Modernisasi Birokrasi dan Tantangan Hukum Administrasi di Indonesia: Menuju Pelayanan Publik yang Lebih Efisien
PENDAHULUAN
Administrasi publik di Indonesia memegang peran krusial dalam menjalankan roda pemerintahan dan pelayanan masyarakat. Administrasi publik adalah struktur yang mengatur kebijakan publik dan berfungsi untuk memastikan pelayanan publik yang efisien dan adil. Administrasi ini menangani banyak hal, seperti perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, dan pengawasan kebijakan di berbagai sektor pemerintahan. Sementara struktur birokrasi Indonesia dirancang untuk mendukung tujuan ini, sistem ini seringkali menghadapi masalah, seperti tumpang tindih kewenangan dan sumber daya manusia yang terbatas.
Indonesia, yang telah mengadopsi sistem desentralisasi sejak reformasi, telah memberikan pemerintah daerah banyak kuasa untuk mengelola administrasi publik. Ini terlihat pada implementasi Undang-Undang Otonomi Daerah, yang mengubah hubungan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Pemerintah daerah memiliki otoritas untuk mengelola sumber daya, termasuk berbagai urusan seperti infrastruktur, pendidikan, dan kesehatan. Namun, otonomi daerah ini tidak selalu berjalan lancar. Banyak daerah menghadapi masalah dalam menerapkan prinsip-prinsip administrasi publik yang efektif, terutama yang berkaitan dengan akuntabilitas dan transparansi.
Selain itu, fokus reformasi birokrasi Indonesia adalah digitalisasi dan modernisasi administrasi publik melalui program e-government. Dalam upaya meningkatkan daya saing negara, pemerintah Indonesia telah membangun sistem Online Single Submission (OSS) untuk mempercepat dan mempermudah proses perizinan usaha. Namun, masih ada banyak masalah untuk menerapkan sistem digital ini, terutama karena infrastruktur teknologi yang tidak merata di seluruh Indonesia.
Untuk menciptakan keteraturan dan keadilan dalam interaksi antara pemerintah dan masyarakat, hukum administrasi publik sangat penting. Salah satu fungsi utamanya adalah memastikan bahwa pemerintah melaksanakan wewenang dan tanggung jawabnya sesuai dengan prinsip-prinsip hukum yang berlaku, sehingga masyarakat menerima pelayanan publik yang adil dan merata.
Hukum administrasi memantau tindakan pemerintah untuk mencegah penyalahgunaan wewenang
yang merugikan kepentingan umum. Pemerintah memiliki kekuatan yang signifikan di dalam sistem administrasi, dan perlu dipantau dengan cermat agar kebijakan yang dibuat benar-benar membantu masyarakat umum, bukan hanya sekelompok kecil elit. Hukum administrasi publik memungkinkan pemerintah dan warga negara memahami hak dan kewajiban mereka dalam konteks pelayanan publik dan kebijakan umum (Smith, 2022).
Selain itu, hukum administrasi berkontribusi pada pembentukan akuntabilitas dalam manajemen pemerintahan. Fakta ini penting karena, sebagai penyedia layanan publik, pemerintah harus bertanggung jawab kepada masyarakat atas kebijakan dan keputusan yang dibuat. Upaya untuk melindungi hak-hak masyarakat dan memastikan bahwa keputusan pemerintah dibuat dengan cara yang jelas dan dapat dipertanggungjawabkan termasuk penerapan mekanisme kontrol administratif seperti hak atas informasi dan prosedur banding administratif (Jones, 2021). Hal ini sangat penting untuk mempertahankan kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah, yang merupakan dasar dari hubungan antara pemerintah dan warga negara dalam demokrasi.
Sebaliknya, hukum administrasi melindungi masyarakat dari ketidakadilan dalam kasus kesalahan administratif yang dilakukan oleh pejabat publik. Ketika masyarakat merasa dirugikan oleh kebijakan pemerintah yang tidak adil atau tidak sesuai dengan hukum, mereka dapat menuntut hak mereka melalui mekanisme hukum ini. Oleh karena itu, hukum administrasi membantu mengimbangi kekuasaan pemerintah dengan hak-hak masyarakat. Ini mencegah otoritarianisme dalam proses pengambilan keputusan administratif (Miller, 2020). Dalam konteks ini, hukum administrasi berfungsi sebagai alat kontrol bagi pemerintah dan sekaligus melindungi hak warga negara.
Untuk mengatur dan menjaga keseimbangan dalam hubungan antara pemerintah dan masyarakat, hukum administrasi sangat penting. Prinsip utama yang ditegakkan dalam hukum administrasi adalah keadilan untuk memastikan bahwa semua tindakan administratif yang diambil oleh pejabat publik sesuai dengan undang-undang dan hak-hak warga negara. Dalam konteks ini, hukum administrasi berfungsi sebagai cara untuk mencegah tindakan sewenang-wenang pemerintah yang dapat merugikan masyarakat. Warga negara memiliki hak untuk mengajukan keberatan atau tuntutan hukum jika mereka merasa dirugikan oleh keputusan administratif atau kebijakan. Hal ini menciptakan mekanisme pengawasan yang kuat untuk menjaga hak masyarakat.
Hukum administrasi meningkatkan efektivitas birokrasi selain keadilan. Hukum administrasi mencegah kekacauan dalam pelaksanaan kebijakan publik dengan membuat peraturan dan
prosedur administrasi yang jelas. Perizinan, pengawasan, dan pengelolaan sumber daya publik diatur agar lancar dan sesuai prosedur. Efektivitas ini meningkatkan pelayanan publik dan menghemat waktu dan sumber daya. Jika ada aturan yang jelas, pemerintah dapat melakukan tugas administratifnya dengan lebih cepat dan tepat, yang akan menguntungkan masyarakat dan dunia usaha.
Akuntabilitas adalah elemen penting lainnya yang diatur oleh hukum administrasi. Menurut akuntabilitas, setiap pejabat publik bertanggung jawab atas semua keputusan dan tindakan administratif yang mereka ambil. Hukum administrasi menjamin adanya mekanisme untuk mengevaluasi dan mempertanggungjawabkan setiap tindakan pejabat publik, baik dalam pengelolaan anggaran negara maupun pelayanan publik. Berbagai undang-undang, seperti Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, mewajibkan pejabat publik untuk membuat keputusan yang transparan dan bertanggung jawab jika terjadi pelanggaran atau penyalahgunaan wewenang.
Oleh karena itu, hukum administrasi berfungsi sebagai landasan utama untuk membangun pemerintahan yang bersih, transparan, dan efektif. Ia tidak hanya menjaga kepentingan umum, tetapi juga memastikan bahwa pemerintah beroperasi sesuai dengan standar pemerintahan yang baik.
