• Tidak ada hasil yang ditemukan

PDF PEMBERIAN TOPIKAL EKSTRAK ETANOL BUAH ADAS (Foeniculum vulgare ... - UNUD

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2024

Membagikan "PDF PEMBERIAN TOPIKAL EKSTRAK ETANOL BUAH ADAS (Foeniculum vulgare ... - UNUD"

Copied!
128
0
0

Teks penuh

(1)

TESIS

PEMBERIAN TOPIKAL EKSTRAK ETANOL BUAH ADAS (Foeniculum vulgare Mill.) KONSENTRASI 50%

LEBIH MENINGKATKAN ANGIOGENESIS DAN REEPITELIALISASI DARIPADA POVIDONE IODINE

UNTUK PENYEMBUHAN ULKUS TRAUMATIKUS MUKOSA MULUT TIKUS PUTIH JANTAN

NI KD FIORA RENA PERTIWI

PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

2015

(2)

TESIS

PEMBERIAN TOPIKAL EKSTRAK ETANOL BUAH ADAS (Foeniculum vulgare Mill.) KONSENTRASI 50%

LEBIH MENINGKATKAN ANGIOGENESIS DAN REEPITELIALISASI DARIPADA POVIDONE IODINE

UNTUK PENYEMBUHAN ULKUS TRAUMATIKUS MUKOSA MULUT TIKUS PUTIH JANTAN

NI KD FIORA RENA PERTIWI 1290761002

PROGRAM MAGISTER

PROGRAM STUDI ILMU BIOMEDIK PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR

2015

(3)

PEMBERIAN TOPIKAL EKSTRAK ETANOL BUAH ADAS (Foeniculum vulgare Mill.) KONSENTRASI 50% LEBIH

MENINGKATKAN ANGIOGENESIS DAN

REEPITELIALISASI DARIPADA POVIDONE IODINE UNTUK PENYEMBUHAN ULKUS TRAUMATIKUS MUKOSA MULUT

TIKUS PUTIH JANTAN

Tesis Untuk Memperoleh Gelar Magister

Pada Program Magister, Program Studi Ilmu Biomedik Program Pasca Sarjana Universitas Udayana

NI KD FIORA RENA PERTIWI 1290761002

PROGRAM MAGISTER

PROGRAM STUDI ILMU BIOMEDIK PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR

2015

(4)

LEMBAR PENGESAHAN

TESIS INI TELAH DISETUJUI PADA TANGGAL 28 JULI 2015

Pembimbing I

Prof. Dr.dr.I Putu Gede Adiatmika, M.Kes NIP 196603091998021003

Pembimbing II

Prof. Dr. dr. I Nyoman Adiputra, MOH, Sp.Erg NIP 194712111976021001

Ketua Program Studi Ilmu Biomedik Program Pascasarjana Universitas Udayana

Dr. dr. Gde Ngurah Indraguna Pinatih, M.Sc, Sp.GK NIP. 195805211985031002

Direktur Program Pascasarjana Universitas Udayana

Prof. Dr. dr. A. A. Raka Sudewi, Sp.S (K) NIP 19590215198510 2001

Mengetahui

(5)

Tesis Ini Telah Diuji Tanggal 28 Juli 2015

Panitia Penguji Tesis Berdasarkan SK Rektor Universitas Udayana, No: 1969/UN14.4/HK/2015, Tanggal 1 Juli 2015

Ketua : 1. Prof. Dr.dr.I Putu Gede Adiatmika, M.Kes.

Anggota :

2. Prof. Dr. dr. I Nyoman Adiputra, MOH,Sp.Erg.

3. Prof. Dr. dr. Nyoman Mangku Karmaya, M.Repro 4. Prof. Dr. dr. J. Alex Pangkahila, MSc., Sp.And 5. Dr.dr. I Dewa Made Sukrama, M.Si, Sp.MK(K)

(6)
(7)

UCAPAN TERIMA KASIH

Puji syukur kami panjatkan kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa karena hanya atas asung wara nugraha-Nya, penulis dapat menyelesaikan penyusunan Tesis yang berjudul “Pemberian Topikal Ekstrak Etanol Buah Adas (Foenicullum Vulgare Mill) konsentrasi 50% lebih Meningkatkan Angiogenesis dan Reepitelialisasi daripada Povidone Iodine untuk Penyembuhan Ulkus Traumatikus Tikus Putih Jantan ” dengan baik.

Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan Tesis ini tidak akan terwujud tanpa adanya bantuan, dukungan serta bimbingan dari berbagai pihak. Dalam kesempatan ini, dengan ketulusan hati dan rasa hormat, penulis mengucapkan terimakasih kepada:

1. Prof. Dr.dr. A.A. Raka Sudewi, Sp.S (K), selaku Direktur Pascasarjana Universitas Udayana atas segala kesempatan yang telah diberikan,

2. Dr. dr. Gde Ngurah Indraguna Pinatih, M.Sc, Sp.GK, selaku Ketua Program Studi Magister Ilmu Biomedik Universitas Udayana atas kesempatan yang telah diberikan kepada penulis untuk mengikuti program magister,

3. Prof. Dr.dr.I.P.G.Adiatmika, M.Kes., selaku Pembimbing I atas segala bimbingan, arahan dan semangat yang telah diberikan selama ini,

4. Prof. Dr. dr. I Nyoman Adiputra, MOH,Sp.Erg., selaku Pembimbing II atas segala bimbingan dan arahan yang telah diberikan,

5. Prof. Dr. dr. Nyoman Mangku Karmaya, M.Repro, Prof. Dr. dr. J. Alex Pangkahila, MSc., Sp.And, dan Dr. dr. I Dewa Made Sukrama, M.Si,

(8)

Sp,MK(K) Selaku Penguji, tesis yang telah memberikan masukan, saran, dan koreksi yang sangat membangun sehingga tesis ini dapat ditulis dengan benar.

6. Dr. dr. Susy Purnawati, selaku Kepala Bagian Fisiologi Fakultas Kedokteran, Universitas Udayana atas segala kesempatan dan dorongan yang telah diberikan,

7. Seluruh Dosen dan Staff pengajar pada Program Magister Biomedik Universitas Udayana,

8. Kepala Bagian dan Staff Bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Udayana Denpasar yang telah memberikan kesempatan mempergunakan fasilitas yang ada sehingga membantu penulis menyelesaikan penelitian ini,

9. Kepala Bagian dan Staff Laboratorium Patologi Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Udayana Denpasar yang telah memberikan kesempatan mempergunakan fasilitas yang ada sehingga membantu penulis menyelesaikan penelitian ini tepat pada waktunya,

10. Dr. dr. I Dewa Made Sukrama, M.Si, Sp,MK(K) Selaku Ketua Program Studi Pendidikan Dokter Gigi, Universitas Udayana atas segala kesempatan dan dukungan yang telah diberikan.

11. Ayahanda dan Ibunda terkasih, Made Sudarsana dan Ketut Sari, serta suami tercinta Wayan Tunas Atmajaya atas segala bimbingan, dukungan dan doanya,

(9)

12. Seluruh Staff Dosen dan Pegawai PSPDG Universitas Udayana yang telah memberikan bantuan semangat dan doa yang sangat bermanfaat bagi penulis,

13. Kepada drg. Sartika Putri dan seluruh staff Kuta Raya Klinik 62 yang telah memberikan doa, motivasi, dan bantuan kepada penulis,

14. Kepada keluarga besar, sahabat dan seluruh teman – teman yang tidak mungkin disebutkan satu persatu, yang turut membantu terselesaikannya tesis ini.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa tesis ini masih jauh dari sempurna, maka penulis berharap kepada semua pihak agar memberi sumbangan pikiran, kritik maupun saran yang positif demi kesempurnaannya. Penulis berharap semoga tesis ini dapat bermanfaat bagi dokter gigi khususnya dan masyarakat pada umumnya serta berguna bagi perkembangan ilmu pengetahuan.

Denpasar, 30 Juli 2015

Penulis

(10)

ABSTRAK

PEMBERIAN TOPIKAL EKSTRAK ETANOL BUAH ADAS (Foeniculum vulgare Mill.) KONSENTRASI 50% LEBIH MENINGKATKAN ANGIOGENESIS DAN REEPITELIALISASI DARIPADA POVIDONE IODINE UNTUK PENYEMBUHAN ULKUS TRAUMATIKUS MUKOSA

MULUT TIKUS PUTIH JANTAN

Prosedur perawatan gigi terkadang dapat menyebabkan luka pada mukosa mulut secara sengaja maupun tidak sengaja. Ulkus traumatikus pada mukosa mulut adalah luka terbuka yang sering ditemukan di dalam rongga mulut.

Gambaran klinis ulkus traumatikus berupa ulkus tunggal pada mukosa yang dapat disebabkan oleh adanya trauma fisik atau mekanik, perubahan suhu, kimia dan radiasi. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk membuktikan apakah ekstrak etanol (Foenicullum vulgare Mill.) konsentrasi 50% lebih efektif dalam meningkatkan angiogenesis dan reepitelialisasi daripada Povidone Iodine untuk penyembuhan ulkus traumatikus mukosa mulut tikus putih jantan.

Telah dilakukan penelitian eksperimental Randomized Post Test Only Control Group Design pada 32 ekor tikus putih jantan yang telah diinduksi dengan H2O2 sehingga terjadi ulkus traumatikus pada mukosa labial bawah, dibagi menjadi 2 kelompok perlakuan, masing-masing kelompok 16 ekor tikus.

Kelompok Kontrol mendapatkan pemberian Povidone Iodine selama 3 hari, dan Kelompok Perlakuan diberikan ekstrak etanol buah adas konsentrasi 50% selama 3 hari. Pada hari ke 7 tikus dieuthanasia untuk pengambilan jaringan mukosa mulut kemudian dibuat preparat histologi dengan pengecatan HE. Data yang diperoleh dianalisis, dimana dilakukan uji normalitas dengan Shapiro-wilk dan dilanjutkan dengan independent T-test.

