PAPER
PENGARUH PENGOLAHAN TERHADAP NILAI GIZI
Oleh:
Christina Elvina Utarini (2003036004)
JURUSAN TEKNOLOGI HASIL PERTANIAN FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS MULAWARMAN
2023
PENDAHULUAN
Pengolahan pangan dilakukan dengan beberapa tujuan, yaitu (a) pengawetan, pengemasan & penyimpanan produk pangan (mis. pengalengan);
(b) untuk mengubah menjadi produk yang diinginkan (mis. pemanggangan);
dan (c) untuk mempersiapkan bahan pangan agar siap dihidangkan. Sejak dipanen semua bahan mentah merupakan komoditas yang mudah rusak melalui serangkaian reaksi biokimiawi baik tanaman maupun hewan (Mahendradatta et al., 2021). Kecepatan kerusakan sangat bervariasi, dapat terjadi secara cepat hingga relatif lambat. Adapun faktor utama kerusakan bahan pangan adalah kandungan air aktif secara biologis dalam jaringan. Bahan mentah dengan kandungan air aktif secara biologis yang tinggi dapat mengalami kerusakan dalam beberapa hari saja seperti sayur-sayuran dan daging-dagingan. Sementara itu, biji-bijian kering yang hanya mengandung air struktural dapat disimpan hingga satu tahun pada kondisi yang benar. (Koeswardhani, 2008).
Penanganan, penyimpanan dan pengawetan bahan pangan sering menyebabkan terjadinya perubahan nilai gizinya, yang sebagain besar tidak diinginkan. Zat gizi yang terkandung dalam bahan pangan akan rusak pada sebagian besar proses pengolahan karena sensistif terhadap pH, sinar, oksigen, dan panas atau kombinasi diantaranya. Zat gizi mikro terutama tembaga dan zat besi serta enzim kemungkinan sebagai katalis dalam proses tersebut.
Selain proses pengolahan yang tidak diinginkan karena banyak merusak zat- zat gizi yang terkandung dalam bahan pangan, proses pengolahan dapat bersifat menguntungkan terhadap beberapa komponen zat gizi yang terkandung dalam bahan pangan tersebut, yaitu perubahan kadar kandungan zat gizi, peningkatan daya cerna dan ketersediaan zat-zat gizi serta penurunan berbagai senyawa antinutrisi yang terkandung di dalamnya. Proses pemanasan bahan pangan dapat meningkatkan ketersediaan zat gizi yang
terkandung di dalamnya seperti pemanasan kacang-kacangan (kedelai) mentah dapat meningkatkan daya cerna dan ketersediaan protein yang terkandung di dalamnya. Selain itu, proses fermentasi kedelai dalam proses pembuatan tempe misalnya, juga dapat menyebabkan terjadinya denaturasi protein yang akan meningkatkan daya cerna protein tersebut. Selain yang terdapat dalam kentang dikenal sebagai senyawa neurotoksin yang akan aman apabila dikonsumsi dalam jumlah yang kecil. Senyawa ini akan banyak yang rusak setelah diolah. Avidin dalam telur merupakan senyawa yang dapat mengikat biotin, namun avidin akan rusak oleh adanya pemanasan dalam proses pengolahan.
Pada umumnya pemanasan akan meningkatkan daya cerna bahan pangan sehingga meningkatkan kegunaan zat gizi yang terkandung di dalamnya. Namun demikian, pemanasan yang berlebihan dapat menyebabkan penurunan nilai sensoris dan nilai gizi produk pangan olahan. Untuk itu, kunci utama dalam proses pengolahan bahan pangan adalah melakukan optimisasi proses pengolahan untuk menghasilkan produk olahan yang secara sensoris menarik dan tinggi nilai gizinya.
Dari penjelasan di atas dapat diketahui bahwa sangat banyak pengaruh berbagai pengolahan terhadap komponen zat gizi dalam bahan pangan, mulai dari saat penanganan, penyimpanan maupun pengawetan. Dalam paper ini akan dibahas pengaruh pengolahan terhadap nilai gizi bahan pangan sebagai berikut: (a) Pengaruh sampingan pengolahan pangan; (b) Reaksi yang dapat terjadi pada pangan yang dapat mempengaruhi mutu; dan (c) Pengaruh yang tidak dikendaki akibat perubahan fisik.
A. PENGARUH SAMPINGAN PENGOLAHAN PANGAN
1) Susut
Menurut FAO (Food and Agriculture Organization), susut pangan adalah penurunan kuantitas atau kualitas pangan akibat keputusan dan tindakan oleh pemasok pangan dalam rantai pasok, tidak termasuk ritel, penyedia jasa makanan, dan konsumen. Susut pangan tidak menjangkau sampai titik pasok dimana ada interaksi dengan konsumen akhir. Konsep susut pangan sering dikaitkan dengan kegiatan pasca panen pada kondisi kurangnya sistem atau kapasitas infrastruktur dan merupakan suatu ketidaksengajaan.
Adapun pengertian lain dari susut pangan adalah penurunan massa pangan yang dapat dimakan pada seluruh bagian rantai pasok yang secara khusus mengarah pada pangan yang dapat dimakan untuk konsumsi manusia. Susut pangan terjadi pada tahap produksi, pascapanen, dan pengolahan dalam rantai pasok pangan. Susut pangan yang terjadi pada akhir rantai pasok pangan disebut “limbah pangan”, yang terkait dengan perilaku pengecer dan konsumen.
