• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaruh Struktur Polimer terhadap Pengaruh Suhu

N/A
N/A
Fandi cani Yacob

Academic year: 2024

Membagikan "Pengaruh Struktur Polimer terhadap Pengaruh Suhu"

Copied!
37
0
0

Teks penuh

(1)

i

Pengaruh Struktur Polimer - Pengaruh Suhu

2022

UNIVERSITAS PAKUAN

Penulis:

Putri Agustiani Endah Puspaningrum (062120018)

Muhammad Fikri Apriadi (062120002)

Salsabila Rizqi Ummami (062120072)

Mohammad Idris Asyraf Ali (062120719)

Rizka Febria Kuntari (062120001)

Retna Hasanah (062120048)

Dezahwa Almalidea (062120055)

Kelompok 2A Kelas 4B

(2)

ii

KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kepada kehadirat Allah SWT sebab kemurahan hatinya kami bisa mengerjakan tugas ini dengan baik. Dan terima kasih banyak untuk Dosen Mata Kuliah Kimia Organik II yang sudah memberi kami tugas ini yang dapat menambahkan pengetahuan kami tentang “Pengaruh Struktur Polimer - Pengaruh Suhu”.

Kami anggota kelompok IIA dari prodi kimia kelas non reguler UNIVERSITAS PAKUAN yang sudah bekerja sama untuk memenuhi tugas makalah ini.

Kami sadar bahwa tugas ini jauh dari kesempurnaan, maka kami memerlukan saran dan kritikan untuk memperbaiki dan melengkapi tugas makalah kami.

Bogor, 21 Mei 2022

Penulis

(3)

iii DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

KATA PENGANTAR ... ii

DAFTAR ISI ... iii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 ABSTRAK ... 1

1.2 LATAR BELAKANG... . 1

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 3

2.1 POLIMER ... 3

2.2 KLASIFIKASI POLIMER ... 4

2.3 TATANAMA POLIMER ... 13

2.4 DERAJAT POLIMERISASI... 16

2.5 INTERAKSI POLIMER ... 17

2.6 PENGARUH SUHU TERHADAP STRUKTUR POLIMER ... 20

BAB III EKSPERIMEN ... 21

3.1 BAHAN ... 21

3.2 PROSEDUR REAKSI...21

3.3 KARAKTERISASI POLIMER... 21

BAB IV HASIL DAN DISKUSI ... 23

4.1 BILANGAN HIDROKSIL POLIGLISEROL ... 24

4.2 DISTRIBUSI BERAT MOLEKUL SINTESIS POLIGLISEROL ....26

4.3 MORFOLOGI POLIGLISEROL ... 27

4.4 SUHU TRANSISI KACA POLIGLISEROL ... 29

BAB V KESIMPULAN ... 32

DAFTAR PUSTAKA ... 33

LAMPIRAN ... 34

(4)

1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Abstrak

Morfologi, berat molekul, polidispersitas, fungsionalitas, dan sifat termal merupakan karakteristik penting saat menggunakan poligliserol sebagai bahan penyusun dalam pengembangan bahan untuk aplikasi industri seperti hidrogel, surfaktan, aditif aspal, kosmetik, farmasi, biomedis, dan sistem penghantaran obat. Dalam penelitian ini beberapa teknik eksperimental digunakan untuk memahami pengaruh variabel proses selama sintesis dalam eterifikasi katalis gliserol, produk samping industri biodiesel. Poligliserol berbasis bio adalah produk bernilai tinggi, yang berguna sebagai bahan penyusun blok karena fitur- fiturnya yang luar biasa, misalnya, beberapa gugus hidrofilik, biokompatibilitas yang sangat baik, dan tulang punggung polieter alifatik yang sangat fleksibel. Hubungan antara karakteristik poligliserol dan variabel proses selama sintesis memungkinkan kontrol polimerisasi gliserol melalui kondisi reaksi. Kami menunjukkan bahwa suhu dan konsentrasi katalis dapat disetel dengan tujuan menyesuaikan parameter poligliserol dasar termasuk berat molekul, polidispersitas, morfologi, dan fungsionalitas.

1.2. Latar Belakang

Poligliserol yang diperoleh dari proses Eterifikasi katalitik langsung gliserol merupakan bio-polimer yang digunakan sebagai bahan penyusun untuk beberapa aplikasi seperti hidrogel, emulsifier, catalyst supports, dan aplikasi biomedis. Minat industri dan akademis terhadap gliserol sebagai bahan baku sintesis poligliserol didasarkan pada aspek lingkungan dan ekonomi. Ini karena bio-monomer yang digunakan dapat membuat polimer berkelanjutan; dan menghasilkan produk bernilai tambah dari produk samping industri biodiesel yang berkontribusi pada perubahan industri ini menjadi biorefinery. Sintesis poligliserol saat ini semakin penting karena memiliki sifat yang luar biasa termasuk polieter backbone yang fleksibel, biokompatibilitas, dan jumlah

(5)

2

gugus fungsi hidrofilik yang tinggi, yang meningkatkan kegunaan poligliserol dan memungkinkan pembuatan struktur polimer yang kompleks. Sifat bahan berbasis poligliserol sangat dipengaruhi oleh morfologi, fungsionalitas, berat molekul, polidispersitas, dan sifat termalnya. Tantangan ilmiah saat ini yaitu mendapatkan poligliserol dengan karakter khusus dengan cara membuat kondisi sintesis tertentu dalam proses polimerisasinya.

Poligliserol dapat dibuat dari berbagai bahan baku dan metode polimerisasi;

misalnya, glisidol dan gliserol karbonat direaksikan dengan cara one-step anionic ring-opening polymerization, sedangkan gliserol direaksikan dengan cara step-growth polymerization. Beberapa penelitian telah melaporkan bahwa gliserol dapat direaksikan dengan cara oligomerasi katalitik menggunakan asam homogen dan heterogen dan eterifikasi katalis-basa. Kebanyakan produk dari reaksi katalitik tersebut yaitu oligomer dengan berat molekul rendah, kecuali reaksi dengan katalis asam sulfat homogen yang menghasilkan poligliserol dengan berat molekul yang relatif tinggi. Penelitian sebelumnya tentang morfologi turunan eterifikasi gliserol yang dilakukan dengan 13CNMR melaporkan interaksi karbon untuk struktur linier, bercabang, dan siklik. Hasil spektroskopi poligliserol dengan 13CNMR tersebut menunjukkan bahwa polimerisasi gliserol yang dikatalisis asam homogen pada suhu tinggi mendukung terbentuknya struktur bercabang.

(6)

3 BAB II

TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Polimer

Kata ’polimer ’ berasal dari kata Yunani kuno ’ poli’ yang berarti ’banyak’

dan ’mere’ yang berarti ‘bagian’. Dengan demikian maka definisi dari polimer adalah: sebuah molekul rantai panjang yang terdiri atas sejumlah besar

’repeating unit’ (unit terulang) dengan struktur yang identik, yang disebut monomer. Polimer adalah senyawa molekul yang memiliki massa molar tinggi (dari ribuan sampai jutaan gram) dan tersusun dari banyak unit berulang (monomer).

Polimer adalah salah satu bahan rekayasa bukan logam (non-metallic material) yang penting. Saat ini bahan polimer telah banyak digunakan sebagai bahan substitusi untuk logam terutama karena sifat-sifatnya yang ringan, tahan korosi dan kimia, dan murah, khususnya untuk aplikasi-aplikasi pada temperatur rendah. Hal lain yang banyak menjadi pertimbangan adalah daya hantar listrik dan panas yang rendah, kemampuan untuk meredam kebisingan, warna dan tingkat transparansi yang bervariasi, kesesuaian desain dan manufaktur.