Rerata neoangiogenesis Kelompok Perlakuan dengan pemberian ekstrak etanol buah adas konsentrasi 50% (39,19±2,28 unit) lebih tinggi dibandingkan rerata Kelompok Kontrol yang diberikan Povidone Iodine (16,5+1,63 unit). Rerata reepitelialisasi yang ditunjukan oleh lebar celah epitel Kelompok Perlakuan dengan pemberian ekstrak etanol buah adas konsentrasi 50% (976,88±97,82 μm) lebih rendah dibandingkan rerata Kelompok Kontrol (Povidone Iodine) (2031,06±104,70 μm). Hasil rerata neoangiogenesis dan reepitelialisasi ini berbeda secara bermakna (p<0,05).

Disimpulkan bahwa ekstrak etanol buah adas konsentrasi 50% yang memiliki kandungan flavonoid, saponin, tannin dan vitamin C dapat meningkatkan neoangiogenesis dan reepitelialisasi daripada Povidone Iodine pada penyembuhan ulkus traumatikus mukosa mulut tikus putih jantan.

Kata Kunci : ekstrak etanol buah adas (Foenicullum vulgare Mill.), Povidone Iodine, angiogenesis, reepitelialisasi, ulkus traumatikus

(11)

ABSTRACT

TOPICALLY ADMINISTRATIONS OF 50% FENNEL’S ETANOL EXTRACT ENHANCE NEOANGIOGENIS AND REEPHITELIZATION

IN HEALING TRAUMATIC ULCER ON ORAL MUCOSA MALE RAT

Dental procedures can sometimes inadvertently cause traumatic ulcers.

Traumatic ulcer on oral mucosal are open sore that are often found in the oral cavity. Clinical features such as a single mucosal ulceration that can be caused by physical or mechanical trauma, temperature changes, chemicals and radiation. The purpose of this study was to prove whether the 50% of ethanol extract Fennel’s (Foenicullum vulgare Mill.) more effective in improving angiogenesis and reepithelialization than Povidone Iodine in healing traumatic ulcer on oral mucosa male rats.

This study used Randomized Post Test Only Control Group Design and were done used 32 male rats that had been induced by H2O2, caused traumatic ulcers in the lower labial mucosa, this animal were divided into two groups, each group contain 16 rats. Control group get Povidone Iodine administration for 3 days, and the treatment group was given 50% of ethanol extract fennel’s for 3 days. On 7th day, mice euthanized for tissue sampling and histological preparations were made by HE staining. The data were analyzed using Shapiro- Wilk for normality test and continued using by independent T-test.

The Mean of neoangiogenesis at treatment group by administration 50%

of ethanol extract fennel’s (39.19 ± 2.28 units) was higher than the average of the control group was given Povidone Iodine (16.5 + 1.63 units). The mean of reepithelialization determined by ephitelial cleft at group treated with 50% ethanol extract of fennel’s (976.88 ± 97.82 m) lower than the control (2031.06 ± 104.70 m). Results The mean of neoangiogenesis and reepitelialisasi significantly different (p <0.05).

It was concluded that the 50% of ethanol extract fennel’s that contain flavonoid, saponin, tannin and vitamin C enhance neoangiogenesis and reepithelialization than Povidone Iodine for healing traumatic ulcer on white male rats.

Keywords: ethanol extract of fennel’s (Foenicullum vulgare Mill.), Povidone Iodine, angiogenesis, reepithelialization, traumatic ulcer

(12)

DAFTAR ISI

Halaman

SAMPUL DALAM ... ... i

PRASYARAT GELAR ... ii

LEMBAR PENGESAHAN ... iii

LEMBAR PENETAPAN PANITIA PENGUJI ………... iv

SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT... v

UCAPAN TERIMA KASIH... vi

ABSTRAK ………. ix

ABSTRACT……… x

DAFTAR ISI ... xi

DAFTAR GAMBAR... xiv

DAFTAR TABEL ……….. xv

DAFTAR SINGKATAN... xvi

DAFTAR LAMPIRAN... xvii

BAB I PENDAHULUAN... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 9

1.3 Tujuan Penelitian... 9

1.3.1 Tujuan umum... 9

1.3.2 Tujuan khusus... 9

1.4 Manfaat Penelitian... 10

1.4.1 Manfaat Teoritis... 10

1.4.2 Manfaat Praktis .. ... 10

BAB II KAJIAN PUSTAKA ... 11

2.1 Ulkus Traumatikus ………. 11

2.1.1 Definisi Ulkus Traumatikus ... 11

2.1.2 Insidensi Ulkus Traumatikus ………... 11

2.1.3 Etiologi Ulkus Traumatikus ... 12

2.1.4 Gambaran Klinis Ulkus Traumatikus ... 14

2.1.5 Diagnosis Ulkus Traumatikus ... 15

2.2 Kaitan Luka dengan Ulkus ... 16

2.3 Penyembuhan Luka ... 16

2.3.1 Tahapan Penyembuhan Luka... 18

2.3.2 Faktor-faktor yang Berpengaruh pada Penyembuhan Luka 32 2.4 Peranan Angiogenesis pada Penyembuhan Luka... 33

2.5 Reepitelisasi pada Penyembuhan Luka ... 34

2.6 Buah Adas (Foenicullum Vulgare Mill) ... 35

2.6.1 Klasifikasi Ilmiah Buah Adas ...……… 36

2.6.2 Kandungan Kimia dan Manfaat Buah Adas...……... 37

2.6.3 Penggunaan Adas dalam Bidang Kuliner ……... 37

2.6.4 Penggunaan Adas dalam Pengobatan Lokal dan Tradisional 38 2.6.5 Fitokimia Buah Adas ………. 39

(13)

2.6.6 Efek Farmakologi Buah Adas ………... 43

2.7 Povidone Iodine ... 47

2.7.1 Pengertian Povidone Iodine ... 47

2.7.2 Struktur Kimia Povidone Iodine ... 48

2.7.3 Mekanisme Kerja Povidone Iodine ...………. 49

2.7.4 Keuntungan dan Kerugian Povidone Iodine ………. 49

2.7.5 Cara Pemakaian Povidone Iodine ……….. 49

2.7.6 Manfaat Povidone Iodine ……….. 50

2.8 Tikus Putih (Rattus Norvegicus) ……….. 51

BAB III KERANGKA BERPIKIR, KONSEP DAN HIPOTESIS PENELITIAN ... 52

3.1 Kerangka Berpikir ... 52

3.2 Konsep Penelitian... 54

3.2 Hipotesis Penelitian... 55

BAB IV METODE PENELITIAN ... 56

4.1 Rancangan Penelitian ... 56

4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian... 57

4.3 Sumber Data ... 57

4.3.1 Besar sampel ... 57

4.3.2 Kriteria sampel... 58

4.3.2.1 Kriteria inklusi... 58

4.3.2.2 Kriteria drop out ... 58

4.4 Klasifikasi dan Identifikasi variable……... 58

4.4.1 Variabel Bebas ... 58

4.4.2 Variabel Tergantung... 58

4.4.3 Variabel Terkendali... 59

4.4.4 Hubungan Antar Variabel ………. 59

4.5 Definisi Operasional... 59

4.6 Bahan dan Alat Penelitian ... 61

4.7 Prosedur Penelitian... 62

4.7.1 Pembuatan Ekstrak Etanol Adas konsentrasi 50%... 62

4.7.2 Perlakuan pada Hewan Percobaan Sebelum Penelitian ... 63

4.7.3 Selama Penelitian ……... 63

4.7.4 Setelah Penelitian ………... 65

4.7.5 Pembuatan sedian mikroskopis dan observasi... 65

4.7.6 Alur Penelitian …... 66

4.8 Analisis Data ...………. 66

BAB V HASIL PENELITIAN……… 68

5.1 Analisis Deskriptif………... 68

5.2 Uji Normalitas Data………. 69

5.3 Uji Homogenitas……….. 69

5.4 Uji Komparasi……….. 70

5.4.1 Neoangiogenesis………. 70

5.4.2 Reepitelialisasi (Lebar Celah Epitel) ………. 71

BAB VI PEMBAHASAN……….. 73

6.1 Subjek Penelitian……… 73

(14)

6.2 Ekstrak Etanol Meningkatkan Penyembuhan Ulkus

Traumatikus Mukosa Mulut………. 73

6.2.1 Pembahasan hasil perbandingan rerata neoangiogenesis antar kelompok ……….……….. 74

6.2.2 Pembahasan hasil perbandingan rerata reepitelialisasi (lebar celah epitel antar kelompok)………. 76

6.3 Mekanisme Ekstrak Etanol Buah Adas (Foenicullum vulgare Mill.) konsentrasi 50% Meningkatkan Neoangiogenesis dan Reepitelialisasi……… 79

BAB VII SIMPULAN DAN SARAN……… 90

7.1 Simpulan……… 90

7.2 Saran ………. 90

DAFTAR PUSTAKA………. 91

LAMPIRAN……… 101

(15)

DAFTAR GAMBAR

2.1 Ulkus Traumatikus pada Mukosa Bibir Bawah ... 14

2.2 Gambaran Histologi Ulkus Traumatikus ... 15

2.3 Fase Penyembuhan Luka ... 17

2.4 Fase Proliferasi ... 22

2.5 Buah Adas ( Foeniculum Vulgare Mill ) ... 36

2.6 Struktur Molekul Bioaktif Utama dari Komponen Essensial oil Foeniculum vulgare ... 40

2.7 Struktur Molekuler dari Komponen Bioaktif Ekstrak buah Adas (Foeniculum vulgare) ... 42

2.8 Struktur Kimia Povidone Iodine ... 48

3.1 Konsep Penelitian ... 55

4.1 Rancangan Penelitian ... 56

4.2 Hubungan Antar Variabel ... 59

4.3 Alur Penelitian ... 65

6.1 Gambaran Histologi neoangiogenesis hari ke 7 .. ……… 83

6.2 Gambaran Histologi Reepitelialisasi hari ke 7 ... 86

6.3 Mekanisme Ekstrak Etanol Buah Adas ( Foenicullum vulgare Mill.) Konsentrasi 50% dalam meningkatkan neoangiogenesis dan Reepitelialisasi pada Penyembuhan Ulkus Traumatikus Mukosa Mulut Tikus Putih Jantan. ... 89