Dalam hal reformasi birokrasi di Indonesia, masalah hukum administrasi seperti tumpang tindih regulasi dan transparansi sangat penting. Meskipun reformasi birokrasi merupakan langkah penting menuju tata kelola pemerintahan yang lebih baik, ia sering menjadi penghalang karena berbagai masalah yang terkait dengan administrasi publik. Salah satu bagian utama dari reformasi ini adalah penerapan e-government, yang bertujuan untuk meningkatkan pelayanan publik dengan menggunakan teknologi informasi dan merupakan modernisasi administrasi. Namun, reformasi ini tidak berjalan dengan baik karena kurangnya transparansi dan akuntabilitas di banyak lembaga pemerintahan serta resistensi birokrasi terhadap perubahan. Misalnya, UU Keterbukaan Informasi Publik telah diberlakukan sejak tahun 2008, tetapi banyak lembaga masih tidak membuka data mereka secara publik. Akibatnya, ini menghambat partisipasi publik dalam pengawasan pemerintah (Fakhrurrozi & Fitri, 2020). Selain itu, peraturan yang tidak konsisten di antara pemerintah pusat dan daerah seringkali memperlambat proses perizinan dan investasi, yang membuat citra pelayanan publik menjadi lebih buruk bagi investor dan masyarakat umum
(Kusuma & Anwar, 2019). Akibatnya, pembenahan hukum administrasi publik sangat penting untuk mendorong reformasi birokrasi yang lebih menyeluruh dan kontemporer.
PEMBAHASAN
BAB 1
“ Konsep dan Landasan Hukum Administrasi Publik di Indonesia”
I. Definisi dan Ruang Lingkup Hukum Administrasi Publik
Cabang hukum yang dikenal sebagai hukum administrasi publik mengatur interaksi antara pemerintah dan masyarakat, serta antara lembaga publik dan individu. Pada dasarnya, hukum ini berisi peraturan yang mengatur bagaimana pemerintah menjalankan fungsinya dengan efektif, adil, dan transparan. Selain itu, hukum administrasi mencakup segala aspek yang mengatur cara pejabat negara menjalankan tugas administrasi dalam lingkup kekuasaan eksekutif. Philip M. Hadjon menyatakan bahwa hukum administrasi mencakup berbagai aturan yang mencakup hak dan kewajiban antara administrasi negara dan warga negara, yang diatur melalui tindakan pemerintahan.
Dengan menjaga keseimbangan antara kepentingan masyarakat dan kekuasaan negara, hukum administrasi publik memainkan peran penting dalam menciptakan tata kelola pemerintahan yang baik. Salah satu tujuan utama dari hukum ini adalah untuk memberikan dasar hukum bagi semua tindakan administratif pemerintah, baik di tingkat pusat maupun daerah, untuk memastikan bahwa semua tindakan administratif dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, untuk mencegah penyalahgunaan wewenang dan untuk menjaga akuntabilitas. Selain itu, hukum administrasi publik melindungi hak-hak individu dalam berinteraksi dengan lembaga pemerintah, memberikan jalan untuk menggugat keputusan administratif yang tidak adil, dan mendorong partisipasi publik dalam proses pemerintahan.
II. Peraturan-peraturan Terkait
Berbagai undang-undang di Indonesia mengatur sistem administrasi publik, yang berfungsi sebagai landasan hukum bagi pemerintah dan rakyatnya. Legislasi Administrasi Pemerintahan (UU No. 30/2014) bertujuan untuk menciptakan keamanan hukum dan keadilan dalam operasi pemerintah. Dalam menjalankan pekerjaan mereka, pejabat publik harus mengikuti prinsip-prinsip pemerintahan yang baik seperti legalitas, akuntabilitas, dan transparansi yang diatur oleh hukum.
Deklarasi Keterbukaan Informasi Publik (UU No. 14 Tahun 2008) Kecuali informasi yang dilindungi untuk kepentingan pribadi atau nasional, ada peraturan penting yang mengharuskan
semua lembaga publik memberikan akses ke informasi yang relevan kepada masyarakat. Tujuan dari undang-undang ini adalah untuk meningkatkan transparansi dan akuntabilitas birokrasi.
Masyarakat diharapkan lebih terlibat dalam mengawasi pemerintahan.
Otonomi Daerah (UU No. 23/2014) menurut prinsip desentralisasi, memberikan wewenang yang lebih besar kepada pemerintah daerah untuk mengelola urusan mereka sendiri. Meskipun peraturan pusat dan daerah sering tumpang tindih, UU ini memainkan peran penting dalam pelaksanaan otonomi daerah. Meskipun peraturan ini memungkinkan pemerintah daerah untuk menjadi kreatif dan memenuhi kebutuhan masyarakat lokal, ada beberapa hambatan dalam pelaksanaannya karena koordinasi dan pengawasan pemerintah pusat. Peraturan-peraturan ini saling melengkapi dan memberikan kerangka hukum yang kuat untuk mengelola administrasi publik Indonesia, tetapi masih ada beberapa aspek yang perlu diperbaiki dalam pelaksanaannya.
III. Hubungan Antara Administrasi Publik dan Hukum Tata Negara
Hukum tata negara dan hukum administrasi publik adalah dua cabang hukum yang saling berkaitan, tetapi mereka memiliki fokus dan ruang lingkup yang berbeda. Hukum tata negara berkonsentrasi pada bagaimana lembaga negara dibentuk dan berfungsi, serta hubungan antara mereka. Ini terutama berlaku untuk penyusunan dan pengaturan konstitusi dan peraturan perundang-undangan. Sebaliknya, hukum administrasi publik mengatur hubungan antara masyarakat dan administrasi pemerintahan, termasuk pejabat publik, dalam menjalankan tugas sehari-hari. Meskipun demikian, keduanya memiliki kesamaan dalam hal menjaga agar pemerintahan berjalan sesuai aturan dan tidak menyalahgunakan kekuatan. Kerangka dasar pemerintahan dibentuk oleh hukum tata negara, sementara hukum administrasi publik memastikan bahwa kerangka tersebut diterapkan secara efektif di tingkat operasional.
Pengaruh politik juga sangat besar dalam melaksanakan hukum administrasi. Keputusan yang dibuat oleh pejabat publik dipengaruhi oleh hukum yang berlaku dan situasi politik saat ini.
Misalnya, dalam konteks desentralisasi dan otonomi daerah, agenda politik lokal sering mempengaruhi kebijakan administrasi, yang pada gilirannya berdampak pada kualitas pelayanan publik. Hal ini menunjukkan bahwa hukum administrasi tidak berdiri sendiri; kepentingan politik di tingkat pusat dan daerah mempengaruhinya. Intervensi politik, terutama dalam penentuan kebijakan strategis, sering mengganggu proses birokrasi yang seharusnya netral.