Istilah polimer digunakan untuk menggambarkan bentuk molekul raksasa atau rantai yang sangat panjang yang terdiri atas unit-unit terkecil yang berulangulang atau mer atau meros sebagai blok- blok penyusunnya. Molekul- molekul (tunggal) penyusun polimer dikenal dengan istilah monomer. Polimer Polyethylene, misalnya, adalah salah satu jenis bahan polimer dengan rantai

(7)

4

linear sangat panjang yang tersusun atas unit-unit terkecil (mer) yang berulang- ulang yang berasal dari monomer molekul ethylene. Perhatikan bahwa monomer memiliki ikatan kovalen tak jenuh (ikatan ganda) sedangkan pada mer ikatan tersebut menjadi aktif atau ikatan kovalen terbuka dengan elektron tak berpasangan.

Bahan organik alam mulai dikenal dan digunakan sejak tahun 1866, yaitu dengan digunakannya polimer cellulose. Bahan organik buatan mulai dikenal tahun 1906 dengan ditemukannya polimer Phenol Formaldehide atau Bakelite, mengabadikan nama penemunya L.H. Baekeland. Bakelite, hingga saat ini masih digunakan untuk berbagai keperluan. Para mahasiswa metalurgi atau metallographist profesional misalnya menggunakan bakelit untuk memegang (mounting) spesimen metalografi dari sampel logam yang akan dilihat struktur mikronya di bawah mikroskop optik reflektif. Karena sifatnya yang karakteristik maka bahan polimer sangat disukai. Sifat - sifat polimer yang karakteristik ini antara lain:

• Mudah diolah untuk berbagai macam produk pada suhu rendah dengan biaya murah.

• Ringan, rasio bobot/volumenya kecil.

• Tahan korosi dan kerusakan terhadap lingkungan yang agresif .

• Bersifat isolator yang baik terhadap panas dan listrik.

• Berguna untuk bahan komponen khusus karena sifatnya yang elastis dan plastis.

• Berat molekulnya besar sehingga kestabilan dimensinya tinggi 2.2 Klasifikasi Polimer

2.2.1 Proses Pembuatan

a. Termoplastik adalah polimer yang dapat dilunakkan melalui pemanasan, yang bertujuan untuk membuat bentuk yang diinginkan, polimer ini akan mengeras lagi bila didinginkan.

Proses pemanasan dan pendinginan ini dapat dilakukan berulang- ulang tanpa mengalami perubahan sifat fisik/kimia

(8)

5

yang berarti. Contoh : polistiren, poliolefin (polietilen dan polipropilen), dan polivinilklorida (PVC)

b. Termoseting adalah polimer dimana rantai individunya (gugus fungsional), secara kimia melalui ikatan kovalen disambungkan dengan senyawa lainnya selama proses polimerisasi. Sekali terbentuk, jaringan cabang (crosslinking) tersebut akan tahan terhadap panas dan serangan pelarut, serta tidak dapat dilunakkan kembali dengan panas. Contoh:

Poliuretan, bakelit/ resin fenol formaldehid

2.2.2 Sumber

a. Polimer Alam, yaitu polimer yang terjadi secara alami. Polimer alam adalah senyawa yang dihasilkan dari proses metabolisme makhluk hidup. Contoh sederhana polimer alam adalah karet alam, pati, selulosa dan protein. Jumlahnya yang terbatas dan sifat polimer alam yang kurang stabil saat pemanasan, mudah menyerap air, dan sukar dibentuk menyebabkan penggunaan polimer menjadi terbatas. Contoh polimer alam dapat dilihat pada tabel di bawah ini.

No Polimer Monomer Polimerisasi Contoh

1 Pati/amilum Glukosa Kondensasi Biji-bijian, akar umbi

2 Selulosa Glukosa Kondensasi Sayur, Kayu, Kapas 3 Protein Asam amino Kondensasi Susu, daging, telur,

wol, sutera

(9)

6

4 Asam nukleat Nukleotida Kondensasi Molekul DNA dan RNA (sel)

5 Karet alam Isoprena Adisi Getah pohon karet Sifat-sifat polimer alam kurang menguntungkan. Contohnya, karet alam biasanya cepat rusak, dan tidak elastis. Hal tersebut dapat terjadi karena karet alam tidak tahan terhadap minyak bensin atau minyak tanah serta tidak tahan lama diudara terbuka.

Contoh lain, sutera dan wol merupakan senyawa protein bahan makanan bakteri, sehingga wol dan sutera cepat rusak.

Umumnya polimer alam mempunyai sifat hidrofilik (suka air), sukar dilebur dan sukar dicetak, sehingga sangat sukar mengembangkan fungsi polimer alam untuk tujuan-tujuan yang lebih luas dalam kehidupan masyarakat sehari-hari.

b. Polimer Semi Sintetik, yaitu polimer yang diperoleh dari hasil modifikasi polimer alam dan bahan kimia. Contoh: selulosa nitrat (yang lebih dikenal dengan misnomer nitroselulosa) yang dipasarkan di dengan nama “Celluloid” dan “guncotton”.

c. Polimer sintesis, yakni polimer yang dibuat melalui polimerisasi dari monomer - monomer polimer. Polimer sintesis yang pertama kali digunakan dalam skala komersial adalah dammar Fenol formaldehida. Dikembangkan pada tahun 1900-an oleh kimiawan kelahiran Belgia Leo Baekeland, yang dikenal secara komersial sebagai bakelit. Sampai dekade 1920-an bakelit merupakan salah satu jenis dari produk konsumsi yang dipakai secara luas.

d. Karet atau elastomer adalah salah satu jenis polimer yang memiliki perilaku khas yaitu memiliki daerah elastis nonlinear yag sangat besar. Perilaku tersebut ada kaitannya dengan

(10)

7

struktur molekul karet yang memiliki ikatan silang (cross link) antar rantai molekul. Ikatan silang ini berfungsi sebagai

„pengingat bentuk‟ (shape memory) sehingga karet dapat kembali ke bentuk dan dimensi asalnya pada saat mengalami deformasi dalam jumlah yang sangat besar.

Perbedaan utama dari polimer alam dan polimer sintetik adalah, mudah tidaknya sebuah polimer di degradasi atau dirombak oleh mikroba. Polimer sintetik sulit diuraikan oleh mikroorganisme.

Sifat-sifat polimer sintetik sangat ditentukan oleh struktur polimernya seperti; panjangnya rantai; gaya antar molekul;

percabangan; dan ikatan silang antar rantai polimer. Pertambahan panjang rantai utama polimer diikuti dengan meningkatnya gaya antar molekul monomer. Hal ini yang menyebabkan meningkatnya kekuatan dan titik leleh sebuah polimer. Polimer yang memiliki banyak cabang, kekuatannya menurun dan hal ini juga menyebabkan titik lelehnya semakin rendah. Beberapa polimer memiliki ikatan silang antar rantai, hal ini akan membuat polimer yang bersifat kaku dan membentuk bahan yang keras. Makin banyak ikatan. silang makin kaku polimer yang dihasilkan dan polimer akan semakin mudah patah

2.2.3 Mekanisme Reaksi Polimerisasi

a. Polimerisasi pertumbuhan bertahap (step-growth polymerization)

Melibatkan reaksi acak dari 2 molekul yang dapat berupa gabungan dari monomer, oligomer, atau molekul dengan rantai yang lebih panjang. Polimer dengan berat molekul yang besar terbentuk pada akhir polimerisasi ketika monomer hamper habis. Kebanyakan polimerisasi pertumbuhan bertahap melibatkan reaksi kondensasi klasik seperti esterifikasi, atau amidasi.