(16)

DAFTAR TABEL

5.1 Analisis deskriptif neoangiogenesis (unit) dan reepitelialisasi (μm) mukosa mulut kelompok kontrol dan kelompok ekstrak etanol buah konsentrasi 50%... ……….. 68 5.2 Hasil Uji Normalitas neoangiogenesis (unit) dan reepitelialisasi (μm) mukosa mulut kelompok kontrol dan kelompok ekstrak etanol buah adas konsentrasi 50% ………. 69 5.3 Hasil Uji Homogenitas neoangiognesis (unit) dan reepitelialisasi (μm)

mukosa mulut kelompok kontrol dan kelompok ekstrak etanol buah adas konsentrasi 50% ……….. 69 5.4 Rerata Neoangiogenesis (unit) dan Hasil Uji Komparasi Independent T-test mukosa mulut antar kelompok ... 70 5.5 Rerata Reepitelialisasi (µm) dan Hasil Uji Komparasi Independent T-test mukosa mulut antar kelompok ... 71

(17)

DAFTAR SINGKATAN

ECM : Extra Cellular Matrix EGF : Epidermal Growth Factor FGF : Fibroblast Growth Factor F. vulgare : Foenicullum vulgare H2O2 : Hidrogen peroksida HE : Harris Hematoxylin Eosin IFN : Interferon

IL : Interleukin

MMPs : Matrix Metalloproteinase MPO : enzim Myeloperoksidase NOS : Nitric Oxide Synthase

PDGF : Platelet Derived Growth Factor PMN : Polimorfonuklear

RES : Reticulo Endothelial Cell TGF α : Transforming Growth Factor α TGF β : Transforming Growth Factor β TMJ : Temporo Mandibula Joint TNF : Tumor Necrosis Factor

VEGF : Vascular Endothelial Growth Factor uPA : urokinase – Plasminogen Activator

(18)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Surat Keterangan Kelaikan Etik ... 101

Lampiran 2 Gambaran Histologi Penelitian ... 102

Lampiran 3 Data Hasil Penelitian ... 103

Lampiran 4 Hasil analisis data dengan SPSS ... 104

Lampiran 5 Dokumentasi Saat Penelitian ... 109

(19)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Prosedur perawatan gigi terkadang dapat menyebabkan luka pada mukosa mulut secara sengaja maupun tidak sengaja. Ulkus traumatikus pada mukosa mulut adalah luka terbuka yang sering ditemukan di dalam rongga mulut.

Kehadiran ulkus traumatikus pada mukosa mulut terkadang sangat mengganggu pada saat proses pengunyahan, bicara, dan bahkan menggangu kegiatan membersihkan rongga mulut, karena menimbulkan rasa tidak nyaman, seperti rasa sakit dan rasa terbakar pada penderita ulkus traumatikus mukosa mulut.

Ulkus yang terbentuk di mukosa mulut merupakan gambaran lesi oral yang sangat umum dijumpai pada kebanyakan orang di berbagai usia maupun jenis kelamin. Ulkus atau ulser adalah suatu kerusakan lapisan epitel yang berbatas jelas dan membentuk cekungan. Ulkus traumatikus tersebut dapat berupa ulkus yang berbentuk simetris atau asimetris, ukurannya tergantung dari trauma yang menjadi penyebab, dan biasanya nyeri (Scully, 2008). Ulkus traumatikus memiliki karakter adanya kerusakan pada mukosa dengan batas tepi eritema dan di tengahnya berwarna putih kekuningan, serta menimbulkan rasa nyeri. Pada umumnya, lesi ini disebabkan oleh trauma mekanis dan hubungan antara penyebabnya diketahui. Ulkus traumatikus biasanya sering ditemukan pada mukosa bukal dan labial (Regezi dkk, 2008; Gandolfo dkk., 2006).

Prevalensi terjadinya ulkus pada rongga mulut 25 % dari populasi di dunia. Salah satu penyebab ulkus yang paling sering yaitu trauma. Prevalensi

(20)

ulkus traumatikus cukup tinggi dibandingkan lesi-lesi mulut lainnya. Penelitian yang dilakukan oleh Castellanos pada tahun 2003 di Meksiko terhadap 1000 orang menunjukkan prevalensi ulkus traumatikus sebesar 40,24% (Castellanos dkk., 2008). Cebecci, dkk. (2009) dalam penelitiannya di Turki mendapati prevalensi ulkus traumatik mencapai 30,47%.

Ulkus traumatikus dapat terjadi akibat rangsangan mekanik, seperti kontak dengan makanan yang tajam, tergigit selama mengunyah, trauma saat menyikat gigi, dan saat berbicara. Ulkus traumatik tergolong lesi reaktif dengan gambaran klinis berupa ulkus tunggal pada mukosa yang dapat disebabkan oleh adanya trauma fisik atau mekanik, perubahan suhu, kimia dan radiasi yang mengakibatkan kerusakan jaringan (Regezi dkk., 2008). Pengobatan penderita ulkus traumatikus pada mukosa mulut bersifat simptomatis yang bertujuan mengurangi inflamasi, menekan rasa sakit di daerah lesi dan mempercepat penyembuhan (Cawson dan Odel, 2002).

Mukosa mulut terbentuk dari lapisan tipis keratinosit dan di dasarnya terdapat jaringan penghubung yang kaya akan pembuluh darah. Luka pada mukosa mulut menunjukkan penutupan yang lebih cepat dengan lebih sedikit pembentukan jaringan parut dibandingkan dengan luka daerah lain. Mukosa mulut memiliki sifat yang khas di mana luka terbuka pada mukosa mulut menutup dengan cepat dan sering kali tanpa bantuan suturing (Puspitawati, 2003).

Adanya perlukaan pada jaringan selalu diikuti proses perbaikan atau penyembuhan luka. Perlukaan terhadap jaringan umumnya diikuti oleh reaksi lokal yang akut dan sebagian besar mempunyai karateristik pada rangkaian

(21)

perubahan vaskular. Penyembuhan luka dapat mengalami reaksi kemerahan, panas, atau rasa sakit sebagai proses yang alami. Apabila luka yang bersifat lokal pada pasien tidak dilakukan upaya penyembuhan, maka luka akan menjadi suatu permasalahan serta dapat menimbulkan rasa tidak nyaman (Leong dan Phillips, 2012).

Penyembuhan luka adalah suatu proses pergantian jaringan yang rusak atau mati oleh jaringan baru yang sehat oleh tubuh melalui regenerasi. Tahap awal proses penyembuhan dari perlukaan akan melibatkan jaringan yang rusak, selanjutnya jaringan ikat yang sehat akan terlihat dalam setiap tahapan dari proses penyembuhan. Pada setiap proses penyembuhan luka ditemukan tiga bahan utama yaitu: (1) bahan dasar jaringan, yang mengandung mukopolisakarida asam, (2) pembuluh-pembuluh kapiler baru hasil proliferasi endotel,pembuluh-pembuluh kapiler yang rusak pada waktu terjadinya luka, dan (3) fibroblas yang berperan menghasilkan serabut kolagen (Pusponegoro, 2005).

Observasi klinis dan studi percobaan pada hewan mengindikasikan bahwa perluasan jaringan granulasi dan pembentukan jaringan parut pada mukosa mulut secara umum adalah kecil, dan penyembuhan luka mukosa mulut menunjukkan hasil yang lebih baik dibandingkan dengan jenis luka yang sama pada kulit. Luka pada mukosa mulut memiliki urutan proses penyembuhan yang sama dengan proses penyembuhan luka pada kulit yaitu hemostasis, inflamasi, pembentukan jaringan granulasi dan remodeling matriks jaringan penghubung (Puspitawati, 2003).

(22)

Suplai darah yang cukup dibutuhkan dalam penyembuhan luka untuk meningkatkan aktivitas seluler selama penyembuhan karena lokasi metabolisme yang aktif butuh oksigen dan substrat untuk ketersediaan energinya. Sistem vaskuler dapat membentuk kapiler baru (angiogenesis) dalam pemulihan jaringan yang cidera untuk menjamin jaringan yang beregenerasi mendapat cukup oksigen.

Para klinisi telah menggunakan berbagai strategi untuk memerangi infeksi luka, termasuk pemberian antibiotik topikal maupun sistemik, dan berbagai agen antiseptik seperti hipoklorit dan hidrogen peroksida telah digunakan pada luka untuk membunuh atau menghambat pertumbuhan bakteri (Moreau, 2003).

Agen antimikroba yang umum digunakan adalah povidone iodine, kompleks iodine, komponen bakterisida, dengan polivinil (povidone), polimer sintetik. Bentuk komersial yang paling umum adalah solusi 10% dalam air menghasilkan 1% iodine yang tersedia Keputusan mengenai pilihan pengobatan luka melibatkan dua pertimbangan dasar: (1) apakah pengobatan tersebut aman, dan (2) seberapa efektif pengobatan tersebut. Keamanan pengobatan perawatan luka dapat dilihat dari, apakah pengobatan tersebut memperlambat kemajuan tahap penyembuhan luka ( inflamasi, proliferasi / reepitelialisasi, dan remodeling).

