• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pelayanan Kebidanan dalam Perspektif Budaya Lokal

N/A
N/A
Rasna

Academic year: 2025

Membagikan " Pelayanan Kebidanan dalam Perspektif Budaya Lokal"

Copied!
21
0
0

Teks penuh

(1)

TUGAS MAKALAH

PELAYANAN KEBIDANAN DALAM PERSPEKTIF BUDAYA LOKAL MAMPU MEMAHAMI DAN MENJELASKAN KONSEP DASAR

BUDAYA SECARA UMUM Dosen Pengampu : Hasnawati, SST., M. Kes

Disusun Oleh : Kelompok 1

Ika Nurhaliza PO7124121005 Muliani A Matoka PO7124121011 Nurul Safitri Nandu

Rasna PO7124121019

PO7124121028 Dian Wulandari PO7124121036

Anisa PO7124121037

Isda Rahmi Patuju PO7124121038

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA POLITEKNIK KESEHATAN KEEMENKES PALU

PROGRAM STUDI DIII KEBIDANAN 2023/2024

(2)

TINJAUAN TEORI

A. PENGERTIAN BUDAYA

Kata “Budaya” berasal dari Bahasa Sansekerta “Buddhayah”, yakni bentuk jamak dari “Budhi” (akal). Jadi, budaya adalah segala hal yang bersangkutan dengan akal.

Selain itu kata budaya juga berarti “budi dan daya” atau daya dari budi. Jadi budaya adalah segala daya dari budi, yakni cipta, rasa dan karsa.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia budaya artinya pikiran, akal budi, hasil, adat istiadat atau sesuatu yang sudah menjadi kebiasaan yang sukar diubah.

Budaya adalah suatu cara hidup yang berkembang dan dimiliki bersama oleh sebuah kelompok orang dan diwariskan dari generasi ke generasi. Budaya terbentuk dari banyak unsur yang rumit, termasuk sistem agama dan politik, adat istiadat, bahasa, perkakas, pakaian, bangunan, dan karya seni. Bahasa, sebagaimana juga budaya, merupakan bagian tak terpisahkan dari diri manusia sehingga banyak orang cenderung menganggapnya diwariskan secara genetis. Ketika seseorang berusaha berkomunikasi dengan orang-orang yang berbeda budaya dan menyesuaikan perbedaan-perbedaannya, membuktikan bahwa budaya itu dipelajari.

Kata budaya/kultur (culture) dipandang penting karena kata ini membentuk dan merupakan bagian dari istilah Pendidikan Multikultural. Bagaimana kita mendefinisikan budaya akan menentukan arti dari istilah Pendidikan Multikultural. Tanpa kita mengetahui apa arti budaya/kultur, kita akan sangat sulit memahami implikasi Pendidikan Multikultur secara utuh. Misalnya, jika budaya didefinisikan sebagai warisan dan tradisi dari suatu kelompok sosial, maka Pendidikan Multikultural berarti mempelajari tentang berbagai (multi) warisan dan tradisi budaya. Namun jika budaya didefinsikan sebagai desain kelompok sosial untuk bertahan hidup dan beradaptasi dengan lingkungannya, maka satu tujuan pendidikan multikultural adalah untuk mempelajari tentang berbagai kelompok sosial dan desain yang berbeda untuk hidup dalam masyarakat yang pluralis (Bullivant, dalam Banks, 1993: 29). Nah sekarang kita lanjutkan dengan pembahasan mengenai budaya atau kebudayaan berikut ini.

Apa yang terlintas pada pikiran Anda bila istilah ”budaya”, ”kultur” atau

”kebudayaan” itu muncul. Mungkin di pikiran kita terlintas tentang tarian-tarian, adat istiadat suatu daerah, pakaian adat, rumah adat, lagu-lagu daerah atau ritual peninggalan masa lalu. Hal ini sangat mungkin berbeda dengan yang dipikirkan oleh orang Barat ketika mendengar kata yang sama. Di dunia Barat istilah budaya juga digunakan dalam pengertian yang populer, yaitu budaya tinggi (high culture) untuk menyebut bidang estetik (keindahan) seperti seni, drama, balet dan karya sastra dan budaya rendah (low cultur) untuk menyebut seni yang lebih populer seperti musik pop, dan media massa.

Namun ada beberapa ciri khas budaya yang dapat dijadikan petunjuk untuk memperoleh gambaran tentang definisi budaya.

(3)

Dalam istilah Inggris, ”budaya” adalah culture, yang berasal dari kata Latin colere yang berarti “mengolah, mengerjakan” terutama mengolah tanah atau bertani (Koentjaraningrat, 2000). Hal ini berarti bahwa budaya merupakan aktivitas manusia, bukan aktivitas makhluk yang lain dan menjadi ciri manusia. Dari sudut antropologi budaya, mengkategorian temuan artifak yang disebut ”Pithecanthropus Erectus”, ”Homo Soloensis” sebagai manusia atau bukan, didasarkan pada kemampuan artifak itu saat hidup dalam menciptakan benda budaya. Misalnya Pithecanthropus Erectus (manusia kera yang berdiri tegak) yang ditemukan di sungai Bengawan Solo, Sangiran, Solo oleh sebagian ahli sudah dipandang sebagai ”manusia” karena dipandang ada hubungan dengan diketemukannya kapak di dekat Pithecanthroupus Pekinensis yang memiliki ciri sama yang diketemukan di Solo dan dipandang satu jaman masa hidupnya.

Ibarat sebuah mobil yang dipandang dari berbagai sudut pandang (mesinnya, harganya, atau potongan bodinya), manusia dapat dilihat dari kedudukannya sebagai homo humanus, homo socius dan homo educandum.. Humanus berasal dari bahasa Latin yang berarti lebih halus, berbudaya dan manusiawi. Manusia akan selalu mencipta, menikmati dan merasakan hal-hal yang bisa membuat dia lebih halus, berbudaya dan manusiawi. Manusia menyukai musik, menari atau berperilaku sopan. Semua itu didorong oleh kodratnya sebagai manusia sebagai homo humanus. Koentjaraningrat menjelaskan peradaban (civilization) itu sebagai bagian dan merupakan bagian kebudayaan yang halus dan indah seperti kesenian, ilmu pengetahuan, sopan santun dan sistem pergaulan yang kompleks dalam suatu masyarakat dengan struktur yang kompleks. Sering juga peradaban dipakai untuk menyebut suatu kebudayaan yang mempunyai sistem teknologi, seni bangunan, seni rupa, sistem kenegaraan dan ilmu pengetahuan yang maju dan kompleks.

Selain sebagai makhluk yang berbudaya, manusia juga makhluk yang selalu berinteraksi dan tidak terlepas dari orang lain (homo socius). Dalam berinteraksi dengan lingkungannya, manusia menggunakan simbol (homo simbolicum). Manusia akan banyak menggunakan benda-benda sebagai simbol untuk mengekspresikan sesuatu. Misalnya, penggunaan simbol berupa kalung salib bagi kelompok agama Nasrani. Nah sekarang cobalah anda mencari benda-benda yang digunakan sebagai simbol untuk mengekspresikan sesuatu. Mudah bukan? Anda dapat juga mengembangkannya dengan mencari contoh perilaku yang didalamnya terdapat makna simbolik. Dalam berinteraksi dengan orang lain itu ada proses pendidikan yang berlangsung karena manusia adalah makhluk yang mendidik dan terdidik (homo educandum).