(11)

8

b. Polimerisasi pertumbuhan berantai (chain growth polymerization)

Reaksi perpanjangan rantai hanya terjadi melalui penempelan monomer pada rantai aktif. Sisi aktif dapat berbentuk radikal bebas atau sisi ionik (anion atau kation).

Berlawanan dengan polimerisasi pertumbuhan bertahap, pada polimerisasi pertumbuhan berantai pembentukan polimer dengan berat molekul yang besar terjadi pada awal polimerisasi.

Polimerisasi pertumbuhan berantai memerlukan molekul awal (initiator) yang dapat digunakan untuk mengikat molekul monomer untuk memulai proses polimerisasi, spesies awal ini dapat berupa radikal, anion, atau kation. Ada 3 tahapan reaksi,yaitu : tahap inisiasi (mengaktifkan monomer), tahap propagasi (menumbuhkan rantai aktif dengan menambahkan monomer secara bertahap), dan tahap terminasi (menonaktifkan rantai untuk memperoleh produk akhir).

1. Tahap inisiasi terdiri atas 2 tahap, yaitu tahap disosiasi dan tahap asosiasi. Pada tahap disosiasi molekul awal diurai menjadi 2 buah spesies radikal bebas : I – I → 2 I* (radikal bebas). Tahap disosiasi ini kemudian diikuti oleh tahap asosiasi dimana molekul monomer menempel pada radikal bebas : I* + M IM*.

2. Pada tahap propagasi, unit monomer ditambahkan pada spesies monomer awal yang dibentuk pada tahap inisiasi : IM* + M → IMM* + M → IMMM* dan seterusnya. Tahap propagasi ini akan terus berlanjut sampai mencapai panjang rantai yang diinginkan.

3. Tahap terminasi adalah tahap untuk mengakhiri polimerisasi, yang dapat terjadi apabila 2 rantai radikal yang sedang mengalami tahap propagasi bertemu pada sisi akhir radikal bebas mereka : IMx-1M* + *MMy-1I → IMx- 1M – MMy-1I.

(12)

9

Tahap terminasi juga dapat dilakukan melalui reaksi disproporsionasi yang menghasilkan 2 rantai akhir. Dalam hal ini satu rantai akhir akan memiliki gugus karbon tak jenuh, sedangkan rantai akhir lainnya akan berakhir dengan gugus karbon jenuh. Pada tahap terminasi, baik melalui penggabungan 2 rantai radikal maupun melalui reaksi disproporsionasi, satu sisi (pada disproporsionasi) atau 2 sisi (pada penggabungan) akan mengandung gugus radikal bebas dari molekul awal. Polimerisasi pertumbuhan berantai berlangsung relatif cepat dan lebih panas. Molekul- molekul monomer dapat bereaksi dalam beberapa cara : head to head, head to tail, atau tail to tail.

2.2.4 Monomer Penyusunnya

Monomer adalah struktur molekul yang berikatan secara kimia dengan molekul lainnya untuk membentuk suatu molekul polimer. Berdasarkan monomer penyusunnya, polimer dibagi dua menjadi yaitu homopolimer dan kopolimer.

a. Homopolimer

Homopolimer adalah polimer yang tersusun dari hanya satu jenis monomer, dan reaksi pembentukannya disebut polimerisasi.

Homopolimer juga dikenal sebagai polimer linier yaitu polimer yang terdiri dari monomer yang sama atau serupa. Contohnya adalah polivinilklorida (PVC), polietena, polimetanal, polistirena, teflon, dan polipropilena dan politetrafluoretena.

(13)

10 b. Kopolimer

Kopolimer yang juga dikenal sebagai heteropolimer adalah polimer yang tersusun dari dua jenis monomer atau lebih (monomer-monomer berbeda) dan reaksi pembentukannya disebut kopolimerisasi. Kopolimer mempunyai sifat fisik yang lebih baik dari homopolimernya. Pada kasus kopolimer, susunan secara tepat pada rantai dapat sangat bervariasi tergantung pada reaktivitas relatif dari masing-masing monomer dalam proses kopolimerisasi, penempatan monomer dalam rantai dapat saja terjadi secara acak atau teratur. Contohnya adalah dakron, nilon66, dan melamin (fenol formaldehida).

(14)

11

Berdasarkan susunannya, kopolimer dapat dikelompokkan menjadi:

1. Kopolimer Blok AB

Kopolimer Blok AB adalah urutan dari unit berulang yang memiliki distribusi unit berulang random (acak) dan alternating (selang seling).

• Kopolimer acak adalah urutan dari unit berulang yang memiliki distribusi unit berulang acak.

-A-B-B-A-B-A-A-A-B-

• Kopolimer selang-seling adalah unit berulang dalam bentuk blok dengan tipe yang sama.

-A-A-A-B-B-B-A-A-A- 2. Kopolimer Blok ABA

Kopolimer Blok ABA adalah hanya

memiliki dua tipe unit berulang, dengan urutan yang bergantian dalam rantai polimer.

-A-B-A-B-A-B-A-B-A-B- 3. Kopolimer Graft (Cangkok)

Kopolimer cangkok atau bercabang adalah yang memiliki percabangan atas struktur kimiawi yang berbeda dan terikat pada rantai utama.

(15)

12 2.2.5 Jenis Reaksi

a. Reaksi Adisi

Pada reaksi ini monomer akan terhubung dengan monomer lain dan selanjutnya terjadi pertumbuhan unit berulang. Syarat monomernya yaitu memiliki ikatan rangkap dua atau tiga. Pada reaksi ini digunakan asam atau basa lewis sebagai katalis dalam inisiasi radikal reaksi polimerisasi. Contoh polimernya yaitu PVC, Polietilena, Teflon, dll. Dasar reaksi:

b. Reaksi Kondensasi

Reaksi kondensasi adalah pembentukan polimer melalui penggabungan molekul-molekul kecil melalui reaksi yang melibatkan gugus fungsi, dengan atau tanpa kehilangan sejumlah atom dari monomer penyusunnya. Hasil samping dari sejumlah atom yang hilang tersebut biasanya berupa air, ammonia, atau asam. Contoh polimer yaitu nilon, poliester, poliurea, aramid, poliuretan, dll.

2.2.6 Struktur

a. Polimer Linier

Polimer yang tersusun secara berulang-ulang, saling berikatan, dan membentuk rantai polimer yang panjang. Monomer dihubungkan dalam rantai panjang dan lurus,

(16)

13

membentuk struktur dengan kerapatan yang tinggi. Contoh:

polietena, polivinil klorida, nilon 6.

b. Polimer Rantai Bercabang

Polimer linier yang memiliki cabang dengan panjang yang berbeda pada rantai utama. Karena adanya cabang di rantai utama, polimer ini memiliki titik leleh, kekuatan tarik, dan kepadatan yang rendah. Contoh: glikogen.

c. Polimer Ikat Silang/ Polimer Jaringan

Polimer linier yang dihubungkan bersama untuk membentuk jaringan tiga dimensi. Polimer ini memiliki sifat keras, kaku, dan rapuh. Contoh: Bakelit, melamin, resin formaldehida.

2.3 Tatanama Polimer

Untuk tata nama polimer, secara umum hanya ada satu aturan yaitu menambahkan kata “poli” + monomer-nya. Tatanama polimer biasanya

(17)

14

berdasarkan pada tipe monomer yang menyusun polimer. Polimer yang terdiri dari hanya satu jenis monomer disebut homopolimer. Sedangkan polimer yang terdiri dari campuran beberapa monomer disebut kopolimer. Jumlah yang sangat besar dari struktur polimer menuntut adanya sistem tata nama yang masuk akal. Berikut ini adalah aturan pemberian nama polimer vinil yang didasarkan atas nama monomer (nama sumber atau umum), taktisitas dan isomer

a. Berdasarkan Nama Monomer 1. Nama monomer hanya satu kata

Ditandai dengan melekatkan awalan poli pada nama monomer.

