• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pelajari dan analisis Pembangunan hukum

N/A
N/A
alfian Nusa merantau

Academic year: 2024

Membagikan "Pelajari dan analisis Pembangunan hukum"

Copied!
27
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pembangunan hukum merupakan upaya membentuk hukum baru guna memperbarui hukum positif. Memperbarui artinya menggantikan hukum-hukum lama dengan hukum yang baru. Pembangunan hukum dalam konteks ini semakna dengan pembaharuan hukum. Sedangkan hukum nasional adalah hukum yang dibangun didasarkan pada konstitusi dan Pancasila sebagai dasar negara atau hukum yang dibangun di atas cita rasa dan rekayasa bangsa Indonesia. Pembangunan sistem hukum nasional harus mencakup pembangunan substansi (materi) hukum, struktur atau lembaga hukum juga kultur hukum.1

Cakupan pembangunan hukum dapat melalui legislasi juga melalui fungsionalisasi hukum yang hidup di masyarakat (the living law).

Pembangunan hukum melalui legislasi adalah pembentukan peraturan perundang-undangan atau aturan hukum tertulis. Sedangkan pembangunan hukum melalui fungsionalisasi hukum yang hidup di masyarakat dapat melalui kepatuhan terhadap kebiasaan maupun yurisprudensi.2

Usaha pembangunan hukum di Indonesia harus sesuai dengan landasan dan sekaligus tujuan nasional yang ingin dicapai seperti disebutkan dalam UUD NRI 1945, yaitu melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Pembebanan tanggung jawab

1 S. Wignjosoebroto, Dari Hukum Kolonial ke Hukum Nasional: Dinamika Sosial-Politik dalam Perkembangan Hukum di Indonesia, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1995), hlm. 34.

2 Erfandi, “Implementasi Nilai-nilai Pancasila dalam Pembangunan Sistem Hukum Pidana di Indonesia”, Jurnal Ilmiah Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan, Vol. I (1).

(2)

untuk memajukan kesejahteraan umum harus berimplikasi terhadap produk hukum yang dibangun.

Sebagai implementasi, hukum nasional harus mengabdi kepada kepentingan nasional dan tercapainya kesejahteraan rakyat, keadilan dan ketertiban masyarakat. Hukum sebagai perwujudan nilai-nilai harus mengandung nilai-nilai yang dijunjung tinggi oleh masyarakat Indonesia.3 Konsep yang dianut oleh Indonesia adalah konsep hukum pembangunan, yaitu menempatkan hukum sebagai sarana pembangunan masyarakat yang menekankan fungsi hukum sebagai; pemelihara keamanan dan ketertiban, sarana pembangunan, dan sarana pendidikan masyarakat.

Pembangunan hukum nasional harus diarahkan untuk terwujudnya sistem hukum nasional yang mengabdi kepada kepentingan nasional yang materinya bersumber pada cara pandang dan keyakinan bangsa Indonesia. Demikian juga terhadap persoalan baru yang harus direspon oleh kebutuhan hukum yang dibutuhkan untuk mendukung tugas umum pemerintahan dan memajukan kepentingan nasional.

B. Tujuan Penelitian

Berdasarkan uraian latar belakang tersebut di atas, tujuan dalam penelitian agar keberadaan Pancasila sebagai sumber segala sumber hukum dan menerapkan Pancasila sebagai dasar dalam pembangunan hukum nasional.

3 W. Setiadi, “Pembangunan Hukum Dalam Rangka Peningkatan Supremasi Hukum”, Jurnal Rechtsvinding, Volume I (1).

(3)

BAB II

PANCASILA SUMBER HUKUM DI INDONESIA

Dasar negara yang dinamakan Pancasila oleh Soekarno tersebut secara aklamasi diterima oleh para anggota BPUPK waktu itu yang kemudian disempurnakan secara bersama-sama agar lebih sistematis.

Untuk itu, sebelum sidang pertama berakhir dibentuklah panitia kecil untuk merumuskan dasar negara berdasarkan pidato yang diucapkan Bung Karno pada 1 Juni 1945 serta berdasarkan pandangan-pandangan yang disampaikan oleh para anggota BPUPK dalam rangkaian Sidang Pertama. Panitia kecil tersebut beranggotakan delapan orang yang diketuai Soekarno. Di tengah rangkaian proses merumuskan dasar negara itu, rupanya Soekarno berinisiatif untuk membentuk panitia kecil lagi untuk mempercepat dirumuskannya dasar negara. Panitia kecil bentukan Soekarno beranggotakan sembilan orang yang kemudian dikenal dengan sebutan Panitia Sembilan. Panitia Sembilan menghasilkan rancangan Pembukaan yang kemudian dikenal dengan sebutan Piagam Jakarta.4

Walaupun Pancasila yang dikemukakan Soekarno tersebut sudah mendapat persetujuan mutlak oleh para founding fathers, bahkan kemudian dikaji secara sistematis oleh panitia khusus, akan tetapi secara konstitusionalitas rumusan Pancasila yang hingga saat ini dikenal ditetapkan baru pada 18 Agustus 1945 oleh PPKI. Menariknya, pada waktu ditetapkan, pad Alinea Keempat Pembukaan UUD 1945 mengalami perubahan pada rumusan sila pertama Pancasila yaitu dengan mencoret bagian kalimat “dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”.5 Dengan demikian, sila pertama menjadi Ketuhanan Yang Maha Esa sebagaimana dalam rumusan kelima menurut pidato Soekarno. Di dalam perkembangannya, bangsa Indonesia

4 Mohammad Hatta dkk, Uraian Pancasila, (Jakarta: Mutiara, 1978), hlm. 76.

5 Mahfud MD, Demokrasi dan Konstitusi Di Indonesia, Cetakan Kedua, (Jakarta: Penerbit Rineka Cipta, 2003), hlm. 95.

(4)

menyadari begitu maha pentingnya Pancasila, oleh sebab itu kedudukan Pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara adalah sebagai dasar negara, sebagai falsafah bangsa dan negara Indonesia, sebagai ideologi negara dan sebagai rechtsidee atau cita hukum yang diejahwantahkan dalam keberadaan Pancasila sebagai sumber segala sumber hukum.

Sumber hukum pada hakikatnya adalah tempat kita dapat menemukan dan menggali hukumnya.6 Sumber hukum menurut Zevenbergen dapat dibagi menjadi sumber hukum materiil dan sumber hukum formil. Sumber hukum materiil merupakan tempat dari mana materi hukum itu diambil. Sumber hukum materiil ini merupakan faktor yang membantu pembentukan hukum misalnya: hubungan sosial, hubungan kekuatan politik, situasi sosial ekonomis, tradisi (pandangan keagamaan, kesusilaan), perkembangan internasional, keadaan geografis.