Susut pangan merupakan bagian pangan yang dapat dimakan, oleh karena itu, tidak berlaku untuk bahan pangan yang tidak dapat dimakan seperti tulang dan sisik, yang umumnya tidak dikonsumsi. Jenis susut hasil pangan meliputi susut fisik (partikel kecil terbuang), susut mutu (terlarut/drip/leaching dan penguapan/volatil), susut akibat kekuatan pasar, susut nutrisi, dan susut finansial serta susut fungsional.
(1) Susut Fisik
Susut fisik merupakan nilai kerugian yang terjadi karena bagian pangan terbuang atau hilang yang disebabkan oleh rusak fisik, busuk, dimakan binatang, terbuang karena tidak laku, dicuri atau jatuh atau hasil tangkapan sampingan yang dibuang.
(2) Susut Mutu
Susut mutu adalah selisih antara nilai potensi pangan atau produk pangan jika tidak terjadi kerusakan (kualitas terbaik) dan nilai pangan yang sebenarnya setelah mengalami perubahan karena pembusukan (kualitas lebih rendah) dan dijual dengan harga murah.
(3) Susut akibat kekuatan pasar
Susut akibat kekuatan pasar merupakan perubahan harga pangan dikarenakan adanya perubahan permintaan dan penawaran, bukan disebabkan oleh kualitas. Susut terjadi akibat penurunan harga di bawah harga optimal, atau karena biaya pemasaran dan produksi lebih besar daripada pendapatan.
(4) Susut Nutrisi
Susut nutrisi adalah susut yang terjadi karena perubahan biokimia spesifik, sebagai akibat dari pembusukan atau pengolahan. Seringnya diabaikan dalam pengukuran, kecuali untuk keperluan tertentu.
(5) Susut Fungsional
Sifat fungsional merupakan susut yang disebabkan oleh perubahan sifat fungsional yang terjadi akibat reaksi biokimia, proses pembusukan atau penurunan kesegaran.
(6) Susut Finansial
Susut finansial adalah perubahan nilai atau harga pangan menjadi lebih rendah karena alasan tertentu. Sebagai contoh pangan dengan kualitas buruk yang dijual dengan harga yang lebih murah dapat menyebabkan kerugian finansial bagi penjual. Pada saat ini, sebagian besar perhatian terkait susut dan limbah hasil perikanan lebih menitikberatkan pada aspek nilai kuantitatif dan mutu, karena lebih mudah dalam menjelaskan dan
penentuannya dibandingkan aspek kualitatif, misalnya keamanan pangan.
Walaupun demikian pengukuran susut kuantitatif dan mutu bukan merupakan hal yang mudah. Penggabungan nilai dari susut fisik dan kualitas dapat memberikan nilai total susut finansial.
2) Kerusakan Fisik
Kerusakan fisik adalah kerusakan yang diakibatkan oleh insekta atau rodentia, kondisi lingkungan seperti pH, aw, suhu, sinar matahari, dll.
Misalnya terjadinya “case hardening” karena penyimpanan dalam gudang basah menyebabkan bahan seperti tepung kering dapat menyerap air sehingga terjadi pengerasan atau membatu (Susiswi, 2009). Dalam pendinginan terjadi kerusakan dingin (chilling injuries) atau kerusakan beku (freezing injuries) dan “freezer burn” pada bahan yang dibekukan.
Sel-sel tenunan pada suhu pembekuan akan menjadi kristal es dan menyerap air dari sel sekitarnya. Akibat dehidrasi ini, ikatan sulfihidril (–
SH) dari protein akan berubah menjadi ikatan disulfida (–S–S–), sehingga fungsi protein secara fisiologis hilang, fungsi enzim juga hilang, sehingga metabolisme berhenti dan sel rusak kemudian membusuk. Umumnya kerusakan fisik berupa perubahan struktur, density, warna, permeabilitas, perubahan titik didih, kelarutan, dan kristalisasi (Gunarto & Subiyanto, 2010).
3) Perubahan sifat fisika kimia dari sel membrane
Perubahan sifat fisika-kimia dari sel membran merupakan aspek krusial yang memengaruhi kualitas, tekstur, dan nilai gizi dari produk pangan.
Proses pengolahan pangan sering melibatkan interaksi yang kompleks antara bahan baku dan kondisi lingkungan, yang dapat mengakibatkan perubahan sifat fisika-kimia pada tingkat selular. Perubahan sifat fisika-kimia dari sel membran dapat terjadi pada berbagai tahapan pengolahan pangan, seperti pemanasan, pendinginan, fermentasi, atau pengeringan. Proses ini dapat memengaruhi permeabilitas membran sel, kestabilan struktural, dan interaksi antar komponen selular. Fenomena ini dapat berdampak pada tekstur, rasa, dan daya tahan produk akhir.
Memahami perubahan sifat fisika-kimia dari sel membran menjadi penting karena dapat memberikan wawasan yang mendalam tentang efisiensi proses dan kualitas produk akhir. Identifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi integritas sel membran, seperti suhu, waktu, atau kelembaban, dapat membantu perusahaan untuk mengoptimalkan metode pengolahan mereka. Perubahan sifat fisika-kimia dari sel membran dapat memiliki implikasi langsung pada kualitas dan nutrisi produk akhir. Kerusakan atau modifikasi pada membran sel dapat mempengaruhi kandungan nutrisi, tekstur, dan rasa produk. Oleh karena itu, pemahaman tentang mekanisme perubahan sifat fisika-kimia dari sel membran menjadi penting untuk memastikan bahwa produk akhir sesuai dengan standar kualitas dan nutrisi yang diinginkan.