Contoh:

• Nama monomer propilena nama polimer polipropilena

• Nama monomer tetrafluoroetilena nama polimer politetrafluoroetilena

2. Nama monomer lebih darisatu kata

Nama monomer diletakkan dalam kurung diawali poli Contoh:

• Nama monomer 1-pentena nama polimer poli(1-pentena)

• Nama monomer metil metakrilat nama polimer poli (metil metakrilat)

b. Berdasarkan Taktisitas

Diawali huruf i untuk isotaktik atau s (sindiotaktik) sebelum poli Contoh: Nama Polimer i-polistirena, Disusun oleh monomer stirena dengan posisi gugus fenil sama

c. Berdasarkan Isomer Struktural dan Geometrik

Ditunjukkan dengan menggunakan awalan cis atau trans dan 1,2- atau 1,4- sebelum poli

(18)

15

Contoh: Nama Polimer cis-1,4-poliisoprena, trans-1,4-poliisoprena d. Berdasarkan Struktur Unit Dasar (IUPAC)

IUPAC merekomendasikan nama polimer diturunkan dari struktur unit dasar, atau unit ulang konstitusi (CRU singkatan dari constitutional repeating unit) melalui tahapan sebagai berikut:

1. Pengidentifikasian unit struktural terkecil (CRU)

2. Sub unit CRU ditetapkan prioritasnya berdasarkan titik pengikatan dan ditulis prioritasnya menurun dari kiri ke kanan (lihat penulisan nama polistirena)

3. Substituen-substituen diberi nomor dari kiri ke kanan

4. Nama CRU diletakkan dalam kurung biasa (atau kurung siku dan kurung biasa kalau perlu), dan diawali dengan poli

Contoh:

• Nama Sumber Polimer Polietilena Nama Polimer (IUPAC) Poli (metilen)

• Nama Sumber Polimer Poliheksandiamin Nama Polimer (IUPAC) Poli (heksametilenadipamida)

Untuk tata nama polimer non vinil seperti polimer kondensasi umumnya lebih rumit darpada polimer vinil. Polimer polimer ini biasanya dinamai sesuai dengan monomer mula-mula atau gugus fungsional dari unit ulangan. Contoh: nylon, umumnya disebut nylon-6,6 (66 atau 6/6), lebih deskriptif disebut poli(heksametilen adipamida) yang menunjukkan poliamidasi heksametilendiamin (disebut juga 1,6-heksan diamin) dengan asam adipat.

Mengikuti rekomendasi IUPAC, kopolimer (polimer yang diturunkan dari lebih satu jenis monomer) dinamai dengan cara menggabungkan istilah konektif yang ditulis miring antara nama nama monomer yang dimasukkan dalam kurung atau antara dua atau lebih nama polimer.

(19)

16 2.4 Derajat Polimerisasi

Derajat polimerisasi (DP) dari suatu polimer adalah rasio atau perbandingan berat molekul polimer dengan berat molekul mer-nya. Suatu polyethylene (PE) dengan berat molekul 28.000 g misalnya, memiliki derajat polimerisasi 1000 karena berat molekul dari mer-nya (C₂H₄) adalah 28 (12x2 + 1x4). DP menggambarkan ukuran molekul dari suatu polimer berdasarkan atas jumlah dari monomer penyusunnya.

Berat molekul rata-rata atau derajat polimerisasi dari suatu polimer thermoplastik sangat berpengaruh terhadap keadaan dan sifat-sifatnya.

Viskositas dan kekuatan polimer misalnya akan meningkat dengan meningkatnya berat molekul atau derajat polimerisasinya. Sebagai ilustrasi, kita dapat membandingkan keadaan dari monomer ethylene pada derajat polimerisasi yang berbeda-beda. Perbedaan dari sifat-sifat tersebut dapat dijelaskan oleh fakta bahwa semakin panjang rantai molekul suatu polimer, semakin besar energi yang diperlukan untuk mengatasi ikatan sekundernya.

(20)

17 2.5 Interaksi Polimer

Interaksi antar molekul adalah interaksi kimia yang terjadi antara atom dalam suatu molekul dengan molekul yang lain dengan mengalami gaya tarik menarik

Terdapat tiga jenis interaksi bertanggung jawab atas kohesi pada polimer, yaitu sebagai berikut:

a. Interaksi Van der Waals

Gaya van der Waals merupakan gaya tarik menarik listrik yang relatif lemah akibat kepolaran molekul yang permanen atau terinduksi.

Kepolaran permanen terjadi akibat kepolaran di dalam molekul, sedangkan kepolaran tidak permanen terjadi akibat molekul terinduksi oleh partikel lain yang bermuatan sehingga molekul bersifat polar sesaat secara spontan.

Rantai polimer dibentuk dengan menempelkan sejumlah unit bangunan dasar polimer yang dikenal sebagai mer bersama-sama dengan bantuan ikatan kovalen. Gaya Van Der Waals memainkan peran penting dalam pembentukan polimer. Molekul polimer disatukan terutama oleh ikatan kovalen atau ion.

Gaya Van Der Waals membantu dalam membangun ikatan sekunder antara molekul polimer. Misalnya, polietena memiliki rantai polimer yang terdiri dari mer berulang dari dua atom karbon yang terikat secara kovalen yang masing-masing mengandung dua atom hidrogen. Rantai polimer polietena disatukan dengan bantuan gaya Van Der Waals.

Berdasarkan kepolaran molekul, ada tiga tipe gaya Van der Waals yang ditemukan oleh ilmuwan sains yang berbeda-beda dimana tipe ini diberi nama sesuai dengan nama penemunya, yaitu:

1. Gaya keesom

Gaya ini berdasarkan gaya tarik timbal balik antara dua dipol permanen (∼0,5 - 3 kJ·mol−1). Interaksi ini terjadi antara sesama molekul kovalen polar yang memiliki momen dipol permanen.

(21)

18

Momen dipol permanen ini terjadi karena adanya perbedaan sebaran densitas elektron yang tidak merata pada semua bagian atom- atomnya dimana elektron akan lebih banyak berkumpul pada atom yang lebih elektronegatif dibandingkan atom lainnya. Ketika molekul-molekul polar ini berdekatan satu dengan yang lainnya, maka kutub positif dari satu molekul akan berikatan dengan kutub negatif molekul lain. Interaksi ini merupakan interaksi yang lebih kuat diantara keempat tipe gaya Van der Waals.

2. Gaya debye (gaya induksi)

Gaya ini berdasarkan interaksi antara dipol permanen dan dipol yang diinduksinya pada gugus molekul terdekat yang dapat terpolarisasi (0,02 - 0,5 kJ·mol−1). Interaksi ini terjadi antara molekul kovalen polar dan molekul kovalen nonpolar. Ketika molekul nonpolar berdekatan dengan molekul polar, maka kutub positif dari molekul polar berinteraksi dengan elektron pada molekul nonpolar sehingga molekul nonpolar menjadi terinduksi.

3. Gaya London (gaya dispersi)

Gaya ini dihasilkan dari sifat asimetris dari konfigurasi elektron sesaat (0,5 - 2 kJ·mol−1). Interaksi ini terjadi antara sesama molekul kovalen nonpolar. Ketika sesama molekul kovalen nonpolar saling berdekatan maka, masing-masing molekul tersebut cenderung mengalami self-polarised membentuk dipol terinduksi

(22)

19

akibat adanya osilasi awan-awan elektron yang akan menyebabkan densitas elektron pada satu atom lebih besar daripada atom lainnya sehingga molekul tersebut menjadi sedikit polar.

b. Ikatan Hidrogen/ Hydrogen Bonds

Ikatan hidrogen adalah ikatan antarmolekul yang lebih kuat dari gaya London dan gaya van der Waals, namun lebih lemah dari ikatan ionik ataupun ikatan kovalen.

