4 2.1 Tinjauan Pustaka
2.1.1 Penelitian Terdahulu
Pada penelitian ini, peneliti mencari referensi-referensi terdahulu untuk menjadikan pembanding dan rujukan agar tidak menjadi kesamaan dengan penelitian ini. Dalam landasan teori ini maka peneliti memaparkan beberapa penelitian terdahulu sebagai berikut.
1. Setiawan, (2014) dengan judul “Pengaruh Penuaan dan Lama Perendaman Terhadap Durabilitas Campuran Asphalt Concrete Wearing Course (AC- WC)”. Berdasarkan hasil penelitian, pengaruh penuaan dan lama perendaman berpengaruh cukup signifikan terhadap durabilitas campuran AC-WC. Benda uji yang mengalami penuaan menghasilkan nilai kekuatan sisa di bawah batas minimal yang disyaratkan Bina Marga, (2010) yaitu 90%, sedangkan indeks durabilitas benda uji yang mengalami penuaan menunjukan penurunan kekuatan cukup besar seiring dengan bertambahnya waktu perendaman dibandingkan dengan benda uji normal, sehingga benda uji yang mengalami penuaan dianggap tidak cukup tahan terhadap kerusakan yang diakibatkan oleh pengaruh air dan suhu.
2. Sundari, (2020) dengan judul “Kajian Optimalisasi Fungsi Waduk Benanga Terhadap Kapasitas Tampung Air Sungai di Kota Samarinda”. Hasil penelitian fungsi dan stabilitas Bendungan Benanga dapat ditingkatkan. Debit banjir inflow (I) Q25=706.4578 m3/dt yang terjadi pada saat jam ke 5. Debit banjir pada outflow (0) Q =443.9300m3/dt yang terjadi pada saat jam ke 9.
Penelusuran banjir lewat Bendungan pemotongan debit besar Q25 = 706.4578 m3/dt-443.9300m3/dt = 262.5278 m3/dt disinilah arti pengendalian banjir dengan menggunakan Bendungan. Berkurangnya puncak debit tersebut disebabkan karena adanya debit yang tertampung dalam Bendungan. Volume tampung yang dibutuhkan V= 27.1554x106m3. Volume tampung rencana yang terjadi selama 9 jam yang masuk = 27.1554x106m3. Volume tampung yang direkomendasikan sebesar= 27.1454x106m3>volume Waduk aktual sebesar
=3.24x106m3. Jika dilihat dari volume tampung yang direkomendasikan sebesar= 27.1454x106m3>volume Bendungan aktual = 3.24x106m3 sehingga Bendungan Benanga tidak mampu lagi menampung curah hujan, karena volume Bendungan yang direkomendasikan= 27.1454x106m3.
3. Abidin, dkk (2021), dengan judul “Uji Marshall Pada Campuran AC-WC dengan Subtitusi Filler”. Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa semua komposisi telah memenuhi persyaratan spesifikasi Bina Marga 2010 (Revisi 4) tahun 2018, komposisi terbaik substitusi filler ACT dan PC diperoleh pada persentase 20% ACT dan 80% PC pada kadar aspal 5.00%, nilai stabilitas yaitu 1323.01 kg dengan nilai VITM 3.66% VMA 15.91% VFA 76.99% dan MQ 508.68 kg/mm.
4. Liana, dkk (2023) penelitian dengan judul “Pengaruh Rendaman Air Hujan di Samarinda Terhadap Aspal (AC-WC) Pada Pengujian Marshall”. Hasil analisis menunjukkan bahwa benda uji yang direndam menggunakan air hujan dapat mempengaruhi kuat tekan aspal dalam pengujian marshall. Pada perendaman 1 hari beton aspal mengalami penurunan nilai stabilitas 8.15%, nilai flow menurun 16.59%, kenaikan nilai VITM dan VMA berturut-turut sebesar 92.01% dan 23.97%, VFWA menurun sebesar 22.72%, sedangkan kepadatan beton aspal menurun sebesar 4.48%, dengan nilai MQ meningkat 12.47%. pada perendaman 3 hari mengalami penurunan nilai stabilitas sebesar 4.70% dengan kenaikan nilai flow 17.96%, VITM dan VMA mengalami peningkatan berturut- turut sebesar 24.67% dan 9,44%, sedangkan VFWA menurun sebesar 12.47%, kepadatan beton aspal mengalami penurunan 2.19% yang disertai penurunan nilai MQ sebesar 13.06%.