4) Penurunan Kualitas Karena Reaksi Kimiawi
Proses pengolahan pangan, meskipun bertujuan untuk meningkatkan keamanan, daya tahan, dan kualitas produk, dapat memberikan dampak pada kualitas akhir melalui berbagai reaksi kimia yang terjadi. Reaksi kimiawi ini dapat melibatkan interaksi kompleks antara komponen-komponen bahan pangan, yang pada akhirnya dapat menyebabkan penurunan kualitas produk.
Penurunan kualitas karena reaksi kimiawi dapat terjadi pada berbagai tahapan pengolahan pangan, seperti pemanasan, pengeringan, fermentasi, atau pengawetan. Misalnya, reaksi oksidasi lipid dapat menyebabkan kerusakan lemak, menghasilkan senyawa-senyawa yang tidak diinginkan dan menyebabkan perubahan warna, rasa, dan aroma pada produk. Fenomena ini dapat mempengaruhi keberlanjutan, nilai gizi, dan citra produk. Memahami penurunan kualitas karena reaksi kimiawi menjadi penting karena dapat memberikan wawasan yang mendalam tentang efisiensi proses dan kualitas produk akhir. Identifikasi senyawa-senyawa yang dihasilkan oleh reaksi kimiawi, faktor-faktor yang mempengaruhi laju reaksi, dan cara untuk mengelola reaksi tersebut dapat membantu perusahaan untuk mengoptimalkan metode pengolahan mereka. Penurunan kualitas karena reaksi kimiawi dapat memiliki implikasi langsung pada keamanan dan keberlanjutan produk.
Beberapa senyawa hasil reaksi kimiawi dapat bersifat toksik atau menyebabkan perubahan sensori pada produk, yang dapat mengurangi daya tarik konsumen. Oleh karena itu, pemahaman tentang mekanisme reaksi kimiawi dan strategi untuk meminimalkan dampak negatifnya menjadi penting untuk memastikan keberlanjutan produk dan kepercayaan konsumen.
Bahaya kimia merupakan bahan kimia yang tidak boleh ada atau terkandung dalam jumlah berlebihan dalam suatu bahan pangan, karena dapat menyebabkan gangguan kesehatan bila dikonsumsi oleh konsumen.
Kontaminan kimia dapat masuk ke dalam pangan secara sengaja maupun
tidak sengaja dan dapat menimbulkan bahaya dalam jangka pendek ataupun panjang. Beberapa jenis kontaminan kimia adalah: (1) racun alami yang dapat ditemukan pada jamur, singkong, ikan buntal, dan pada jengkol; (2) kontaminan bahan kimia dari lingkungan: limbah industri, asap kendaraan bermotor, residu pestisida pada buah dan sayur, detergen, cat pada peralatan masak, dan logam berat; (3) penggunaan Bahan Tambahan Pangan yang melebihi dosis yang diperbolehkan pemerintah, seperti pengawet natrium benzoat; (4) penggunaan bahan kimia berbahaya yang dilarang diberikan pada pangan, seperti boraks, formalin, Rhodamin B, Metanil Yellow.
Penurunan kualitas atau kerusakan karena reaksi kimia terjadi pada komponen penyusunnya seperti kadar air, karbohidrat, protein, lemak, mineral, vitamin, pigmen dll. Kerusakan karena reaksi kimia meliputi: reaksi oksidasi, hidrolisis, reaksi enzimatis, dll.
B. REAKSI YANG DAPAT TERJADI PADA PANGAN YANG DAPAT MEMPENGARUHI MUTU
1) Reaksi pencoklatan enzimatis dan non enzimatis
Reaksi pencoklatan (browning) dapat dibedakan menjadi reaksi pencoklatan enzimatis dan reaksi pencoklatan non-enzimatis. Reaksi pencoklatan enzimatis adalah proses kimia yang terjadi pada sayuran dan buah-buahan oleh enzim polifenol oksidase yang menghasilkan pigmen warna coklat (melanin). Proses pencoklatan enzimatis memerlukan enzim polifenol oksidase dan oksigen untuk berhubungan dengan substrat tersebut. Enzim-enzim yang dikenal yaitu fenol oksidase, polifenol oksidase, fenolase/polifenolase, enzim-enzim ini bekerja secara spesifik untuk substrat tertentu. Reaksi ini dapat terjadi bila jaringan tanaman terpotong, terkupas, dan karena kerusakan secara mekanis. Reaksi ini banyak terjadi pada buah-buahan atau sayuran yang banyak mengandung substrat senyawa fenolik seperti catechin dan turunannya yaitu tirosin, asam kafeat, asam klorogenat, serta leukoantosianin (Zulfahnur et al., 2009).
Adapun, reaksi pencoklatan non enzimatis diklasifikasikan atas beberapa rekasi, yaitu reaksi Maillard, reaksi karamelisasi, reaksi oksidasi asam askorbat, reaksi enzim polifenol oksidase, dan pencoklatan akibat vitamin C (Miranti, 2020).