Khasiat pengobatan perawatan luka (misalnya, Povidone Iodine) dapat dinilai secara in vitro oleh kemampuannya untuk membunuh mikroorganisme dan in vivo dengan menurunnya tingkat atau keparahan infeksi luka. Diperlukan evaluasi lebih lanjut mengenai pilihan larutan Povidone Iodine untuk pengobatan luka, terutama luka kronis yang paling sering ditemui dalam praktek (Burks, 2008).

(23)

Penyembuhan luka merupakan proses yang kompleks yang melibatkan banyak peristiwa fisiologis. Sel-sel imunologi ditarik untuk melawan infeksi dan membuang jaringan yang rusak. Pasokan darah di daerah penyembuhan dibentuk kembali melalui angiogenesis. Regenerasi jaringan melalui proliferasi sel dan fibroplasia selanjutnya menggantikan jaringan yang rusak atau hancur. Daerah luka berkurang melalui kontraksi luka. Penutupan luka dicapai melalui migrasi sel epitel. Akhirnya, remodeling jaringan parut muncul untuk memperbaiki penampilan dan fungsi. Sebuah pengobatan yang aman harus mendorong proses penyembuhan atau setidaknya tidak merusak proses ini (Dealey, 2005).

Larutan Povidone Iodine merupakan pengobatan yang relatif aman untuk luka akut kecil, tidak ada yang bukti yang cukup untuk menunjukkan efektivitas dalam mengobati luka kronis. Povidone Iodine digunakan dalam perawatan luka namun dapat menyebabkan dermatitis kontak pada kulit, mempunyai efek toksikogenik terhadap fibroblas dan leukosit serta menghambat migrasi netrofil dan menurunkan sel monosit (Niedner, 2010).

Pengobatan alternatif yang lebih baik untuk penyembuhan luka mungkin tersedia, banyak zat seperti ekstrak jaringan, vitamin dan mineral serta sejumlah produk tanaman telah dilaporkan memiliki efek penyembuhan. Agen penyembuh luka yang berasal dari tanaman obat (herbal) diketahui mampu melawan infeksi dan mempercepat kesembuhan luka (Ferdinandez dkk., 2013).

Perkembangan ilmu kedokteran di Indonesia dewasa ini menunjukkan kemajuan yang sangat pesat dengan dilakukannya berbagai macam penelitian tentang bahan-bahan obat yang bahan dasarnya dari alam, serta pemakaian dan

(24)

pendayagunaan obat tradisional. Selain pengembangan obat-obatan kimia, kini penggunaan obat-obatan herbal sangat populer di kalangan masyarakat. Obat herbal dipilih masyarakat karena dinilai lebih mudah diperoleh, harganya yang cukup terjangkau serta minim efek samping jika dibandingkan dengan obat-obatan kimia. Kemajuan teknologi yang semakin canggih dapat mengolah obat tradisional lebih praktis, ekonomis, mudah didapat serta mempunyai efektivitas yang cukup baik dalam mengobati luka Perkembangan ilmu kedokteran di Indonesia dewasa ini menunjukkan kemajuan yang sangat pesat dengan dilakukannya berbagai macam penelitian tentang bahan-bahan obat yang bahan dasarnya dari alam, serta pemakaian dan pendayagunaan obat tradisional. Selain pengembangan obat-obatan kimia, kini penggunaan obat-obatan herbal sangat populer di kalangan masyarakat. Obat herbal dipilih masyarakat karena dinilai lebih mudah diperoleh, harganya yang cukup terjangkau serta minim efek samping jika dibandingkan dengan obat-obatan kimia. (Santoso, 2008).

Bangsa Indonesia yang terdiri dari berbagai suku bangsa, memiliki keanekaragaman obat tradisional yang dibuat dari bahan-bahan alami bumi Indonesia dengan jumlah lebih dari 30.000 spesies tanaman dan 940 spesies di antaranya diketahui sebagai bahan obat. Salah satu jenis tanaman obat tradisional yang kini digunakan oleh masyarakat luas digunakan dan dibudidayakan menjadi salah satu komoditas pertanian adalah tanaman adas (Foeniculum vulgare Mill.).

Adas sebagai tanaman obat digunakan sebagai bahan jamu dan obat saat ini. Di Indonesia, Adas telah dibudidayakan sebagai tanaman bumbu atau tanaman obat.

Tumbuhan ini dapat hidup dari dataran rendah sampai ketinggian 1.800 m di atas

(25)

permukaan laut, namun akan tumbuh lebih baik pada dataran tinggi. Asalnya dari Eropa Selatan dan Asia, dan karena manfaatnya, tumbuhan ini banyak pula ditanam di Indonesia, India, Argentina, Eropa, dan Jepang (Maheswari, 2002).

Buah adas di pasaran berbentuk buah kering yang berwarna coklat kehitaman dan bermanfaat sebagai obat batuk, mulas, sariawan, pelega tenggorokan. Fungsi buah Adas sebagai tanaman obat berkaitan erat dengan kandungan kimiawinya yang terdiri atas minyak atsiri, flavonoid, saponin, glikosidastilben funikulosida I, II, III, IV, stigmasterin, minyak lemak, protein, asam-asam organik, pentosan, pectin, trigonelin, kolin, dan iodine (Sudarsono dkk., 2002 ).

Kemampuan ekstrak buah adas konsentrasi 100% dalam menurunkan tingkat radang pada mukosa mulut tikus wistar telah dibuktikan pada penelitian Andajani dan Mahardika (Andajani dan Maharddika, 2003). Selain itu, penelitian Setyaningsih (2006) menunjukkan bahwa pemberian ekstrak buah adas dengan konsentrasi 50% pada perlukaan gingiva tikus Spraque dawley mampu meningkatkan jumlah fibroblast. Dilaporkan juga oleh Mandala (2006) bahwa ekstrak buah adas mampu menginduksi reepitelialisasi pada luka gingiva sehingga mempercepat penyembuhan luka gingiva. Berdasarkan penelitian Anton (2007), ekstrak adas diketahui dapat menurunkan sel leukosit PMN dan meningkatkan kepadatan angiogenesis pada proses penyembuhan luka gingival labial tikus Sprague dawley. Suatu penelitian di tahun 2004 menunjukan bahwa buah Adas mengandung komponen anti-inflamasi, analgesik, dan antioksidan yang

(26)

membantu proses penyembuhan, seperti flavonoid, saponin dan asam askorbat (Gulfraz dkk., 2005).

Penelitian pendahuluan oleh penulis yang telah dilakukan pada bulan Februari 2015, membuktikan pemberian ekstrak etanol buah adas dengan kosentrasi 50 % pada ulkus traumatikus mukosa mulut tikus yang terpapar H2O2

dapat meningkatkan angiogenesis dan reepitelialisasi. Hal ini dapat dibuktikan berdasarkan pada pengamatan mikroskopis didapatkan jumlah pembuluh darah baru yang lebih banyak dan lebar celah epitel yang lebih kecil pada kelompok perlakuan dibandingkan kelompok kontrol pada hari ke tujuh (Pertiwi, 2015).

Sampai saat ini sudah dilaporkan berbagai khasiat adas (Foeniculum vulgare Mill.) terhadap berbagai penyakit dan berperan dalam penyembuhan luka.

Sehubungan dengan hasil penelitian di atas, perlu diteliti lebih dalam tentang perbedaan pengaruh dari pemberian ekstrak etanol buah adas (Foeniculum vulgare Mill.) konsentrasi 50% dan Povidone Iodine secara topikal dalam meningkatkan angiogenesis dan reepitelialisasi pada penyembuhan ulkus traumatikus mukosa mulut tikus putih jantan. Agar didapatkan obat yang lebih efektif, efisien dan lebih murah, sehingga buah adas diharapkan memiliki nilai ekonomis dan dapat bermanfaat bagi masyarakat.

(27)

1.2 Rumusan Masalah :

Berdasarkan latar belakang di atas maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut :

1. Apakah pemberian topikal ekstrak etanol buah adas konsentrasi 50% lebih meningkatkan angiogenesis daripada Povidone Iodine untuk penyembuhan ulkus traumatikus mukosa mulut tikus putih jantan ?

2. Apakah pemberian topikal ekstrak etanol buah adas konsentrasi 50% lebih meningkatkan reepitelialisasi daripada Povidone Iodine untuk penyembuhan ulkus traumatikus mukosa mulut putih jantan?

1.3 Tujuan Penelitian : 1.3.1 Tujuan Umum :

Untuk membuktikan pemberian topikal ekstrak etanol buah adas meningkatkan jumlah angiogenesis dan reepitelialisasi daripada Povidone Iodine untuk penyembuhan ulkus traumatikus mukosa mulut tikus putih jantan.

1.3.2 Tujuan Khusus :

1. Untuk membuktikan pemberian topikal ekstrak etanol buah adas konsentrasi 50% lebih meningkatkan jumlah angiogenesis daripada Povidone Iodine untuk penyembuhan ulkus traumatikus mukosa mulut tikus putih jantan.

2. Untuk membuktikan pemberian topikal ekstrak etanol buah adas konsentrasi 50% lebih meningkatkan reepitelialisasi daripada Povidone Iodine untuk penyembuhan ulkus traumatikus mukosa mulut tikus putih jantan.

(28)

1.4 Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan memberi manfaat bagi masyarakat pada umumnya dan peneliti khususnya. Manfaat dari penelitian ini adalah sebagai berikut :

1.4.1 Manfaat teoritis :

1.4.1.1 Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi di bidang kesehatan tentang potensi buah adas sebagai obat tradisional untuk penyembuhan ulkus traumatikus pada mukosa mulut.

1.4.1.2 Penelitian ini diharapkan dapat memberikan tambahan masukan bagi peneliti lain bahwa buah adas dapat meningkatkan angiogenesis dan reepitelialisasi pada penyembuhan ulkus traumatikus mukosa mulut, sehingga dapat dijadikan dasar acuan penelitian lebih lanjut.

