• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengantar Hukum Pidana

N/A
N/A
24-077-Piere Betrand Mangatasi Sitompul

Academic year: 2025

Membagikan "Pengantar Hukum Pidana"

Copied!
28
0
0

Teks penuh

(1)

MAKALAH PENGANTAR HUKUM PIDANA

Makalah ini disusun sebagai pemenuhan tugas yang diberikan oleh dosen pengampu mata kuliah Hukum Pidana

DOSEN PENGAMPU: Prof. Dr. Alvi Syahrin SH., MS Dr. Abdul Aziz Alsa SH.MH

Disusun Oleh:

Piere Betrand Mangatasi Sitompul 240200077

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 2025

(2)

KATA PENGANTAR

Puji syukur saya panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas rahmat dan karunia-Nya, makalah ini dapat diselesaikan tepat waktu. Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas presentasi pada mata kulia Hukum Pidana dengan pembahasan mengenai Pengantar Hukum Pidana.

Hukum pidana merupakan salah satu pilar utama dalam sistem hukum suatu negara, yang berfungsi untuk menjaga ketertiban, keadilan, dan keamanan masyarakat. Pemahaman yang mendalam dan komprehensif mengenai dasar hukum pidana menjadi esensial bagi setiap individu, terkhusus kepada mahasiswa yang menggeluti ilmu hukum, untuk dapat menganalisis berbagai persoalan pidana dan berkontribusi dalam penegakan hukum.

Saya mengucapkan terima kasih kepada dosen pengampu mata kuliah ini yaitu Prof. Dr. Alvi Syahrin SH., MS dan Dr. Abdul Aziz Alsa SH.MH, yang telah memberikan arahannya selama proses penulisan makalah ini. Saya menyadari bahwa makalah ini masih memiliki kekurangan, baik dari segi isi maupun penyajian. Oleh karena itu, kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca demi perbaikan di masa mendatang. Semoga makalah ini dapat memberikan manfaat bagi semua pembaca.

Medan, 31 Mei 2025 Piere Betrand Mangatasi Sitompul

(3)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...ii

DAFTAR ISI...iii

BAB I... 1

1.1 Latar Belakang... 1

1.2 Rumusan Masalah...2

1.3 Tujuan Makalah...2

BAB II...3

2.1 Hukum Pidana...3

2.2 Tindak Pidana... 4

2.3 Pertanggungjawaban Pidana...6

2.4 Doktrin Hukum Pidana... 11

2.5 KUHP Nasional 2023 melalui UU No. 1 Tahun 2023 tentang KUHP...13

LAMPIRAN BAGAN...21

DAFTAR PUSTAKA...22

(4)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Hukum pidana merupakan salah satu pilar utama dalam sistem hukum suatu negara, yang bertujuan untuk menjaga ketertiban, keamanan, dan keadilan dalam masyarakat.

Keberadaannya esensial untuk mengatur perilaku individu, menetapkan batasan-batasan yang tidak boleh dilanggar, serta memberikan sanksi bagi mereka yang melanggar norma- norma hukum yang telah ditetapkan. Tanpa hukum pidana, masyarakat akan terjebak dalam anarki dan kekacauan, di mana hak-hak individu rentan terinjak-injak dan kejahatan merajalela tanpa ada konsekuensi yang berarti.

Sejarah perkembangan hukum pidana menunjukkan adanya evolusi yang kompleks, dimulai dari praktik-praktik pembalasan pribadi atau lex talionis (mata ganti mata) pada masyarakat primitif, hingga menjadi sistem yang lebih terstruktur dan rasional seperti yang kita kenal sekarang. Perkembangan ini tidak hanya dipengaruhi oleh perubahan sosial dan politik, tetapi juga oleh pemikiran filosofis tentang keadilan, moralitas, dan peran negara dalam menghukum warganya. Di Indonesia, hukum pidana modern tidak dapat dilepaskan dari warisan kolonial Belanda, dengan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) sebagai landasan utamanya. Sejak awal berdirinya Republik Indonesia, Undang-undang Nomor 1 Tahun 1946 yang disahkan pada 26 Februari 1946 telah menjadi landasan hukum pidana kita. Namun, seiring berjalannya waktu dan pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, serta pola kejahatan, hukum pidana yang ada dirasa perlu diperbarui.

Pembaharuan ini bertujuan untuk menciptakan sistem penegakan hukum yang lebih adil dan efektif dalam menanggulangi kejahatan. Dengan merumuskan beragam tindak pidana baru, diharapkan potensi kejahatan dapat ditekan. Lebih jauh lagi, pembaharuan hukum pidana ini juga berupaya menegakkan konsistensi, keadilan, kebenaran, ketertiban, dan kepastian hukum. Tentunya, semua ini harus dilakukan dengan mempertimbangkan keseimbangan antara kepentingan nasional, masyarakat, dan individu, serta tetap berlandaskan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum

(5)

Pidana (KUHP 2023) yang baru disahkan, berfokus pada tiga isu utama dalam hukum pidana. Ketiga isu ini, yaitu tindak pidana, pertanggungjawaban pidana, serta pidana dan pemidanaan, merupakan pilar penting yang membentuk keseluruhan sistem pemidanaan.

Mengingat kompleksitas dan signifikansinya, pengantar hukum pidana menjadi sangat penting bagi siapa pun yang ingin memahami cara kerja sistem hukum, peran negara dalam menjaga ketertiban, serta hak dan kewajiban warga negara. Makalah ini akan memberikan tinjauan komprehensif mengenai prinsip-prinsip dasar hukum pidana, konsep-konsep kunci, dan relevansinya dalam konteks masyarakat modern.

1.2 Rumusan Masalah

Adapun rumusan masalah yang terkandung di dalam makalah ini yakni:

1. Bagaimana perkembangan dan filosofi dasar hukum pidana di Indonesia mempengaruhi penerapannya dalam sistem hukum kontemporer?

2. Apa saja prinsip-prinsip utama yang menjadi landasan sistem hukum pidana di Indonesia?

3. Bagaimana Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang KUHP merepresentasikan upaya pembaharuan hukum pidana dan dampaknya terhadap penegakan hukum di Indonesia?

1.3 Tujuan Makalah

Tujuan disusunnya makalah ini adalah sebagai berikut:

1. Menganalisis perkembangan dan filosofi dasar hukum pidana di Indonesia serta relevansinya dalam sistem hukum kontemporer.

2. Mengidentifikasi dan menjelaskan prinsip-prinsip utama yang menjadi landasan sistem hukum pidana di Indonesia.

3. Menjelaskan bagaimana Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang KUHP merepresentasikan upaya pembaharuan hukum pidana dan menganalisis dampaknya terhadap penegakan hukum di Indonesia.

(6)

BAB II

KERANGKA TEORI

2.1 Hukum Pidana

Hukum pidana merupakan kumpulan peraturan atau perundang-undangan yang bersifat mengatur atau larangan serta memiliki sanksi yang tegas. Adapun Pengertian hukum pidana menurut beberapa para ahli hukum atau sarjana hukum memiliki berbagai pendapat. Pengertian hukum pidana secara tradisional mengatakan bahwa hukum pidana adalah hukum yang memuat peraturanperaturan yang memuat keharusan dan larangan serta bagi pelangarnya akan mendapatkan sanksi berupa hukuman siksaan badan. Pengertian lain tentang hukum pidana adalah hukum yang mengatur tentang pidana.1

Adapun pengertian hukum pidana Menurut W.F.C. Van Hattum dalam Lamintang menjelaskan Hukum pidana adalah suatu keseluruhan dari asas-asas dan peraturan-peraturan yang diikuti oleh negara atau suatu masyarakat hukum umum lainnya, dimana mereka itu sebagai pemelihara dari ketertiban hukum umum telah melarang dilakukannya tindakantindakan yang bersifat melanggar hukum dan telah mengaitkan pelanggaran terhadap peraturan-peraturannya dengan suatu penderitaan yang bersifat khusus berupa hukuman.2

Hazewinkel-Suringa dalam Andi Hamzah mengatakan Hukum pidana adalah sejumlah peraturan hukum yang mengandung larangan dan perintah atau keharusan yang terhadap pelanggarannya diancam dengan pidana (sanksi hukum) bagi barang siapa yang membuatnya.3 Moeljatno menjelaskan hukum pidana adalah bagian daripada keseluruhan hukum yang berlaku di suatu negara, yang mengadakan dasar-dasar dan aturan-aturan untuk:

1. Menentukan perbuatan-perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan, yang dilarang, dengan disertai ancaman atau sanksi yang berupa pidana tertentu bagi barang siapa melanggar larangan tersebut;

2. Menentukan kapan dan dalam hal-hal apa kepada mereka yang telah melanggar larangan-larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhi pidana sebagaimana yang telah diancamkan;

1 Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana, Jakarta. PT Raja Grafindo persada, 2011, Hlm. 7

2 P.A.F. Lamintang, Op.Cit., hal. 2.

3 Andi Hamzah, Asas-asas Hukum Pidana, (Rineka Cipta, Jakarta, 1991), hal. 4.

(7)

3. Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat dilaksanakan apabila ada orang yang disangka telah melanggar larangan tersebut.4

Adami Chazawi mengatakan hukum pidana itu adalah bagian dari hukum publik yang memuat/berisi ketentuan-ketentuan tentang:

1. Aturan umum hukum pidana dan (yang dikaitkan/berhubungan dengan) larangan melakukan perbuatan-perbuatan (aktif/positif maupun pasif/negatif) tertentu yang disertai dengan ancaman sanksi berupa pidana (straf) bagi yang melanggar larangan itu.

