PANDUAN PRAKTIK KLINIS PENYAKIT DALAM
RSU MUHAMMADIYAH PONOROGO 2015-2016
DIABETES MELITUS
Pengertian Suatu kelompok penyakit metabolik yang ditandai oelh hipergikemia akibat defek pada :
1. Kerja insulin (resistensi insulin) di hati (peningkatan produksi glukosa hepatik) dan di jaringan perifer (otot dan lemak)
2. Sekresi insulin oleh sel beta pankreas 3. Atau keduanya.
Klasifikasi Diabetes Melitus (DM)
I. DM tipe I (destruksi sel , umumnya diikuti defisiensi insulin absolut)
- Immune – mediated - Idiopatik
II. DM tipe 2 (bervariasi mulai dari predominan resistensi insulin dengan defisiensi insulin relatif sampai predominan defek sekretorik dengan resistensi insulin)
III. Tipe spesifik lain
- Defek genetik pada fungsi sel - Defek genetik pada kerja insulin - Penyakit eksokrin pankreas - Endokrinopati
- Diinduksi obat atau zat kimia - Infeksi
- Bentuk tidak lazim dari immune mediated DM - Sindrom genetik lain, yang kadang berkaitan
dengan DM IV. DM gestasional
Diagnosis Terdiri dari : - Diagnosisi DM
- Diagnosis komplikasi DM - Diagnosis penyakit penyerta - Pemantauan pengendalian DM Anamnesis
- Keluhan khas DM : poliuria, polidipsia, polifagia penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan sebabnya.
- Keluhan tidak khas DM : lemah, kesemutan, gatal, mata kabur, disfungsi ereksi pada pria, pruritus vulvae pada wanita.
Faktor risiko DM tipe – 2 - Usia > 45 tahun
- Berat badan lebih > 110% berat badan idaman atau indeks massa tubuh (IMT) > 23kg/m² - Hipertensi (TD ≥ 140/90 mm/Hg)
- Riwayat DM dalam garis keturunan
- Riwayat abortus berulang, melahirkan bayi cacat, atau BB lahir bayi > 4.000 gram
- Riwayat DM gestasional
- Riwayat toleransi gula terganggu (TGT) atau glukosa darah puasa terganggu (GDPT)
- Penderita penyakit jantung koroner, tuberkulosis, hipertroidisme
Kolesterol HDL ≤ 35 mg/dL dan atau trigliserida ≥ 250 mg/Dl
Anamnesis komplikasi DM ( lihat komplikasi).
Pemeriksaan fisik lengkap termasuk
- Tinggi badan, berat badan, TD, lingkarpinggang - Tanda neuropati
- Mata (visus, lensa mata dan retina) - Gigi mulut
- Keadaan kaki (termsuk rabaan nadi kaki), kulit dan kuku
Kriteria diagnostik DM dan
gangguan toleransi glukosa
1. Kadar glukosa darah sewaktu ( plasma vena) ≥ 200 mg/dL atau
2. Kadar glukosa darah puasa (plasma vena) ≥ 126 mg/dL 3. Kadar glukosa plasma ≥ 200 mg/dL pada 2 jam
sesudah beban glukosa 75 gram pada TTGO Diagnosa Banding Hiperglikemia reaktif, toleransi glukosa terganggu
(TGT), glukosa darah puasa terganggu (GDPT) Pemeriksaan
Penunjang
Pemeriksaan laboratorium :
- Hb, leukosit, hitung jenis leukosit, laju endap darah - Glukosa darah puasa dan 2 jam sesudah makan - Urinalisis rutin, proteinuria 24 jam, CCT ukur - Kreatinin
- SGPT, Albumin/Globulin
- Kolesterol Total, kolesterol LDL, kolesterol HDL, trigliserida
- A,C
- Albuminuria mikro Pemeriksaan
Penunjang lain EKG, foto thoraks, funduskopi
Terapi Edukasi
Meliputi pemahaman tentang - Penyakit DM
- Makna dan perlunya pengendalian dan pemantauan DM
- Penyulit DM
- Intervensi farmakologis dan non-farmakologi - hiperglikemia
- masalah khusus yang dihadapi
- cara mengembangkan sistem pendukung dan mengajarkan ketrampilan
- cara mempergunakan fasilitas perawatan kesehatan
Perencanaan Makan Standar yang dianjurkan adalah makanna dengan komposisi :
- protein 10 – 15 %
- lemak 20 – 25 %
jumlah kandungan kolesterol disarankan < 100 mg/hari. Diusahakan lemak berasal dari sumber asam lemak tidak jenuh (MUFA = Mono Unsaturated Fatty Acid), dan membatasi PUFA (Poly Unsaturated Faity Acid) dan asam lemak jenuh. Jumlah kandungan serat ± 25 g/hr, diutamakan serat larut.
Jumlah kalori basal per hari :
- laki – laki : 30 kal/kg BB idaman - wanita : 25 kal/kg BB idaman Penyesua ian (terhadap kalori basal/har i) - status gizi o BB gemuk - 20% o Lebih - 10 % o BB kurang + 20 % - Umur > 40 tahun + (10 s/d 30%) - Aktivitas o Ringan + 10 % o Sedang + 20 % o Berat + 30 % - Hamil
o Trimester I,II + 300 kal o Trimester III + 500 kal
Rumus Broca Berat badan idaman = (tinggi badan -100) – 10%* Pria <160 cm dan wanita < 150 cm, tidak dikurangi 10%
lagi BB kurang : < 90 % BB idaman BB normal : 90 – 110 % BB idaman BB lebih : 110 – 120 % idaman Gemuk : > 120 % BB idaman Latihan jasmani :
Kegiatan jasmani sehari – hari dan latihan teratur (3-4 kali seminggu selama kurang lebih 30 menit). Prinsip
Continous – Rythmical - Interval – Progressive – Enduranc Intervensi
Farmakologis
Obat Hipoglikemia Oral (OHO) :
- Pemicu sekresi insulin (insulin secretagogue) : sulfonilurea, glinid
- Penambah sensitivitas terhadap insulin : metformin, tiazolidindion
- Penghambat absorbsi glukosa : penghambat glukosidase alfa
Insulin Indikasi :
- Hiperglikemia berat yang disertai ketosis - Ketoasidosis diabetik
- Hiperglikemia hiperosmolar non ketotik - Hiperglikemia dengan asidosis laktat
- Gagal dngan kombinasi OHO dosis hampir maksimal - Stres berat (infeksi sistemik, operasi besar, IMA,
Stroke)
- Kehamilan dengan DM / diabetes melitus gestasional yang tidak terkendali dengan perencanaan makan
- Gangguan fungsi ginjal atau hati yang berat - Kontraindikasi dan atau alergi terhadap OHO Terapi Kombinasi Pemberian OHO maupun insulin selalu dimulai dengan
dosis rendah, untuk kemudian dinaikkan secara bertahap sesuai dengan respons kadar glukosa darah. Kalau dengan OHO tunggal sasaran kadar glukosa belum tercapai, perlu kombinasi dua kelompok obat hipoglikemik oral yang berbeda mekanisme kerjanya.
