• Tidak ada hasil yang ditemukan

PEMERIKSAAN KTINIS NEUROTOGI PRAKTIS

N/A
N/A
Acer HP

Academic year: 2023

Membagikan "PEMERIKSAAN KTINIS NEUROTOGI PRAKTIS"

Copied!
222
0
0

Teks penuh

(1)

iw.r;

[. i4Ed _i

PEMERIKSAAN KTINIS

NEUROTOGI PRAKTIS Umum

Edisi Pertama

Kolegium Neurologi Indonesia

Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia

2018

(2)

PEMERIKSAAN KLINIS

NEUROLOGI PRAKTIS

Umum

Edisi Pertama

Editor

Riwanti Estiasari

Ramdinal Ayiesena Zairinal

Wardah Rahmatul Islamiyah

Kolegium

Neurologi Indonesia

Perhimpunan Dokter

Spesialis Saraf

Indonesia

2014

(3)

H a

k

C

ipta

D

ilindungi Undqng -Undqng

'. .

\.niperbonyok, jnencetalt don menerbitkan sebagian otau seluruh isi buku tDt

. , .., i

dan ttalam bentuk apapun juga tanpa seizin Kolegium Neuralogi lndanesia

-: .

:tan ke(tokterun dan pengalaman klinis senantiasa berkembang dan tnetnperluos

r'.::r.;oi!oll

kitd boik dolam hat diognostik muupun terapi. Pora kantributot editar

: : :rnefiit

buku ini teloh betupllyo kerus untuk menastikatl bahwo setiap infatmasi

.)'.

turd.tpat

dahnl

buku ini ber.)sal dari stlmber

ilnillll

yang terpercavo' dapat

.:..iatkdn

dan diterimi datan p raktek kedoktera n pada sast publikasi. Na/r,un dengan

:i.i!rid te.€rldtasdn no,rusia atllupun perubahon tlolam

ilnu

kedakteran' kontributo.

.. ...

penerbit maupun pihak tdin yang turut terlibot doldm persiopon don puhlikasi .1,i.1 tnt nttak bertunggung jawob untuk kesaluha dtaupun kelalaianvang diakibutkan

:itt

t)erlggunaan informasi ydng terk,lndung dahm buku ini. Penbaco (lianjurkan

rreitanjl,nasi

kembali infomasi yans terkanduns .tatatn buku ini densan sumber i.tnn|a. Kritik(tan saran dapat disatnpaikan melalui bukupfneurct@gmail com-

PEMERIKSAAN KLINIS NEUROLOGI PRAKTIS Umum

1a

x23

Halaman:i-xii/1-210

Diterbitkan pertama kali oleh:

Kolegium Neurologi Indonesia

Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia 2018

Cetakan pertama : April, 2018 Dicetak pertama kali oleh:

PENERBTT I{EDOKTERAN INDONESIA Em q i l, p e rkis a. i n d o n esi a @ g m ail. c o m

lSBNr 978-979-1 14-5-6 o-

(i o

I o

D

z z

I

z

!z d

EI

E

rl1

(4)

TIM BUKU

Riwanti Estiasari Tiara Aninditha Dyah TunJungsari Ramdinal Aviesena Zairinal

Ade Wijaya

Rima Anindita Primandari Eny

NurhaFti

Dwi Astiny Mirna Marhami Iskandar

Intan Nurul Azni Mumfaridah

ILUSTRATOR Uti Nilam SaIi

FOTOGRAFER Adrian Ridski Harsono

DESAIN SAMPUL Ke\rin Muly'a

Put

Auliy_a

TiaraAninditha

l

(5)

KONTRIBUTOR

Al Rasyid

Ahmad Yanuar Safri Andika Okpamsta Astri Budikayanti Astuti

Audry Devisanty Wuysang Chairil Amin BatubaE Corry Novita Mahama Darma Imran

Diah Kumia Mirawati

Dewa Putu Gde Pun ,a Samatra Hendra Permana

Henry Riyanto So8/an I Putu Eka Widyadharma Ika Marlia

Kartika Maharani Muhammad Kiki Iqbal Mohammad Kumiawan Masita

Melke Joanne Tumboimbela Mudjiani Basuki

Muhammad Akbar

NurAstini

Paulus Anam Ong Rakhmad Hidayat

Ramdinal Aviesena Zairinal Ratih Vierda octaviani Ria Damayanti

Riwanti Estiasari

Univercitas Indonesia Universitas Indonesia Universitas Sdwijaya Universitas lndonesia Universitas Gadjah Mada Universitas Hasanuddin llniversitas Sumatera Utara Universitas Sam Ratulangi Universitas Indonesia Universitas Sebelas Maret Universitas Udayana Universitas Andalas Universitas Indonesia Universitas Udayana Universitas Syiah Kuala Univercitas Indonesia Universitas Sumatera Utara Universitas Indonesia Universitas Sriwijaya Universitas Sam Ratulangi Universitas Airlangga Universitas Hasanuddin Universitas Syiah Kuala Universitas Padjajaran Universitas Indone-sia Universitas lndonesia Universitas Diponegoro Universitas Blawijaya Universitas Indonesia

iY

(J o

'l o

CN

z z

J

z

E Itl

o"

(6)

Salim Harris Subagya Suratno

'lhufik Mesiano Tiam Aninditha

Trianglloro Budisulistyo Uni Gamayani

Wardah Rahmatul lslamiyah Widodo MardiSantoso YuliarniSyafiita

Universitas Indonesia Universitas Gadjah Mada Universilas Scbelas l\4aret UDiversitas Indonesia llniversitas lndonesia Universitas I)iponegor-o Universitas Padjajaran Univcrsitas Airlangga Universrtas [Jrawi j aya Uuiverstas And:rlas

(7)

Sambutan

KETUA KOTEGIUM NEUROLOGI INDONESIA

Puji syukurkami panjatkan ke hadiratAllah SWI Tuhan Yang Maha Esa karena hanya atas perkenaan-Nya buku Pemeriksaan Klinis Neurologi Pralitis Umum dan Khusus telah berhasil diterbitkan ke hadapan pembaca.

Pemeriksaan klinis neurologi merupakan pemeriksaan klinis dengan

karakte stik

yang khas dan memerlukan ketrampilan dalam melakukan pemeriksaan maupun interpretasi hasilnya, yang dapat bersumber dari beberapa referensi. Pemeriksaan ini sangat banyak jenisnya yang disesuaikan dengan gejala klinis dan

teknik

pengedaanyang juga dapatbervariasi.

Kolegium Neurologi Indonesia (KNII

mempunyai

tugas

menjaga

baku

mutu pendidikan dokterspesialis neurologi di lndonesia, antara lain sebagai penyelenggara

ujian

kompetensi nasional.

Untuk itu diperlukan

panduan persamaan persepsi seluruh

stafpendidik

dan peserta

didik

di seluruh Indonesia mengenai pemeriksan klinis neurologi, demi menghindari perbedaan penilaian yang bersifat subjektif dan multiinterpretasi.

KNI

telah menugaskan kepada

tim

buku pemeriksaan ldinis neurologi pmktis yang

terdiri

dari perwakilan empat belas (14) prcgram studi dokter spesialis neurologi di 'seluruh

Indonesia, Sekreta s Jenderal KNI dr. Taufik Mesiano, SpS

{l!,

serta Ketua dan Sekretaris Komisi Kurikulum KNI -Dr dr. Purwa Samatra, SpS (K) dan

dr

Wardah Islamiyah, SpS- bekerja sama dengan Departemen Neurologi FKUI untuk menjrusun buku ini. Dengan kerja sama yang baik, Alhamdulillah

tim

buku telah menyelesaikan peny'usunan buku ini.

Terimakasihtakterhingga kami haturkan kepada ketua Pengurus Pusat Perhimpunan Dokter Spesialis Saraflndonesia (PP-PERDoSSI) Prof. Dr. dr. H. Moh. Hasan Machfoed, SpS [KJ, M.S. yang te]ah mendukung dan membantu sehingga penyusunan buku

ini

dapat

terlakana

berjalan lancar, Dr. dr. Riwanti Estisari, SpSIK) selaku ketua

tim

buku beserta seluruh anggotanla, danketua Departemen Neurologi FKUI/RSCM yang telah beke4a keras dalam waktu singkat untuk mewujudkan harapan KNI.