5. Septyawan, (2022) dengan judul “Analisis Status Mutu Air Sungai Karang Mumus dan Dampak Kesehatan Segmen Tanah Datar dan Waduk Benanga Kota Samarinda” Hasil dari penelitian menunjukkan bahwa status mutu air Benanga termasuk dalam kategori cemar ringan. Nilai IP yang didapatkan sebesar 2.5442. Fecal coli melebihi baku dengan konsentrasi 1.934/100ml.
Adapun hasil dari pengujian Air Benanga dapat dilihat pada Tabel 2.1
Tabel 2.1 Hasil Pengujian Air Benanga
No Parameter Hasil Baku
Mutu Ci/Lij
1
TSS
(Total Suspended Solid) 18.5 50 0.37
2 Ph
(Kebasaan suatu larutan) 7.1 7.1 0.5
3
BOD
(Biological Oxygen
Demand) 1.43 3 0.4767
4
COD
(Chemical Oxygen Demand)
21.029 25 0.8412
5 Nitrat (Parameter kimia) 0.155 10 0.0155
6 Fosfat (Senyawa kimia) 0.082 0.2 0.41
7 DO (Dissolved Oxygen) 4.2 4 0.9333
8 Fecal coli (Jenis bakteri) 1934 1000 2.4323
Rata-rata 0.74643
Indeks Pencemaran (IP) 2.5442
Sumber Septyawan (2022)
6. Burhanuddin, dkk (2021) penelitian dengan judul “Analisa Kandungan Air Sungai Mahakam Kota Samarinda Sebagai Air Pencampuran Beton”. Hasil dari penelitian adalah untuk mengetahui kelayakan air sungai Mahakam sebagai air pencampur beton dan air PDAM sebagai pembanding. Adapun hasil dari pengujian Air PDAM dapat dilihat pada Tabel 2.2
Tabel 2.2 Hasil Pengujian Air PDAM
No Parameter Satuan Kadar
Maksimum Hasil Pemeriksaan A. Fisika
1 Kekeruhan NTU 5 7.15
2 Warna PtCo 15 29
3
Zat padat terlarut
(TDS) mg/I 500 67.0
4 Bau - Tidak Berbau Tidak Berbau
5 Rasa - Tidak Berasa Tidak Berasa
6 Suhu ⁰C Suhu Udara ± 30.0
7 DHL Sm-1 1500 90.1
B. Kimia
8 Ph pH 6.5 – 8.5 6.88
9 Alumunium mg/I 0.2 -
No Parameter Satuan Kadar
Maksimum Hasil Pemeriksaan
10 Besi (Fe) mg/I 0.3 -
11 Kesadahan (CaCo3) mg/I 500 53.4
Sumber : Burhanuddin, dkk (2021)
7. Maghfiroh, dkk (2023) penelitian dengan judul “Peningkatan Performansi Aspal Penetrasi 60/70 dengan Penambahan Serbuk Limbah UPVC”. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa persentase optimum penambahan UPVC terhadap aspal penetrasi 60/70 sebesar 6% dengan hasil penetrasi = 68.80 x 0.1 mm, daktilitas = 138 cm, titik lembek = 65⁰C serta titik nyala dan dan titik bakar = 251⁰C dan 272⁰C. adapun hasil pengujian penetrasi aspal pen 60/70 dapat dilihat pada Tabel 2.3
Tabel 2.3 Hasil Pengujian Aspal pen 60/70
Jenis Pengujian Persyaratan Hasil Pengujian Penetrasi pada 25⁰C (0.1mm) 60 – 79 62.90
Titik Lembek (⁰C) 50 – 58 60
Daktilitas pada 25⁰C (cm) min. 100 150
Titik Nyala (⁰C) min. 232 297
Sumber : Maghfiroh, dkk (2023)
8. Izzed (2022) Tugas akhir dengan judul “Pengaruh Rendaman Air Sungai Mahakam pada Aspal Beton Asphalt Concrete Wearing Course (AC-WC) Berdasarkan Uji Marshall”. Hasil dari penelitian yang telah dilakukan, dapat disimpulkan bahwa benda uji yang direndam menggunakan air sungai Mahakam dapat mempengaruhi kuat tekan aspal dalam pengujian marshall , dikarenakan pada air Sungai Mahakam memiliki kekeruhan sebesar 111 NTU, dan air 6.40 yang mengandung kadar lumpur cukup banyak sehingga dapat mengurangi keawetan pada perkerasan jalan. Adapun hasil pengujian Los Angeles dapat dilihat pada Tabel 2.4