Pengelolaan DM tipe 2
Gemuk Non – farmakologis → evaluasi 2 – 4 minggu
(sesuai keadaan klinis) :
Sasaran tidak tercapai : Penekanan kembali tata laksana non – farmakologis
→ evaluasi 2 – 4 minggu (sesuai keadaan klinis) : Sasaran tidak tercapai + 1 macam OHO
Biguanid/Penghambat glukosidase α / Glitazon → evaluasi 2 – 4 minggu (sesuai keadaan klinis) : Sasaran tidak tercapai Kombinasi 2 macam OHO, antara :
Biguanid / Penghambat glukosidase α / Glitazon
→ evaluasi 2 – 4 minggu (sesuai keadaan klinis) : Sasaran tidak
tercapai Kombinasi 3 macam OHO
Biguanid +Penghambat glukosidase α + Glitazon atau
Terapi kombinasi OHO siang hari + Insulin malam
→ evaluasi 2 – 4 minggu (sesuai keadaan klinis) : Sasaran terapi kombinasi 3 OHO tidak tercapai :
Kombinasi 4 macam OHO : Biguanid +Penghambat glukosidase α + Glitazon + Secretagogue atau
Terapi kombinasi OHO siang hari + Insulin malam
→ evaluasi 2 – 4 minggu (sesuai keadaan klinis) :
Sasaran terapi kombinasi 4 OHO tidak tercapai : Insulin
Atau
Terapi kombinasi OHO siang hari + Insulin malam Sasaran terapi kombinasi OHO + Insulin tidak tercapai :
Insulin
Bila sasaran tercapai : teruskan terapi terakhir
Pengelolaan DM tipe 2
Tidak Gemuk Non – farmakologis → evaluasi 2 – 4 minggu (sesuai keadaan klinis) :
Sasaran tidak tercapai : non – farmakologis + secretagogue
→ evaluasi 2 – 4 minggu (sesuai keadaan klinis) : Sasaran tidak tercapai Kombinasi 2 macam OHO, antara :
Secretagogue +
Penghambat glukosidase α / biguanid/Glitazon
→ evaluasi 2 – 4 minggu (sesuai keadaan klinis) : Sasaran tidak tercapai Kombinasi 3 macam OHO Secretagogue + Penghambat glukosidase α / biguanid/Glitazon atau
Terapi kombinasi OHO siang hari + Insulin malam → evaluasi 2 – 4 minggu
(sesuai keadaan klinis) : Sasaran terapi kombinasi 3 OHO tidak tercapai :
Kombinasi 4 macam OHO : Secretagogue + Penghambat glukosidase α
+biguanid+Glitazon atau
Terapi kombinasi OHO siang hari + Insulin malam
→ evaluasi 2 – 4 minggu (sesuai keadaan klinis) :
Insulin, atau
Terapi kombinasi OHO siang hari + Insulin malam Sasaran terapi kombinasi OHO + Insulin tidak tercapai :
Insulin
Bila sasaran tercapai : teruskan terapi terakhir Penilaian hasil terapi 1. Pemeriksaan glukosa darah
2. Pemeriksaan AIC
3. Pemeriksaan glukosa darah mandiri 4. Pemeriksaan glukosa urin
5. Penentuan Benda Keton Kriteria Pengendalian DM (lihat tabel)
Tabel : Kriteria Pengendalian DM Ba i k Sed a n g Bur u k GD p u a s a ( m g / d L ) 80 – 1 0 0 110 – 1 2 5 ≥ 1 2 6 GD 2 j a m P P ( 80 – 1 4 4 145 – 1 7 9 ≥ 1 8 0
m g / d L ) A, C ( % ) < 6 . 5 6.5 – 8 8 ˃ 200 K o l e s t e r o l t o t a l ( m g / d L ) < 2 0 0 200 – 2 3 9 ≥ 2 4 0 Kol e s t e r o l L D L ( m g / < 1 0 0 100 – 1 2 9 ≥ 1 3 0
d L ) Kol e s t e r o l H D L ( m g / d L ) ˃ 4 5 Tri g l i s e r i d a ( m g / d L ) < 1 5 0 150 – 1 9 9 ≥ 2 0 0 IM T 18. 5 – 2 2 . 9 23 – 2 5 ˃ 2 5
Tek a n a n d a r a h ( m m H g ) < 1 3 0 / 8 0 130 – 1 4 0 80 – 9 0 > 1 4 0 Komplikasi A. Akut - Ketoasidosis diabetik - Hiperosmolar non ketonik - hipoglikemia B. Kronik - Mikroangiopati : o Pembuluh koroner o Vaskular perifer o Vaskular otak - Mikroangiopati o Kapiler retina o Kapiler renal - Neuropati - Gabungan :
o Kardiopati : penyakit jantung koroner, kardiomiopati - Rentan infeksi - Kaki diabetik Disfungsi ereksi Prognosis Dubia
PANDUAN PRAKTIK KLINIS PENYAKIT DALAM
RSU MUHAMMADIYAH PONOROGO 2015-2016
KETO-ASIDOSIS DIABETIKUM
Pengertian Kondisi dekompensasi matabolik akibat
defisiensi insulin absolut atau relatif dan merupakan komplikasi akut diabetes melitus yang serius. Gambaran klinis utama
ketoasidosis diabetikum (KAD) adalah hiperglikemia, ketosis dan asidosis
metabolik.
Faktor pencetus : infeksi, infark miokard akut, penkreatitis akut, penggunaan obat golongan steroid, penghentian atau pengurangan dosis insulin.
Diagnosis Klinis :
Keluhan poliuri, polidipsi
Riwayat berhenti menyuntik insulin Demam/infeksi
Muntah Nyeri perut
Kesadaran : kompos mentis, delirium, koma Pernapasan cepat dan dalam (Kussmaul)
Dehidrasi (turgor kulit menurun, lidah dan bibir kering)
Dapat disertai syok hipovolemik
Kriteria diagnosis Kadar gula : > 250 mg/dL
pH : < 7.35
HCO : rendah
Anion gap : tinggi
Keton serum : positif dan atau ketonuria Diagnosa Banding Ketosis diabetik, hiperglikemia hiperosmolar non
ketotik / hyperglycemic hyperosmolar state,
ensefalopati uremikum, asidosis uremikum, minum alkohol ketosis alkoholik, ketosis hipoglikemia, ketosis starvasi, asidosis laktat, asidosis hiperkloremik, kelebihan salisilat, drug-induced acidosis, ensefalopati karena infeksi, trauma kapitis Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan cito : gula darah, elektrolit, ureum,
kreatinin, aseton darah, urin rutin, analisis darah gas darah, EKG
Na+, K+, Cl : tiap 6 jam selama 24 jam, selanjutnya sesuai keadaan
Analisis gas darah : bila pH < 7 saat masuk
diperiksa setiap 6 jam s/d pH > 7.1, selanjutnya setiap hari sampai stabil.
Pemeriksaan lain (sesuai indikasi) : kultur darah, kultur urin, kultur pus
Terapi Akses IV.2 jalur, salah satunya dicabang dengan 3 way: I. Cairan :
NaCl 0.9 % diberikan ±1-2 L pada 1 jam pertama, lalu ± 1 L pada jam kedua., lalu ± 0.5 L pada jam ketiga dan keempat, dan ±0.25 L pada jam kelima dan keenam, selanjutnya sesuai kebutuhan.
Jumlah cairan yang diberikan dalam 15 jam sekitar 5 L
Jika Na+ > 155 mEq/L ganti cairan dengaan NaCL 0.45 %
Jika GD < 200 mg/dL gaanti cairan dengan Dextrose 5%
II. Insulin (regular insulin = RI)
Diberikan setelah 2 jam rehidrasi cairan RI bolus 180 mU/kgBB IV, dilanjutkan RI drip 90 mU/kgBB/jam dalam NACL 0.9% Jika GD < 200 mg/dL : kecepatan dikurangi
RI drip 45 mU/kgBB/jam dalam NaCl 0.9%
Jika GD stabil 200-300 mg/dL selama 12 jam RI drip 1- 2 U/jam IV, disertai
sliding scale setiap 6 jam :
(mg/dL) (unit, subkutan) < 200 0 200 – 250 5 250 – 300 10 300 – 350 15 350 ˃ 20
Jika kadar GD ada yang < 100 mg/dL : drip RI dihentikan
Setelah Sliding Scale tiap 6 jam, dapat diperhitungkan kebutuhan insulinsehari dibagi 3 dosis sehari subkutan, sebelum makan (bila pasien sudah makan)
III. Kalium
Kalium (KCl) drip dimulai bersamaan dengan drip RI, dengan dosis 50 mEq/6 jam. Syarat : tidak ada gagal ginjal, tidak ditemukan gelombangn T yang lancip dan tinggi pada EKG, dan jumlah urine cukup adekuat.
Bila kadar K+ pada pemeriksaan elektrolit kedua : < 3.5 drip KCl 75 mEq/6 jam 3,0 – 4.5
4.5 – 6.0
drip KCl 50 mEq/6 jam drip KCl 25 mEq/6 jam > 6.0 drip dihentikan
Bila sudah sadar, diberikan K+ oral selama seminggu
IV. Natrium bikarbonat
Drip 100 mE q bil a pH < 7.0 dis ert ai KC l 26
mE q dri p 50 mE q bil a pH 7.0 – 7.1 , dis ert ai KC l 26 mE q dri p
Juga diberikan pada asidosis laktat dan hiperkalemi yang mengancam.
V. Tatalaksana umum
O2 bila PO2 < 80 mmHg
Antibiotika adekuat
Heparin : bila ada DIC atau hiperosmolar (> 380mOsm/L) terapi disesuaikan dengan pemantauan klinik ;
Tekanan darah, frekuensi nadi, frekuensi pernapasan, temperatur setiap jam, Kesadaran setiap jam
Keadaan hidrasi (turgor, lidah) setiap jam Produksi urin setiap jam, balans cairan Cairan infus yangmasuk setiap jam
Dan pemantauan laboratorik (lihat pemeriksaan penunjang)
Komplikasi Syok hipoglikemia, edema paru,
hipertrigliseridemia, infark miokard akut, hipoglikemia, hipokalemia, hiperkloremia,
edema otak, hipokalsemia.