1.4.2 Manfaat Praktis :

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi masyarakat dalam membantu penyembuhan ulkus traumatikus dan ulkus lainnya pada mukosa mulut, dengan mempergunakan obat tradisional yang murah dan mudah didapat di lingkungan sekitar kita.

(29)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Ulkus Traumatikus

2.1.1 Definisi Ulkus Traumatikus

Ulkus atau ulser adalah suatu kerusakan lapisan epitel yang berbatas jelas yang membentuk cekungan, ulkus sering ditemukan di rongga mulut (Regezi dkk., 2008). Namun demikian, kerusakan ulkus dapat dibedakan dengan erosi karena kerusakan ulkus lebih dalam dari erosi (Gandolfo dkk., 2006). Ulkus traumatikus didefinisikan sebagai suatu kelainan yang berbentuk ulkus pada mukosa rongga mulut yang disebabkan oleh paparan trauma (Greenberg, 2008).

Ulkus traumatikus merupakan lesi sekunder yang berbentuk ulkus, yaitu hilangnya lapisan epitelium hingga melebihi membrana basalis dan mengenai lamina propria oleh karena trauma (Regezi dkk., 2008). Trauma merupakan penyebab tersering terjadinya ulkus pada membran mukosa. Biasanya pasien dapat memperkirakan kejadian yang menimbulkan ulkus. Pada umumnya ulkus terjadi setelah beberapa kali paparan trauma (Sonis dkk., 2003).

2.1.2 Insidensi Ulkus Traumatikus

Ulkus traumatikus dapat terjadi pada mukosa rongga mulut, antara lain: pada lidah, bibir, lipatan mukosa bukal (buccal fold), gingiva, palatum, mukosa labial, mukosa bukal dan dasar mulut, ulkus traumatikus sering terjadi pada mukosa labial dan bukal karena terletak berdekatan dengan daerah kontak oklusi geligi sehingga lebih mudah mengalami gigitan pada waktu gerakan

(30)

pengunyahan. Hampir setiap orang pernah mengalami insidensi pada mukosa rongga mulut (83,6%), dan tidak ada perbedaan bermakna yang terjadi baik antara pria dan wanita. Biasanya pada pria berkisar 81,4% dan pada wanita biasanya berkisar 85%. Ulkus traumatikus merupakan salah satu dari tiga kondisi yang paling sering ditemukan dalam rongga mulut (15,6%), setelah varises dasar mulut (59,6%), dan fissured tongue (28%) (Delong & Burkhart, 2008). Ulkus traumatikus juga sering dijumpai pada lateral lidah pada pemakaian gigi tiruan lepasan di mana sayap atau saddle gigi tiruan lepasannya yang terlalu panjang atau permukaan gigi tiruan yang kasar. Hal ini menjadi alasan ulkus traumatikus banyak dijumpai pada pasien di bidang kedokteran gigi (Regezi dkk., 2008).

2.1.3 Etiologi Ulkus Traumatikus

Ulkus traumatikus dapat disebabkan oleh (Scully dkk., 2003;

Greenberg, 2008) :

1. Trauma mekanik: makanan yang kasar (tajam), tergigit, terkena sikat gigi, klamer gigi tiruan lepasan, tepi restorasi yang tajam.

2. Trauma kimia: Aspirin, perak nitrat, H2O2, fenol.

3. Thermal: makanan atau minuman panas, CO2 dingin (dry ice).

4. Elektrik: sengatan listrik.

Trauma mekanik seperti menggigit bibir, pipi atau lidah, mengonsumsi atau mengunyah makanan keras, gigitan dari tonjolan gigi yang tajam, trauma dari gigi yang patah dan iritasi gigi tiruan serta tumpatan yang tajam (Delong &

Burkhart, 2008). Selain itu dapat juga berasal dari iritasi akibat pemasangan gigi tiruan yang tidak stabil, tepi protesa atau klamer gigi tiruan sebagian lepasan

(31)

(GTSL), gigi yang tajam atau gigi yang tidak rata, trauma oleh karena benda asing seperti penggunaan piranti ortodontik ataupun sikat gigi yang digunakan dengan teknik yang salah sehingga membuat erosi jaringan lunak di sekitarnya, kebiasaan buruk menusuk gingiva atau mukosa dengan tusuk gigi atau kuku jari, kontak dengan makanan tajam, tergigitnya mukosa saat mengunyah, bicara ataupun ketika tidur (Neville dkk., 2002).

Dalam perawatan gigi dapat terjadi trauma pada jaringan lunak secara tidak sengaja. Ulkus dapat diakibatkan oleh cotton rolls, tekanan saliva ejector yang tinggi atau instrumen bur yang mengenai jaringan lunak (Regezi dkk., 2008).

Trauma kimia dapat diakibatkan oleh penggunaan sejumlah kecil obat misalnya aspirin (chemical burn), yang kontak langsung dengan mukosa, iritasi akibat penggunaan pasta gigi, mouthwash, bahan bleaching dan hidrogen peroksida, yang digunakan untuk mengobati penyakit gusi, juga mampu menyebabkan nekrosis epitel (Delong & Burkhart, 2008). Ada pula ulkus traumatikus yang disebabkan karena thermal. Luka thermal (suhu) disebabkan oleh karena terpapar atau kontak dengan api, cairan panas atau objek-objek panas lainnya (Regezi dkk., 2008).

Ulkus pada rongga mulut juga dapat terlihat pada pasien yang menjalani radiasi untuk kanker pada kepala dan leher. Pada keadaan keganasan tersebut, biasanya adalah kasus karsinoma sel skuamosa yang membutuhkan terapi radiasi dosis tinggi (60 Gy-70 Gy). Ulkus sering muncul pada daerah yang terkena sinar tersebut (Regezi dkk., 2008).

(32)

2.1.4 Gambaran Klinis Ulkus Traumatikus

Ulkus traumatikus tersebut dapat berupa ulkus yang tunggal atau multipel, berbentuk simetris atau asimetris, ukurannya tergantung dari trauma yang menjadi penyebab, dan biasanya nyeri. Kebanyakan merupakan keadaan akut, sedangkan lainnya adalah kronis. Ulkus traumatikus akut memiliki karakter adanya kerusakan pada mukosa dengan batas tepi eritema dan di tengahnya berwarna putih kekuningan, serta menimbulkan rasa nyeri. Sedangkan ulkus traumatikus kronis bisa tanpa disertai rasa nyeri dengan dasar induratif dan tepi yang meninggi. Sehingga ulkus tersebut dapat dibedakan dengan SCC (Squamous Cell Carcinoma) dari dasar lesinya secara klinis (Scully, 2008).

Gambar 2.1 Ulkus Traumatikus Pada Mukosa Bibir Bawah ( Scully, 2008)

(33)

Gambar 2.2 Gambaran histologi ulkus traumatikus (A) Kerusakan lapisan epitel;

(B) Infiltrasi sel-sel radang limfosit, neutrofil, histiosit dan sel plasma (Delong dan Burkhart, 2008)

2.1.5 Diagnosis Ulkus Traumatikus

Dengan adanya ulseratif yang akut, hubungan antara penyebab dan akibat dapat terlihat dengan nyata, berdasarkan gambaran klinis dan riwayatnya.

ketika didapatkan adanya etiologi yang jelas, menegakkan diagnosis merupakan hal yang mudah. Sedangkan pada kasus ulseratif yang kronis, penyebabnya terkadang tidak dapat diketahui secara pasti. Pada keadaan ini perlu untuk mengembangkan adanya differential diagnosis. Kondisi yang dapat dijadikan differential diagnosis adalah suatu infeksi (sifilis, tuberculosis, infeksi jamur) dan keganasan (malignancy). Jika lesi diduga disebabkan oleh trauma, maka penyebabnya sebaiknya diamati. Observasi dilakukan selama 2 minggu bersamaan dengan pemberian mouth rinse seperti larutan sodium bikarbonat. Jika tidak ada perubahan atau bertambah luas ukurannya, perlu dilakukan biopsi (Regezi dkk., 2008; Lewis, 2004).

(34)

2.2. Kaitan Luka dengan Ulkus

Luka (wound atau vulnus) adalah gangguan kontinuitas struktur jaringan yang umumnya dihubungkan dengan hilangnya struktur jaringan.

Jaringan yang hilang atau rusak perlu dikembalikan kontinuitasnya lewat proses perbaikan, baik dengan cara regenerasi sel atau pembentukan jaringan parut atau sikatrik. Ke dua jenis perbaikan ini bertujuan mengisi daerah yang rusak agar integritas jaringan kembali normal (Permatasari dkk, 2013). Istilah vulnus seringkali digunakan oleh para ahli bedah untuk menyebutkan lesi yang disebabkan oleh trauma mekanik (Perdanakusuma, 2007).

Ulkus dalam bahasa latin pada Kamus Kedokteran disebut dengan Ulcus merupakan luka terbuka pada permukaan kulit atau selaput lendir atau mukosa. Proses penyembuhan yang terjadi pada ulkus dan luka memiliki prinsip yang sama yaitu melalui tahap inflamasi, proliferasi dan remodeling yang akan dibahas pada subbahasan di bawah (Suryadi dkk, 2013).

2.3 Penyembuhan Luka

Penyembuhan luka adalah reaksi dari organisme untuk mengembalikan kontinuitas dan fungsi dari jaringan atau organ yang mengalami jejas (Mackay dan Miller, 2003; Gottrup dkk., 2007). Penyembuhan luka merupakan proses yang dinamis, dan melibatkan aktivitas beberapa macam sel dan matriks ekstraseluler di mana proses ini tergantung pada faktor lokal dan sistemik. Tujuan utama pada penyembuhan luka setelah terjadi jejas adalah untuk mengembalikan kontinuitas dan fungsi jaringan. Jejas dapat menyebabkan kerusakan pada pembuluh darah

(35)

dan ekstravasasi sel darah. Proses penyembuhan luka dapat dibagi dalam tiga fase, yaitu fase inflamasi, fase proliferasi dan fase remodeling (Gottrup dkk., 2007).