Sumber hukum formil merupakan tempat atau sumber dari mana suatu peraturan memperoleh kekuatan hukum. Ini berkaitan dengan bentuk atau cara yang menyebabkan peraturan itu formal berlaku.7

Apabila dikaitkan dengan dua jenis sumber hukum di atas, maka Pancasila termasuk sumber hukum yang bersifat materiil sedangkan yang bersifat formil seperti peraturan perundang-undangan, perjanjian antarnegara, yurisprudensi dan kebiasaan. Pancasila sebagai sumber hukum materiil ditentukan oleh muatan atau bobot materi yang terkandung dalam Pancasila. Setidaknya terdapat tiga kualitas materi Pancasila yaitu: pertama, muatan Pancasila merupakan muatan filosofis bangsa Indonesia. Kedua, muatan Pancasila sebagai identitas hukum nasional. Ketiga, Pancasila tidak menentukan perintah, larangan dan sanksi melainkan hanya menentukan asas-asas fundamental bagi

6 Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum, Edisi Revisi, (Yogyakarta: Cahaya Atma Pustaka, 2010), hlm. 107.

7 Ibid., hlm. 108.

(5)

pembentukan hukum (meta-juris).8 Ketiga kualitas materi inilah yang menentukan Pancasila sebagai sumber hukum materiil sebagaimana telah dijelaskan Sudikno Mertokusumo di atas.

Pancasila merupakan norma dasar yang menginduki segala macam norma dalam tatanan norma di Indonesia. Untuk memperjelas kedudukan norma dasar dalam tatanan hukum suatu negara, Kelsen juga menjelaskan pola hubungan antarnorma melalui teorinya stufenbau atau hirarkis norma. Kelsen menjelaskan hubungan antara norma yang mengatur pembentukan norma lain dengan dengan norma yang lain lagi dapat digambarkan sebagai hubungan antara “superordinasi” dan

“subordinasi” yang merupakan kiasan keruangan. Norma yang menentukan norma lain adalah norma yang lebih tinggi, sedangkan norma yang dibentuk menurut peraturan ini adalah norma yang lebih rendah.9

Menurut Roeslan Saleh, fungsi Pancasila sebagai sumber segala sumber hukum mangandung arti bahwa Pancasila berkedudukan sebagai:

1. Ideologi hukum Indonesia,

2. Kumpulan nilai-nilai yang harus berada di belakang keseluruhan hukum Indonesia,

3. Asas-asas yang harus diikuti sebagai petunjuk dalam mengadakan pilihan hukum di Indonesia,

4. Sebagai suatu pernyataan dari nilai kejiwaan dan keinginan bangsa Indonesia, juga dalam hukumnya.10

Keberadaan Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum kemudian kembali dipertegas dalam Ketetapan MPR No. III/MPR/2000 Tentang Sumber Hukum Dan Tata Urutan Peraturan Perundang- Undangan. Pasal 1 TAP MPR itu memuat tiga ayat:

8 Dani Pinasang, “Falsafah Pancasila Sebagai Norma Dasar (Grundnorm) dalam Rangka Pengembanan Sistem Hukum Nasional”, Jurnal Hukum UNSRAT, Vol. XX, No. 3, April- Juni, 2012, hlm. 8

9 Hans Kelsen, Teori Umum Tentang Hukum Dan Negara (diterjemahkan dari buku Hans Kelsen, Generaly Theory of Law and State;New York: Russel and Russel, 1971), Bandung: Nusa Media, 2014, hlm. 161.

10 Roeslan Saleh, Penjabaran Pancasila dan UUD 1945, (Jakarta: Aksara baru, 1979), hlm. 49.

(6)

1. Sumber hukum adalah sumber yang dijadikan bahan untuk penyusunan peraturan perundang-undangan

2. Sumber hukum terdiri dari sumber hukum tertulis dan hukum tidak tertulis

3. Sumber hukum dasar nasional adalah Pancasila sebagaimana tertulis dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia dan batang tubuh Undang-Undang Dasar 1945.

Pengaturan TAP MPR di atas lebih memperjelas maksud dari istilah sumber hukum dalam sistem hukum di Indonesia bahwa yang menjadi sumber hukum (tempat untuk menemukan dan menggali hukum) adalah sumber yang tertulis dan tidak tertulis. Selain itu, menjadikan Pancasila sebagai rujukan utama dari pembuatan segala macam peraturan perundang-undangan.

Menariknya, supremasi Pancasila dalam sistem hukum kembali ditemukan dalam UU No 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan PerundangUndangan. Pada Pasal 2 UU ini disebutkan “Pancasila merupakan sumber segala sumber hukum negara”. UU tersebut kemudian diganti dengan Undang-Undang Nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan sebagai penyempurnaan terhadap Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan yang mengatur tentang hal yang serupa.

Pada Pasal 2 UU ini tetap menegaskan hal yang sama sebagaimana dalam UU No. 10 Tahun 2004 bahwa Pancasila merupakan sumber segala sumber hukum negara. Dengan demikian, keberadaan Pancasila kembali menjadi supreme norm dalam sistem hukum negara Indonesia sehingga

(7)

Pancasila sebagai suatu pandangan hidup, kesadaran dan cita-cita hukum maupun cita-cita moral bangsa terlegitimasi secara yuridis.

Menjadikan Pancasila sebagai suatu aliran hukum dan mendudukan Pancasila sebagai puncak hirarki peraturan perundang-undangan sekiranya akan menguatkan keberadaan Pancasila sebagai sumber segala sumber hukum dalam tatanan hukum naional. Dengan demikian, wajah hukum yang bersifat pluralisme ataupun praktek berhukum yang kerap menjadikan Pancasila sebagai simbolis belaka tidak memiliki tempat lagi dalam sistem hukum nasional. Begitu pula, sikap resistensi terhadap Orba yang telah memanfaatkan status Pancasila sebagai sumber tertib hukum untuk kepentingan kekuasaan dan memperkuat pemerintahan otoriter;

tidak akan terus menghantui bangsa Indonesia.

(8)

BAB III

PEMBENTUKAN SISTEM HUKUM NASIONAL BERDASARKAN PANCASILA

A. Pembangunan Hukum Nasional

Pembangunan hukum nasional adalah membangun hukum nasional yang mencerminkan nilai-nilai, kenyataan-kenyataan, kebutuhan dan harapan rakyat Indonesia di masa kini maupun di masa yang akan datang.