BAB 2
“Permasalahan Transparansi dan Akuntabilitas dalam Pelayanan Publik”
I. Kurangnya Transparansi dalam Proses Birokrasi
Salah satu prinsip utama yang membentuk pemerintahan yang baik adalah transparansi birokrasi.
Pemerintah Indonesia telah memberlakukan Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik (UU No. 14 Tahun 2008) untuk menjamin bahwa semua orang memiliki akses ke informasi publik yang dikelola oleh pemerintah. Undang-undang ini juga bertujuan untuk meningkatkan transparansi penyelenggaraan pemerintahan dan meningkatkan keterlibatan dan pengawasan masyarakat dalam proses pemerintahan. Tetapi UU Keterbukaan Informasi Publik masih menghadapi banyak tantangan saat diterapkan. Sebagai contoh, birokrasi yang lambat dan tidak responsif sering menghambat proses permintaan informasi di beberapa tempat. Selain itu, ada beberapa lembaga pemerintah yang tidak mau memberikan informasi karena masalah keamanan atau karena status dokumen yang dianggap rahasia negara tidak jelas. Kondisi ini dapat dilihat pada kasus di beberapa instansi pemerintah daerah, di mana orang sering kesulitan mendapatkan informasi tentang alokasi anggaran atau proyek infrastruktur.
Salah satu contoh nyata adalah kasus di Provinsi Jawa Barat, di mana masyarakat mengeluh tentang kesulitan mendapatkan informasi tentang pembangunan proyek infrastruktur besar. Ini terjadi meskipun proyek tersebut membutuhkan dana publik yang besar, tetapi informasi tentang perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan proyek sering kali tertutup bagi publik. Akses yang terbatas ini menunjukkan bahwa undang-undang yang mengatur hak masyarakat atas informasi tidak konsisten dengan prakteknya. Karena keterbukaan yang buruk ini, masyarakat tidak hanya tidak percaya pada pemerintah, tetapi juga tidak terlibat secara aktif dalam pengawasan publik.
Untuk mengatasi masalah ini, lembaga terkait harus diperkuat dan ada sanksi yang lebih tegas untuk pelanggaran UU Keterbukaan Informasi Publik.
II. Akuntabilitas pejabat publik
Salah satu kendala utama dalam meningkatkan pelayanan publik di Indonesia adalah kurangnya akuntabilitas dalam proses pengambilan keputusan administratif. Setiap tindakan pejabat publik yang dituntut untuk bertindak berdasarkan kepentingan publik seharusnya didasarkan pada prinsip akuntabilitas. Banyak kasus, sayangnya, menunjukkan bahwa keputusan pemerintah sering dibuat tanpa informasi yang memadai. Sebagai contoh, proses pengambilan keputusan administratif dalam proyek pengadaan e-KTP penuh dengan korupsi, manipulasi anggaran, dan kepentingan
pribadi. Kasus ini menunjukkan bagaimana kurangnya transparansi birokrasi menyebabkan pejabat publik menyalahgunakan wewenang, yang pada akhirnya merugikan negara triliunan rupiah. Selain itu, kurangnya transparansi di berbagai tingkat pemerintahan telah menyebabkan pejabat publik sulit dimintai pertanggungjawaban, terutama dalam hal pelaksanaan kebijakan dan penggunaan anggaran. Jika tidak ada transparansi, masyarakat tidak dapat mengawasi atau menilai pelayanan publik sesuai dengan aturan dan dengan benar.
III. Korupsi dalam Administrasi Publik
Maladministrasi dan korupsi administrasi publik erat terkait. Maladministrasi, yang mencakup penyalahgunaan kekuasaan, inefisiensi, dan ketidakpatuhan terhadap prosedur administrasi, seringkali meningkatkan kemungkinan korupsi. Penyimpangan menjadi lebih mungkin ketika proses administrasi tidak dijalankan secara terbuka dan akuntabel. Dengan otoritas yang luas dan tidak ada pengawasan yang ketat, pejabat publik cenderung menggunakan posisi mereka untuk mendapatkan keuntungan pribadi. Pada akhirnya, ini mengarah pada praktik korupsi dalam berbagai bentuk, mulai dari suap hingga gratifikasi. Ketidakefisienan administrasi seringkali memperlambat pelayanan publik dan mempermudah penyalahgunaan kekuasaan.
Pada akhirnya, kinerja pelayanan publik dirusak oleh korupsi ini. Ketika pejabat administrasi melakukan korupsi, sumber daya yang seharusnya digunakan untuk kepentingan masyarakat digunakan untuk kepentingan pribadi atau kelompok tertentu, yang mengakibatkan alokasi anggaran yang tidak tepat sasaran dan menurunkan kualitas pelayanan. Misalnya, korupsi dapat menyebabkan fasilitas yang tidak memadai atau sumber daya manusia yang tidak kompeten serta layanan kesehatan dan pendidikan menjadi lebih buruk. Sebaliknya, masyarakat mengurangi kepercayaan mereka terhadap pemerintah, yang berdampak pada legitimasi administrasi publik secara keseluruhan.
BAB 3
“Reformasi Birokrasi dan Tantangan Implementasi Hukum Administrasi”
I. Tujuan dan Arah Reformasi Birokrasi di Indonesia
Setelah Orde Baru runtuh pada tahun 1998, reformasi birokrasi di Indonesia mulai mendapatkan momentum. Saat ini, orang menuntut pemerintahan yang lebih adil, jujur, dan berdaya saing.
Selama masa sebelum reformasi, birokrasi Indonesia sering mengalami budaya patronase dan nepotisme, yang menyebabkan korupsi dan kinerja sektor publik yang buruk. Tujuan dari reformasi setelah reformasi adalah untuk membuat birokrasi lebih responsif dan profesional.
Pemerintah menyadari bahwa perubahan struktural dalam birokrasi sangat penting untuk menciptakan lingkungan yang adil dan efisien untuk pemerintahan.
Tujuan reformasi birokrasi Indonesia adalah untuk meningkatkan pelayanan publik, meningkatkan akuntabilitas, dan membangun sistem pemerintahan yang lebih efisien. Penerapan e-government adalah pilar utama dalam upaya ini. Diharapkan e-government dapat mempermudah administrasi publik dan meminimalkan interaksi tatap muka yang rawan korupsi. Selain itu, diharapkan e-government dapat meningkatkan akses masyarakat terhadap layanan pemerintah secara lebih cepat dan lebih jelas. Selain itu, tujuan reformasi ini adalah untuk mengubah cara birokrasi berpikir dari mengejar kekuasaan ke arah pelayanan masyarakat. Meskipun implementasi e-government telah menunjukkan beberapa keberhasilan, seperti kemudahan akses data dan pelayanan publik, masih ada beberapa masalah untuk membuatnya lebih baik, terutama di daerah dengan infrastruktur teknologi yang terbatas.