Prognosis Dubia ad malam. Tergantung pada usia, komorbid, adanya infark miokard akut, sepsis, syok
PANDUAN PRAKTIK KLINIS PENYAKIT DALAM
RSU MUHAMMADIYAH PONOROGO 2015-2016
HIPOGLIKEMIA
Pengertian Kadar glukosa < 60 mg/dL, atau kadar glukosa darah < 80 mg/dL dengan gejala klinis. Hipoglikemia pada DM terjadi karena :
Kelebihan obat/dosis obat : terutama insulinm atau obat hipoglikemik oral
Kebutuhan tubuh akan insulin yang relatif menurun : gagal ginjal kronik, pasca persalinan
Asupan makan tidak adekuat : jumlah kalori atau waktu makan tidak tepat
Kegiatan jasmani berlebihan DIAGNOSIS Gejala dan tanda klinis :
Stadium parasimpatik : lapar, mual, tekanan darah turun Stadium gangguan otak ringan : lemah, lesu, sulit
bicara, kesulitan menghitung sementara
Stadium simpatik : keringat dingin pada muka, bibir atau tangan gemetar
Stadium gangguan otak berat : tidak sadar, dengan atau tanpa kejang
Anamnesis
Penggunaan preparat insulin atau obat hipoglikemik oral : dosis terakhir, waktu pemakaian terakhir, perubahan dosis
Waktu makan terakhir, jumlah asupan gizi Riwayat jenis pengobatan dan dosis sebelumnya
Lama menderita DM, komplikasi DM Penyakit penyerta : gijal, hati, dll
Penggunaan obat sistemik lainnya : penghambat adrenergik β, dll Pemeriksaan fisik : pucat, diaphoresis, tekanan darah, frekuensi denyut jantung, penurunan kesadaran, defisit neurologik fokal transien.
Trias Whipple untuk hipoglikemia secara umum : 1. Gejala konsisten dengan hipoglikemia
2. Kadar glukosa plasma rendah
3. Gejala nereda setelah kadar glkosa plasma meningkat Diagnosa
banding Hipoglikemia karena : Obat : (sering) : insulin, sulfonilurea, alkohol (kadang) : kinin, pentamindin e (jarang) : salisilat, sulfonemid
Hiperinsulinisme endogen, insulinoma, kelainan sel β jenis lain, sekretagogue
(sulfonilurea), autoimun, sekresi insulin ektopik
Penyakit kritis : gagal hati, gagal ginjal, gagal jantung, sepsis,starvasi dan inanisi
Defisiensi endokrin : kortisol, growth hormone, glukagon, epinefrin
Tumor non-sel β: sarkoma, tumor adrenokortikal, hepatoma, leukimia, limfoma, melanoma.
o Pasca-prandial : reaktif (setelah operasi gaster), diinduksi alkohol
Pemeriksaan penunjang
Kadar glukosa darah (GD), tes fungsi ginjal, tes fungsi hati, C-peptide
Terapi Stadium permulaan (sadar)
Berikan gula murni 30 gram (2 sendok makan) atau sirop/permen gula murni (bukan pemanis pengganti gula atau gula diet/gula diabetes) dan makanan yang
mengandung karbohidrat.
Hentikan obat hipoglikemik sementara, Pantau glukosa darah sewaktu tiap 1-2 jam
Pertahankan GD sekitar 200mg/dL (bila sebelumnya tidak sadar)
Cari penyebab.
Stadium lanjut (koma hipoglikemia atau tidak sadar + curiga hipoglikemia) :
1. Diberikan larutan Dekstrosa 40% sebanyak 2 flakon (=50 mL) bolus intra vena,
2. Diberikan cairan Dekstrosa 10% per infus, 6 jam per kolf 3. Periksa GD sewaktu (GDs), kalau memungkinkan dengan
glukometer :
- Bila GDs < 50 mg/dL + bolus Dekstrosa 40% 50 mL IV
- Bila GDs < 100 mg/dL + bolus Dekstrosa 40% 25 mL IV
4. Periksa GDs setiap 1 jam setelah pemberian Dekstrosa 40% - Bila GDs < 50 mg/dL + bolus Dekstrosa 40% 50
mL IV
- Bila GDs < 100 mg/dL + bolus Dekstrosa 40% 25 mL IV
- Bila GDs 100 – 200 mg/dL tanpa bolus Dekstrosa 40%
- Bila GDs > 200 mg/dL pertimbangkan menurunkan kecepatan drip Dekstrosa 10%
5. Bila GDs > 100 mg/dL sebanyak 3 kali berturut – turut, pemantauan GDs setiap 2 jam, dengan protokol sesuai
diatas. Bila Gds> 200 mg/dL pertimbangkan mengganti infus dengan Dekstrosa 5% atau NaCl 0.9% 6. Bila GDs > 100 mg/dL sebanyak 3 kali berturut – turut,
pemantauan GDs setiap 4 jam, dengan protokol sesuai diatas. Bila Gds> 200 mg/dL pertimbangkan mengganti infus dengan Dekstrosa 5% atau NaCl 0.9% 7. Bila GDs > 100 mg/dL sebanyak 3 kali berturut – turut,
sliding scale setiap 6 jam
GD (mg/dL) < 200 200-250 250-300 300-350 >350
8. Bila hipoglikemia belum teratasi, dipertimbangkan pemberian antagonis insulin, seperti : adrenalin, kortison dosis tinggi, atau glukagon 0.5-1 mg/IV/IM (bila penyebabnya insulin)
9. Bila pasien belum sadar, GD sekitar 200mg/dL : Hidrokortison 100 mg per 4 Jam selama 12 jam atau Deksametason 10 mg IV bolus dilanjutkan 2 mg tiap 6 jam dan Manitol 1.5 – 2 g/kgBB IV setiap 6-8 jam. Dicari penyebab lain kesadaran menurun
Komplikasi Kerusakan otak, koma, kematian PROGNOSIS
PANDUAN PRAKTIK KLINIS PENYAKIT DALAM
RSU MUHAMMADIYAH PONOROGO 2015-2016
OSTEOARTRITIS
Pengertian Osteortritis (OA) merupakan penyakit degeneratif yang mengenai rawan sendi. Penyakit ini ditandai oleh kehilangan rawan sendi progresif dan terbentuknya tulang baru pada trabekula dan tepi tulang (osteofit)
Diagnosis Osteoartritis sendi lutut : 1. Nyeri lutut, dan
2. Salah satu dari 3 kriteria berikut : a. Usia > 50 tahun
b. Kaku sendi < 30 menit c. Krepitasi + osteofit
Osteoartritis sendi tangan : 1. Nyeri tangan atau kaku, dan 2. Tiga dari 4 kriteria berikut :
a. Pembesaran jaringan keras dari 2 atau lebih dari 10 sendi tangan tertentu (DIP II dan III kiri dan kanan, CMC 1 ki&ka)
b. Pembesaran jaringan keras dari 2 atau lebih sendi DIP
c. Pembengkakan pada < 3 sendi MCP
d. Deformitas pada minimal 1 dari 10 sendi tangan tertentu
Osteoartritis sendi pinggul : 1. Nyeri pinggul. Dan
2. Minimal 2 dari 3 kriteria berikut : a. LED < 20 mm/jam
b. Radiologi : terdapat osteofit pada femur atau asetabulum
c. Radiologi : terdapatpenyempitan celah sendi (superior, aksial, dan/atau medial)
Diagnoasis Banding Artritis remotoid, artritis gout, artritis septik, spondilitis ankilosa
Pemeriksaan
Penunjang LED (pada OA inflamatif, LED akan meningkat) Analisi cairan sendi
Radiografi sendi yang terserang Artroskopi
Terapi 1. Penyuluhan
2. Proteksi sendi, terutama pada stadium akut 3. Obat antiinflamasi non steroid
Diantaranya : sodium diklofenak 50 mg t.i.d, Piroksikam 20 mg o.d, Meloksikam
7.5 mg o.d dan sebagainya
4. Steroid intraartikular untuk OA inflamasi 5. Fisioterapi, terapi okupasi, bila perlu diberikan
ortosis
6. Operasi untuk memperbaiki deformitas
Komplikasi Deformitas sendi
Prognosis Dubia
PENYAKIT DALAM
RSU MUHAMMADIYAH PONOROGO 2015-2016
DEMAM BERDARAH DENGUE
Pengertian Penyakit demam akut yang disebabkan oleh virus dengan dan ditularkan melalui gigitan nyamuk Aedes Aegypty dan Aedes Albopictus serta memenuhi kriteria WHO untuk demam berdarah dengan (DBD)
Diagnosis Kriteria diagnosis WHO 1997 untuk DBD harus memenuhi :
Demam atau riwayat demam akut, antara 2 – 7 hari, biasanya bifasik :
Terdapat minimal satu dari manifestasi perdarahan berikut ini :
- Uji torniquet positif (>20 petekie dalam 2.54 cm²) - Petekie, ekimosis atau paripurna
- Perdarahan mukosa, saluran cerna, bekas suntikan, atau tempat lain
- Hematemesis atau melena Trombositopenia (≤100.000/mm²)
Terdapat minimal satu tanda – tanda plasma leakage: - Kematokrit meningkat 20% dari
hematokrit rata – rata pada usia, jenis kelamin, dan populasi yang sama
- Hematokrit turun hingga 20% dari hematokrit awal, setelah pemberian cairan