Hal ini menunjukkan bahwa membangun hukum nasional tidak hanya berpijak pada kondisi lapangan (kenyataan) yang ada, melainkan harus memiliki pijakan prinsip yang kuat serta bayangan masa depan yang diharapkan. Nilai-nilai umumnya berkenaan dengan cara pandang masyarakat yang terbentuk dari proses kehidupan, seperti lingkungan, sejarah, budaya, termasuk agama. Sementara harapan menunjukkan keinginan yang hendak diselesaikan hari ini dan cita-cita yang diinginkan di masa yang akan datang. Dengan demikian, hukum nasional harus menyeimbangkan antara nilai, kenyataan, dan harapan. Hukum nasional tidak melupakan sejarah, bersifat aktual, sekaligus bersifat futuristik.

Hukum nasional yang akan mencerminkan hukum yang adil dan bermanfaat untuk mewujudkan sebesar-besarnya kemakmuran dan kesejahteraan bagi seluruh rakyat. Ini menunjukkan bahwa pembangunan hukum nasional harus menitiktekankan pada porsi yang adil sekaligus memberikan kemanfaatan yang sebesar-besarnya bagi seluruh rakyat.

Harus dihindari pembangunan hukum yang hanya memberikan kemanfaatan bagi kelompok tertentu. Pembaharuan atas sistem dan kaidah hukum (misalnya warisan masa kolonial penjajahan) yang menimbulkan perbedaan-perbedaan hukum bagi rakyat Indonesia.

Meskipun telah banyak dilakukan integrasi melalui peraturan perundang- undangan maupun praktik hukum (misalnya pengadilan), perbedaan- perbedaan itu acap kali menimbulkan conflict atau tension'ketika

(9)

diterapkan dalam suatu keadaan yang konkret. Misalnya, pilihan menggunakan asas dan kaidah Hukum Adat atau kaidah Hukum Barat, bahkan ketegangan dapat terjadi antara hukum nasional dengan Hukum Adat.

Tidak kalah penting sebagai tuntutan akibat kedudukan Indonesia sebagai "warga bangsa-bangsa" dan keterlibatan dalam pergaulan internasional, sehingga pembangunan hukum memperhatikan aspek hubungan antar bangsa, bahkan kemungkinan mengadopsi kadiah-kaidah hukum baru yang lahir dari hubungan antar negara. Pembangunan hukum nasional tersebut sejalan pula dengan fungsi hukum sebagai alat pembaharuan masyarakat.11 Melalui pendekatan law as a tool of social enginering dari Roscoe Pound,12 dengan penekanan pada pembentukan peraturan perundang-undangan sebagai dasar pembangunan hukum selain juga putusan hakim yang berkeadilan.

Secara konseptual, hukum nasional sebuah negara dapat dibentuk karena berbagai latar belakang. Ulasan berikut ini berupaya untuk memberikan gambaran bagaimana latar belakang kehidupan masyarakat memberikan pengaruh terhadap pembentukan hukum nasional.

Pertama, sebagai penunjang kesatuan politik. Terbentuknya

"common law" sebagai hukum yang berlaku dan diterapkan sama untuk seluruh Inggris adalah sebagai salah satu sarana penunjang penguatan kesatuan dan sentralisasi pemerintahan.13 Sebelum terbentuknya kesatuan dan sentralisasi pemerintahan, tanah Inggris terdiri dari berbagai

"pemerintahan lokal" yang menjalankan hukum kebiasaan setempat yang berbeda-beda satu sama lain. Meskipun ada "hakim keliling" (itinerary judges), yang datang dari pusat pemerintahan, tetapi mereka mengadili

11 Mochtar Kusumaatmadja, Konsep-Konsep Hukum dalam Pembangunan, (Bandung:

Alumni, 2006), hlm. 13-15.

12 Atip Latipulhayat, "Khazanah Roscoe Pound", Padjadjaran Jurnal Ilmu Hukum, Vol. 1, No. 2, 2014, hlm. 413-424.

13 S. F. C. Milsom, Historical Foundations of the Common Law, Butterworths, Toronto:

1981, hlm. 11-33.

(10)

menurut hukum setempat.14 Common Law adalah hasil inventarisasi berbagai kebiasaan lokal (dilakukan hakim keliling) untuk menemukan asas dan kaidah yang sama yang dijadikan hukum dan diberlakukan untuk seluruh wilayah kekuasaan Inggris (waktu itu), yang kemudian dikenal dengan sebutan "common law" (harap dibedakan antara common law dengan "common law legal system"). Dengan demikian common law merupakan suatu bentuk unifikasi hukum dalam susunan (bentuk) hukum tidak tertulis atau non kodifikasi. Selain contoh common law, hukum sebagai penunjang kesatuan politik juga dapat dilihat dari kodifikasi Perancis (dikenal sebagai kodifikasi Napoleon). Kodifikasi tidak semata- mata untuk membentuk kesatuan hukum (unifikasi) dan kepastian hukum atas hukum yang berbeda-beda (hukum kebiasaan, hukum kanonik, hukum Romawi), melainkan didorong oleh kebutuhan politik yaitu sebagai penguatan kesatuan atau sentralisasi kekuasaan (berpusat di Paris).15

Kedua, sebagai pengejawantahan suatu pandangan filosofis (filsafat) seperti liberalisme-individualisme, marxisme, sosialisme- demokratis, dan lain-lain. Ketiga, sistem hukum yang didasarkan pada ideologi seperti sistem hukum komunisme (sebagai pelaskanaan filsafat marxisme), nazi-isme, totaliterisme, dan lain-lain. Artinya, pembentukan hukum dilakukan dalam rangka menerapkan ideologi yang dianut oleh sebuah negara. Keempat, sebagai pengejawantahan sistem hukum didasarkan pada (ajaran) agama, seperti sistem kanonik, sistem hukum Islam, sistem hukum Hinduisme, sistem hukum Budhisme, sistem hukum Kong Hu Cu, dan lain-lain. Kelima, sebagai pengejawantahan sistem hukum yang semata-mata berkembang atas dasar tuntunan kultural, contohnya Hukum Adat yang berbeda sesuai tuntunan kultur dan struktur masyarakat (hukum adat partilineal, hukum adat matrilineal, hukum adat parental).

14 H. Patrick Gleen, Legal Traditions of the World: Sustainable Diversity In Law, Oxford University Press, Oxford: 2004), hlm. 242.