Penyembuhan luka merupakan sebuah proses transisi yang merupakan salah satu proses paling kompleks dalam fisiologi manusia yang melibatkan serangkaian 18 reaksi dan interaksi kompleks antara sel dan mediator. Fase inflamasi bertujuan untuk membuang jaringan mati dan mencegah infeksi (Prasetyono, 2009). Tubuh memiliki respon fisiologis terhadap luka yakni proses penyembuhan luka. Proses penyembuhan luka terdiri dari berbagai proses yang kompleks untuk mengembalikan integritas jaringan. Selama proses ini terjadi pembekuan darah, respon inflamasi akut dan kronis, neoangiogenesis, proliferasi sel hingga apoptosis. Proses ini dimediasi oleh berbagai sel, sitokin, matriks, dan growth factor.

Gambar 2.3 Fase penyembuhan luka. Penyembuhan luka pada kulit orang dewasa dan sel yang mendominasi pada masing-masing fase (Gurtner, 2007)

(36)

2.3.1 Tahapan Penyembuhan Luka

Menurut Eslami dkk., (2009) ada beberapa proses pada penyembuhan luka (wound healing), yaitu :

A. Fase hemostasis

Kerusakan pada permukaan mukosa seringkali menyebabkan kerusakan pembuluh darah dan terjadi pendarahan. Hal ini menyebabkan deposisi fibrin, agregasi platelet dan koagulasi. Sesaat setelah luka, bekuan darah yang terbentuk merupakan barier yang menghubungkan luka dan melindungi jaringan yang terbuka. Lingkungan rongga mulut yang lembab dan aliran saliva menyebabkan koagulan mudah lepas. Beberapa menit kemudian, terjadi vasodilatasi dan peningkatan permeabilitas vaskuler yang menyebabkan plasma protein masuk ke area luka dan memicu migrasi leukosit. Integritas barier proteksi telah terganggu, mikroorganisme, toksin dan antigen masuk ke dalam jaringan mukosa, sehingga menimbulkan respon inflamasi (Nanci, 2008).

B. Fase inflamasi

Respon inflamasi ini bertujuan untuk mengeliminasi benda asing dan mengendapkan matriks ekstra seluler. Pada tahap ini, sel radang akut serta neutrofil akan menginvasi daerah radang dan menghancurkan semua debris dan bakteri. Dengan adanya neutrofil maka dimulailah respon keradangan yang ditandai dengan cardinal symptoms, yaitu tumor, kalor, rubor, dolor dan functio laesa. Pada ulkus traumatikus, tahap inflamasi ini berlangsung pada hari pertama sampai hari ke-3 (Gottrup dkk., 2007).

(37)

Fase inflamasi terjadi setelah vasokonstriksi dan vasodilatasi pada daerah luka. Proses ini membantu migrasi sel inflamasi menuju ke daerah luka.

Pada fase ini, terjadi koagulasi sel darah di mana prothrombin berubah menjadi thrombin, fibrinogen menjadi fibrin, dan clot menjadi fibrin clot. Aktivitas fibrinolotik terjadi pada fase awal penyembuhan luka. Fibrin memiliki peran utama dalam dalam mengawali angiogenesis dan mengembalikan struktur vaskuler. Netrofil, limfosit dan makrofag adalah sel yang pertama kali mencapai daerah luka. Fungsi utamanya adalah melawan infeksi dan membersihkan debris matriks seluler dan benda-benda asing (Gottrup dkk., 2007). Fase inflamasi ditandai dengan terjadinya pembekuan darah (clotting) untuk mempertahankan hemostasis, pelepasan bermacam-macam faktor untuk menarik sel-sel yang akan memfagosit debris, bakteri, dan jaringan yang rusak, serta pelepasan faktor yang akan memulai proliferasi jaringan (Grab dan Smith 2006).

Agen kemotaktik seperti produk bakteri, complement factor, histamin, prostaglandin, leukotriene dan platelet derived growth factor (PDGF) menstimulasi leukosit untuk berpindah dari sel endotel. Leukosit yang terdapat pada luka di dua hari pertama adalah neutrofil. Sel ini membuang jaringan mati dan bakteri dengan fagositosis. Netrofil juga mengeluarkan protease untuk mendegradasi matriks ekstraseluler yang tersisa. Setelah melaksanakan fungsi fagositosis, neutrofil akan difagositosis oleh makrofag atau mati. Meskipun neutrofil memiliki peran dalam mencegah infeksi, keberadaan neutrofil yang persisten pada luka dapat menyebabkan luka sulit untuk mengalami proses

(38)

penyembuhan. Hal ini bisa menyebabkan luka akut berprogresi menjadi luka kronis (Pusponegoro, 2005; Webster dkk., 2012).

Pada saat jaringan terluka, maka darah akan kontak dengan kolagen.

Hal ini memacu platelet untuk mensekresi faktor-faktor inflamasi. Platelet atau dikenal juga dengan trombosit, juga mengekspresi glikoprotein pada membran sel sehingga platelet tersebut dapat menempel satu sama lain , beragregasi, dan membentuk massa (Grab dan Smith 2006). Platelet akan melepaskan berbagai faktor pertumbuhan yang potensial (Transforming Growth Factor-β, Platelet Derived Growth Factor, Interleukin-1), sitokin dan kemokin. Mediator ini sangat dibutuhkan pada penyembuhan luka untuk memicu penyembuhan sel, diferensiasi dan mengawali pemulihan jaringan yang rusak (Nanci, 2008).

Pada hari ke dua – ke tiga luka, monosit / makrofag masuk ke dalam luka melalui mediasi monocyte chemoattractant protein 1 (MCP-1). Makrofag sebagai sel yang sangat penting dalam penyembuhan luka memiliki fungsi fagositosis bakteri dan jaringan mati. Makrofag mensekresi proteinase untuk mendegradasi matriks ekstraseluler (ECM) dan penting untuk membuang material asing, merangsang pergerakan sel, dan mengatur pergantian ECM. Makrofag merupakan penghasil sitokin dan growth factor yang menstimulasi proliferasi fibroblast, produksi kolagen, pembentukan pembuluh darah baru, dan proses penyembuhan lainnya (Gurtner, 2007).

Makrofag akan menggantikan peran polimorfonuklear sebagai sel predominan. Platelet dan faktor-faktor lainnya menarik monosit dari pembuluh

(39)

darah. Ketika monosit mencapai lokasi luka, maka ia akan dimatangkan menjadi makrofag. Peran makrofag adalah (Grab dan Smith 2006):

1. Memfagositosis bakteri dan jaringan yang rusak dengan melepaskan protease.

2. Melepaskan growth factors dan sitokin yang kemudian menarik sel-sel yang berperan dalam fase proliferasi ke lokasi luka.

3. Memproduksi faktor yang menginduksi dan mempercepat angiogenesis 4. Memstimulasi sel-sel yang berperan dalam proses reepitelisasi luka,

membuat jaringan granulasi, dan menyusun matriks ekstraseluler.

5. Fase inflamasi sangat penting dalam proses penyembuhan luka karena berperan melawan infeksi pada awal terjadinya luka serta memulai fase proliferasi. Walaupun begitu, inflamasi dapat terus berlangsung hingga terjadi kerusakan jaringan yang kronis.

C. Fase Proliferasi

Fase ini dimulai hari ke dua setelah trauma jaringan dan berlanjut dua sampai tiga minggu setelah trauma (Gottrup dkk., 2007). Fase proliferasi ditandai dengan terbentuknya jaringan granulasi yang disertai kekayaan jaringan pembuluh darah baru, fibroblas, dan makrofag dalam jaringan penyangga yang longgar (Prasetyono, 2009).

(40)

Gambar 2.4 Fase proliferasi (Gurtner dkk., 2007)

Fase ini disebut fase fibroplasia atau fase regenerasi, merupakan kelanjutan dari fase inflamasi ditandai dengan proliferasi dan migrasi fibroblas, serta produksi jaringan ikat. Terdapat tiga proses utama dalam fase proliferasi, antara lain:

a. Neoangiogenesis

Angiogenesis merupakan pertumbuhan pembuluh darah baru yang terjadi secara alami di dalam tubuh, baik dalam kondisi sehat maupun patologi (sakit). Kata angiogenesis sendiri berasal dari kata angio yang berarti pembuluh darah dan genesis yang berarti pembentukan. Pada keadaan terjadi kerusakan jaringan, proses angiogenesis berperan dalam mempertahankan kelangsungan fungsi berbagai jaringan dan organ yang terkena. Terjadinya hal ini melalui terbentuknya pembuluh darah baru yang menggantikan pembuluh darah yang rusak (Frisca dkk., 2009).

Pada angiogenesis pembentukan pembuluh darah baru berasal dari kapiler-kapiler yang muncul dari pembuluh darah kecil di sekitarnya

(41)

(Kalangi, 2011). Pembuluh darah kapiler terdiri atas sel-sel endotel dan perisit. Ke dua jenis sel ini memuat seluruh informasi genetik untuk membentuk pembuluh darah dan cabang-cabangnya serta seluruh jaring- jaring kapiler. Molekul-molekul angiogenik khas akan mendorong terjadinya proses ini, tetapi ada pula molekul-molekul penghambat bersifat khusus untuk menghentikan proses angiogenesis. Molekul-molekul dengan fungsi yang berlawanan tersebut nampaknya seimbang dan serasi dalam bekerja terus menerus mempertahankan suatu sistem pembuluh darah kecil yang konstan (Kalangi, 2011).