II. Tantangan dalam Implementasi Reformasi
Di Indonesia, reformasi birokrasi menghadapi banyak tantangan, terutama dalam hal penentangan dari pejabat birokrasi internal. Banyak aparatur negara merasa nyaman dengan pola kerja konvensional dan tidak siap untuk mengadopsi sistem baru, terutama yang berkaitan dengan digitalisasi dan transparansi. Perubahan sering dianggap mengancam stabilitas posisi atau jabatan yang telah lama diduduki, yang menyebabkan resistensi ini. Dalam beberapa situasi, para pejabat birokrasi mungkin menganggap reformasi sebagai upaya yang dapat membatasi wewenang mereka. Akibatnya, mereka kurang berkolaborasi dalam penerapan kebijakan baru (Sjarifuddin, 2020). Hal ini menunjukkan bahwa reformasi birokrasi tidak hanya memerlukan perubahan pada strukturnya, tetapi juga perlu mengubah cara orang berpikir dan bagaimana mereka bekerja di birokrasi, yang telah menjadi kebiasaan selama bertahun-tahun. Reformasi menjadi sulit untuk dilakukan secara efektif jika tidak mendapatkan dukungan penuh dari birokrasi internal.
Selain ketidaksepakatan internal, penegakan hukum administrasi yang lemah merupakan kendala lain yang menghalangi reformasi birokrasi di Indonesia. Meskipun sejumlah undang-undang telah dibuat untuk mendukung reformasi birokrasi, seperti UU No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, pelaksanaannya seringkali gagal. Salah satu penyebab utamanya adalah kurangnya pengawasan yang memadai dan sanksi yang kurang bagi mereka yang melanggar undang-undang (Hadiprayitno, 2021). Upaya reformasi birokrasi menjadi kurang efektif karena kelemahan penegakan hukum ini. Aparat negara yang tidak mematuhi kebijakan reformasi sering kali lolos tanpa konsekuensi hukum yang signifikan, yang pada akhirnya mengurangi kredibilitas reformasi itu sendiri. Sistem penegakan hukum yang lebih tegas dan konsisten sangat diperlukan untuk mendorong reformasi.
III. Kasus-kasus Kegagalan dalam Reformasi Birokrasi
Implementasi kebijakan penyederhanaan perizinan melalui sistem "Online Single Submission"
(OSS) adalah salah satu contoh kegagalan reformasi birokrasi di Indonesia. Sistem ini awalnya dibuat sebagai solusi untuk menyederhanakan proses perizinan yang selama ini dianggap rumit dan memperlambat laju investasi. Namun, penerapannya di berbagai wilayah menghadapi banyak tantangan, terutama terkait kesiapan infrastruktur dan ketidaktahuan pejabat birokrasi tentang sistem baru ini. Akibatnya, kebijakan tersebut tidak hanya memperlambat proses perizinan, tetapi juga membuat pengusaha lokal bingung. Selain itu, kurangnya koordinasi antara pemerintah pusat dan daerah menyebabkan pelaksanaan OSS tidak seragam, yang menyebabkan ketidakpastian dalam proses perizinan di beberapa daerah.
Selain itu, pelaksanaan reformasi birokrasi yang bertujuan untuk meningkatkan akuntabilitas dan transparansi pelayanan publik seringkali gagal. Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (SAKIP), yang bertujuan untuk meningkatkan akuntabilitas lembaga pemerintahan, adalah contoh lainnya. Namun, temuan evaluasi menunjukkan bahwa beberapa instansi gagal mencapai targetnya karena pengawasan yang buruk, pejabat yang tidak kompeten, dan budaya birokrasi yang anti- perubahan.
Kegagalan dalam implementasi reformasi birokrasi berdampak besar pada administrasi publik, terutama dalam hal kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah. Ketidakmampuan untuk mewujudkan perubahan yang dijanjikan sering kali memperkuat anggapan negatif tentang birokrasi yang lambat dan tidak responsif. Misalnya, dalam konteks OSS, ketidakjelasan proses perizinan menyebabkan banyak investor enggan untuk mengajukan izin usaha, sehingga hal ini
berdampak langsung pada pertumbuhan ekonomi di daerah tertentu. Selain itu, ketidakberhasilan penerapan reformasi dalam meningkatkan transparansi dan akuntabilitas memunculkan peluang bagi penyalahgunaan wewenang dan korupsi, yang semakin memperparah masalah dalam pelayanan publik.
Oleh karena itu, reformasi birokrasi yang gagal berdampak langsung pada pertumbuhan ekonomi nasional dan masyarakat secara keseluruhan, bukan hanya efisiensi internal pemerintahan.
Reformasi yang tidak dilaksanakan dengan baik akan meningkatkan kebencian masyarakat terhadap birokrasi, merusak kredibilitas pemerintah, dan memperlambat kemajuan di berbagai sektor.
Bab 4
“Tumpang Tindih Regulasi dan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah”
I. Otonomi Daerah dan Pengaruhnya terhadap Administrasi Publik
Setelah Undang-Undang No. 22 Tahun 1999, yang kemudian diubah dengan Undang-Undang No.
23 Tahun 2014, otonomi daerah di Indonesia telah mengubah administrasi publik di tingkat lokal secara signifikan. Pemerintah daerah memiliki lebih banyak wewenang untuk menentukan kebijakan publik dan mengelola sumber daya karena kekuasaan didesentralisasi. Pada dasarnya, tujuan desentralisasi adalah untuk meningkatkan efisiensi administrasi daerah dan mendekatkan pelayanan publik kepada masyarakat. Namun, otonomi daerah tidak selalu berjalan lancar.
Tumpang tindih peraturan antara pemerintah pusat dan daerah merupakan salah satu masalah utama. Banyak peraturan yang dibuat oleh pemerintah daerah bertentangan dengan peraturan pusat, terutama yang berkaitan dengan izin usaha dan pengelolaan sumber daya alam.
Sebagai contoh, peraturan perizinan tambang dan kehutanan sering bertentangan dengan peraturan pemerintah pusat. Hal ini menyebabkan lapangan bingung dan proses birokrasi tertunda. Bahkan, dalam beberapa kasus, ketidaksinkronan ini menyebabkan pemerintah daerah melanggar kekuasaan mereka. Pemerintah daerah berusaha memaksakan peraturan lokal meskipun ini bertentangan dengan hukum nasional. Akibatnya, administrasi publik menjadi tidak efektif dan mengurangi kepercayaan publik terhadap pemerintah, baik di tingkat pusat maupun daerah.
II. Permasalahan dalam Koordinasi Antar lembaga
Koordinasi antar lembaga adalah salah satu masalah penting dalam administrasi publik Indonesia, terutama dalam hal perizinan usaha dan proyek infrastruktur. Pemerintah pusat dan daerah sering bekerja sama, terutama dalam hal pemberian izin investasi atau pembangunan proyek strategis.