Menurut Margaret Mead (1901-1978) budaya adalah perilaku yang dipelajari dari sebuah masyarakat atau sub kelompok. Ada banyak pengertian mengenai kebudayaan yang dipergunakan. Kluckhohn dan Kroeber mencatat sekitar 175 definisi kebudayaan yang berbeda. Koentjaraningrat mengartikan budaya dalam arti sempit dan luas. Dalam arti sempit budaya itu adalah kesenian (Koentjaraningrat, 2000). Secara luas, Koentjaraningrat mendefinisikan kebudayaan sebagai keseluruhan gagasan dan karya manusia yang harus dibiasakannya dengan belajar, beserta keseluruhan dari hasil budi

(4)

dan karyanya. Kita lihat, pengertian yang dibuat oleh Koentjaraningrat itu sangat luas yang mencakup seluruh aktivitas manusia.

Dengan demikian kita dapat menyimpulkan bahwa budaya itu berkaitan dengan kata kunci yang mencakup (1) gagasan, (2) perilaku dan (3) hasil karya manusia.

Sebagai pedoman pembahasan kita selanjutnya, pengertian kebudayaan ini difokuskan pada pendapat Bullivant yang mendefinisikan budaya sebagai program bertahan hidup dan adaptasi suatu kelompok dengan lingkungannya. Program budaya terdiri dari pengetahuan, konsep, dan nilai-nilai yang dimiliki oleh anggota kelompok melalui sistem komunikasi. (Banks, 1993: 8). Kebudayaan juga terdiri dari keyakinan, simbol, dan interpretasi dalam kelompok manusia. Sebagian besar ilmuwan sosial saat ini memandang budaya terdiri dari aspek simbolik, ideasional, dan tidak terlihat (intangible) dari masyarakat manusia. Esensi budaya bukan pada benda, alat, atau elemen budaya yang terlihat lainnya namun bagaimana kelompok menginterpretasikan, menggunakan, dan merasakannya. Nilai-nilai, simbol, interpretasi, dan perspektiflah yang membedakan seseorang dari orang yang lain dari masyarakat manusia, bukan obyek material dan aspek yang terlihat lainya dari masyarakat manusia. Orang-orang di dalam suatu kebudayaan biasanya menginterpretasikan makna simbol, benda dan perilaku menurut cara yang sama atau yang serupa (Banks, 1993: 8) dan ada kemungkinan orang menginterpretasikan secara lain pada suatu perilaku yang sama. Semua kebudayaan menggunakan bahasa tubuh (body language) untuk berkomunikasi. Ada kebudayaan yang lebih banyak menggunakan bahasa tubuh dibandingkan dengan yang lainnya. Masalah dalam penggunakan bahasa tubuh untuk komunikasi dapat terjadi jika dua makna yang bertentangan menggambarkan satu gerakan tubuh. Misalnya di Bulgaria, menganggukkan berarti “tidak” dan menggelengkan kepala berarti “ya” (Axtel, 1995) sedangkan di tempat lain umumnya mengartikan sebaliknya.

B. CIRI-CIRI BUDAYA

Ada beberapa macam ciri-ciri budaya atau kebudayaan, diantaranya adalah sebagai berikut:

a. Budaya bukan bawaan tapi dipelajari.

b. Budaya dapat disampaikan dari orang ke orang, dari kelompok ke kelompok dan dari generasi ke generasi.

c. Budaya berdasarkan simbol.

d. Budaya bersifat dinamis, suatu sistem yang terus berubah sepanjang waktu.

e. Budaya bersifat selektif, merepresentasikan pola-pola perilaku pengalaman manusia yang jumlahnya terbatas.

f. Berbagai unsur budaya saling berkaitan.

g. Etnosentrik (menganggap budaya sendiri sebagai yang terbaik atau standar untuk menilai budaya lain).

(5)

Selain penjelasan ciri-ciri budaya atau kebudayaan di atas, kebudayaan yang dimiliki oleh masyarakat Indonesia mempunyai ciri atau sifat yang sama. Dimana sifat- sifat budaya itu akan memiliki ciri yang sama bagi semua kebudayaan manusia tanpa membedakan faktor ras, lingkungan alam, atau pendidikan. Yaitu sifat hakiki yang berlaku umum bagi semua budaya dimanapun. Sifat hakiki dari kebudayaan tersebut antara lain :

a. Budaya terwujud dan tersalurkan dari perilaku manusia.

b. Budaya telah ada terlebih dahulu daripada lahirnya suatu generasi tertentu dan tidak akan mati dengan habisnya usia generasi yang bersangkutan.

c. Budaya diperlukan oleh manusia dan diwujudkan dalam tingkah lakunya.

Budaya mencakup aturan-aturan yang berisikan kewajiban-kewajiban, tindakan- tindakan yang diterima dan ditolak, tindakan-tindakan yang dilarang, dan tindakan- tindakan yang diizinkan.

C. FUNGSI BUDAYA Fungsi budaya :

a. Sebagai Identitas.

Budaya memberikan rasa identitas kepada anggota organisasi.

b. Sebagai Batas.

Budaya berperan sebagai penentu batas-batas, yang artinya budaya menciptakan perbedaan atau yang membuat unik suatu organisasi dan membedakannya dengan organisasi lainnya.

c. Sebagai Komitmen.

Budaya memberikan fasilitas lahirnya komitmen terhadap sesuatu yang lebih besar daripada kepentingan individu.

d. Sebagai Stabilitas.

Budaya meningkatkan kemantapan sistem sosial.

e. Sebagai pembentuk sikap dan perilaku.

Budaya bertindak sebagai mekanisme pembuat makna serta kendali yang menuntun dan membentuk sikap serta perilaku individu.

D. HAKIKAT BUDAYA

Sifat hakikat kebudayaan merupakan ciri-ciri khusus dari sebuah kebudayaan yang masing-masing masyarakat memiliki sifat kebudayaan yang berbeda. Misalnya di masyarakat barat makan sambil berjalan merupakan suatu hal yang biasa. Namun berbeda dengan masyarakat timur, hal tersebut merupakan perilaku yang melanggar etika.

Meskipun demikian, jika dilihat secara garis besar, semua kebudayaan yang ada di dunia ini mempunyai sifat-sifat hakikat yang sama. Antara lain sebagai berikut:

a. Kebudayaan sudah ada terlebih dahulu mendahului lahirnya suatu generasi tertentu dan tidak akan mati dengan habisnya usia generasi yang bersangkutan.

(6)

b. Kebudayaan diperlukan oleh manusia dan diwujudkan tingkah lakunya.

c. Kebudayaan terwujud dan tersalurkan lewat perilaku manusia.

d. Kebudayaan mencakup aturan-aturan yang berisi tentang kewajiban-kewajiban, tindakan-tindakan yang ditolak dan diterima, tindakan-tindakan yang diizinkan, dan tindakan-tindakan yang dilarang.

E. ADAT ISTIADAT 1. Sejarah Adat Balia

Ternyata sejarah panjang kehidupan manusia telah mencatat bahwa manusia mempunyai kecenderungan beragama dan mempunyai ketergantungan pada kekuatan gaib. Menurut Clifford Geertz Hal ini sudah ada sejak zaman purba kala dan berkembang hingga kini pada manusia modern menjadi sebuah kepercayaan religius.

Kepercayaan itu kemudian diakui kebenarannya dan menjadi modal penting dalam menciptakan dan menjalankan serta menjaga tradisi. Dalam budaya jawa misalnya menurut Geertz, banyak sekali sesembahan yang kemudian setiap kali mereka mempunyai hajat seperti nikahan, lahiran ataupun kematian, mereka selalu mengadakan ritual-ritual yang dikenal dengan “selametan”. Upacara selametan ini dalam istilah agama dikenal dengan sebutan ibadah atau yang dalam antropologi agama dikenal dengan istilah rites atau ritual. Yang maksudnya ditujukan untuk mendapatkan kebaikan dan keberkahan daripada sesuatu yang gaib tersebut. Bak pinang dibelah dua, begitupun dengan Balia.

