ALASAN PENGHAPUS DAN JENIS PENUNTUTAN NYA SERTA ALASAN PEMBENAR DAN JENISNYA
Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Hukum Pidana (O) Dosen Pengampu: Dr. Rehalemken Ginting,
S.H., M.H.
Disusun oleh Kelompok 12 Hukum Pidana (O):
1. Rama Aryayudha Trisnantara (E0021372) 2. Raihan Akbar Syahdewa (E0021368) 3. Raihan Muti Zain (E0021370) 4. Nadhila Tsabita Fathurrahman (E0021315) 5. Nicolaus Rakhel Danny Cesario (E0021336)
PROGRAM STUDI S1 ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SEBELAS MARET 2022
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR...2
BAB I PENDAHULUAN...3
1.1 Latar Belakang...3
1.2 Rumusan Masalah...3
1.3 Tujuan Kepenulisan...3
BAB II PEMBAHASAN...4
2.1 Alasan Penghapusan Pidana dan Jenis Penuntutannya...4
2.2 Alasan Pembenar dan Jenisnya...10
BAB III PENUTUP...13
DAFTAR PUSTAKA...14
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah menganugerahkan banyak nikmat sehingga kami dapat menyusun tugas makalah Hukum Pidana yang berjudul “Alasan Penghapus dan Jenis Penuntutannya serta Alasan Pembenar dan Jenisnya”
dengan baik.
Saya mengucapkan terimakasih kepada seluruh pihak yang telah membimbing kami dalam menyelesaikan tugas ini. Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna dan masih banyak terdapat kesalahan serta kekurangan didalamnya.
Kami mengharapkan segala bentuk saran serta masukan bahkan kritik yang membangun dari berbagai pihak. Akhirnya kami berharap semoga makalah ini dapat memberikan manfaat bagi yang membacanya.
Kelompok 12
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Hukum Pidana merupakan bagian dari ranah hukum publik. Hukum Pidana di Indonesia diatur secara umum dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), yang merupakan peninggalan zaman penjajahan Belanda. KUHP merupakan lex generalis bagi pengaturan hukum pidana di Indonesia, dimana asas-asas umum termuat dan menjadi dasar bagi semua ketentuan pidana yang diatur di luar KUHP.
Dalam pembahasan hukum pidana, dikenal adanya istilah tindak pidana yang berarti perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana.Apapun tindak pidana yang dilakukan pasti mempunyai pertimbangan untuk mendapatkan keringanan pidana bahkan penghapusan pidana dengan alasan pembenar. Dasar tersebut dapat ditemukan dalam Pasal 44 - Pasal 54 BAB III Kitab Undang-Undang Hukum Pidana tentang hal yang menghapuskan, mengurangkan atau memberatkan pengenaan pidana. Salah satu pasal dalam BAB III ini membahas tentang daya paksa (overmacht) yang terdapat dalam Pasal 48 KUHP yang berbunyi “Barangsiapa melakukan perbuatan karena pengaruh daya paksa, tidak dipidana”
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa pengertian dari alasan penghapusan pidana?
2. Apa saja jenis penuntutan dari alasan penghapusan pidana?
3. Apa pengertian dari alasan pembenar?
4. Apa saja jenis dari alasan pembenar?
1.3 Tujuan Kepenulisan
1. Mengetahui pengertian alasan penghapusan pidana
2. Mengetahui berbagai jenis penuntutan dari alasan penghapusan pidana 3. Mengetahui pengertian alasan pembenar
4. Mengetahui berbagai jenis dari alasan pembena
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Alasan Penghapusan Pidana dan Jenis Penuntutannya.
Penghapusan Pidana :
Hal-hal atau keadaan yang mengakibatkan tidak dijatuhkannya pidana pada seseorang yang telah melakukan perbuatan yang dengan tegas dilarang dan diancam dengan sanksi pidana karena terdapat alasan yang memaafkan dan alasan yang membenarkan perbuatan tersebut.
Alasan-alasan penghapusan pidana telah disebutkan di dalam Buku I BAB III KUHP yang menjelaskan mengenai alasan penghapusan pidana umum. Di dalam Buku II KUHP juga menjelaskan mengenai alasan penghapusan pidana khusus yang menjelaskan mengenai delik tertentu seperti pada Pasal 221 dan Pasal 310 KUHP.
M.v.T dari KUHP Belanda telah membagi alasan-alasan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan seseorang sehingga orang tersebut tidak dipidana sebagai berikut:
1. Alasan tidak dapat dipertanggungjawabkan seseorang terletak pada diri orang tersebut (indewig) seperti yang dijelaskan dalam Pasal 44 KUHP.