- Terdapat efusi pleura, efusi perikard, asites dan hipoproteinemia
Derajat I. Demam disertai gejala konstitusional yang tidak khas, manifestasi perdarahan hanya berupa uji torniquet positif dan/atau mudah memar
II. Derajat I disertai perdarahan spontan
lemah atau hipotensi, disertai kulit dingin dan lembab serta gelisah
IV. Renjatan : tekanan darah dan nadi tidak tertur DBD derajat III dan IV
digolongkan dalam sindrom renjatan dengue
Diagnosa Banding Demam akut lain yang bermanifestasi trombositopenia Pemeriksaan
Penunjang Hb, Ht, Lekosit, trombosit, Serologi dengue
TERAPI Nonfarmakologi
s : tirah baring, makanan lunak Farmakologis :
Simtomatis : antiseptik parasetamol bila demam - Cairan intravena : Ringer laktat atau
ringer asetat 4-6 jam/kolf
Koloid/plasma ekspander pada DBD stadium III dan IV bila diperlukan
- Transfusi trombosit dan komponen darah sesuai indikasi
- Pertimbangan heparinisasi pada DBD stadium III atau IV dengan koagulasi intravaskular diseminata (KID)
Komplikasi Renjatan, perdarahan, KID
PANDUAN PRAKTIK KLINIS PENYAKIT DALAM
RSU MUHAMMADIYAH PONOROGO 2015-2016
DEMAM TIFOID
Pengertian Penyakit sistemik akut yang disebabkan oleh infeksi kuman Salmonela thypi atau Salmonela partatyphi
Diagnosa Anamnesis : demam naik secara bertangga pada minggu pertama lalu demam menetap (kontinyu) atau remiten pada minggu kedua. Demam
terutama sore/malam hari, sakit kepala, nyeri otot, anoreksia, mual, muntah, obstipasi atau diare Pemeriksaan fisik : febris, kesadaran berkabutm
bradikardia relatif (peningkatan suhu 1°C tidak diikuti peningkatan denyut nadi 8x/menit), lidah yag berselaput (kotor di tengah, tepi dan ujung merah, serta tremor). Hepatomegali,
splenomegali, nyeri abdomen, roseolae (jarang pada orang Indonesia)
Laboratorium : dapat ditemukan lekopeni, lekositosis atau lekosit normal : aneosinofilia, limfopenia, peningkatan LED, anemia ringan, trombositopenia, gangguan fungsi hati. Kultur darah (biakan empedu) positif atau peningkatan titer uji Widal 4 kaloo lipat setelah satu minggu memastikam diagnosis. Kultur darah negatif tidak menyingkirkan diagnosis. Uji widal tunggal frmhsm titer antibodi O 1/320 atau H 1/640 disertai gambaran klinis khas menyokong diagnosis Hepatitis Tifosa Bila memenuhi 3 atau lebih kriteria khosia (1990) :
hepatomegali, ikterik, kelainan laboratorium (antara lain : bilirubin > 30.6 umol/l, peningkatan SGOT/SGPT,
penurunan indeks PT), kelainan histopatologi. Tifoid Karier Ditemukannya kuman Salmonela typhi dalam biakan
feses atau urin pada seseorang tanpa tanda klinis infeksi atau pada seseorang setelah 1 tahun pasca demam tifoid
Diagnosis
Banding Infeksi virus, malaria Pemeriksaaan
Penunjang Darah perifer lengkap, tes fungsi hati, serologi, kultur darah (biakan empedu)
Terapi Nonfarmakologis : tirah baring,
makanan lunak rendah serat Farmakologis :
Simtomatis Antimikroba
- Pilihan utama : Kloramfenikol 4 x 500 mgsampai dengan 7 hari bebas demam. Alternatif lain :
- Tiamfenikol 4 x 500 mg (komplikasi hematologi lebih rendah dibandingkan klorafenikol)
- Kotrimoksazol 2 x 2 tablet selama 2 minggu - Ampisilin dan amoksisilin 50 – 150 mg/kgBB
selama 2 minggu
- Sefalosporin generasi III ; yang terbukti efektif adalah seftriakson 3-4 gram dalam dextrosa 100cc selama 2-3 x 1 gram, sefoperazon 2 x 1 gram
- Fluorokuinolon (demam umumnya lisis pada hari III atau menjelang hari IV) :
Norfloksasin 2 x 400 mg/hari selama 14 hari Siprofloksasin 2 x 500 mg/hari selama 6 hari Ofloxsasin 2 x 400 mg/hari selama 7 hari Pefloksasin 400 mg/hari selama 7 hari
Fleroksasin 400 mg/hari selama 7 hari
Kasus toksik tifoid (demam tifoid disertai
gangguan kesadaran dengan atau tanpa kelainan neurologis lainnya dan hasil pemeriksaan cairan otak masih dalam batas normal) langsung diberikan kombinasi kloramfenikol 4 x 500 mg dengan ampisilin 4 x 1 gram dan deksametason 3 x 500 mg
Kasus tifoid karier :
Tanpa kolelitiasis pilihan rejimen terapi selama 3 bulan :
- Ampisilin 100 mg/kgBB/hari + Probenesid 30 mg/kgBB/hari
- Amoksisilin 100 mg/kgBB/hari + probenesid 30 mg/kgBB/hari
- Kotrimoksazol 2 x 2 tablet/hari
Dengan kolelitiasis kolesistektomi + regimen tersebut di atas selama 28 hari atau kolesistektomi + salah satu rejimen berikut :
- Siprofloksasin 2 x 750 mg/hari - Norfloksasin 2 x 400 mg/hari
Dengan infeksi Schistosoma haematomium pada traktus urinarius eradikasi
Schistosoma haematomium :
- Prazikuantel 40 mg/kg/BB dosis tunggal, atau - Metrofonat 7.5-10 mg/kgBB bils perlu
diberikan 3 dosis, interval 2 minggu Setelah eradikasi berhasil, diberikan rejimen terapi untuk tifoid karier seperti diatas.
kotrimoksazol tidak boleh digunakan. Kloramfenikol tidak dianjurkan pada trimester III. Tiamfenikol tidak dianjurkan pada trimester I. Obat yang dianjurkan golongan beta laktam : ampisilin, amoksisilin dan sefalosporin generasi III (seftriakson).
Komplikasi
Intestinal
Perdarahan intestinal, perforasi ususm ileus paralitik, pankreatitis
Ekstra- Intestinal
Kardiovaskular (kegagalan sirkulasi perifermiokarditis, trombosis,
tromboflebitis), hematologik (anemia hemolitik, trombositopenia,KID), paru (pneumonia, empiem, pleuritis), hepatobilier (hepatitis, kolesistitis), ginjal (giomerulonefritis, pielonefritis, perinefritis), tulang (osteomielitis, periostitis, spondilitis, artritis), neuropsikiatrik (toksik tifoid)
Prognosis Baik, bila penyakit berat, pengobatan terlambat/tidak adekuat atau ada komplikasi berat, prognosis
PANDUAN PRAKTIK KLINIS PENYAKIT DALAM
RSU MUHAMMADIYAH PONOROGO 2015-2016
SEPSIS DAN RENJATAN SEPTIK
Pengertian Sepsis :
Sindrom respons inflamasi sistemik (SIRS) yang disebabkan oleh infeksi
Renjatan Septik : sepsis dengan hipotensi, ditandai dengan penurunan TDS < 90 mmHg atau penurunan > 40 mmHg dari TD awal, tanpa adanya obat-obatan yang dapat menurunkan TD DIAGNOSIS SEPSIS 1. SIRS ditandai dengan 2 gejala atau lebih berikut :
Suhu badan > 38° C atau < 36°C Frekuensi denyut jantung > 90 x/menit
Frekuensi pernapasan > 24x/menit atau PaCO < 32
Hitung lekosit > 12.000/mm³ atau < 4.000/mm³, atau adanya > 10% sel batang
2. Ada fokus infeksi yang bermakna
SEPSIS BERAT Gangguan fungsi organ atau kegagalan fungsi organ termasuk penurunan kesadaran , gangguan fungsi hati, ginjal, paru – paru dan asidosis metabolik Diagnosis banding Renjatan kardiogenik, rejatan hipovolemik Pemeriksaan
penunjang DPL, tes fungsi hati, ureum, kreatinin, gula darah, AGD,elektrolit, kultur darah adn infeksi fokal (urin, pus, sputum,dll) disertai uji kepekaan mikroorganisme terhadap anti mikroba, foto toraks
Terapi Eradikasi fokus infeksi
o Tempat infeksi
o Dugaan kuman penyebab
o Profil antimikroba (farmakokinetik dan farmakodinamik)
o Keadaan fungsi n fungsi hati) Antimikroba definitif : bila hasil kultur
mikroorganisme telah diketahui, antimikroba dapat diberikan sesuai hasil uji kepekaan mikroorganisme Suportif : resusitasi ABC, oksigenasi, terapi
cairan, vasopresor.inotropik, dan transfusi (sesuai indikasi) pada renjatan septik diperlukan untuk mendapatkan respons secepatnya.
