bagaimana nilai agama Islam digunakan oleh Siti zaenab sebagai orang tua mendidik anaknya Siti Zulfah. Jika anak sejak dini diajarkan agama maka keselamatan akan didapat seperti dalam contoh hidup Hakim Siti Zulfah. Namun apabila anak sejak kecil tidak diberi pendidikan agama akan mendapat kesengsaraan, seperti yang dialami oleh tokoh Tuan Rosyad hal ini dapat
dilihat pada pesan sahibul hikayat yang di bawakan dalam perayaan Lebaran Betawi malam itu di Setu Babakan. Kebudayaan yang saling mempengaruhi dalam interaksi hidup masyarakat Betawi dan arab tanpak dalam lakon sahibul hikayat. Masyarakat betawi yang mayoritas beragama Islam tentu dapat menjadi kekuatan identitas bagi masyarakat Betawi sebagai masyarakat kuat dalam meyakini agama Islam.
Pertunjukan sahibul hikayat sebagai pertunjukan yang hybrid tidak saja untuk menunjukkan bahwa pertunjukan sahibul hikayat adalah pertunjukan yang lentur
―fleksible‖, hal ini juga dapat ditunjukan dengan kebudayaan Betawi yang egaliter, terbuka bahwa masyarakat Betawi adalah masyaraat yang terbuka pada semua pendatang yang masuk dan datang ke DKI Jakarta. Sahibul hikayat dapat menjadi penanda identitas, seperti apa yang dikemukakan Barker bahwa Identitas kultural dibentuk oleh diskursus budaya melalui sejarah yang terkait dengan permainan kekuasaan melalui transformasi dan pembedaan (difference).
Identitas Betawi diawali dengan terbentuknya kota Jakarta yang bernama Batavia oleh Jan Pieterzoon, Ia merebut Jayakarta yang pada saat itu dipimpin oleh seorang bupati yang bernama Pangeran Jayawikarta dari Kerajaan Banten. Pasukan Belanda yang dipimpin Jan Pieterzoon Coen berhasil merebut Jayakarta dan mengubah namanya dari Jayakarta menjadi Batavia. Jayakarta dihancurkan dan diubah menjadi Batavia. Pada saat itu hampir semua pendudukanya meninggalkan wilayah itu dan mereka mengungsi ke Banten atau ke kaki Gunung Salak dan Gunung Gede. Setelah kejadian itu Batavia dihuni oleh pendatang, maka kota ini pun disebut sebagai city of migrants. Pendatang yang menghuni Batavia ketika itu terdiri atas, (1) budak belian, (2) para pedagang Cina dan Moor, serta chetti (pedagang Arab dan India), (3) kelompok etnik dari luar Jawa, dan (4) orang Jawa. Berdasarkan informasi Raffles pada tahun 1815 sebagian penduduk Batavia itu adalah budak yang berasal dari Bali dan Sulawesi Selatan.
Berdasarkan data itu, jelas menunjukkan bahwa suku Betawi terbentuk dari berbagai suku dan etnis Nusantara yang mayoritas berasal dari Indonesia Timur. Di pihak lain, kebudayaan yang turut membentuk suku baru itu, yaitu Islam dan bahasa Melayu yang berasal dari Indonesia Barat. Jadi, dapat dimungkinkan bahwa terbentuknya suku Betawi di Batavia saat itu melalui proses peleburan atau melting pot. Sebagai masyarakat yang hadir dari proses peleburan tentu muncul rasa senasib sepenanggungan dari masyarakat yang tertekan dan diekploitasi oleh oleh kolonialisme dan tuan tanah.
Penanda identitas melalui sahibul hikayat dapat terlihat dari hubungan dengan sang pencipta, bahwa orang Betawi tidak bisa dipisahkan dari keyakinan mereka yang kuat meyakini agama, terutama agama Islam. Wlayah masyarakat Betawi Tengah yang
tinggal di Jakarta Pusat, seperti Tanah Abang, Pekojan dan daerah sekitarnya yang kuat dengan penanda Islamnya. Penanda identitas ini juga tergambar dalam cerita sahibul hikayat lakon Hakim Siti Zulfah, bahwa pesan dari cerita yang ingin disampaikan kalau ingin selamat dunia akhirat maka harus belajar agama sejak kecil. Hubungan dengan sang pencipta sebagai identitas orang Betawi, hal ini sesuai dengan filosofi hidup orang Betawi adalah ―masih kecil belajar ngaji, remaja belajar silat, (bela diri) dan sudah tua naik haji‖.
Keyakinan inilah juga dapat menjadi nilai kearifan lolal masyarakat Betawi bahwa bagaimana seseorang dapat mencapai kesempurnaan itu haruslah dengan ikhtiar dan kerja keras yang tinggi agar selamat dunia kahirat.