Balia dipercaya telah ada sejak zaman nenek moyang yang menjadi tradisi turun temurun berkembang menjadi budaya dan adat istiadat bagi masyarakat suku Kaili.

Walaupun jika dikaji secara historis, catatan sejarah tidak begitu signifikan mencatat kapan pertama kali upacara Balia dilakukan. Menurut Mangge Samanudi Balia berasal dari proses kejadian manusia awal sebanyak tujuh org (org sakti) yang diturunkan ke bumi sebagai penghuni awal muka bumi yang dianggap nabaraka (sakti). Kemudian mereka mengajarkan upacara ini yang nantinya dilakukan secara turun temurun dan dijaga sebagai adat. Sedangkan menurut guru Abdillah Sejarah asal usulnya ialah diyakini berasal dari nenek moyang, yang dahulu sering melakukannya yang kemudian di ikuti oleh generasi selanjutnya sebagai tradis.

Dahulu Balia tidak hanya dilakukan untuk pengobatan saja, akan tetapi saat orang ingin bertani ataupun berkebun, dibuatlah adat ini dengan harapan banyak berkah yang turun serta membuat hasil panen meningkat. Disamping memang sudah menjadi tradisi, ini menjadi cara mengungkapkan atau mengucapkan rasa syukur kepada yang maha kuasa. Disamping pendapat-pendapat tadi tentang bagaimana asal mula dilaksanakan upacara Balia tadi, terdapat juga cerita mite atau legenda bagaimana asal mula upacara ini dilakukan.

Cerita ini bermula ketika awal kunjungan sawerigading, yaitu tokoh paling sentral dan populer dalam kitab mitologi I La Galigo yang ternyata tidak hanya melegenda di kalangan Bugis dan Makassar saja tapi hampir di seluruh Sulawesi. Ia digambarkan

(7)

sebagai tokoh muda yang memiliki perangai yang halus dan selalu bertindak sebagai nahkoda atau pemimpin bagi perahu-perahu layarnya. Ia diyakini hidup sekitar 12 Tahun Meladi, yakni tahun yang oleh masyarakat Kaili daerah Tawaili diyakini sebelum masehi. Masa tahun meladi lamanya sekitar 12.000 tahun. Ia juga dikenal sebagai pengembara yang mengembara sampai ke penjuru dunia. Menjelajah sepanjang pantai Sulawesi hingga Maluku bahkan sampai ke dunia orang-orang yang sudah mati.

Dari Luwu ia berangkat hingga kembali lagi ke Luwu. Sawerigading digambarkan mampu pergi ke langit dan turun lagi ke bumi. tak ayal dia sering disebut sebagai orang yang turun dari kayangan. Pada suatu hari di satu cerita, Laut Kaili mendapat kunjungan sebuah perahu layar yang amat besar dibawah pimpinan seorang pelaut yang namanya sudah sangat terkenal, pelaut ini bernama Sawerigading. Ia singgah ke teluk Kaili setelah perjalanan panjangnya ke laut China menemui dan mengawini tunangannya yang bernama Wecudai. Dalam menelusuri teluk Kaili Sawerigading ke arah selatan dan ia sampai ke pantai Negeri Sigimpu dalam wilayah kerajaan Sigi.

Perahu Sawerigading berlabuh di pelabuhan yang sekarang bernama Raranomba.

Saat itu Kerajaan Sigi dipimpin oleh seorang raja yang bernama Nggilinayo, yaitu seorang raja perempuan yang memiliki paras yang cantik dan belum menikah atau memiliki pasangan. Saat Sawerigading bertemu dengan Nggilinayo yang amat cantik itu, ia langsung jatuh cinta pada pandangan pertama. Ia kemudian mengajukan pinangan untuk menjadikannya permaisuri. Raja Nggilinayo pun bersedia menerima pinangan Sawerigading dengan syarat ayam aduaannya yang bernama Calabai dapat dikalahkan oleh ayam aduan Sawerigading yang bergelar Baka Cimpolong, yaitu ayam yang berbulu kelabu kehijauan dan kepalanya berjambul.

Syarat itu pun disetujui oleh Sawerigading dan disepakati bahwa acara adu ayam akan dilangsungkan sekembalinya Sawerigading dari perjalanannya ke pantai barat, sambil arena adu ayam dipersiapkan. Setibanya kembali di Sigi, arena untuk pertarungan ayam di atas sebuah gelanggang sudah dipersiapkan, ayam Sawerigading dan Nggilinayo sudah siap dipertarungkan. Undangan malam itu sudah diumumkan kepada seluruh lapisan masyarakat bahwa besok akan ada pertarungan adu ayam tersebut. Namun, pada malam sebelum pertarungan terjadi sesuatu yang luar biasa yang menyebabkan pertarungan dibatalkan. Anjing Sawerigading yang bergelar La bolong (Si hitam) terlepas dan turun dari perahu kemudian berkeliaran di sekitar dataran lembah Sigi. Tanpa disadarinya ia terperangkap pada sebuah lubang yang besar yang di diami oleh seekor belut (Lindu) yang amat besar. Karena merasa amat terganggu akan kedatangan La bolong sehingga terjadilah pertarungan yang sangat sengit antara keduanya.

Pertarungan tersebut sangat dahsyat sehingga seolah-olah telah terjadi gempa bumi yang sangat dahsyat yang menggemparkan bumi. Penduduk menjadi ketakutan, sementara La bolong berhasil menyergap belut (lindu) sehingga keluar dari lubangnya. Lubang besar tempat tinggal belut yang telah kosong dan runtuh tersebut

(8)

kemudian menjadi danau yang hingga kini disebut Danau Lindu. Anjing Sawerigading menyeret belut itu ke arah utara melewati dan turut menyeret air Laut Kaili dengan deras seperti tumpah ke arah utara. Hal inilah yang menjadi sebab keringnya Laut Kaili, maka terbentuklah Lembah Palu dan terjamahlah Tanah Kaili.

Karena peristiwa dahsyat ini kemudian menjadi sebab pertarungan ayam antara Sawerigading dan Nggilinayo batal diselenggarakan. Keduanya sama-sama berikrar untuk menjadi saudara kandung yang saling menghormati dan saling bekerja sama serta membimbing orang-orang Kaili yang mendiami Palu, bekas teluk Kaili yang telah menjadi daratan dan sekitarnya. Sebuah versi lain menceritakan mengenai cerita persaudaraan raja Nggilinayo dan Sawerigading. Saat akan diadakan pertarungan ayam, diadakan terlebih dahulu sebuah sebuah pesta yang dikunjungi oleh sebagian besar penduduk kerajaan pada waktu itu.

Seperangkat alat kesenian dan bunyibunyian berupa gong, tambur dan seruling didaratkan dari perahu Sawerigading untuk meramaikan pesta kerajaan. Gong, tambur dan gendang di palu atau dipukul bertalu-talu untuk memeriahkan pesta tersebut, dan mengundang keramaian dan antusias yang luar biasa. Bahkan orang yang sakitpun, yang tadinya terbaring lemah di pembaringannya masing-masing ikut bergabung ke tempat acara karena rasa penasaran dan keingin-tahuannya. Masing-masing dari mereka menikmati dan mendengarkan bunyi-bunyian yang mengiringi taritarian yang kemudian membuat mereka lupa akan rasa sakitnya. Hal ini kemudian dipercaya sebagai obat mujarab yang selanjutnya dianggap sebagai media atau sarana pengobatan dan dinamai dengan “Balia”. Dari sinilah muncullah dan dikenal-lah upacara pengobatan ini. Sementara puncak dari acara keramaian ini ialah pengukuhan persaudaraan antara Sawerigading dan Nggilinayo.