["'

vi

(8)

Oleh karena itu, buku ini wajib digunakan oleh peserta

didik

maupun

staf

pendidik agar

tcrcapai

kcsamaan persepsi pada pelal€anaan

ujian

kompetensi orjectlye Sttuctured Clinical Exanlinatian [OSCE) NasioDa]. Namun demikian bLrku

ini

juga dibLlat secara

praklis

Lrntuk memudahkan

peserta didik program

pendidikan dokter umum dan dokter umum dalanr mcmahami pemeriksaan neuloloElis sccam keselLlruhan maupun yang bersif:rt khusLts.

AkhiI kata saya mengucapkan selamat kepada scluluh kontributor dan tim buku yang telah bekerja sebaik-baiknya. Scmoga hasil kerja ini meniadi amal baik dan ilradah di sisi Allah SWT dan d:rpat meningkatkan mutu pendidikan dokter spesialts neurologl di Indonesia. Aamin yaa Rabbal'aalamiin.

Jakal1a, April 201t1

dr

Diatri NariLastri. SpSIK) Ketua Kolegium Neurologi Indonesia

o z z o o o

lrl z

E

.-1

i,.I

a

tr

(9)

KETUA UMUM PENGURUS PUSAT PERDOSSI

Assalaamu'alaikum warahmatullaahi wabarakaatuh, Salam sejahtera bagi kita semua.

Segala

puji

ke hadirat Allah S\

lT /

Tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahkan Rahmat, Taufik, dan Hidayah-Nya kepada kita semua.

Neurologi adalah ilmu kedokteran yang menangani gangguan sistem saraf, baik saraf pusat maupun

pe

fex Sistem saraf adalah sistem yang mengatur seluruh mekanisme biologis

tubuh

yang amat kompleks. Sistem

ini diatur oleh

otak yang mencakup berbagai fungsi pentin& antara lain:

.

Sistemkesadaran(consciousness')

.

Sistem

limbik yang mengatur berbagai fungsi penting, seperti

kognitif,

psikologis, perilaku, intelektual, memori, dan bahasa,

.

Sistem pengontrol gerakan motoris yang

meliputi:

sistem piramidal, ekstra- piramidal, refl ektoris dan

lainlain.

. Sistem sensoris yang meliputi persepsi sensoris terhadap

penglihatan,

.

pendengaran, sentuhan, rasa (tasrel, bau [st4€{), dan keseimbangan.

.

Sistem salafotonom

yangterdiri

dari simpatis dan parasimpatis.

.

Sistem

saEfkranial

dan perifer.

Uraian diatas mengindikasikan bah\,'a

tidak

ada satupun sistem pengaturan tubuh yang berada

di luar kendali

otal(, yang menunjukan

vitalnya

tungsi

otak

dalam mengatur hidup seseorang.

Adapun gangguan (nuisance)

dai/ata[

penyakit [dr'seose] neurologis dapat

timbul

apabila

satu atau lebih fungsi otak

terganggu. Gangguan

ini

bermacam-macam bentuknya, diantamnya stroke dan gangguan pembuluh darah otak, trauma kepal4 infeksi otak, tumor otak, kejang dan epilepsi, gangguan perilaku, gangguan neurologi

anak

gangguan neurogeriatri, nyeri, gangguan tiduX, serta gangguan samf kranial, medula spinalis, dan sarafltepi.

vlu

a<

1 Y

:)

z

Z J

z

:d

r:l E

Ei

o.

Sambutan

(10)

Diagnosis penyakit neurologis biasanya

relatif lebih rumit

dibandingkan dengan penyakit lainnya yang umumnya hanya

perlu

satu diagnosis. Sebagai konsekuensj

dari berbagai

sistem otak yang terganggu, yang

satu

dengan lainnya

memiliki bentuk klinis, lokasi lesi, dan

penyebab

yang

berbeda-beda,

maka ada

empat diagnosis khusus neurologis, yaitu: diagnosis klinis, topis, patologis, dan etiologis.

Diagnosis neurologis ditegakkan melalui 3 hal penting, yaitu: anamnesis

terstruktur yang

sistematis,

pemerikaan

neurologis

yang

komprehensif,

dan

pemeriksaan penunjangyangrelevan, Dalamhalakurasi diagnosis, ketiga hal ini memiliki kontribusi

),'ang sama

pentingnF

satu dengan lainnya dan meningkatkan keberhasilan terapi.

Saatini ada 14 (empatbelasJ pusatpendidikan neurologi di lndonesia. Masing-masing

pusat pendidikan

bertangung

jawab untuk membe kan pendidikan

neurologis yang

baik

kepada

para

mahasiswa Program Pendidikan Dokter Spesialis IPPDSJ yang diasuhnya. Materi pendidikan tentu saia menyangkut pemeriksaan neurologis, diagnosis, dan manajemen penyakit-penyakit neurologis.

Karena adanya perbedaan pusat pendidikan, perbedaan

mated,

perbedaan staf pengajar dan perbedaan fasilitas pendidikan, tentu saja para mahasiswa PPDS ini

tidak

memiliki pemahaman

/

persepsi yang sama tentang pemeriksaan neurologis antam satu pusat pendidikan dengan pusat pendidikan lainnya. Namun para mahasiswa

PPDS ini harus mengikuti ujian nasionalyang dinilai oleh parapenguji berbagai pusat pendidikan. Sekalipun berbeda pusat pendidikan, para penguii ini memiliki persepsi yang sama tentang materi yang diujikan termasuk pemeriksaan neurologis.

Kolegium

Neurologi Indonesia (KNI) telah

menangkap permasalahan tersebut dan berupaya

untuk

meminimalkan kesenjangan yang ada. Bekerja sama dengan Departemen Neurologi Fakultas Kedokeran Universitas Indonesia dan

kontributor

dari semua Prodi Neurologi di Indonesi4 KNI menerbitkan Buku Peme ksaan Klinis Neurologi

Prakis

ini. Mengingat sangat bervariasinya

peme

ksaan fisik neurologis, maka buku ini dibuat menjadi dua, yaitu Peme ksaan Klinis Neurologi Praktis Umum dan l(husus.

Selain

mempermudah mahasiswa PPDS mempersiapkan

ujian

nasional, buku

ini memiliki tujuan yang lebih

luas,

yaitu

mengusahakan

adanF standa

sasi pemedksaan

fisik /

neurologis berskala Nasional. Upaya

ini

sesuai dengan salah

E

3 ) F

Lll

z

E

(11)

satu

misi

PERDOSSI dalam menunjSng proses pengembangan

ilmu

pengetahuan setiap anggota maupun calon anggotanya,

Oleh karena itu, PP PERDOSSI menyambut gembira diterbitkannya Buku Pemerikaan

I(inis

Neurologi Praktis ini, semoga dapat dijadikan acuan olehpusat-pusatpendidikan Neurologi di Indonesia.

Wassalaamu'alaikum warahmatullaahi wabarakaatuh.

Prof. Dr dr. Moh Hasan Machfoed. SD.UI(l-lLtS

.

Ketua Umum PP PERDOSSI

? v

c-

o o

J o

f i!

z z

:a z

&

E

!r,1

(12)

DAFTAR ISI

Kontributor

Sambutan Ketua I(olegium

Neurologi

Indonesia

Sambutan

l{etua Umum PP PERDOSSI

1.

PemeriksaanKesadaran

2.

Pemeriksaan

Ianda

Rangsang Meningeal

3.

Pemeriksaan Saraf

Kranialis

4.

Pemeriksaan

Motorik

5. PerneriksaanSensorik

6.

Pemeriksaan KeseimbaDgan dan

Koordinasi

7.

Pemcriksaan Otononl

B.

Pemeriksaan

Bruit

9.

Pungsi Lumbal

Daftar

Tilik

Pemeriksaan

Ncurologi Indcks

IV

vi viii

1

l,r

40

98 128

1,1,1

157

170

t75

18s

20i

xi

&

F

A

(13)

PEMERIKSAAN KESADARAN

Rqmdinal Aviesena

Zairinal, Tiqra Aninditha, Nur

Astini, M asita,

Astri

B udi kay

qnti

Kesadaran merupakan hal pertama yang harus

dinilai

oleh seorang dokter setiap kali memeriksa pasien, bahkan lebih dahulu

da

pada

meme

ksa tanda vital seperti

nadi

dan pemapasan. Hal

ini terjadi

karena terdapat perbedaan yang signifikan dalam aspektata laksana dan prognosis antara pasienJ,'ang sadar penuh denganyang mengalami gangguan kesadaran. Sebagai contoh, pasien yang menjadi

tidak

sadar seteiah mengalami bangkitan

epileptik

mempunyai

tata

laksana berbeda dengan pasien yang kembali sadar penuh setelahnya. PasienJ,ang koma pascahenti jantung (post cardiac arrest) lentu berbeda prognosisnya dengan yang kembali sadar setelah tindakan resusitasi jantung paru.

