DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS PADJAJARAN PUSAT MATA NASIONAL RUMAH SAKIT MATA CICENDO BANDUNG
Sari Kepustakaan : Pemeriksaan Kedudukan Bola Mata Penyaji : Samuel Yudhistira
Pembimbing : dr. Primawita O. Amiruddin, Sp. M(K), M. Kes
Telah Diperiksa dan Disetujui oleh Pembimbing
dr. Primawita O. Amiruddin, Sp. M(K), M. Kes
Jumat, 13 Oktober 2023 Pukul 07.30 WIB
I. Pendahuluan
Mata adalah salah satu organ terpenting pada tubuh manusia yang berperan dalam menerima informasi visual yang berguna dalam kehidupan sehari-hari.
Kedua mata bekerja bersama dalam menerima informasi, sehingga manusia dapat melihat secara tiga dimensi, menilai jarak dan kedalaman, serta membantu dalam koordinasi mata dengan tangan. Kedudukan bola mata yang baik penting untuk mencapai fungsi tersebut, hal ini dipengaruhi oleh keseimbangan kerja antar otot penggerak bola mata. 1–3
Mata manusia idealnya berada dalam kondisi ortoforia, yaitu kedudukan bola mata yang seimbang namun pada kenyataannya sebagian besar manusia memiliki sedikit deviasi yang masih dapat dikompensasi dengan mekanisme fusi. Keadaan ini disebut sebagai heteroforia atau strabismus laten. Kondisi deviasi tidak dapat dikompensasi disebut sebagai heterotropia atau strabismus manifes.4–6
Kelainan pada kedudukan bola mata dapat menyebabkan gejala seperti mata juling atau penglihatan ganda. Kelainan kedudukan bola mata dapat menyebabkan mata malas pada anak-anak yang dapat menyebabkan gangguan penglihatan permanen apabila tidak dideteksi segera. Pemeriksaan kedudukan bola mata secara cepat dapat mencegah hal tersebut.2,4,7 Sari pustaka ini dibuat dengan tujuan untuk membahas mengenai kedudukan bola mata dan pemeriksaan yang dapat dilakukan untuk menilai kedudukan bola mata.
II. Anatomi Otot Ekstraokuler
Bola mata berada dalam rongga orbita yang berbentuk seperti buah pir. Dinding lateral dan medial rongga orbita membentuk sudut sekitar 45 derajat. Bola mata berada di tengah - tengah membentuk sudut sekitar 23 derajat dari dinding lateral dan medial. Sudut ini disebut sebagai aksis orbita. Aksi otot ekstraokuler menyebabkan mata berada pada posisi paralel satu sama lain saat melihat jauh. Bola mata membentuk sudut 23 derajat dari aksis orbita yang disebut sebagai aksis visual pada posisi ini.5,8,9
Mata memiliki tujuh otot ekstraokuler yang terdiri atas dua otot rektus vertikal yaitu otot rektus superior dan rektus inferior, dua otot rektus horizontal yaitu otot
rektus medial dan rektus lateral, dua otot oblik yaitu otot oblik superior dan oblik inferior, dan otot levator palpebra. Semua otot tersebut, kecuali otot levator palpebra, berfungsi dalam menjaga posisi dan pergerakan bola mata. Gangguan pada salah satu otot dapat menyebabkan deviasi kedudukan bola mata.4,5,10
Gambar 2.1 Aksis bola mata Dikutip dari: Khan, dkk4
Keempat otot rektus memiliki origo pada cincin fibrotendinosa bernama Annulus of Zinn, yang terletak pada apeks orbita. Keempat otot rektus tersebut kemudian berjalan pada dinding orbita, kemudian berinsersi pada bola mata. Keempat otot rektus memiliki jarak insersi yang berbeda terhadap limbus. Otot rektus medial memiliki insersi yang terdekat, diikuti oleh otot rektus inferior, otot rektus lateral, kemudian otot rektus superior. Insersi keempat otot rektus ini membentuk suatu spiral yang disebut sebagai Spiral of Tillaux. Insersi dari otot rektus superior dan inferior membentuk sudut 23 derajat dari aksis visual.3,8,9
Otot oblik superior memiliki origo pada periosteum tulang sfenoid, superomedial dari foramen optik. Otot oblik superior kemudian berjalan pada dinding superomedial dan melewati troklea, struktur kartilago yang menempel pada superonasal orbit, sebelum berinsersi di posterior dari insersi otot rektus superior.