Disamping itu diserahkan pula semua alat-alat bunyi-bunyian kepada saudaranya yaitu raja Nggilinayo. Menurut Buku mitos rakyat Sulawesi Tengah, Sawerigading oleh masyarakat Kaili dianggap penjelmaan dari kayangan sebagai pembawa contoh kehidupan, dengan segala kesaktian yang ada padanya. Sawerigading juga dianggap sebagai pembawa kebudayaan untuk manusia di Tanah Kaili, serta sebagai pencetus salah satu adat yang bernilai kesenian yang masih dianut oleh masyarakat di Lembah Kaili yaitu upacara adat Balia. Sejarawan juga menegaskan bahwa dari cerita-cerita Sawerigading, ia merupakan sosok yang dianggap sebagai pemandu budaya yang sangat tersohor dengan melakukan tari-tarian, iringan bunyi-bunyian seperti gendang atau gong, seruling atau biasa disebut lalove, rebana dan lain-lain.

Merujuk keterangan diatas, diperjelas pula pada pendapat lain yang menerangkan bahwa waktu melakukan pesta rakyat, masyarakat berbondongbondong untuk menghadirinya. Diantara mereka ada yang sakit bongkok datang dengan cara digendong, orang yang buta datang dengan di pandu atau di papah, orang sakit seperti meriang demam dan sakit atau nyeri badan lainnya juga datang ke pesta tersebut.

Pada saat menyaksikan tari yang di iringi oleh musik tradisional ini, mereka pun bisa berdiri dengan baik bahkan ikut menari di pesta tersebut seolah mereka dalam

(9)

keadaan normal. Mereka kemudian sembuh dari penyakit yang dideritanya. Saat itu pula terdapat istilah dalam bahasa Kaili “Nabali ia dakoridua aga nanggita acara I Sawerigading” (Ia berubah/sembuh dari sakitnya hanya karna melihat acara tarian Sawerigading). Sawerigading juga dalam bahasa Kaili diartikan dalam ejaan yaitu Savi (lahir/timbul) dan rigading (di bambu kuning) atau yang dalam Bahasa Kaili juga disebut “Tope bete ri bolovatu”, yang artinya orang yang lahir atau muncul dari bambu kuning.

Dalam pertunjukan yang diadakan Sawerigading banyak para penonton yang kembali ke rumahnya dalam keadaan yang sembuh dari penyakitnya dengan acara ini sebagai sebabnya. Dari sini mulailah tarian dan upacara ini digunakan untuk menyembuhkan orang sakit. Penamaan Balia sendiri pun tidak lepas dari literatur bahasa Kaili serta keterkaitannya dengan cerita peristiwa ini. Menurut Pak Edi Balia terdiri dari dua suku kata Balia (Lawan) atau (Ubah) ia (dia) yang maksudnya berbalas, antara seorang dengan org yang lain dalam suatu upacara, sebab saat itu para leluhur bersahut-sahutan saat acara tersebut, seperti berbalas syair dengan nyanyian yang disandarkan pada leluhur.80 Terdapat pula pendapat lain yang menjelaskan bahwa daerah Kaili terkenal dengan upacara yang disebut dengan Balia, artinya Bali (tantang) dan iya (dia) yang secara terminologi adalah tantang dia.

Pengertiannya secara utuh yang disimpulkan yaitu melawan setan yang membawa penyakit dalam tubuh manusia.

Balia dipandang sebagai prajurit kesehatan yang mampu memberantas penyakit, baik penyakit yang berat maupun yang ringan.81 Balia hingga sekarang masih terus diyakini dan dilestarikan oleh sebagian masyarakat Kaili walaupun tidak lagi secara masif oleh mayoritas orang dan hanya sebagian saja. Hal ini disebabkan sudah tergerusnya zaman ke dalam pengaruh modernitas. Dalam pengaruhnya bentuk pelaksanaan adat ini merupakan sesuatu yang menjadi simbol atau hal yang bersifat sakral. Merupakan suatu kewajiban bagi masyarakat Kaili yang masih memegang tradisi erat nenek moyang untuk terus melaksanakan tradisi ini. Balia menjadi sebuah budaya yang berusaha dilestarikan dan dipelihara generasi berikutnya yang menjadi keyakinan emosi kepercayaan bahwa hal ini sejalan dengan keinginan para leluhur jika ingin mendapatkan sebuah keberkahan, kesuburan bagi tanah dan petani, menolak bala bencana, wabah penyakit serta mengandung sisi hiburan kesenian juga silaturahmi antar masyarakat sekitar.

2. Macam-Macam Balia a. Balia tampilangi

Tampilangi terdiri dari dua kata yaitu tampi yang artinya tombak dan langi yang artinya langit atau kekuasaan. Tampilangi atau yang dimaknai (tombak sakti dari langit) merupakan upacara pemulihan kesehatan yang dilakukan oleh makhluk atau roh halus yang turun dari kayangan, maju terus pantang mundur dan

(10)

sanggup menghadapi tantangan penyakit ringan maupun berat. Jenis balia ini dikategorikan jenis balia pemberani dibandingkan dengan jenis-jenis balia lain pada suku kaili dan juga merupakan jenis Balia yang paling sering dilakukan.

Dalam pelaksanaannya, tarian dilakukan dengan mengikuti instrumen musik gong, gendang, dan seruling yang dibawakan oleh ibule (orang dengan predikat yang mempunyai kemampuan khusus atau kesaktian dalam peran alat musik adat). Tarian peserta balia dalam upacara ini gegap gempita mengikuti instrumen musik yang ada, yang dibawakan oleh bule/ibule. Dalam pelaksanaannya peserta melibatkan perasaannya dalam suasana tarian. Instrumen dan irama musik yang dimainkan memiliki variasi yang unik dan bermacam- macam yang berlangsung semalaman suntuk, juga makin lama kian terasa membahana. Suasana ini membuat peserta hanyut dalam ritual, melibatkan perasaannya hingga kesurupan dan mengakibatkan segala perhatiannya hanya terkonsentrasi pada suasana ritual upacara adat.

b. Balia tomanuru

Upacara Tomanuru adalah jenis upacara balia yang lebih berorientasi pada pemujaan kepada kekuatan-kekuatan gaib, komunikasi dan penghormatan kepada roh-roh leluhur. Biasanya upacara ini juga memperbaiki atau mengganti sebuah benda yang disebut “Palakka”, yakni sebuah tempat berbentuk persegi seperti sebuah wadah. Palakka ini berisikan barang-barang nenek serta leluhur yang masih ada, di simpan oleh keluarga untuk di bersihkan. Selain itu pada zaman dahulu upacara ini juga diorientasikan dalam rangka pelantikan dukun muda (Sando) yang nantinya berhak memimpin upacara balia mewarisi dan melanjutkan tugas dukun-dukun yang sudah tua.83 Secara garis besar balia ini mirip dengan balia Tampilangi, bahkan tidak jarang kedua balia ini dilakukan bersamaan berangsur bergantian.

c. Balia bone maloso

Balia Bone Meloso merupakan salah satu jenis balia yang sudah punah dan jarang atau bahkan tidak pernah dilakukan di masa sekarang. Sebab, balia ini merupakan ritual yang aktif dilakukan pada masa-masa kerajaan di masa lampau.