Pemeriksaan kesadaran

juga beftujuan untuk

mengetahui diagnosis

topis

dan

etiologis,

sehingga

harus

komprehensif dengan pemeriksaan

fisik umum

dan neurologis lainnya. Memeriksa pasien dengan penurunan kesadaran membutuhkan teknik khusus yang berbeda dengan pasien yang kooperatif dan sadar penuh. oleh karena itu, bab

ini

tidak hanya akan menjelaskan tentang pemeriksaan kesadaran,

tetapi juga

pemeriksaan

fisik umum dan

neurologis

yang

secara khusus harus

dipedka

pada pasien yang tidak sadar.

Patofi

siologi

Gangguan Kesadaran

Struktur anatomi di otak yang berperan dalam mengatur

kesadaran

meliputi

osceniling reticular activating system (AF"4,SI, talamus, dan kofteks hemisfer serebri

bilateral. Struktur

AR.r{S merupakan

kumpulan

serabut saraf yang berasal dari formasio retikularis di batang otak, terutama tegmentum paramedian mesensefalon dan pons bagian atas, Serabut-serabut

ini

menerima input dari jaras-jaras sensorik

umum

(raba,

nye ,

suhu, posisiJ

dan

khusus (penginderaan),

untuk

selanjutnya berproyeksi ke

inti-inti

di talamus, kemudian ke seluruh

kortek

serebri (cambar 11.

z

rl! Elo.

(14)

Gambar 1. Struklur otak yang Berperan dalam Kesadaran

Korteks hemisfer serebri yang telah

terakivasi

ini akan memproses semua informasi sensorik termasuk informasi dari lingkungan eksternal, menganalisis satu persatu

input

yang sampai, sehingga pada akhirnya tersusun suatu kesadaran yang penuh Peran

korteks sereb

sebagai prosesor

informasi ini berkaitan

dengan fungsi yang diembannya dalam hal fungsi

Iuhur

manusia, misalnya memori, bahasa, dan visuospasial, serta penginderaan, Oleh karena itu, struktur ARAS dan korteks serebri yang berfungsi

normal

akan menghasilkan seseorang yang sadar penuh dengan keterjagaarl siklus bangun

tidur

yang

bail!

dan kewaspadaan terhadap lingkungan eksternal.

Berdasarkan penjelasan tersebut, kesadaran dapat didefinisikan sebagai keadaan sadar penuh [FuII aworeress) seseorang terhadap

dirinF

dan hubungannya dengan

lingkungan ekternal.

Seseomng

,'ang sadar penuh memiliki

keterjagaan

diri

sendiri [arouso0 dan kewaspadaan terhadap rangsangan dari lingkungan ekstemal (olertness) yang baik. Dengan demikian, gangguan kesadaran dapat disebabkan oleh kelainan pada salah satu atau kedua faktor tersebut.

(J

3 o

::.2 ln

-..od

,g

.-"9

(15)

Faktor

keterjagaan berhubungan dengan

fungsi AMS,

talamus,

dan

iaras-iaras penghubung

yang

mengontrol keseluruhan

fungsi korteks sereb .

Oleh karena fungsinya mengatur siklus bangun

tidul

maka gangguan kesadaran akibat faktor

ini

akan bermanifestasi sebagai penurunan kesadaran tanpa ada siklus bangun

tidur

sehari-hari dan fidak bisa berespons adekuat terhadap stimulus eksternal.

Di lain pihak faktor kewaspadaan berhubungan dengan hasil koordinasi fungsi dari seluruh bagian korteks serebri yang pada kondisi normal akan menghasilkan fungsi kognitif dan respons afektif seseorang yang sesuai dengan stimulus eksternal. oleh karena

itu,

gangguan kewaspadaan akan menunjukkan manifestasi

kiinis

berupa disorientasi, gangguan perilaku, agitasi, dan gangguan fungsi

luhur

lainnya. Syarat yang harus diingat adalah

fakor

keterjagaan merupakan

hal

yang

mutlak

harus

diperika

sebelum faktor kewaspadaan. Dengan demikian, fungsi

kognitiftidak

dapat dinilai pada seseorang yang faktor keterjagaannya belum adekuat.

Penurunan kesadaran, sebagai salah satu bentuk gangguan kesadamn, dapat

te{adi

bila terdapat gangguan (lesi)

struktuml

atau fungsional pada

struktur

di otak yaog menyusun kesadaran,

mulai dari

ARAS hingga

korteks

serebri. Secara

struktuEl

menurut letaklesinya, penurunan kesadaran dapatte4adi tidak hanya pada lesi difus dikorteks serebri atau otaksecam keseluruhan, tetapijuga lesifokal

disupmtentorial atau inftatentorial yang

mengenai

AMS,

talamus,

dan jams-jalas di

antaranya, misalnya jaras talamokortikal [cambar 2J.

Gambar

2.

Lesi Struktural yang MeDycbaLrkan PerLurrnan Kr\dLla.rn

r

Lesr .lr BJrJng rrtak

yang Mengenai ARAS. b. l.esi Dilirs di Otak.

c

l,csi Ilesak Ruang di Supratcntorial yang Mengenar ARAS dan Iaras Talamoko.tikal.

d.

Lesi Desak Ituang di Inf ratento.ial yans Mensenai ARAS

z

al

o

r

E]

z

E]

t4 E

o.

3

(16)

Sementam

itu,lesi

fungsional ditandai dengan adanya kelainan aktivitas metabotik neuron ali otak atau ketidakseimbangan kadar neurotransmiter' Kelainan

akivitas metabolik

dapat berupa antara

lain,

hipoksia

dan

iskemia global, hipoglikemia, asidosis,

dan

defisiensi

vitamin B1.

Ketidakselmbangan

kadar

neurotransmiter bisa diiumpai pada kasus intoksikasi obat, sindrom serotonin, sindrom neuroleptik maligna, atau status epileptikus

nonkonvulsif

Diagnosis

topis

dan etiologis dari penurunan kesadaran akibat Iesi

struktural

maupun fungsional dapat ditentukan melalui anamnesis dan pemeriksaan

fisikberikut

ini.

Anamnesis

Pada dasamya, anamnesis

ini

bertuiuan

untuk

memastikan apakah pasien benar-

benar

mengalami

penurunan

kesadaran

atau

gangguan

fungsi luhur' Hal ini

dilakukan secara alloanamnesis terhadap keluarga atau orang terdekat pasien

untuk

menyamakan persepsi

tentang

penurunan

kesadaEn

Terkadang keluarga baru

menyada

bahwa pasien mengalami penurunan kesadaran saat pasien tidak dapat dibangunkan sama sekali. Atau sebaliknya keluarga hanya meEsa pasien

terlihat

lemas, namun sebenarnya sudah termasuk dalam kriteria penurunan kesadaran Setelah

itu

harus dipastikan

awitan

(onset),

yaifu

lamanya penurunan kesadaran, yang ditentukan sejak pasien

terakhir terlihat

sadar

penuh Dari titik te$ebut, peme

ksa perlu menentukan apakah penurunan kesadamnnya teriadi secara drastis ke suatu tingkat kesadaran tertentu atau bertahap progresifmulai dari bicara kacau, disorientasi, hingga akhimya tidak berespons sama sekali. Pada kasus cedera kepala, hal ini akan sangat menentukan diagnosis awal, seperti pada penentuan cedera kepala ringan, sedang, atau berat. Demikian pula pada

kecu

gaan hematoma epiduml, jjka didapatkan riwayat

interval

lusid,

yaitu

keadaan sadar sesaat

di

antam dua fase penurunan kesadaran pascatrauma kepala, Keluarga yang mengantarkan pasien dapat dimintakan informasi apakah pasien sempat mengalami kontak yang baik dan mampu berespons yangsesuai dengan stimulus.

Anamnesis juga meliputi kondisi medis serta manifestasi lain yangbisa bbrhubungan dengan penurunan kesadaEn.

Jika

alloanamnesis

tidak dapat

dilakukan, maka pemeriksa dapat melihat

kartu

tanda pengenal [KTP) atau data

lair

yang ada di

tubuh

pasien yang berguna

untuk

mengetahui

kondisi

medis atau kerabat yang

4

(17)

bisa dihubungi. Pada kasus orang

terlantar

atau bclum teridentifikasi, diperlukan anamnesis tel hadap pcngantar pnsien, misirlnya polisi

at.u

dinas sosial.