Otot oblik inferior memiliki origo pada periosteum tulang maksilaris, lateral dari fossa lakrimalis. Otot oblik inferior berinsersi di bawah otot rektus lateral pada
posterolateral bola mata. Otot oblik superior dan inferior membentuk sudut 51 derajat terhadap aksis visual.8–10
Gambar 2.2 Insersi otot ekstraokuler Dikutip dari: Khan, dkk4
Otot ekstraokuler dipersarafi oleh tiga saraf kranial, yaitu saraf okulomotor, saraf troklearis, dan saraf abdusens. Saraf okulomotor memiliki dua cabang, yaitu cabang superior yang mempersarafi otot rektus superior dan cabang inferior yang mempersarafi otot rektus inferior, otot rektus medial, serta otot oblik inferior. Otot rektus lateral dipersarafi oleh saraf abdusens dan otot oblik superior dipersarafi oleh saraf troklearis.4,9,10
Gambar 2.3 Persarafan otot ekstraokuler Dikutip dari: Brar, dkk8
Arteri yang memberikan suplai darah terbanyak pada otot ekstraokuler adalah arteri oftalmika cabang muskular. Arteri oftalmika cabang muskular dibagi menjadi
dua, yaitu cabang lateral dan medial. Cabang muskular lateral memperdarahi otot rektus lateral, rektus superior, dan oblik superior, sedangkan cabang muskular medial memperdarahi otot rektus inferior, rektus medial, dan oblik inferior. Arteri oftalmika cabang muskular berlanjut sebagai arteri siliaris anterior. Masing - masing otot rektus mendapatkan satu hingga empat arteri siliaris anterior. Selain itu arteri lakrimalis memperdarahi otot rektus lateral dan arteri infraorbital memperdarahi otot oblik inferior serta rektus inferior. Darah kemudian dibawa kembali melalui vena orbita superior dan inferior.4,8,9
Gambar 2.4 (A) Arteri pada otot ekstraokuler (B) Vena pada otot ekstraokuler Dikutip dari: Brar, dkk8
III. Fisiologi Gerak Bola Mata
Mata memiliki dua jenis gerakan, yaitu gerakan satu mata atau monokuler dan gerakan dua mata atau binokuler. Gerakan monokuler disebut juga sebagai duksi.
Mata berotasi pada tiga aksis yang disebut sebagai Fick’s axis dengan pusat rotasi
berada pada tengah bola mata, yang terdiri atas aksis vertikal, transversal, dan anteroposterior. Hukum Listing menyatakan bahwa seluruh pergerakan bola mata dapat dicapai dengan rotasi pada tiga aksis tersebut. Gerakan pada aksis vertikal menghasilkan gerakan adduksi dan abduksi, gerakan pada aksis transversal menghasilkan gerakan elevasi dan depresi, gerakan pada aksis anteroposterior menghasilkan gerakan intorsi dan ekstorsi.5,8,9
Gambar 3.1 Fick’s axis
Dikutip dari: Moore, dkk9
Mata memiliki tiga posisi, yaitu primer, sekunder, dan tersier. Posisi primer adalah posisi saat melihat lurus. Posisi sekunder adalah saat mata melirik ke arah vertikal atau horizontal (atas, bawah, kanan, dan kiri). Posisi tersier adalah saat mata melirik ke arah oblik (atas kanan, atas kiri, bawah kanan, dan bawah kiri). Gerakan otot terkuat pada posisi primer disebut sebagai gerakan primer. Otot rektus vertikal dan otot oblik memiliki insersi yang tidak sejajar dengan posisi primer sehingga memiliki gerakan sekunder dan tersier.4,9,10
Otot ekstraokuler memiliki tiga sifat dalam melakukan gerak duksi, yaitu agonis, antagonis, dan sinergis. Otot agonis merupakan otot penggerak utama ke arah tujuan. Otot antagonis adalah otot yang memiliki arah berlawanan dari otot agonis.
Otot sinergis merupakan otot yang membantu kerja otot agonis. Hukum Sherrington
menyatakan hubungan antara otot agonis dan antagonis, yakni peningkatan persarafan pada otot agonis akan disertai pengurangan persarafan pada otot antagonis.3–5
Tabel 3.1 Aksi otot ekstraokuler yang berpengaruh pada kedudukan bola mata
Muscle Primary Secondary Tertiary
Medial rectus Adduction - -
Lateral rectus Abduction - -
Inferior rectus Depression Extorsion Adduction
Superior rectus Elevation Intorsion Adduction
Inferior oblique Extorsion Elevation Abduction
Superior oblique Intorsion Depression Abduction
Dikutip dari: Brar, dkk8
Gerakan binokuler dibagi menjadi gerak versi dan vergensi. Versi adalah gerakan dua bola mata ke arah yang sama. Gerakan bola mata ke arah kanan disebut sebagai dekstroversi, ke arah kiri sebagai levoversi. Gerakan versi dipengaruhi oleh kerja otot yoke, yaitu otot penggerak utama pada masing-masing bola mata. Hukum Hering menyatakan hubungan antar otot yoke, yakni ketika mata bergerak ke satu arah, maka terdapat peningkatan persarafan yang seimbang pada kedua otot yoke.
