15 A. Deskripsi Teori
1. Hakikat Organizational Citizenship Behavior
Menurut Castro et.al (2004), Organizational Citizenship Behaviour (OCB) merupakan kontribusi individu yang mendalam melebihi tuntutan peran di tempat kerja. Ada tujuh faktor yang menunjukan indikasi perilaku kewarganegaraan organisasi, yaitu: 1) perilaku membantu, 2) sportifitas, 3) inisiatif individu, 4) kebajikan sipil, 5) komitmen berorganisasi, 6) kepatuhan, dan 7) pengembangan pribadi.
Pengertian Organizational Citizenship Behaviour (OCB) menurut Gonzalez dan Garazo (2006) adalah perilaku karyawan yang dilakukannya secara sukarela, tidak berhubungan langsung maupun tidak langsung dengan sistem penghargaan dan secara keseluruhan dapat mendukung efektivitas dan efisiensi organisasi,yang terdiri dari lima indikator: 1) altruism: menolong rekan kerja serta memberikan kontribusi dengan permasalahan yang relevan dengan organisasi, 2) courtesy:
menjaga rahasia rekan kerja, 3) sportsmanship: menghindari keluhan, adanya kemauan pegawai untuk mentoleransi keadaan yang tidak ideal dan lebih menghabiskan waktu pada peningkatan organisasi, 4) civic virtue: memberi pendapat untuk kemajuan organisasi, 5)
conscientiousness atau generalized compliance: efisiensi waktu dan berperan melebihi harapan organisasi.
Luthans (2011: 149-150) menuliskan bahwa Organizational Citizenship Behaviour (OCB) merupakan karakteristik yang ada dalam suatu kepribadian tertentu yang diwujudkan dengan senang menolong dan memperhatikan orang lain, timbulnya rasa keperdulian, dapat bekerja sama serta sungguh-sungguh dalam bekerja. Selain itu persepsi keadilan organisasi dengan Organizational Citizenship Behaviour (OCB) akan terlihat hubungannya dimana seseorang akan memiliki perilaku Organizational Citizenship Behaviour (OCB) yang baik jika organisasi memperlakukannya secara adil. Luthans juga menyebutkan terdapat lima dimensi dalam Organizational Citizenship Behaviour (OCB) ini yaitu: (1) altruism; perilaku individu yang siap membantu rekan kerja jika ia berhalangan hadir. Menggantikan tugas mengajar rekan kerja yang tidak hadir karena berhalangan atau sakit. (2) conscientiousness; perilaku individu yang bekerja melampaui batas waktu kerja dalam organisasi.
Menyelesaikan tugas pekerjaan hingga larut malam (3) civic virtue;
perilaku individu untuk membangun citra positif di luar organisasi.
Bersedia turut serta secara sukarela kegiatan-kegiatan kemasyarakatan untuk meningkatkan citra organisasi. (4) sportsmanship; perilaku individu untuk merasa bertanggung jawab dalam melaksanakan kegiatan organisasi. Misalnya ketika dalam melaksanakan suatu project, tim mengalami kegagalan, maka individu tersebut akan merasa bertanggung
jawab atas kegagalan tersebut. (5) courtesy; perilaku individu untuk merasakan empati. Jika dalam organisasi atau lingkungan kerja terdapat masalah, maka individu tersebut akan turut merasakan dan memahami serta membantu mencari jalan keluar. Luthans juga menambahkan bahwa jika secara individu, kelompok maupun organisasi memiliki Organizational Citizenship Behaviour (OCB) yang baik, maka akan menghasilkan kinerja yang baik serta evaluasi kerja yang baik pula
Morrison (dalam Frances, dkk, 2001) mendefinisikan Organizational Citizenship Behavior (OCB) sebagai perilaku pekerja yang menguntungkan organisasi, tetapi perilaku tersebut berada di luar persyaratan formal sehingga perilaku tersebut sulit diberi ganjaran (reward) spesifik yang formal. Baseman dan Organ (dalam Organ, 1988) menggunakan istilah "citizenship behavior" merujuk kepada perilaku menolong, perilaku yang bersifat membangun (perilaku yang berguna) yang diperlihatkan oleh anggota organisasi dan sekaligus dinilai dan dihargai oleh anggota organisasi yang jabatannya lebih tinggi, namun tidak berhubungan secara langsung dengan produktifitas individu, maupun kesatuan dalam syarat dilaksanakannya fungsi atau peranan individu dalam organisasi. Organizational Citizenship Behavior (OCB) menurut Organ dalam Bolino, et all (2002) adalah perilaku individu yang bebas, tidak secara langsung atau eksplisit diakui dalam sistem pemberian penghargaan dan dalam mempromosikan fungsi efektif perusahaan.