2. Alasan tidak dapat dipertanggungjawabkan seseorang terletak di luar orang tersebut (uitwendig) seperti yang dijelaskan dalam Pasal 48-51 KUHP.
Dalam teori hukum pidana, alasan-alasan penghapusan pidana dibagi sebagai berikut 1. Alasan Pembenar
2. Alasan Pemaaf
3. Alasan Penghapusan Tuntutan
Terdapat pula alasan penghapusan pidana di luar undang-undang seperti:
1. Tindakan penghukuman yang didasarkan pada hak mendidik oleh orang tua, wali, guru dan pendidik lainya
2. Tindakan yang bersumber pada hak jabatan dokter, apoteker, dan ahli kebidanan
3. Tindakan yang telah mendapat persetujuan dari pihak yang dirugikan mengenai suatu perbuatan pidana
4. Mewakili urusan orang lain A. Alasan Penghapusan Pidana Umum
Pasal 44 KUHP tentang Tidak Mampu Bertanggung Jawab
Di dalam Pasal 44 KUHP dijelaskan bahwa seseorang dikatakan tidak dapat bertanggung jawab karena jiwanya cacat dalam pertumbuhan atau terganggu karena penyakit, sehingga tidak dipidana. Selanjutnya hakim pada tingkat Mahkamah Agung, Pengadilan Tinggi, dan Pengadilan Negeri dapat memerintahkan agar orang tersebut dimasukkan ke rumah sakit jiwa dengan masa percobaan satu tahun.
Contoh:
Sidang Mahkamah Militer mengadili terdakwa seorang Sersan Mayor Polisi Polda Nusra yang melakukan penembakan terhadap tiga orang hingga meninggal dunia. Berdasarkan keterangan saksi ahli Dokter Jiwa yang diuraikan dalam persidangan, ternyata terdakwa mengalami stress berat sehingga mengalami gangguan “amok” (suatu keadaan jiwa yang tidak sadar) waktu melakukan penembakan. Orang semacam ini telah terganggu pikiran sehatnya (ziekelijk storing derverstandelijk vermogens). Oleh karena itu, ia tidak memiliki unsur kesalahan sehingga Pasal 44 KUHP dapat diterapkan dalam kasus ini. Mahkamah Agung dalam putusannya No. 33.K/Mil/1987 tanggal 27 Februari 1988 menyatakan bahwa terdakwa tidak terbukti dengan sah dan meyakinkan sehingga dilepas dari segala tuntutan hukum.
Pasal 48 KUHP tentang Daya Paksa dan Keadaan Darurat
Pasal 48 menjelaskan mengenai seseorang yang melakukan sesuatu karena adanya Daya Paksa atau overmacht, sehingga orang itu tidak dipidana. Overmacht ini kemudian dibagi menjadi dua :
1. Vis absoluta (paksaan absolut)
Daya paksa yang disebabkan oleh kekuatan manusia atau alam. Dalam hal ini paksaan tersebut sama sekali tidak dapat ditahan.
2. Vis Compulsiva (paksaan relatif)
Paksaan yang timbul tidak dapat diharapkan bahwa ia dapat mengadakan perlawanan.
Pasal 48 juga menjelaskan mengenai Keadaan Darurat atau noodtoestand yaitu daya paksa yang timbul pada saat orang itu dalam keadaan darurat sehingga menjadikan seseorang yang membela diri seolah-olah main hakim sendiri. Terdapat tiga bentuk dari keadaan darurat :
1. Pertentangan antara dua kepentingan hukum.
2. Pertentangan antara kepentingan hukum dan kewajiban hukum.
3. Pertentangan antara kewajiban hukum dan kewajiban hukum.
Pasal 49 ayat (1) tentang Pembelaan Terpaksa
Pasal 49 ayat (1) menyebutkan “Barangsiapa terpaksa melakukan perbuatan untuk pembelaan, karena ada serangan atau ancaman serangan ketika itu yang melawan hukum, terhadap diri sendiri maupun orang lain; terhadap kehormatan kesusilaan (eerbaarheid) atau harta benda sendiri maupun orang lain, tidak dipidana”.
Contoh:
Seseorang yang dibegal melakukan pembelaan diri agar dirinya selamat sekalipun melukai pelaku begal.