Ikatan hidrogen terbentuk antara atom hidrogen yang terikat pada atom elektronegatif (F, O atau N) dan gugus molekul lain yang mengandung atom elektronegatif kuat (O, N, F, dll) (40 kJ·mol− 1).

c. Ikatan Ionik

Ikatan jenis ini dihasilkan untuk meningkatkan kohesi dalam polimer. Polimer semacam itu disebut ionomer. Ketika anion (karboksilat, sulfonat, dll.) terbawa oleh rantai polimer dikaitkan dengan kation monovalen, mereka membentuk pasangan ion yang membentuk agregat, sehingga mengarah ke ikatan silang. Ketika anion yang sama diasosiasikan dengan kation bivalen (Ca2+, Zn2+), selain agregat, jembatan antar rantai.

(23)

20

2.6 Pengaruh Suhu Terhadap Struktur Polimer

Non Imprinted Polymer (NIP) dalam proses pembuatan digunakan sebagai polimer pengendali dan pembanding sebelum tahapan penyusunan MIP. NIP merupakan larutan dengan komposisi sama dengan MIP namun belum menggunakan zat aktif. Penyusunan MIP sebagian besar peneliti umumnya menggunakan aliran nitrogen dalam larutan pra-polimer untuk menghilangkan oksigen yang mengganggu proses polimerisasi. Contohnya untuk MIP dengan zat aktif atrazin yang meletakkan larutan pada suhu 0°C selama 4 jam di bawah sinar Ultraviolet (UV). Sama halnya dengan penyinaran sinar UV, proses pendinginan-pemanasan pada pembuatan polimer dapat menghasilkan rongga yang sama dengan analitnya dan pembuatannya relatif lebih cepat dan mudah di bandingkan dengan penelitian sebelumnya yang menggunakan sinar UV.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh (Zhang dkk., 2014) sintesis polimer untuk zat aktif karbaril dilakukan dalam kapiler dan dimasukan ke dalam air yang 3 bersuhu 50°C selama 12 jam. Sedangkan (Marinda, 2017) juga melakukan penelitian dalam pembuatan MIP dengan proses pendinginan- pemanasan untuk polimerisasi membutuhkan waktu selama 8 jam. Waktu pendingian digunakan suhu -5°C selama 1 jam. Spesifikasi untuk proses pemanasan dengan suhu 75°C selama 3 jam, 80°C selama 3 jam dan 85°C selama 1 jam. Adapun manfaat dari proses, dimana proses cooling-heating dalam pembuatan polimer bertujuan untuk memperlambat reaksi antara senyawa yang ada dalam larutan dengan oksigen. Selain proses pendinginan juga terdapaat proses pemanasan dimana proses pemanasan ini dilakukan untuk mempercepat proses penguapan sehingga mempercepat pembentukan polimer padat. Mengacu hasil penelitian sebelumnya, maka dalam penelitian ini telah mensintesis pembentukan polimer yang berkulitas dengan waktu yang lebih singkat dari penelitian yang dilakukan sebelumnya.

(24)

21 BAB III EKSPERIMENTAL 3.1 Bahan

a. Glycerol 85%

b. Sulfuric acid 95%

c. Phenolphthalein indicator

d. Sodium hydroxide 99%

e. Acetic anhydride f. Pyridine 9.5%

3.2 Prosedur Reaksi

Reaksi polimerisasi dilakukan dalam reaktor kaca tertutup 50 mL di lingkungan lembam (atmosfer nitrogen). Air terus-menerus dikeluarkan dari campuran reaksi dengan pompa vakum. Suhu reaksi polimerisasi gliserol (20 mL) bervariasi dari 130C - 170C dengan kontrol heating bath. Konsentrasi katalis dimodifikasi dari 1,5% (w/w) menjadi 5,2% (w/w). Semua reaksi dilakukan pada 24 inci Hg. Produk polimerisasi dinetralkan dengan larutan NaOH 0.1 N dan dikeringkan pada suhu 80C selama 24 jam tanpa proses pemurnian lebih lanjut.

3.3 Karakterisasi Polimerisasi

Produk reaksi polimerisasi dianalisis menggunakan Fourier Transform Infrared Spectroscopy (FTIR) untuk mengidentifikasi gugus fungsional.

Angka hidroksil dihitung mengikuti Metode ASTM D 4274-11. Sampel polimer di-asetilasi dengan larutan anhidrida-piridin asetat. Reagen asetilasi yang tidak bereaksi akan dihidrolisis dengan air dan asam asetat dititrasi dengan larutan NaOH 0,5 N. Kandungan hidroksil dihitung dari perbedaan titrasi antara larutan anhidrida-piridin asetat yang digunakan sebagai larutan BLANKO dan sampel

Distribusi berat molekular dari berbagai produk reaksi diperoleh dari pengukuran MALDI-TOF-MS dilakukan dengan spektrometer massa Bruker

(25)

22

Reflex, dilengkapi dengan laser nitrogen yang memberikan pulsa laser 3 ns pada 337 nm. Rekristalisasi α-cyano-4-hydroxycinnamic acid (10 mg/mL) dalam 30:70% (v / v) acetonitrile / air yang mengandung 0,1% (v/v) Asam trifluoroasetat (TFA) yang digunakan sebagai matriks.

Larutan Natrium klorida digunakan sebagai agen kationasi. Sampel Polimer dilarutkan dalam air dengan konsentrasi akhir 10 μg/mL. Sebuah aliquot dari matriks (0,8 μL) diterapkan pada target multistage sampai penguapan pelarut.

Kemudian 0,1 μL agen kationisasi dan 0,2 μL sampel ditambahkan.

Analisis morfologi polimer dilakukan dengan menggunakan 13C Spektrum kuantitatif NMR. Teknik Distortionless Enhancement by Polarization Transfer (DEPT) digunakan untuk menentukan banyaknya puncak. Sampel disiapkan dengan melarutkan polimer dalam air deuterated ke konsentrasi akhir 250 g/L.

Suhu transisi kaca diperoleh dari pengukuran Differential Scanning Calorimetry (DSC). Sampel menjadi sasaran dua pemindaian pemanasan dengan program suhu berikut:

a. Pemindaian pemanasan pertama dari −80 hingga 200C di tingkat pemanasan 5C/min,

b. Kemudian, pendinginan hingga −90C ditingkat pemanasan 10C / min, c. Pemindaian pemanasan kedua dari −90C hingga 400C pada tingkat

pemanasan 5C/menit.

Semua pemindaian dilakukan di bawah gas pembersihan nitrogen 50 mL / menit

(26)

23 BAB IV

HASIL DAN DISKUSI

Hasil analisis didukung secara statistik menggunakan kombinasi eksperimen suhu dan konsentrasi katalis sebagai indikator. Setiap indikator dievaluasi pada tiga tingkat suhu yang berbeda, yaitu suhu 130C, 150C, dan 170C dan konsentrasi katalis, yaitu 1,5% (b/b); 3,35% (b/b); dan 5,2% (b/b). Variabel respon yang dianalisis adalah bilangan hidroksil poligliserol, berat molekul, dan polidispersitas.