o Resusitasi cairan
Hipovolemia pada sepsis segera diatasi dengan pemberian cairan kristaloid atau koloid. Volume cairan yang diberikan mengacu pada respons klinis(respons terlihat dari peningkatan tekanan darah, penurunan frekuensi jantung, kecukupan isi nadi, perabaan kulit dan ekstremitas, produksi urin, dan perbaikan kesadaran) dan perlu
diperhatikan ada tidaknya tanda kelebihan cairan (peningkatan JVP, ronki, galop S dan penurunan saturasi oksigen).
Sebaiknya dievaluasi dengan CVP (dipertahankan 8-12 mmHg), dengan
mempertimbangkan kebutuhan kalori perhari. o Oksigenasi sesaui kebutuhan, Ventilator
diindikasikan pada hipoksemia yang progresif, hiperkapnia, gangguan
neurologis atau kegagalan otot pernapasan o Bila hidrasi cukup tetapi pasien tetap
tekanan darah sistolik 90 mmHg atau MAP 60 mmHg dan urin dipertahankan > 30 ml/jam. Dapat digunakan vasopresor seperti dopamin dengan dosis > 8 mcg.kgBB/menit, norepinefrin 0.03-1.5 mcg/kgBB/menit , fenilefrin 0.5-8 mcg/kgBB/menit atau epinefrin 0.1-0.5 mcg.kgBB/menit. Bila terdapat disfungsi miokard, dapat digunakaan inotropik seperti dobutamin dengan dosis 2-28 mcg/kgBB/menit, dopamin 3-8
mcg/kgBB/menit, epinefrin 0.1-0.5 mcg/kgBB/menit, atau fosfodiesterase inhibitor (amrinon dan milrinon)
o Transfusi komponen darah sesuai indikasi o Koreksi gangguan metabolik : elektrolit,
gula darah dan asidosis metabolik(secara empiris dapat diberikan bila pH<7.2 atau bikarbonat serum < 9 mEq/l, dengan disertai upaya perbaikan hemodinamik) o Nutrisi yang adekuat
o Terapi suportif terhadap gangguan fungsi gunjal o Kortikosteroid bila ada kecurigaan insufisiensi
adrenal
o Bila terjadi KID dan didapatkan bukti terjadinya tromboemboli, dapat diberikan heparn dengan dosis 100 IU/kgBB bolus, dilanjutkan 15-25 IU/kgBB/jam dengan infus kontinu, dosis lanjutan disesuaikan untuk mencapai target aPTT 1.5-2 kali kontrol atau antiogulan lainnya.
Komplikasi Gagal napas, gagal ginjal, gagal hati, KID, renjatan septik ireversibel
PANDUAN PRAKTIK KLINIS PENYAKIT DALAM
RSU MUHAMMADIYAH PONOROGO 2015-2016
INTOKSIKASI OPIAT
Pengertian Intoksikasi akibat penggunaan obat golongan opiat : morfin, petidin, heroin, opium,
pentazokain, kodein, loperamid, dekstrometorfan
Diagnosis Anamnesis : informasi mengenai seluruh obat yang digunakan, sisa obat yang ada Pemeriksaan Fisi : pupil miosis-pin point pupil, depresi napas, penurunan kesadaran, nadi lemah, hipotensi, tanda edema paru, needle track sign, sianosis, spasme saluran cerna dan bilier, kejang
Laboratorium : opiat urin positif atau kadar dalam darah tinggi
Diagnosis banding Intoksikasi obat sedatif : barbiturat, benzodiazepin, etanol
Pemeriksaan penunjang Opiat urin/darah, AGD, elektrolit, gula darah, rontgen toraks
Terapi A. Penanganan kegawatan : resusitasi A-B-C
(airway, breathing,circulation) dengan memperhatikan prinsip kewaspadaan universal. Bebaskan jalan napas, berikan oksigen sesuai kebutuhan, pemasangan infus dan pemberian cairan sesuai kebutuhan
B. Pemberian antidot nalokson 1. Tanpa hipoventilasi : dosis awal
diberikan 0.4 mg IV pelan – pelan atau diencerkan
2. Dengan hipoventilasi : dosis awal diberikan 1-2 mg IV pelan – pelan atau diencerkan
3. Bila tidak ada respon, diberikan nalokson 1-2 mg IV tiap 5 – 10 menit hingga timbul respons (perbaikan kesadaran, hilangnya depresi pernapasan, dilatasi pupil) atau telah mencapai dosis maksimal 10mg. Bila tetap tak ada respon, diagnosis intoksikasi opiat perlu dikaji ulang.
4. Efek nalokson berkurang dalam 20-40 menit dan pasien dapat jatuh kedalam keadaan overdosis kembali, sehingga perlu pemantauan ketat tanda vital, kesadaran dan perubahan pupil selama 24 jam. Untuk pencegahan dapat diberikan drip nalokson satu ampul dalam 500 ml D5% atau NaCl 0.9% diberikan dalam 4-6 jam
5. Simpan sampel urin untuk pemeriksaan opiat urin dan lakukan rontgen toraks 6. Pertimbangan pemasangan ETT bila :
pernapasan tak adekuat setelah pemberian nalokson yang optimal, oksigenasi kurang meski ventilasi cukup atau hipoventilasi menetap setelah 3 jam pemberian nalokson yang optimal 7. Pasien dipuasakan 6 jam untuk
menghindari aspirasi akibat spasme pilorik, bila diperlukan dapat dipasang NGT untuk mencegah aspirasi atau bilas lambung pada intoksikasi opiat oral 8. Activated charcoal dapat diberikan pada
intoksikasi peroral dengan memberikan 240 ml cairan dengan 30 gram charcoal, dapat diberikan sampai 100 gram
diazepam IV 5-10 mg dan dapat diulang bila perlu.
Pasien dirawat untuk penilaian keadaan klinis dan rencana rehabilitasi
Komplikasi Aspirasi, gagal napas, edema paru akut
PANDUAN PRAKTIK KLINIS PENYAKIT DALAM
RSU MUHAMMADIYAH PONOROGO 2015-2016
INTOKSIKASI ORGANOFOSFAT
Pengertian Intokskasi akibat zat yang mengandung organofosfat Diagnosis Anamnesis : riwayat minum/kontak dengan zat yang
mengandung organofosfat, muntah
Pemeriksaan Fisis : bradikardia, pupil miosis, penurunan kesadaran, tanda – tanda aspirasi
Laboratorium : pemeriksaan bahan muntah atau darah mengandung organofosfat
Diagnosis banding
-Pemeriksaan penunjang DPL. Elektrolit, rontgrn toraks, EKG, Pemeriksaan organofosfat
Terapi
- Bilas lambung melalui NGT - Atropinisasi
Komplikasi Gagal napas, blok AV
Prognosis Dubia
PANDUAN PRAKTIK KLINIS PENYAKIT DALAM
2015-2016 PENYAKIT GINJAL KRONIK
Pengertian Kriteria:
1. Kerusakan ginjal yang terjadi selama 3 bulan atau lebih, berupa kelainan struktur atau fungsi ginjal, dengan atau tanpa penurunan laju filtrasi glumerulus (LFG), berdasarkan :
- Kelainan patologik atau
- Petanda kerusakan ginjal, termasuk kelianan pada komposisi darah atau urin atau kelainan pada pemeriksaan pencitraan