Penanda lainnya dalam lakon Hakim siti Zulfah juga terlihat pada hubungan sesama manusia, misalnya saja kejujuran dalam cara berinteraksi. Ibu Hakim Siti Zulfah mau mengakui suaminya meskipun sudah menenlatarkan dia dan ibunya beberapa tahun ketika ia sedang mengandung anaknya. Fakta bahwa Tuan Rosyad yang kini hidup miskin dan akan menjadi narapidana tetap diakui sebagai suami dan diperkenalkan kepada anaknya Hakim Siti Zulfah. Orang betawi lebih suka berterus terang, tidak ada yang disembunyikan, meski sakit sekali pun akibatnya.
Penanda identitas lain yang berhubungan sesama manusia juga diperlihatkan dalam cara bertoleransi. Gambaran ini terlihat dalam cerita sahibul hikayat Hakim Siti Zulfah bagaimana kakek tua yang menemukan Siti Zaenab sedang membutuhkan pertolongan ketika diusir oleh suaminya dari rumah besarnya lalu ditolong dan dibantu untuk bisa melanjutkan hidupnya bersama anaknya yang masih dikandung. Orang Betawi yang selalu terbuka terhadap orang lain juga tergambar dalam siatuasi Jakarta yang begitu terbuka menerima para urbanisasi yang memenuhi kota Jakartai sampai mereka sendiri tergusur ke pinggir kota Jakarta. Jika kita pantau sekarang wilayah Jakarta Pusat yang dulu dihuni oleh orang-orang Betawi kini perlahan tapi pasti tidak lagi menempati wilayah tanah mereka. Gambaran inilah yang dapat menunjukkan betapa Orang Betawi adalah orang mau bertoleransi antarsesama atau mau menjual tanahnya atas nama pembangunan.
Penanda lain adalah masyarakat Betawi adalah masyarakat yang egaliter, hal ini tampak benar dalam cerita sahibul hikayat bahwa pencerita begitu dekat dengan penonton tidak ada perbedaaan antara penonton yang hadir. Semua bebas tertawa, bebas ―nyeletuk‖.
Termasuk yang menonton acara sahibul hikayat adalah masyarakat yang datang dari berbagai lokasi dan tempat dari 5 wilayah di DKI Jakarata. Ketika mereka tahu ada perayaan Lebaran Betawi mereka semua tumpah dalam acara yang dapat diikuti oleh semua kalangan. Gambaran ini juga menunjukan bahwa orang Betawi yang egaliter karena
mereka tidak membedakan ras, suku, agama maupun golongan. Nonton sahibul hikayat secara gratis bersama juga menjadi simbol kebersamaan keterikatan menggambarkan suka dan duka akan dihadapi bersama. Penanda lain yang tak kalah pentingnya bagi masyarakat Betawi adalah sifat humoris. Orang Betawi mudah bercanda dengan siapapun. Hal ini juga tergambar dalam pembawaan pencerita sahibul hikayat Ustad Miftah, improvisasi dari lakon cerita Hakim siti Zulfah dibuka dengan lelucon yang dibawakan dengan lucu.
Keahlian pencerita dalam sahibul hikayat adalah ketika si pencerita mampu mengocok perut penonton yang hadir dari berbagai istilah dan bunyi yang disampaikan dalam cerita.
Misalnya dengan menyebut perumpamaan ketika Tuan Rosyad pulang dari luar rumah diumpamakan oleh tukang cerita bunyi pintu orang kaya ―Kereeeeen Who‖ sedang pintu orang miskin dengan bunyi ―melaraaaat‖ perumpamaan seperti itu, tentu membuat penonton geer tertawa. Sikap humoris ini juga memang dimunculkan dalam setiap kesenian Betawi termasuk sahibul hikayat tujuannya agar terjadi interaksi yang baik antara pencerita dengan penonton.
D. Pertunjukan Lenong
Lenong adalah teater tradisional Betawi. Seni ini diiringi oleh seni musik tradisional gambang kromong disertai dengan alat musik seperti gambang, kromong, gong, drum, kempor, seruling, dan kecrekan, serta unsur alat musik Cina seperti tehyan, kongahyang, dan sukong. Memutar atau skenario Lenong umumnya mengandung pesan moral, yang membantu keserakahan, lemah dibenci dan perbuatan tercela. Bahasa yang digunakan dalam lenong adalah bahasa Melayu (atau sekarang bahasa Indonesia) dialek Betawi.
Foto Pertunjukan Lenong 2013 Dok. Pribadi
Sejarah lenong berkembang sejak akhir abad 19 atau awal abad 20. Seni teater mungkin merupakan adaptasi oleh masyarakat Betawi seni yang sama seperti ―komedi bangsawan‖ dan ―teater opera‖ yang sudah ada pada saat itu. Selain itu, Firman Muntaco,