Sebagai contoh, proses perizinan dalam sektor pembangunan infrastruktur yang melibatkan berbagai instansi pemerintah sering menyebabkan keterlambatan karena aturan dan wewenang masing-masing pihak terkadang tidak sinkron. Otonomi daerah, yang memberikan kebebasan kepada pemerintah daerah untuk membuat peraturan sendiri, yang kadang-kadang bertentangan dengan kebijakan pusat, membuat hal ini menjadi lebih sulit. Tumpang tindih ini menyebabkan ketidakpastian hukum dan perlambatan proses persetujuan investasi. Pada akhirnya, hal ini berdampak buruk pada iklim bisnis dan kemajuan Indonesia.
Pelayanan publik dan ekonomi sangat terpengaruh oleh koordinasi yang buruk ini. Banyak proyek strategis bernilai miliaran rupiah mengalami stagnasi atau bahkan gagal terwujud karena perizinan yang tertunda. Selain itu, hambatan-hambatan ini mengurangi minat investor asing dalam Indonesia, karena mereka percaya bahwa sistem pemerintahannya terlalu rumit dan berisiko.
Investor seringkali akhirnya mencari negara lain dengan regulasi dan proses yang lebih cepat.
Masalah ini menunjukkan bahwa untuk meningkatkan daya saing investasi di Indonesia dan meningkatkan efisiensi administrasi publik, penyelarasan antara peraturan pusat dan daerah serta penguatan mekanisme koordinasi antar lembaga sangat penting.
III. Rekomendasi untuk Penyelesaian Tumpang Tindih Kewenangan
Harmonisasi regulasi adalah langkah penting untuk mengatasi perbedaan kewenangan antara pemerintah pusat dan daerah. Hal ini dilakukan untuk memastikan bahwa kebijakan pusat dan peraturan daerah selaras satu sama lain, sehingga tidak ada konflik peraturan yang sering memperlambat pengambilan keputusan dan pelaksanaan kebijakan di lapangan. Membangun forum diskusi yang melibatkan berbagai tingkat pemerintahan untuk meningkatkan koordinasi dalam penyusunan regulasi adalah salah satu cara yang dapat digunakan. Selain itu, Kementerian Dalam Negeri memainkan peran penting dalam menjamin bahwa peraturan daerah sesuai dengan kebijakan nasional, baik dalam hal otonomi daerah maupun proyek nasional, seperti perizinan investasi dan pembangunan infrastruktur.
Untuk menghindari tumpang tindih kewenangan, koordinasi yang lebih baik antara lembaga- lembaga terkait juga sangat penting. Banyak kali, ketidaksepakatan dalam interpretasi regulasi oleh pemerintah pusat dan daerah menyebabkan ketidakselarasan kebijakan, yang pada akhirnya berdampak negatif pada masyarakat dan dunia usaha. Oleh karena itu, memperkuat mekanisme koordinasi antarlembaga dengan membentuk satuan tugas khusus atau forum komunikasi lintas sektor dapat membantu menyelesaikan masalah ini. Forum-forum ini dapat secara rutin menemukan masalah regulasi dan menemukan solusi cepat jika terjadi benturan kewenangan, yang menghasilkan administrasi yang lebih efisien dan responsif terhadap kebutuhan publik.
BAB 5
“E-Government dan Transformasi Digital Administrasi Publik”
I. Penerapan E-Government di Indonesia
Pemerintah Indonesia secara aktif menerapkan e-government sejak Instruksi Presiden No. 3 Tahun 2003 tentang Kebijakan dan Strategi Nasional Pengembangan E-Government, yang merupakan bagian dari upaya modernisasi birokrasi dengan tujuan meningkatkan efisiensi dan transparansi administrasi publik. Kebijakan ini menekankan betapa pentingnya penggunaan teknologi informasi untuk meningkatkan kualitas pelayanan publik, mempercepat proses administrasi, dan meminimalkan praktik korupsi melalui sistem yang lebih transparan dan mudah diakses bagi masyarakat. E-government juga diharapkan dapat membantu mewujudkan birokrasi yang responsif dan akuntabel.
Salah satu keuntungan besar dari penerapan e-government di Indonesia adalah peningkatan efisiensi penyelenggaraan layanan publik. Pengurusan izin dan administrasi kependudukan, misalnya, kini dapat diselesaikan dengan digitalisasi. Dengan mengurangi biaya dan waktu yang dihabiskan untuk mengelola layanan administratif, ini membantu masyarakat dan bisnis. Karena e- government membuat data dan informasi lebih mudah diakses oleh masyarakat, lebih mudah untuk mengawasi kinerja pemerintah, e-government menjadi salah satu pilar penting dalam upaya memperbaiki tata kelola pemerintahan Indonesia.
II. Kendala dalam Implementasi E-Government
Infrastruktur teknologi yang tidak merata merupakan kendala utama untuk menerapkan e- government di Indonesia. Terlepas dari upaya pemerintah pusat untuk mendorong digitalisasi administrasi publik, beberapa wilayah di Indonesia, terutama di daerah terpencil, masih tidak memiliki jaringan internet yang stabil. Ketidakmampuan pemerintah daerah untuk menerapkan sistem e-government secara efektif disebabkan oleh kekurangan infrastruktur teknologi ini.
Sebagai contoh, laporan dari Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa penetrasi internet di Indonesia hanya akan mencapai 77% hingga tahun 2022, dengan daerah terpencil terus mengalami kemajuan yang lebih besar dibandingkan dengan daerah perkotaan. Ketidakseimbangan ini menghambat modernisasi birokrasi lokal. Akibatnya, pelayanan publik menjadi kurang efektif.
Faktor lain yang menghambat pelaksanaan e-government adalah resistensi pejabat administrasi.
Banyak pejabat tidak siap untuk mengadopsi teknologi digital karena mereka khawatir tentang perubahan cara kerja tradisional yang selama ini dilakukan atau tidak memahami sistem baru.
Studi yang dilakukan oleh Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (KemenPAN-RB) menemukan bahwa budaya birokrasi, yang seringkali tidak toleran terhadap inovasi dan perubahan, merupakan kendala terbesar untuk menerapkan teknologi di sektor publik.
Resistensi ini disebabkan oleh kurangnya pelatihan dan sosialisasi tentang teknologi digital serta kekhawatiran bahwa birokrat dapat kehilangan kendali dan otoritas yang selama ini mereka miliki dalam proses manual.