Balia ini dilakukan disamping dengan tujuan pengobatan, juga dilakukan dengan maksud hiburan bagi sang raja. Selain itu juga dilakukan dalam pelaksanaan hukuman mati atau untuk mengumpulkan hasil panen dari rakyat untuk menyimpan padi, persiapan panceklik sehingga raja tidak kekurangan stok.

d. Balia jinja

Tata cara pelaksanaan Balia Jinja yang oleh masyarakat disebut pasukan pengepung penyakit, yaitu dukun beserta anggota lainnya duduk mengelilingi penderita, lengkap dengan alat pengobatan. Seperti biasa bule bertugas sebagai pemain musik yang memainkan bunyi instrumennya. Bunyi musik yang dimainkan lemah lembut diikuti alunan suara nyanyian dari penderita, bahkan tak jarang penonton juga ikut bersahutan dan bernyanyi bersama sehingga membuat

(11)

suasana bertambah meriah. Setelah acara berlangsung semakin larut, alat musik pun di tabuh dengan irama yang semakin cepat. Bunyi ini merupakan isyarat agar para peserta berdiri dan menari dengan tarian khususnya. Sando beserta jajarannya juga penonton mengelilingi penderita. Gerak mereka bertujuan untuk menghalau dan memutuskan sumber penyakit yang datang mengganggu penderita.

Keadaan demikian berlangsung hingga menjelang pagi. Upacara ini umumnya memberikan harapan kepada penderita untuk sembuh. Menjelang pagi, suasana semakin ramai yang diliputi suasana gembira, sehingga peserta yang sakit terlihat bertambah baik dan akan nampak sehat bila upacara telah berakhir.

3. Proses Umum Pelaksanaan Upacara Balia Tampilangi

Proses Upacara Balia Tampilangi dimulai dengan perencanaan pelaksanaan Upacara Balia yaitu nolibu. Libu adalah musyawarah adat bersama keluarga dan aktor utama yang memimpin Balia yaitu Sando. Sando ialah sebutan untuk pemimpin ritual adat (dukun) yang memiliki otoritas yang menetapkan segala hal terkait dengan prosesi adat Balia. Mulai dari waktu, tempat, serta berbagai macam peralatan dan instrumental yang dibutuhkan. Sando juga dianggap sebagai orang yang punya kemampuan khusus atau kesaktian yang dapat berkomunikasi langsung dengan roh alam ghaib. Dalam tahapan ini keluarga membawa syarat adat untuk berkonsultasi atau yang biasa disebut “petena”. Petena ini berisi rokok yang merupakan selera dari sando beserta korek api kayu yang diletakkan di sebuah piring kecil kemudian dibacakan baraka (berkah), doa-doa keberkahan oleh sando. Ada prosesi unik dalam libu ini, kadangkala seorang sando membacakan syair vadi pada salah seorang pasien dari kalangan keluarga. Setelah di bacakan mantra atau syair tersebut, pasien akan dimasuki oleh roh yang akan menyampaikan seperti apa Balia yang mereka inginkan untuk dilakukan dan apa saja yang disiapkan selain hal-hal yang bersifat umum.

Umumnya upacara ini dilaksanakan sekurangkurangnya dua hingga empat malam, tergantung kesepakatan dan arahan dari sang sando. terkadang tidak menutup kemungkinan juga terjadi penggabungan antara dua Balia yang berbeda jenis. Karena Balia merupakan ritual yang kolosal, Balia dilaksanakan di rumah yang memiliki ruangan cukup luas dan di halaman atau di tanah yang cukup lapang. Jika acaranya dua hari, maka akan di bagi menjadi dua sesi, hari pertama di dalam rumah dan hari kedua atau hari terakhir di halaman atau lapangan tadi. Setelah ditentukan segala halnya, maka akan dipersiapkan segala sesuatunya terkait peralatan, perlengkapan serta berbagai unsur pelaksanaannya. Peralatannya meliputi:

a. Gimba (gendang).

b. Goo (gong).

c. Lalove (alat musik menyerupai seruling yang dimainkan dengan cara ditiup untuk menimbulkan bunyi).

Tiga peralatan ini merupakan hal yang vital, sebab fungsinya yang menjadi instrumen, alat musik yang mengiringi jalannya acara semalam suntuk. Dari segi

(12)

sejarahnya, alat musik ini yang menarik pusat perhatian masyarakat Kaili, sebab digunakan sawerigading dalam meramaikan acara yang dibuatnya. Dalam perkembangannya kemudian, alat yang dibawa sawerigading ini menjadi instrumen musik dalam setiap adat kaili. Alat musik ini akan mengiringi tarian-tarian yang gerakannya memang agak tidak beraturan, tidak begitu tertib dan terbilang random mengikuti keinginan roh halus yang menari dalam badan pasien (Nomparikaro), namun para pendamping sando mengarahkan kemana arah mereka berputar saat menari. Yang bertindak sebagai pemain alat musik disebut Bule, ia berperan serta mengatur ritme dari alat musik yang dimainkan. Bule memainkan beberapa ritme dalam ritual ini. alat musik yang ditabu secara pelan dan mendayu-dayu ritmenya disebut sarontaede, ritme ini biasa digunakan sebagai ritme yang santai. Ritme selanjutnya meningkat agak cepat disebut sarondaya hingga agak cepat menjadi sarondaya naole, dan cepat sekali dengan sebutan kancara. Tujuannya dari tingkatan musik ini adalah untuk mempercepat masuknya ataupun menjadi pengatur ritme tarian pada peserta balia. Adakalanya alat musik di tabuh dengan cepat dan adakalanya saat peserta mulai terlihat lelah maka akan ditabu secara perlahan.

Biasanya juga di tabuh sesuai irama yang diperlukan tergantung langkah yang sedang dilakukan.

Selanjutnya terdapat pula peralatan yang digunakan di dalam ritual sebagai berikut:

a. Tampi (tombak).

Tombak ini akan digunakan sebagai alat untuk menombak korban/persembahan berupa ayam atau kambing jika ada. Ada perbedaan penggunaan tombak di masa sekarang dengan di masa lalu. Tombak dimasa lalu benar-benar digunakan untuk menombak korban hewan yang disediakan hingga mati, namun di masa sekarang dengan pengaruh Islam, tombak digunakan sebagai simbolis dan tidak betul-betul dipakai untuk mematikan hewan persembahan (korban).

b. Guma (Parang Kaili).

Parang ini digunakan sebagai alat yang akan menyembelih salah satu korban berupa ayam kecil. Selain itu digunakan juga untuk memotong beberapa benda dalam adat.

c. Kaliavo (Perisai).

Pada fungsinya, Perisai digunakan sebagai tatakan persembahan diawal ritual.

Namun setelahnya perisai juga berfungsi sebagai alat yang dibawa dalam tarian. Makna yang terkandung didalamnya ialah bahwa perisai merupakan pelindung yang akan melindungi siapapun yang memegangnya.

d. Payung.

Payung ini akan berfungsi sebagai pelengkap lolangi. Makna yang ia kandung ialah sesuai fungsinya bahwa ia akan memberikan kesejukan dan keteduhan bagi semua orang yang berada di dalam ritual.

(13)

e. Baki.

Baki merupakan sebuah dulang atau nampan tidak berkaki yang digunakan sebagai alat tatakan beberapa peralatan atau perlengkapan yang menjadi syarat adat, selain itu juga baki digunakan sebagai wadah tatakan makanan dan minuman untuk banyak orang.

f. Baskom.

Baskom ini menjadi wadah bagi beberapa syarat dan perlengkapan adat seperti beras, telur dan lain-lain.

g. Dula.

Semacam sebuah wadah mirip seperti baki yang berbentuk seperti loyang berkaki yang digunakan sebagai tempat peralatan adat dan juga sebagai tempat beberapa syarat dan perlengkapan adat.

h. Sarung.