Vergensi adalah gerakan dua bola mata ke arah yang berlawanan. Gerakan ke arah nasal disebut sebagai konvergensi, sedangkan gerakan ke arah temporal disebut sebagai divergensi.3,5,8
Gambar 3.2 (A) Gerak versi (B) Gerak vergensi Dikutip dari: Salmon5
Penglihatan binokuler dapat terjadi apabila kedua mata dapat melihat dan menyatukan objek dengan ukuran dan bentuk yang serupa. Proses ini disebut
sebagai fusi sensoris. Fusi sensoris dapat terjadi apabila gambar diterima pada titik korespondensi retina di kedua mata. Titik korespondensi penglihatan sentral retina yang normal terdapat di fovea.3,5,11
Garis horopter adalah garis imajiner di depan mata. Objek yang terletak pada garis tersebut akan diterima pada titik korespondensi retina. Area Panum adalah area di depan dan belakang garis horopter. Objek yang berada di area Panum diterima oleh titik non koresponden, tetapi bayangan objek tetap dapat disatukan.
Benda yang berada dalam area Panum akan dipersepsikan sebagai satu gambar, sedangkan benda yang berada di luar area Panum akan dipersepsikan sebagai dua gambar. Fusi motoris mencegah terjadinya hal ini dengan melakukan gerak vergensi.3,4,11
Gambar 3.3 Garis horopter dan area Panum. F = titik fiksasi; FL dan FR = fovea kiri dan kanan. Titik 2 menandakan objek terjatuh pada area Panum sehingga dipersepsikan sebagai satu gambar. Titik 3 menandakan objek terjatuh di luar area Panum sehingga dipersepsikan sebagai dua gambar
Dikutip dari: Khan, dkk4
IV. Pemeriksaan Kedudukan Bola Mata
Pemeriksaan kedudukan bola mata dimulai dari anamnesis dan pemeriksaan fisik. Anamnesis yang ditanyakan adalah gejala utama, onset, faktor pencetus,
riwayat pengobatan, dan riwayat operasi sebelumnya. Pemeriksaan fisik yang dilakukan yaitu menilai adanya deviasi pada sembilan posisi diagnosis dan posisi kepala. Pengukuran kedudukan bola mata terdiri atas tiga jenis pemeriksaan, yaitu uji refleks cahaya kornea, uji tutup, dan pemeriksaan subjektif.4–6
4.1. Uji Refleks Cahaya Kornea
Uji refleks cahaya kornea adalah pemeriksaan untuk menilai kedudukan bola mata dengan menggunakan pantulan cahaya pada permukaan anterior kornea.
Kelebihan pemeriksaan ini adalah membutuhkan kooperasi minimal dari pasien, sehingga dapat digunakan pada pasien yang tidak kooperatif dan memiliki fiksasi yang buruk. Kekurangan pemeriksaan ini adalah hasil pemeriksaan tidak seakurat uji tutup. Uji refleks cahaya kornea terdiri atas tes Hirschberg dan tes Krimsky.3–5
Tes Hirschberg menilai deviasi bola mata secara kasar melalui pergeseran pantulan cahaya kornea dari tengah pupil. Prosedur dari tes Hirschberg adalah dengan menyinari kedua mata pasien dengan senter pada jarak 33 cm. Setiap pergeseran satu milimeter dari tengah pupil menandakan deviasi sekitar 15 prisma diopter (PD), dengan perkiraan apabila cahaya jatuh di tepi pupil maka terdapat deviasi sebesar 30 PD, di tengah iris sebesar 60 PD, dan di limbus sebesar 90 PD.2–
4
Gambar 4.1 Uji refleks cahaya kornea. (A) Tes Hirschberg. (B) Tes Krimsky Dikutip dari: Khan, dkk4
Pemeriksaan tes Hirschberg dapat dipertajam dengan tes Krimsky. Tes Krimsky dilakukan dengan cara menaruh prisma pada mata berfiksasi atau berdeviasi, kemudian kekuatan prisma diatur hingga terdapat netralisasi atau sentrasi dari refleks cahaya. Besar prisma yang digunakan untuk menetralisir adalah besaran dari deviasi bola mata.2,4,6
4.2 Uji Tutup
Uji tutup merupakan pemeriksaan yang paling akurat dalam mendeteksi kelainan kedudukan bola mata. Namun, pemeriksaan uji tutup memerlukan kooperasi dari pasien dan kemampuan untuk menjaga fiksasi. Uji tutup terdiri atas uji tutup - buka, uji tutup bergantian, dan uji tutup dengan prisma.4–6