2. LFG < 60 ml/menit/1.73 m² yang terjadi selama 3 bulan atau lebih, dengan atau tanpa kerusakan ginjal.
Diagnosis - Anamnesis : lemas, mual, muntah, sesak nafas, pucat, BAK berkurang
- Pemeriksaan Fisis : anamesis, kulit kering, edema tungkai atau palpebra, tanda bendungan paru - Laboratorium : gangguan fungsi ginjal Batasan dan Stadium Penyakit Kronik
LFG
(ml.menit/1,73 m²)
Dengan kerusakan Ginjal De n g a n h i p e r t e n Tanpa hipertensi
s i 90 1 1 0 - 89 2 2 0 - 59 3 3 5 - 29 4 4 < 15 (atau dialis is) 5 5 Diagnosis Banding
Gagal ginjal akut
Pemeriksaan
Penunjang DPL, ureum, kreatinin,UL, CCT ukur, elektrolit (Na, K, Cl, Ca, P, Mg),
Profil lipid, asam urat, gula darah, AGD, SI, TIBC, feritin serum, kormon PTH, albumin, globulin, USG ginjal, pemeriksaan imunologi, hemostasis lengkap, foto polos abdomen, renogram, foto thoraks, EKG, ekokardiografi,
biopsi ginjal, HbsAG, Anti HCV, anti HIV
Terapi Non farmakologis :
Pengaturan asupan protein :
- Pasien non dialisis 0.6-0.75 gram/kgBB ideal/hari sesuai dengan CCT dan toleransi pasien
- Pasien hemodialisis 1-1.2 gram/kgBB ideal/hari - Pasien peritoneal dialisis 1.3 gram/kgBB/hari Pengaturan asupan kalori : 3 kal/kg/BB ideal/hari
Pengaturan asupan lemak : 30 – 40 % dari kalori total dan mengandung jumlah yang sama antara asam lemak bebas jenuh dan tidak jenuh
Pengaturan asupan karbohidrat : 50 – 60% dari kalori total Garam (NaCl) : 2 – 3 gram/hari
Kalsium : 1400 – 1600 mg/hari
Fosfor : 5 – 10 mg/kgBB/hari. Pasien HD : 17 mg/hari Kalsium : 1400-1600 mg/hari
Besi : 10 – 18 mg/hari
Magnesium : 200-300 mg/hari Asam folat pasien HD : 5 mg
Air : jumlah urin 24 jam + 500 ml (insensible water loss) Pada CAPD air disesuaikan dengan jumlah dialisat yang keluar. Kenaikan berat badan di antara waktu HD < 5% BB kering
Farmakologis :
Kontrol tekanan darah :
- Penghambat ACE atau antagonis reseptor
angiotensin II evaluasi kreatinin dan kalium serum, bila terdapat peningkatan kreatinin > 35 % atau timbul hiperkalemi harus dihentikan.
- Penghambat kalsium - Diuretik
Pada pasien DM, kontrol gula darah hindari pemakaian metformin dan obat – obat sulfonilurea dengan masa kerja panjang. Target HbA1C untuk DM tipe 1 0.2 di atas nilai normal tertinggi, untuk DM tipe 2 adalah 6%
Koreksi anemia dengan target Hb 10 -12 g/dl
Kontrol hiperfosfatemi : kalsium karbonat atau kalsium asetat
Kontrol osteodistrofi renal : kalistriol
Koreksi asidosis metabolik dengan target HCO, 20 – 22 mEq/l
Koreksi hiperkalemi
Kontrol dislipidemia dengan target LDL<100 mg/dl, dianjurkan golonga statin
Terapi ginjal pengganti
Komplikasi Kardiovaskular, gangguan keseimbangan asam basa, cairan dan elektrolit, osteodistrofi renal, anemia
Prognosis Dubia
PANDUAN PRAKTIK KLINIS PENYAKIT DALAM
RSU MUHAMMADIYAH PONOROGO 2015-2016
INFEKSI SALURAN KEMIH
Pengertian Infeksi saluran kemih (ISK) adalah infeksi akibat terbentuknya koloni kuman di saluran kemih. Kuman mencapai saluran
kemih melalui cara hematogen dan asending
Faktor risik o
Kerusakan atau kelainan anatomi saluran kemih berupa obstruksi internal oleh jaringan parut, endapan obat intratubular, refluks, instrumentasi saluran kemih, konstriksi arteri- vena, hipertensi, analgetik, ginjal polikistik, kehamilan, DM atau pengaruh obat – obatan esterogen
ISK sederhana/ tak berkomplikasi
ISK yang terjadi pada perempuan yang tidak hamil dan tidak terdapat disfungsi struktural ataupun ginjal
ISK berkomplikasi :
ISK yang berlokasi selain di vesika urinaria. ISK pada anak – anak, laki – laki atau ibu hamil
Diagn
osis Anamnesis : ISK bawahh frekuensi, disuria terminal, polakisuria, nyeri suprapubik. ISK atas : nyeri pinggang, demam, menggigil, mual dan muntah, hematuria
Pemeriksaan fisis : febris, nyer tekan suprabubik, nyeri ketok sudut kostovertebra Laboratorium : lekositosis, lekosituria, kulturnurin (+) : bakteriuria > 105 ml urin
Diagnosis
banding ISK sederhana, ISK berkomplikasi Pemeriksaa
n penujang DPL, urinalisis, kultur urin dan tes resistensi kuman, tes fungsi ginjal, gula gdarah, foto BNO-IVP, USG Ginjal
Terapi Nonfamakologis
Banyak minum bila fungsi ginjal masih baik Menjaga
genitalia eksterna Farmakolo gis
Antimikroba berdasarkan pola kuman yang ada ; Bila hasil tes resistensi kuman sudah ada, pemberian antimikroba disesuaikan
Tabel 1.A Antimikroba pada ISK bawah tak berkomplikasi
Antimikroba Dosis Lama
ter api Trimetopri m – sulfamet oksazol 2 x 160/800 mg 3 hari Trimetopri m 2 x 100 mg 3 hari Siprofloksa sin 2 x 100-250 mg 3 hari Levofloksas in 2 x 250 mg 3 hari Sefiksim 1 x 400 mg 3 hari Sefpodoksi m proksetil 2 x 100 mg 3 hari Nitrofurant oin makrokri stal 4 x 50 mg 7 hari Nitrofurant oin monohid rat 2 x 100 mg 7 hari Makrokrista l Amoksisilin /klavulan at 2 x 500 mg 7 hri
Follow up selama 4 – 7 hari
Perempuan dengan keluhan disuria dan sering BAK
Pengobatan selama 3 hari Antimikrob a Dosis Lama terapi Sefepim 1 gram 12 ja m Siprofloksa sin 400 mg 12 ja m Levofloksas in 500 mg 24jam Ofloksasin 400 mg 12 ja m Gentamisin (+ampisi lin) 3-5mg/kgBB 24 ja m 1 mg/kgBB 8 jam Ampisilin (+genta misin) 1-2 gram 6 jam Tikarsilin – klavulan at 3,2 gram 8 jam Piperasilin – tazobakt am 3,375 gram 2-8 ja m Imipenem-silastatin 250-500 mg 6-8ja m ISK pada perempuan
Tak perlu lanjut
Observasi, pengobatan dengan analgetika Pengobatan untuk kuman klamidiasaluran kemihPengobatan diperpanjang Piuria tanpa bakteriuriaPiuria dengan atau tanpa bakteriuria Keduanya negatif
Tak bergejala Bergejala
Riwayat ISK berulang
Pengobatan 3 hari Gejala ISK
baru
ISK tak bergejala pada perempuan menopause tidak perlu pengobatan
ISK pada perempuan hamil tetap diberikan pengobatan meski tidak bergejala
Pengobaan untuk ISK pada laki – laki usia < 50 tahun harus diberikan selama 14 hari ; usia > 50 tahun pengobatan selama 4 – 6 minggu
Infeksi jamur kandida diberikan flukonazol 200-400 mg/hari selama 14 hari, bila infeksi terjadi pad pasien dengan kateter, kateter dicabut lalu dilakukan irigasi kandung kemih dengan amfoterisin selama 5 hari.