15 Tom Holmberg, “The Civil Code: an Overview,” The Napoleon Series, 2002, diakses pada tanggal 10 Desember 2023

(11)

B. Upaya Pembangunan Hukum Nasional Berdasarkan Pancasila Sistem hukum memerlukan perencanaan jangka panjang sebagai arah dan prioritas pembangunan secara menyeluruh yang perlu dilakukan secara bertahap untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur sebagaimana diamanatkan oleh UUDNRI Tahun 1945. Hal ini menjadi penting karena perubahan UUDNRI Tahun 1945 telah mengakibatkan terjadinya perubahan dalam pengelolaan pembangunan, yaitu dengan tidak dibuatnya lagi Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) sebagai pedoman penyusunan rencana pembangunan nasional.

Pada masa reformasi, khususnya dalam periode pemerintahan 2009-2014, strategi pembangunan hukum nasional secara yuridis mengacu pada Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional Tahun 2005-2025. Dalam BAB II huruf G Lampiran Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional Tahun 2005-2025 dijabarkan bahwa upaya perwujudan sistem hukum nasional dalam era reformasi terus dilanjutkan dengan meliputi pembangunan substansi hukum, penyempurnaan struktur hukum yang lebih efektif, dan peningkatan keterlibatan seluruh komponen masyarakat yang mempunyai kesadaran hukum tinggi untuk mendukung pembangunan sistem hukum nasional yang dicita-citakan.

Pembangunan substansi hukum, khususnya hukum tertulis, dilakukan melalui mekanisme pembentukan hukum nasional yang lebih baik sesuai dengan kebutuhan pembangunan dan aspirasi masyarakat, yaitu berdasarkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Dengan ditetapkannya undang-undang tersebut, proses pembentukan hukum dan peraturan perundang- undangan dapat diwujudkan dengan cara dan metode yang pasti, baku,

(12)

dan standar yang mengikat semua lembaga yang berwenang untuk membuat peraturan perundang-undangan serta meningkatkan koordinasi dan kelancaran proses pembentukan hukum dan peraturan perundang- undangan.

Secara struktural, amandemen UUD NRI Tahun 1945 juga telah membawa perubahan mendasar dalam sistem pemerintahan Republik Indonesia, misalnya di bidang kekuasaan kehakiman dengan dibentuknya Mahkamah Konstitusi yang mempunyai hak menguji Undang-Undang terhadap UUD NRI Tahun 1945 dan Komisi Yudisial yang berwenang melakukan pengawasan terhadap sikap tindak dan perilaku hakim. Saat ini Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 dan Undang- Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial juga diubah dengan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2011. Perubahan kedua UU tersebut dilakukan dengan pertimbangan antara lain untuk mengimbangi cepatnya dinamika kehidupan ketatanegaraan sehingga menyebabkan sebagian substansi dari kedua UU tersebut perlu disesuaikan dengan perkembangan kebutuhan hukum masyarakat dan kehidupan ketatanegaraan. Hal ini dilakukan untuk lebih menjamin penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yang merdeka guna menegakkan hukum dan keadilan sesuai dengan Pasal 24 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945, sehingga penyelenggaraan fungsi negara di bidang hukum dapat dilakukan secara lebih efektif dan efisien.

Arah pembangunan hukum masa depan harus mencakup lima aspek, sebagai berikut:

1. Pembangunan hukum berlandaskan pada Negara Kesatuan Republik Indonesia

Dalam hal pembangunan hukum di segala sektor senantiasa harus melandaskan diri pada semangat tekad jiwa nasionalisme para founding fathers bangsa yang lebih mengedepankan kesatuan dan

(13)

persatuan bangsa yang terbingkai dalam negara kesatuan republik Indonesia. Seluruh aspek sistem ketatanegaraan harus tetap dalam bingkai NKRI sehinga dapat memproteksi adanya disintegrasi dan separatisme yang berpotensi memecah belah keutuhan bangsa.

Apabila dikaji secara lebih mendalam, pembagunan hukum tidak dapat dilepaskan dari Pembukaan UUD NRI Tahun 1945 yang telah menjadi modus vivendi (kesepakatan luhur) bangsa Indonesia untuk hidup bersama dalam ikatan satu bangsa yang majemuk. Ia juga dapat disebut sebagai tanda kelahiran (certificate of birth) yang di dalamnya memuat pernyataan kemerdekaan (proklamasi) serta identitas diri dan pijakan melangkah untuk mencapai cita-cita bangsa dan tujuan nasional.

Dari sudut hukum, Pembukaan UUD NRI Tahun 1945 yang memuat Pancasila itu menjadi dasar falsafah negara yang melahirkan cita hukum (rechtsidee) dan dasar sistem hukum tersendiri sesuai dengan jiwa bangsa Indonesia sendiri. Pancasila sebagai dasar negara menjadi sumber dari segala sumber hukum yang memberi penuntun hukum serta mengatasi semua peraturan perundang-undangan. Dalam kedudukannya yang demikian, Pembukaan UUD NRI Tahun 1945 dan Pancasila yang dikandungnya menjadi staats fundamental norms atau pokok-pokok kaidah negara yang fundamental dan tidak dapat diubah dengan jalan hukum, kecuali perubahan mau dilakukan terhadap identitas Indonesia yang dilahirkan pada tahun 1945.

Dalam melakukan perumusan konsep penyelenggaraan negara Indonesia berdasarkan konsep negara hukum, sebelumnya perlu diketahui apakah tujuan penyelenggaraan negara Indonesia, atau apakah tujuan negara Indonesia. Hal ini penting karena konsep penyelenggaraan negara hukum harus selalu tertuju pada terwujudnya tujuan negara Indonesia. Tujuan negara Indonesia secara definitif

(14)

tertuang dalam alenia keempat Pembukaan UUD NRI Tahun 1945 yaitu:

a. Melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia;

b. Memajukan kesejahteraan umum;

c. Mencerdaskan kehidupan bangsa;

d. Ikut melaksanakan perdamaian dunia, berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.

Terwujudnya tujuan negara ini menjadi kewajiban negara Indonesia sebagai organisasi tertinggi bangsa Indonesia yang penyelenggaraannya harus didasarkan pada lima dasar negara (Pancasila). Dari sini dapat dipahami bahwa Pancasila merupakan pedoman utama kegiatan penyelenggaraan negara yang didasarkan atas prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, dan Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Dalam rangka terwujudnya tujuan negara Indonesia tersebut maka dalam setiap kebijakan negara yang diambil oleh para penyelenggara negara (termasuk di dalamnya upaya melakukan pembangunan sistem hukum nasional) dalam upaya penyelenggaraan negara hukum Pancasila harus sesuai dengan empat prinsip cita hukum (rechtsidee) Indonesia (Pancasila), yakni:

a. Menjaga integrasi bangsa dan negara baik secara ideologis maupun secara teritorial;

b. Mewujudkan kedaulatan rakyat (demokrasi) dan negara hukum (nomokrasi) sekaligus, sebagai satu kesatuan tidak terpisahkan;

c. Mewujudkan kesejahteraan umum dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia;

d. Menciptakan toleransi atas dasar kemanusiaan dan berkeadaban dalam hidup beragama.