Uji tutup - buka dilakukan untuk mendeteksi heterotropia. Pemeriksaan uji tutup - buka biasa dilakukan dengan pasien pada posisi duduk tegak, namun dapat dilakukan juga pada posisi berbaring pada pasien yang tidak dapat duduk. Minta pasien untuk fokus pada satu objek. Pemeriksaan dapat dilakukan pada fiksasi jarak jauh (enam meter) dan jarak dekat (33 cm). Pastikan pasien mendapatkan koreksi refraksi terbaik sebelum melakukan pemeriksaan. Pemeriksa kemudian menutup salah satu mata dan menilai pergerakan pada mata satunya. Apabila terdapat gerakan pada mata yang tidak tertutup, maka pasien memiliki heterotropia.3–5
Gambar 4.2 Uji tutup. (A) Ortoforia. (B) Exotropia. (C) Esotropia Dikutip dari: Salmon5
Uji tutup bergantian dilakukan setelah uji tutup – buka untuk mendeteksi heterotropia dan heteroforia. Prosedur pemeriksaan dilakukan dengan menutup salah satu mata, kemudian menutup mata sebelahnya secara bergantian. Gerakan pada uji tutup bergantian yang tidak terdeteksi pada uji tutup buka menandakan heteroforia. Uji tutup dengan prisma dilakukan menggunakan prisma dengan
berbagai kekuatan. Prisma diletakan pada salah satu mata, kemudian dilakukan uji tutup bergantian. Derajat deviasi ditentukan dengan kekuatan prisma yang cukup untuk menetralisir pergerakan bola mata.2,6,7
4.3. Pemeriksaan Subjektif
Pemeriksaan subjektif dapat dilakukan dengan menggunakan batang Maddox.
Uji batang Maddox adalah pemeriksaan binokuler. Pemeriksaan hanya dilakukan pada pasien yang dapat memberikan respon subjektif. Pemeriksaan batang Maddox terdapat dua jenis yaitu pemeriksaan Maddox tunggal dan ganda.3,4,6
Pemeriksaan batang Maddox tunggal menggunakan lensa Maddox yang tersusun atas beberapa batang silinder berwarna merah. Pemeriksa menaruh lensa Maddox pada satu mata kemudian meminta pasien untuk melihat cahaya pada jarak 33 cm.
Lensa tersebut merubah cahaya putih menjadi garis merah dengan sudut tegak lurus dari aksis batang. Normalnya pasien akan melihat garis merah menembus cahaya, namun garis merah akan tampak berada di sebelah cahaya apabila terdapat deviasi.4,5,12
Gambar 4.3 Uji batang Maddox. (A) Strabismus horizontal. (B) Strabismus vertikal Dikutip dari: Khan, dkk4
Pemeriksaan batang Maddox ganda dilakukan untuk mendeteksi siklotropia.
Pemeriksaan menggunakan lensa Maddox merah pada mata kanan dan lensa Maddox putih pada mata kiri secara vertikal. Pasien akan melihat garis merah dan
garis putih. Pada keadaan normal, kedua garis tampak horizontal dan paralel, namun pada pasien dengan siklotropia garis akan tampak berotasi. Sudut deviasi ditentukan dengan derajat rotasi lensa Maddox yang dibutuhkan untuk membuat dua garis paralel.3,5,6
4.4 Perangkat Lunak
Penggunaan smartphone semakin terintegrasi dalam kehidupan sehari-hari setiap tahunnya dan hal ini ditemukan juga dalam praktek klinis. Berbagai perangkat lunak telah dikembangkan untuk membantu proses diagnosis dan edukasi. Perangkat lunak berbasis tes Hirschberg adalah salah satu contoh pada bidang oftamologi.13–15
Perangkat lunak berbasis tes Hirschberg dikembangkan untuk membantu skrining kelainan kedudukan bola mata pada daerah yang tertinggal. Salah satu contoh perangkat lunak ini adalah EyeTurn. Prinsip dari perangkat lunak ini adalah menghitung deviasi refleks cahaya kornea terhadap tengah pupil. Refleks cahaya dan struktur mata dideteksi dengan menggunakan algoritma.13,15,16
Gambar 4.4 Perangkat lunak EyeTurn Dikutip dari: Cheng, dkk16
Hasil penelitian menunjukan perangkat lunak EyeTurn memiliki sensitivitas sebesar 83% dengan spesifisitas sebesar 76,5%. Tingkat keberhasilan pengambilan gambar ditemukan sebesar 90% dengan penyebab kegagalan utama yaitu refleks menutup mata akibat cahaya senter. Peneliti menyimpulkan perangkat lunak seperti EyeTurn dapat digunakan untuk skrining kelainan kedudukan bola mata tanpa perlu pelatihan khusus.14–16
V. Simpulan
Penglihatan yang baik membutuhkan kedudukan bola mata yang baik.