III. Studi Kasus Negara Lain yang Berhasil
Beberapa negara telah menerapkan sistem e-government yang efektif, seperti Estonia, Singapura, dan Korea Selatan. Sejak awal tahun 2000-an, Estonia, salah satu negara pelopor e-government di dunia, telah mengintegrasikan hampir semua layanan publiknya ke dalam sistem digital. Setiap warga Estonia memiliki ID digital yang memungkinkan mereka mengakses berbagai layanan pemerintah secara online, seperti perpajakan, pemilu, dan layanan kesehatan. Sistem ini berhasil berkat kebijakan yang kuat, infrastruktur teknologi yang kuat, dan komitmen pemerintah untuk mendidik masyarakat tentang penggunaan teknologi digital.
Singapura mengadopsi pendekatan "Smart Nation", yang mengutamakan penggunaan teknologi digital di setiap sektor publik. Warga dapat dengan mudah mengakses berbagai layanan administratif yang dioperasikannya melalui satu portal. Investasi besar dalam infrastruktur digital dan pengembangan sumber daya manusia di sektor teknologi mendukung keberhasilan e- government Singapura. Selain itu, Korea Selatan telah melakukan kemajuan luar biasa dalam penerapan e-government; pemerintahnya melakukan berbagai layanan online, seperti pembayaran pajak dan pelayanan kesehatan. Kolaborasi yang kuat antara pemerintah, sektor swasta, dan masyarakat mendorong kemajuan ini.
Kesuksesan negara lain dalam menerapkan e-government telah memberikan beberapa pelajaran penting yang dapat diambil oleh Indonesia. Pertama, sistem digital bergantung pada dukungan infrastruktur teknologi dan komitmen kebijakan yang konsisten. Estonia memiliki dasar hukum yang jelas dan infrastruktur digital yang berkelanjutan, yang dapat dipelajari Indonesia. Untuk menghindari kesenjangan digital yang masih ada di beberapa daerah, Indonesia harus memastikan bahwa setiap wilayah, baik pusat maupun daerah, memiliki akses teknologi yang merata.
Kedua, teknologi digital sangat penting untuk pendidikan masyarakat. Singapura telah berhasil mempersiapkan penduduknya dengan program pelatihan dan sosialisasi e-government yang luas.
Ini dapat diterapkan di Indonesia melalui kampanye nasional yang meningkatkan kesadaran digital dan keterampilan sehingga semua orang dapat mengakses dan menggunakan layanan publik online. Selain itu, Korea Selatan telah menunjukkan bahwa kolaborasi yang erat antara sektor publik dan swasta diperlukan untuk sukses e-government. Indonesia dapat mempercepat
transformasi digital di berbagai bidang dengan mengintegrasikan inovasi sektor swasta ke dalam pelayanan publik.
Bab 6
Perizinan Berbasis Risiko: Tantangan dan Peluang
I. Sistem OSS dan Perizinan Berbasis Risiko
Pemerintah Indonesia membuat platform digital yang disebut Sistem Online Single Submission (OSS) untuk mempercepat dan mempermudah proses perizinan bisnis. OSS menggunakan metode perizinan berbasis risiko, di mana izin diberikan dengan mempertimbangkan seberapa berbahaya usaha tertentu bagi kepentingan umum, lingkungan, dan keamanan. Peraturan Pemerintah No. 24
Tahun 2018 tentang Pelayanan Perizinan Berusaha Terintegrasi Secara Elektronik adalah dasar dari sistem ini. Diharapkan OSS akan meningkatkan lingkungan investasi di Indonesia dengan menyederhanakan birokrasi yang selama ini dianggap rumit, terutama dalam hal perizinan usaha.
Pelaku bisnis yang menggunakan OSS tidak lagi perlu mengurus izin melalui berbagai instansi secara terpisah, tetapi dapat melakukannya melalui satu portal terpadu. Ini memberikan stabilitas hukum dan mempersingkat waktu yang diperlukan untuk memulai bisnis.
II. Tantangan dalam Implementasi OSS
Pemerintah daerah di Indonesia sering menghadapi berbagai hambatan saat menggunakan Online Single Submission (OSS) yang bertujuan untuk menyederhanakan perizinan usaha berbasis risiko.
Tidak adanya infrastruktur teknologi yang memadai merupakan kendala utama, terutama di wilayah terpencil. Karena banyak daerah belum sepenuhnya siap untuk mengadopsi teknologi digital yang menjadi dasar operasional OSS, proses perizinan masih lamban. Selain itu, tidak semua petugas pemerintah memiliki kemampuan teknis yang cukup untuk mengoperasikan sistem digital tersebut, sehingga proses pengolahan permohonan izin tertunda, yang seharusnya meningkatkan efisiensi. Selain itu, banyak daerah masih menggunakan sistem manual, yang sering tumpang tindih dengan sistem OSS, yang menyebabkan keterlambatan dalam perizinan dan kebingungan bagi pelaku usaha. Selain itu, proses transisi dari sistem manual ke OSS membutuhkan pelatihan yang cukup bagi para pegawai. Selain itu, para pegawai administrasi tidak menerima pelatihan yang cukup untuk mendukung proses transisi dari sistem manual ke OSS.
Karena sumber daya tidak merata, ada tantangan besar untuk menerapkan OSS secara efektif di berbagai wilayah Indonesia.
Selain masalah infrastruktur dan keterampilan, masalah lain adalah bagaimana pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan instansi terkait lainnya berkolaborasi dengan baik dalam pengelolaan sistem perizinan melalui OSS. Perbedaan dalam pemahaman dan interpretasi undang-undang sering kali menyebabkan masalah saat menerapkan OSS di lapangan. Setiap instansi memiliki wewenang yang berbeda, dan jika tidak ada cara untuk berkolaborasi, perizinan dapat berjalan tidak sinkron. Misalnya, regulasi yang lebih ketat di daerah dapat menghalangi izin yang seharusnya dapat diterbitkan oleh satu instansi pusat.
Selain itu, konflik kepentingan antara pihak-pihak yang terlibat sering menyebabkan proses perizinan menjadi lebih lama. Pemerintah daerah dengan kebijakan otonomi sering menolak untuk mengikuti peraturan pemerintah pusat, terutama yang berkaitan dengan kebijakan berbasis risiko
yang dianggap dapat mengurangi kontrol daerah atas perizinan. Hal ini membuat koordinasi menjadi lebih sulit dan menimbulkan masalah dalam sistem perizinan yang seharusnya lebih terintegrasi.
III. Analisis Efektivitas Perizinan Berbasis Risiko
Pemerintah Indonesia berusaha untuk mempercepat proses perizinan berbasis risiko dengan menerapkan sistem Online Single Submission (OSS). Sistem ini bertujuan untuk mengurangi hambatan birokrasi yang sering menghambat investasi di Indonesia. OSS mengatur izin bisnis berdasarkan tingkat risiko, sehingga perusahaan dengan risiko rendah dapat mendapatkan izin lebih cepat. Karena prosesnya yang lebih cepat dan lebih transparan, diharapkan akan menarik investasi lebih banyak.