2. Syarat-syarat tertentu (kapankah) yang harus dipenuhi/harus ada bagi si pelanggar untuk dapat dijatuhkannya sanksi pidana yang diancamkan pada larangan perbuatan yang dilanggarnya.

3. Tindakan dan upaya-upaya yang boleh atau harus dilakukan negara melalui alat-alat perlengkapannya (misalnya Polisi, Jaksa, Hakim), terhadap yang disangka dan didakwa sebagai pelanggar hukum pidana dalam rangka usaha negara menentukan, menja-tuhkan dan melaksanakan sanksi pidana terhadap dirinya, serta tindakan dan upaya-upaya yang boleh dan harus dilakukan oleh tersangka/terdakwa pelanggar hukum tersebut dalam usaha melindungi dan mempertahankan hak-haknya dari tindakan negara dalam upaya negara menegakkan hukum pidana tersebut.5

2.2 Tindak Pidana

Tindak pidana merupakan pengertian dasar dalam hukum pidana. Tindak pidana merupakan suatu pengertian yuridis, lain halnya dengan istilah perbuatan jahat atau kejahatan. Secara yuridis formal, tindak kejahatan merupakan bentuk tingkah laku yang melanggar Undang- Undang pidana. Oleh sebab itu setiap perbuatan yang dilarang oleh Undang-Undang harus dihindari dan barang siapa melanggarnya maka akan dikenakan pidana. Jadi larangan-larangan dan kewajiban-kewajiban tertentu yang harus ditaati oleh setiap warga Negara wajib dicantumkan dalam Undang-Undang maupun peraturan-peraturan pemerintah, baik di tingkat pusat maupun daerah.6

4 Moeljatno, Azas-Azas Hukum Pidana, (Erlangga, Jakarta, 2001), hal. 1

5 Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana Bagian I, (PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2002), hal. 2.

6 Lamintang, 1996, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Citra Adityta Bakti, Bandung, hal.7

(8)

Tindak pidana adalah kelakuan manusia yang dirumuskan dalam Undang-Undang, melawan hukum, yang patut dipidana dan dilakukan dengan kesalahan. Orang yang melakukan perbuatan pidana akan mempertanggungjawabkan perbuatan dengan pidana apabila ia mempunyai kesalahan, seseorang mempunyai kesalahan apabila pada waktu melakukan perbuatan dilihat dari segi masyarakat menunjukan pandangan normatif mengenai kesalahan yang dilakukan.7

Tindak pidana adalah perbuatan melakukan atau tidak melakukan sesuatu yang memiliki unsur kesalahan sebagai perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana, di mana penjatuhan pidana terhadap pelaku adalah demi terpeliharanya tertib hukum dan terjaminnya kepentingan umum.8

7 Andi Hamzah, 2001, Bunga Rampai Hukum Pidana dan Acara Pidana, Ghalia Indonesia, Jakarta, 2001, hal. 22

8 P.A.F. Lamintang, Op. Cit, hal.16

(9)

2.3 Pertanggungjawaban Pidana

Menurut Roeslan Saleh, pertanggungjawaban pidana yakni bertanggungjawab atas suatu perbuatan pidana berarti yang bersangkutan secara sah dapat dikenai pidana karena perbuatan itu. Pidana itu dapat dikenakan secara sah berarti untuk tindakan itu telah adanya aturannya dalam suatu sistem hukum, tertentu dan sistem hukum itu berlaku atas perbuatan itu.9

Pertanggungjawaban pidana berdasarkan Pasal 37 KUHP 202310 ditentukan, bahwa: [a.] Setiap orang dapat dipidana semata mata karena telah dipenuhinya unsur-unsur Tindak Pidana tanpa memperhatikan adanya kesalahan (asas pertanggungjawaban mutlak-strict liability), atau [b]

Setiap orang dapat dimintai pertanggung-jawaban atas Tindak Pidana yang dilakukan oleh orang lain (asas pertanggungjawaban pengganti-vicarious liability). Menurut doktrin strict liability (pertanggungjawaban ketat), seseorang sudah dapat dipertanggungjawabkan untuk tindak pidana tertentu walaupun pada diri orang itu tanpa perlu membuktikan kesalahannya (mens rea), namun cukup dibuktikan bahwa telah dipenuhinya unsur-unsur Tindak Pidana dari perbuatannya. Strict liability diartikan sebagai liability without fault (pertanggungjawaban pidana tanpa perlu lagi dibuktikan kesalahannya), menurut common law, berlaku terhadap tiga macam tindak pidana, yakni: [a] Public nuisance (gangguan terhadap ketertiban umum, menghalangi jalan raya, mengeluarkan bau tidak enak). [b] Criminal libel (fitnah, pencemaran nama), dan [c] Contempt of court (pelanggaran tata tertib pengadilan). Namun, kebanyakan strict liability terdapat pada delik-delik yang diatur dalam Undang-undang (statutory offences;

regulatory offences; mala prohibita) yang pada umumnya merupakan delik-delik terhadap kesejahteraan umum (public welfare offences). Termasuk regulatory offences misalnya, penjualan makanan dan minuman atau obat-obatan yang membahayakan, penggunaan gambar dagang yang menyesatkan, dan pelanggaran lalu lintas. Vicarious liability yaitu suatu pertanggungjawaban pidana yang dibebankan kepada seseorang atas perbuatan orang lain (the legal responsibility of one person for the wrongful acts of another). Pertanggungjawaban ini

9 Ibid.

10 Pasal 37 KUHP-2023, berbunyi: Dalam hal ditentukan oleh Undang-undang, Setiap Orang dapat: a.

Dipidana semata-mata karena telah dipenuhinya unsur-unsur Tindak Pidana tanpa memperhatikan adanya kesalahan; atau b. Dimintai pertanggungjawaban atas Tindak Pidana yang dilakukan oleh orang lain. Penjelasan Pasal 37 KUHP-2023, menjelaskan: Ketentuan ini ditujukan bagi Tindak Pidana yang mengandung asas pertanggungjawaban mutlak (strict liability) atau pertanggungjawaban pengganti (vicarious liability) yang dinyatakan secara tegas oleh Undang-undang yang bersangkutan. Huruf a Ketentuan ini mengandung asas pertanggungjawaban mutlak (strict liability) yang menentukan bahwa pelaku Tindak Pidana telah dapat dipidana hanya karena telah dipenuhinya unsur-unsur Tindak Pidana dari perbuatannya. Huruf b Ketentuan ini

mengandung asas pertanggungjawaban pengganti (vicarious liability) yang menentukan bahwa Setiap Orang bertanggung jawab atas perbuatan yang dilakukan oleh orang lain yang melakukan pekerjaan atau perbuatan untuknya atau dalam batas perintahnya, misalnya pimpinan perusahaan yang bertanggung jawab atas perbuatan bawahannya.

(10)

terjadi dalam hal perbuatan yang dilakukan oleh orang lain, misalnya yang terjadi dalam ruang lingkup pekerjaan atau jabatan. Vicarious liability ini umumnya terbatas pada kasus kasus yang menyangkut hubungan antara majikan dengan buruh, pembantu atau bawahannya. Dalam pengertian vicarious liability, walaupun seseorang tidak melakukan sendiri suatu tindak pidana dan tidak mempunyai kesalahan dalam arti yang biasa, ia masih dapat dimintai pertanggungjawaban pidana. Dalam hukum pidana Inggris vicarious liability ini hanya berlaku terhadap jenis tindak pidana tertentu, yaitu: [a] delik-delik yang mensyaratkan kualitas; [b]

delik-delik yang mensyaratkan adanya hubungan antara buruh dan majikan.

Selanjutnya, terkait pelaku tindak pidana yang menyandang disabilitas mental dan/atau disabilitas intelektual berdasarkan Pasal 38 KUHP-202311 dapat dikurangi pidananya dan/atau dikenai tindakan. Penyandang “disabilitas mental” adalah terganggunya fungsi pikir, emosi, dan perilaku, antara lain: [a] Psikososial, antara lain, skizofrenia, bipolar, depresi, anxiety, dan gangguan kepribadian; dan [b] Disabilitas perkembangan yang berpengaruh pada kemampuan interaksi sosial, antara lain, autis dan hiperaktif. Sedangkan, “disabilitas intelektual” adalah terganggunya fungsi pikir karena tingkat kecerdasan di bawah rata-rata, antara lain, lambat belajar, disabilitas grahita, dan down syndrome. Pelaku Tindak Pidana yang menyandang disabilitas mental dan/atau disabilitas intelektual dinilai kurang mampu untuk menginsafi tentang sifat melawan hukum dari perbuatan yang dilakukan atau untuk berbuat berdasarkan keinsafan yang dapat dipidana.