Sarung yang dimaksud adalah sarung tradisional atau sarung adat, seperti yang biasa dipunyai beberapa daerah, sarung ini berfungsi sebagai syarat adat sehingga peserta balia semuanya harus menggunakan sarung ini.

i. Sepasang baju dan celana.

Biasanya baju tersebut berupa baju kemeja dan celana kain, ini merupakan syarat adat yang diperuntukkan untuk pemimpin adat (sando).

j. Selendang.

Selendang ini juga merupakan syarat adat yang melengkapi Lolangi.

k. Songkok atau kopiah.

Sama seperti baju dan celana tadi, songkok/kopiah ini diperuntukkan untuk pemimpin adat.

l. Basende.

Basende merupakan sebuah benda semacam topi atau penutup kepala yang digunakan oleh pemimpin adat atau biasa disebut sando. Topi ini terbuat khusus dari kulit kayu kemudian terdapat motif atau corak khusus pada sisinya. Topi ini hanya digunakan oleh pemimpin adat dan merupakan bagian yang harus ada padanya sebagai simbol kehormatan.

m. Piring gelas. Piring dan gelas digunakan sebagai alat makan dan minum.

Biasanya masih berbentuk klasik, belum menyerupai piring dan gelas pada umumnya. Selain itu, juga digunakan sebagai alat yang digesek-gesekkan yang kemudian menimbulkan bunyi. Bunyi ini dipakai untuk mempercepat masuknya roh halus bagi peserta yang belum dimasuki roh.

n. Dupa.

Dupa seperti yang kita ketahui, merupakan sebuah benda yang biasanya terbuat dari kayu atau pelepah kulit kelapa yang mempunyai bau yang khas.

Dengan dibakarnya dupa yang mempunyai bau yang semerbak ini menjadi penanda bahwa ritual sudah dimulai dan semua yang “diundang”

dipersilahkan dating.

(14)

o. Daun Pisang.

Daun pisang yang digunakan biasanya adalah daun yang masih cukup muda, digunakan sebagai alas makanan atau tempat sajiansajian.

p. Kendi.

Kendi menjadi salah satu syarat adat. Kendi nantinya akan dihancurkan diatas kepala. Dengan dihancurkannya kendi diatas kepala, orang Kaili percaya hal ini akan menghilangkan segala macam penyakit yang bersarang di kepala.

Alat-alat ini yang nantinya akan digunakan, mempunyai peran dan fungsinya masing-masing sebagai syarat unsur pelaksanaan Balia. Selain itu, adapula kelengkapan yang menjadi syarat akan pelaksanaan Balia. Kelengkapan ini meliputi:

a. Ayam kemerahan atau setidaknya yang memiliki corak sebagai syarat adat bagi setiap pasien. Ayam ini nantinya akan ditombak secara simbolis dalam ritual. Setelah itu kemudian disembelih dan dagingnya akan dimasak juga dimakan bersama-sama. Terdapat pula perbedaan yang signifikan mengenai korban ini. Dimasa lalu babi seringkali digunakan sebagai korban atau persembahan, namun masuknya agama Islam kembali menjadi sebab bergesernya budaya ini karena pengaruhnya.

b. Telur masing-masing 2 bagi setiap pasien. Telur ini dinamai dengan nama masing-masing pasien menggunakan penanda lalu dibacakan doa-doa oleh sando. kemudian telur ini nantinya akan di masak dan di makan bersamasama dengan keluarga juga khalayak yang ikut menyaksikan acara.

c. Sambulugana. Sambulugana merupakan kumpulan dari serangkaian tumbuh- tumbuhan. Ia diartikan atau dianggap sebagai lambang kelengkapan, bahwa segala syarat dan segala sesuatunya sudah ada. Sambulugana juga mempunyai derajat yang tinggi dalam kebudayaan Kaili, sebab sambulugana menjadi perlambangan fisik utuh manusia. Isi sambulugana ini meliputi: Kapur siri, buah pinang, Tagambe atau gambir, tembakau yang di bungkus dalam sebuah kain.

d. Beras pulut (ketan) warna-warni. Beras pada fungsinya akan di tabur atau dilemparkan keatas peserta Balia. Beras ini merupakan bentuk simbol yang mewakili perlambangan di dunia telah hadir. Beras-beras ini juga memiliki makna sebagai permohonan petunjuk kepada Tomanuru dan atau juga penguasa bumi dan langit. Warna beras ini meliputi:

1) Putih, sebagai perlambangan langit.

2) Kuning, yang mewakili atau melambangkan tempat Uventira (wentira). Yaitu sebuah tempat di salah satu wilayah bagian dekat kota Palu yang dianggap keramat yang diyakini sebagai salah satu negeri gaib para leluhur.

3) Hitam, sebagai perlambangan unsur tanah.

4) Merah sebagai perlambangan Laut.

5) Hijau, sebagai perlambangan Bulan dan Bintang.

(15)

e. Siranindi, yaitu semacam sebuah tumbuhan yang menjalar. Siranindi dianggap sebagai salah satu tumbuhan yang dapat mendinginkan karena memang daunnya memiliki sifat dingin. Dalam siranindi terdapat sebuah makna bahwa ia akan mendinginkan dan menghilangkan segala macam bentuk penyakit panas seperti demam dll.

f. Uwe Vongi (air wangi), adalah air yang diracik oleh para sando dengan berbagai macam komponen dan komposisi. Air ini berperan sebagai media yang diusapkan di tubuh agar penyakit-penyakit dapat hilang dan si sakit diberikan kekuatan serta mampu mengikuti seluruh prosesi acara, perannya lebih seperti minyak dalam pijat refleksi konfensional. Air wangi ini berisi:

Kayu manis, sikuri (kencur), sale (buah kayu), bawang merah, kemiri, telur, 81 daun paku, Banja (pinang muda), sintamadia, kondo (daun asam), tolasi (daun harum), daulolo (pucuk dedaunan), panda (pandan).

g. Lolangi. Lolangi merupakan bermacam-macam tumbuh-tumbuhan dimana ini akan menjadi tempat para pasien-pasien Balia mengitari dan menari.

Tumbuhannya ialah 7 macam daun, yaitu: Kayu bale (kayu ikan), Veluru (umbut sejenis lontar), Balaroa (kayu waru), Kayu Taba, Kayu peliu, Siranindi (cucur bebek), kadombuku, janur.

h. Pohon pisang dan batang tebu, masing-masing untuk setiap pasien. Pohon pisang dan tebu nantinya akan di tebang dalam langkah nompaya. Orang kaili percaya, dengan di tebangnya pohon pisang dan batang tebu maka segala macam penyakit di dalam tubuh akan hilang atau sembuh.

Setelah seluruh perlengkapan dan peralatan tersedia dengan lengkap, para sando mulai mempersiapkan segala sesuatunya. Mereka meracik dan mempersiapkan bahan-bahan yang ada sesuai tuntunan adat. Setelah semuanya siap, di bakarlah dupa sebagai makna bahwa prosesi adat telah dimulai. Di hari pertama, prosesinya adalah sebagai berikut:

a. Nopopandiu (dimandikan) dan atau berwudhu. Dalam prosesnya peserta Balia akan dimandikan atau disarankan berwudhu, langkah ini didampingi langsung oleh Sando. Nopopandiu akan menjadi tameng agar jangan ada jin atau roh yang jahat masuk ke dalam tubuh. Nopandiu atau berwhudu ini menggunakan uwe vongi (air wangi) yang sudah disiapkan oleh sando.

b. Nokangoa (duduk) & Nosove. Setelah Nopopandiu tadi pasien atau peserta kemudian duduk dan berkumpul kemudian dilakukan langkah Nosove, yaitu mereka dipercikkan air dengan kayu berubu dan kambalasa oleh sando dan perangkatnya. Kambalasa merupakan daun yang biasanya menempel pada kelapa. Kemudian diusapkan pula pada bagian tubuh.

c. Nolili 3 kali. Yaitu langkah dimana peserta mengitari Lolangi diarahkan langsung oleh para sando dan perangkatnya, kemudian masuk kedalamnya.