Beberapa

hal yang perlu ditanyakan untuk

memastjkaD

bahwa benar

pasien mengalami penurunan l(esadaran

antrra lain,

apakah pasien cenderung banyak

tiduI] tidak

ada siklus bangun

tidur sepcrti

biasanya, bagaimana kontak dengarr orang

sekitat

dan apakah

nasih

menjalani aktivitas sehari-hari [bekerja, melayani keluarga, mandi, makan). Pada penurunan kesadaran yang belum

terlalu

dalam, pasien biasanya hanya mengalami pcrubahan kebiasaan dan aktivitas harian, bicara tidak sesuai, atau kurang kontak dengan orang seldtarnya. Selanjutnya, penLlrunaD kcsadaran

yang cukup dalan

biasanya cenderung

tidur terus

menerus,

tidak

berespons ketika dipanggil, dan tidak bisa mal(an minum iagi

Adapun pasien yang mengalami gangguan lungsi

luhur

biasanya salah mengenali waktu dan tempat [disorientasi], perubahan

peljlaku

agitasi atau cendening diam,

sulit

berkomunikasi, dan daya inflatnya menurun. Namun, pasicn masih memiliki siklus bangun tidur dan intcnsttas keluhannya berfluktuasi dalam satu hari.

Pemeriksa juga

perlu

mcnanyaknn kondisi nledis pasien, termasuk obat-obat yang dikonsumsi pasien, sebelum penurunan kesadaran. Adanya keluhan

sakit

kepala hebat

dan delisit

ncurologis lmisalnya, bicara pelo,

mulut

mencong, pandangaD dobel, kclcmahan sesisi tubuh, dan kejang) yang menyertai pcnurunan kesadaran, menunjukkan kemungkinan besar penyebab penurunan kesadaran adalah suatu

lesi intrakranial.

Pasien dengan

riwayat

diabetes, gagal

ginj:ll,

penyakjt jantung, atau penyakit kronik lainnya yang membuat pasien cenclerung imobilisasi dan natsLl makan menurun perlu dicurigai mengalami gangguan n]ctabolik yang menyebabkan penurunan kesaclaran, Di samping itu, adanya riwayat depresi, konsumsi narkoba, alkohol, atau gan8guan psikatrik sebclumnya dnpat mengarahkan kepada penurunan kesadaran akibat intol(sikasi ataupun gejala putus obat.

Pemeriksaan

Mengingat pcnurunan kesadaran termr\uk keadaatr gJ\\rt dr|urat,

tnaka pemcriksaan

iisik

harus dilakukan secara cepat, tepat, dan

etektil

Hal

jri

meliputi

pemeriksaan

tinBkat

kesadaran

diikuti pcmeriksaan tanda vital, fisik

secara umum,

dan

neurologis yang

perlu dilakukan untuk

mengetahui penyebab dan pemantauannya.

5

(18)

Pemeriksaan kesadaran

Secam garis bcsar, pemerikaan kcsadamn dapat dibagi dalaln 3 tahap, yaitu obselwasr, stin1ulasi, dan dokumenrasi. Tahap awal adalah melakukan obscrvasi atalr inspeksi terhadap pasien mengenai kelcrjagaan dan kewaspadaannya terhadap lingkungan.

Pasicn yang sa.lar penuh akan terlihat mcmbuka matr spontan, memperhatikan objek

di

sekitarnya, scmua indera bekcrja menerima

input

sensorik

dari

eksternal, b \.r melakulGn gerakan volunter yang sesuai, dall bisa berkomunikasi dengan orang lain Jika pasren tidak tampak seperti ini, maka masuk dalam tahaP kcdua, yaitu stimulasi Pacla tahap

ini,

pemeriksa memberikan rangsangan secara bertahap dengan suar:r

fverbal]

dan kemLldjan rargsan[lal1 nyeri. Pemel-il$a

waiih unluk

memperhati]Qn semualespons te rbajk pasien ya ng muncul secam bersa maan saat d iberi rangsangan.Jikx pasien tidak menunjLrkkan respons apapun setelah diberikan kedua rangsangan tersebut secara maksimal, maka pasien berada di tingkat kesadaran yang paling rendah. Langkah selanjLltnya adalah mendokunentasikan hasil pcmeriksaan dengan baik untuk

dijadihn

patokaD [b.xe]irel atau pantauan tindaklaniut penanganan pasien IGambar 3).

Gambar 3. Skelna Tahapan l'cmeil$.ran Kesadaran

Penilaian gangguan kcsadamn dapat dilakukan secam

kllalitatif

nlaupun kuantitatif, yairu:

l.

Penilaian Kesadaran secara

Kualitatif

Skala

ku.litatif sebailoya

digunakan

oleh triase untuk

menentukan tingkat kegawatdaruratan pasien karena sangat mudah dilakLlkan. Selain

itu,

skala

irj

dapat diajarkan pada masyarakat awam sebagai penolong pcrtama pada

F

EZ

(J o

I o

!! z z

'l

z

:<

&

t!

Observasi

6

Stimulasi

(19)

kegawatdaruratan [/rrst responder).

0leh

karcDa bersifat kualitatif, maka hasi]

pcnrcriksaannya berupa

kategoli

yaug memilikr

kar:lkteristik

masitrg-masing.

Salah satu pembagran hategori tingkat kesadaran yang sudah lama berkernbang di bidang neurologi adalah koma, stupor/sopor, sonrnolen/letargi, dan kompos mentis [Tabel 1].

Selain

itu, tcrdapat pula bentuk

sederhana

dirri

skala

koma

Clasgow yang

telah

diadopsi dalam pengajamn Advanced Troumtr Lile Suppart IAI LSI atau kursus bantuan hidup dasar [BHD], yaitu olert-voice-pain-unrespatisiye IAVPll).

Keunggulan

dari

penilaian

kualitalil

adalah kcmudahan dalam aplikasinya dan bisa digunakan secara luas,

bahkan oleh

orang awam yang

tcrlatih. Di

lain pih:rk, kekurangannya adalah hasil penilaiannya tjdak terukur dan tidak sensitif terhadap sedikir perubahan tingkat kesadaran.

Secara

garis

besaf, pemeriksaan kcsadaran secara

kualitatif dimulai

dengan melakukan obselvasi

untuk melihnt

adanya gerakan

atau

rcspons spontan

dari

pasien.

Jika

pasien

tampak membule mata spontan .lan sadar

akaD lingkungannya Ibisa belkomunikasi dengan orrng Iain, berperi]aku pantas, bisa menuruti pcrintah orang lain), maka pasien tcrgolong kompos mentis atau dler"t.

Jika pasien memberikan rcspons terhadap suara, maka dinjlai yoice. Lebih jauh lagi, pasien yang menlberikan respons terhadap rangsangan nyeritergolongpdin Jikatidak berespon telhadap suara dan rangsangan nyeri, maka pasicn Lergolong

7

(20)

: l::g\at

Kesadaran secara Kualitatif

terhadap di.l drn lingkungannya Tid.k memilikisikhs bangun ridu.

Tidak ada gerakan moto.ik volunter Hilangnya sebagian kesadaran Sulit untuk dibanguDkan

Respons vang diberikan bersifat lahbat dan inadekMt

Sesaatsetelah respons diberika., pasien segera kembali tidaksadar Tidak te.lalu $rllt dibangunkan

Pasien dapatwaspada penuh bila dibanEunkan dengan rangsangan suaF atau nye.i, tetapi kembali tidak sadar saat raDgsaD8aDnya tidak ada lagiatau

Kondisi sadarpenuh terhadap diri sendiridan lingkungan eksternal

ll.

Penilaian Kesadaran secara

Kuantitatif

Penilaian kesadaran secaE

kualitatifmemiliki

kelemahan berupa hasil penilaian yang kasar, dan

tidak

sensitif

mendeteki

adan

a

perburukan

klinis,

sehingga pasien

se

ng jatuh dalam kondisi buruk dan terlambat mendapat penanganan.

0lehkarena itu, penelitian dilakukanuntukmenemukan skalakesadaranyangbisa mendeteksi secara dini perubahan tingkat kesadaran pasien. Skala ini harus valid, dapat

diukur

fmeasureoble), mudah digunakan (bedside assessnent), dan dapat diandalkan Grood reliabiliql). Saat ini ada dua skala kesadaran secaE

kuantitatif

yang digunakan secara luas, yaitu skala koma clasgow [SKG) dan

full

outline

of

unrespoNive (FoUR) scole. Keduanya

memiliki karakteristik

masing-masing.