Kemudian, terhadap pelaku yang pada waktu melakukan Tindak Pidana menyandang disabilitas mental yang dalam keadaan kekambuhan akut dan disertai gambaran psikotik

11 Pasal 38 KUHP-2023, berbunyi: Setiap Orang yang pada waktu melakukan Tindak Pidana menyandang

disabilitas mental dan/atau disabilitas intelektual dapat dikurangi pidananya dan/atau dikenai tindakan.

Penjelasan Pasal 38 KUHP-2023, menjelaskan: Yang dimaksud dengan “disabilitas mental” adalah terganggunya fungsi pikir, emosi, dan perilaku, antara lain: a. Psikososial, antara lain, skizofrenia, bipolar, depresi, anxiety, dan gangguan kepribadian; dan b. Disabilitas perkembangan yang berpengaruh pada kemampuan interaksi sosial, antara lain, autis dan hiperaktif. Yang dimaksud dengan “disabilitas intelektual”

adalah terganggunya fungsi pikir karena tingkat kecerdasan di bawah rata-rata, antara lain, lambat belajar, disabilitas grahita, dan down syndrome. Pelaku Tindak Pidana yang menyandang disabilitas mental dan/atau disabilitas intelektual dinilai kurang mampu untuk menginsafi tentang sifat melawan hukum dari perbuatan yang dilakukan atau untuk berbuat berdasarkan keinsafan yang dapat dipidana.

(11)

dan/atau disabilitas intelektual derajat sedang atau berat berdasarkan Pasal 39 KUHP-2023,12tid ak dapat dijatuhi pidana, tetapi dapat dikenai tindakan.

KUHP-2023, mengatur tentang alasan pemaaf terhadap pelaku tindak pidana, sebagaimana diatur dalam Pasal 40 KUHP-2023 sampai dengan Pasal 44 KUHP-2023, yakni terhadap:

1. Anak yang melakukan tindak pidana belum berumur 12 tahun.

2. Yang melakukan Tindak Pidana karena dipaksa oleh kekuatan yang tidak dapat ditahan.

3. Yang melakukan Tindak Pidana karena dipaksa oleh adanya ancarnan, tekanan, atau kekuatan yang tidak dapat dihindari;

4. Yang melakukan Tindak Pidana karena pembelaan terpaksa yang melampaui batas yang langsung disebabkan keguncangan jiwa yang hebat karena serangan atau ancaman serangan seketika yang melawan hukum.

5. Yang melakukan Tindak Pidana karena Perintah jabatan yang diberikan tanpa wewenang tidak mengakibatkan hapusnya pidana, kecuali jika orang yang diperintahkan dengan iktikad baik mengira bahwa perintah tersebut diberikan dengan wewenang dan pelaksanaannya, termasuk dalam lingkup pekerjaannya.

Anak yang belum berumur 12 (dua belas) tahun melakukan tindak pidana, berdasarkan Pasal 40 KUHP-202313 tidak dapat dimintai pertanggungjawaban pidana. Ketentuan Pasal 40 KUHP 2023 ini mengatur tentang batas umur minimum untuk dapat dipertanggungjawabkan secara pidana bagi anak yang melakukan Tindak Pidana.

Penentuan batas umur 12 (dua belas) tahun didasarkan pada pertimbangan psikologis yaitu kematangan emosional, intelektual, dan mental anak. Anak di bawah umur 12 (dua belas) tahun tidak dapat dipertanggungjawabkan secara pidana dan karena itu penanganan

12 Pasal 39 KUHP-2023, berbunyi: Setiap Orang yang pada waktu melakukan Tindak Pidana menyandang

disabilitas mental yang dalam keadaan kekambuhan akut dan disertai gambaran psikotik dan/atau disabilitas intelektual derajat sedang atau berat tidak dapat dijatuhi pidana, tetapi dapat dikenai tindakan. Penjelasan Pasal 39 KUHP-2023, menjelaskan: Dalam ketentuan ini, penyandang disabilitas mental yang dalam keadaan kekambuhan akut dan disertai gambaran psikotik dan/atau penyandang disabilitas intelektual derajat sedang atau berat, tidak mampu bertanggung jawab. Untuk dapat menjelaskan tidak mampu bertanggung jawab dari segi medis, perlu dihadirkan ahli sehingga pelaku Tindak Pidana dipandang atau dinilai sebagai tidak mampu bertanggung jawab.

13 Pasal 40 KUHP-2023, berbunyi: Pertanggungjawaban pidana tidak dapat dikenakan terhadap anak yang pada

waktu melakukan Tindak Pidana belum berumur 12 (dua belas) tahun. Penjelasan Pasal 40 KUHP-2023, menjelaskan: Ketentuan ini mengatur tentang batas umur minimum untuk dapat dipertanggungjawabkan secara pidana bagi anak yang melakukan Tindak Pidana. Penentuan batas umur 12 (dua belas) tahun didasarkan pada pertimbangan psikologis yaitu kematangan emosional, intelektual, dan mental anak. Anak di bawah umur 12 (dua belas) tahun tidak dapat dipertanggungjawabkan secara pidana dan karena itu penanganan perkaranya dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang undangan yang mengatur mengenai sistem peradilan pidana anak.

(12)

perkaranya dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai sistem peradilan pidana anak. Anak yang berusia di bawah umur 12 tahun melakukan tindak pidana, menjadi alasan pemaaf terhadap tindak pidana yang dilakukannya, sebab anak tersebut belum memiliki kematangan emosional, intelektual.

Terhadap anak yang belum berusia 12 (dua belas) tahun yang melakukan tindak pidana, berdasarkan Pasal 41 KUHP 202314 maka penyidik, pembimbing kemasyarakatan, dan pekerja sosial profesional mengambil keputusan terhadap anak tersebut untuk: [a]

Menyerahkan kembali kepada Orang Tua/ wali; atau [b] Mengikutsertakan dalam program pendidikan, pembinaan, dan pembimbingan di instansi pemerintah atau lembaga penyelenggaraan kesejahteraan sosial di instansi yang menangani bidang kesejahteraan sosial, baik pada tingkat pusat maupun daerah, paling lama 6 (enam) Bulan. Terkait dengan mengikutsertakan dalam program pendidikan, pembinaan, dan pembimbingan dalam ketentuan ini termasuk rehabilitasi sosial dan rehabilitasi psikososial, anak yang masih sekolah tetap dapat mengikuti pendidikan formal, baik yang diselenggarakan oleh instansi pemerintah maupun swasta. Dalam pelaksanaan program pendidikan, pembinaan, dan pembimbingan tersebut dapat melibatkan dinas pendidikan, dinas sosial, pembimbing kemasya rakatan, lembaga pendidikan, dan lembaga penyelenggaraan kesejahteraan sosial.

Ketentuan Pasal 42 KUHP-202315 mengatur tentang alasan pemaaf sehingga pelaku yang melakukan tindak pidana tidak dipidana, karena adanya daya paksa. Daya paksa tersebut dapat

14 Pasal 41KUHP-2023, berbunyi: Dalam hal anak yang belum berumur 12 (dua belas) tahun melakukan atau

diduga melakukan Tindak Pidana, penyidik, pembimbing kemasyarakatan, dan pekerja sosial profesional mengambil keputusan untuk: a. menyerahkan kembali kepada Orang Tua/wali; atau b. mengikutsertakan dalam program pendidikan, pembinaan, dan pembimbingan di instansi pemerintah atau lembaga penyelenggaraan kesejahteraan sosial di instansi yang menangani bidang kesejahteraan sosial, baik pada tingkat pusat maupun daerah, paling lama 6 (enam) Bulan.

15 Pasal 42 KUHP-2023, berbunyi: Setiap Orang yang melakukan Tindak Pidana tidak dipidana karena: a.

Dipaksa oleh kekuatan yang tidak dapat ditahan; atau b. Dipaksa oleh adanya ancaman, tekanan, atau kekuatan yang tidak dapat dihindari. Penjelasan Pasal 42 KUHP-2023, menjelaskan: Ketentuan ini berkenaan dengan daya paksa yang dibagi menjadi paksaan mutlak dan paksaan relatif. Huruf a Yang dimaksud dengan “dipaksa oleh kekuatan yang tidak dapat ditahan” atau paksaan mutlak adalah keadaan yang menyebabkan pelaku tidak mempunyai pilihan lain, kecuali melakukan perbuatan tersebut. Karena keadaan yang ada pada diri pelaku maka tidak mungkin baginya untuk menolak atau memilih ketika melakukan perbuatan tersebut. Huruf b Yang dimaksud dengan “dipaksa oleh adanya ancaman, tekanan atau kekuatan yang tidak dapat dihindari” atau paksaan relatif adalah: 1. Ancaman, tekanan, atau kekuatan tersebut menurut akal sehat tidak dapat diharapkan bahwa ia dapat mengadakan perlawanan; dan 2. 2Apabila kepentingan yang dikorbankan seimbang atau sedikit lebih dari pada kepentingan yang diselamatkan. Tekanan kejiwaan dari luar merupakan syarat utama. Mungkin pula seseorang mengalami tekanan kejiwaan, tetapi bukan karena sesuatu yang datang dari luar, melainkan karena keberatan yang didasarkan kepada pertimbangan pikirannya sendiri. Hal yang demikian tidak merupakan alasan pemaaf yang dapat menghapuskan pidananya.