Hal ini dimaknai bahwa masuk dalam lolangi berarti peserta sudah resmi

(16)

masuk dalam ritual acara atau juga mempersilahkan, mengundang roh-roh kedalam proses acara adat yang dipanggil lewat syair Vadi.

d. No Vadi. Yaitu sando akan melantunkan syair, mirip seperti lagu atau mantera untuk mengundang, memanggil roh untuk datang. Biasanya pada saat novadi ini pasien mulai merasakan mual dan gemetar. Selain itu berdebar berdegup kencang karna mulai merasa ada yang akan merasuki mereka. Adapun syair vadi antara lain sebagai berikut: “Tama Bunto tama jilaka ngoro, domo bunto yaku rabuntoina, domo salavia montolinga, domo rayamburu rintosayona, dora rata nggalenta mpolara, domabunto yaku mombarampe ntobaraka do’a, kurampeka ntobaraka do’a raposarokami mantikavae, raposarokami noampanene rijalampovia. Artinya: “Saya tidak durhaka, saya tidak durhaka lagi dengan telah dibuatnya acara ini (adat Balia), saya tidak salah membuat kekhilafan agar tidak dihinggapi penyakit di lain hari, saya tidak sakit lagi dengan menyebut orang barakah (keramat), saya sampaikan kepada orang barakah, saya bersandar kepada orang barakah, kami semua disini berjejer dengan melantunkan nyanyian dalam pekerjaan ini untuk kesembuhan penyakit.”

e. Nontaro. Yaitu mulai menari dan kesurupannya para pasien atau peserta balia, mereka bertingkah secara random dengan menari-nari mengikuti iringan musik yang dimainkan. Prosesi ini ditandai dengan mulai dipukul atau di tabuhnya gendang dan instrumen musik atau bunyian lainnya oleh para bule.

Jika ada peserta yang belum dirasuki roh, perangkat sando biasanya mengambil gelas dan piring yang kemudian digesek-gesekkan. Bunyi- bunyiannya akan memfokuskan peserta Balia dan membuat masuknya roh lebih mudah. Prosesi ini berlangsung hingga larut malam, berhenti sebentar untuk makan kemudian dilanjutkan kembali sesuai abaaba dari sando hingga selesai. Tak jarang saat prosesi nontaro berlangsung, peserta yang sudah dirasuki roh halus meminta rokok, telur ayam kampung yang mentah, saguer (tuak) manis dan makanan seperti daging ayam untuk dikonsumsi.

Di hari kedua, terdapat beberapa detail yang berbeda. Adapun prosesinya sebagai berikut:

a. Peserta kembali melakukan Nolili sebanyak 3 kali dengan diarahkan langsung oleh Sando beserta perangkatnya. Langkah ini dilakukan seperti dihari pertama, peserta memutar mengitari lolangi dan dengan makna yang sama, mengundang roh baik untuk masuk atau datang kembali.

b. Nantambasi. Hal ini merupakan salah satu bagian terpenting dalam ritual balia ini. Yaitu memberikan persembahan (Ayam kecil, pisang, cucur, ketan putih dan hitam, kelapa parut, jeroan kepala kaki serta darah ayam) pada roh atau anitu yang diundang. Langkahnya ialah Sando akan menyembelih ayam kecil

(17)

yang masih hidup tadi kemudian dibiarkan begitu saja di dekat, lalu sesembahan disiram dengan air oleh Sando. Maknanya ialah, dengan nantambasi ini diyakini bahwa segala penyakit dan sesuatu yang negatif akan terbawa hanyut bersamaan dengan air yang disiram tersebut. Selain itu, isi sesembahan tersebut juga diperuntukkan bagi roh-roh yang hadir dalam ritual ini.

c. Turun dari rumah menuju tempat kedua, yaitu ke sebuah tanah lapang dan dilakukannya kembali nosove.

d. Nontaro, namun kali ini dengan memegang taba oleh setiap peserta sebagai tanda bahwa keinginan atau pelaksanaan sudah sah atau sesuai adat.

e. Noraro, yaitu kegiatan dimana ayam yang sudah disiapkan kemudian ditombak dibagian kaki oleh peserta dengan dibimbing dan diarahkan oleh sando, lalu langsung disembelih. Dengan langkah ini makna yang terkandung adalah bersamaan dengan darah yang menetes ke tanah, maka menjadi tanda bahwa sesuatunya berkenaan dengan adat telah ditunaikan sesuai syarat.

f. Nompaya, yaitu memotong pohon pisang dan tebu. Peserta duduk menunduk dibawah pohon pisang dan tebu yang kemudian pohon tersebut di tebang oleh Sando di atas mereka, bersamaan dengan itu dihancurkan pula kendi yang diletakkan di atas kepala. Dengan kegiatan nompaya 85 maknanya ialah diyakini kendi yang dihancurkan di atas kepala akan menghilangkan penyakit, menghancurkan penyakit yang berada atau bersarang disekitaran daerah kepala. Selain itu disertakan pula memotong batang pisang dan tebu yang maknanya diartikan sebagai penghilang sakit pada bagian-bagian tubuh yang lainnya.

g. Nontaro ri apu. Yaitu peserta akan menari dan menginjak bara api. Langkah ini menjadi salah satu kegiatan yang bisa dibilang cukup ekstrim dan yang paling menarik perhatian, sebab peserta selanjutnya akan menari diatas bara api yang sedang menyala, menginjaknya hingga bara api padam dengan sendirinya karena diinjak oleh kaki telanjang pasien tanpa merasakan panas sedikitpun. Makna dari menginjak bara api ini ialah dengan menginjak api tersebut dan membuatnya padam, maka segala penyakit utamanya demam atau panas yang bersarang di badan si peserta sebagai penyakit akan hilang.

h. Njoro polama yaitu bentuk penyelesaian diakhir dan keselamatan. Disini sando akan kembali melantunkan syair (novadi). Setelah ini berarti semua sudah selesai dan mempersilahkan segala macam makhluk halus yang di undang untuk pulang. Setelah itu semuanya pulang, kembali ke dalam rumah masing-masing dan beristirahat. Dengan prosesi akhir dari ritual ini diharapkan segala bentuk pengharapan dan doa perseta (si pesakit) serta keluarga akan dijabah oleh Tuhan dan juga direstui dan dibantu oleh rohroh nenek moyang atau leluhur yang hadir.

(18)

F. KONSEP PERAWATAN TRADISIONAL DALAM PERSPEKTIF BUDAYA Nilai-nilai sosial budaya memiliki arti penting bagi manusia dan masyarakat penganutnya. Didalamnya tercakup segala sesuatu yang mengatur hidup mereka termasuk tata cara mencari pengobatan bila sakit. Kekurangan ilmu pengetahuan khususnya ilmu kesehatan disertai pengalaman hidup sehari-hari yang diturunkan dari satu generasi kegenerasi berikutnya membuat mereka mencari pemecahan timbulnya penyakit, penyebaran dan cara pengobatan menuju kearah percaya akan ada pengaruh roh halus dan tahyul.

Kepercayaan tradisional sebagai cerminan dari nilai-nilai sosial budaya amat berpengaruh terhadap masyarakat terutama dikalangan masyarakat pedesaan. Sistem kepercayaan tradisional pada hakekatnya disadari oleh kepercayaan penduduk desa akan adanya alam gaib (alam super natural yang dihuni oleh entitas dalam bentuk roh-roh halus (Yamin Sani, 1993).