Pasal 49 ayat (2) tentang Pembelaan terpaksa melampaui batas (Noodweer Exces)
Pasal 49 ayat (2) tersebut menyebutkan “Tidak dipidana seseorang yang melampaui batas pembelaan yang diperlukan, jika perbuatan itu merupakan akibat langsung dari suatu kegoncangan jiwa yang hebat yang disebabkan oleh serangan itu”. Berdasarkan pasal tersebut terdapat tiga syarat yang harus terpenuhi :
1. Pembelaan terpaksa yang melampaui batas;
2. Pembelaan itu yang langsung disebabkan oleh guncangan jiwa yang hebat atau sangat panas hatinya;
3. Pembelaan itu karena terdapat serangan atau ancaman serangan.
Contoh:
Seseorang yang dibegal menggunakan pisau di tengah jalan melakukan perlawanan diri dengan menusukkan pisau si pelaku begal hingga menyebabkan begal tersebut meninggal.
Pasal 51 ayat (2) tentang Perintah Jabatan tidak sah
Pasal 51 Ayat (2) KUHP yang berbunyi, “Perintah jabatan tanpa wewenang tidak menyebabkan hapusnya pidana, kecuali jika yang diperintah mengira dengan itikad baik bahwa perintah diberikan dengan wewenang dan pelaksanaannya termasuk dalam lingkungan pekerjaannya.”
B. Alasan Penghapus Pidana Khusus Pasal 221 KUHP
Perbuatan yang disebutkan dalam Pasal 221 ayat (1) KUHP adalah perbuatan menyembunyikan, menolong untuk menghindarkan diri dari penyidikan atau penahanan, serta menghalangi atau mempersulit penyidikan atau penuntutan terhadap orang yang melakukan kejahatan. Kemudian pada Pasal 221 ayat (2) KUHP aturan diatas tidak berlaku bagi orang yang melakukan perbuatan tersebut dengan maksud untuk menghindar atau menghalau bahaya penuntutan terhadap seseorang keluarga sedarah atau dalam garis lurus atau garis menyimpang derajat dua atau tiga atau terhadap suami/istri atau bekas suami/istri
Ketentuan ayat 2 pasal 221 KUHP sebagai alasan penghapus pidana jika suatu perbuatan dilakukan oleh keluarga termasuk suami/istri atau bekas suami/istri. Disini perbuatan yang dilakukan tetaplah pidana, namun elemen yang dicela pelaku yang dihapuskan.
Pasal 310 KUHP
Unsur unsur yang terdapat dalam pasal 310 KUHP:
1. Pasal 310 ayat (1) mengenai pencemaran nama baik
“Barangsiapa sengaja menyerang kehormatan atau nama baik seseorang dengan menuduh suatu hal, yaitu yang dimaksudnya terang supaya hal itu diketahui umum, diancam karena pencemaran dengan pidana penjara paling lama Sembilan bulan atau denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah”
2. Pasal 310 ayat (3) KUHP menyebutkan
“Bukan merupakan pencemaran tertulis jika perbuatan dilakukan demi kepentingan umum atau karena terpaksa untuk membela diri”
C. Alasan Penghapusan Tuntutan Pidana
Alasan penghapusan tuntutan merupakan keadaan tertentu yang dapat menyebabkan seorang pelaku tindak pidana tidak dapat dituntut oleh jaksa penuntut umum dengan alasan penghapusan penuntutan atau dasar-dasar yang menghilangkan penuntutan. Dalam hal ini letak masalah bukan pada alasan pembenar atau alasan pemaaf, namun pemerintah menganggap atas dasar kemanfaatanya kepada masyarakat penuntutan tersebut lebih baik untuk ditiadakan.
Alasan penghapusan pidana telah diatur di dalam pasal-pasal berikut:
1. Pasal 2-3 dan Pasal 7-9 KUHP yang mengatur tentang ruang lingkup berlakunya Undang-Undang Pidana Indonesia.
2. Pasal-pasal 61 dan 62 KUHP yang menentukan bahwa pencetak dan penerbit tidak dapat dituntut jika di dalam cetakan tersebut tercantum nama dan alamatnya serta diketahui siapa pembuatnya atau jika diberitahukan pada saat teguran pertama bahwa akan dilakukan penuntutan.
3. Pasal 71-75 KUHP yang mengatur dicabutnya pengaduan dalam delik aduan. Penyidik boleh melakukan penyidikan terbatas serta tidak dapat dilakukan penuntutan sebelum adanya aduan.
4. Pasal 76 KUHP tentang Neb Bis In Indem yaitu asas hukum yang melarang terdakwa diadili lebih dari satu kali atas satu perbuatan apabila telah terdapat keputusan hakim yang memiliki kekuatan hukum baik yang menghukum atau membebaskannya.