Tabel 2.4 Hasil Pengujian Los Angeles Ukuran Saringan Contoh A Contoh B
Spesifikasi ASTM (mm) Berat Tertahan (gr) Berat Tertahan (gr)
Sebelum Sesudah Sebelum Sesudah
2” 50.80 0.00 0.00
1 1/2 “ 38.10 0.00 0.00
Ukuran Saringan Contoh A Contoh B
Spesifikasi ASTM (mm) Berat Tertahan (gr) Berat Tertahan (gr)
Sebelum Sesudah Sebelum Sesudah
1 “ 25.40 0.00 0.00
2 “ 50.80 0.00 0.00 0.00 0.00
1 1/2” 38.10 0.00 0.00 0.00 0.00
1 “ 24.40 0.00 0.00 0.00 0.00
3/4 “ 19.05 2.50 0.00 2.50 0.00
1/2 “ 12.70 2.50 0.00 2.50 0.00
3/8 “ 9.52 0.00 0.00 0.00 0.00
No. 4 4.76 0.00 0.00 0.00 0.00
No. 8 2.36 0.00 0.00 0.00 0.00
No.12 2.36 0.00 3.42 2.50 3.28
3/8 “ 9.52 0.00 0.00
No. 4 4.76 0.00 0.00
No. 8 2.360 0.00 0.00
Jumlah Berat (gr) 5.00000 3.42750 5.00000 3.28990
Berat Lolos No.12 1.57250 1.71010
Keausan (%) (1.572/5000)x100% (1.71010/5000)x100%
31.45 43.20
Rata-rata 32.82 <40%
Sumber : Izzed (2022)
Hasil pengujian abrasi agregat kasar (batu pecah) dengan mesin los angeles yang dapat dilihat pada Tabel 2.4 telah memenuhi standar spesifikasi pengujian yang ditentukan dalam Spesifikasi Bina Marga 2018 Revisi (1) yakni maksimum 40% (SNI 2417-2008). Nilai abrasi agregat kasar dalam pengujian los angeles sebesar 32.826%
2.2 Dasar Teori
Perkerasan jalan merupakan konstruksi yang dibangun di atas lapisan tanah dasar (subgrade). Lapis perkerasan memiliki fungsi untuk menerima beban transportasi dan menyebarkannya ke lapisan di bawahnya tanpa menyebabkan kerusakan pada konstruksi jalan itu sendiri (Sukirman, 2003). Gambar lapis perkerasan dapat dilihat pada Gambar 2.1
Sumber: Sukirman, (2003)
Sehingga memberikan kenyamanan selama masa pelayanan jalan tersebut.
Agar perkerasan memiliki keawetan yang cukup lama maka perkerasan jalan dibuat berlapis-lapis. Lapisan permukaan (surface course) merupakan lapisan yang paling bagus secara mutu dan terletak di bagian paling atas
1. Lapisan pondasi atas (base course) merupakan batu pecah yang dipadatkan dan terletak di bawah lapis permukaan
2. Lapisan pondasi bawah (subbase course) merupakan pasir yang dipadatkan dan terletak di atas tanah dasar
3. Lapisan tanah dasar (subgrade)
Muatan kendaraan yang bekerja di atas konstruksi perkerasan dapat dibedakan atas:
1. Beban transportasi bersifat gaya vertikal,
2. Gaya rem transportasi bersifat gaya horizontal dan 3. Pukulan roda transportasi bersifat getaran-getaran.
Sifat penyebaran gaya pada lapisan perkerasan lentur sampai ke semua lapisan yang berbeda dan semakin ke bawah bebannya semakin berkurang. Lapisan permukaan wajib bisa menerima semua jenis-jenis gaya yang bekerja, lapis permukaan akan menerima beban mutu pukulan roda dan gaya rem. Lapis pondasi atas dan bawah akan menerima beban muatan dan pukulan roda sedangkan permukaan tanah dasar hanya bisa menerima muatan kendaraan. Oleh sebab itu didapati perbedaan syarat yang harus dipenuhi oleh masing-masing lapisan.