(15)

Oleh karenanya dalam penyelenggaraan negara hukum, harus dibangun suatu sistem hukum nasional yang:16

a. Bertujuan untuk menjamin integrasi bangsa dan negara baik secara ideologis maupun secara teritorial;

b. Berdasarkan atas kesepakatan rakyat baik diputuskan melalui musyawarah mufakat maupun pemungutan suara, dan hasilnua dapat diuji konsistensinya secara yuridis dengan rechtsidee;

c. Bertujuan untuk mewujudkan kesejahteraan umum dan keadilan sosial;

d. Bertujuan untuk mewujudkan toleransi beragama yang berkeadaban, dalam arti tidak boleh mengistimewakan atau mendiskriminasikan kelompok-kelompok atau golongan-golongan tertentu.

Pembangunan hukum nasional tersebut, bersumber pada dua sumber hukum materiil, yakni sumber hukum materiil pra kemerdekaan dan sumber hukum materiil pasca kemerdekaan. Adapun yang termasuk sumber hukum materiil pra kemerdekaan terdiri dari (1) hukum adat asli, sebagai suatu living law yang telah hidup dan berkembang dalam masyarakat Indonesia; (2) hukum agama baik hukum Islam maupun hukum agama lainnya; (3) hukum Belanda; (4) hukum Jepang. Sedangkan sumber hukum materiil pasca kemerdekaan terdiri dari: (1) instrumen hukum internasional; (2) perkembangan hukum dalam civil law system; (3) perkembangan hukum dalam common law system. emerson gear

2. Pembangunan hukum berlandaskan pada Welfare State

Sebagaimana telah diamanatkan oleh Founding Fathers Negara Kesatuan Republik Indonesia yang tertuang dalam dasar konstitusi Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945.

Indonesia adalah negara kesejahteraan (Welfare State). Rumusan

16 Moh. Mahfud M.D., Membangun Politik Hukum Menegakkan Konstitusi, (Jakarta:

Pustaka LP3ES, 2006), hlm. 19.

(16)

konsep Negara Welfare State tersebut termaktub dalam Pembukaan (Preambule) UUD NRI Tahun 1945 alinea ke-empat yang berbunyi:

“Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu Pemerintahan Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan.

Tercapainya kemakmuran dan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia adalah salah satu cita-cita yang diinginkan oleh para pendiri negara Indonesia. Proses pembangunan yang hanya memberikan kesempatan bagi sebagian kecil kelompok masyarakat untuk menikmati hasil-hasil pembangunan dan meminggirkan kelompok masyarakat lainnya adalah pengingakaran terhadap cita-cita tadi. Para peneliti ekonomi kerakyatan berpandangan bahwa proses pembangunan ekonomi di Indonesia telah semakin menjauh dari cita- cita keadilan sosial, kemakmuran dan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia.

Ini terjadi karena kebijakan pembangunan yang tidak berpihak pada rakyat dan kecenderungan pada ekonomi pasar sehingga siapa yang kuat akan mampu mengakses sumber-sumber ekonomi produktif lebih banyak sedangkanrakyat lebih dianggap sebagai obyek pembangunan sehingga dibiasakan untuk bersikap pasif dan pasrah menerima keadaaan. Konsekuensinya, kemiskinan dan ketimpangan sosial muncul sebagai akibat dari proses pembangunan tadi.17

Michael Grimm, peneliti di International Institute of Social Studies di The Hague, dalam studinya tahun 2007 menemukan bahwa kesenjangan ekonomi di masyarakat Indonesia sangat besar dimana sekitar 20 persen penduduk memiliki perilaku ekonomi dan pendapatan yang sama dengan penduduk di negara-negara OECD[4],sedangkan 80 persen penduduk lainnya sangat jauh tertinggal. Kecenderungan

17 Nunung Nuryartono dan Hendri Saparini, “Kesenjangan Ekonomi Sosial dan Kemiskinan”, Ekonomi Konstitusi: Haluan Baru Kebangkitan Ekonomi Indonesia, eds.

Soegeng Sarjadi dan Iman Sugema, (Jakarta: Soegeng Sarjadi Syndicate, 2009), hlm.

283-284.

(17)

penguasaan asset ekonomi oleh kelompok 20% ini cenderung semakin meningkat: pada tahun 2002 mereka menguasai 45 persen sedang pada tahun 2006 sudah berada pada level 46,5 persen. Kondisi inilah yang menyumbang pada meningkatnya angka pendapatan per kapita penduduk Indonesia setelah krisis ekonomi yaitu $ 1.200/kapita pada tahun 2008.Kenyataan ini kemudian sering digunakan oleh pemerintah sebagai salah satu indikator keberhasilan pembangunan di Indonesia.

[5] Padahal banyak kelompok masyarakat yang tidak mampu untuk memenuhi kebutuh dasarnya seperti kesehatan, pendidikan, makanan pokok, dan perumahan.

3. Pembangunan hukum berlandaskan pada asas kemanusiaan

Dalam kekuasaan ada segitiga yang satu sama lain sukar dapat berjalan beriringan secara simetris yaitu politik, hukum dan kemanusiaan. Hubungan antara politik dan kemanusiaan bagi kucing dan tikus, Keduanya tidak mungkin dapat disandingkan. Politik kerap hanya menjadikan kemanusiaan sebagai propaganda untuk meraih kemenangan. Sekedar jargon, namun ketika maksud telah tercapai, kemanusiaan kemudian menjelma menjadi kosakata asing. Dalam masyarakat yang berdemokrasi, hukum seharusnya berada di atas politik, akan tetapi tidak jarang hukum diintervensi oleh politik demi langgengnya kekuasaan. Bahkan hukum diciptakan atau direkayasa untuk menjadi payung politik agar terlegitimasi. Hukum seharusnya ditegakkan sesuai aturan demi kemanusiaan, tetapi penerapan yang kaku dan positivistik justru menciptakan ketidakadilan.18

Kita mendapati kenyataan bahwa masih sering terjadi penegakan hukum tanpa menggunakan hati nurani. Pendekatan dalam penegakan hukum hanya berlandaskan pada legal-formalistik, hanya mengacu pada teks undang-undang. Sebagian penegak hukum merasa telah cukup puas apabila telah menegakkan hukum dengan cara melaksanakan teks undang-undang. Mereka tidak berupaya keras

18 Patrialis Akbar, Kekuasaan untuk Kemanusiaan, (Jakarta: IFI, 2010), hlm. 7.

(18)

untuk mencari dan menemukan keadilan dan kebenaran di dalam atau dibalik teks undang-undang tersebut. Akibatnya penerapan hukum di Indonesia kerap terkesan kejam dan masih jauh dari rasa keadilan sejati. Banyak aparat penegak hukum belum dapat memahami makna dari nilai-nilai keadilan di masyarakat. Sebagian aparat penegak hukum hanya menjadi “corong undang-undang”.