Follow up selama 4 – 7 hari
Calon untuk terpai jangka panjang dosis rendah Pengobatan berhasil
Pasien dengan reinfeksi berulang
Terapi jangka panjang : trimetoprim – sulfametoksaszol dosis rendah (40- 200mg) tiga kali seminggu setiap malam, fluorokuinolon dosis rendah, nitrofurantoin makrokristal 100 mg tiap malam. Lama pengobatan 6 bulan dan bilaperlu dapat diperpanjang 1 – 2 tahun lagi. Komplikasi Batu saluran kemih, obstruksi saluran kemih, sepsis, infeksi
kuman yang mutiresisten, gangguan fungsi ginjal
PANDUAN PRAKTIK KLINIS PENYAKIT DALAM
RSU MUHAMMADIYAH PONOROGO 2015-2016
DEHIDRASI
Pengertian Berkurangnya cairan tubuh total, dapat berupa hilangnya air lebih banyak dari natrium (dehidrasi hipertonik), atau hilangnya air dan natrium dalam jumlah yang sama (dehidrasi isotonik) atau hilangnya natrium leih banyak dari pada hilangnya air (dehidrasi hipotonik)
Diagnosis Riwayat asupan yang kurang atau hilangnya
cairan yang berlebihan melalui panas, keringat, takipnea, muntah atau diare, jumlah urin sedikit (< 30 cc/jam)
Pada pemeriksaan fisik terdapat gangguan kesadran, hipotensi dan jumlah urin sedikit Rasio ureum/kreatini < 25, umumnya kadar
natrium plasma > 145 mMol/L, BJ urin- dan osmolalitas serum > 290mOsm/L
Diagnosis banding
-Pemeriksaan penunjang
Ureum, kreatinin, kadar Natrium plasma, osmolaritas, CVP, BJ urin
Terapi Cairan kristaloid secukupnya. Pemberian harus hati – hati utnuk mencegah kelebihan cairan dan hiponatremia
Jumlah cairan yang dibutuhkan dapat dihitung dengan rumus :
o Defisit cairan : cairan tubuh total (TBW) yang diinginkan – TBW saat ini
o TBW yang diinginkan : kadar Na/140 x TBW saat ini
wanita 45% x berat badan
Pada dehidrasi rigan dapat diberikan terapi cairan per oral 1500 – 2500 ml/24 jam (30ml/kgBB/24jam) untuk kebutuhan dasar / pemeliharaan, ditambah penggantian defisit cairan dan kehilangan cairan yang masih berlangsung.
Menghiting kebutuhan cairan sehari, dilakukan tiap hari
Pada pasien dehidrasi yang memerlukan cairan infus dapat diberikan NaCl 0.9% atau dextrose 5% dengan kecepatan 25-30% dari jumlah cairan total perhari (termasuk kebutihan dasar + defisit) pada dehidrasi isotonik, sedangkan pada dehidrasi hipernatremik diberikan NaCl 0.9% dengan keceatan 45%
Komplikasi Gagal ginjal, delirium
PANDUAN PRAKTIK KLINIS PENYAKIT DALAM
RSU MUHAMMADIYAH PONOROGO 2015-2016
INSTABILITASI DAN JATUH
Batasan Ketidakmampuan seseorang untuk
mempertahankan pusat kekuatan antigrativikasi tubuh pada dasar penyangga tubuh (kaki, saat berdiri)
Kondisi ini sering merupakan keluhan utama yang menyebabkan pasien datang berobat (yaitu
keluhan utama dari penyakit – penyakit yang juga bisa mencetuskan sindrom delirium akut (acute confusional state)
Diagnosis Subyektif : terdapat keluhan seperti akan jatuh, disertai/tanpa dizziness, vertigo, rasa bergoyang, rasa tidak percaya diri untuk transfer atau mobilisasi mandiri atau terdapat riwayat ”jatuh”.
Obyektif : Terdapat faktor intrinsik dan ekstrinsik yang merupakan faktor risiko.
Faktor risiko intrinsik, antara lain : gangguan penglihatan, gangguan pendengaran spondilo-artrosis servikalis, gangguan alat keseimbangan, hiperagresasi trombosit, hiperkoagulasi, gagal jantung infark miokard, infeksi sitemik, DM dan/atau hipertensi (terutama jika tak
terkontrol), hemiparese atau monoparese inferior, gangguan metabolik, OA genu, plantar faccilitis, kelemahan quadriceps femoris, penyakit atau sindrom Parkinson, demensia, gangguan syaraf lain.
alas kaki, permukaan lantai/tanah yang tidak rata, alas kali yang tak sesuai, kain/pakaian bagian bawah tubuh yang terjuntai.
Diagnosis Banding
-Pemeriksaan Penunjang Diperlukan untuk membantu mengidentifikasi faktor risiko, menemukan penyebab/pencetus :
Elektrolit darah, terutama natrium dan kalium Analisis gas darah, foto toraks, foto vertebrae, foto
sendi terkait (genu, ankle), EKG
Ureum dan kreatinin darah, hemostase, agresgasi trombosit
Gula darah, urin lengkap, kultur urin (MoR) Lakukan pemeriksaan neurologis untuk
mendeteksi defisit neurologis fokal, adalah SVD atau TIA
Identifikasi faktor domisili (lingkungan tempat tinggal)
TERAPI
Identifikasi faktor risiko intrinsik dan ekstrinsik Terapi selanjutnya tergantung faktor risiko yang
ditemukan
Koreksi gangguan penglihatan dan atau pendengaran Latihan desensitasi faal keseimbangan
Anti agregasi trombosit : antikoagulan
Atasi infeksi sistemik : atasi gagal jantung; atasi infark miokard
Atasi artrosis sendi yang ada ; latihan peningkatan kekuatan otot
Rehabilitasi defisit neurologik yang ada Modifikasi lingkungan tempat tinggal
Komplikasi Fraktur femur, tangan, vertebra, memar jaringan lunak, isolasi dan depresi, imobilisasi
PANDUAN PRAKTIK KLINIS PENYAKIT DALAM
RSU MUHAMMADIYAH PONOROGO 2015-2016
INFEKSI HIV/AIDS
Batasan Pasien yang terbukti terinfeksi HIV dari pemeriksaan penunjang
Diagnosis Adanya faktor risiko penularan
Diagnosis HIV : tes ELISA 3 kali raktif dengan reagen yang berbeda
Stadium WHO : Stadium 1
Asimtomatik, limfadenopati generalisata Stadium 2
Berat badan turun < 10%
Manifestasi mukokutan minor (dermatitis seboroik, prurigo, infeksi jamur kuku, ulkus oral rekuren, cheilitis angularis)
Herpes zoster dalam 5 tahun terakhir Infeksi saluran napas atas rekuren Stadium 3
Berat badan turun > 10 %
Diare yang tidak diketahui penyebab > 1 bulan Demam berkepanjangan (intermitena atau
konstan). > 1 bulan Kandidiasis oral Oral hairy leucoplakia Tuberculosis paru
Infeksi bakteri berat (pneumonia, piomiositis) Stadium 4
HIV wasting syndrome
Toksoplasma serebral
Kriptosporidiosis dengan diare > 1 bulan Sitomegalovirus pada organ selain hati,
limpa atau kelenjar getah bening (misalnya renitis CMV)
Infeksi herpes simpleks, mukokutan (>1 bulan) atau visceral
Progressive multifocal leucoencephalopathy Mikosis endemic diseminata
Keandidiasis esophagus, trakea dan bronkus Mikobakteriosis atipik, diseminata atau paru Septikemia salmonella non-tifosa
Tuberkulosis ekstrapulmoner Limfoma
Sarkoma Kaposi Ensefalopati HIV Diagnosis Banding Penyakit imunodefisiensi primer Pemeriksaan Penunjang Anti HIV ELISA
Anti HIV Western Blot Antigen p-24
Hitung CD4
Jumlah virus HIV dengan RNA-PCR
Pemeriksaan penunjang untuk diagnosis infeksi oportunitik
TERAPI
Konseling Terapi suportif
Terapi infeksi oportunitikdan pencegahan infeksi oportunitik
Terapi antiretrovirus kombinasi, efek samping dan penanganannya
Terapi pasca paparan HIV (post-exposure prophylaxis)
Penatalaksanaan infeksi HIV pada kehamilan
Penatalaskanaan koinfeksi HIV dengan Hematitis C dan Hepatitis B
Komplikasi Infeksi oportunitik, kanker terkait HIV dan manifestasi HIV pada organ lain.