(13)

berupa: [a] “dipaksa oleh kekuatan yang tidak dapat ditahan” atau paksaan mutlak, dan [b]

“dipaksa oleh adanya ancaman, tekanan atau kekuatan yang tidak dapat dihindari” atau paksaan relatif. Daya paksa mutlak yakni berupa keadaan yang menyebabkan pelaku tidak mempunyai pilihan lain, kecuali melakukan perbuatan tersebut, oleh karena keadaan yang ada pada diri pelaku tersebut, tidak mungkinkan baginya untuk menolak atau memilih ketika melakukan perbuatannya. Selanjutnya, daya paksa relatif yakni “dipaksa oleh adanya ancaman, tekanan atau kekuatan yang tidak dapat dihindari” dapat berupa: [a] Ancaman, tekanan, atau kekuatan tersebut menurut akal sehat tidak dapat diharapkan bahwa ia dapat mengadakan perlawanan;

dan [b] Apabila kepentingan yang dikorbankan seimbang atau sedikit lebih dari pada kepentingan yang diselamatkan. Tekanan tersebut merupakan tekanan kejiwaan dari luar, dan ini merupakan syarat utama. Terhadap seseorang mengalami tekanan kejiwaan, tetapi bukan karena sesuatu yang datang dari luar, melainkan karena keberatan yang didasarkan kepada pertimbangan pikirannya sendiri, tidak merupakan alasan pemaaf yang dapat menghapuskan pidananya. Melakukan tindak pidana dalam rangka melakukan pembelaan terpaksa yang melampaui batas yang langsung disebabkan keguncangan jiwa yang hebat karena serangan atau ancaman serangan seketika yang melawan hukum, juga merupakan alasan pemaaf, sebagaimana diatur dalam Pasal 43 KUHP-202316 Pembelaan terpaksa yang melampaui batas tersebut, dengan syarat bahwa: [a] Pembelaan melampaui batas atau tidak proporsional dengan serangan atau ancaman serangan seketika; dan [b] Yang disebabkan oleh keguncangan jiwa yang hebat karena adanya serangan atau ancaman serangan seketika. Alasan pemaaf juga terdapat dalam melakukan tindak pidana dalam rangka melaksanakan Perintah jabatan yang diberikan tanpa wewenang, sebagaimana di atur dalam Pasal 43 KUHP-202317 tidak mengakibatkan hapusnya pidana, kecuali jika orang yang diperintahkan tersebut dengan iktikad baik mengira bahwa perintah yang diberikan itu dengan wewenang dan pelaksanaannya, termasuk dalam lingkup pekerjaannya. Dengan demikian, melakukan tindak pidana dalam rangka melaksanakan Perintah jabatan yang diberikan tanpa wewenang menjadi alasan pemaaf, jika pelaku yang diperintahkan itu mengira bahwa hal tersebut merupakan

16 Pasal 43 KUHP-2023, berbunyi: Setiap Orang yang melakukan pembelaan terpaksa yang melampaui batas

yang langsung disebabkan keguncangan jiwa yang hebat karena serangan atau ancaman serangan seketika yang melawan hukum, tidak dipidana. Penjelasan Pasal 43 KUHP-2023, menjelaskan: Ketentuan ini mengatur pembelaan terpaksa yang melampaui batas, dengan syarat: a. Pembelaan melampaui batas atau tidak

proporsional dengan serangan atau ancaman serangan seketika; dan b. Yang disebabkan oleh keguncangan jiwa yang hebat karena adanya serangan atau ancaman serangan seketika.

17 Pasal 44 KUHP-2023, berbunyi: Perintah jabatan yang diberikan tanpa wewenang tidak mengakibatkan

hapusnya pidana, kecuali jika orang yang diperintahkan dengan iktikad baik mengira bahwa perintah tersebut diberikan dengan wewenang dan pelaksanaannya, termasuk dalam lingkup pekerjaannya. Penjelasan Pasal 44 KUHP-2023, menjelaskan “Cukup jelas”

(14)

perintah yang diberikan yang wewenang dan pelaksanaannya termasuk dalam lingkup pekerjaannya, dan pelaku melakukannya dengan iktikad baik.

(15)

2.4 Doktrin Hukum Pidana

Unsur-unsur tindak pidana dapat dibedakan dari dua sudut pandang yakni pandangan teoritis dan pandangan undang-undang. Teoritis artinya berdasarkan pendapat para ahli hukum, yang tercermin pada bunyi rumusannya. Dari sudut undang-undang adalah bagaimana kenyataan tindak pidana itu dirumuskan menjadi tindak pidana tertentu dalam pasal-pasal peraturan perundang-undangan yang ada18. Dalam hukum pidana dikenal dua pandangan tentang unsur perbuatan pidana, yaitu:19

A. Pandangan Monistis

1. Perbuatan manusia, baik dalam arti perbuatan positif (berbuat) maupun perbuatan negatif (tidak berbuat);

2. Diancam dengan pidana;

3. Melawan hukum;

4. Dilakukan dengan kesalahan; dan

5. Oleh orang yang mampu bertanggungjawab

Strafbaarfeit yang secara harfiah berarti suatu peristiwa pidana, dirumuskan oleh Simons yang berpandangan monistis sebagai : “Kelakuan (handeling) yang diancam dengan pidana, dimana bersifat melawan hukum, yang dapat berhubungan dengan kesalahan dan yang dilakukan oleh orang yang mampu bertanggung jawab.

Andi Zainal Abidin menyatakan bahwa “kesalahan yang dimaksud oleh Simons meliputi dolus (sengaja) dan culpalata (alpa, lalai) dan berkomentar sebagai berikut :20Simons mencampurkan unsur-unsur perbuatan pidana (criminal act) yg meliputi perbuatan serta sifat yang melawan hukum, perbuatan dan pertanggungjwaban pidana (criminal liability) dan mencakup kesengajaan,kealpaan dan kelalaian dan kemampuan bertanggungjawab. Penganut monistis tidak secara tegas memisahkan antara unsur tindak pidana dengan syarat untuk dipidannya pelaku. Syarat dipidananya itu juga masuk dan menjadi unsur pidana.

B. Pandangan Dualistis

Berbeda dengan pandangan monistis yang melihat keseluruhan syarat adanya pidana telah melekat pada perbuatan pidana, pandangan dualistis memisahkan antara perbuatan pidana dan pertanggungjawaban pidana. Menurut pandangan monistis dalam

18 Adami Chazawi,Op Cit, hlm.79.

19 Sudarto. 1997, Hukum dan Hukum Pidana. Alumni. Bandung,hlm.31-32.

20 Abidin, Andi Zainal, 1987, Hukum Pidana (Asas Hukum Pidana dan Beberapa Pengupasan tentang Delik-

delik Khusus). Prapanca, Jakarta.

(16)

pengertian tindak pidana sudah tercakup di dalamnya baik criminal act maupun criminal responbility, sementara menurut pandangan dualistis, yakni dalam tindak pidana hanya dicakup criminal act,dan criminal responbility tidak menjadi unsur tindak pidana. Oleh karena itu untuk menyatakan sebuah perbuatan sebagai tindak pidana cukup dengan adanya perbuatan yang dirumuskan oleh undang undang yang memiliki sifat melawan hukum tanpa adanya suatu dasar pembenar.

Batasan yang dikemukakan tentang tindak pidana oleh para sarjana yang menganut pandangan dualistis yaitu sebagai berikut:

1. Menurut Pompe, dalam hukum positif strafbaarfeit tidak lain adalah “feit (tindakan), yang diancam pidana dalam ketentuan undang-undang, sehingga sifat melawan hukum dan kesalahan bukanlah syarat mutlak untuk adanya tindak pidana”. Maka untuk terjadinya perbuatan/tindak pidana harus dipenuhi unsur sebagai berikut:21

A. Adanya perbuatan (manusia);

B. Memenuhi rumusan dalam undang-undang (hal ini merupakan syarat formil, terkait dengan berlakunya pasal 1 ayat (1) KUHP;

C. Bersifat melawan hukum (hal ini merupakan syarat materiil, terkait dengan diikutinya ajaran sifat melawan hukum materiil dalam fungsinya yang negatif).

2. Moeljatno yang berpandangan dualistis menerjemahkan strafbaarfeit dengan perbuatan pidana dan menguraikannya sebagai berikut: “Perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum dan larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barangsiapa yang melanggar larangan tersebut”.22 Berdasarkan definisi/pengertian perbuatan/tindak pidana yang diberikan tersebut di atas, bahwa dalam pengertian tindak pidana tidak tercakup pertanggungjawaban pidana (criminal responbility).

Namun demikian, Moeljatno juga menegaskan, bahwa : Untuk adanya pidana tidak cukup hanya dengan telah terjadinya tindak pidana, tanpa mempersoalkan apakah orang yang melakukan perbuatan itu mampu bertanggungjawab atau tidak.

21 Sudarto.Op.Cit., hlm.31-32

22 Moeljatno, 2001, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia. Rineka Cipta. Jakarta, hlm. 54.

(17)

Menurut pandangan dualistis bahwa unsur tindak pidana yaitu unsur yang mengenai diri orangnya sedangkan unsur pertanggungjawaban pidana merupakan syarat dapat dipidannya seseorang yang melakuka kejahatan.