Namun, pada keadaan tanpa penyulit, penilaian SKG merupakan pemeriksaan baku emas pada penurunan kesadaran dibandingkan dengan penilaian klinis, metabolisme, gambaran radiologi, dan luaran

Pada

tahun

2005,

terdapat publikasi

penelitian yang menerangkan tentang skala kesadaran

baru, yaitu

FoUR.score. FOUR score

memiliki

keunggulan dalam mendeteksi sindrom locked-in dan keadaan vegetatif. FOUR score juga dapat

menilai tingkat

kesadaran

lebih baik

daripada SKG pada pasien yang

Hilangnya seluruh kesrdarrn yarg ditandai tidak ad!.ya respons pasien

= Y

I

5-

(, o

J o

b:

z z

,l l4

z

cI

Ti.:hl&6ad.re!

rbrakt€ristik

IE

(21)

terintubasi

karena

tidak

ada penilaian respons verbal. Skala

ini juga

dapat menilai proses herniasi otak yang terjadi, misalnya herniasi unkal yang ditandai oleh

pupil

anisokor. Pada skala SKG yang terendah [koma), FoUR score dapat mendeskripsikan

lebih lanjut tingkat keparahannF

dengan

menilai

usaha bernapas (resplratory drlue) pasien.

A.

Skala Koma clasgow (SKG)

SKG

terdi

dari tiga komponen penilaian, yaitu membuka mata (t).,e) atau E,

respons motorik (Motoric) atau M, dan respors verbal (Verbafl atau V Setiap komponen memiliki rentang nilai yang be$eda-beda. Komponen E memiliki 4 tingkat penilaian [1-4), dan M sebanyak 6 tingkat penilaian [1-6], sedangkan komponen V terdapat 5 tingkat penilaian [1-5), Dengan demikia& nilai minimal adalah 3 (tidak ada respons) dan maksimal 15 [normal). Nilai SKG kumng dari 15 sudah dianggap sebagai penurunan kesadaran. Skala

ini

sudah digunakan sejak tahun 1974, hanla terdapat sedikit perubahan pada tahun 2 014 fTabel 2).

Suara yang tidak berbentuk kata-kata

Terhadap tek.hah kuku ja.i

Kata-kata inkoheren

Suara yang tidak berbentuk kata-kata

Nlematuhi pe ntah Melokalisasi nyeri

Flcksi abnorhal [dekortikasi) Ekstensi (deserebrasrJ

Tabel 2. Skala Koma Glasgow [SKG)

(22)

Pemeriksaan SKG dilakukan segeE setelah penilaian suruei

primer

(jalan napas, pernafasan, dan sirkulasiJ. Namun,

nilai

SKG akan Iebih

valid jika

pasien telah diatasi keadaan emergensi dan kelainan metabolisme sistemik seperti hipoksia, hipovolemia, hipoglikemla" serta penghentian obat-obatan yang berefek sedasi, Selanjutnya, pemeriksa melakukan pengecekan awal adakah

faktor-faktor atau kondisi medis tertentu yang

mempengaruhi kemampuan pasien dalam memberikan respons membuka mata, gerakan

motorik atau

berkomunikasi. Sebagai contoh,

pasien

dengan riwayat gangguan pendengaran, gangguan fungsi

luhul

dan kelumpuhan keempat

eksfemitas tentu memiliki

keterbatasan

dalam membe kan

respons.

Jika ditemukan keadaan-keadaan tersebut, maka dapat dituliskan sebagai ketemngan tambahan. Pada pasien yang tidak menunjukkan respons

terbaik

untuk ketiga komponen, maka perlu diberikan mngsangan bertahap, mulai dari suam hingga fisik/nyeri, baru dilakukan penilaian SKG,

Untuk komponen E,

nilai

E4 diberikan pada pasien yang dapat membuka

mata

secara spontan.

]ika tidak

dapat membuka spontan, maka harus

diberikan

rangsangan suara dengan menyebutkan

identitas

pasien dan meminta pasien

untuk

membuka matanya,

jika perlu

dengan suara yang keras. Jika pasien membuka

mata

dengan rangsangan

tersebut,

maka

nilainya E3. Namun jika pasien masih belum

berespons, selanjutnya

diberikan

rangsangan

nyeri pada kuku (nail ,ipJ iari tangan

selama

maksimal 10 detik (cambar 41. Rangsang

nye

tercebut diberikan dengan intensitas bertahap mulai dari rendah hingga tinggi. Jika pasien membuka mata dalam

dumsi

10 detik pemberian rangsangan nyeri tersebut, maka

nilainya

E2.

Adapun

pasien

yang tetap tidak

membuka

mata

setelah

diberi

rangsangan nyeri selama 10 detik

dinilai

E1. Pasien yang

memiliki

keterbatasan

untuk

membuka mata, misalnya karena edema palpebra atau cedera maksilofasial,

tidak

dapat diperiksa secara akurat dan

dinilai

sebagai NT fnot restdrle].

Pemerikaan komponen M diperiksa dengan meminta pasien melakukan dua gerakan berurutan (two-step action),

Wi

menggenggam dan melepaskan tangan pemeriksa. Contoh lain yang bisa dilakukan, terutama pada pasien de[gan kelumpuhan ekshemitas, adalah meminta pasien membuka mulut

10

= d

o-

o .l

o z z

"l

2

lJ,

&

Et

E

(23)

Gambar 4. ltan8sangan Nyeri pada Kuku Pasien

dan mcnjulLrrkan lidahnya. Nilai M6 diberikan

jika

pasien dapat menuruti perintah tersebut.

Namun

jika

pasicn tidak merespons per-intah, maka diberikan rangsangan nyeri dengan mencubit otot lrapezius (Ganlbar 5aJ. Tangan

kiri

pemeriksa diletakkan pada bahu kanan pasien.

Ibu jali

berada

di

sist

antcrior

dan keempat

jari lainnya di posterior bahu, kerrudian drberikan

tekanan pada otot trapezius

di

atas tulang klavikula. Pemberian rangsangan nyeri

djlakukan

selama nraksimal

10 dctik

dengan intensitas nyer-i bertahap dari rendah ke tjnggi, hingga muncul respons motorik terbaik. Jika pasien bclum berespons terhadap rangsang nyeri pada otot trapeziLls, rangsangan

nyeri dapat dibcrikan pada tnkik supraorbrta [Gambar 5bJ. Ha] jni

diiakukan rlengan meletakkan tangan pemeIiksa di dahi pasien dan ibu

jari

pemeriksa menel<an

takik

supraorbita. Rangsangan nyeri juga dilakul(an sclama maksimnl 10

detik

den8an intensitas

nyeri

bertahap

dari

rendah ke tiDggi, hingga muncul respons

motorik

tcrbaik. Apabila pasren masih belum mcmberikan respons

terbajk

pascarangsangan

nyeri di

trapezius atau

takik

supraorbital, maka

peme

ksa dapat memberikan rangsangan nyeri pada sternum.

17

(24)

Gambar s. Ranssangan Nlreri pada lal Otot Tr]pezius dan [b) supraorhita

Pasicn yang bisa menggerakkan tangannya hingga melewari klavikula untuk melokalisasi nyefi diberi nilai M5. Jika pasien melalorkan fleksi siku, tetapi trdak sampai mele$/ati klavikula, maka hal ilri bisa merupakan fleksi normal [M4] atau abnormal (M3). Pada tleksi normal IM4J,lcngan pasien melakukan fleksi siku secara cepat

untuk

menjauhkan lengan

dari

tubuh. Selain itu, bentuk gcrakan fleksinya dapat hervariasi jika pcmcriksaan diulang ulang.

Pada fleksi

abnorrral [M3],

atau disebut jugn dekortikasi, gerakan fleksi siku

lerjadi

dengan lambat. Bentuk gerakannya jLlga akan tetap sama iika pemeriksaan diulang ulang

[stcrcolipil(].

Gerakan fleksi

ini

disertai rorasi lengan bawah, ibu jan mengepal, dan ekstensi dorsum pedis.

Pasien

yang

berespons

dengan gerakan ekstensi lengan saat diberi

ranElsangan

nyeri memiliki nilai M2 Adapun pasien yang tidak menunjukkan

respons

motorik

sama sekali

diberi nilai

M1. Jika pasien

memihki

keterbatasan

dalam memberilGn rcspons otorik,

nlisalnya dalam pengaruh pcluDpuh otot, maka komponen (Ml dinilaiNT [rotrestdDle].

Komponen V diperiksa dengan mengobservasi kemampuan pasien berbicara dengan orang

di

sekitarnya. Jika pasien tampak sedang

tidak

bcrbicara, maka pemeriksa menanyakan tiga hal, yailu nama pasien, tempat saat pasien berada, dan waktu dilakukannya peme|iksaan. ]ika pasien tidak memberikan

e\t,,,ns IerhJlk .c\J.ri o.ngan

pcrlHnyodr). maka

d.oerikdn

rdnp..rne.r'r nycripadaujunEJjari, otottrapezius, atau takik supraorbita dengan lama dan intensitas seperti pada pcnilaian komponen M.