Namun, pelaksanaan OSS di lapangan tidak selalu optimal. Karena kurangnya infrastruktur teknologi dan kesiapan sumber daya manusia lokal, banyak daerah masih kesulitan menyesuaikan diri dengan sistem baru ini. Akibatnya, banyak bisnis masih kesulitan mendapatkan izin dengan cepat dan efektif, terutama di bidang yang berisiko tinggi seperti pertambangan dan energi. Hal ini menyebabkan investasi tertunda di beberapa daerah, tetapi OSS secara keseluruhan telah meningkatkan lingkungan investasi di Indonesia.
Agar sistem OSS lebih efektif dan dapat benar-benar meningkatkan iklim investasi di Indonesia, diperlukan beberapa langkah strategis. Pertama, perlu ada peningkatan infrastruktur teknologi di daerah-daerah yang masih tertinggal. Ini penting untuk memastikan bahwa seluruh wilayah di Indonesia dapat mengakses dan mengoperasikan OSS secara maksimal. Selain itu, pelatihan intensif bagi pegawai pemerintahan lokal juga sangat diperlukan untuk meningkatkan pemahaman dan keterampilan mereka dalam menggunakan sistem ini.
Kedua, penting bagi pemerintah untuk melakukan evaluasi rutin kinerja OSS, yang mencakup menemukan hambatan pengguna dan menyediakan solusi yang tepat. Dimungkinkan untuk melakukan evaluasi ini melalui umpan balik langsung dari pelaku usaha yang menggunakan OSS dan pengawasan dari Kementerian Investasi dan Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM).
Untuk membuat sistem perizinan berbasis risiko lebih efisien, langkah-langkah ini akan membantu meningkatkan iklim investasi dan mendorong pertumbuhan ekonomi Indonesia.
KESIMPULAN
I. Kesimpulan dan Rekomendasi
Empat isu utama berkaitan dengan hukum administrasi publik Indonesia adalah transparansi, akuntabilitas, tumpang tindih kewenangan, dan digitalisasi. Pertama, meskipun Indonesia telah mengadopsi Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik, pelaksanaannya sering kali terhambat oleh masalah birokrasi dan perbedaan dalam penerapan di berbagai wilayah. Hal ini menyebabkan masyarakat tidak percaya pada layanan publik (Rachman & Putra, 2020). Kedua, akuntabilitas masih sangat sulit untuk dicapai, terutama dalam hal penegakan hukum terhadap pejabat publik yang menyalahgunakan wewenang mereka. Lemahnya pengawasan internal dan eksternal ditunjukkan oleh kasus korupsi di sektor pelayanan publik (Purwanto, 2019). Ketiga,
karena otonomi daerah, ada perbedaan kewenangan antara pemerintah pusat dan daerah. Ini menyebabkan ketidakjelasan dalam pelaksanaan regulasi, terutama dalam hal perizinan dan proyek infrastruktur (Ardiansyah, 2021). Keempat, meskipun digitalisasi telah digunakan untuk modernisasi administrasi, masih ada masalah dengan infrastruktur teknologi, terutama di wilayah terpencil. Digitalisasi sangat bergantung pada pelatihan SDM dan peningkatan kemampuan teknologi informasi di sektor publik (Santoso & Mulyadi, 2021). Untuk meningkatkan kualitas hukum administrasi publik di Indonesia, solusi yang menyeluruh dan berkelanjutan diperlukan.
Pemerintah harus meningkatkan harmonisasi peraturan antara pemerintah pusat dan daerah untuk mengatasi masalah transparansi, akuntabilitas, dan tumpang tindih regulasi dalam administrasi publik Indonesia. Untuk memastikan tidak ada tumpang tindih regulasi yang menghambat pelayanan publik, langkah pertama yang disarankan adalah meningkatkan koordinasi antar instansi yang terlibat dalam proses pembuatan kebijakan dan peraturan. Selain itu, untuk meningkatkan transparansi, pemerintah harus mendorong pelaksanaan UU Keterbukaan Informasi Publik secara lebih konsisten di seluruh lembaga pemerintahan, terutama di tingkat daerah, dengan menekankan pentingnya akuntabilitas pejabat publik. Peraturan yang lebih jelas juga perlu dibuat untuk meningkatkan sanksi yang tegas untuk pelanggaran transparansi dan akuntabilitas.
Pemerintah harus mempercepat penyediaan infrastruktur teknologi yang merata, terutama di wilayah yang tertinggal, untuk meningkatkan e-government. Reformasi birokrasi yang lebih mendalam yang berfokus pada penyederhanaan prosedur dan pengurangan potensi korupsi melalui digitalisasi proses perizinan juga sangat diperlukan untuk mendukung transformasi digital administrasi publik. Jika dikelola dengan baik, penerapan e-government dapat meningkatkan efisiensi dan mempercepat pelayanan publik.
II. Penutup
Meningkatkan kualitas pelayanan publik di Indonesia sangat dipengaruhi oleh reformasi hukum administrasi. Selama ini, masyarakat telah kehilangan kepercayaan terhadap pelayanan publik karena berbagai masalah yang dihadapi, seperti birokrasi yang berbelit, transparansi yang rendah, dan akuntabilitas yang lemah. Reformasi hukum administrasi dapat menghasilkan birokrasi yang lebih transparan dan bertanggung jawab. Ini sangat penting untuk mencegah pejabat publik menyalahgunakan kekuasaan mereka dan untuk memastikan bahwa layanan yang diberikan lebih tepat sasaran, efektif, dan adil. Pada akhirnya, reformasi meningkatkan kepercayaan publik dengan
menyederhanakan proses dan melindungi hak-hak masyarakat saat berinteraksi dengan pemerintah.
Sebuah sistem birokrasi yang lebih efektif dan akuntabel dapat diharapkan untuk masa depan administrasi publik Indonesia. Digitalisasi administrasi dan penerapan e-government dapat mempercepat proses pelayanan, mengurangi kontak langsung yang rentan korupsi, dan meningkatkan transparansi. Setiap pelanggaran atau ketidaksesuaian dalam pelayanan publik dapat dipantau dan dihukum dengan hukum administrasi yang kuat. Akibatnya, reformasi administrasi menjadi kebutuhan mendesak untuk mengimbangi perubahan sosial dan teknologi dan menjawab tantangan globalisasi yang semakin kuat. Ini bukan hanya wacana lagi.
DAFTAR PUSTAKA
Jones, A. (2021). Public Accountability and Administrative Law. New York: Legal Insights Press.
Supriyanto, A. (2022). "Investment Climate Post-OSS Implementation: Insights from the Indonesian Business Sector." Economics and Business Review, 12(3), 123-135.