Menurut M. Sudradjat Bassar bahwa suatu tindak pidana mengandung unsur- unsur sebagai berikut:23

a. Subjek;

b. Kesalahan;

c. Bersifat melawan hukum dari suatu tindakan;

d. Suatu tindakan yang dilarang atau diharuskan oleh Undang-Undang dan terhadap pelanggarannya diancam dengan pidana; dan

e. Waktu, tempat, dan keadaan (unsur objektif lainnya)

2.5 KUHP Nasional 2023 melalui UU No. 1 Tahun 2023 tentang KUHP

Pembangunan Hukum Nasional pada dasarnya merupakan upaya untuk membangun suatu tata hukum nasional yang berlandaskan kepada jiwa dan kepribadian bangsa, yang konkritisasinya yakni pembentukan kaidah-kaidah hukum baru untuk mengatur berbagai bidang kehidupan masyarakat. Pembangunan hukum tersebut juga perlu diarahkan dalam rangka memenuhi pelaksanaan pembangunan, mengarahkan dan mengantisipasi perubahan sosial dalam rangka mewujudkan cita-cita menuju masyarakat adil dan makmur. Sehingga, pembangunan hukum merupakan suatu proses yang heteronom yang tidak dapat melepaskan diri dari sektor sektor pembangunan lainnya seperti: ekonomi, politik, budaya dan pertahanan keamanan. Keterkaitan antar berbagai sektor pembangunan tersebut menjadikan pembangunan hukum bukan hanya ditujukan untuk kesejahteraan lahir saja, akan tetapi juga terkait adanya ketentraman hidup yang terkandung dari perasaan keadilan masyarakat.

Peranan hukum dalam pembangunan nasional akan menjadi sebagai pengayom masyarakat untuk mendapatkan rasa aman, menciptakan dan menumbuhkan hukum yang kondusif bagi partisipasi masyarakat dalam pembangunan, serta mendukung kemantapan stabilitas nasional,

23 M. Sudradjat Bassar, 1984, Tindak-Tindak Pidana Tertentu di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, RemadjaKarya, Bandung, hlm.2.

(18)

baik dalam bidang politik, ekonomi, sosial dan pertahanan dan keamanan. Pembangunan hukum nasional setidaknya terdapat beberapa masalah mendasar yang perlu diselesaikan, diantaranya:

1. Masalah reaktualisasi sistem hukum yang bersifat netral dan berasal dari hukum lokal (hukum adat dan hukum Islam) ke dalam hukum nasional di satu sisi dan disisi lain juga terhadap hukum yang bersifat netral yang berasal atau bersumber dari perjanjian internasional.

2. Masalah penataan kelembagaan aparatur hukum yang masih belum dibentuk secara komprehensif sehingga melahirkan berbagai ekses diantaranya egoisme sektoral dan menurunnya kerjasama antar aparatur hukum secara signifikan, yang ini disebabkan oleh miskinnya visi misi aparatur hukum, misalnya mengenai pengertian “due process of law”, “impartial trail”, “transparancy”, “accountability”, “the right to council”.

3. Masalah pemberdayaan masyarakat baik dalam bentuk meningkatkan akses masyarakat dalam kinerja pemerintahan dan peningkatan kesadaran hukum masyarakat (atau yang disebut sebagai budaya hukum) yang merupakan rangkaian yang tidak terpisahkan satu sama lain karena peningkatan akses masyarakat tanpa disertai oleh peningkatan kesadaran hukum akan menimbulkan ekses pemaksaan kehendak, bahkan memunculkan karakter anarkisme.

4. Masalah pemberdayaan birokrasi atau “beureucratic enginering” (BE) dalam konteks peranan hukum dalam pembangunan yang mengkedepankan konsep “panutan” atau

“kepemimpinan” (leadership) dengan harapan dapat diwujudkan secara bersamaan dan sekaligus dengan konsep perubahan dan pemberdayaan masyarakat melalui hukum sebagai sarana pembaharuan yang sekaligus menciptakan harmonisasi antara elemen birokrasi dan elemen dalam masyarakat ke dalam satu wadah atau “beureuecratic and social eingeneering (BSE).24

Pembangunan hukum nasional diantaranya melakukan Pembaharuan Hukum Pidana, yang telah di mulai sejak permulaan berdirinya Negara Republik Indonesia, yakni sejak dikeluarkannya Undang-undang Nomor 1 Tahun 1946 tanggal 26 Februari 1946 (KUHP-1946). Usaha pembaharuan hukum pidana di Indonesia tidak lepas dari adanya

24 Perhatikan, Romli Atmasasmita, Menata Kembali Masa Depan Pembangunan Nasional, dalam Majalah

Hukum Nasional, No. 1, 2003, Tahun 2003, Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia, hal. 4 -5.

(19)

aturan Peralihan Pasal II UUD 194525 yang menyatakan: “Segala badan negara dan peraturan yang masih ada masih langsung berlaku selama belum diadakan yang baru menurut Undang-undang Dasar ini”.

Pembaharuan hukum Pidana mempunyai makna dan hakekat yang berkaitan erat dengan latar belakang dan urgensi diadakannya pembaharuan hukum pidana itu sendiri, yakni dapat ditinjau dari aspek sosiopolitik, sosiofilosofis, sosiokultural atau dari berbagai aspek kebijakan (khusus kebijakan sosial, kebijakan kriminal dan kebijakan penegakan hukum).26

KUHP- 1946 yang berlaku saat ini bukanlah hukum pidana yang berasal dari nila-nilai dasar dan nilai-nilai sosio-filosofik, sosio politik dan sosio-kultural yang hidup dalam masyarakat Indonesia,27 dan juga KUHP-1946 yang pada awalnya dipandang sebagai induk dan sebagai wujud dari kodifikasi dan unifikasi, namun dalam perkembangannya, KUHP-1946 dianggap tidak lengkap atau tidak dapat menampung berbagai masalah dan dimensi perkembangan bentuk-bentuk tindak pidana baru, yang tentu saja sejalan dengan perkembangan pemikiran dan aspirasi kebutuhan masyarakat.28 KUHP-1946 warisan kolonial ini bukanlah sistem hukum pidana yang utuh, karena terdapat beberapa pasal/delik yang dicabut. Oleh karena itu bermunculan Undang-undang baru diluar KUHP-1946 yang mengatur delik-delik khusus dan aturan aturan khusus. Namun Undang-undang baru diluar KUHP-1946 itu walaupun merupakan produk nasional, masih tetap berada dalam naungan aturan umum KUHP-1946 (WvS) sebagai sistem induk buatan kolonial. Artinya, asas-asas dan dasar-dasar tata hukum pidana kolonial masih tetap bertahan dengan selimut dan wajah Indonesia. Walaupun Undang-undang khusus itu membuat aturan khusus yang menyimpang dari aturan induk KUHP-1946, namun dalam dinamikanya, Undang-undang khusus itu tumbuh seperti aturan liar yang tidak bersistem atau tidak berpola, tidak konsisten, bermasalah secara yuridis, dan bahkan menggerogoti sistem bangunan induk yakni KUHP-1946.

25 Peraturan Peralihan tidak hanya sekedar bermakna memberi peluang tetap berlakunya segala badan negara

dan peraturan yang ada, melainkan juga mengadung suatu perintah untuk mewujudkan dan memperbaharui ketentuan-ketentuan hukum guna mengganti ketentuan-ketentuan hukum yang merupakan peninggalan kolonial Belanda

26 Lebih lanjut baca, Barda Nawawi Arief, 2008, Kebijakan Hukum pidana: Perkembangan Penyusunan Konsep

KUHP Baru”, hal. 25 – 26.

27 Barda Nawawi Arief, Beberapa Aspek Pengembangan Ilmu Hukum Pidana (Menyongsong Generasi Baru

Hukum Pidana Indonesia), Pidato Pengukuhan Guru Besar Ilmu Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, (Semarang: Pustaka Magister, 2011), hal. 13.

28 Barda Nawawi Arief, RUU KUHP Baru: Sebuah Restrukturisasi/Rekonstruksi Sistem Hukum Pidana Indonesia, (Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro, 2012) hal. 24.

(20)

Hukum pidana positif yang berorientasi pada KUHP-1946 menimbulkan kekhawatiran, terutama berkaitan dengan sifat dogmatis dan substansial, misalnya dogma-dogma, konsep-konsep, serta norma-norma substantif yang dirumuskan didalam KUHP-1946 yang dilatarbelakangi pemikiran individualismeliberalisme dan sangat dipengaruhi oleh aliran klasik, walaupun ada juga pengaruh aliran neo klasik.29

Menurut Sudarto30 terdapat tiga alasan mengenai arti penting dalam pembaruan hukum pidana, khususnya yang berkaitan dengan hukum pidana materiil (KUHP-1946) di Indonesia yang meliputi alasan politik, sosiologis, dan praktis. Dipandang dari sudut politik, negara Indonesia yang telah merdeka sudah sewajarnya mempunyai KUHP- 1946 yang diciptakan sendiri. Hal tersebut dipandang sebagai simbol dan merupakan suatu kebanggaan dari suatu negara yang telah merdeka dari jerat penjajahan politik.