5. Pasal 77 KUHP yang menentukan bahwa kewenangan menuntut pidana hapus jika terdakwa meninggal dunia.
6. Pasal 78 KUHP tentang Daluwarsa Penuntut Pidana. Daluwarsa adalah suatu keadaan lewatnya waktu atau jangka waktu kadaluwarsa yang ditentukan oleh Undang- Undang,yang menjadi sebab gugurnya atau hapusnya hak untuk menuntut dan melaksanakan hukuman terhadap seseorang yang melakukan tindak pidana. Maka terdakwa tidak dapat diajukan ke Pengadilan untuk dilakukan proses penuntutan.
Penuntut umum berwenang melakukan penuntutan terhadap siapapun yang didakwa melakukan suatu tindak pidana dalam daerah hukumnya dengan melimpahkan perkara ke pengadilan yang berwenang mengadili. Tetapi terdapat asas Oportunitas yang memberikan wewenang kepada penuntut umum untuk menuntut atau tidak menuntut dengan tanpa syarat seseorang atau korporasi yang telah melakukan tindak pidana demi kepentingan umum.
7. Pasal 82 KUHP tentang penyelesaian diluar pengadilan. Pasal ini mengatur hal diantaranya:
1. Kewenangan menuntut pelanggaran yang diancam dengan pidana denda menjadi hapus, jika secara suka rela dibayar maksimum denda dan biaya-biaya yang telah dikeluarkan.
2. Jika di samping pidana denda ditentukan perampasan, maka barang yang dikenai perampasan wajib diserahkan pula atau harganya harus dibayar menurut taksiran pejabat yang berwenang.
3. Dalam hal pidana diperberat karena pengulangan, pemberatan itu tetap berlaku sekalipun kewenangan menuntut pidana terhadap pelanggaran yang dilakukan lebih dulu telah hapus karena penyelesaian di luar pengadilan.
4. Ketentuan-ketentuan tersebut tidak berlaku bagi orang yang belum dewasa, yang pada saat melakukan perbuatan belum 16 tahun
2.2 Alasan Pembenar dan Jenisnya
Alasan pembenar merupakan alasan yang menghapus sifat melawan hukum suatu tindak pidana, sehingga perbuatan terdakwa menjadi perbuatan yang patut dan benar. Dalam alasan pembenar dilihat dari sisi perbuatannya (objektif).
Alasan pembenar terdapat dalam dalam KUHP :
- Pasal 48 KUHP tentang Daya Paksa (Overmacht), mengatur masalah kedaruratan ini, yang berbunyi: “Barang siapa melakukan perbuatan karena pengaruh daya paksa, tidak dipidana.” Keadaan memaksa dalam hukum pidana, merupakan kondisi seseorang melakukan tindak pidana karena dalam keadaan yang benar-benar terpaksa. Keadaan terpaksa itu, bisa disebabkan oleh karena kekuasaan yang tidak bisa dihindarinya atau keadaan dari luar yang menyebabkan seseorang melakukan perbuatan yang melawan hukum.
Daya paksa terbagi menjadi tiga, yaitu:
1. Paksaan Mutlak
Pada keadaan ini, pelaku tindak pidana tidak dapat berbuat hal lain selain tindakan yang dipaksakan kepadanya. Menurut Jonkers, orang yang mendapatkan paksaan mutlak terkena pengaruh yang bersifat kejasmanian maupun kejiwaan.
Beberapa ahli berpendapat bahwa daya paksa mutlak bukanlah daya paksa sesungguhnya menurut Pasal 48 KUHP karena pelaku yang dipaksa hanya menjadi alat dan perbuatan yang dilakukannya tidak berdasarkan kehendaknya.
2. Paksaan Relatif
Pada keadaan ini, seseorang mendapat paksaan yang tidak mutlak, namun ia tidak dapat melawannya. Orang tersebut memiliki kesempatan untuk memilih tindakan yang akan dilakukannya walaupun pilihannya dipengaruhi oleh pemaksa, apabila
ia melakukan perbuatan sesuai kehendaknya maka ia akan mendapatkan perlakuan yang merugikannya. Pada paksaan mutlak segala perbuatan dilakukan oleh orang yang memaksa, sedangkan pada paksaan relatif suatu perbuatan masih dilakukan oleh orang yang dipaksa berdasarkan pilihan yang ia buat.
3. Keadaan Darurat
Keadaan darurat atau Noodtoestand terbagi menjadi tiga kemungkinan, yaitu adanya benturan antara dua kepentingan hukum, benturan antara kepentingan hukum dan kewajiban hukum, serta benturan antara dua kewajiban hukum. Dalam suatu keadaan darurat, seseorang dapat melakukan perbuatan pidana berdasarkan pilihannya sendiri.