Aparat penegak hukum menerapkan hukum berdasarkan aturan formal KUHP dan KUHAP tanpa memperhatikan aspek-aspek sosial yang berkembang di tengah masyarakat. Tidak mengherankan apabila kita menjumpai anak-anak usia sekolah yang harus masuk ditahan atau bahkan divonis penjara hanya karena mencuri akibat lapar, karena mencuri hp, mencuri pulsa hp, atau berkelahi dengan temannya. Demikian pula terduga/tersangka pencuri peralatan dapur/rumah tangga yang murah harganya, tanaman dan buah- buahan dalam jumlah sedikit, harus diproses di Kepolisian, Kejaksaan dan diadili di pengadilan. Dan selama proses berlangsung, terduga/tersangka masuk tahanan yang sudah tentu sangat merugikan dan membuatnya menderita.

Keadilan Restoratif adalah sebuah konsep pemikiran yang merespon pengembangan sistem peradilan pidana dengan menitikberatkan pada pelibatan masyarakat dan korban dalam penyelesaian perkara pidana yang ada. Pelibatan ini terkait dengan tahapan-tahapan penegakan hukum pidana di tingkat penyidikan.

Sebenarnya dalam masyarakat Indonesia, konsep ini telah terbiasa dijalankan dimana kasus-kasus yang tergolong kecil/sepele yang dimusyawarahkan di bawah pengaruh dan wibawa kepala pemerintahan tingkat bawah (lurah atau ketua RT) atau kepala adat dan tokoh agama setempat. Dari musyawarah itu biasanya akan diambil putusan yang sama-sama mempertimbangkan kepentingan pelaku dan korban dengan memfokuskan pada tujuannya yakni

(19)

memulihkan atau mengembalikan ketenteraman dan kedamaian di masyarakat serta tidak terjadinya permusuhan dan dendam antara pelaku dan korban. Model keadilan semacam ini telah dicoba dipraktikkan dalam perkara pidana yang rnelibatkan anak sebagai pelakunya.

Sebagai salah satu pelaksanaan paham keadilan restoratif tersebut adalah saat ini pemerintah tengah menyiapkan rancangan undang- undang (RUU) tentang proses peradilan dan hukum menyangkut anak, penyandang cacat serta warga lanjut usia. RUU tersebut merupakan bagian integral dari perbaikan sistem hukum nasional yang tengah kita lakukan. Apabila naskah RUU tersebut telah siap akan dimasukkan ke dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas). Dalam RUU tersebut akan dirumuskan bagaimana hukuman bagi anak dalam kasus yang sama harus dibedakan. Jadi anak-anak, lanjut usia, orang cacat itu tidak bisa disamakan hukumannya.

Dengan demikian apabila ada orang yang melakukan kejahatan ringan seperti mencuri HP dan dan pemilik HP telah memaafkan maka pelaku tidak perlu diproses hukum, apalagi ditahan di rutan dan dihukum oleh hakim untuk dimasukkan penjara. Selain itu penyebab pelaku melakukan kejahatan menjadi faktor penting untuk menentukan proses selanjutnya. Apabila motifnya karena kelaparan, karena ingin memenuhi kebutuhan keluarga untuk makan sehari-hari dalam jumlah ala kadarnya, karena keterpaksaan karena mempertahankan kehormatan dan martabatnya tentu jauh berbeda proses hukumnya dibandingkan dengan pelaku perampokan besar-besaran atau korupsi milyaran rupiah.

Sebagaimana prespektif hukum progresif yang menempatkan hukum untuk manusia dimana pengangan, optik atau keyakinan dasar ini tidak melihat hukum sebagai sesuatu yang sentral dalam berhukum, melainkan manusialah yang berada di titik pusat perputaran hukum.

(20)

Hukum itu berputar di sekitar manusia sebagai manusia sebagai pusatnya. Hukum ada untuk manusia, bukan manusia untuk hukum.

Apabila kita berpegangan pada keyakinan, bahwa manusia itu adalah untuk hukum, maka manusia itu akan selalu diusahakan, mungkin juga dipaksakan, untuk bisa masuk ke dalam skema-skema yang telah dibuat oleh hukum.19

Dalam konteks penegakan hukum Indonesia, Bagir Manan menyatakan bahwa penegakan hukum indonesia bisa dikatakan

“communis opinio doctorum”, yang artinya bahwa penegakan hukum yang sekarang dianggap telah gagal dalam mencapai tujuan yang diisyaratkan oleh Undang-Undang.20 Oleh karena itu, diperkenankanlah sebuah alternatif penegakan hukum, yaitu Restorative Justice System, dimana pendekatan yang digunakan adalah pendekatan sosio-kultural dan bukan pendekatan normatif.

Restorative Justice (keadilan restoratif) atau dikenal dengan istlah

“reparative justice” adalah suatu pendekatan keadilan yang memfokuskan kepada kebutuhan dari pada para korban, pelaku kejahatan, dan juga melibatkan peran serta masyarakat, dan tidak semata-mata memenuhi ketentuan hukum atau semata-mata penjatuhan pidana. Dalam hal ini korban juga dilibatkan di dalam proses, sementara pelaku kejahatan juga didorong untuk mempertanggungjawabkan atas tindakannya, yaitu dengan memperbaiki kesalahan-kesalahan yang telah mereka perbuat dengan meminta maaf, mengembalikan uang telah dicuri, atau dengan melakukan pelayanan masyarakat.

Restorative justice merupakan pendekatan untuk memecahkan masalah, dalam berbagai bentuknya, melibatkan korban, pelaku, jaringan sosial mereka, badan-badan peradilan dan masyarakat.

19 Satjipto Rahardjo, Penegakan Hukum Progresif, (Jakarta: Kompas, 2010), hlm.61 20 Rudi Rizky (ed), Refleksi Dinamika Hukum (Rangkaian Pemikiran dalam Dekade Terakhir), (Jakarta: Perum Percetakan Negara Indonesia, 2008), hlm. 4.