G Gambar 2.1 Lapis Perkerasan
2.3 Lapis Perkerasan AC-WC (Asphalt Concrete Wearing Course)
Lapis permukaan yang menggunakan aspal pen 60/70, agregat dengan ukuran maksimum 19 mm (3/4 inch). Lapis AC-WC bertebal minimal 40 mm dengan tebal toleransi ± 3 mm. Lapisan ini dibuat untuk tahan terhadap perubahan cuaca, tekanan roda kendaraan dan memberikan lapisan kedap air untuk di bawahnya (Sukirman, 2003).
Dari penggunaan material aspal, maka aspal yang harus digunakan ialah aspal yang tahan panas, karena terletak yang paling atas agar tidak mudah timbul retak yang dapat menyebabkan kehilangan daya lengket sehingga menghasilkan campuran beraspal baik sesuai dengan ketentuan yang telah disyaratkan.
2.4 Aspal
Aspal diartikan material yang berwarna hitam atau lebih ke coklat tua, dalam temperatur ruang berupa padat hingga agak padat. Jika aspal dipanaskan sampai temperatur tertentu maka aspal menjadi cair, sehingga dapat melapisi partikel agregat kasar dan agregat halus pada waktu pembuatan aspal beton (Sukirman, 2003). Jika temperatur mulai turun, aspal akan mengeras dan mengikat agregat pada tempatnya.
Sebagai material konstruksi perkerasan lentur, aspal juga salah perangkat kecil, umumnya sekitar 4%-10% berdasarkan berat dan 10%-15% berdasarkan volume, tetapi aspal juga merupakan perangkat yang lumayan mahal. Aspal memiliki wujud berbentuk padat dan bersifat lunak. Sifat aspal sendiri, akan mencair jika aspal dipanaskan sampai temperatur tertentu dan akan kembali mengeras jika temperatur menurun. Aspal bersumber dari minyak yang mentah lalu dipilih melalui tahapan destilasi minyak bumi. Tahapan penyulingan ini dilakukan pemanasan hingga suhu mencapai 350˚C di bawah tekanan atmosfir agar fraksi-fraksi ringan terpisahkan, seperti minyak gas, minyak tanah, dan bensin. Jika secara kimia aspal terdiri dari gugusan aromat, naphthene dan alkan sebagai bagian-bagian terpenting dan secara kimia fisika merupakan campuran koloid, yang mana butir-butir merupakan bagian padat (asphaltene) berada dalam fase cairan yang disebut maltenes.
2.5 Agregat
Agregat diartikan secara universal sebagai formasi kulit bumi yang keras dan G
solid. Agregat merupakan perangkat utama dari lapisan perkerasan jalan yang mengandung 90-95% berdasarkan persentase berat dan 75-85% berdasarkan persentase volume (Sukirman, 1999). Sekian kualitas pekerjaan jalan yang ditentukan juga dari sifat agregat dan hasil campuran agregat dengan material lain.
Dari segi ukuran butirannya agregat bisa dibedakan menjadi agregat kasar (batu pecah), agregat halus (pasir), dan bahan pengisi (filler). Menurut (American Society for Testing and Material (ASTM), 2012):
1. Batu pecah berukuran > 4.75 mm (saringan No.4), 2. Pasir berukuran < 4.75 mm (saringan No.4), dan
3. Abu agregat/filler merupakan pasir yang lolos di saringan No. 200.
Menurut (American Association of State Highway and Transport Officials (AASHTO), 2012) :
1. Batu pecah berukuran > 2 mm,
2. Pasir berukuran < 2 mm dan > 0.075mm, dan
3. Abu agregat/filler merupakan pasir yang lolos di saringan No. 200.
Menurut Spesifikasi Umum Bina Marga (Revisi 1) 2018, agregat juga dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
1. Batu pecah yang tertahan di ayakan 4.75 mm harus terdiri dari partikel atau pecahan batu yang awet dan keras
2. Pasir yang lolos di ayakan 4.75 mm harus terdiri dari partikel pasir alami batu pecah halus dan partikel halus lainnya, dan
3. Bahan pengisi/filler bagian dari pasir yang lolos ayakan di saringan No. 200.
2.5.1 Berat Jenis Aspal
Perbandingan antara berat aspal dan berat air suling dengan isi yang sama pada suhu tertentu (15˚C atau 25˚C). Pengujian ini perlu pada saat pelaksanaan untuk konversi dari berat ke volume atau sebaliknya.