Kedudukan bola mata yang baik membutuhkan fungsi otot ekstraokuler yang seimbang. Otot ekstraokuler yang berperan dalam menjaga kedudukan bola mata yaitu dua rektus vertikal, dua rektus horizontal, dan dua otot oblik. Otot tersebut membantu mata dalam bergerak, baik secara monokuler maupun binokuler.
Beberapa pemeriksaan dapat mendeteksi kelainan dari kedudukan bola mata, seperti uji tutup, uji refleks cahaya kornea, dan pemeriksaan subjektif. Selain itu pemeriksaan dengan perangkat lunak juga ditemukan dapat membantu dalam mendeteksi kelainan kedudukan bola mata.
13
DAFTAR PUSTAKA
1. Homan I. Binocular vision: why is it so important?. Acta Scientific Ophthalmology.
2021;4(6):42–3.
2. Bommireddy T, Taylor K, Clarke MP. Assessing strabismus in children. Paediatrics and Child Health. 2019;30(1):14–8.
3. Albert DM, Miller JW, Azar DT, Young LH, editor. Clinical evaluations of strabismus.
Dalam: Albert and Jakobiec’s principles and practice of ophthalmology. Edisi ke-4.
Cham: Springer International Publishing; 2022. hlm. 6872–85.
4. Khan AO, Chang TCP, El-Fairi MA, Lee KA, Utz VM, Mireskandari K, dkk. Pediatric ophthalmology and strabismus. Dalam: Basic and clinical science course 2022-2023.
San Francisco: American Academy of Ophthalmology; 2022. hlm. 65–74.
5. Salmon JF. Strabismus. Dalam: Kanski’s clinical ophthalmology: a systematic approach. 9th ed. Elsevier; 2020. hlm. 698–723.
6. Blomquist PH, editor. Ocular motility examination. Dalam: Practical ophthalmology:
manual for beginning residents. Edisi ke-8. San Francisco, CA: American Academy of Ophthalmology; 2021. hlm. 85–104.
7. McConaghy JR, McGuirk R. Amblyopia: detection and treatment. 2019;100(12).
8. Brar VS, Law SK, Lindsey JL, Mackey DA, Schultze RL, Silverstein E, dkk.
Fundamentals and principles of ophtalmology. Dalam: Basic and clinical science course 2022-2023. San Francisco: American academy of ophthalmology; 2022. hlm.
5–45.
9. Moore KL, Dalley AF, Agur AMR. Eye, orbit, orbital region, and eyeball. Dalam:
Clinically oriented anatomy. Edisi ke-8. Philadelphia: Wolters Kluwer; 2018. hlm.
2015–54.
10. Haładaj R. Normal anatomy and anomalies of the rectus extraocular muscles in human: a review of the recent data and findings. BioMed Research International.2019:1–9.
11. Candy TR, Cormack LK. Recent understanding of binocular vision in the natural environment with clinical implications. Progress in Retinal Eye Research.
12. Liebermann L, Hatt SR, Leske DA, Klaehn LD, Kramer AM, Holmes JM. Comparison of methods for measuring cyclodeviation. American Journals of Ophthalmology.2020.
224:332-342
13. Garcia SSS, Santiago APD, Directo PMC. Evaluation of a hirschberg test-based application for measuring ocular alignment and detecting strabismus. Current Eye Research. 2021;46(11):1768–76.
14. Hogarty DT, Hogarty JP, Hewitt AW. Smartphone use in ophthalmology: What is their place in clinical practice? Survey of Ophthalmology. 2020;65(2):250–62.
15. Pundlik S, Tomasi M, Liu R, Houston K, Luo G. Development and preliminary evaluation of a smartphone app for measuring eye alignment. Translational Vision Science Technology. 2019;8(1):19.
16. Cheng W, Lynn MH, Pundlik S, Almeida C, Luo G, Houston K. A smartphone ocular alignment measurement app in school screening for strabismus. BMC Ophthalmology.
2021;21(1):150.