(21)

Program keadilan restoratif didasarkan pada prinsip dasar bahwa perilaku kriminal tidak hanya melanggar hukum, tetapi juga melukai korban dan masyarakat. Setiap upaya untuk mengatasi konsekuensi dari perilaku kriminal harus, bila memungkinkan, melibatkan pelaku serta pihak-pihak yang terluka, selain menyediakan yang dibutuhkan bagi korban dan pelaku berupa bantuan dan dukungan.21

Konsep restorative justice pada dasarnya sederhana. Ukuran keadilan tidak lagi berdasarkan pembalasan setimpal dari korban kepada pelaku (baik secara fisik, psikis atau hukuman); namun perbuatan yang menyakitkan itu disembuhkan dengan memberikan dukungan kepada korban dan mensyaratkan pelaku untuk bertanggungjawab, dengan bantuan keluarga dan masyarakat bila diperlukan.

Dalam konteks Indonesia, restorative justice berarti penyelesaian secara adil yang melibatkan pelaku, korban, keluarga dan pihak lain yang terkait dalam suatu tindak pidana dan secara bersama mencari penyelesaian terhadap tindak pidana dan implikasinya dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula. Untuk mewujudkan keadilan bagi korban dan pelaku, adalah baik ketika para penegak hukum berpikir dan bertindak secara progresif yaitu tidak menerapkan peraturan secara tekstual tetapi perlu menerobos aturan (rule breaking) karena pada akhirnya hukum itu bukan teks demi tercapainya keadilan yang diidamkan oleh masyarakat.

Dalam UUD NRI Tahun 1945 terdapat 4 (empat) prinsip yang menjadi landasan penyelenggaraan bantuan hukum, yaitu: (1) Indonesia adalah negara hukum Pasal 1 ayat (3); (2) Setiap orang berhak memperoleh peradilan yang fair dan impartial; (3) Keadilan harus dapat diakses semua warga negara tanpa terkecuali (justice for all/accessible to all); (4) Perwujudan dari negara demokratis. Konstitusi

21 UNODC, Handbook on Restorative Justice Programmes. Criminal Justice Handbook Series, (Vienna: UN New York, 2006), hlm. 6.

(22)

menjamin hak setiap warga neraga mendapat perlakuan yang sama di muka hukum, Problem dasar yang muncul adalah tidak adanya perluasaan akses yang sama bagi setiap warganegara untuk mendapatkan perlakuan yang sama dimuka hukum, meskipun doktrinnya keadilan harus dapat diakses oleh semua warga negara tanpa terkecuali (justice for all/accessible to all).

Keadilan adalah hak semua warga negara dan masyarakat tanpa pandang bulu. Justice for all. Keadilan tidak cukup menjadi penjaga moral masyarakat, keadilan tidak sekadar panji-panji politis, keadilan tidak cukup sekadar “rasa keadilan masyarakat”, tetapi keadilan harus menjadi moral kehidupan yang melembaga dalam hukum. Hukum sendiri harus tegas mengatur bahwa kesetaraan hak-hak dan kewajiban-kewajiban masyarakat dikawal oleh Undang-undang, dan diatur dalam ketentuan-ketentuan rinci dengan sanksi-sanksi. Tidak boleh ada (lagi) perbedaan perlakuan atas dasar golongan, kedudukan politis, agama, etnis, warna kulit, atau strata masyarakat. Semua orang sama di depan hukum. Penegakkan hak azasi manusia dan supremasi hukum merupakan satu cara di mana keadilan bisa lebih terjamin. Keadilan tidak saja menyangkut kesetaraan didepan hukum, tetapi juga keadilan untuk memperoleh kesempatan pendidikan, pekerjaan dan informasi.

Dalam arah pembangunan hukum nasional yang berlandaskan konstitusi dan kemanusiaan, keadilan haruslah dapat diakses semua kalangan masyarakat termasuk juga kepastian dalam mendapatkan keadilan. Lamanya proses hukum di pengadilan terkadang membuat masyarakat semakin sulit meraih keadilan hakiki. Oleh karena itu perlu terobosan hukum agar peradilan tetap konsisten menerapkan asas peradilan cepat, sederhana, dan berbiaya ringan. Dengan cara demikian akan terhindarkan pula adanya proses peradilan yang berlarut-larut yang mengakibatkan berlarut-larutnya pula upaya

(23)

penegakan keadilan yang pada akhirnya justru dapat menimbulkan pengingkaran terhadap keadilan itu sendiri. Keadilan yang tertunda adalah keadilan yang tertolak (justice delayed justice denied). Dengan kata lain, rasa keadilan yang ditunda adalah sama halnya dengan menciptakan ketidakadilan.

4. Pembangunan hukum mencerminkan checks and balances

Sistem Presidensial yang dianut politik Indonesia telah membentuk sebuah konfigurasi lembaga negara yang saling mengontrol dan mengimbangi satu sama lain. Pelaksanaan checks and balances tersebut tidak hanya terjadi antara lembaga eksekutif dan legislatif saja tapi juga merata kepada lembaga negara lain seperti yudikatif dan auditatif sebagaimana diatur dalam konstitusi.[16] Konsep checks and balances memungkinkan suatu cabang kekuasaan negara tertentu untuk menjalankan fungsi dan cabang kekuasaan negara lainnya. Di Indonesia, konsepsi dan implementasi checks and balances diatur pada UUD NRI 1945. Secara definitif, UUD NRI 1945 menata sikluschecks and balances antar lembaga negara agar bisa saling mengawasi secara efektif.

Pemahaman sistem checks and balances dalam konteksi ini antara lain adalah bahwa antara lembaga negara harus saling kontrol dan saling mengimbangi. Dalam penyelenggaraan negara tidak lagi ada lembaga yang tertinggi dari lembaga negara yang lain. Semua lembaga negara mempunyai kedudukan yang sejajar. Semua lembaga negara dalam sistem ketatanegaraan di Indonesia melaksanakan tugas dan fungsinya sesuai dengan yang ditentukan secara proporsional oleh Undang-Undang Dasar yang dielaborasi lebih lanjut ke dalam berbagai macam undang-undang.

Mahkamah Konstitusi merupakan bagian kekuasaan kehakiman yang mempunyai peranan penting dalam usaha menegakkan dan

(24)

menjaga konstitusi sesuai tugas dan kewenangannya sebagaimana yang ditentukan dalam UUD NRI 1945 dan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan dengan Undang-Undang Nomor 8 tahun 2011. Pembentukan Mahkamah Konstitusi adalah sejalan dengan dianutnya paham konstitusional, prinsip negara hukum dan sistem checks and balances.