Berat Jenis = ( 2 ( 1) (3 1)4 3) (1) Keterangan:
W1 : massa piknometer tertutup,
W2 : massa piknometer tertutup berisi air, W3 : massa piknometer, penutup benda uji, dan W4 : massa piknometer, penutup, benda uji dan air
1. Berat jenis agregat dan Penyerapan Air
Agregat total terdiri dari pecahan-pecahan agregat kasar (batu pecah), agregat halus (pasir), dan bahan pengisi (filler) yang masing-masing memiliki berat jenis berbeda-beda, baik berat jenis kering (bulk) dan berat jenis SSD, dan berat jenis semu. Penyerapan terhadap air dan berat jenis efektifnya juga berbeda- beda antara agregat kasar dan agregat halus.
a) Agregat Kasar
▪ Berat jenis kering Bjk = 1
( 2 3) (2)
▪ Berat jenis semu Bjs = 1
( 1 3) (3)
▪ Penyerapan air Sw = [ 2 1
( 1) 𝑋100%] (4)
▪ Berat jenis efektif
B J Efektif = 2 (5)
Keterangan :
Bjk : berat jenis kering Bjs : berat jenis semu
W1 : berat benda uji kering oven
W2 : berat benda uji jenuh kering permukaan W3 : berat benda uji dalam air
b) Agregat Halus
▪ Berat jenis kering
Sd= ( ) 6)
▪ Berat jenis semu Bjs=
( ) (7)
▪ Penyerapan air
Pa= 𝑥 100% (8)
▪ Berat jenis efektif
BJ Efektif = 2 (9)
Keterangan:
Bjk : Berat jenis kering Bjs : Berat jenis semu Pa : Penyerapan air Bpk : Berat pasir kering Bpa : Berat piknometer + air
Bt : Berat piknometer + air + pasir SSD : Berat pasir kering permukaan 2.5.2 Sifat Agregat
Sifat dan mutu agregat dapat menentukan kelayakannya dalam memikul muatan kendaraan. Agregat dengan kualitas yang baik sangat dibutuhkan untuk lapisan permukaan yang langsung memikul muatan kendaraan (Sukirman, 2003).
Oleh sebab itu perlu adanya pemeriksaan yang akurat sebelum ditentukan apakah suatu agregat dapat bisa digunakan sebagai material/bahan perkerasan jalan atau tidak. Sifat agregat yang dapat menentukan kualitas sebagai material perkerasan jalan ialah berat jenis, kemampuan menyerap air, bentuk butir, tekstur permukaan porositas,ketahanan agregat, gradasi dan daya ikat aspal dengan agregat.
1. Adapun sifat-sifat agregat kasar meliputi:
a. Memiliki karakteristik material yang kuat dan keras, dan b. Cenderung memiliki permukaan fisik yang kasar.
2. Adapun sifat-sifat agregat halus meliputi:
a. Memiliki butir-butir yang halus dan keras, dan b. Tidak boleh mengandung lumpur
3. Adapun sifat-sifat bahan pengisi (filler):
a. Tidak memiliki kadar lumpur, dan
b. Memiliki butiran butiran yang sangat kecil dan halus
2.6 Uji Marshall
Alat pengujian marshall merupakan alat tekan yang dilengkapi dengan proving ring yang berkapasitas 22,5 KN atau 5000 lbs dan flowmeter seperti pada Gambar 2.2
Sumber : Penelitian (2023)
Proving ring yang dilengkapi arloji pengukur berguna untuk mengukur stabilitas campuran. disamping itu flow meter kegunaannya untuk mengukur kelelehan benda uji, karena prinsip dasar metode Marshall adalah untuk mencari nilai stabilitas dan kelelehan (flow), serta untuk menganalisis kepadatan (density). Rancangan berupa campuran berdasarkan pengujian marshall ditemukan oleh Bruce Marshall, dan telah distandarisasi oleh ASTM atau AASHTO melewati beberapa modifikasi, yaitu ASTM D 1550-76, atau AASHTO-245-90. Dari keenam pengujian yang umum dilakukan untuk mengetahui nilai stabilitas dan kelelehan (flow) yang ditentukan menggunakan alat marshall, sedangkan parameter lainnya ditentukan melalui penimbangan benda uji dan perhitungan.