- Reaksi Maillard
Reaksi maillard adalah reaksi pencoklatan yang terjadi antara karbohidrat khususnya gula pereduksi dengan gugus amina primer. Hasil reaksi tersebut menghasilkan bahan berwarna coklat yang sering tidak dikehendaki atau bahkan menjadi indikasi penurunan mutu (Miranti, 2020).
- Reaksi hidrolisa lipida
Reaksi hidrolisa lipida adalah suatu reaksi pelepasan asam lemak bebas dan gliserol dari gliserin pada struktur lemak. Reaksi ini dapat mengakibatkan terjadinya kerusakan pada minyak dan lemak. Hal ini terjadi karena terdapatnya sejumlah air dalam minyak dan lemak sehingga mengakibatkan ketengikan hidrolisa yang menghasilkan flavour dan bau tengik. Reaksi ini dapat dipicu oleh aktivitas enzim lipase atau pemanasan yang dapat menyebabkan pemutusan ikatan ester serta pelepasan asam lemak bebas (Mamuaja, 2017).
- Reaksi oksidasi lipida
Ikatan rangkap asam lemak yang terikat struktur lemak/minyak mudah teroksidasi oleh oksigen. Reaksi oksidasi ini akan memicu pembentukan produk primer, sekunder dan tersier yang bersifat volatile sehingga menyebabkan lemak atau produk yang mengandung lemak menjadi berbau tengik dan tidak layak untuk dikonsumsi (Mamuaja, 2017).
Oksidasi lemak adalah salah satu reaksi kimia yang menyebabkan kerusakan lemak, terutama lemak yang mengandung asam lemak tidak jenuh. Reaksi oksidasi lemak dapat dipicu oleh adanyaoksigen, enzim peroksida, radiasi (cahaya), dan ion metal polivalen. Apabila lemak yang mengandung asam lemak tidak jenuh (R-H) teroksidasi oksigen dan dipicu oleh adanya panas maka ikatan rangkap yang terdapat pada asam lemak tidak jenuh akan terputus dan oksigen akan menjadi bagian dari molekul (Mamuaja, 2017).
Pada mulanya, atom karbon yang terdapat ikatan jenuhnya akan membentuk radikal bebas (R.) dengan membebaskan atom hidrogen.
Selanjutnya, radikal bebas yang reaktif ini akan mengikat oksigen untuk membentuk radikal peroksida (ROO.) Radikal peroksida juga bersifat reaktif dan segera akan mengambil hidrogen yang terikat pada karbon yang
memiliki ikatan rangkap dari asam lemak lainnya sehingga terbentuk radikal bebas baru (Mamuaja, 2017).
- Denaturasi protein
Denaturasi protein adalah suatu proses terpecahnya ikatan hydrogen, interaksi hidrofobik, ikatan garam dan terbukanya lipatan atau wiru molekul protein. Denaturasi protein dapat dilakukan dengan berbagai cara, antara lain dengan panas, pH, bahan kimia, mekanik, dan sebagainya.
Masing – masing cara mempunyai pengaruh yang berbeda terhadap denaturasi protein. Senyawa kimia seperti urea dan garam dapat memecah ikatan hidrogen yang menyebabkan denaturasi protein karena dapat memecah interaksi hidrofobik dan meningkatkan daya larut gugus hidrofobik dalam air. Deterjen atau sabun dapat menyebabkan denaturasi karena senyawa pada deterjen dapat membentuk jembatan antara gugus hidrofobik dengan hidrofilik sehingga terjadi denaturasi. Selain deterjen dan sabun, aseton dan alkohol juga dapat menyebabkan denaturasi. Enzim protease juga termasuk bahan kimia alami yang dapat menyebabkan denaturasi protein (La’lang, 2018).
- Reaksi croslinking protein
Reaksi crosslinking protein (modifikasi ikatan silang) merupakan salah satu metode yang dapat dilakukan untuk memodifikasi pati. Reaksi cross linking dikembangkan oleh Maxwell yang bertujuan untuk menghambat pengembangan pati agar viskositas pengembangan pati stabil.
Prinsip dari metode ini yaitu mengganti gugus OH- dengan gugus fungsi yang lain, seperti gugus eter, gugus ester, atau gugus fosfat.
Pati cross-linking diperoleh dengan cara perlakuan kimia yaitu dengan penambahan cross-linking agent dalam suspensi pati pada suhu tertentu dan pH yang sesuai agar dapat menyebabkan terbentuknya ikatan-ikatan baru antar molekul di dalam pati itu sendiri atau diantara molekul pati yang satu
dengan molekul pati yang lain sehingga didapatkan jaringan makro molekul yang kaku. Dengan sejumlah cross-linking agent, viskositas tertinggi dicapai pada temperatur pembentukan yang normal dan viskositas ini relatif stabil selama konversi pati (Yustiawan et al., 2019).
Keuntungan dari penggunaan metode cross-linking ini adalah dapat menghasilkan pati dengan swelling power yang kecil dimana hal ini akan memperkuat granula pati dan menjadikan pati lebih tahan terhadap medium asam dan panas sehingga tidak mudah pecah pada saat pemanasan. Selain itu, metode cross-linking dapat meningkatkan tekstur, viskositas, paste clarity, gel strength, dan adhesiveness pati. Di sisi lain, metode ini memiliki kekurangan yaitu menjadikan solubility, sediment volume, gel elasticity, dan freeze-thaw stability pati menurun (Idrus, 2019).