Untuk menentukan morfologi poligliserol dan sifat termal, dilakukan eksperimen kedua yang dievaluasi pada dua tingkat suhu yang berbeda, yaitu suhu 130C dan 150C, dan konsentrasi katalis, yaitu 1,5% (b/b) dan 5,2% (b/b). Urutan uji eksperimen diacak dan dilakukan tiga ulangan per tingkatan.

Analisis spektroskopi inframerah transformasi Fourier (FT-IR) dilakukan untuk semua produk reaksi yang diperoleh dari eksperimen. Hasil eksperimen menunjukkan bahwa gugus fungsi yang terdapat dalam produk polimerisasi reaksi sama dengan gugus fungsi poligliserol yang diidentifikasi pada penelitian sebelumnya. Misalnya, pita peregangan OH pada 3000 cm−1 hingga 3600 cm−1 terkait dengan gugus hidroksil terminal poligliserol, pita peregangan alkil luas (C- H) diamati pada 2883 dan 2947 cm−1, dan pita berkisar antara 950 hingga 1150 cm

1 (C-O peregangan) terkait dengan rantai poligliserol polieter. Spektrum FT-IR dua sampel pada kondisi reaksi yang berbeda ditunjukkan pada Gambar 1. Sampel

(27)

24

tersebut sesuai dengan produk polimerisasi gliserol yang dilakukan pada 130C dan 170C pada konsentrasi katalis masing-masing 1,5% (b/b) dan 5,2% (b/b).

4.1 Bilangan Hidroksil Poligliserol

Hasil percobaan kombinasi variabel respon dengan bilangan hidroksil ditunjukkan pada Tabel 1. Terlihat bahwa bilangan hidroksil produk reaksi lebih rendah daripada bilangan hidroksil awal gliserol yaitu 1800 [mgKOH/g]. Hasil ini diharapkan karena polimerisasi pertumbuhan bertahap katalis asam yang homogen dari gliserol berlangsung dengan memisahkan molekul air dalam setiap ikatan eter yang terbentuk dengan mengurangi jumlah hidroksil dalam produk reaksi.

Hasil percobaan menunjukkan bahwa fungsi poligliserol dapat disesuaikan dengan kondisi reaksi karena suhu (nilai 𝑃 < 0,0001), konsentrasi katalis (nilai : 0,0007), dan interaksi antara kedua faktor (nilai : 0,0031) berpengaruh signifikan terhadap bilangan hidroksil poligliserol. Suhu merupakan indicator dengan pengaruh terbesar diikuti oleh konsentrasi katalis dan interaksi antar indikator berturut-turut yang dilihat pada Gambar 2.

Pada konsentrasi katalis tetap 1,5% (b/b) dan 5,2% (b/b), bilangan hidroksil poligliserol menurun dengan meningkatnya suhu. Misalnya, pada konsentrasi

(28)

25

katalis 5,2% (b/b), bilangan hidroksil poligliserol pada 130C, 150C, dan 170C berturut-turut adalah 566,1 ± 12,4, 390,1 ± 13,3, dan 370,6 ± 20,7 mg KOH/g.

Kecenderungan yang berbeda ditemukan pada konsentrasi katalis tetap 3,35%

(b/b) dimana poligliserol memiliki bilangan hidroksil yang lebih tinggi pada 150C dengan 506,0 ± 23mg KOH/g diikuti oleh 130C dan 170C dengan bilangan hidroksil masing-masing 441,2 ± 4,2 dan 318,1 ± 29,5 mg KOH/g.

Pada suhu reaksi tetap 130C dan 170C, poligliserol memiliki bilangan hidroksil yang lebih rendah menggunakan konsentrasi katalis 3,35% (b/b) dengan masing-masing 441,2 ± 4,2 dan 318,1 ± 29,5 mg KOH/g, diikuti dengan konsentrasi katalis 1,5% (b/b) dan 5,2% (b/b) dengan bilangan hidroksil pada 130C sebesar 610,4 ± 20,5 dan 566,1 ± 12,4 mg KOH/g dan bilangan hidroksil pada 170C sebesar 413,1 ± 23,8 dan 370,6 ± 20.7 mg KOH /g. Sebaliknya, pada suhu reaksi tetap 150C, dengan meningkatnya konsentrasi katalis, bilangan hidroksil poligliserol menurun dengan bilangan hidroksil 525,8 ± 28,4, 506 ± 23, dan 390,1 ± 13,3 mg KOH/g menggunakan konsentrasi katalis 1,5%

( b/b), masing-masing 3,35% (b/b), dan 5,2% (b/b). Hasil penelitian menunjukkan bahwa konsentrasi katalis gagal menghasilkan efek tren yang sama pada bilangan hidroksil poligliserol pada tingkat suhu yang berbeda karena kedua faktor ini berinteraksi.

Penurunan bilangan hidroksil produk reaksi terhadap bilangan hidroksil awal gliserol disebabkan oleh reaksi kimia yang melibatkan reaksi gugus hidroksil, seperti reaksi eterifikasi dan siklisasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa suhu dan konsentrasi katalis mempengaruhi konversi reaksi ini. Jika Suhu yang lebih tinggi atau konsentrasi katalis yang meningkatkan, maka konversi reaksi mengakibatkan penurunan gugus hidroksil dalam produk reaksi.

Hasil juga menunjukkan bahwa suhu dan konsentrasi katalis merupakan indikator yang saling berinteraksi; akibatnya, dampak suhu pada bilangan hidroksil bervariasi tergantung pada konsentrasi katalis.

(29)

26

4.2 Distribusi Berat Molekul Sintesis Poligliserol

Temperatur dan konsentrasi katalis tidak memiliki pengaruh yang siginifikan terhadap berat molekul poligliserol dan polidispersitas. Jumlah dan berat rata-rata berat molekul, serta polidispersitas dari setiap perlakuan yang ditetapkan oleh desain kombinatorial, ditunjukkan pada Tabel 2. Nilai rata-rata distribusi bobot molekul (Mw dan Mn), dan polidispersitas untuk semua perlakuan masing-masing adalah 2917,8 Da, 2985,3 Da, dan 1,023. Bobot molekul yang dihitung (Mw) sesuai dengan jumlah rata-rata Mw yang dilaporkan sebelumnya dari poligliserol yang disintesis pada suhu 140∘C dan tekanan di bawah 26 kPa [14], yang konsisten dengan temuan kami mengenai fakta bahwa jumlah rata-rata Mw tidak dipengaruhi secara signifikan oleh suhu dan konsentrasi katalis. Gambar 3 menunjukkan analisis spektra massa MALDI-TOF dari perlakuan dengan suhu 130C dan 170C dan konsentrasi katalis masing-masing 1,5% (w/w) dan 5,2% (w/w).

Fakta bahwa suhu dan konsentrasi katalis yang lebih tinggi menurunkan bilangan hidroksil produk reaksi tetapi tidak menurunkan berat molekul poligliserol dan polidispersitas menunjukkan bahwa suhu dan konsentrasi katalis mempengaruhi morfologi poligliserol. Seperti yang akan ditunjukkan pada bagian selanjutnya, suhu dan konsentrasi katalis mempengaruhi selektivitas reaksi dari gugus hidroksil gliserol. Suhu dan konsentrasi katalis yang lebih tinggi mendukung reaksi gugus hidroksil sekunder gliserol yang membentuk struktur bercabang poligliserol.

TABEL 2: Tabel ringkasan polidispersitas, jumlah, dan berat rata-rata berat molekul poligliserol yang disintesis pada tiga suhu yang berbeda (130, 150, dan 170C) dan konsentrasi katalis 1,5% (w/w), 3,35%

(w/w), dan 5,2% (w/w).