Contoh kasus : Seseorang dihipnotis sehingga melakukan perbuatan melawan hukum seperti membunuh atau mencuri.
- Pasal 49 ayat 1 KUHP tentang Perbuatan Pembelaan Darurat atau Pembelaan Terpaksa (Noodweer) “Untuk diri sendiri maupun untuk orang lain, kehormatan kesusilaan atau harta benda sendiri maupun orang lain, karena ada serangan atau ancaman serangan yang sangat dekat.”
Contoh kasus : Membunuh begal dan pembelaan darurat.
- Pasal 50 KUHP tentang Melaksanakan Ketentuan Undang-Undang yang berbunyi “Barangsiapa melakukan perbuatan untuk melaksanakan ketentuan undang- undang, tidak dipidana.”
Contoh kasus : Seorang eksekutor yang mengeksekusi narapidana yang dijatuhi hukuman mati tidak dipidana karena ia melaksanakan ketentuan dalam undang- undang.
- Pasal 51 ayat 1 KUHP tentang Melaksanakan Perintah Jabatan yang berbunyi
“Barang siapa melakukan perbuatan untuk melaksanakan perintah jabatan yang diberikan oleh penguasa yang berwenang, tidak dipidana.”
Contoh kasus : Polisi diperintah oleh seorang Penyidik Polri dengan menerbitkan suatu Surat Perintah Penangkapan untuk menangkap seorang yang telah melakukan kejahatan. Pada hakekatnya polisi ini merampas kemerdekaan seorang lain, akan tetapi karena penangkapan itu dilaksanakan berdasarkan perintah yang sah, maka polisi bersangkutan tidak dapat dipidana.
BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Terkait alasan-alasan penghapus pidana tersebut mempunyai peranan yang sangat penting dalam penegakan hukum dan keadilan. Tanpa adanya alasan penghapus pidana seseorang yang melakukan perbuatan yang memenuhi rumusan suatu tindak pidana dapat dijatuhi pidana walaupun tidak ada maksud untuk melanggar ketentuan hukum tersebut, atau telah dilakukan sikap hati – hati atau tidak ada kesalahan pada orang tersebut.
Lalu dalam alasan pembenar juga mempunyai peranan yang sama pentingnya.Alasan ini dapat ditinjau dari sisi perbuatan seorang terdakwa.Dengan begitu seseorang yang melakukan tindak pidana tidak boleh langsung dihukum atas perbuatannya , tetapi harus diselidiki apakah perbuatannya tersebut termasuk dalam kategori perbuatan yang dibenarkan atau dimaafkan atau tidak . Pertanggungjawaban pidana dapat hapus apabila seseorang yang melakukan tindak pidana mempunyai alasan pembenar.
3.2 Saran
Alasan penghapus dan pembenar dalam hukum pidana merupakan aspek yang harus diperhatikan dan diterapkan dalam tindak pidana.Karena dengan adanya alasan ini dapat mencegah adanya putusan hakim yang tidak adil dalam memutuskan suatu tindak pidana.
DAFTAR PUSTAKA
Rattu, R. (2019). Daya Paksa (Overmacht) Dalam Pasal 48 KUHP Dari Sudut Doktrin dan Yurisprudensi. Lex Crimen, 8(11), 14-21.
Tahir, B. (2018). Pertanggungjawaban Pidana Menurut Hukum Pidana Tentang Daya Paksa (Overmacht). Spirit Pro Patria, 7(2), 115-124.\
Kermite, D. P., Kermite, J. A., dan Tawas, F. Terhadap Pembelaan Terpaksa (Noodweer) Dalam Tindak Pidana Kesusilaan Berdasarkan Pasal 49 Ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Lex Privatum Vol. IX/No. 4/Apr/EK/2021.
Drs. P. A. F. Lamintang, S. (2018). Dasar-Dasar Hukum Pidana di Indonesia.
Jakarta: Sinar Grafika.
Prof. Moeljanto, S. (2008). Asas-Asas Hukum Pidana. Jakarta: Rineka Cipta.
Siapakah yang Berhak Menentukan Waras atau Tidaknya Pelaku Tindak Pidana? (Bag 1) – TRIBRATANEWS POLDA KEPRI. (2020, Juli 15). TRIBRATANEWS POLDA KEPRI.
Diakses pada Juni 15, 2022, dari
https://tribratanews.kepri.polri.go.id/2020/07/15/siapakah-yang-berhak-menentukan-waras- atau-tidaknya-pelaku-tindak-pidana-bag-1/