C. PENGARUH YANG TIDAK DIKENDAKI AKIBAT PERUBAHAN FISIK
Proses pengolahan makanan melibatkan berbagai teknik seperti pemanasan, pendinginan, pengeringan, dan fermentasi. Faktor-faktor ini dapat menyebabkan perubahan fisik yang tidak terduga dan dapat memengaruhi karakteristik organoleptik serta nilai gizi produk. Sebagai contoh, pemanasan tinggi dapat mengakibatkan karamelisasi atau perubahan warna pada produk, sementara teknik pengeringan yang tidak tepat dapat menyebabkan kehilangan nutrisi yang signifikan. Memahami pengaruh yang tidak dikendaki pada proses pengolahan makanan penting untuk menjaga kualitas dan karakteristik produk (Rahmawati, 2014).
Beberapa perubahan fisik dapat memiliki dampak langsung pada keamanan dan kesehatan pangan. Misalnya, perubahan warna yang tidak diinginkan dapat menandakan adanya reaksi kimia yang dapat membentuk senyawa beracun. Oleh karena itu, pemahaman terhadap pengaruh yang tidak dikendaki dalam proses pengolahan makanan perlu ditingkatkan untuk meminimalkan risiko terhadap konsumen. Meskipun pengaruh yang tidak dikendaki dapat menimbulkan tantangan, pemahaman mendalam tentang faktor-faktor yang menyebabkan perubahan ini juga memberikan peluang untuk inovasi. Pengembangan metode pengolahan yang lebih canggih, pemilihan bahan baku yang tepat, dan pemahaman yang lebih baik tentang interaksi antara bahan-bahan dapat membantu mengurangi dampak negatif ini (Rahmawati, 2014).
1) Pengaruh terhadap tekstur, tidak dikendaki
Proses pengolahan makanan dapat secara tidak sengaja mempengaruhi tekstur produk, memberikan dampak yang tidak diinginkan yang mungkin merubah pengalaman konsumsi. Perubahan ini dapat terjadi melalui berbagai metode pengolahan seperti pemanasan, pendinginan, dan teknik lainnya. Pemahaman mendalam tentang dampak yang tidak diinginkan terhadap tekstur makanan menjadi penting untuk menghasilkan produk yang memenuhi harapan konsumen.
Proses pengolahan makanan dapat mengubah sifat fisik dan mekanik bahan baku, yang pada gilirannya dapat memengaruhi tekstur produk akhir. Interaksi antara suhu, waktu, dan metode pengolahan memainkan peran kunci dalam membentuk struktur dan karakteristik tekstur makanan. Perubahan fisik dapat mengakibatkan variasi tekstur yang tidak diinginkan, termasuk kelembutan, kekenyalan, atau kekerasan. Pemanasan yang tidak tepat atau teknik pengolahan tertentu dapat mengakibatkan perubahan struktural pada bahan baku, memengaruhi sifat reologi dan tekstur produk. Karakteristik tekstur makanan memainkan peran penting dalam preferensi konsumen. Produk dengan tekstur yang tidak diinginkan dapat menurunkan daya tarik dan penerimaan konsumen (Sundari & Astuti Lamid, 2015).
- Kehilangan solubilitas
Kehilangan solubilitas pada makanan dapat terjadi sebagai hasil dari berbagai proses, termasuk pemanasan, pendinginan, pengeringan, dan penyimpanan.
Fenomena ini dapat mempengaruhi ketersediaan nutrisi, rasa, dan tekstur makanan. Pemahaman tentang bagaimana solubilitas berubah selama proses pengolahan sangat penting untuk memastikan kualitas produk makanan yang optimal. Kehilangan solubilitas dapat mempengaruhi kualitas sensori makanan.
Perubahan dalam tingkat solubilitas zat tertentu dapat menyebabkan perubahan dalam rasa, aroma, dan tekstur makanan (Smith et al., 2021).
- Kehilangan WHC
Kehilangan Water Holding Capacity (WHC) atau kapasitas menahan air dalam makanan merujuk pada kemampuan matriks makanan untuk menahan dan mempertahankan air selama proses pengolahan dan penyimpanan. Perubahan dalam WHC dapat memengaruhi sifat tekstur, kelembutan, dan rasa makanan.
Water Holding Capacity (WHC) adalah parameter penting dalam karakterisasi sifat
fisik makanan. Kemampuan makanan untuk menahan air memainkan peran kunci dalam memengaruhi tekstur, kekenyalan, dan kualitas sensori secara keseluruhan.
Perubahan dalam WHC dapat terjadi selama berbagai tahapan proses pengolahan makanan dan penyimpanan.Kehilangan WHC dapat menyebabkan kekeringan dan kekerasan pada makanan. Produk makanan yang kehilangan WHC dapat mengalami perubahan dalam struktur dan tekstur, yang pada gilirannya mempengaruhi pengalaman konsumen (Zhang et al., 2019).