Uji Marshall memiliki berbagai tujuan antara lain:
1. sebagai bagian dalam proses merancang campuran beton aspal, 2. sebagai bagian dalam sistem penjamin mutu campuran, dan 3. sebagai bagian dari penelitian karakteristik beton aspal.
G
Gambar 2.2 Alat Uji Marshall
Pada proses pembuatan benda uji dapat dibedakan sesuai dengan tujuan mengapa pengujian marshall dilakukan. Oleh sebab itu sebelum benda uji disiapkan perlu dipastikan ada apa saja dalam pengujian marshall dilakukan.
Secara garis besar, pengujian Marshall ini meliputi : 1. Persiapan benda uji,
2. Penentuan berat jenis kering dari benda uji, 3. Pengujian nilai stabilitas dan kelelehan (flow), dan 4. Perhitungan sifat volumetric benda uji.
2.6.1 Perhitungan Dalam Uji Marshall
Dasar perhitungan yang menjadi acuan dalam penganalisisan data yaitu mengacu pada SNI 06-2489-1991 dan The Asphalt Institute sebagai berikut:
1. Stabilitas dan Kelelehan (flow)
Pengujian stabilitas sangat diperlukan karena untuk mengukur ketahanan dan kekuatan dari tiap benda uji terhadap beban, dan flow meter mengukur besarnya kelelehan dan kelenturan yang terjadi akibat beban. Untuk mendapatkan suhu benda uji yang sesuai dengan suhu terpanas di lapangan, maka sebelum dilakukan pengujian, benda uji harus dipanaskan terlebih dahulu selama ± 30 menit atau ±40 menit dengan suhu temperatur 60˚C di dalam water bath.
Nilai kelelehan (flow) dapat ditunjukkan pada jarum arloji pembacaan flow pada alat marshall. Untuk arloji pembacaan flow, nilai yang telah didapat sudah dalam satuan mm, sehingga tidak perlu dikonversi.
2. VMA (Void Mineral Aggregate)
VMA (Void Mineral Agregat) (VMA) atau Rongga antar mineral agregat merupakan ruang rongga diantara partikel agregat pada suatu perkerasan, termasuk rongga udara dan volume aspal efektif (tidak termasuk volume aspal yang diserap agregat). VMA dapat dihitung dengan rumus berikut :
VMA= 100 – (100 % ) . )
. (10)
Keterangan :
VMA : Rongga udara pada mineral agregat (%)
%Aspal : Kadar aspal terhadap campuran (%) B.J. Agregat : Berat jenis efektif
3. Rongga dalam Campuran
Rongga udara dalam campuran (VITM) dalam campuran perkerasan beraspal terdiri atas ruang udara diantara partikel agregat yang terselimuti aspal.
Volume rongga udara dalam campuran dapat ditentukan dengan rumus berikut:
VITM = 100 – 100 .
. (11)
Berat jenis maksimum teoritis:
B.J = % 100
. .
% . .
(12) Keterangan :
VITM : Rongga udara pada campuran seteah pemadatan (%) B.J Teoritis : Berat jenis campuran maksimum teoritis setelah pemadatan (gr/cc)
4. Rongga terisi Aspal
Rongga terisi aspal atau Void Filled with Asphalt (VFWA) adalah persen rongga yang terdapat diantara partikel agregat (VMA) yang terisi oleh aspal, tidak termasuk aspal yang diserap oleh agregat. Rumus adalah sebagai berikut:
VFWA = 100 x ( ) (13)
Keterangan:
VFWA : Rongga udara terisi aspal (%)
VMA : Rongga udara pada mineral agregat (%)
VITM : Rongga udara pada campuran setelah pemadatan (%)