NilaiV5 diberikan apabila pasien dapat menjawab namaDya scrta

menliliki

o

enrasi

waktu, tempat

dan orang yang

benar iika

dalam percakapan

1_2

F

&

a.

(J

o

'l o

&

,rl z z J

z

E]

E

(25)

pasien dapat

mengeluarkan beberapa

kalimat atau

frase,

tetapi tidak

menjawab sesuai pertanyaan pemeriksa dengan benar; maka nilainya V4.

Nilal V4 juga diberikan apabila pasien dapat menjawab pertanyaan dengan benar namun orientasi terhadap tempat,

waku

atau orang terganggu. Iika pasien

tidak

berbicara secara

wajar

dan hanya mengeluarkan satu

kata

maka diberikan nilai V3.

Iika

pasien hanya mengerang dan tidak ada kata yang bisa

kita

pahami, maka pasien

dinilai

V2. Adapun pasien yang sama sekali tidak menunjukkan respons verbal diberi nilai V1, Jika pasien

tidak

dapat memberikan respons verbal perlu diperhatikan apakah terdapat suatu kondisi yang menyebabkan keterbatasan, misalnya pasien yang terpasang trakeostomi atau pipa endotrakea. Pada kondisi tersebut, komponen

Vdiberi

nilai NT [not tesfable).

Terdapat beberapa kondisi yang dapat menyebabkan salah satu komponen

SKG tidak dapat diperiksa (NT), yaitu pengaruh obat anestetik dan sedatif, intoksikasi obat atau alkohol, disfasia, demensia, gangguan

kognitif

atau gangguan

psikiatrilL faktor

perbedaan bahasa

dan

budaya,

dan

paresis ekstremitas. Pada

kondisi tersebut, walaupun tidak terdapat

respons te.baik

dali

pasien, tidak boleh diberi nilai terendah (11 karena perbedaan konsekuensinya

yang signifikan.

Sebagai

contolL pasien stroke

yang memiliki afasia global tidak dapatmengefti perintah pemedksa (komponen

Ml

dan berbicara dengan orientasi yang benar (komponen Vl, tetapi masih dapat membuka mata spontan. Ketika diberikan rangsangan

nye

, pasien masih bisa melokalisasi nyeri. Hal

ini

tidak boleh

dinilai

sebagai E4M5V1, melainkan EaMNTVNT[afasia global). Begitupun pasien yang terintubasi atau dengan trakestomi, komponen V dapat ditulis sebagai V,,b",

FuIl Outline of Unresporsive (FOUR) Score

Skala ini digunakan pada pasien

Fng

tidak memungkinkan untuk dilakukan

peme kaan

SKG, seperti pada keadaan sulit membuka mata (contoh pada trauma fasial] atau kesulitan berkomunikasi akibat gangguan fungsi

kognitif

[afasia], selta pada pasien dengan intubasi atau trauma fasial yang berat.

z

o

!!

z

:l

E]

tll

.;

(26)

:0Ljli

-i.ore

lerdili

dari

enpar

komponen, yaitu respons mata [E],

motorik

[\l]

rrileks batang otak IB), dan pernapasan IRJ. Seliap komponen memiliki skala 0 hingga 4, sehin[Jga jumlah skor minimal 0 [EoM0B0R0) dan maksimal 20 [ErM.B,Ri], seperti pada tabel 3. Berbeda dengan SKG, skala 1Di tjdal<

menilai komponen respons verbal pasien,

Tabel 3. FoUR Scor"€

.

l(ei.prk nrat,terb,Lkad!n mengikuti obtebataumengedipkanmataterhadappcrintah

.

Kclo pak mata tcrbuka, tctapi ndak mcngikuh obick

.

Kelopik rh.t.r tertrLhr|, t-"tapi membuka dengan suam kcras

r

l(Etot,.k

J,'.-r.r,p ,,"1 ,"l'.,"d rSir dr3. gd

,le.

.

I{

lop"

'.i' .

,"

't

'p ' ,r' f.

s

.'u Je,'l

Respons hotorik (M)

.

Mcmp€raCakan gerakan mengangkat ibu jari [thuhbs u p), tangan, atau pe@ce srgn

.

ltlelokalisasi ranssangan nyeri

.

Respons fleksi terhadap rangsangan nyeri

.

RespoDs ekstensi terhadap rangsangan nyeri

.

Tidakada responsterhadap rangsa.gan nyeriATAU status miollonik umum Rcflcks batang ot.tk (tsJ

.

Tcrda!.t refleks pupildan refleks kom.a

.

Salah satu pupildilaLrsi din terliksasi

.

Iidak terdrpat,elleks pupilATAU r.fleks kornea

.

Tidakterdapatrefleks puprlDAN r€neks ko.iea

.

T'dak ada refleks fupil, kohe:, dan batuk

.

Tidak tc.intubasi, pola napas teratur

.

Tidak terintubasi, pola napas Cheyne-Stokes

.

Tidak terintubasi, pernapasan ireguler

.

Terintubasi, pasien bernapas di atas laju napasventilator

.

Teirrtubasi, pasie. bernapas sesuai laju napas ventilatorATAU apnea

14

=

= (, o

-l o

3 t!

z z J

z

E]

rl]o-

4 3 2

1,

0

4 3 2 1 0

4 3 2 1 0

3 2 1 0

(27)

Komponen respons mata diperiksa dengan menilai respons terbaik setelah minimal

3 kali

percobaan membangunkan pasien. Skor E4 diberikan

jika

terdapatminimal salah satu dari kondisi di bawah ini:

.

Pasien

membuka mata spontan dan bisa mengikuti gerakan jad

pemeriksa atau objek tertentu

.

Pasien dengan kelopak mata

tertutup

(misalnya akibat edema palpebra atau trauma maksilofasial) yang ketika dibuka kelopak matanya oleh pemeriksa, masih dapatmengikuti jari pemeriksa atau objektertentu

.

Pasien bisa mengedipkan matanya saat diperintah oleh pemeriksa

Iika

pasien

tidak dapat mengikuti

gerakan

jari

pemeriksa

atau

objek

tertentu,

maka skornya

83.

Pasien

yang baru

membuka

mata

dengan rangsangan suara keras

diberi nilai skor

E2. Jika pasien

baru

membuka mata dengan rangsangan nyeri, maka diberi nilai E1. Adapun skor E0

bemrti

tidak ada respons membuka mata saat

dibe

rangsangan nyeri (Gambar 6).

Rangsangan

nye

dapat diberikan pada sendi temporomandibular [TMJ) atau nervus supraorbital.

Komponen respons motorik (M] dipe ksa dengan menilai

respons

moto k terbaik pada eksfemitas

atas.

Skor M4 berarti

pasien dapat memperagakan gerakan mengangkat ibu

ja

, tangan mengepal, dan peace slgn. Ilka pasien tidak dapat melakukan gerakan tersebut, maka pemeriksa memberikan rangsangan

nye di

sendi temporomandibular [TMJ] atau neruus supmorbital. Pasien yang bisa menyentuh tangan pemeriksa saat diberi rangsangan nyeritersebut diberi skorM3. Jika respons motorikhanya berupa gerakan fleksi ekstremitas atas, maka skor r?ng diberikan M2. Skor

M1 dibe kan

pada pasien yang menunjukkan respons berupa gerakan

ektensi

ekstremitas atas. Pasien yang tidak menunjukkan respons apapun memiliki skor M0 (Gambar 6).

E]

V

z

&

lrl

E]

.j

(28)

EO

E3

El a.i

ti

R3

M3

-'';@

i t

R1

Camlrar 6. lleskripsi l0UR.t.or"e

Konponen refleks batang otak IBJ dilakukan dengan menilai refleks pupil,

kornea

dan batuk. i(husus untuk refleks komea,

di

samping pemeriksaan y.rng biasa clilalQkan de[gan kaPas, pemeriksaan iuga dianiurkan dengan

.., .' mrrrer-.;krr 2-l telr. \aLl 0.q' .l.ril

p,,1 '1161n1,r'rart

i.r'r\4_o.r 'i

[10-15cm). Skor 84 arlinya pasien memi]iki Ielleks pupil dan komea yang norinal. Skor B3 diberikan pada pasien dengan salah satu pupilyang dilatasl dan

terfiksasi.lika

salah satu

dali

refleks

pllpil

atau relleks kornea

negatil

naka skoryang diberikan B2. Jika kcdua refleks tersebut Degatil maka dibcri

MO

a I

D RO

16

ffi

,t- M4.