Dari keempat aspek tersebut, maka diharapkan dapat terwujud pembangunan hukum nasional yang:

1. Menjamin integrasi bangsa dan negara baik secara ideologis maupun secara teritorial;

2. Berdasarkan atas kesepakatan rakyat baik diputuskan melalui musyawarah mufakat maupun pemungutan suara, dan hasilnya dapat diuji konsistensinya secara yuridis dengan rechtsidee;

3. Dapat mewujudkan kesejahteraan umum dan keadilan sosial;

4. Dapat mewujudkan toleransi beragama yang berkeadaban, dalam arti tidak boleh mengistimewakan atau mendiskriminasikan kelompok- kelompok atau golongan-golongan tertentu. Selain itu, sesuai dengan Pasal 6 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, pembentukan hukum nasional perlu dilandasi asas pengayoman, kemanusiaan, kebangsaan, kekeluargaan, kenusantaraan, bhinneka tunggal ika, keadilan, kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan, ketertiban dan kepastian hukum, keseimbangan, keserasian, dan keselarasan. Asas- asas pembentukan peraturan perundang-undangan ini merupakan derivasi dari nilai-nilai luhur Pancasila sebagai cita hukum (rechtsidee).

Dengan demikian, Pancasila menjadi ruh dan spirit yang menjiwai pembangunan hukum nasional.

(25)

BAB III KESIMPULAN

Sebagai penutup dapat disampaikan beberapa hal penting yang senantiasa harus kita lakukan dalam rangka pembangunan hukum nasional berdasarkan Pancasila, harus dilaksanakan dengan itikad baik untuk membangun masyarakat yang berbudaya hukum. Hukum dan keadilan ibarat dua sisi mata uang. Masing-masing harus ada untuk saling melengkapi. Hukum tanpa keadilan adalah tirani, sedangkan keadilan tanpa hukum adalah kemustahilan. Hukum harus ditegakkan tanpa memandang status dan latar belakang. Hukum tidak boleh diwarnai keberpihakan terhadap kelompok tertentu. Satu-satunya pihak yang diperjuangkan oleh hukum adalah keadilan. dan mengedepankan prinsip perlindungan dan penegakan Hak Asasi Manusia.

(26)

DAFTAR PUSTAKA

S. Wignjosoebroto, Dari Hukum Kolonial ke Hukum Nasional: Dinamika Sosial-Politik dalam Perkembangan Hukum di Indonesia, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1995), hlm. 34.

Erfandi, “Implementasi Nilai-nilai Pancasila dalam Pembangunan Sistem Hukum Pidana di Indonesia”, Jurnal Ilmiah Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan, Vol. I (1).

W. Setiadi, “Pembangunan Hukum Dalam Rangka Peningkatan Supremasi Hukum”, Jurnal Rechtsvinding, Volume I (1).

Mohammad Hatta dkk, Uraian Pancasila, (Jakarta: Mutiara, 1978), hlm.

76.

Mahfud MD, Demokrasi dan Konstitusi Di Indonesia, Cetakan Kedua, (Jakarta: Penerbit Rineka Cipta, 2003), hlm. 95.

Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum, Edisi Revisi, (Yogyakarta:

Cahaya Atma Pustaka, 2010), hlm. 107.

Dani Pinasang, “Falsafah Pancasila Sebagai Norma Dasar (Grundnorm) dalam Rangka Pengembanan Sistem Hukum Nasional”, Jurnal Hukum UNSRAT, Vol. XX, No. 3, April-Juni, 2012, hlm. 8

Hans Kelsen, Teori Umum Tentang Hukum Dan Negara (diterjemahkan dari buku Hans Kelsen, Generaly Theory of Law and State;New York:

Russel and Russel, 1971), Bandung: Nusa Media, 2014, hlm. 161.

Roeslan Saleh, Penjabaran Pancasila dan UUD 1945, (Jakarta: Aksara baru, 1979), hlm. 49.

Mochtar Kusumaatmadja, Konsep-Konsep Hukum dalam Pembangunan, (Bandung: Alumni, 2006), hlm. 13-15.

Atip Latipulhayat, "Khazanah Roscoe Pound", Padjadjaran Jurnal Ilmu Hukum, Vol. 1, No. 2, 2014, hlm. 413-424.

S. F. C. Milsom, Historical Foundations of the Common Law, Butterworths, Toronto: 1981, hlm. 11-33.

(27)

H. Patrick Gleen, Legal Traditions of the World: Sustainable Diversity In Law, Oxford University Press, Oxford: 2004), hlm. 242.

Tom Holmberg, “The Civil Code: an Overview,” The Napoleon Series, 2002, diakses pada tanggal 10 Desember 2023

Moh. Mahfud M.D., Membangun Politik Hukum Menegakkan Konstitusi, (Jakarta: Pustaka LP3ES, 2006), hlm. 19.

Nunung Nuryartono dan Hendri Saparini, “Kesenjangan Ekonomi Sosial dan Kemiskinan”, Ekonomi Konstitusi: Haluan Baru Kebangkitan Ekonomi Indonesia, eds. Soegeng Sarjadi dan Iman Sugema, (Jakarta: Soegeng Sarjadi Syndicate, 2009), hlm. 283-284.

Patrialis Akbar, Kekuasaan untuk Kemanusiaan, (Jakarta: IFI, 2010), hlm.

7.

Satjipto Rahardjo, Penegakan Hukum Progresif, (Jakarta: Kompas, 2010), hlm.61

Rudi Rizky (ed), Refleksi Dinamika Hukum (Rangkaian Pemikiran dalam Dekade Terakhir), (Jakarta: Perum Percetakan Negara Indonesia, 2008), hlm. 4.

UNODC, Handbook on Restorative Justice Programmes. Criminal Justice Handbook Series, (Vienna: UN New York, 2006), hlm. 6.

Referensi

Dokumen terkait

Pancasila yang terdiri dari lima sila (Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan

Menurut pancasila, Negara adalah berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa atas dasar Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab. Konsepsi Ketuhanan Yang Maha Esa yang bisa

Lima sendi utama penyusun Pancasila adalah Ketuhanan Yang Maha Esa, kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, kerakyatan yang dipimpin

Lima sendi utama penyusun Pancasila adalah Ketuhanan Yang Maha Esa, kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan

Lima sendi utama penyusun Pancasila adalah Ketuhanan Yang Maha Esa, kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat

NILAI-NILAI INTI PANCASILA MEMBENTUK KONFIGURASI BUDAYA KETERPADUAN MENYELURUH Ketuhanan Yang Maha Esa Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab Persatuan Indonesia Kerakyatan yang

Peri Kesejahteraan Sosial Rumusan Tertulis Saafrudin Bahar, Eds, 1992 * Ketuhanan Yang Maha Esa * Kebangsaan Persatuan Indonesia * Rasa Kemanusiaan yang Adil dan Beradab *

Pancasila memiliki lima prinsip dasar, yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam