penelitian yang berjudul Pengaruh Pendekatan Saintifik terhadap Kemampuan Daya Matematis pada Siswa Sekolah Dasar di Jakarta Timur.
Terimakasih kami ucapkan kepada ibu Dr. Sofia Hartati, M.Si selaku Dekan Fakultas Ilmu Pengetahun UNJ yang telah memberi kesempatan kepada kami untuk melaksanakan penelitian payung ini. Tak lupa juga kami ucapkan terimakasih kepada teman teman yang membantu selama penulisan penelitian ini.
Jakarta, 31 Juli 2015 Penulis
Jakarta Timur. Penelitian di laksanakan pada siswa sekolah dasar negeri kelas IV dan V pada tahun ajaran 2015-2016 yang terletak di kawasan Jakarta Timur.
Penelitian ini menggunakan metode kuasi eksperimen dan sampel diambil secara cluster random sampling. Kelas kontrol mendapat perlakuan belajar matematika melalui pendekatan saintifik dan kelas kontrol mendapat perlakukan konvensional. Data diambil melalui tes berbentuk essay dan diolah dengan menggunakan uji-t. Temuan penelitian adalah: 1) Kemampuan pemecahan masalah siswa yang belajar melalui pendekatan Saintifik lebih baik dibandingkan dengan pembelajaran secara konvensional; 2) Kemampuan koneksi matematika siswa yang belajar melalui pendekatan Saintifik lebih baik dibandingkan dengan pembelajaran secara konvensional; 3) Kemampuan komunikasi matematis siswa yang belajar melalui pendekatan Saintifik lebih baik dibandingkan dengan pembelajaran secara konvensional; 4) Kemampuan penalaran siswa yang belajar melalui pendekatan Saintifik lebih baik dibandingkan dengan pembelajaran secara konvensional. Pendekatan saintifik tidak saja meningkatkan kemampuan matematis siswa tetapi juga meningkatkan minat siswa belajar matematika.
Kata kunci: Pendekatan Saintifik, Daya Matematis
Abstrak ii
Kata Pengantar iii
Daftar Isi iv
Daftar Tabel vi
Daftar Gambar viii
Daftar Lampiran ix
BAB. 1 PENDAHULUAN
A. Latar Belakang 1
B. Perumusan Masalah 4
C. Tujuan Penelitian 5
D. Manfaat Penelitian 5
BAB. II KAJIAN PUSTAKA
A. Daya Matematis 6
1. Pemecahan Masalah Matematis 6
2. Koneksi Matematis 8
3. Komunikasi Matematis 9
4. Penalaran Matematis 10
B. Pembelajaran Matematika di Sekolah Dasar 11
C. Pendekatan Saitifik 15
1. Pengertian Pendekatan Saitifik 15
2. Komponen Pendekatan Saintifik 16
BAB. III METODOLOGI PENELITIAN
A. Tempat dan Waktu Penelitian 18
B. Metode dan Disain Penelitian 18
C. Populasi dan Sampel Penelitian 19
D. Teknik Pengumpulan Data dan Instrumen Pengumpulan Data 19
E. Kisi-kisi Instrumen Daya Matematis 22
1. Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis 27
2. Kemampuan Koneksi Matematis 30
3. Kemampuan Komunikasi Matematis 34
4. Kemampuan Penalaran Matematis 37
B. Pengujian Persyaratan Analisi
1. Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis 41
2. Kemampuan Koneksi Matematis 42
3. Kemampuan Komunikasi Matematis 43
4. Kemampuan Penalaran Matematis 45
C. Pengujian Hipotesis 46
D. Pembahasan 52
BAB. V KESIMPULAN DAN SARAN 60
DAFTAR PUSTAKA 61
Tabel 3. Kisi-kisi Instrumen Kemampuan Daya Matematis 22 Tabel 4. Sebaran Instrumen Kemampuan Daya Matematis 23 Tabel 5. Validitas Instrumen Kemampuan Daya Matematis 24 Tabel 6. Reliabilitas Instrumen Kemampuan Daya Matematis 25 Tabel 7. Uji Hipotesis Kemampuan Daya Matematis 26 Tabel 8. Distribusi Frekuensi Posttest Kemampuan Pemecahan
Masalah Siswa Kelas Eksperimen
27
Tabel 9. Distribusi Frekuensi Posttest Kemampuan Pemecahan Masalah Kelas Kontrol
29
Tabel 10. Distribusi Frekuensi Posttest Kemampuan Koneksi Matematis Kelas Eksperimen
31
Tabel 11. Distribusi Frekuensi Posttest Kemampuan Koneksi Matematis Kelas Kontrol
33
Tabel 12. Distribusi Frekuensi Posttest Kemampuan Komunikasi Kelas Eksperimen
35
Tabel 13. Distribusi Frekuensi Posttest Kemampuan Komunikasi Kelas Kontrol
36
Tabel 14. Distribusi Frekuensi Kemampuan Penalaran Matematis Kelas Eksperimen
38
Tabel 15. Distribusi Frekuensi Kemampuan Penalaran Matematis Kelas Kontrol
40
Tabel 16. Uji Normalitas Kelas Ekperimen dan Kelas Kontrol Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis
41
Tabel 17. Uji Homogenitas Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis
42
Kemampuan Komunikasi Matematis
Tabel 21. Uji Homogenitas Kemampuan Komunikasi Matematis 44 Tabel 22. Uji Normalitas Kelas Ekperimen dan Kelas Kontrol
Kemampuan Penalaran Matematis
45
Tabel 23. Uji Homogenitas Kemampuan Penalaran Matematis 45 Tabel 24. Hasil Uji Hipotesis Pengaruh Kemampuan Pemecahan
Masalah Siswa yang Menggunakan Pendekatan Saintifik dengan Kemampuan Pemecahan Masalah Siswa yang Menggunakan Metode Konvensional
46
Tabel 25. Hasil Uji Hipotesis Pengaruh Kemampuan Koneksi Matematis yang Menggunakan Pendekatan Saintifik dengan Kemampuan Koneksi Matematis yang Menggunakan Metode Konvensional
48
Tabel 26. Rangkuman Uji Hipotesis Hubungan Kemampuan Koneksi Matematis dengan Pemecahan Masalah Matematis
49
Tabel 27. Hasil Uji Hipotesis Pengaruh Kemampuan Komunikasi Matematis Siswa yang Menggunakan Pendekatan Saintifik dengan Kemampuan Pemecahan Masalah Siswa yang Menggunakan Metode Konvensional
50
Tabel 28. Hasil Uji Hipotesis Pengaruh Kemampuan Penalaran Matematis Siswa yang Menggunakan Pendekatan Saintifik dengan Kemampuan Pemecahan Masalah Siswa yang Menggunakan Metode Konvensional
51
(Diadopsi dari Vui (2007)
Gambar 3. Diagram Histogram Variabel Kemampuan Pemecahan Masalah Akhir Siswa Kelas Eksperimen
27
Gambar 4. Diagram Histogram Varibel Kemampuan Pemecahan Masalah Akhir /Siswa Kelas Kontrol
30
Gambar 5. Diagram Histogram Variabel Kemampuan Koneksi Matematis Kelas Eksperimen
32
Gambar 6. Diagram Histogram Varibel Kemampuan Koneksi Matematis Kelas Kontrol
34
Gambar 7. Grafik Histogram Posttest Kemampuan Komunikasi Kelas Eksperimen
35
Gambar 8. Grafik Histogram Posttest Kemampuan Komunikasi Kelas Kontrol
37
Gambar 9. Diagram Histogram Variabel Kemampuan Penalaran Matematis Kelas Eksperimen
39 Gambar 10 Diagram Histogram Variabel Kemampuan Penalaran
Matematis Kelas Kontrol
Lampiran 1. Instrumen Test Daya Matematis 62 Lampiran 2. Uji Validitas Dan Reliabilitas Instrumen Daya Matematis 68
Lampiran 3. Hasil Test Daya Matematis 76
Lampiran 4. Uji Normalitas Dan Homogenitas 82
Lampiran 5. Uji Hipotesis 95
Lampiran 6. Rpp Kelas Eksperimen 100
!
BAB I. PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Pada abad ke-20 terjadi perubahan paradigma pembelajaran dalam dunia pendidikan. Pandangan konstruktivis yang menekankan pembelajaran terpusat kepada siswa dan siswa aktif telah menggeser pandangan behaviorisme yang mengutamakan stimulus dan respon. Penerapan behaviorisme dalam pembelajaran matematika cenderung menghasilkan siswa yang mempunyai pengetahuan banyak (khususnya pengetahuan faktual), tetapi miskin dalam kemampuan berpikir dan pemecahan masalah (Asikin, 2001). Sebaliknya konstruktivisme lebih menekankan kepada aspek kognitif dan afektif siswa atau lebih tepatnya bagaimana dan apa yang terjadi apabila mereka belajar matematika secara dinamis, termasuk faktor internal dan eksternal yang mempengaruhi cara berpikir atau belajar matematika.
Direktorat SLTP (2002) yang menyatakan bahwa hasil pembelajaran di sekolah dasar dan menengah di Indonesia adalah ketidakmampuan anak-anak menghubungkan antara apa yang dipelajari dengan bagaimana pengetahuan itu dimanfaatkan untuk memecahkan persoalan sehari-hari. Hal ini terjadi karena di sekolah siswa menghabiskan sebagian besar waktunya untuk mendengarkan penjelasan guru dan mengerjakan tugas tugas latihan.
Tujuan pembelajaran matematika saat ini cendrung untuk mencapai target kelulusan. Hal demikian tampak pada proses pembelajaran yang monoton, komunikasi satu arah, lebih fokus kepada kemampuan prosedural dan bergantung kepada buku paket. Soal-soal yang dikerjakan siswa bersifat hafalan dan pengerjaan soal-soal rutin. Dampak dari menghafalkan prosedur atau konsep matematika adalah membuat pembelajaran matematika tidak bermakna dan sulit diterapakan dalam masalah kehidupan sehari-hari.
Keadaan tersebut mengakibatkan siswa mengalami kesulitan dalam mengaplikasikan matematika ke dalam situasi kehidupan nyata. Hal lain yang menyebabkan sulitnya matematika bagi siswa adalah karena pembelajaran
matematika kurang bermakna. Guru dalam pembelajarannya di kelas tidak mengaitkan dengan skema yang telah dimiliki oleh siswa dan siswa kurang diberikan kesempatan untuk menemukan kembali dan mengkonstruksi sendiri ide- ide matematika. Mengaitkan pengalaman kehidupan nyata anak dengan ide-ide matematika dalam pembelajaran matematika di kelas penting dilakukan agar pembelajaran bermakna (Soedjadi, 2000; Price,1996; Zamroni, 2000). Menurut Van de Henvel-Panhuizen (2000) bila anak belajar matematika terpisah dari pengalaman mereka sehari-hari maka anak akan cepat lupa dan tidak dapat mengaplikasikan matematika
Banyak hal yang berperan sebagai faktor yang menyebabkan kegagalan siswa dalam pembelajaran antara lain faktor siswa, guru, proses pembelajaran dan kurikulum. Ditinjau dari faktor kurikulum, bila dicermati dari Kurikulum 1975, 1984, 1994, KBK dan KTSP maka dapat dikatakan bahwa tujuan pembelajaran matematika adalah agar siswa mampu menggunakan atau menerapkan matematika yang dipelajari disekolah untuk kehidupan sehari-hari dan membantu siswa mempelajari pengetahuan lainnya.
Ditinjau dari faktor guru, dipahami bahwa tentu ada beberapa kelemahan guru dalam kegiatan belajar-mengajar matematika. Pada proses pembelajaran, yang pada umumnya terlalu berkonsentrasi kepada penyelesaian soal yang bersifat prosedural. Kemudian studi yang dilakukan secara intensif oleh Direktorat Dikmenum pada tahun 2002 menunjukkan bahwa walaupun di sebagian sekolah (terutama didaerah perkotaan) menunjukkan adanya peningkatan mutu pendidikan yang cukup menggembirakan namun pembelajaran dan pemahaman siswa pada beberapa mata pelajaran (termasuk matematika) menunjukkan hasil yang kurang memuaskan. Armanto (2002) mengemukakan pola pembelajaran matematika cenderung text book oriented dan tidak terkait dengan kehidupan sehari-hari siswa. Kebanyakan guru mengajar dengan menggunakan buku paket sebagai
“resep”, mereka mengajarkan matematika halaman per halaman sesuai dengan apa yang tertulis di buku paket, Selain itu strategi pembelajaran lebih didominasi oleh upaya untuk menyelesaikan materi pembelajaran dalam waktu yang tersedia, dan kurang adanya upaya agar terjadi proses dalam diri siswa untuk mencerna materi
secara aktif dan konstruktif. Cara mengajar demikian sudah merupakan karakteristik umum bagaimana guru melaksanakan pembelajaran matematika di Indonesia.
Rendahnya penguasaan matematika siswa terkait langsung dengan proses pembelajaran yang diterima siswa di sekolah. Umumnya guru mengajarkan materi tersebut secara konvensional yang mempunyai tahapan pembelajaran seperti berikut: (1) Guru membahas pekerjaan rumah; (2) Guru menjelaskan materi baru beserta contoh soal; (3) Guru memberikan latihan soal yang mirip dengan contoh yang telah dijelaskan; (4) Guru memberi tugas pekerjaan rumah. Kegiatan pembelajaran seperti demikian sering ditemui dan menjadi rutinitas setiap hari dan kurangnya kegiatan siswa belajar aktif seperti kegiatan manipulatif, bereksperimen dan berdiskusi. Akibatnya siswa tidak memahami pengetahuan yang mendasari tentang sebuah konsep, bagaimana membangun sebuah konsep dan aplikasinya pada masalah dalam kehidupan sehari-hari, serta hubungan antara konsep dan pemecahan masalah.
Berdasarkan hal tersebut di atas, perlu dilakukan upaya yang sungguh- sungguh untuk mengubah paradigma pembelajaran matematika yang masih konvensional kearah pembelajaran yang inovatif seperti pendekatan saintifik.
Dalam panduan Kurikulum 2013, dijelaskan bahwa: proses pembelajaran berbasis pendekatan saintifik, ranah sikap menggamit transformasi substansi atau materi ajar agar peserta didik tahu tentang ‘mengapa’. Ranah keterampilan menggamit transformasi substansi atau materi ajar agar peserta didik tahu tentang
‘bagaimana’. Ranah pengetahuan menggamit transformasi substansi atau materi ajar agar peserta didik tahu tentang ‘apa’. Hasil akhirnya adalah peningkatan dan keseimbangan antara kemampuan untuk menjadi manusia yang baik (soft skills) dan manusia yang memiliki kecakapan dan pengetahuan untuk hidup secara layak (hard skills) dari peserta didik yang meliputi aspek kompetensi sikap, keterampilan, dan pengetahuan.
Pada penjelasan di atas diketahui bahwa pendekatan saintifik melibatkan ranah sikap, keterampilan dan pengetahuan. Hal ini menunjukkan bahwa pendekatan saintifik diawali dengan menumbuhkan sikap positif seperti rasa ingin
tahu, ingin menyelidiki dan pada akhirnya menumbuhkan kebiasaan belajar. Sikap positif tersebut memicu potensi keterampilan meliputi mengamati, menalar, menyimpulkan, dll. Ranah sikap dan keterampilan akan memproduksi pengetahuan yang merupakan tujuan dari proses pembelajaran. Dengan demikian proses pembelajaran yang dilalui dengan rasa senang, menantang, bekerja sama dan bermakna.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulakan bahwa pendekatan saintifik dapat digunakan sebagai upaya untuk meningkatkan kemampuan matematika.
Oleh sebab itu akan dilaksanakan penelitian dengan judul: Pengaruh Pendekatan Saintifik terhadap Kemampuan Matematika pada Siswa Sekolah Dasar di DKI Jakarta
B. PERUMUSAN MASALAH
Beradasarkan latar belakang masalah maka permasalahan dalam penelitian ini adalah : ” Bagaimana pengaruh pendekatan saintifik terhadap kemampuan matematika pada siswa Sekolah Dasar di DKI Jakarta” Adapun rincian masalahnya adalah sebagai berikut:
1. Apakah kemampuan pemecahan masalah siswa yang belajar melalui pendekatan Saintifik lebih baik dibandingkan dengan pembelajaran secara konvensional?
2. Apakah kemampuan koneksi matematika siswa yang belajar melalui pendekatan Saintifik lebih baik dibandingkan dengan pembelajaran secara konvensional?
3. Apakah terdapat hubungan positif antara kemampuan koneksi matematis dan kemampuan pemecahan masalah matematis?
4. Apakah kemampuan komunikasi matematis siswa yang belajar melalui pendekatan Saintifik lebih baik dibandingkan dengan pembelajaran secara konvensional?
5. Apakah kemampuan penalaran siswa yang belajar melalui pendekatan Saintifik lebih baik dibandingkan dengan pembelajaran secara konvensional?
C. TUJUAN PENELITIAN
Berdasarkan rumusan masalah di atas, penelitian ini bertujuan untuk:
1. Menelaah kemampuan pemecahan masalah siswa yang belajar melalui pendekatan Saintifik apakah baik dibandingkan dengan pembelajaran secara konvensional.
2. Menelaah kemampuan koneksi matematis siswa yang belajar melalui pendekatan Saintifik apakah lebih baik dibandingkan dengan pembelajaran secara konvensional.
3. Menelaah hubungan antara antara kemampuan koneksi matematis dan kemampuan pemecahan masalah matematis
4. Menelaah kemampuan komunikasi matematis siswa yang belajar melalui pendekatan Saintifik apakah lebih baik dibandingkan dengan pembelajaran secara konvensional.
5. Menelaah kemampuan penalaran siswa yang belajar melalui pendekatan Saintifik apakah lebih baik dibandingkan dengan pembelajaran secara konvensional.
D. MANFAAT PENELITIAN
Hasil dan temuan penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi pendidikan dasar, yaitu:
a. Memberikan dasar ilmiah bagi guru SD guna mengembangkan dan menerapkan pembelajaran matematikan yang berorientasi pada kehidupan sehari-hari,
b. Sumbangan pemikiran bagi pengelola pendidikan dalam meningkatkan kemampuan profesional guru sekolah dasar.
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Daya Matematis
Menurut NAEP (2003) daya matematis (Mathematical Power) adalah kemampuan siswa untuk memperoleh dan menggunakan pengetahuan matematika untuk menggali, membuat konjektur, penalaraan secara logis, menyelesaikan masalah non-rutin, komunikasi tentang/melalui matematika, dan menghubungkan ide-ide matematika dalam/diluar konteks matematika atau dengan disiplin ilmu lain dalam konteks yang sama atau relevan. Berdasarkan teori tersebut dapat dikemukakan bahwa daya matematis meliputi pemecahan masalah, koneksi matematis, komunikasi matematis, dan penalaran matematis.
1. Pemecahan Masalah Matematis
Menurut Krulik dan Rudnick (1995) masalah dalam matematika adalah situasi yang dihadapkan kepada seseorang atau kelompok yang belum ada cara atau prosedur untuk menemukan jawaban. Sedangkan masalah yang sudah terdapat cara atau prosedur untuk menyelesaikannya disebut latihan.
Charles dan Lester (1982) mengemukakan tiga kriteria sebuah masalah:
(1) Membuat orang ingin menyelesaikan masalah; (2) Belum ada prosedur untuk menyelesaikan masalah; (3) Memerlukan usaha dan ketekunan untuk menemukan jawaban. Adakalanya masalah bagi sesorang dapat merupakan bukan masalah bagi yang lainnya karena dia tidak tertarik atau tidak ingin menyelesaikannya.
Krulik dan Rudnick membedakan masalah dengan latihan berdasarkan ada atau tidaknya prosedur untuk menyelesaikan masalah. Sedangkan Yackel (Sutton, 2003) menyatakan perbedaan antara masalah dan latihan terletak pada struktur pembentuk masalah. Jika struktur pembentuk masalah diketahui, maka masalah itu berubah menjadi latihan karena struktur masalah akan mengarahkan siswa kepada strategi untuk menyelesaikan masalah.
Selanjutnya pemecahan masalah adalah penggunaan pengetahuan, keterampilan dan pemahaman sebelumnya untuk menjawab situasi baru (Krulik
& Rudnick, 1995; Morsound, 2002). Pendapat senada dikemukakan oleh Choi et al. (2000) bahwa pemecahan masalah adalah proses kognitif dalam menemukan jawaban untuk mencapai tujuan atau hasil belajar yang belum ada metode atau cara untuk memecahkan masalah itu.
Terkait dengan tidak adanya prosedur untuk menyelesaikan masalah, Polya (1987) merumuskan empat langkah penyelesaian masalah yang dapat digunakan sebagai panduan yaitu memahami masalah, membuat perencanaan, melaksanakan penyelesaian dan meninjau kembali. Krulik dan Rudnick (1995) mengembangkan tahap penyelesaian masalah yang disusun oleh Polya dengan menyisipkan komponen eksplorasi setelah tahap memahami masalah. Pada tahap meninjau kembali, Krulik dan Rudnik memasukkan unsur refleksi.
Memahami masalah sebagai langkah pertama pada proses pemecahan masalah memegang peran penting dalam keberhasilan penyelesaian suatu masalah. Proses pemecahan masalah melibatkan tiga aspek yang saling berhubungan yang disebut dengan Problem Solving Triad (Sutton, 2003).
Problem Solving Triad meliputi representasi masalah, pengalaman awal siswa dan pemahaman siswa tentang masalah dan struktur masalah. Representasi masalah adalah bagaimana siswa secara mental memroses dan menyajikan informasi yang terdapat dalam masalah dalam bentuk gambar atau bagan.
Gambar 1. Problem Solving Triad
Problem Solving Triad meliputi representasi masalah, pengalaman awal siswa dan pemahaman siswa tentang masalah dan struktur masalah. Representasi
Pengalaman!
awal!yang!terkait!
dengan!masalah!!
!
Representasi!
Masalah!
Pemahaman!!
Masalah!
masalah adalah bagaimana siswa secara mental memroses dan menyajikan informasi yang terdapat dalam masalah dalam bentuk gambar atau bagan.
Representasi ini secara langsung berhubungan dengan pengalaman awal siswa yang berkaitan dengan masalah. Representasi masalah tergantung kepada pengetahuan yang dimiliki siswa dan pengalaman siswa. Pengalaman siswa dan representasi masalah secara bersama-sama akan membantu siswa memahami masalah termasuk struktur yang mendasari masalah. Siswa yang tidak mampu memecahkan masalah biasanya tidak mampu membuat representasi masalah yang berisi komponen-komponen masalah dan akibatnya mereka tidak mampu memahami masalah dan menyelesaikan masalah.
2. Koneksi Matematis
Koneksi berarti hubungan. Koneksi dalam matematika atau koneksi matematis adalah hubungan ide matematika dengan konsep, keterampilan, peristiwa dan situasi lain. Koneksi dalam matematika terjadi dalam beberapa bentuk yaitu: (1) Koneksi antar topik matematika, (2) Koneksi antar representasi, (3) Koneksi antar keterampilan matematis, (4) Koneksi matematika dengan mata pelajaran lain (Riedesel et al., 1996). Berikut adalah penjelasan selengkapnya.
Pertama, koneksi antar topik matematika. Walaupun siswa belajar materi matematika secara terpisah, namun matematika harus dipahami sebagai suatu keseluruhan karena konsep, prosedur dan proses saling terkait. Kemampuan koneksi membuat siswa mampu melihat hubungan antara topik yang berbeda dan menggunakan hubungan tersebut untuk memahami masalah.
Ke-dua, koneksi antarrepresentasi matematika. Koneksi antarrepresentasi ide matematika diartikan sebagai hubungan yang terdapat antara suatu representasi dengan representasi yang lainnya.
Ke-tiga, koneksi antara pengetahuan matematika. Terdapat dua jenis pengetahuan matematika yaitu pengetahuan konseptual dan pengetahuan prosedural. Pengetahuan konseptual dan prosedural memegang peranan penting dalam belajar dan melakukan kegiatan matematis. Pengetahuan konseptual berkenaan dengan konsep atau prinsip matematika. Sedangkan pengetahuan
prosedural berkenaan dengan aturan-aturan dalam proses penyelesaian soal matematika. Setiap siswa hendaknya menguasai pengetahuan konseptual, pengetahuan prosedural dan hubungan antara kedua pengetahuan tersebut.
Ke-empat, koneksi matematika dengan pelajaran lain. Selama siswa mengalami pendidikan di sekolah, siswa diharapkan mempunyai pemahaman atas hubungan matematika dengan pelajaran lain. Matematika digunakan sebagai alat dalam pelajaran lain seperti sains, sosial, kesenian. Contohnya, pemahaman tentang skala diperlukan dalam pembuatan peta pada pelajaran IPS, pemahaman tentang rasio dan proporsi diperlukan dalam IPA dan keteraturan, kesebangunan geometri digunakan dalam Seni.
3. Komunikasi Matematis
Komunikasi adalah kemampuan mengungkapkan ide matematika secara lisan dan tulisan kepada orang lain (NCTM 2003). Komunikasi berperan sebagai alat dalam belajar. Dalam belajar matematika siswa mengungkapkan ide secara lisan dan tulisan tentang apa yang mereka pikirkan. Siswa menjadi terlibat aktif dalam belajar matematika bila mereka diberi kesempatan untuk berkomunikasi secara lisan atau tulisan kepada siswa lain untuk berbagi ide, metode dan solusi.
Menuliskan ide matematis membantu siswa merefleksikan kemajuan yang telah dicapai dan juga memudahkan guru untuk memantau penguasaan siswa.
Dalam pembelajaran matematika, komunikasi sangat penting dan perlu mendapat perhatian. Baroody (1993) mengemukakan bahwa alasan perlunya komunikasi dalam matematika adalah: (1) Komunikasi sebagai sarana untuk menyampaikan ide matematis secara jelas, ringkas dan tepat; (2) Komunikasi sebagai sarana untuk berinteraksi kepada sesama siswa atau pada guru.
Pembelajaran matematika selama ini menekankan kepada hafalan dan pengetahuan prosedural serta mengerjakan tugas matematika secara individu mengakibatkan komunikasi antara siswa atau siswa dengan guru tidak tejadi.
Menurut Vui (2007) hubungan antara peluang terjadinya komunikasi matematis pada siswa dengan kegiatan belajar dapat dilihat pada gambar berikut:
Investigasi Komunikasi Penyelesaian Masalah Latihan Menghafal fakta, prinsip, prosedur
Gambar 2.
Peluang Terjadi Komunikasi pada Kegiatan Belajar (Diadopsi dari Vui (2007)
Pada Gambar 2.2 terlihat bahwa peluang komunikasi paling kecil terjadi ketika siswa menghafal fakta, prinsip dan prosedur. Sedangkan peluang komunikasi pada pemecahan masalah termasuk terbesar setelah investigasi.
Luitel (2001) menyatakan bahwa representasi termasuk esensial dalam komunikasi. Luitel membagi representasi atas representasi internal dan representasi eksternal. Representasi internal adalah gambaran mental yang kita ciptakan dalam pikiran kita mengenai objek dan proses matematika. Representasi internal tidak dapat diamati secara langsung. Sedangkan representasi eksternal mengacu kepada menyajikan konsep dalam bentuk yang dapat dijangkau oleh indera seperi benda kongkret, gambar, grafik, simbul dan bahasa gerak dan verbal.
Representasi eksternal dapat dikomunikasikan dengan mudah kepada orang lain.
4. Penalaran Matematis
Penalaran adalah alat esensial dalam matematika dan dalam kehidupan sehari-hari. Keraf (Shadiq, 2004) menjelaskan penalaran adalah proses berpikir yang berusaha menghubung-hubungkan fakta atau bukti yang diketahui menuju kepada suatu kesimpulan. Baroody (1993) membedakan penalaran atas intuisi, penalaran induktif dan penalaran deduktif. Intuisi adalah dugaan yang berdasarkan kepada pendapat atau prasangka. Pendapat tersebut dapat saja telah/belum teruji kebenarannya dan berasal dari seseorang yang berpengaruh atau dipercaya. Sering kali dugaan dibuat seseorang karena kekurangan informasi
tentang sesuatu. Dugaan yang berdasarkan kepada bukti yang belum lengkap dalam matematika disebut dengan konjektur.
Penalaran induktif adalah berpikir dengan melihat pola dan membuat generalisasi. Penalaran deduktif adalah berpikir untuk memperoleh kesimpulan dari fakta atau informasi secar logis. Penalaran intuitif, induktif dan deduktif memegang peranan penting dalam pengembangan dan aplikasi matematika.
Mullis et al.(2007) menyebutkan domain kognitif yang terlibat dalam penalaran:
a. Analisis: menentukan dan menggambarkan atau menggunakan hubungan antara konsep dalam masalah matematika.
b. Generalisasi: mengaplikasikan hasil berpikir matematis dan pemecahan masalah dalam konsep atau pelajaran lain.
c. Sintesis/integrasi: memadukan beberapa prosedur untuk mencapai tujuan atau memadukan hasil untuk memperoleh hasil lain. Menghubungkan beberapa pengetahuan dan beberapa representasi untuk membuat jaringan diatara ide matematis
d. Pengambilan keputusan: menentukan salah atau benar sebuah pernyataan.
e. Menyelesaikan masalah tidak rutin.
Dari uraian di atas terlihat bahwa domain yang terdapat dalam penalaran juga terdapat dalam berpikir. Oleh sebab itu sering terjadi penggunaan istilah berpikir dan bernalar saling tertukar. Walaupun demikian penalaran dan berpikir merupakan hasil kegiatan matematis yang membuat matematika itu penting.
B. Pembelajaran Matematika di Sekolah Dasar
Ahli pendidikan anak seperti Piaget, Bruner dan Dienes mengemukakan anak belajar matematika adalah dengan cara berikut:
Pengetahuan tidak diterima secara fasif artinya anak tidak menerima pengetahuan dengan hanya mendengar penjelasan dari guru misalnya. Tetapi anak memperoleh pengetahuan melalui kegiatan yang dilakukan sendiri atau secara berkelompok. Misalnya, untuk memahami bidang datar siswa membuat persegi dari kertas atau dari sedotan.
Siswa menciptakan pengetahuan baru matematika melalui refleksi kegiatan fisik dan mental. Kegiatan fisik dimaksut adalah siswa memanipulasi alat peraga atau model matematika. Misalnya, siswa menyusun beberapa kertas origami di atas meja untuk menentukan luas meja. Dengan melakukan kegiatan yang sama pada beberapa permukaan yang berbeda siswa mampu membuat abstraksi luas permukaan. Ketika melakukan kegiatan matematika, dalam pikiran siswa terjadi kegiatan mental yang tinggi. Mereka mengamati hubungan, mengenali pola dan membuat generalisasi.
Belajar adalah proses sosial dimana siswa terlibat diskusi dengan diri mereka sendiri maupun dengan orang lain. Dalam hal ini sangat dianjurkan agar siswa tidak bekerja atau belajar sendiri melainkan belajar dalam dengan siswa lain secara berkelompok. Siswa tidak saja terlibat secara fisik dan mental dengan alat peraga tetapi juga terlibat secara sosial dengan siswa lain. Seperti berbagi ide, mendengarkan pendapat siswa lain, bertanya dan memberi penjelasan. Terkait dengan perkembangan siswa, Piaget membedakan tingkat berpikir siswa menurut usia yaitu sensorimotor (kurang dari 2 tahun), pra-operasional (2-6 tahun), operasional konkret (6-11 tahun) dan operasional formal (11 tahun keatas).
Dengan demikian siswa pada sekolah dasar berada pada tingkat operasional konkret dan operasional formal. Pada tingkat operasional konkret siswa memerlukan model matematika berbentuk benda konkret atau gambar untuk memahami konsep matematika yang abstrak. Sedangkan pada tingkat operasional formal siswa tidak lagi membutuhkan model atau alat peraga. Tetapi pengelompokkan menurut usia tersebut tidak berlaku mutlak, karena adakalanya siswa yang berada pada tingkat formal masih memerlukan alat peraga.
Disamping itu, Bruner mengelompokkan tingkat perkembangan siswa atas enaktif, ikonik dan simbulik. Pada tahap enaktif, siswa terlibat langsung secara fisik seperti mengutak atik, mengkonstruksi atau menyusun benda kongkret. Pada tahap ikonik, siswa memperoleh pengalaman dan pengetahuan melalui gambar.
Pada tahap simbulik, anak memahami konsep atau prinsip matematika dengan menggunakan simbol.
Meskipun tingkat perkembangan dikelompokkan secara berbeda antara Piaget dan Bruner, namun kerangka yang dianjurkan sebagai pedoman dalam pelaksanaan pembelajaran matematika serupa, yaitu:
a. Hal yang sangat mendasar dan perlu dalam proses pembelajaran adalah keterlibatan siswa secara aktif dan mendapat kesempatan untuk mengemukakan pendapat.
b. Beberapa karakteristik dan tahap berpikir dapat diidentifikasi keberadaanya, dan kemajuan siswa sesuai dengan kematangannya.
c. Belajar berkembang dari tahap konkret ke abstrak. Pengertian konkret relatif. Dapat terjadi 2 + 4 bagi seorang anak abstrak sedangkan bagi anak lain 2 + 4 tidak abstrak melainkan x + y adalah abstrak
d. Representasi simbul dan formal tentang ide matematika mengalir secara alami setelah anak mengalami tahap kongkret, yaitu ketika siswa mengalami pembentukan konsep dan pengalaman bermakna.
Berdasarkan kajian teori diatas, implikasi untuk pembelajaran matematika adalah sebagai berikut:
a. Melibatkan siswa secara aktif
Prinsip ini berdasarkan pada keterlibatan siswa secara aktif akan mendorong siswa untuk memahami apa yang sedang mereka kerjakan dan akibatnya akan mengembangkan pemahaman matematika. Melibatkan siswa secara aktif tidak hanya melibatkan fisik semata tetapi juga melibatkan mental. Aktivitas tersebut dapat dalam berbagai bentuk, seperti interasi siswa-guru, hands-on experience dan menggunakan alat belajar seperti teknologi komputer.
b. Belajar terkait dengan perkembangan anak
Belajar matematika yang efektif dan efisien tidak terjadi dengan sendirinya.
Siswa belajar matematika dengan baik, jika topik matematika sesuai dengan tingkat perkembangannya dan disajikan dalam bentuk menarik dan menyenangkan. Guru memegang peranan dalam pengadaan lingkungan belajar yang kaya agar siswa dapat mengeksplorasi matematika dalam tingkat perkembangan yang sesuai. Guru juga harus memberi pengarahan untuk
membantu siswa mengenali hubungan, membuat koneksi dan diskusi tentang matematika.
c. Siswa mempelajari matematika dengan caranya sendiri
Pernyataan tersebut mengandung makna: (1) siswa belajar dengan cara yang unik dan kemungkinan berbeda dengan teman yang lain, (2) tiap siswa memerlukan pengalaman tersendiri yang terhubung dengan pengalamannya di waktu lampau, (3) tiap siswa mempunyai latar belakang sosial-ekonomi- budaya yang berbeda.
d. Alat belajar manipulatif
Model dan alat belajar manipulatif berperan penting dalam membantu siswa belajar matematika. Karena matematika bersifat abstrak, model dapat membantu pemahaman siswa meskipun model itu tidak sempurna dan mempunyai keterbatasan. Model hanya mengilustrasikan konsep matematika berdasarkan pertimbangan-pertimbangan.
e Siswa mempelajari matematika baik secara mandiri maupun melalui kerja sama dengan temannya. Dengan cara bekerja sama atau berkelompok siswa dapat mengklarifikasi pengetahuan yang terlah diperolehnya dan memperkuat pemahamannya.
f. Siswa memerlukan konteks dan situasi yang berbeda-beda dalam mempelajari matematika. Matematika akan membosankan jika setiap kali dipelajari dalam bentuk absrak, rumus dan pengerjaan soal. Oleh karena itu matematika perlu disajikan dalam konteks kehidupan sehari-hari yang bervariasi. Sehingga siswa menyadari kehadiran matematika dalam kehidupan sehari-hari dan meyakini bahwa matematika itu digunakan dalam kehidupan sehari-hari.
C. Pendekatan Saintifik
1. Pengertian Pendekatan Saintifik
Menurut Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan (2013), metode ilmiah adalah serangkaian aktivitas pengumpulan data melalui observasi atau ekperimen, mengolah informasi atau data, menganalisis, kemudian memformulasi, dan menguji hipotesis. Metode ilmiah merujuk pada teknik-teknik investigasi atas suatu atau beberapa fenomena atau gejala, memperoleh pengetahuan baru, atau mengoreksi dan memadukan pengetahuan sebelumnya. Untuk dapat disebut ilmiah, metode pencarian (method of inquiry) harus berbasis pada bukti-bukti dari objek yang dapat diobservasi, empiris, dan terukur dengan prinsip-prinsip penalaran yang spesifik.
Proses pembelajaran disebut ilmiah jika memenuhi kriteria seperti berikut:
• Substansi atau materi pembelajaran berbasis pada fakta atau fenomena yang dapat dijelaskan dengan logika atau penalaran tertentu; bukan sebatas kira-kira, khayalan, legenda, atau dongeng semata.
• Penjelasan guru, respon peserta didik, dan interaksi edukatif guru-peserta didik terbebas dari prasangka yang serta-merta, pemikiran subjektif, atau penalaran yang menyimpang dari alur berpikir logis.
• Mendorong dan menginspirasi peserta didik berpikir secara kritis, analitis, dan tepat dalam mengidentifikasi, memahami, memecahkan masalah, dan mengaplikasikan substansi atau materi pembelajaran.
• Mendorong dan menginspirasi peserta didik mampu berpikir hipotetik dalam melihat perbedaan, kesamaan, dan tautan satu dengan yang lain dari substansi atau materi pembelajaran.
• Mendorong dan menginspirasi peserta didik mampu memahami, menerapkan, dan mengembangkan pola berpikir yang rasional dan objektif dalam merespon substansi atau materi pembelajaran.
• Berbasis pada konsep, teori, dan fakta empiris yang dapat dipertanggung - jawabkan.
• Tujuan pembelajaran dirumuskan secara sederhana, jelas, dan menarik
2. Komponen Pendekatan Saintifik
Menurut Permendikbud no.81A tahun 2013, Pendekatan Saintifik mempunyai lima komponen yaitu: 1) mengamati; 2) menanya; 3) mengumpulkan informasi; 4) mengasosiasi; dan 5) mengomunikasikan. Kelima komponen tersebut di jelaskan lebih jauh seperti berikut:
Dalam kegiatan mengamati, guru membuka secara luas dan bervariasi kesempatan peserta didik untuk melakukan pengamatan melalui kegiatan: melihat, menyimak, mendengar, dan membaca. Guru memfasilitasi peserta didik untuk melakukan pengamatan, melatih mereka untuk memperhatikan (melihat, membaca, mendengar) hal yang penting dari suatu benda atau objek.
Dalam kegiatan mengamati, guru membuka kesempatan secara luas kepada peserta didik untuk bertanya mengenai apa yang sudah dilihat, disimak, dibaca atau dilihat. Guru perlu membimbing peserta didik untuk dapat mengajukan pertanyaan: pertanyaan tentang yang hasil pengamatan objek yang konkrit sampai kepada yang abstra berkenaan dengan fakta, konsep, prosedur, atau pun hal lain yang lebih abstrak. Pertanyaan yang bersifat faktual sampai kepada pertanyaan yang bersifat hipotetik. Dari situasi di mana peserta didik dilatih menggunakan pertanyaan dari guru, masih memerlukan bantuan guru untuk mengajukan pertanyaan sampai ke tingkat di mana peserta didik mampu mengajukan pertanyaan secara mandiri. Dari kegiatan kedua dihasilkan sejumlah pertanyaan. Melalui kegiatan bertanya dikembangkan rasa ingin tahu peserta didik. Semakin terlatih dalam bertanya maka rasa ingin tahu semakin dapat dikembangkan. Pertanyaan terebut menjadi dasar untuk mencari informasi yang lebih lanjut dan beragam dari sumber yang ditentukan guru sampai yang ditentukan peserta didik, dari sumber yang tunggal sampai sumber yang beragam.
Tindak lanjut dari bertanya adalah menggali dan mengumpulkan informasi dari berbagai sumber melalui berbagai cara. Untuk itu peserta didik dapat membaca buku yang lebih banyak, memperhatikan fenomena atau objek yang lebih teliti, atau bahkan melakukan eksperimen. Dari kegiatan tersebut terkumpul sejumlah informasi.
Informasi tersebut menjadi dasar bagi kegiatan berikutnya yaitu
memeroses informasi untuk menemukan keterkaitan satu informasi dengan informasi lainnya, menemukan pola dari keterkaitan informasi dan bahkan mengambil berbagai kesimpulan dari pola yang ditemukan.
Kegiatan berikutnya adalah menuliskan atau menceritakan apa yang ditemukan dalam kegiatan mencari informasi, mengasosiasikan dan menemukan pola. Hasil tersebut disampikan di kelas dan dinilai oleh guru sebagai hasil belajar peserta didik atau kelompok peserta didik tersebut.
BAB III. METODOLOGI PENELITIAN
A. Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Sekolah Dasar di wilayah Jakarta Timur Penelitian dilaksanakan selama pada satu tahun Juli 2014- Juli 2015.
B. Metode dan Desain Penelitian
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah menggunakan metode kuasi eksperimen. Kuasi eksperimen merupakan pengembangan dari true experimental design, yang sulit dilaksanakan. Desain ini mempunyai kelompok kontrol, tetapi tidak dapat berfungsi sepenuhnya untuk mengontrol variabel-variabel luar yang mempengaruhi pelaksanaan eksperimen.
Desain penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah posttest only control design. Dalam desain penelitian ini, terdapat dua kelompok yang dipilih secara random, kelompok pertama sebagai kelas eksperimen di mana pada kelompok tersebut akan diberikan treatment berupa pembelajaran dengan pendekatan scientifi, dan kelompok kedua sebagai kelas kontrol di mana kelompok tersebut tidak diberikan perlakuan dan pembelajaran dilakukan dengan pendekatan konvensional seperti yang biasa dilakukan oleh guru kelas.
Kedua kelompok kemudian diberi posttest untuk mengetahui pengaruh atau perbedaan kemampuan pemecahan masalah siswa antara kelompok yang diberikan treatment dengan pendekatan saintifik dan kelompok dengan pendekatan konvensional. Skema desain penelitian ini adalah sebagai berikut :
Tabel 1. Desain Penelitian
Treatment Post test
R Xe O1
R ─ O2
Keterangan :
R = Random
Xe = perlakuan yang diberikan kepada kelompok eksperimen O1 = nilai posttest kelompok eksperimen
O4 = nilai post test kelompok kontrol C. Populasi dan Sampel Penelitian
1. Populasi
Populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas obyek/subyek yang mempunyai kualitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulan. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh siswa SD kelas tinggi yang berada di wilayah Jakarta Timur.
2. Tehnik Pengambilan Sampel
Sampel adalah bagian dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki oleh pupulasi (Sugiono, 2010). Sampel yang digunakan dalam penelitian ini ditentukan dengan menggunakan tehnik cluster random sampling. Dalam penelitian ini dilibatkan 3 buah kelas eksperimen dan 3 kelas kontrol yang terdiri atas siswa kelas IV dan kelas V sebagai wakil dari siswa kelas tinggi sekolah dasar. Adapun sekolah yang terpilih sebagai sampel adalah sebagai berikut:
Tabel 2. Daftar Sekolah Sampel Penelitian
Nama Sekolah Kelas Jumlah siswa
Kelas Eksperimen
Jumlah siswa Kelas Kontrol
SDN Cililitan 02 Pagi V 30 siswa 30 siswa
SDN Ujung Menteng 07 Pagi IV 34 siswa 34 siswa SDN Pondok Kopi 01 Pagi IV 36 siswa 36 siswa D. Teknik Pengumpulan Data dan Instrumen Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang dilakukan dalam penelitian ini dengan menggunakan tes berupa soal. Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan tes essai.
Penelitian ini bertujuan untuk menelaah empat variabel terikat yaitu pemecahan masalah, koneksi matematis, kemampuan komunikasi matematis, dan penalaran.
1. Definisi Konseptual
Definisi konseptual kemampuan daya matematis dijabarkan atas 4 variabel terikat sebagai berikut:
a. Kemampuan pemecahan masalah adalah kecakapan dalam mengusahakan pencarian solusi dengan penalaran menggunakan pengetahuan yang dimiliki serta metode-metode guna mencapai tujuan yaitu menyelesaikan persoalan yang sedang dihadapi. Kemampuan pemecahan masalah ditunjukkan dengan; (1) memecahkan masalah yang timbul dalam matematika; (2) memecahkan masalah yang melibatkan matematika dalam konteks lain; (3) memantau dan mencerminkan proses pemecahan masalah matematika.
b. Kemampuan koneksi matematis adalah keterampilan seseorang dalam memperlihatkan hubungan antar topik matematika, matematika dengan ilmu lain dan matematika dengan kehidupan nyata, yang dapat dilihat dengan indikator sebagai berikut; (1) mengetahui dan mengaitkan ide dalam matematika; (2) menunjukkan bagaimana ide matematika saling terkait dan bersama-sama membangun suatu kesatuan; (3) mengetahui dan menerapkan matematika di luar konteks matematika.
c. Kemampuan komunikasi matematis adalah (1) mengkomunikasikan ide matematika secara jelas; (2) menganalisis dan mengevaluasi ide dan strategi matematika; (3) menggunakan bahasa matematika untuk mengekspresikan gagasan matematika dengan tepat.
d. Kemampuan Penalaran matematis adalah suatu kesanggupan dalam proses berpikir logis yang menghubungkan antara ide-ide atau pengetahuan matematika yang telah diperoleh sebelumnya kemudian mampu menghasilkan sebuah kesimpulan logis, mampu menggunakan
pola dan hubungan matematika dalam menganalisis, membuat konjektur matematika serta membuat argumen untuk penyelesaian masalah matematika.
2. Definisi Operasional
Definisi operasional kemampuan daya matematis dijabarkan atas 4 variabel terikat sebagai berikut:
a. Kemampuan pemecahan masalah adalah skor yang diperoleh melalui tes tertulis yang menggambarkan kemampuan untuk (1) menyelesaikan masalah di dalam konteks matematika,(2) menyelesaikan masalah di luar konteks matematika dan (3) menyelesaikan masalah dengan menggunakan lebih dari satu cara.
b. Kemampuan koneksi matematis adalah skor yang diperoleh melalui tes tertulis berupa soal essay yang menggambarkan kemampuan untuk;
(1) mengetahui dan mengaitkan ide dalam matematika; (2) menunjukkan bagaimana ide matematika saling terkait dan bersama-sama membangun suatu kesatuan; (3) mengetahui dan menerapkan matematika di luar konteks matematika.
c. Komunikasi matematis adalah skor yang diperoleh dari (1) mengkomunikasikan ide matematika secara jelas; (2) menganalisis dan mengevaluasi ide dan strategi matematika; (3) menggunakan bahasa matematika untuk mengekspresikan gagasan matematika dengan tepat.
d. Kemampuan Penalaran matematis adalah skor yang diperoleh dari tes tertulis yang menggambarkan suatu kesanggupan dalam proses berpikir logis yang menghubungkan antara ide-ide atau pengetahuan matematika yang telah diperoleh sebelumnya kemudian mampu menghasilkan: (1) sebuah kesimpulan logis, (2) mampu menggunakan pola dan hubungan matematika dalam menganalisis, (3) membuat konjektur matematika serta
(4) membuat argumen untuk penyelesaian masalah matematika. Penalaran matematis ini akan diukur menggunakan skala 0 – 3.
E. Kisi-Kisi Instrumen Kemampuan Daya Matematis
Instrumen kemampuan daya matematis dipaparkan dalam tabel berikut:
Tabel 3. Kisi-kisi Instrumen Kemampuan Daya Matematis Aspek Daya
Matematis Indikator No
Item
Jumlah soal
Kemampuan Pemecahan masalah
Menyelesaikan masalah di dalam konteks
matematika 1,4 2
Menyelesaikan masalah di luar konteks
matematika 3,5,7 3
Dapat menyelesaikan masalah dengan
menggunakan lebih dari satu cara 2,6 2
Kemampuan Koneksi matematis
mengetahui dan mengaitkan ide dalam
matematika 4, 6, 9 3
menunjukkan bagaimana ide matematika saling terkait dan bersama-sama
membangun suatu kesatuan 1, 5, 7 3
mengetahui dan menerapkan matematika
di luar konteks matematika 2, 3, 8 3
Kemampuan Komunikasi Matematis
Memahami ide dan pemikiran matematika
1, 2 2
Mengkomunikasikan informasi dalam bentuk simbol, gambar dan kalimat
3, 4 2
Menganalisa ide matematika menurut bahasa matematika
5 1
Mengevaluasi ide matematika 6 1
Memahami persoalan yang muncul dalam bentuk simbol matematika
7, 8 2
Menyelesaikan soal matematika 9, 10 2 Kemampuan Membuat kesimpulan logis tentang ide 1, 2, 3 3
Penalaran Matematis
matematika
Menggunakan pola dan hubungan untuk
menganalisa situasi matematika 7, 8, 9 3 Membuat dan menginvestigasi konjektur
matematika
4, 5, 6 3 Membuat argumen untuk menyelesaikan
masalah
10, 11, 12
3
Instrumen tersebut di uji kan kepada siswa sesuai dengan hipotesis penelitian dan sampel penelitian. Sebarannya instrumen dan sampel penelitian adalah sebagai berikut:
Tabel 4. Sebaran Instrumen Kemampuan Daya Matematis Hipotesis Penelitian Sampel Penelitian Instrumen Terdapat pengaruh
penggunaan pendekatan
saintifik terhadap
kemampuan Pemecahan masalah matematis siswa kelas IV sekolah dasar
SDN Cililitan 02 Pagi Pemecahan Masalah
Terdapat pengaruh penggunaan pendekatan saintifik terhadap kemampuan koneksi matematis siswa kelas IV sekolah dasar
Koneksi Matematika
Terdapat hubungan positif antara kemampuan komunikasi dengan kemampuan pemecahan masalah matematis siswa kelas IV sekolah dasar
Menggunakan data pemecahan Masalah dan koneksi matematis
Terdapat pengaruh penggunaan pendekatan saintifik terhadap kemampuan komunikasi matematis siswa kelas IV sekolah dasar.
SDN Ujung Menteng 07 Pagi
Koneksi Matematis
Terdapat pengaruh penggunaan pendekatan saintifik terhadap kemampuan Penalaran matematis siswa kelas IV sekolah dasar.
SDN Pondok Kopi 01 Pagi
Penalaran Matematis
F. Uji Persyaratan Instrumen
Instrumen yang akurat dapat diperoleh melalui proses kalibrasi dengan pengujian validitas dan menghitung reliabilitas. Uji instrumen ini dilakukan untuk mengetahui kualitas instrumen, karena instrumen yang digunakan dalam penelitian harus memenuhi dua persyaratan yaitu valid dan reliabel. Validitas instrumen diuji dengan rumus korelasi product moment dan reliabilitas diuji dengan rumus Alpha Cronbach.
Hasil uji validitas instrumen daya matematis dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel 5. Validitas Instrumen Kemampuan Daya Matematis Aspek
Kemampuan Daya Matematis
No. Soal rhitung rtabel Kesimpulan Kemampuan
Pemecahan Masalah
1 0,612 0,361 Valid
2 0,342 Tidak Valid
3 0,687 Valid
4 0,742 Valid
5 0,764 Valid
6 0,738 Valid
7 0,271 Tidak Valid
Kemampuan Koneksi Matematis
1 0,658 0,361 Valid
2 0,633 Valid
3 0,713 Valid
4 0,529 Valid
5 0,640 Valid
6 0,553 Valid
7 0,548 Valid
8 0,580 Valid
9 0,577 Valid
Kemampuan Komunikasi Matematis
1 0,487 0,361 Valid
2 0,706 Valid
3 0,576 Valid
4 0,500 Valid
5 0,580 Valid
6 0,686 Valid
7 0,456 Valid
8 0,141 Tidak Valid
9 0,672 Valid
10 0,662 Valid
Kemampuan 1 0,531 0,361 Valid
Penalaran Matematis
2 0,709 Valid
3 0,5 Valid
4 0,653 Valid
5 0,356 Valid
6 0,691 Valid
7 0,557 Valid
8 0,681 Valid
9 0,414 Valid
10 0,296 Tidak Valid
11 0,763 Valid
12 0,757 Valid
Berdasarkan hasil uji validitas (hasil perhitungan selengkapnya pada Lampiran 2 hal. 78), maka soal yang digunakan dalam penelitian adalah soal yang valid untuk semua aspek kemampuan daya matematis (Lampiran 1 hal. 62).
Berikut ini adalah hasil uji reliabilitas instruman kemampuan daya matematis (perhitungan selengkapnya pada Lampiran 2 hal. 68)
Tabel 6. Reliabilitas Instrumen Kemampuan Daya Matematis
Aspek Daya Matematis Uji Reliabilitas
koefisien Keterangan
Kemampuan Pemecahan masalah matematis 0,640 Reliabilitas tinggi Kemampuan Koneksi Matematis 0,711 Reliabilitas tinggi Kemampuan Komunikasi matematis 0,698 Reliabilitas tinggi Kemampuan Penalaran matematis 0,777 Reliabilitas tinggi
G. Teknis Analisis Data
Teknik analisis data merupakan prosedur penelitian yang digunakan untuk proses data agar data mempunyai makna untuk menjawab masalah dalam penelitian ini dan menguji hipotesis. Data-data tersebut dianalisis melalui dua tahap sebagai berikut:
1. Statistik Deskriptif
Statistik deskriptif dilakukan dengan mengolah data awal untuk mencari mean, median, modus, simpangan baku, nilai maksimum dan minimum.
2. Statistik Inferensial
Statistik inferensial dilakukan persyaratan analisis yakni dengan proses pengujian analisis normalitas dan homogenitas. Uji normalitas meggunakan uji Lilliefors dan homogenitas menggunakan uji Fisher. Penggunaan statistik inferensial sesuai dengan hipotesis penelitian, seperti tampak pada tabel berikut:
Tabel 7. Uji Hipotesis Kemampuan Daya Matematis
1 NO Hipotesis Penelitian Uji Inferensial
1 Terdapat pengaruh penerapan pendekatan saintifik terhadap kemampuan Pemecahan masalah matematis siswa kelas IV sekolah dasar
Uji-t
2 Terdapat pengaruh penerapan pendekatan saintifik terhadap kemampuan komunikasi matematis siswa kelas IV sekolah dasar.
Uji-t
3 Terdapat hubungan positif antara kemampuan
komunikasi dengan kemampuan pemecahan masalah matematis siswa kelas IV sekolah dasar
Regresi Linier
4 Terdapat pengaruh penerapan pendekatan saintifik terhadap kemampuan koneksi matematis siswa kelas IV sekolah dasar.
Uji-t
5 Terdapat pengaruh penerapan pendekatan saintifik terhadap kemampuan Penalaran matematis siswa kelas IV sekolah dasar.
Uji-t
BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Pada bab ini akan disajikan hasil pengolahan data penelitian dalam bentuk deskripsi data, pengujian persyaratan analisis, pengujian hipotesis, pembahasan hasil, dan keterbatasan penelitian.
A. Deskripsi Data
Berikut adalah penjelasan deskripsi data posttest kemampuan daya matematis, secara berturut-turut diuraikan kemampuan pemecahan masalah matematis, kemampuan koneksi matematis, kemampuan komunikasi matematis dan kemampuan penalaran matematis.
1. Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis a. Kelas Eksperimen
Skor kemampuan pemecahan masalah diperoleh dengan menghitung rata- rata skor posttest sesudah menggunakan pendekatan saintifik. Skor diperoleh dengan menghitung hasil tes menyelesaikan soal yang diberikan guru.
Berdasarkan hasil scoring diperoleh rentang data secara teoritis 0-20. Setelah dilakukan perhitungan diperoleh rentang skor yaitu 7-19 yang berarti skor terendah responden adalah 7 dan skor tertinggi 19. Rata-rata (X) skor adalah 13,86, modus 17, median 14, varians (S2) sebesar 9,49 dan standar deviasi (S) sebesar 3,08. (Data selengkapnya lihat Lampiran 3 hal. 76)
Tabel 8.
Distribusi Frekuensi Posttest Kemampuan Pemecahan Masalah Siswa Kelas Eksperimen
No Kelas Frek Frek Batas Batas Interval Absolut Relatif Bawah Atas
(x) (f) (%) (Bb) (Ba)
1 7-8 2 6,67% 6,5 8,5
2 9-10 3 10% 8,5 10,5
3 11-12 3 10% 10,5 12,5
4 13-14 8 26,67% 12,5 14,5
5 15-16 6 20% 14,5 16,5
6 17-18 7 23,34% 16,5 18,5
7. 19-20 1 3,34 18,5 20,5
Jumlah 30 100%
Berdasarkan tabel distribusi frekuensi di atas, skor tertinggi diperoleh 1orang siswa dengan skor antara 19-20 atau 3,34 %. Skor terendah diperoleh 2 orang siswa mendapat skor antara 7-8 atau 6,67% dan terlihat bahwa sebagian besar siswa, yakni sebanyak 8 orang siswa mendapat skor antara 13-14 atau 26,67%.
Berdasarkan tabel distribusi frekuensi terlihat modus berada di kelas interval 13- 14 yakni sebanyak 8 orang siswa atau 26,67%. Berdasarkan tabel frekuensi di atas dapat digambarkan histogram sebagai berikut:
Gambar 3. Diagram Histogram Variabel Kemampuan Pemecahan Masalah Akhir Siswa Kelas Eksperimen
Berdasarkan diagram histogram di atas dapat dijelaskan bahwa sebagian besar, yakni sebanyak 8 siswa berada pada interval 12,5-14,5. Paling sedikit, yakni 1 siswa berada pada interval 18,5-20,5.
0"
2"
4"
6"
8"
6,5 8,5 10,5 12,5 14,5 16,5 18,5 20,5
Frekuensi!
b. Kelas Kontrol
Skor kemampuan pemecahan masalah diperoleh dengan menghitung rata-rata hasil skor posttest sesudah menggunakan metode pembelajaran konvensional.
Skor diperoleh dengan menghitung hasil tes siswa setelah menyelesaikan soal yang diberikan guru. Berdasarkan hasil scoring diperoleh rentang data secara teoritis 0-20. Setelah dilakukan perhitungan diperoleh rentang skor yaitu 5-19 yang berarti skor terendah responden adalah 5 dan skor tertinggi 19. Rata-rata (X) skor adalah 11,1, modus 13, median 12, varians (S2) sebesar 12,16 dan standar deviasi (S) sebesar 3,48. (Data selengkapnya lihat Lampiran 3 hal. 77)
Tabel 9.
Distribusi Frekuensi Posttest Kemampuan Pemecahan Masalah Kelas Kontrol
No Kelas Frek Frek Batas Batas Interval Absolut Relatif Bawah Atas
(x) (f) (%) (Bb) (Ba)
1 5-6 4 13,34% 4,5 6,5
2 7-8 3 10% 6,5 8,5
3 9-10 6 20% 8,5 10,5
4 11-12 6 20% 10,5 12,5
5 13-14 6 20% 12,5 14,5
6 15-16 3 10% 14,5 16,5
7 17-18 1 3,34% 16,5 18,5
8 19-20 1 3,34% 18,5 20,5
Jumlah 30 100%
Berdasarkan tabel distribusi frekuensi di atas, skor tertinggi diperoleh 1 orang siswa dengan skor antara 19-20 atau 3,34%. Skor terendah diperoleh 4 orang siswa mendapat skor antara 5-6 atau 13,34% dan terlihat bahwa sebagian besar siswa, yakni sebanyak 6 orang siswa mendapat skor antara 9-10,11-12, dan 13-14
atau 20%. Berdasarkan tabel distribusi frekuensi terlihat modus berada di kelas interval 9-10, 11-12, dan 13-14 yakni sebanyak 6 orang siswa atau 20%.
Berdasarkan tabel frekuensi di atas dapat digambarkan histogram sebagai berikut :
Gambar 4. Diagram Histogram Varibel Kemampuan Pemecahan Masalah Akhir /Siswa Kelas Kontrol
Berdasarkan diagram histogram di atas dapat dijelaskan bahwa sebagian besar, yakni sebanyak 6 siswa berada pada interval 8,5 - 10,5, 10,5-12,5 dan 12,5- 14,5 dan paling sedikit, yakni 1 siswa berada pada interval 16,5 – 18,5 dan 18,5 – 20,5.
2. Kemampuan Koneksi Matematis a. Kelas Eksperimen
Skor kemampuan koneksi matematis ini diperoleh dengan menghitung skor yang diperoleh setelah merata-ratakan tes sesudah menggunakan pendekatan saintifik. Skor diperoleh dengan menghitung hasil tes menyelesaikan soal yang diberikan guru. Berdasarkan hasil skoring diperoleh rentang data secara teoretis 0 – 36. Setelah dilakukan perhitungan diperoleh rentang skor empiris yaitu 10-36 yang berarti skor terendah responden adalah 10 dan skor tertinggi 36. Rata-rata (X) skor adalah 27, modus 32, median 30, varians (S2) sebesar 58,966 dan standar deviasi (S) sebesar 7,679 (Data selengkapnya terdapat pada Lampiran 3 hal. 78).
0"
1"
2"
3"
4"
5"
6"
7"
!4,5!!!!!!!!6,5!!!!!!!!8,5!!!!!!!10,5!!!!!!12,5!!!!!!14,5!!!!!!!16,5! !!!!18,5!!!!!!20,5!
Frekuensi!!!! !!
Tabel 10.
Distribusi Frekuensi Posttest Kemampuan Koneksi Matematis Kelas Eksperimen
No Kelas
Interval Frekuensi Absolut
Frekuensi Relatif
(%)
Titik
Tengah Batas
Bawah Batas Atas
1 10-14 3 10,00% 12 9,5 14,5
2 15-19 3 10,00% 17 14,5 19,5
3 20-24 4 13,33% 22 19,5 24,5
4 25-29 4 13,33% 27 24,5 29,5
5 30-34 12 40,00% 32 29,5 34,5
6 35-39 4 13,33% 37 34,5 39,5
30 100,00%
Skor maksimal data secara teoretis adalah 36. Berdasarkan tabel distribusi frekuensi di atas, skor tertinggi diperoleh 4 orang siswa dengan skor antara 35 – 39 atau 13,33 %. Skor terendah diperoleh 3 orang siswa mendapat skor antara 10 – 14 atau 10,00% dan terlihat bahwa sebagian besar siswa, yakni sebanyak 12 orang siswa mendapat skor antara 30 – 34 atau 40,00%. Berdasarkan tabel distribusi frekuensi terlihat modus berada di kelas interval 30 – 34 yakni sebanyak 12 orang siswa atau 40,00%. Berdasarkan tabel frekuensi di atas dapat digambarkan histogram sebagai berikut:
Gambar 5.. Diagram Histogram Variabel Kemampuan Koneksi Matematis Kelas Eksperimen
Berdasarkan diagram histogram di atas dapat dijelaskan bahwa sebagian besar, yakni sebanyak 12 siswa berada pada batas 29,5 – 34,5. Paling sedikit, yakni 3 siswa berada pada batas 9,5 – 14,5 dan 14,5 – 19,5.
b. Kelas Kontrol
Skor kemampuan koneksi matematis diperoleh dengan menghitung skor yang diperoleh setelah merata-ratakan hasil tes sesudah menggunakan metode pembelajaran konvensional. Skor diperoleh dengan menghitung hasil tes siswa setelah menyelesaikan soal yang diberikan guru. Berdasarkan hasil skoring diperoleh rentang data secara teoretis 0 – 36. Setelah dilakukan perhitungan diperoleh rentang skor empiris yaitu 4 -31 yang berarti skor terendah responden adalah 4 dan skor tertinggi 31. Rata-rata (X) skor adalah 19,433, modus 20, median 19, varians (S2) sebesar 45,081 dan standar deviasi (S) sebesar 6,714 (Data selengkapnya terdapat pada Lampiran 3 hal. 78).
0 2 4 6 8 10 12 14
!!!9,5!!!!!!!!14,5!!!!!!!!19,5!!!!!!!!24,5!!!!!!!!29,5!!!!!!!!34,5!!!!!!!!!39,5!
Batas!Interval!
!
!
Frekuensi!
Tabel 11.
Distribusi Frekuensi Posttest Kemampuan Koneksi Matematis Kelas Kontrol
No Kelas
Interval Frekuensi Absolut
Frekuensi Relatif
(%)
Titik
Tengah Batas
Bawah Batas Atas
1 4-8 2 6,67% 6 3,5 8,5
2 9-13 3 10,00% 11 8,5 13,5
3 14-18 9 30,00% 16 13,5 18,5
4 19-23 9 30,00% 21 18,5 23,5
5 24-28 3 10,00% 26 23,5 28,5
6 29-33 4 13,33% 31 28,5 33,5
30 100,00%
Skor maksimal data secara teoretis adalah 36. Berdasarkan tabel distribusi frekuensi di atas, Skor tertinggi diperoleh 4 orang siswa dengan skor antara 29 – 33 atau 13,33%. Skor terendah diperoleh 2 orang siswa mendapat skor antara 4 – 8 atau 6,67% dan terlihat bahwa sebagian besar siswa, yakni sebanyak 9 orang siswa mendapat skor antara 14 – 18 dan 19 -23 atau 30%. Berdasarkan tabel distribusi frekuensi terlihat modus berada di kelas interval 14 – 18 dan 19 -23, yakni sebanyak 9 orang siswa atau 30%. Berdasarkan tabel frekuensi di atas dapat digambarkan histogram sebagai berikut :
Gambar 6. Diagram Histogram Varibel Kemampuan Koneksi Matematis Kelas Kontrol
Berdasarkan diagram histogram di atas dapat dijelaskan bahwa sebagian besar, yakni sebanyak 9 siswa berada pada batas 13,5 – 18,5 dan 18,5 – 23,5 dan paling sedikit, yakni 2 siswa berada pada batas 3,5 – 8,5.
3. Kemampuan Komunikasi Matematis a. Kelas Eksperimen
Skor kemampuan komunikasi matematis siswa diperoleh dengan menghitung skor yang diperoleh setelah merata-ratakan hasil kemampuan komunikasi matematika sesudah menggunakan pendekatan saintifik. Skor diperoleh dengan menghitung kemampuan komunikasi matematis siswa setelah menyelesaikan tes yang diberikan guru. Berdasarkan hasil skoring diperoleh rentang data secara teoretis 0 – 27. Setelah dilakukan perhitungan diperoleh rentang skor empiris yaitu 14-27 yang berarti skor terendah responden adalah 14 dan skor tertinggi 27. Rata-rata (X) skor adalah 23,68, modus 25,25, median 25,5, varians (S2) sebesar 10,21 dan standar deviasi (S) sebesar 3,20. Data selengkapnya dapat dilihat di Lampiran 3 hal. 79.
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
!!3,5!!!!!!!!!!8,5!!!!!!!!!13,5!!!!!!!!18,5!!!!!!!!23,5!!!!!!!!!28,5!!!!!!!33,5!
Batas!Interval!
!
Frekuensi!
Tabel 12. Distribusi Frekuensi Posttest Kemampuan Komunikasi Kelas Eksperimen
Kelas Frek. Frek. Frek. Batas Batas Interval Absolut Kumulatif Relatif Bawah Atas
14 – 15 1 1 2.94% 13.5 15.5
16 – 17 2 3 5.88% 15.5 17.5
18 – 19 1 4 2.94% 17.5 19.5
20 – 21 2 6 5.88% 19.5 21.5
22 – 23 5 11 14.71% 21.5 23.5
24 – 25 12 23 35.29% 23.5 25.5
26 – 27 11 34 32.35% 25.5 27.5
Jumlah 34 100%
Skor maksimal data secara teoretis adalah 27. Berdasarkan tabel distribusi frekuensi di atas, skor tertinggi diperoleh 11 orang siswa dengan skor antara 26 – 27 atau 32,35 %. Skor terendah diperoleh 1 orang siswa mendapat skor antara 14 – 15 atau 2,94%. Berdasarkan tabel distribusi frekuensi terlihat modus berada di kelas interval 24 – 25 yakni sebanyak 12 orang siswa atau 35,29%. Berdasarkan tabel frekuensi di atas dapat digambarkan histogram sebagai berikut:
!
! Batas!Bawah!
Frekuensi!
13,5 15,5 17,5 19,5 21,5 23,5 25,5 27,5
Gambar 7. Grafik Histogram Posttest Kelas Eksperimen