Sebaliknya, KUHP-1946 dari negara lain bisa dipandang sebagai simbol dari penjajahan oleh negara yang membuat KUHP-1946 tersebut. Dengan demikian, dari sudut politik, sudah waktunya bagi negara untuk mempunyai KUHP Nasional sendiri sebagai identitas politik dari sebuah negara yang merdeka.31

Dipandang dari sudut sosiologis, pengaturan dalam hukum pidana merupakan pencerminan dari ideologi politik suatu bangsa di mana hukum itu berkembang. Nilai- nilai sosial dan kebudayaan dari bangsa tersebut mendapat tempat dalam pengaturan di bidang hukum pidana. Beberapa ketentuan dalam KUHP-1946 saat ini dianggap tidak dapat mengakomodir kebutuhan bangsa Indonesia dalam pelaksanaan hukum pidana, sebab bukan mengejawantahkan nilai-nilai sosiologis tentang suatu aturan hukum pidana yang dapat sejalan dengan kebutuhan bangsa Indonesia. Kemudian lagi, dipandang dari sudut praktis, mengingat teks resmi KUHP 1946 yang sekarang berlaku berbahasa Belanda, maka merupakan suatu keharusan untuk mengerti Bahasa Belanda agar KUHP 1946 bisa diterapkan dengan tepat. Kondisi ini, akan berpotensi menimbulkan kekeliruan dalam menafsirkan makna aturan dalam KUHP-1946. KUHP- 1946 yang berlaku saat ini, juga dipandang sebagai yang tidak lagi sesuai dengan dinamika perkembangan hukum pidana nasional Indonesia. Perkembangan hukum pidana di luar KUHP-1946, baik berupa hukum pidana khusus maupun hukum pidana

29 Randy Pradityo, 2017, Menuju Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia: Suatu Tinjauan Singkat (Towards

Criminal Law Reform of Indonesia: An Overview), Jurnal Legislasi Indonesia, Vo. 14 No. 02 Juni 2017, hal.

139-140.

30 Sudarto,1983, Hukum dan Perkembangan Masyarakat, Sinar Baru, Bandung, hal. 66 - 68

31 Perhatikan, Muladi, Beberapa Catatan Berkaitan Dengan RUU KUHP Baru, Disampaikan pada Seminar Nasional RUU KUHP Nasional diselenggarakan oleh Universitas Internasional Batam 17 Januari 2004.

(21)

administrasi telah menggeser keberadaan sistem hukum pidana dalam KUHP-1946, yang keadaan ini telah mengakibatkan terbentuknya lebih dari satu sistem hukum pidana yang berlaku dalam sistem hukum pidana nasional. Selanjutnya, dalam beberapa hal telah juga terjadi duplikasi norma hukum pidana antara norma hukum pidana dalam KUHP-1946 dengan norma hukum pidana dalam undang-undang di luar KUHP-1946.

Hal-hal tersebut di atas juga merupakan alasan untuk melakukan pembaharuan Hukum Pidana.

Menurut Barda Nawawi Arief,32 KUHP-1946 (WvS) yang selama ini diajarkan bukan hukum pidana yang berasal, berakar, atau bersumber dari pandangan/konsep nilai-nilai dasar (grundnorm) dan kenyataan (sosio-politik, sosio-ekonomi, dan sosio-budaya) yang hidup dalam masyarakat Indonesia sendiri. Oleh karena itu sepantasnyalah dipertanyakan apakah ilmu hukum pidana positif yang berorientasi pada WvS masih patut disebut sebagai ilmu hukum pidana Indonesia. KUHP-1946 (WvS) secara formal saat ini merupakan hukum pidana positif di Indonesia, sehingga ilmu yang mempelajarinya disebut “ilmu hukum pidana positif Indonesia”. Untuk itu menjadi penting mempelajari politik hukum pidana dalam konteks pembaruan hukum pidana yakni mengubah nilai nilai barat yang bersifat individualism, liberalism, dan individual rights kepada nilai-nilai yang sesuai dengan sosio-kultural bangsa Indonesia. Pada tanggal 2 Januari 2023, lahir Undang-undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2023 Tentang Kitab Undang undang Hukum Pidana (KUHP-2023). Makna pembaharuan dalam KUHP-2023 pada mulanya semata-mata diarahkan misi tunggal dekolonisasi dalam bentuk rekodifikasi, akhirnya dalam perjalanannya mengandung misi yang lebih luas, yang dalam penjelasan KUHP-2023, yakni: misi dekolonisasi dan rekodifikasi, misi demokratisasi hukum pidana, misi konsolidasi hukum pidana, dan misi adaptasi dan harmonisasi.33 Dekolonisasi yakni melakukan pembaruan dari nilai-nilai yang dianut oleh bangsa Eropa menjadi nilai-nilai yang sesuai dengan bangsa Indonesia, sehingga misi rekodifikasi sekaligus memberikan usaha revisi terhadap muatan muatan hukum pidana yang ada dalam KUHP-1946 yang sudah tidak sesuai lagi dengan adat dan kepribadian bangsa termasuk tidak sesuai dengan perkembangan jaman.

32 Barda Nawawi Arief, “Beberapa Aspek Pengembangan Ilmu Hukum Pidana”, Pidato Pengukuhan Guru Besar

pada Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, 25 Juni 1994.

33 Rusli Muhammad, , 2019, Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia, UII Press, Yogyakarta, hal. 10-14.

(22)

Demokratisasi hukum pidana dimaksudkan untuk memasukkan tindak pidana terhadap hak asasi manusia dan dirubahnya rumusan pasal-pasal penyebar kebencian yang tadinya bersifat formil menjadi materiil. Konsolidasi hukum pidana dimaksudkan untuk menghimpun perundang-undangan hukum pidana baik yang ada di dalam maupun di luar KUHP untuk ditata kembali dalam satu kerangka asas yang diatur dalam Buku I.

Sedangkan adaptasi dan harmonisasi hukum pidana dimaksudkan untuk dapat merespon hal-hal baru di bidang ilmu pengetahuan dan perkembangan nilai, standar, dan norma yang diakui oleh bangsa-bangsa beradab di dunia internasional.

Pembaharuan hukum pidana (sistem hukum pidana materiil dan asas-asasnya) perlu berlandaskan pada pokok pemikiran/ ide yang disebutkan diatas. Secara prinsip, ide tersebut cukup diberi sebutan ide keseimbangan. Ide keseimbangan ini mencakup beberapa hal, yakni:

1. Keseimbangan monodualistik antara kepentingan umum dan kepentingan individu.

2. Keseimbangan antara perlindungan/kepentingan pelaku tindak pidana (ide individualisasi pidana) dan korban tindak pidana.

3. Keseimbangan antara faktor objektif (perbuatan/lahiriah) dan subjektif (orang/sikap batin), biasa disebut ide daad-dader strafrecht.

4. Keseimbangan antara kriteria formal dan materiil.

5. Keseimbangan antara kepastian hukum, kelenturan/ fleksibillitas dan keadilan.

6. Keseimbangan nilai-nilai nasional dan nilai-nilai universal.

Yang kemudian, ide keseimbangan ini diwujudkan pula kedalam tiga permasalahan pokok hukum pidana, yaitu dalam masalah tindak pidana, masalah kesalahan/pertanggungjawaban pidana, serta masalah pidana dan pemidanaan.

Hukum sebagai suatu sistem yang terdiri dari banyak faktor yang saling berkaitan dan saling pengaruh mempengaruhi, sedemikian rupa sehingga apabila salah satu faktor tidak berfungsi, maka sebuah sistem hukum tidak berfungsi sebagaimana mestinya, atau apabila salah satu faktor saja berubah, maka semua faktor dari sistem hukum itu juga harus diubah agar sistem hukum itu tetap berfungsi. Suatu sistem hukum terdiri dari:

1. Budaya hukum yang ada.

(23)

2. Falsafah dan asas-asas hukum; norma hukum, yang terdiri dari: Undang-undang Dasar, UU dan lain-lain peraturan perundang undangan, yurisprudensi tetap, hukum kebiasaan, hukum internasional.

3. Lembaga-lembaga hukum dengan berbagai struktur dan organisasi.

4. Proses dan prosedur hukum.

5. Segala sarana dan prasarana, yang terdiri dari: perangkat keras, perangkat lunak, termasuk sistem manajemen organisasi berbagai kegiatan hukum.