PANDUAN PRAKTIK KLINIS PENYAKIT DALAM
RSU MUHAMMADIYAH PONOROGO 2015-2016
RENJATAN ANAFILAKSIS
Batasan Keadaan gawat darurat yang ditandai dengan
(hipotensi) penurunan tekanan darah sistolik < 90 mmHg akibat respons hipersensitivitas tipe I (adanya reaksi antigen dengan antobodi Ig E)
DIAGNOSIS
Hipotensi, takikardia, akral dingin, oliguria yang dapat disertai gejala klinis lain berupa :
Reaksi sistemik ringan : rasa geli/gatal serta hangat, rasa penuh di mulut dan tenggorokan, hidung tersumbat dan terjadi edema disekitar mata, kulit gatal, mata berair, bersin – bersin, onset biasanya 2 jam setelah paparan antigen
Reaksi sistemik sedang : seperti reaksi sistemik ringan, ditambah spasme bronkus dan atau saluran edema saluran napas, sesak, batuk mengi, angiodema, urtikaria menyeluruh, mual muntah, gatal badan terasa hangat, gelisah, onset seperti reaksi anafilaksis ringan
Reaksi sistemik berat : terjadi mendadak, seperti reaksi sistemik ringan dan sedang yang bertambah berat. Spasme bronkus, edema laring, suara serak, stridor, sesak napas, sianosis, henti napas. Edema dan hipermotilitas saluran cerna sehingga sakit menelan, kejang perut, diare dan muntah. Kejang uterus, kejang umum. Gangguan kardiovaskuler, aritmia jantung, koma
Pemeriksaan banding Renjatan kardiogenik, renjatan hipovolemik
Pemeriksaan penunjang
Darah rutin, ureum, kreatinin, elektrolit, analisis gas darah, EKG
Terapi A. Untuk renjatan
1. Adrenalin larutan 1 : 1000, 0.3 – 0.5 ml subkutan/intramuskular pada lengan atas atau paha. Bila rejatan anafilaksis disebabkan sengatan serangga berikan suntikan
adrenalin kedua 0.1- 0.3ml pada tempat sengatan kecuali bila sengatan di kepala, leher, tangan dan kaki. Dapat dilanjutkan dengan infus adrenalin 1 ml (1mg) dalam dekstrosa 5% 250 cc dimulai dengan kecepatan 1 ug/menit dapat ditingkatkan sampai 4 ug/menit sesuai keadaan tekanan darah. Hati – hati pada orang tua dengan kelainan jantung atau gangguan kardiovaskular lainnya.
2. Pasang tourniqet proksimal dari suntikan atau sengatan serangga, dilonggarkan 1-2 menit setiap 10 menit
3. O2 bila sesak, mengi, sianosis 3-5 l/menit dengan sungkup atau kanul nasal
4. Antihistamin intravena, intramuskular atau oral Rawat ICU bila dengan tindakan diatas tidak membaik, dilanjutkan dengan terapi :
1. IVFD dekstrosa 5% dalam 0.45% NaCl 2-3 l.m2 permukaan tubuh
2. Dopamin 0.3 – 1.2 mg/kgBB/jam bila tekanan darah tidak membaik
3. Kortikosteroid 7-10 mg hidrokortison/kgBB intravena dilanjutkan 5 mg/kgBB tiap 6 jam, yang dihentikan setelah 72 jam
B. Bila disertai spasme bronkus maka dapat diberikan :
1. Agonis Inhalasi beta-2
mg/kgBB dilarutkan dalam NaCl 0.9% 10 ml diberikan perlahan – lahan dalam 20 menit , bila perlu dilanjutkan dengan infus aminofilin 0.2-1.2 mg/kgBB/jam C. Bila disertai edema hebat saluran napas atas : Intubasi dan trakeostomi D. Pemantauan paling sedikit 24 jam
Komplikasi Renjatan ireversibel, multi organ failure Prognosis
PANDUAN PRAKTIK KLINIS PENYAKIT DALAM
RSU MUHAMMADIYAH PONOROGO 2015-2016
DISPEPSIA
Batasan Dispepsia merupakan kumpulan gejala atau sindrom yang terdiri atas nyeri ulu hati, mual, kembung, muntah, rasa penuh atau cepat kenyang dan sendawa
Diagnosis Anamnesis terdapatnya kumpulan gejala tersebut diatas :
Diagnosis Banding
Penyakit refluks gastroesofageal Irritable Bowel Syndrome
Karsinoma saluran cerna bagian ata Kelainan pankreas dan kelainan hati
Pemeriksaan Penunjang Endoskopi saluran cerna bagian atas dan biopsi, pemeriksaan terhadap adanya infeksi Helicobacter pylori, pemeriksaan fungsi hati, amilase dan lipase, fosfatase alkali dan gamma GT, USG Abdomen
Terapi Suprtif; nutrisi
Pengobatan empirik selama 4 minggu Pengobatan berdasarkan etiologi
Komplikasi Tergantung etiologi dispepsia
PANDUAN PRAKTIK KLINIS PENYAKIT DALAM
RSU MUHAMMADIYAH PONOROGO 2015-2016
HEMATEMESIS MELENA
Pengertian Hematemesis adalah muntah darah berwarna hitam ter yang berasal dari saluran cerna bagian atas. Melena yaitu buang air besar berwarna hitam ter yang berasal dari saluran cerna bagian atas. Yang dimaksud dengan saluran cerna bagian atas adalah saluran cerna di atas (proksimal) ligamentum Treitz, mulai dari jejunum proksimal, duodenum, gaster dan esophagus
Diagnosis Muntah dan BAB darah warna hitam tersindrom sispepsia, bila ada riwayat makan obat NSAID, jamu pegal linu, alkohol yang menimbulkan erosi/ulkus peptikum, riwayat sakit kuning/hepatitis. Keadaan umum pasien sakit ringan sampai berat, dapat disertai gangguan kesadaran (prekoma/koma hepatikum), dapat terjadi syok hipovolemik
Diagnosis Banding Hemoptoe, hematoskezia
Pemeriksaan Penunjang Darah perifer lengkap, hemostasis lengkap atau masa perdarahan, masa pembekuan, masa protrombin, elektrolit (Na,K,Cl), pemeriksaan fungsi hati (cholinesterase, albumin/globulin, SGOT/SGPT, petanda hepatitis B dan C), endoskop SCBA diagnostik atau foto rontgen OMD, USG hati
Terapi Nonfarmakologis : tirah barang, puasa, diet hati/lambung, pasang NGT untuk dekompresi, pantau perdarahan
Transfusi darah PRC (sesuai perdarahan yang terjadi dan Hb). Pada kasus varises transfusi sampai Hb 10 gr%, pada kasus non varises transfusi samapai Hb 12 gr%
sementara menunggu darah dapat diberikan
pengganti plasma (misalnya dekstran/hemacel) atau NaCl 0.9 & atau RL
untuk penyebab nan varises:
injeksi antagonis reseptor H2 atau penghambat pompa proton
sitoprotektor : sukralfat 3-4 x 1 gram atau Teprenon 3 x 1 tab
antasida
injeksi vitamin K untuk pasien dengan penyakit hati kronis atau sirosis hati
untuk penyebab varises
somatostatin bolus 250 ug + drip mikro g/jam intraven atau ocreotide (sandostatin) 0.1 mg/2 jam. pemberian diberikan sampai perdarahan berhenti atau bila mampu diteruskan 3 hari setelah skleroterapi/ligasi varises esophagus
propanolol, dimulai dosis 2 x 10 mg dosis dapat ditingkatkan sampai tekanan diastolic turun 20 mmHg atau denyut nadi turun 20 % (setelah keadaan stabil hematermesis melena (-)
isosorbid dinitrat/mononitrat 2 x 1 tablet/hari setelah KU stabil
Metoklorpramid 3 x 10 mg/hari
bila ada gangguan hemostasis obati sesuai keadaan pada pasien dengan pecah varises/penyakit hari
kronik/sirosis hari diberikan: laktulosa 4 x 1 sendok makan neomisin 4 x 500 mg
obat ini diberikan sampai tinja normal
prosedur bedah dilakukan sebagai tindakan emergensi atau elektif. bedah emergensi di indikasikan bila pasien masuk dalam keadaan gawat I-II
Komplikasi Syok hipovelemik, asirasi pneumonia, gagal ginjal akut, sindrom hepatorenal, koma hepatikum, amenia karena perdarahan
Prognosis Dubia
PANDUAN PRAKTIK KLINIS PENYAKIT DALAM
RSU MUHAMMADIYAH PONOROGO 2015-2016
SIROSIS HATI
adanya nekrosis, pembentukan jaringan ikat disertai modul
Diagnosis Pemeriksaan fisik : stigmata sirosis (palmar eritema, spider nevi) vena kolateral dinding perut, ikterus, edema pretibial, asites, splenomegali
Laboratorium : rasio albumin dan globulin terbalik
Pemeriksaan Penunjang
Laboratorium darah (DPL, SGOT, SGPT, ALT, albumin, CHE, PT, seromarker hepatitis), USG, biopsy hari, analisis cairan asites
Terapi Istirahat cukup
Diet seimbang (tergantung kondisi klinis) Roboransia
Mengatasi penyulit
Komplikasi Hipertensi portal, SBPhematemesis melena, sindrom hepatorenal, gangguan hemastasis, ensefalopati hepatikum