Temperature (C)

Catalyst

% (w/w)

Mw (Da) Mn (Da) PD

130 1.5 2987.2 2919.1 1.023

130 3.35 2986.5 2917.6 1.024

130 5.2 2976.2 2908.9 1.023

150 1.5 2978.2 2910.3 1.023

150 3.35 2978.3 2911.3 1.023

(30)

27

150 5.2 3012.4 2943.2 1.023

170 1.5 2991.1 2924.5 1.023

170 3.35 2975.6 2908.2 1.023

170 5.2 2982.5 2917.2 1.022

4.3 Morfologi Poligliserol

Struktur bercabang, unit terminal, dan rantai polieter dalam struktur poligliserol, yang akan menentukan morfologi poligliserol, diidentifikasi dalam sampel poligliserol yang diperoleh di bawah kondisi sintesis dan dianalisis menggunakan Teknik spektroskopi 13C NMR (Tabel 3). Analisis puncak antara kuantitatif Spektrum 13C NMR dan DEPT dibuat untuk menentukan morfologi poligliserol. Wilayah spektrum 13C NMR dari 60 hingga 64 ppm menunjukkan adanya karbon -CH2OH unit terminal poligliserol, yang merupakan gugus hidroksil primer; wilayah sinyal dari 68 hingga 73 ppm menunjukkan adanya karbon -CHOH- yang merupakan gugus hidroksil yang tertunda; wilayah dari 72 hingga 73 ppm menunjukkan karbon -CH2-O yang merupakan rantai polieter; dan bahwa dari 74 hingga 82 ppm menunjukkan adanya karbon -CH-O- yang terkait dengan awal rantai bercabang [12, 17]. Tabel 4 menunjukkan gugus fungsi yang ditemukan pada interval puncak spesifik pada setiap suhu dan konsentrasi katalis. Sebuah contoh dari kuantitatif spektrum 13C NMR kuantitatif dilakukan pada 130C dan Konsentrasi katalis 1,5% (b/b) ditunjukkan pada Gambar 4 di mana wilayah spektrum 13C NMR yang dianalisis disorot.

Hasil morfologi poligliserol dihitung dengan mengambil area relatif di bawah sinyal spektrum dalam wilayah spectrum yang mengidentifikasi setiap jenis karbon dijelaskan pada Tabel 4.

Hasilnya menunjukkan bahwa suhu, konsentrasi katalis, dan interaksinya berpengaruh nyata terhadap morfologi poligliserol (nilai 𝑃 < 0,0001). Hasil ini menunjukkan bahwa factor-faktor ini mempengaruhi selektivitas reaksi gugus hidroksil. Peningkatan faktor-faktor ini mendukung reaksi gugus hidroksil sekunder yang memvariasikan morfologi poligliserol. Suhu merupakan faktor

(31)

28

yang paling berpengaruh terhadap morfologi poligliserol. Pada konsentrasi katalis tetap 5,2% (b/b), saat suhu meningkat dari 130 menjadi 150C, unit terminal poligliserol menurun dari 50,1 menjadi 14,2%, rantai polieter poligliserol meningkat dari 47,7 menjadi 55,9%, dan percabangan meningkat dari 2,2 hingga 29,86%. Tren yang sama diamati pada konsentrasi katalis tetap 1,5% (b/b); namun, pengaruh suhu pada morfologi poligliserol berkurang pada konsentrasi katalis yang lebih rendah menunjukan adanya interaksi antara kedua faktor tersebut. Pada suhu tetap 130C, peningkatan konsentrasi katalis dari 1,5 hingga 5,2% (b/b) memiliki sedikit pengaruh pada unit terminal poligliserol (dari 46,1% menjadi 50,1%), rantai polieter (dari 51,8% menjadi 47,7%), dan percabangan (dari 2% menjadi 2,2%). Di sisi lain, pada suhu tetap 150C, peningkatan konsentrasi katalis berpengaruh besar pada unit terminal poligliserol (dari 30,6% menjadi 14,2%), rantai polieter (dari 61,1% menjadi 55,9%), dan percabangan (dari 8,3% menjadi 29,9%). Perubahan pengaruh konsentrasi katalis sebagai fungsi suhu disebabkan oleh interaksi antar faktor.

Tabel 3: Suhu (∘C), konsentrasi katalis % (b/b), dan area relatif di bawah wilayah spektrum yang digunakan untuk mengukur dan mengidentifikasi karbon poligliserol yang berbeda.

Semua percobaan dilakukan dalam rangkap dua

(32)

29

Tabel 4: Model rantai tumbuh polimerisasi gliserol yang mengandung segmen linier, bercabang, dan siklik serta penetapan karbonnya berdasarkan 13C NMR (lihat jugaSkema 1) [12,14,17].

4.4 Suhu Transisi Kaca Poligliserol

Poligliserol suhu transisi gelas menandai perubahan dari gelas atau energi- elastis negara ke sebuah elastis atau entropi didorong dalam keadaan elastis.

Dengan demikian, pengetahuan tentang termal poligliserol ini properti sangat penting dalam pemilihan bahan ini untuk berbagai aplikasi.

Kaca transisi suhu adalah bertekad menggunakan Prosedur eksperimental DSC yang dilakukan dalam dua pemindaian pemanasan. Pemindaian pertama dilakukan untuk mengungkapkan informasi informasi tentang kondisi poligliserol saat ini. Untuk contoh, pengolahan mempengaruhi sebuah memengaruhi dari terlampir air ke gugus hidroksil polar pada sifat termal.

Setelah pendinginan, pemindaian pemanasan kedua dilakukan untuk menentukan tertentu properti dari poligliserol tanpa itu pengaruh dari lincah zat dan pengolahan.

Dalam pemindaian pemanasan pertama, suhu transisi kaca diamati pada suhu di bawah 50oC. Sebagai pemanasan berkembang, air dimulai ke menguap pada sekitar 30oC menyebabkan perubahan endotermik pada kurva pemanasan.

khusus kuat menjalin kedekatan di antara air dan poligliserol hidroksil kelompok membuat difusi air melalui poligliserol sulit, menghasilkan di

(33)

30

sebuah endotermik mengubah di itu Pemanasan melengkung yang naik ke 200oC. Setelah pendinginan, selama detik Pemanasan memindai, kaca transisi suhu ditingkatkan dan itu endotermik mengubah di itu Pemanasan melengkung lenyap.

Analisis statistik menunjukkan bahwa transpor kaca poligliserol suhu posisi secara signifikan dipengaruhi oleh katalis con- pemusatan (𝑃 nilai: 0,0002), suhu (𝑃 nilai: 0,0002), dan interaksi antara kedua faktor tersebut (nilai: <

0,0001). Interaksi antara suhu dan katalis konsentrasi adalah itu faktor dengan itu terbesar memengaruhi. Untuk misalnya, pada konsentrasi katalis tetap 1,5%

(b/b), an kenaikan suhu dari 130oC menjadi 150oC menyebabkan kaca transisi suhu ke mengurangi dari 8.6oC ke 25.3oC. Pada itu lainnya tangan, pada katalisator konsentrasi dari 5,2% (b/b) dan itu sama suhu mengubah dari 130oC ke 150oC itu kaca transisi suhu ditingkatkan dari 18.6oC ke 8oC. Serupa kecenderungan dulu ditemukan pada tetap suhu dari 130oC dan 150oC;

bervariasi katalisator konsentrasi dari 1,5% (b/b) ke 5,2% (b/b) pada 130oC menyebabkan itu kaca transisi suhu menurun, sedangkan memvariasikan konsentrasi katalis dari 1,5% (b/b) ke 5,2% (b/b) pada 150oC menyebabkan itu kaca transisi suhu ke meningkat menunjukkan interaksi di antara faktor.