- Kehilangan kenyal
Kehilangan kekenyalan pada makanan merujuk pada perubahan sifat kekenyalan atau elastisitas produk makanan yang dapat terjadi selama proses pengolahan, penyimpanan, atau penuaan. Kehilangan kekenyalan ini dapat memengaruhi karakteristik tekstur dan kualitas sensori makanan. Kekenyalan adalah salah satu aspek penting dalam sifat tekstur makanan yang mempengaruhi pengalaman konsumen. Kehilangan kekenyalan dapat terjadi sebagai akibat dari berbagai faktor, termasuk perubahan komposisi bahan, metode pengolahan, atau kondisi penyimpanan. Kehilangan kekenyalan dapat menyebabkan perubahan dalam sifat tekstur produk, seperti menjadi lebih rapuh atau kering. Produk makanan yang kehilangan kekenyalan mungkin tidak memberikan sensasi yang diinginkan dalam mulut dan dapat memengaruhi penerimaan konsumen. Beberapa faktor yang dapat menyebabkan kehilangan kekenyalan melibatkan perubahan dalam komposisi bahan, teknik pengolahan yang tidak tepat, atau kondisi penyimpanan yang kurang optimal (Wang dan Zhang, 2020).
- Pengempukan
Pengempukan pada makanan merujuk pada proses pencairan atau pelembutan jaringan makanan untuk meningkatkan tekstur, kelezatan, dan kecernaan. Proses ini dapat melibatkan beberapa metode, seperti perendaman, pemasakan, atau penggunaan enzim tertentu. Pengempukan makanan adalah langkah penting dalam persiapan makanan yang bertujuan untuk membuat bahan baku lebih mudah
dikonsumsi dan dicerna. Metode pengempukan dapat bervariasi tergantung pada jenis bahan baku dan tujuan akhir pengolahan. Pengempukan dapat dicapai melalui berbagai metode, termasuk perendaman dalam larutan asam atau enzim, pemasakan dengan suhu dan waktu tertentu, atau menggunakan peralatan mekanis.
Pengempukan dapat memengaruhi tekstur dan kandungan gizi makanan. Proses ini dapat merusak atau melemahkan struktur serat daging, sehingga memudahkan pencernaan dan penyerapan nutrisi (Utomo et al., 2020).
2) Flavour, pembentukan
Flavor, yang mencakup rasa dan aroma, adalah unsur kunci dalam pengalaman sensori konsumen terhadap produk pangan. Pembentukan flavor pada pengolahan pangan melibatkan serangkaian reaksi kimia kompleks yang mempengaruhi karakteristik sensori dan kualitas keseluruhan produk. Dalam konteks pengolahan pangan di Indonesia, pemahaman mendalam tentang mekanisme pembentukan flavor menjadi esensial untuk menghasilkan produk pangan yang memadukan kekayaan bahan pangan lokal dengan standar kualitas global. Reaksi Maillard terjadi ketika asam amino bereaksi dengan gula pada suhu tinggi, menghasilkan senyawa kompleks yang memberikan kontribusi pada aroma dan warna produk. Oksidasi lemak dapat menghasilkan senyawa volatil yang memberikan kontribusi pada aroma dan rasa, terutama pada produk berbasis lemak (Pratiwi, D., et al., 2020).
3) Warna, tidak dikendaki
Penjelasan tentang warna tidak diinginkan dalam konteks pengolahan pangan dapat melibatkan beberapa aspek, termasuk oksidasi pigmen alami, reaksi Maillard, dan pengaruh pH. Warna yang tidak diinginkan dapat mempengaruhi citra visual dan daya tarik produk, sehingga pemahaman terhadap faktor-faktor ini menjadi penting. Oksidasi pigmen alami, oksidasi pigmen alami, seperti karotenoid dalam buah dan sayuran, dapat menyebabkan perubahan warna yang tidak diinginkan, termasuk pemudaran
atau perubahan warna yang tidak sesuai dengan karakteristik asli bahan pangan (Kurniawati, E., et al. 2017).
4) Nilai Gizi
Pentingnya nilai gizi dalam produk pangan tidak hanya mencerminkan komitmen terhadap kesehatan konsumen tetapi juga merupakan parameter kualitas yang sangat relevan dalam proses pengolahan pangan. Nilai gizi suatu produk pangan sangat dipengaruhi oleh sejumlah faktor, termasuk pemilihan bahan baku, metode pengolahan, dan penggunaan aditif atau bahan tambahan lainnya. Nilai gizi dalam pengolahan pangan mencakup berbagai aspek, seperti kandungan nutrisi makro (karbohidrat, protein, lemak), mikro (vitamin, mineral), serat, dan senyawa bioaktif. Proses pengolahan pangan dapat mempengaruhi bioavailabilitas nutrisi, merusak nutrien, atau bahkan meningkatkan kandungan nutrisi tertentu. Misalnya, proses pemanasan dapat mempengaruhi kadar vitamin dalam sayuran atau daging.
Memahami nilai gizi dalam pengolahan pangan menjadi penting karena dapat memberikan wawasan tentang kontribusi produk terhadap kebutuhan nutrisi konsumen. Identifikasi faktor-faktor yang dapat mempengaruhi nilai gizi, seperti suhu pengolahan, jenis metode, atau lama penyimpanan, dapat membantu perusahaan untuk merancang produk pangan yang lebih seimbang secara gizi. Nilai gizi pada pengolahan pangan memiliki implikasi langsung pada kesehatan konsumen dan pilihan mereka dalam memilih produk. Produk pangan yang kaya nutrisi dan menyediakan berbagai komponen gizi dapat membantu memenuhi kebutuhan nutrisi harian dan mendukung gaya hidup sehat. Oleh karena itu, pemahaman tentang nilai gizi menjadi penting untuk mendukung perubahan positif dalam pola makan dan pilihan konsumen.
a. Protein
Pengolahan bahan pangan berprotein yang tidak dikontrol dengan baik dapatmenyebabkan terjadinya penurunan nilai gizinya. Secara umum pengolahan bahan pangan berprotein dapat dilakukan secara fiisik, kimia atau biologis. Secara fisik biasanya dilakukandengan penghancuran atau pemanasan, secara kimia dengan penggunaan pelarut organik, pengoksidasi, alkali, asam atau belerang dioksida; dan secara biologis dengan hidrolisa enzimatisatau fermentasi.