Rachman, A., & Putra, D. (2020). Keterbukaan Informasi Publik di Indonesia: Tantangan dan Peluang. Jurnal Ilmu Administrasi Negara, 8(2), 15-28.
Budiarto, Andi. "Transformasi Digital dalam Pemerintahan: Tantangan dan Peluang." Jurnal Manajemen Pelayanan Publik, vol. 7, no. 1, 2023, pp. 25-40.
Analisis Asian Development Bank (ADB) terkait regulasi investasi dan koordinasi antar lembaga di Indonesia.
Artikel dari The Jakarta Post tentang birokrasi dan infrastruktur di Indonesia.
Jimly Asshiddiqie (2021). Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara. PT Kharisma Putra Utama.
Harsono, Andreas. “Indonesia's Bureaucratic Reform: Missing the Mark on Accountability”.
Human Rights Watch, 2020.
Miller, B. (2020). Administrative Law in Modern Governance. London: Routledge.
World Bank. (2022). "Improving Public Services in Indonesia: A Path Toward Digital Transformation." World Bank Publications.
Badan Pusat Statistik (BPS). "Statistik Telekomunikasi Indonesia 2022”.
Bappenas, 2020. "Evaluasi Pelaksanaan Otonomi Daerah."
Bappenas. "Tantangan dalam Implementasi OSS di Daerah: Laporan Tahunan 2022.”
Safitri, Diah. "Pentingnya Harmonisasi Regulasi antara Pusat dan Daerah." Jurnal Hukum &
Pemerintahan, vol. 5, no. 2, 2022, pp. 101-115.
Utrecht, E. (1959). Pengantar dalam Hukum Administrasi Indonesia. Surabaya: Drukkerij Soerabaja.
Ardiansyah, F. (2021). Otonomi Daerah dan Problematika Regulasi di Indonesia. Jurnal Hukum dan Kebijakan Publik, 9(1), 47-59.
Purwanto, H. (2019). Akuntabilitas dalam Pelayanan Publik: Studi Kasus di Sektor Pendidikan dan Kesehatan. Jakarta: Pustaka Utama.
Yanuar, Hendri. "Penguatan Akuntabilitas dan Transparansi dalam Administrasi Publik." Jurnal Administrasi Publik Indonesia, vol. 8, no. 3, 2021, pp. 45-60.
Ridwan HR. (2006). Hukum Administrasi Negara. PT Raja Grafindo Persada.
Ridwan HR. (2010). Hukum Administrasi Negara. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.
Indarto, I. (2016). Reformasi Birokrasi di Indonesia: Tantangan dan Peluang. Jurnal Administrasi Publik, 12(2), 213-225.
Nugraha, I. (2021). "Manfaat dan Tantangan Implementasi E-Government di Indonesia." Jurnal Komunikasi dan Informasi Publik, 7(1), 1-15.
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). (2021). "Laporan Tahunan KPK." KPK.go.id.
Kementerian Investasi/BKPM. (2021). "Sistem OSS Berbasis Risiko Mulai Berjalan 2 Agustus 2021."
Kementerian Komunikasi dan Informatika, 2021. "Laporan Implementasi E-Government di Indonesia”.
Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Republik Indonesia. "Percepatan Pelaksanaan OSS dalam Peningkatan Kemudahan Berusaha di Daerah." (2022).
Kementerian Investasi/BKPM. (2022). Evaluasi Sistem OSS: Laporan Tahunan 2022. Jakarta:
Kementerian Investasi.
Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PANRB). Laporan Evaluasi Reformasi Birokrasi Tahun 2023." Kemenpanrb.go.id, 2023.
Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (KemenPAN-RB).
"Laporan Evaluasi Implementasi E-Government di Indonesia 2023”.
Marwanto, L. (2023). “Strategies for Enhancing the Effectiveness of Risk-Based Licensing in Indonesia." Government Innovation Journal, 9(4), 78-94.
Santoso, B., & Mulyadi, R. (2021). Digitalisasi Birokrasi dan Tantangan E-Government di Indonesia. Jakarta: Gramedia.
Hadjon, Philipus M. (2007). Pengantar Hukum Administrasi Indonesia. Gadjah Mada University Press.
Hadjon, P. M. (2007). Pengantar Hukum Administrasi Indonesia. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Sjarifuddin, M. (2020). Resistensi Birokrasi terhadap Reformasi di Indonesia: Sebuah Analisis.
Jurnal Administrasi Publik, 12(1), 34-45.
OECD Reviews of Regulatory Reform: Indonesia 2021.
Rohman, M. (2020). Evaluasi Implementasi Reformasi Birokrasi di Indonesia. Jurnal Pemerintahan, 5(1), 55-70.
Sabaruddin, R. 2020. Desentralisasi dan Kewenangan Pemerintah Daerah di Indonesia: Evaluasi dan Tantangan. Jurnal Ilmu Pemerintahan.
Smith, R. (2022). The Role of Administrative Law in Public Administration. Cambridge:
Cambridge University Press.
Tim Redaksi. (2022). "Kasus e-KTP: Korupsi yang Merugikan Negara hingga Triliunan Rupiah".
Hukum Online.
Ramdhani, R. (2023). "Evaluating OSS Implementation in Indonesia's Risk-Based Licensing System: Challenges and Opportunities." Journal of Public Policy, 15(2), 45-60.
Dwianto, S. (2021). "Akuntabilitas dan Transparansi dalam Administrasi Publik: Studi Kasus Indonesia". Jurnal Tata Kelola Pemerintahan, 5(2), 150-165.
Tambunan, T. (2019). Implementasi E-Government di Indonesia. Jakarta: Badan Perencanaan Pembangunan Nasional.
Prasetyo, Teguh. (2015). Hukum Administrasi Negara: Teori dan Praktik di Indonesia. Jakarta:
Rajawali Press.
Surbakti, T. S. (2020). "Digitalisasi Birokrasi di Era Revolusi Industri 4.0: Tinjauan Implementasi E-Government di Indonesia." Jurnal Administrasi Publik, 15(2), 230-245.
Transparency International. (2020). "Corruption Perceptions Index 2020." Transparency.org.
Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 2018 tentang Pelayanan Perizinan Berusaha Terintegrasi Secara Elektronik.
Instruksi Presiden No. 3 Tahun 2003 tentang Kebijakan dan Strategi Nasional Pengembangan E- Government.
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah.
Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik No. 14 Tahun 2008.
Undang-Undang Administrasi Pemerintahan No. 30 Tahun 2014.
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.
Undang-Undang Otonomi Daerah No. 23 Tahun 2014.
Hadiprayitno, Y. (2021). Penegakan Hukum Administrasi dalam Era Reformasi Birokrasi:
Tantangan dan Peluang. Jurnal Hukum dan Kebijakan Publik, 15(2), 77-89.