Poligliserol kaca transisi suhu bergantung pada keduanya, polimer percabangan struktur dan itu jumlah dari -OH hidrofilik kelompok. Dia memiliki pernah dilaporkan itu sebuah meningkat dari percabangan polimer menyebabkan pembatasan mobilitas segmental yang meningkat kaca transisi suhu. Demikian pula, gugus hidrofilik dalam polimer bahan kimia struktur, seperti - OH, mampu dari hidrogen ikatan memengaruhi kaca transisi suhu fitur. Karena konsentrasi katalis dan suhu mempengaruhi jumlah dan percabangan poligliserol hidroksil di sebuah di depan jalan, Kapan poligliserol hidroksil nomor berkurang percabangan meningkat, di sana adalah sebuah kompetisi di itu dampak dari hidroksil nomor dan percabangan pada poli- liserol kaca transisi suhu. Untuk contoh, pada tetap katalisator konsentrasi dari 5,2%, sebuah mengubah dari suhu dari 130oC ke 150oC berkurang poligliserol hidroksil nomor dari 566 mg KOH/g ke 390 mg KOH/g tetapi meningkat

(34)

31

poligliserol bercabang dari 2,2% menjadi 29,9%. Dalam hal ini, poligliserol percabangan lebih berdampak pada suhu transisi gelas karena meningkat dari 18oC menjadi 8oC. Sebaliknya, pada tetap suhu dari 130oC, sebuah mengubah dari katalisator konsentrasi- tion dari 1,5% menjadi 5,2% menurunkan bilangan hidroksil poligliserol ber dari 610 mg KOH/g ke 566 mg KOH/g dan itu mengubah dari poligliserol percabangan adalah diabaikan dari 2% ke 2.2%.

Dengan demikian, di ini kasus, itu poligliserol hidroksil nomor memiliki lagi dampak pada menurun poligliserol kaca transisi suhu dari 8.6oC ke 18.6oC, sebagai ditampilkan di Angka 5.

(35)

32 BAB V KESIMPULAN

Wawasan baru telah diperoleh mengenai pengaruh kondisi sintesis produksi poligliserol dari gliserol pada morfologi poligliserol akhir, berat molekul, polidispersitas, sifat termal, dan fungsionalitas. Suhu dan konsentrasi katalis sintesis memungkinkan sintesis poligliserol dengan parameter fundamental spesifik yang menentukan aplikasi akhir poligliserol. Peningkatan suhu sintesis menurunkan unit terminal poligliserol-OH, meningkatkan rantai poligliserol polieter dan gugus hidroksil yang tertunda, meningkatkan percabangan poligliserol, dan menurunkan bilangan hidroksil poligliserol. Secara umum, dampak suhu sintesis pada morfologi dan fungsionalitas meningkat secara signifikan pada konsentrasi katalis yang lebih tinggi. Perubahan poligliserolmorfologi dan fungsionalitas mempengaruhi suhu transisi gelas karena perubahan derajat percabangan poligliserol dan bilangan hidroksil. Selanjutnya, berat molekul poligliserol dan polidispersitas tidak dipengaruhi secara nyata oleh variasi suhu dan konsentrasi katalis selama proses sintesis.

(36)

33

DAFTAR PUSTAKA

• https://simdos.unud.ac.id/uploads/file_pendidikan_dir/8ffad0a5ccff31f14f934 e1bad254493.pdf

• https://www.gramedia.com/literasi/polimer/#:~:text=Polimer%20linier%2C%

20yaitu%20polimer%20yang,tarik%2C%20dan%20kerapatan%20yang%20ti nggi

• https://docplayer.info/70213354-Devy-lestari.html

• Ricky. 2020. Polimer : Contoh, Jenis dan Kegunaan.

https://www.gramedia.com/literasi/polimer/#Homopolimer . Diakses pada tanggal 01 Juni 2022 Pukul 08.46 WIB.

• Budiwati, Rini. 2019. Polimer.

http://ebook.itenas.ac.id/repository/dcf14ea261596158181fddbe2fb838d4.pdf.

Diakses pada tanggal 01 Juni 2022 Pukul 09.00 WIB.

• Chemistry LibreTexts. 2020. Polymers and Polymerization Reactions (Sub.

27.8). Website.

• https://chem.libretexts.org/Bookshelves/General_Chemistry/Map%3A_Gener al_Chemistry_(Petrucci_et_al.)/27%3A_Reactions_of_Organic_Compounds/

27.08%3A_Polymers_and_Polymerization_Reactions#:~:text=There%20are

%20two%20general%20types,addition%20polymerization%20and%20conde nsation%20polymerization. Diakses pada tanggal 1 Juni 2022

• Byju’s. 2020. Difference Between Addition And Condensation Polymerization. Website. https://byjus.com/chemistry/difference-between- addition-and-condensation-polymerization/ diakses pada tanggal 1 Juni 2022

• https://sainskimia.com/7-contoh-gaya-van-der-waals-dalam-kehidupan- sehari-hari/ diakses pada 02 Juni 2022 18.00

• https://www.kompas.com/skola/read/2020/10/09/193130969/gaya-

antarmolekul-london-van-der-waals-dan-ikatan-hidrogen?page=all. diakses pada 02 Juni 2022 18.00

• https://text-id.123dok.com/document/7qvl7nmdy-gaya-keesom-gaya-debye- gaya-london.html diakses pada 02 Juni 2022 18.00

(37)

34

LAMPIRAN

Pertanyaan

1. Apa reaksi pembentukan polimer yang terjadi pada jurnal dan video?

a) Jurnal

b) Video

Gambar

TABEL 2: Tabel ringkasan polidispersitas, jumlah, dan berat rata-rata berat molekul poligliserol yang  disintesis pada tiga suhu yang berbeda (130, 150, dan 170 ∘ C) dan konsentrasi katalis 1,5% (w/w), 3,35%
Tabel 3: Suhu (∘C), konsentrasi katalis % (b/b), dan area relatif di bawah wilayah spektrum  yang digunakan untuk mengukur dan mengidentifikasi karbon poligliserol yang berbeda
Tabel  4:  Model  rantai  tumbuh  polimerisasi  gliserol  yang  mengandung  segmen  linier,  bercabang, dan siklik serta penetapan karbonnya berdasarkan  13 C NMR (lihat jugaSkema  1) [12,14,17]

Referensi

Dokumen terkait

Pengaruh Variasi Suhu Sintering Pada Pembuatan Strontium Titanat (SrTiO 3 ) Menggunakan Metode Co-Precipitation Terhadap.. Struktur Mikro dan Sifat

Dengan ini saya menyatakan bahwa isi intelektual Skripsi saya yang berjudul “PENGARUH VARIASI SUHU SINTERING TERHADAP STRUKTUR MIKRO, UKURAN BUTIR, DAN SIFAT

Berdasarkan hasil penelitian disimpulkan bahwa (1) ada pengaruh variasi suhu temper terhadap struktur mikro baja HQ 709 mulai dari keadaan quenching 870 °C, tempering 350 °C,

Pemahaman Pemahaman tentang tentang hubungan antara sifat dan struktur ini, serta kemampuan membangun struktur polimer sesuai hubungan antara sifat dan struktur ini, serta

Gambar 2.3 Struktur molekul HPAM Diharapkan penggunaan CMC yang berasal dari TKKS dan akrilamida dalam pembuatan polimer CMC-AM akan menghasilkan polimer yang memiliki ketahanan

Dokumen ini membahas tentang sejarah dan sifat slime, mainan berbasis

Dokumen ini membahas pengaruh suhu penyimpanan beku terhadap kerusakan lipid pada otot ikan saithe dan

Makalah ini membahas tentang struktur dan fungsi bagian-bagian