4.

B3

(29)

skor 81. Adapun skor B0 berarti ttdak ada semLla reileks baik pupil, kornea, maupun batuk (Gambar 6).

Konlponen pernapasan

[R] dinilai

dengan menentukan pola napas pasten dan apakah pasien terintubasi atau tidak. Pada pasien yang tidak terintubasl, pola napasnya dapar

teratur

IR4), Cheyne-Stokcs [R3), atau ireguler IR2J.

Pada pasren yang terintubasi, langkah selanjutnya adalah mehhar rampilan

pola respirasi pada monitor ventilator. lika pasicn masib ada

usaha bernapas yang

.litan.lai

dengan

irckucnsi

napas pasien

di

atas liekucusi napas ventilator, makil skornya R1. Adapun skor R0 diberikan

jika

pasren tidak mempcrlihatkan Lrsaha bernapas atau dalam kondisi apnea. Sebailoya penilaian ini dilakukan pada keadarn PaCO, dalam batas normal [Gambar 6].

Pemeriksaan Tanda

Vital

Pemeriksaan

tanda vital pada penuntnan

kcsadaran

merupakan bagian d.rr

kegawatdaruraran

dan dapat menentukan letak lesi dan tingkat

keparahan gangguan kesadaran. Adanya

tanda vital yang abnormal harus

segera diatasi

terlebih

dahulusebeium

melakllkan

pcmeriksaan

lisik

lengkap

atau

pcnunjrng.

Peningkatan tekanan darah biasanya mencerminkan l(emungkinan etiologi stroke atau peningkatan tekanan

intrakranial.

Irola napas abnormal juga dapat menjadi

petunjuk

gangguan

di

daerah

batang otak, seperti pernapisrn

Cheyne,Stokes, hiperventilasi neurogenik sentral, apneusis, klaster dan ataksik, sefta apnea [Tabel 4).

Pemeriksaan sLlhu pasien jLlga dapat membantu menentukan

etiologi

penurunan kcsadaran. Pasien dengan inleksi rntrakranial atau sepsis memiliki

klinis

demam/

hipertermia, scdangkan

hipoter

ia dapat diakibatkan oleh hipoglikemia, dehidrasi, ren)atan,

serta

intoksilGsi etanol atau zat sedarif. Kerusakan talamus juga dapat menyebabkan perubahan suhu tubuh.

E

ffi ffi

ffi ffi

@ffiB

rye ffi ffi

#

t/

(30)

'l'abel 4. Pola Pernapasan Abnormal pada Pasien Penurunan Kesadaran

Diiumpai pada enrrabp*i od,bolikd:n

hsi pada/oruril, aL drNdaror

b*ans dbk k,ena bebempa keadaa

pHGepsis,bn,hepadkum,ahumidoshmebbLlk)ahulesj inbahanial (inreksr tneakanhl aeu padamhan subaftknotdl Hrpewenril ite$dierurDend*,hahkinsa ddur

j,l#il{N&--

-,{rulillr,rh*--"J/lllll},L

ihilirtr,ffi*fi{

rgft

rifi{tir]w$i{

Pen,apa$n EEn gah.enga h k6?,"!) dfrg,n pob $p erh m da sigi be*erohpok/kra$o.,?Drrdrerinsi d

Npt*idrr *hrekjptri! t.nn m

Pri,3+, u d,i'qn, pdiearfubpri

obl.trg a (!,i.,,nedr/brynadh,,

L*l dl veitur Espir,&,/srorpwRcl ya,s

F cl

(J

o

'.l o

&

Z

z

J

2

,<

(31)

Pemeriksaan Fisik Umum

Pemeriksann

tisik

umum bcrtujuan

untuk

mencari

etiologi

penurllnan kcs:rdaran [Tabel 5). Hal

ini

di]akukan setelah tanda vital stabil, secam menyeluruh dari kepala hingga cl(stremitas balvah.

Tabel 5. Temuan Klinis yang Bermakna pada Penurur)ar) KesaLlaran

l(ulit

Iantung

Abdomen d!n saluran

Ruam mah'lopapular

Hematemesis helena

Anirria, oliguria

Bekas suntikan [reedle ..u.kJ

BeMarna merah ce.ah f.he,7r, /e.0

0verdosis ob.rl, lllV h-"fatiti5 C

Hrpoksia, kcracunan sInida, penyakit Inloksikasi ka.bon monokrda

!Dselelof ati hepirrikum, hemolisis ADenia, perda.ahan hebat, renjrlan,

D i sson i n at e d i nnava scu I o

r

.od.q(1ra,dr.tI lD IC ), intcksi tncningokokus, alcrgi obat, trombositopenia, enboli lemak Lupus e.itematosus sistcmrk, roxi.

Dernam, hipogl'kemia

Polisiremi:, demam, lnroksikasi

Cagrl i.rrtunjt, edenrr raru n-Au(rrenik, ersctalopatl anoksrk Stroke rk.mik karen. emboli

I'.rdIehir

srlu,nD.enrr, ensei:rloFrri ir-"prtl kunl K.langdenS.rr kr)nrr prs.. iktal Enseh lo pati u..niikum

ljnsel:rL)f rti hef ntlkum, cDsclalopati Status cpilcprikus ru.korlu sii

Jejas, hk4 bengkak, randa

Battle,

Cede.akepala

19

2

&

o

El

z

:z

&

BI

t! o.

j

(32)

Pemeriksaan Neurologis

Semua pemeriksaan yang membutuhkan atensi pasien

tidak

dapat dilakukan pada kasus penurunan kesadaran, antara lain

peme

ksaan sensodk, keseimbangan, dan koordinasi. Pemeriksaan tanda rangsang meningeal, bebempa samf

kranial,

dan motorik masih dapat dikerjakan untuk mengetahui letak lesi penurunan kesadaran.

Pemeriksaan

tanda

rangsang meningeal

bertujuan mencari

adanya

kaku

kuduk yang dapat menjadi tanda adanya

iritasi

meningen di daerah subamknoid, misalnya pada penyakit meningitis, perdarahan subaraknoid atau

tumor

di daerah meningen, Selanjumya, pemedksaan saraf kranial meliputl pupil,

dze,

dan refleks batang otak.

Adapun

peme

ksaan

motorik

dilakukan

untuk melihat

respons

motodk

pasien

terhadap rangsangan nyeri.

A.

Pemeriksaan Saraf

Kranial

. pupil

Peme

kaan reflek

pupil dapat menentukan letak lesi

intrakmnialyang

menyebabkan penurunan kesadaran (Gambar

7).

Refleks

ini memiliki

komponen aferen N.ll dan eferen N.lll. Hasil pemeriksaan pupil dikatakan anisokor bila terdapat perbedaan diameter

pupil

>2mm antara

ki

dan kanan. Selain gambaran berikut, terdapat pula gambaran pupil bereaksi

lafibat

(sluggish pupils') yang bisa tedadi akibat pengaruh obat penyekat neuromuskulal tetes mata midriatik, atau penggunaan albuterol.

- .

Gqze

da\

Gerakan

Ekstraokular

Pemeriksaan goze diawali dengan memegang kedua kelopak mata pasien agar tetap terbuka, kemudian diamati posisi kedua bolamata pada keadaan

netral. Adanya

kelail].al].

gaze berupa deviasi konjugat

menandakan kemungkinan lesi di/ro ntal eye field (FEF) lobus frontal atau pons.

20

F

d,

o (,

..]

o &

= z z J

z

d t!

tl A

(33)

CambarT.

Perubahan

Pupil

Pasjen BerLlasarkan

Letak Lesi Intrakranial

yaog Menyebabkan Penurunan Kesadaran

Lesi pada salah satu FEF lobus

frontal

dapat berupa

lesi destruktif

atau

iritatif.

Lesl destruksi, misalnya karena stroke atau neoplasma, akan mentmbulkan Lleviasl konjugat

ke

arah

ipsilateral lesi

atau koDrralateml

sisi

hemiparesis. Lesi

jritatit,

misalnya kejang yang bersumber

dari

salah satu lobus

fiontal,

akan ntcnimbulkan deviasi konjugat ke arah kontralateml lesi. Adapun lesi

pr.la

salah satu sjsi pons akan menimbulkan deviasi konjugat ke arah kontralateral lesi atau

ipsilaterrl

sisi henliparcsis [Gambar B].

Pemeriksaan gerakan

bola mata dilakukan untuk

mengevaluasi

i.ianya

fiksasr,

trackino pada suatu objek, raving

eye movement, atau nistagmus

yang

dapat menunjukkan

lokasilesi

[Tabel 6).