6. Sumber daya manusia, yaitu mutu dan komitmen pejabat dan staff dari yang tertinggi sampai yang paling rendah.

7. Sistem pendidikan hukum.

8. Sistem rekrutmen.

yang kesemua itu akan membangun suatu budaya hukum yang baru, ius constituendum.34 Pembentukan hukum, tidak hanya terbatas pada pembentukan hukum baru saja, apalagi hanya mengenai pembentukan undang undang saja atau bahkan pembentukan peraturan perundang undangan. Proses pembentukan hukum menyangkut perubahan budaya hukum, filsafat hukum dan asas-asas hukum, perubahan lembaga-lembaga hukum dan hubungannya satu sama lain, termasuk perubahan sitem peradilan (baik struktur organisasinya, manajemen lembaga dan penanganan perkara, sumber daya manusia, proses dan prosedur hukum, sarana dan prasarananya, termasuk filing system, penggunaan komputer dan lain-lain alat elektronik untuk penyusunan berita acara di dalam persidangan, penyusunan berita acara di dalam sidang-sidang pengadilan, penyusunan putusan perkara sampai ke penyusunan perkara), perubahan sistem pendidikan dan rekrutmen calon hakim, sehingga akan lahir suatu pelaksanaan tugas peradilan, pelayanan kepada pencari keadilan dan budaya hukum baru, sebagaimana yang dicita citakan oleh bangsa Indonesia.35

Upaya pembaharuan hukum pidana nasional untuk mengatasi masalah sosial dewasa ini terus disuarakan oleh berbagai kalangan melalui re-formulasi kebijakan hukum pidana yang bersumber pada KUHP karena pangkal hukum pidana adalah KUHP sebagai warisan Kolonial Belanda yang dianggap tidak sesuai dengan nilai nilai Pancasila sebagai jati diri bangsa Indonesia. Sistem hukum pidana yang berasal dari hukum asing sezaman kolonial tidak berakar

34 Sunaryati Hartono, 2002, Peranan Hakim Dalam Proses Pembentukan Hukum, Seminar Tentang Peranan Hakim dan Tanggungjawab Hakim Sebagai Pejabat Negara Dalam Sistem Peradilan Indonesia, diselenggarakan oleh BPHN Departemen Kehakiman dan HAM, tanggal 2 Oktober 2002.

35 Ibid.

(24)

pada nilai-nilai budaya bahkan ada “diskrepansi” dengan aspirasi masyarakat serta tidak responsif terhadap kebutuhan sosial masyarakat masa kini. Kondisi ini dapat dipandang sebagai faktor yang memberikan kontribusi untuk terjadinya kejahatan (a contributing factor to the increase of crime).36

Secara ideologi bangsa Indonesia jelas jauh berbeda dengan negeri Belanda sehingga produk hukum pidana negeri Belanda jelas tidak sesuai dengan nilai-nilai kultur bangsa Indonesia.

Sebagai negara berideologi Pancasila Indonesia menganut falsafah Ketuhanan YME yang disandarkan pada agama pemeluknya. Pembaharuan terhadap hukum pidana nasional (KUHP- 1946) perlu dilakukan dengan mengeluarkan substansi KUHP-1946 yang tidak sesuai dengan nilai Pancasila yang dianut bangsa Indonesia dengan melakukan re-evaluasi dan reformulasi norma yang dirasa tidak mencerminkan keinginan/kebutuhan masyarakat.

Cita-cita untuk mentransformasikan ide/nilai budaya bangsa Indonesia dalam proses pembaharuan hukum pidana merupakan sebuah cita-cita luhur, walaupun untuk mencapai cita- cita tersebut tidaklah mudah dan bahkan ada yang mengemukakan hal tersebut sebagai suatu kemustahilan. Untuk itu perlu menjadikan dinamika proses mengubah hukum ke arah yang lebih baik merupakan suatu keniscayaan yang harus dihadapi dan dijawab.

Pembaharuan hukum pidana di Indonesia didasarkan alasan bahwa KUHP-1946:

dipandang tidak sesuai lagi dengan dinamika perkembangan hukum pidana nasional;

perkembangan hukum pidana di luar KUHP-1946 baik berupa hukum pidana khusus maupun hukum pidana administrasi telah menggeser keberadaan sistem hukum pidana dalam KUHP- 1946, keadaan ini telah mengakibatkan terbentuknya lebih dari satu sistem hukum pidana yang berlaku dalam sistem hukum pidana nasional, dan dalam beberapa hal telah terjadi duplikasi norma hukum pidana antara norma hukum pidana dalam KUHP-1946 dengan norma hukum pidana dalam Undang-undang di luar KUHP-1946, maka pembaharuan hukum pidana nasional pada hakikatnya merupakan upaya reorientasi dan reformasi hukum pidana sesuai nilai sentral sosio politik bangsa Indonesia, melalui penyusunan KUHP-2023 pada perkembangannya memiliki beberapa misi yang berusaha merespon kebutuhan sosial masyarakat Indonesia sekaligus mencerminkan nilai-nilai budaya dan jati diri bangsa.

36 Dian Andriasari, 2012, Transformasi Nilai- nilai Islam Dalam Pembaruan Hukum Pidana Indonesia dalam

Hukum Untuk Manusia, Pilar Utama Mandiri, Jakarta, hal. 70.

(25)

Hukum Pidana

definisi hukum pidana

Tindak Pidana

Pertanggungjawaban pidana

doktrin hukum pidana

KUHP Nasional 2023

LAMPIRAN BAGAN

(26)

DAFTAR PUSTAKA

Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana, Jakarta. PT Raja Grafindo persada, 2011, Hlm. 7 P.A.F. Lamintang, Op.Cit., hal. 2.

Andi Hamzah, Asas-asas Hukum Pidana, (Rineka Cipta, Jakarta, 1991), hal. 4.

Moeljatno, Azas-Azas Hukum Pidana, (Erlangga, Jakarta, 2001), hal. 1

Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana Bagian I, (PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2002), hal. 2.

Lamintang, 1996, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Citra Adityta Bakti, Bandung, hal.7

Andi Hamzah, 2001, Bunga Rampai Hukum Pidana dan Acara Pidana, Ghalia Indonesia, Jakarta, 2001, hal. 22

P.A.F. Lamintang, Op. Cit, hal.16 Ibid.

Pasal 37 KUHP-2023, berbunyi: Dalam hal ditentukan oleh Undang-undang, Setiap Orang dapat: a.

Dipidana semata-mata karena telah dipenuhinya unsur-unsur Tindak Pidana tanpa memperhatikan adanya kesalahan; atau b. Dimintai pertanggungjawaban atas Tindak Pidana yang dilakukan oleh orang lain. Penjelasan Pasal 37 KUHP-2023, menjelaskan:

Ketentuan ini ditujukan bagi Tindak Pidana yang mengandung asas pertanggungjawaban mutlak (strict liability) atau pertanggungjawaban pengganti (vicarious liability) yang dinyatakan secara tegas oleh Undang-undang yang bersangkutan. Huruf a Ketentuan ini mengandung asas pertanggungjawaban mutlak (strict liability) yang menentukan bahwa pelaku Tindak Pidana telah dapat dipidana hanya karena telah dipenuhinya unsur-unsur Tindak Pidana dari perbuatannya. Huruf b Ketentuan ini mengandung asas pertanggungjawaban pengganti (vicarious liability) yang menentukan bahwa Setiap Orang bertanggung jawab atas perbuatan yang dilakukan oleh orang lain yang melakukan pekerjaan atau perbuatan untuknya atau dalam batas perintahnya, misalnya pimpinan perusahaan yang bertanggung jawab atas perbuatan bawahannya.

Pasal 38 KUHP-2023, berbunyi: Setiap Orang yang pada waktu melakukan Tindak Pidana menyandang disabilitas mental dan/atau disabilitas intelektual dapat dikurangi pidananya dan/atau dikenai tindakan. Penjelasan Pasal 38 KUHP-2023, menjelaskan: Yang dimaksud dengan “disabilitas mental” adalah terganggunya fungsi pikir, emosi, dan perilaku, antara lain: a. Psikososial, antara lain, skizofrenia, bipolar, depresi, anxiety, dan gangguan kepribadian; dan b. Disabilitas perkembangan yang berpengaruh pada kemampuan interaksi sosial, antara lain, autis dan hiperaktif. Yang dimaksud dengan

“disabilitas intelektual” adalah terganggunya fungsi pikir karena tingkat kecerdasan di bawah rata-rata, antara lain, lambat belajar, disabilitas grahita, dan down syndrome.

Pelaku Tindak Pidana yang menyandang disabilitas mental dan/atau disabilitas intelektual dinilai kurang mampu untuk menginsafi tentang sifat melawan hukum dari perbuatan yang dilakukan atau untuk berbuat berdasarkan keinsafan yang dapat dipidana.

Pasal 39 KUHP-2023, berbunyi: Setiap Orang yang pada waktu melakukan Tindak Pidana menyandang disabilitas mental yang dalam keadaan kekambuhan akut dan disertai gambaran psikotik dan/atau disabilitas intelektual derajat sedang atau berat tidak dapat dijatuhi pidana, tetapi dapat dikenai tindakan. Penjelasan Pasal 39 KUHP-2023, menjelaskan:

Dalam ketentuan ini, penyandang disabilitas mental yang dalam keadaan kekambuhan akut dan disertai gambaran psikotik dan/atau penyandang disabilitas intelektual derajat

(27)

sedang atau berat, tidak mampu bertanggung jawab. Untuk dapat menjelaskan tidak mampu bertanggung jawab dari segi medis, perlu dihadirkan ahli sehingga pelaku Tindak Pidana dipandang atau dinilai sebagai tidak mampu bertanggung jawab.