Pada proliferasi terjadi angiogenesis disebut juga sebagai neovaskularisasi, yaitu proses pembentukan pembuluh darah baru, merupakan hal yang penting sekali dalam langkah-langkah penyembuhan luka. Jaringan di mana pembentukan pembuluh darah baru terjadi, biasanya terlihat berwarna merah (eritem) karena terbentuknya kapiler- kapiler di daerah itu (Grab dan Smith 2006).

Selama angiogenesis, sel endotel memproduksi dan mengeluarkan sitokin. Beberapa faktor pertumbuhan terlibat dalam angiogenesis antara lain Vascular Endothelial Growth Factor (VEGF), angiopoetin, Fibroblast Growth Factor (FGF) dan TGF-β. Setelah pembentukan jaringan cukup adekuat, migrasi dan proliferasi sel-sel endotelial menurun, dan sel yang berlebih akan mati dalam dengan proses apoptosis (Gurtner, 2007).

(42)

Pembuluh darah kapiler dibentuk dari penonjolan pembuluh darah yang ada. Pada awalnya sel-sel endotel berproliferasi dan bermigrasi membentuk untaian padat sel yang meluas ke lateral dari pembuluh darah induknya. Penyusunan kembali sel-sel menghasilkan lumen, memungkinkan sel-sel darah masuk. Arteri dan vena yang kecil dan sedang mula-mula dibentuk sebagai kapiler, kemudian berkembang melalui proliferasi sel-sel endotel dan dindingnya menebal dengan menambah sel otos polos dan berbagai unsur ekstrasel (Bloom dan Fawcett, 2002). Angiogenesis meliputi urutan peristiwa sebagai berikut (Bloom dan Fawcett, 2002):

1. Terdapat degradasi lokal dari lamina basal pada kapiler yang telah ada.

2. Migrasi sel-sel endotel ke tempat pertumbuhan baru.

3. Proliferasi dan diferensiasi untuk membentuk kuncup kapiler.

4. Penyusunan kembali sel-sel endotel untuk membentuk lumen.

5. Anastomosis kuncup-kuncup yang berdekatan untuk membentuk jalinan pembuluh darah.

6. Pengaliran darah melalui pembuluh darah baru.

Proses Angiogenesis.

Proses angiogenesis tersusun dari beberapa tahapan yang dimulai dari proses inisiasi yaitu dilepaskannya enzim protease dari sel endotel yang teraktivasi, pembentukan pembuluh darah vaskular, antara lain terjadinya degradasi matriks ekstraseluler (Extra Cellular Matrix/ECM), migrasi dan

(43)

proliferasi sel endotel, serta pembuatan ECM baru yang kemudian dilanjutkan dengan maturasi/ stabilisasi pembuluh darah yang terkontrol dan demodulasi untuk memenuhi kebutuhan jaringan (Plank dan Sleeman, 2004).

Menurut Frisca dkk. (2009), tahapan-tahapan angiogenesis dapat dijelaskan sebagai berikut :

1. Pelepasan faktor stimulus angiogenik.

Kumpulan sel pada jaringan yang mengalami kerusakan (luka) atau mengalami hipoksia, akan melepaskan faktor angiogenik (berupa faktor pertumbuhan dan protein rantai pendek lainnya) yang dapat berdifusi ke sel-sel pada jaringan sekitarnya. Menyusul proses tersebut, terjadi pula proses inflamasi. Pada proses inflamasi, pembuluh darah kecil yang terdapat secara lokal memegang peranan penting dalam proses yang terjadi selanjutnya karena pembuluh darah merupakan suatu jaringan yang dilapisi oleh sel endotel, yang akan berinteraksi dengan faktor peradangan dan angiogenik. Faktor-faktor angiogenik ini dapat menarik dan mendorong proliferasi sel endotel dan sel radang. Menjelang proses migrasi, sel-sel radang juga mensekresi molekul-molekul yang juga berperan sebagai stimulus angiogenik.

2. Pelepasan enzim protease dari sel endotel yang teraktivasi.

Faktor angiogenik berupa faktor pertumbuhan kemudian berikatan dengan reseptor yang spesifik terdapat pada reseptor sel endotel (EC) di sekitar lokasi pembuluh darah lama. Ketika faktor angiogenik berikatan dengan reseptornya, sel endotel akan teraktivasi dan menghasilkan signal yang kemudian dikirim dari permukaan sel ke nukleus. Organel-organel sel endotel kemudian mulai

(44)

memproduksi molekul baru antara lain adalah enzim protease yang berperan penting dalam degradasi matriks ekstraseluler untuk mengakomodasi percabangan pembuluh darah.

3. Disosiasi sel endotel dan degradasi ECM yang melapisi pembuluh darah lama Disosiasi sel endotel dari sel-sel di sekitarnya, yang distimulasi oleh faktor pertumbuhan angiopoetin, serta aktivitas enzim-enzim yang dihasilkan oleh sel endotel yang teraktivasi, seperti urokinase-plasminogen activator (uPA) dan matrix metalloproteinase (MMPs), dibutuhkan untuk menginisasi terbentuknya pembuluh darah baru. Melalui sistem enzimatik tersebut, sel endotel dari pembuluh darah lama akan mendegradasi ECM dan menginvasi stroma dari jaringan-jaringan di sekitarnya sehingga sel-sel endotel yang terlepas dari ECM ini akan sangat responsif terhadap signal angiogenik.

4. Migrasi dan proliferasi sel endotel

Degradasi proteolitik dari ECM segera diikuti dengan migrasinya sel endotel ke matriks yang terdegradasi. Proses tersebut kemudian diikuti dengan proliferasi sel endotel yang distimuli oleh faktor angiogenik, yang beberapa di antaranya dilepaskan dari hasil degradasi ECM, seperti fragmen peptida, fibrin atau asam hialuronik.

5. Pembentukan lumen dan pembuatan ECM baru.

Sel endotel yang bermigrasi tersebut kemudian mengalami elongasi dan saling menyejajarkan diri dengan sel endotel lain untuk membuat struktur percabangan pembuluh darah yang kuat. Proliferasi sel endotel meningkat sepanjang percabangan vaskular. Lumen kemudian terbentuk dengan

(45)

pembengkokan (pelengkungan) dari sel-sel endotel. Pada tahap ini kontak antar sel endotel mutlak dibutuhkan.

6. Fusi pembuluh darah baru dan inisiasi aliran darah.

Struktur pembuluh darah yang terhubung satu sama lain akan membentuk rangkaian atau jalinan pembuluh darah untuk memediasi terjadinya sirkulasi darah. Pada tahap akhir, pembentukan struktur pembuluh darah baru akan distabilkan oleh sel mural (sel otot polos dan pericytes) sebagai jaringan penyangga dari pembuluh darah yang baru terbentuk. Tanpa adanya sel mural, struktur dan jaringan antar pembuluh darah sangat rentan dan mudah rusak.

Faktor-faktor Angiogenesis

Availibilitas sel endotel aktif (hasil degradasi ECM pada pembuluh darah lama), migrasi dan proliferasi sel endotel merupakan komponen utama angiogenesis. Interaksi yang terjadi antara faktor-faktor yang berperan dalam terjadinya angiogenesis sangat kompleks dan hal ini mendorong para peneliti untuk melakukan pengisolasian dan purifikasi hormon pertumbuhan sel endotel. Faktor-faktor angiogenik ini memiliki dampak berbeda-beda pada pergerakan dan proliferasi sel endotel, yang termasuk tahap penting dalam angiogenesis. Beberapa faktor angiogenik menstimulasi pergerakan atau proliferasi sel endotel atau ke dua-duanya, bahkan terdapat pula faktor angiogenik yang tidak memiliki efek atau menghambat proliferasi sel endotel.

Selain memiliki aksi yang berbeda, masing-masing faktor juga memiliki target sel yang berbeda (Frisca dkk, 2009).

(46)

Menurut Frisca dkk (2009), faktor-faktor angiogenik dapat dikategorikan menjadi 3 kelompok yaitu :

1. Kelompok faktor angiogenik yang memiliki target sel endotel, untuk menstimulasi proses mitosis. Contohnya faktor angiogenik vaskular endothelial growth factor (VEGF) dan angiogenin yang dapat menginduksi pembelahan pada kultur sel endotel.

2. Kelompok ke dua merupakan molekul yang mengaktivasi sel target secara luas selain sel endotel. Beberapa sitokin, kemokin dan enzim angiogenik termasuk dalam kelompok ini. Fibroblast growth factor (FGF)-2 merupakan sitokin kelompok ini yang pertama kali dikarakterisasi.

3. Kelompok ke tiga merupakan faktor yang bekerja tidak langsung.

Faktor-faktor angiogenik pada kelompok ini dihasilkan dari makrofag, sel endotel atau sel tumor. Kelompok faktor yang paling banyak dipelajari adalah tumor necrosis factor alfa (TNF-α) dan transforming growth factor beta (TGF-β) yang menghambat proliferasi sel endotel in vitro. Secara in vivo, TGF-β menginduksi angiogenesis dan menstimuli ekspresi TNF-α, FGF-2, Platelet Derived Growth Factor (PDGF), dan VEGF dengan menarik sel-sel inflamatori. TNF-α diketahui meningkatkan ekspresi VEGF dan reseptornya, interleukin-8 dan FGF-2 pada sel endotel. Aktivitas TNF-α ini menjelaskan peranannya dalam angiogenesis secara in vivo.