Diantara cara pengolahan tersebut, yang paling banyak dilakukan adalah proses pengolahan menggunakan pemanasan seperti sterilisasi, pemasakan dan pengeringan. Sementaraitu kita ketahui bahwa protein merupakan senyawa reaktif yang tersusun dari beberapa asamamino yang mempunyai gugus reaktif yang dapat berikatan dengan komponen lain, misalnya gula pereduksi, polifenol, lemak dan produk oksidasinya serta bahan tambahan kimia lainnyaseperti alkali, belerang dioksida atau hidrogen peroksida.
b. Karbohidrat
Ditinjau dari nilai gizinya, karbohidrat dalam bahan pangan dapat dikelompokkanmenjadi dua, yaitu: (1) karbohidrat yang dapat dicerna, yaitu monosakarida (glukosa, fruktosa,galaktosa dsb); disakarida (sukrosa, maltosa, laktosa) serta pati; dan (2) karbohidrat yang tidak dapat dicerna, seperti oligosakarida penyebab flatulensi (stakiosa, rafinosa dan verbaskosa) sertaserat pangan (dietary fiber) yang terdiri dari selulosa, pektin, hemiselulosa, gum dan lignin.
Pengaruh pemanggangan terhadap karbohidrat umumnya terkait dengan terjadinyahidrolisis. Sebagai contoh, pemanggangan akan menyebabkan gelatinisasi pati yang akanmeningkatkan nilai cernanya.
Sebaliknya, peranan karbohidrat sederhana dan kompleks dalamreaksi
Maillard dapat menurunkan ketersediaan karbohidrat dalam produk-produk hasil pemanggangan.
Proses ekstrusi HTST (high temperature, short time) diketahui dapat mempengaruhistruktur fisik granula pati metah, membuatnya kurang kristalin, lebih larut air dan mudahterhidrolisis oleh enzim. Proses tersebut dikenal dengan istilah pemasakan atau gelatinisasi.Karena kondisi kelembaban rendah pada ektruder, gelatinisasi secara tradisional yang melibatkan perobekan (swelling) dan hidrasi granula pati tidak terjadi.
c. Lemak
Pada umumnya setelah proses pengolahan bahan pangan, akan terjadi kerusakan lemak yang terkandung di dalamnya. Tingkat kerusakannya sangat bervariasi tergantung suhu yangdigunakan serta lamanya waktu proses Modul e-Learning ENBP, Departemen Ilmu & TeknologiPangan- Fateta-IPB 2007 Topik 8. Pengaruh Pengolahan terhadap Nilai Gizi Pangan 10 pengolahan. Makin tinggi suhu yang digunakan, maka kerusakan lemak akan semakin intens.Asam lemak esensial terisomerisasi ketika dipanaskan dalam larutan alkali dan sensitif terhadap sinar, suhu dan oksigen. Proses oksidasi lemak dapat menyebabkan inaktivasi fungsi biologisnyadan bahkan dapat bersifat toksik. Suatu penelitian telah membuktikan bahwa produk volatil hasiloksidasi asam lemak babi bersifat toksik terhadap tikus percobaan.
d. Vitamin
Stabilitas vitamin dibawah berbagai kondisi pengolahan relatif bervariasi. Vitamin Aakan stabil dalam kondisi ruang hampa udara, namun akan cepat rusak ketika dipanaskan denganadanya oksigen, terutama pada suhu yang tinggi. Vitamin tersebut akan rusak seluruhnya apabiladioksidasi dan didehidrogenasi. Vitamin ini juga akan lebih sensitif terhadap sinar ultra violetdibandingkan dengan sinar pada
panjang gelombang yang lain. Asam askorbat sedikit stabildalam larutan asam dan terdekomposisi oleh adanya cahaya.
e. Mineral
Pada umumnya garam-garam mineral tidak terpengaruh secara sigifikan dengan perlakuan kimia dan fisik selama pengolahan. Dengan adanya oksigen, beberapa mineralkemungkinan teroksidasi menjadi mineral bervalensi lebih tinggi, namun tidak mempengaruhinilai gizinya. Meskipun beberapa komponen pangan rusak dalam proses pemanggangan bahan pangan, proses tersebut tidak mempengaruhi kandungan mineral dalam bahan pangan.Sebaliknya, perlakuan panas akan sangat mempengaruhi absorpsi atau penggunaan beberapamineral, terutama melalui pemecahan ikatan, yang membuat mineral-mineral tersebut kurangdapat diabsorpsi meskipun dibutuhkan secara fisiologis. Fitat, fiber, protein dan mineral didugamerupakan komponen utama sebagai penyusun kompleks tersebut.