Pasal 40 KUHP-2023, berbunyi: Pertanggungjawaban pidana tidak dapat dikenakan terhadap anak yang pada waktu melakukan Tindak Pidana belum berumur 12 (dua belas) tahun. Penjelasan Pasal 40 KUHP-2023, menjelaskan: Ketentuan ini mengatur tentang batas umur minimum untuk dapat dipertanggungjawabkan secara pidana bagi anak yang melakukan Tindak Pidana. Penentuan batas umur 12 (dua belas) tahun didasarkan pada pertimbangan psikologis yaitu kematangan emosional, intelektual, dan mental anak.

Anak di bawah umur 12 (dua belas) tahun tidak dapat dipertanggungjawabkan secara pidana dan karena itu penanganan perkaranya dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang undangan yang mengatur mengenai sistem peradilan pidana anak.

Pasal 41KUHP-2023, berbunyi: Dalam hal anak yang belum berumur 12 (dua belas) tahun melakukan atau diduga melakukan Tindak Pidana, penyidik, pembimbing kemasyarakatan, dan pekerja sosial profesional mengambil keputusan untuk: a. menyerahkan kembali kepada Orang Tua/wali; atau b. mengikutsertakan dalam program pendidikan, pembinaan, dan pembimbingan di instansi pemerintah atau lembaga penyelenggaraan kesejahteraan sosial di instansi yang menangani bidang kesejahteraan sosial, baik pada tingkat pusat maupun daerah, paling lama 6 (enam) Bulan.

Pasal 42 KUHP-2023, berbunyi: Setiap Orang yang melakukan Tindak Pidana tidak dipidana karena: a.

Dipaksa oleh kekuatan yang tidak dapat ditahan; atau b. Dipaksa oleh adanya ancaman, tekanan, atau kekuatan yang tidak dapat dihindari. Penjelasan Pasal 42 KUHP-2023, menjelaskan: Ketentuan ini berkenaan dengan daya paksa yang dibagi menjadi paksaan mutlak dan paksaan relatif. Huruf a Yang dimaksud dengan “dipaksa oleh kekuatan yang tidak dapat ditahan” atau paksaan mutlak adalah keadaan yang menyebabkan pelaku tidak mempunyai pilihan lain, kecuali melakukan perbuatan tersebut. Karena keadaan yang ada pada diri pelaku maka tidak mungkin baginya untuk menolak atau memilih ketika melakukan perbuatan tersebut. Huruf b Yang dimaksud dengan

“dipaksa oleh adanya ancaman, tekanan atau kekuatan yang tidak dapat dihindari” atau paksaan relatif adalah: 1. Ancaman, tekanan, atau kekuatan tersebut menurut akal sehat tidak dapat diharapkan bahwa ia dapat mengadakan perlawanan; dan 2. 2Apabila kepentingan yang dikorbankan seimbang atau sedikit lebih dari pada kepentingan yang diselamatkan. Tekanan kejiwaan dari luar merupakan syarat utama. Mungkin pula seseorang mengalami tekanan kejiwaan, tetapi bukan karena sesuatu yang datang dari luar, melainkan karena keberatan yang didasarkan kepada pertimbangan pikirannya sendiri. Hal yang demikian tidak merupakan alasan pemaaf yang dapat menghapuskan pidananya.

Pasal 43 KUHP-2023, berbunyi: Setiap Orang yang melakukan pembelaan terpaksa yang melampaui batas yang langsung disebabkan keguncangan jiwa yang hebat karena serangan atau ancaman serangan seketika yang melawan hukum, tidak dipidana. Penjelasan Pasal 43 KUHP-2023, menjelaskan: Ketentuan ini mengatur pembelaan terpaksa yang melampaui batas, dengan syarat: a. Pembelaan melampaui batas atau tidak proporsional dengan serangan atau ancaman serangan seketika; dan b. Yang disebabkan oleh keguncangan jiwa yang hebat karena adanya serangan atau ancaman serangan seketika .

Pasal 44 KUHP-2023, berbunyi: Perintah jabatan yang diberikan tanpa wewenang tidak mengakibatkan hapusnya pidana, kecuali jika orang yang diperintahkan dengan iktikad baik mengira bahwa perintah tersebut diberikan dengan wewenang dan pelaksanaannya, termasuk

(28)

dalam lingkup pekerjaannya. Penjelasan Pasal 44 KUHP-2023, menjelaskan “Cukup jelas”

Adami Chazawi,Op Cit, hlm.79.

Sudarto. 1997, Hukum dan Hukum Pidana. Alumni. Bandung,hlm.31-32.

Abidin, Andi Zainal, 1987, Hukum Pidana (Asas Hukum Pidana dan Beberapa Pengupasan tentang Delik-delik Khusus). Prapanca, Jakarta.

Sudarto.Op.Cit., hlm.31-32

Moeljatno, 2001, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia. Rineka Cipta. Jakarta, hlm. 54.

M. Sudradjat Bassar, 1984, Tindak-Tindak Pidana Tertentu di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, RemadjaKarya, Bandung, hlm.2.

Romli Atmasasmita, Menata Kembali Masa Depan Pembangunan Nasional, dalam Majalah Hukum Nasional, No. 1, 2003, Tahun 2003, Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia, hal. 4 -5.

Peraturan Peralihan tidak hanya sekedar bermakna memberi peluang tetap berlakunya segala badan negara dan peraturan yang ada, melainkan juga mengadung suatu perintah untuk mewujudkan dan memperbaharui ketentuan-ketentuan hukum guna mengganti ketentuan-ketentuan hukum yang merupakan peninggalan kolonial Belanda

Barda Nawawi Arief, 2008, Kebijakan Hukum pidana: Perkembangan Penyusunan Konsep KUHP Baru”, hal. 25 – 26.

Barda Nawawi Arief, Beberapa Aspek Pengembangan Ilmu Hukum Pidana (Menyongsong Generasi Baru Hukum Pidana Indonesia), Pidato Pengukuhan Guru Besar Ilmu Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, (Semarang: Pustaka Magister, 2011), hal. 13.

Barda Nawawi Arief, RUU KUHP Baru: Sebuah Restrukturisasi/Rekonstruksi Sistem Hukum Pidana Indonesia, (Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro, 2012) hal. 24.

Randy Pradityo, 2017, Menuju Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia: Suatu Tinjauan Singkat (Towards Criminal Law Reform of Indonesia: An Overview), Jurnal Legislasi Indonesia, Vo. 14 No. 02 Juni 2017, hal. 139-140.

Sudarto,1983, Hukum dan Perkembangan Masyarakat, Sinar Baru, Bandung, hal. 66 - 68

Perhatikan, Muladi, Beberapa Catatan Berkaitan Dengan RUU KUHP Baru, Disampaikan pada Seminar Nasional RUU KUHP Nasional diselenggarakan oleh Universitas Internasional Batam 17 Januari 2004.

Barda Nawawi Arief, “Beberapa Aspek Pengembangan Ilmu Hukum Pidana”, Pidato Pengukuhan Guru Besar pada Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, 25 Juni 1994.

Rusli Muhammad, , 2019, Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia, UII Press, Yogyakarta, hal. 10-14.

Sunaryati Hartono, 2002, Peranan Hakim Dalam Proses Pembentukan Hukum, Seminar Tentang Peranan Hakim dan Tanggungjawab Hakim Sebagai Pejabat Negara Dalam Sistem Peradilan Indonesia, diselenggarakan oleh BPHN Departemen Kehakiman dan HAM, tanggal 2 Oktober 2002.

Ibid.

Dian Andriasari, 2012, Transformasi Nilai- nilai Islam Dalam Pembaruan Hukum Pidana Indonesia dalam Hukum Untuk Manusia, Pilar Utama Mandiri, Jakarta, hal. 70.

Referensi

Dokumen terkait

Agar mahasiswa dapat memahami hukum pidana dari aspek ruang lingkup, hakekat, sifat, tujuan, fungsi serta hubungan hukum pidana dengan ilmu – ilmu lainnya.. Ceramah

Dalam bab ini akan membahas sekaligus menjawab permasalahan yang ada pada penelitian ini, yakni bagaimana Pengaturan antara Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan Pidana Islam

Hamzah, Andi, Bunga Rampai Hukum Pidana Dan Acara Pidana Jakarta: Ghalia Indonesia, 1986.. Handayani, Fully, Pengantar Hukum Indonesia , Bandung: Citra Aditya

Berdasarkan hal tersebut, tulisan ini akan membahas: (1) urgensi dari penerapan pidana kerja sosial sebagai pidana pokok terhadap tindak pidana ringan sebagai upaya

Pada mata kuliah ini mahasiswa belajar tentang Pengantar Hukum Pidana, Sejarah Hukum Pidana Indonesia, Berlakunya Hukum Pidana, Masalah Delik, SubjekHukum Pidana (pleger ;

Penyusunan buku ajar ini diharapkan dapat membantu mahasiswa fakultas hukum dalam proses belajar mengajar, khususnya sebagai pengantar Mata Kuliah Pengantar

Makalah pengerjaan tugas Pengantar Hukum Indonesia dengan tema Hukum Internasional Publik dan Hukum Perdata Internasional, makalah ini adalah makalah

Makalah ini membahas tentang pengantar dan prinsip pemeriksaan kedokteran