(47)

Beberapa kemungkinan mekanisme stimulasi angiogenesis oleh faktor angiogenik tipe ini antara lain :

a Mobilisasi makrofag dan mengaktivasi sel tersebut untuk mensekresi hormon pertumbuhan atau faktor kemotaktik sel endotel pembuluh darah, atau bahkan mensekresi keduanya.

b. Menyebabkan terjadinya pelepasan nitrogen sel endotel (contohnya b- FGF) yang dapat disimpan di ECM.

c. Menstimulasi pelepasan penyimpanan intraseluler faktor pertumbuhan sel endotel.

b. Reepitelialisasi

Secara simultan, sel-sel basal pada epitelium bergerak menuju daerah luka dan menutupi daerah luka (Gottrup dkk., 2007). Pada tepi luka, keratinosit akan berproliferasi setelah kontak dengan ECM dan kemudian bermigrasi dari membran basal ke permukaan yang baru terbentuk. Ketika bermigrasi, keratinosit akan menjadi pipih dan panjang dan juga membentuk tonjolan sitoplasma yang panjang. Pada ECM, mereka akan berikatan dengan kolagen tipe I dan bermigrasi menggunakan reseptor spesifik integrin. Kolagenase yang dikeluarkan keratinosit akan mendisosiasi sel dari matriks dermis dan membantu pergerakan dari matriks awal. Keratinosit juga mensintesis dan mensekresi Matrixmetalloproteinase lainnya ketika bermigrasi (Schultz, 2007).

(48)

c. Fibroplasia

Fibroblas mulai memasuki daerah luka 2 - 5 hari setelah fase inflamasi luka berakhir, dan jumlahnya mencapai puncak pada 1 - 2 minggu setelah terjadinya luka. Pada akhir minggu pertama, fibroblas adalah sel utama dalam luka. Fibroplasia berakhir 2 sampai 4 minggu setelah luka terjadi (Gurtner, 2007). Fibroblas berproliferasi dan bermigrasi, sehingga nantinya menjadi sel utama yang menjadi matrix kolagen di dalam area luka. Fibroblas dari jaringan normal bermigrasi ke dalam area luka. Awalnya fibroblas menggunakan benang fibrin pada fase inflamasi untuk bermigrasi, melekat ke fibronektin. Lalu fibroblas mengendapkan substansi dasar ke dalam area luka yang selanjutnya akan ditempati oleh kolagen (Grab dan Smith 2006).

D. Fase Maturasi dan Remodeling

Sekitar 1 minggu setelah terjadinya penyembuhan luka, fibroblas berdiferensiasi menjadi miofibroblas dan luka mulai menyusut. Pada luka yang dalam puncak penyusutan terjadi dalam 5 - 15 hari setelah terjadinya luka. penyusutan dapat berakhir dalam beberapa minggu, dan berlanjut bahkan setelah luka mengalami reepitelisasi. Jika pengerutan berlanjut terlalu lama, hal ini akan menuju pada kerusakan dan malfungsi. Pengerutan terjadi untuk mengurangi bentuk yang berlebihan dari penyembuhan luka. Luka yang besar akan menjadi 40 - 80 % lebih kecil setelah terjadinya pengerutan. Pada awalnya, pengerutan terjadi tanpa keterlibatan miofibroblas. Miofibroblas yang mirip sel otot polos bertanggung jawab pada kontraksi. Miofibroblas

(49)

mengandung aktin yang serupa ditemukan di dalam sel otot polos (Grab dan Smith 2006).

Fase ini dimulai 2-3 minggu setelah penutupan luka. Selama fase ini, jaringan granulasi mengalami remodeling dan maturasi untuk membentuk jaringan scar, ketika jaringan granulasi telah ditutupi epitelium. Fase ini ditandai dengan penurunan densitas sel, jumlah kapiler dan aktivitas metabolik. Fibril kolagen membentuk serabut kolagen yang tebal (Gottrup dkk., 2007).

Fase terakhir dalam penyembuhan luka merupakan fase maturasi yang ditandai keseimbangan antara proses pembentukan dan degradasi kolagen.

Setidaknya terdapat tiga prasyarat kondisi lokal agar proses penyembuhan luka dapat berlangsung dengan normal, yaitu: 1) semua jaringan di area luka dan sekitarnya harus vital, 2) tidak terdapat benda asing, 3) tidak disertai kontaminasi eksesif atau infeksi (Prasetyono, 2009). Saat kadar produksi dan degradasi kolagen mencapai keseimbangan, maka mulailah fase maturasi dari penyembuhan jaringan luka. Fase ini dapat berlangsung hingga 1 tahun lamanya atau lebih, tergantung dari ukuran luka dan metode penutupan luka yang dipakai. Selama proses maturasi, kolagen tipe III yang banyak berperan saat fase proliferasi akan menurun kadarnya secara bertahap, digantikan dengan kolagen tipe I yang lebih kuat. Serabut-serabut kolagen ini akan disusun, dirangkai, dan dirapikan sepanjang garis luka (Grab dan Smith 2006).

Fase remodelling jaringan parut adalah fase terlama dari proses penyembuhan. Pembentukan kolagen akan mulai menurun dan stabil.

(50)

Meskipun jumlah kolagen sudah maksimal, kekuatan tahanan luka hanya 15

% dari kulit normal. Proses remodelling akan meningkatkan kekuatan tahanan luka secara drastis. Proses ini didasari pergantian dari kolagen tipe III menjadi kolagen tipe I. Peningkatan kekuatan terjadi secara signifikan pada minggu ke tiga hingga minggu ke enam setelah luka. Kekuatan tahanan luka maksimal akan mencapai 90% dari kekuatan kulit normal (Webster dkk., 2012).

2.3.2 Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap penyembuhan luka

Faktor-faktor ini secara garis besar dibagi menjadi 2 kelompok yaitu faktor lokal dan faktor sistemik. Faktor lokal meliputi besarnya luka, jenis jaringan yang mengalami luka, lokasi, bersih dan kotornya luka (kontaminasi) serta kecepatan penatalaksanaannya. Faktor sistemik meliputi keadaan umum penderita beserta kelainan kronik sebelumya yang telah diderita, keadaan gizi, penyakit sistem imun dan lain-lain (Cotran dkk., 1999; Grab dan Smith 2006).

Faktor sistemik:

1. Nutrisi, merupakan pengaruh yang cukup menonjol. Kekurangan vitamin C dan protein akan mempengaruhi sintesis kolagen serta memperpanjang waktu penyembuhan.

2. Status metabolik, misalnya penyakit diabetes melitus di mana pada penyakit ini penderita mengalami gangguan metabolik.

3. Status sirkulasi darah.

4. Status imunitas, gangguan dan defisiensi sistem imun menyebabkan luka mudah terinfeksi dan mengganggu penyembuhan luka.

(51)

5. Hormonal, hormon glukokortikoid mempunyai pengaruh sebagai antiinflamasi, dapat mempengaruhi proses inflamasi dan proliferasi, sehingga dapat mempengaruhi sintesis kolagen.

Faktor-faktor lokal;

1. Infeksi luka

2. Faktor mekanik, misalnya mobilisasi awal, pergerakan di atas luka akan proses penyembuhan luka.

3. Benda asing, misalnya benang jahit yang tidak terabsorbsi dan kotoran.

4. Macam, ukuran, dan lokasi luka.

5. Oksigenasi, merupakan faktor terpenting yang berpengaruh pada kecepatan penyembuhan luka.

2.4 Peranan Angiogenesis pada Penyembuhan Luka

Jaringan pada penyembuhan luka memerlukan suplai oksigen dan nutrisi supaya dapat berproliferasi dengan baik, oleh karena itu diperlukan suatu proses yang dapat memfasilitasi hal tersebut yaitu angiogenesis (pembentukan pembuluh darah baru). Angiogenesis merupakan salah satu proses yang terjadi dalam penyembuhan luka pada fase proliferasi yaitu antara 2 hari sampai 3 minggu setelah injuri. Proses ini merupakan proses alami yang penting dan diperlukan pada penyembuhan luka untuk mengembalikan aliran darah pada jaringan setelah terjadi injuri, sehingga jaringan-jaringan yang baru mendapatkan suplai nutrisi yang cukup untuk berproliferasi (Permatasari dkk., 2013).

Gambar

Gambar 2.1 Ulkus Traumatikus Pada Mukosa Bibir Bawah  ( Scully, 2008)
Gambar 2.2 Gambaran histologi ulkus traumatikus (A) Kerusakan lapisan epitel;
Gambar 2.3 Fase penyembuhan luka. Penyembuhan luka pada kulit orang dewasa  dan sel yang mendominasi pada masing-masing fase (Gurtner, 2007)
Gambar : 2.5  Buah Adas (Andajani dan Maharddika, 2003).
+7

Referensi

Dokumen terkait

Ekstrak etanol buah adas ( Foeniculum vulgare Mill) yang telah disimpan selama 1 tahun memiliki aktivitas antibakteri terhadap Staphylococcus epidermidis,

ANTIBAKTERI EKSTRAK ETANOL DAUN ADAS (Foeniculum vulgare Mill.) TERHADAP Staphylococcus aureus ATCC 6538 DAN Escherichia coli ATCC 11229 SECARA IN VITRO. Latar Belakang:

Dari kedua hasil penelitian tersebut dan sudah dilakukan analisis data dengan menggunakan SPSS 17.0 for windows dapat disimpulkan bahwa ekstrak etanol daun

Hal ini menunjukkan bahwa ekstrak air buah adas memiliki senyawa antibakteri yang dapat menghambat pertumbuhan bakteri, dimana konsentrasi F (0,090 g/ml) memiliki diameter

Uji toksisitas subkronis oral adalah suatu pengujian untuk mendeteksi efek toksik yang muncul setelah pemberian sediaan uji dengan dosis berulang yang diberikan

menandakan bahwa ekstrak buah adas masih dapat menghambat bakteri, sedangkan pada konsentrasi 1,56% merupakan transisi dari warna coklat ke warna kuning, pada

Data hasil penelitian dari uji antibakteri terhadap berbagai konsentrasi lotion minyak atsiri buah adas dianalisis secara statistik dengan menggunakan metode One Way

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui aktivitas antibakteri ekstrak etanol buah adas (Foeniculum vulgare Mill.) yang telah disimpan selama 1 tahun terhadap