KESIMPULAN
Pengolahan pangan dilakukan dengan beberapa tujuan, yaitu (a) pengawetan, pengemasan & penyimpanan produk pangan (mis. pengalengan);
(b) untuk mengubah menjadi produk yang diinginkan (mis. pemanggangan);
dan (c) untuk mempersiapkan bahan pangan agar siap dihidangkan. Dalam paper ini akan dibahas pengaruh pengolahan terhadap nilai gizi bahan pangan sebagai berikut: (a) Pengaruh sampingan pengolahan pangan; (b) Reaksi yang dapat terjadi pada pangan yang dapat mempengaruhi mutu; dan (c) Pengaruh yang tidak dikendaki akibat perubahan fisik.
Cara pengolahan yang paling banyak dilakukan adalah menggunakan pemanasan sepertisterilisasi, pemasakan dan pengeringan. Sementara itu protein merupakan senyawa reaktif yang dapat berikatan dengan komponen lainnya, misal gula pereduksi, polifenol, lemak dan produk oksidasinya serta bahan tambahan kimia lainnya seperti alkali, belerang dioksida atau hidrogen peroksida. Perlakuan dengan alkali dapat menyebabkan terjadinya rasemisasi asam amino, perubahan bentuk L menjadi bentuk D. Selain itu juga dapat terjadi reaksi antara asam aminolisin dan alanin membentuk lisiolalanin.
Selain itu reaksi antara protein dengan gula pereduksiyang dikenal dengan reaksi Maillard, juga merupakan penyebab utama terjadinya kerusakan protein selama pengolahan dan penyimpanan. Rekasi-reaksi yang terjadi selama pengolahan bahan pangan pangan dapat menyebabkan menurunnya nilai gizi protein akibat terjadinya penurunan daya cerna protein dan ketersediaan atau availabilitas asam-asam amino esensial.
DAFTAR PUSTAKA
Gunarto, A., & Subiyanto. (2010). Penyusutan Bahan Pangan (Beras) Lepas Panen.
Idrus, E. A. (2019). Penatalaksanaan Keratokonus Progresif menggunakan Corneal Cross-linking. Ophthalmologica Indonesiana, 44(2), 54–59.
https://doi.org/10.35749/journal.v44i2.163
Koeswardhani, M. (2008). Teknologi Pengolahan Pangan (Vol. 1).
Kurniawati, E., et al. (2017). "Pengaruh Suhu dan Lama Penyimpanan terhadap Perubahan Warna pada Sari Buah Naga Merah (Hylocereus polyrhizus)." Jurnal Pangan dan Agroindustri, 5(2), 85-92.
La’lang, M. (2018). ANALISIS PROFIL PROTEIN DAGING KERBAU DENGAN VARIASI KONSENTRASI GARAM SERTA PENGASAPAN BERBASIS SDS.
http://repository.unimus.ac.id
Mahendradatta, M., Santoso, U., Giyatmi, Ardiansyah, & Kusnandar, F. (2021).
Inovasi Teknologi Pangan Menuju Indonesia Emas (Vol. 1).
Mamuaja, C. F. (2017). Lipida (Vol. 3).
Miranti. (2020). Pengaruh Suhu Dan Lama Pengeringan Terhadap Mutu Permen Jelly Buah Nangka. AGRILAND Jurnal Ilmu Pertanian, 8(1), 1–5.
https://jurnal.uisu.ac.id/index.php/agriland
Pratiwi, D., et al. (2020). "Pengaruh Oksidasi Lemak terhadap Pembentukan Senyawa Aroma pada Minyak Goreng Kelapa Sawit." Jurnal Teknologi Pangan dan Gizi, 19(2), 85-93.
Rahmawati, F. (2014). PENGAWETAN MAKANAN DAN PERMASALAHANNYA.
Smith, A., et al. (2021). "Perubahan Solubilitas Nutrisi Selama Proses Pengolahan Pangan." Journal of Food Science, 35(2), 189-205.
Sundari, D., & Astuti Lamid, dan. (2015). PENGARUH PROSES PEMASAKAN TERHADAP KOMPOSISI ZAT GIZI BAHAN PANGAN SUMBER PROTEIN. Media Litbangkes, 25(4), 235–242.
Susiswi. (2009). Kerusakan Pangan.
Utomo, R., et al. (2020). "Pengaruh Pengempukan terhadap Kandungan Gizi Tahu."
Jurnal Gizi dan Pangan, 8(1), 45-52.
Wang, X., & Zhang, M. (2020). "Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kehilangan Kekenyalan pada Produk Roti." Journal of Cereal Science, 15(2), 187-204.
Yustiawan, Y., Hastuti, H. P., & Yanti, S. (2019). PENGARUH MODIFIKASI CROSSLINK TERHADAP KARAKTERISTIK TEPUNG UBI JALAR SAAT
DIPANASKAN. Pro Food, 5(1), 420–429.
https://doi.org/10.29303/profood.v5i1.91
Zhang, L., et al. (2019). "Optimasi Komposisi Bahan dan Pengaruhnya Terhadap WHC dalam Produk Sosis." Food Science and Technology, 12(4), 287-302 Zulfahnur, Nurapriani, R. R., Tegar, T., & Askanovi, D. (2009). Mempelajari
Pengaruh Reaksi Pencoklatan Enzimatis Pada Buah dan Sayur. Teknologi Pangan, 1(1), 1–12.