Kondisi tersebut diatas merupakan bentuk dari respon social budaya dan jika hal tersebut diatas dikaitkan dengan suatu kondisi kehamilan seseorang, maka akan nampak jelas pengaruhnya dalam kehidupan keseharian ibu hamil tersebut. Kebiasaan kehidupan sehari-hari yang lain sesuai dengan nilai-nilai sosial budaya dihubungkan dengan kehamilan adalah kebiasaan mengurangi porsi makan semata-mata karena takut anaknya lahir dalam ukuran besar sehingga mempersulit persalinan.

Manusia dalam menghadapi lingkungan senantiasa menggunakan berbagai model tingkah laku yang selektif (Selected behavior) sesuai dengan tantangan lingkungan yang dihadapi. Pola perilaku tersebut didasarkan kepada sistem kebudayaan yang diperoleh dan dikembangkan serta diwarisikan secara turun-temurun.

Perilaku manusia dalam menghadapi masalah kesehatan merupakan suatu tingkah laku yang selektif, terencana dan tanda dalam suatu sistem kesehatan yang merupakan bagian dari budaya masyarakat yang bersangkutan. Perilaku tersebut terpola dalam kehidupan nilai sosial budaya yang ditujukan untuk meningkatkan kesehatan, kendatipun mungkin bagi masyarakat diluar budaya masyarakat tersebut perilaku itu justru dianggap berlawanan dengan tujuan yang hendak dicapai.

Konsep kesehatan yang diwarnai oleh nilai-nilai sosial budaya ini banyak ditemukan di negara berkembang terutama di Negara berkembang terutama dipedesaan dan disebut sebagai konsep kesehatan tradisional. (Yamin Sani, 1993).

Ciri terpenting dari konsep kesehatan tradisional ini adalah kaitannya dengan alam tahyul sehingga sifatnya sangat tradisional. Hal ini ditegaskan oleh Benyamin Lumenta (1989) yang menyatakan bahwa pengobatan modern tidak pernah mengaitkan cara pengobatan dengan hal yang tradisional atau tahyul. Sebaliknya para pengobatan dengan hal tradisional sangat mudah jatuh dalam tahyul dan praktek magis.

Dalam konsep kesehatan tradisional dikaitkan dengan kondisi kehamilan seseorang, maka setiap gangguan yang biasa terjadi pada masa hamil diyakini akibat mahluk halus atau karma dari Tuhan atau kelalaian orang tersebut memberi sesaji.

Pertimbangan tradisi ini mengakibatkan timbulnya kepercayaan bahwa perawatan

(19)

kehamilan harus dilakukan oleh dukun baik dalam bentuk upacara maupun nasihat berupa pantangan-pantangan atau perilaku tabu dan kebiasaan hidup lainnya.

G. UNSUR- UNSUR BUDAYA

Ada beberapa unsur-unsur kebudayaan. Koentjaraningrat (1985) menyebutkan ada tujuh unsur- unsur kebudayaan. Ia menyebutnya sebagai isi kebudayaan universal tersebut adalah pokok kebudayaan. Ketujuh unsur :

1. Kesenian

2. Sistem teknologi dan peralatan 3. Sistem organisasi masyarakat 4. Bahasa

5. Sistem mata pencaharian hidup dan sistem ekonomi 6. Sistem pengetahuan

7. Sistem religi

Pada jaman modern seperti ini budaya asli negara kita memang sudah mulai memudar, faktor dari budaya luar memang sangat mempengaruhi pertumbuhan kehidupan di negara kita ini. Contohnya saja anak muda jaman sekarang, mereka sangat antusias dan up to date untuk mengetahui juga mengikuti perkembangan kehidupan budaya luar negeri. Sebenarnya bukan hanya orang-orang tua saja yang harus mengenalkan dan melestarikan kebudayaan asli negara kita tetapi juga para anak muda harus senang dan mencintai kebudayaan asli negara sendiri. Banyak faktor juga yang menjelaskan soal 7 unsur budaya universal yaitu :

1. Kesenian

Setelah memenuhi kebutuhan fisik manusia juga memerlukan sesuatu yang dapat memenuhi kebutuhan psikis mereka sehingga lahirlah kesenian memuaskan. yang dapat.

2. Sistem teknologi dan peralatan

Sistem yang timbul karena manusia mampu menciptakan barang-barang dan sesuatu yang baru agar dapat memenuhi kebutuhan hidup dan membedakan manusia dengam makhluk hidup yang lain.

3. Sistem organisasi masyarakat

Sistem yang muncul karena kesadaran manusia bahwa meskipun diciptakan sebagai makhluk yang paling sempurna namun tetap memiliki kelemahan dan kelebihan masing- masing antar individu sehingga timbul rasa utuk berorganisasi dan bersatu.

4. Bahasa

Sesuatu yang berawal dari hanya sebuah kode, tulisan hingga berubah sebagai lisan untuk mempermudah komunikasi antar sesama manusia. Bahkan sudah ada bahasa yang dijadikan bahasa universal seperti bahasa Inggris.

(20)

5. Sistem mata pencaharian hidup dan sistem ekonomi

Sistem yang timbul karena manusia mampu menciptakan barang barang dan sesuatu yang baru agar dapat memenuhi kebutuhan hidup dan membedakan manusia dengam makhluk hidup yang lain.

6. Sistem pengetahuan

Sistem yang terlahir karena setiap manusia memiliki akal dan pikiran yang berbeda sehingga memunculkan dan mendapatkan sesuatu yang berbeda pula, sehingga perlu disampaikan agar yang lain juga mengerti.

7. Sistem religi

Kepercayaan manusia terhadap adanya Sang Maha Pencipta yang muncul karena kesadaran bahwa ada zat yang lebih dan Maha Kuasa.

(21)

DAFTAR PUSTAKA

Koentaraningrat. 2000. Kebudayaan, Mentalitas dan Pembangunan. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

https://satujam.com/pengertian-kebudayaan/

Abdullah, M. J., Sejarah Tanah Kaili, Palu: Stensilan, 1975

Mahid, Syakir, Sejarah Sosial Sulawesi Tengah, Palu: PPs Lemlit Untad, 2009.

Mattulada, sejarah kebudayaan “To Kaili’, Palu: Tadulako university press 1990.

Melalotoa, M. Yunus, Sekelumit Sejarah Kebudayaan Kaili dalam Antropologi Indonesia, Jakarta: Fisif UI, 1991.

Misnah, Mengenal kebudayaan Balia, Sulawesi Tengah: Quanta Press, 2010.

Referensi

Dokumen terkait

Alat permainan dan media pembelajaran berdasarkan budaya lokal adalah sesuatu yang dapat dipergunakan untuk membantu tumbuh kembang potensi anak secara optimal.

Praktik kebidanan adalah penerapan ilmu kebidanan dalam memberikan pelayanan atau asuhan kebidanan kepada klien dengan pendekatan..

Pokok masalah yang akan diangkat dalam penelitian ini adalah Skripsi ini membahas tentang Akulturasi Budaya Lokal dengan Budaya Islam dalam adalah bagaimana

Oleh karena itu, tulisan ini berupaya mengkaji tentang peningkatan peranan budaya lokal terhadap pengaruh liberalisasi bidang pendidikan yang dilihat dari (1)

Gambaran Budaya Organisasi yang Berlandaskan Budaya

Dokumen tersebut berisi ulasan jurnal penelitian tentang konsep pendidikan berbasis kearifan lokal dalam perspektif global dalam menjaga kelestarian situs Ulak Lebar di Kota

Makalah ini membahas tentang pasar modal dalam perspektif

Makalah ini membahas tentang budaya politik dalam