21 a

z

o

z

&

L!

!E

o.

(34)

Kiri

G.mbar

B.

Deviasl l(onjugat Akib.t bel)erapa lhlycbab, seperti [a] Lesi Desrnrksi dr Lobus Irontal Kanau luenimbulkarr Deviasi Ko.ju8!t ke AInh Kanan

{bl

Kejang )'ang

ljersumber di l.obus

fronti

Kanan Nlenimbulknn l)cvrasi Konjugat kc Arah Kid, dan [c) l,esr Destruksjdi ]'ons Sisi Kanan Nlcntrnbulkin l)cviasi(onjugatke Arah Kiri

Raving eye marenent

Dawn+edt hystagmus

Mxh melihrt kc sranr .btek dan tidak bery-"r .k darr posisi teN-"but

Mata melihat ke suatu objek di sekitamya, dan ken,udian inataDya nelirik Dcngikuti geraken oblck to sehul

cei rkrn konlugat kedur boh mrta y.fg fel,n dan bol.k b.lik (t.,

,rdl.ol

Dapat dire.n,ktrn pa.1a lcsi

di

0okulus screbeluh atau croniocetvical

Drfrtdit.nrulian pa(h lesi

v!

nN screbelunr diri h.dult oblon8a!i

Gcrakan kedLa bola mata menyentrk ke &ah bawah dengan diikttrgcral<an k. arah atas yan,tlanrbat. Halini bis, disebabkan ol.h lesiakut di pons

Refleks

Okulosefalik

Sebelum

pcnleriks.an, harus dipastik.rn dulu lidal( terd:rpat

ccdera vertcbra

servikrl.

Pcmeriksn melrahan kedtla kelopak mata pasien tetap terbuka, lalLl nlenggerakkan kepal.r pasien sccirra cepat berotasi I(e arah horizontal dan vcrlil(al. Hasil posirif

diland.i

dengan gcrakan kedua bola rnat:r ke arah herlawauan dari r-otrsi kepala.l{isalnya, jika pasien menoleh Tabel6. Deskripsi Temuan Klinis pada Pemeriksaan Gerak Bola Mata

22

Temuan

Klinis

Keterangatr

(35)

ke l(anan, maka kedlla mata normal akan ber[lcrak ke :rrah

kiri.

Adapun hasilnegatifapabila tidak ada gerakal) bola mata snatkepala digcrakkan.

Refl eks

Okulovestibular

](omponen ateren lefleks

ini

adalah N.VIII dcDgan cleren

N.ill

dan N.VL Refleks

inj

dilakukan dengan sebclumnya menr:rstikan patensi membran limpani. lika tidak ada ruptur memhran, pemeriksa dapat mengalirkan

air

dingin pada salah satu telinga. Posisi pasicn saat tes kalori adalah elcvasi kepala 30'. Setiap telinga diirigasi dengan sekitar 50mL ajr dingrn selama 1

nrenit. TindalGn dilakLrkan pula pada telinga sisi yang lain dengan interval

sclana

5 menit dari telinga sebclumnya. Hasil positif berupa nistagmus l:tse cepat

ke amh

bcrlawanan dengan telinga yang

diirigasi,

disertai deviasi konjugat lambat ke sisi tclinga yang diirigasi. Hal ini meounjukkan lingkar refleks yang melalui mesensefalon dan pons dalam keadaall intak.

Adapun

hasil

negatif ditandai dcngan

tidak

adanya gcrakan bola mata sclama 1 menit observasi pascairigasi

Refleks Ancam

Refleks

ini memiliki komponen nferen N.ll dan eferen N.VIL

Cara pemeriksaannya adalah dengan mcmegang kedua kelopak mata pasien

aBar rctap terhuka, kenludian tangan

pemeriksir

digerakkan

secara cepat

ke

dalam lapang prndang pasicn hingga tampak seperti hampir mengancam mata pasien. Hasil

positif

yang ditandai dengan kedipan mata menunjukkan lingkar |etleks mclalui jaras penglihatan, area visual

di

lobus oksipital hingga pons nlasih dalanr keadaan

intak

Adapun hasil ncgatil berupa tidak adanya kedrpan mata saat tangan pemel-jksa berperak cep.t ke arah mata pasien.

FuIrduskopi

Pada pasien penurunan kesadaran, pemeriksaan

ini dilakukan untuk

mengevaluasi diskus optikus dan

N.'ll.

Dengan pemeriksaan ini,

klinisi dapat

mengetahui adanya

papil

edema

yang sering menjadi

tanda peningkatan tekanan intrakranial. Selain itu, komplikasi retinopati pada hipertensi

dan

diabetes

mellitus

juga bisa terdeteksi pada penurunan kesadaran yang dicudgai diakibatkan oleh stroke. Pada kasus perdarahan

23

(36)

subaraknoid,

gambaEn yang ditemukan dapat berupa

perdarahan

subhialoid.

Refleks

Komea

Komponen

aferen reflek kornea adalah N.V1 dan

eferennya N.VII Pemeriksaan

reflek

kornea dilakukan dengan menyentuh kornea dengan kapas (cotton

swolil

atau tetesan

aix

Hasil positif bila terdapat kedipan mata saat kornea disentuh. Hal

ini terjadi

karena

lingkar

refleks yang melalui pons masihintak. Hasil negatifmenunjukkan tidak adanya gemkan kelopak mata saat kornea disentuh.

Refleks

Muntah

Komponen aferen refleks

ini

adalah N.lX dan eferennya N X. Pemeriksaan

refleks muntah dilakukan

dengan

membe kan

rangsangan sentuhan ke dinding

fa

ng

poste or

dengan spatula Iidah atau kateter penghisap [suction]. Refleks ini akan

positifbila

lingkar refleks yang melalui medula oblongata masih intak. Hasil positifditandai dengan adanya reaksi muntah pasien, begitupun sebaliknya.

Refleks

Batuk

Komponen aferen

dan

eferen

rcfleks ini

adalah N.X, Pemeriksaan

ini dilakukan pada

pasien

terintubasi

dengan cara memasukkan kateter penghisap

ke

dalam trakea melalui

pipa

endotrakeal atau trakeostomi hingga setinggi karina, dan dilakukan penghisapan sebanyak 1 atau 2 kali.

Refleks ini akan

positifbila

lingkar refleks }?ng melalui medula oblongata.

masih dalam keadaan intak. Hasil positif ditandai dengan adanya reaksi batuk pasien, begitupun sebaliknya.

B.

Pemeriksaan

Motorik

Apabila pasien tidak dapat mengikuti perintah, pemeriksa dapat

membe

kan rangsangan nyeri untuk menimbulkan respons motoriktertentu. Respons

ini

dapat membantu pemeriksa menentukan letak Iesi dan tingkat keparahan penyakit. Beberapa respons motoriktersebut dapat dilihat padatabel

bedkut ini

[Tabel T).

ffi ffi

ffi ffi

re ffi

Referensi

Dokumen terkait

pemeriksaan fungsi kognitif pasien pasca stroke menunjukan bahwa distribusi frekuensi fungsi kognitif pada pasien pasca stroke sebagian besar mengalami gangguan

Syarat pemeriksaan ini adalah fungsi sensorik primer (raba, posisi) harus baik dan tidak ada gangguan tingkat kesadaran, kadang-kadang ditambah dengan syarat

Penurunan kemandirian dalam peratawan diri yang terjadi pada pasien gangguan jiwa sejalan dengan teori yang menyatakan bahwa pada pasien gangguan jiwa akan mengalami

'asil anamnesis menunjukan bah%a pasien mengalami p enurunan kesadaran setelah mengkonsumsi alkohol jenis )ed Aabel. )ed Aabel merupakan minuman yang mengandung alkohol

Pada anamnesis riwayat penyakit keluarga, dokter menanyakan apakah ada keluarga dekat pasien (sedarah) secara garis keturunan vertikal (ayah, ibu, kakek, nenek, paman, atau

a) Pasien yang mengalami/berpotensi mengalami gangguan gerak dan fungsi tubuh dapat melakukan pendaftaran secara langsung, atau melalui rujukan dari tenaga medis

Anamnesis KU : Penurunan kesadaran T : • Hal ini dijumpai sejak 5 jam SMRS, sebelumnya pasien kejang sebanyak 3 kali dengan durasi >5 menit, kelojotan seluruh tubuh • Riwayat muntah

memiliki fungsi motorik, sensorik, dan otonom Keluhan yang biasanya muncul dapat berupa gangguan menelan dan gangguan sensasi pada mulut bagian belakang/faring.. Vagus Dapat mengalami