Organizationak Citizenship Behavior juga disebut sebagai perilaku extra role karena perilaku yang diberikan karyawan melebihi tugas utamanya.
Organizational Citizenship Behavior (OCB) menurut Robbins (2008:31) adalah perilaku yang dilakukan oleh seorang karyawan yang melebihi kewajiban kerja formal, namun berdampak baik karena mendukung efektivitas organisasi. Aspek-aspek Organizational Citizenship Behavior menurut Organ et all (2006) menjelaskan bahwa: 1) Altruism adalah perilaku menolong rekan kerja yang mengalami kesulitan dalam situasi yang sedang dihadapi mengenai tugas perusahaan maupun masalah pribadi. Aspek ini memberikan pertolongan yang bukan menjadi tanggung jawab dari tugas utama. 2) Conscientiousness, yaitu perilaku yang menunjukan usaha lebih yang dilakukan karyawan dibandingkan harapan perusahaan. Perilaku ini bersifat sukarela tanpa mempertimbangkan reward maupun penghargaan yang akan diterima. 3) Sportsmanship, yaitu perilaku toleransi yang diperlihatkan karyawan saat keadaan perusahaan kurang ideal tanpa mengajukan keberatan. Perilaku ini mendukung adanya iklim positif dalam pekerjaan karena adanya perilaku lebih sopan dan bekerja sama dengan yang lain. 4) Courtesy yaitu menjaga hubungan baik dengan rekan kerjanya agar terhindar dari masalah personal, dan cenderung memperlihatkan perilaku memperdulikan orang lain. 5) Civic Virtue adalah perilaku yang mendedikasikan dirinya kepada tanggung jawab perusahaan seperti mengikuti perubahan dalam organisasi, mengambil inisiatif untuk
rekomendasi sebuah perubahan demi efisiensi maupun kemajuan perusahaan.
Menurut Budihardjo (2011), Organizational Citizenship Behavior (OCB) adalah suatu perilaku sukarela individu (dalam hal ini karyawan) yang tidak secara langsung berkaitan dalam sistem pengimbalan namun berkontribusi pada keefektifan organisasi. Dengan kata lain, Organizational Citizenship Behavior merupakan perilaku seorang karyawan bukan karena tuntutan tugasnya namun lebih didasarkan pada kesukarelaannya. Menurut Khalid dan Ali (2005) Organizational Citizenship Behavior didefinisikan sebagai perilaku yang mempertinggi nilai dan pemeliharaan sosial lingkungan psikologi yang mendukung hasil pekerjaan. Johns (1996) dalam Budihardjo (2014) mengemukakan bahwa Organizational Citizenship Behavior memiliki karakteristik perilaku sukarela (extra-role behaviour) yang tidak termasuk dalam uraian jabatan, perilaku spontan/tanpa sasaran atau perintah seseorang, perilaku yang bersifat menolong, serta perilaku yang tidak mudah terlihat serta dinilai melalui evaluasi kinerja.
Organizational Citizenship Behavior menurut Titisari (2014) merupakan kontribusi individu yang melebihi tuntutan peran di tempat kerja yang juga melibatkan beberapa perilaku, meliputi perilaku menolong orang lain, menjadi volunteer untuk tugas-tugas ekstra, patuh terhadap aturan-aturan dan prosedur-prosedur di tempat kerja. Titisari mengidetifikasikan tujuh faktor yang dapat mempengaruhi
Organizational Citizenship Behavior, yaitu: 1) kepuasan kerja, 2) komitmen organisasi, 3) kepribadian, 4) kepemimpinan transformasional, 5) kualitas hubungan atasan-bawahan, 6) iklim organisasi, 7) budaya organisasi.
Organizational Citizenship Behavior (OCB) didefinisikan oleh Daniels et al., (2006) sebagai perilaku ekstra dalam melakukan tugas di tempat kerja selain tugas rutin karyawan. Organizational Citizenship Behavior membantu organisasi untuk meningkatkan kinerjanya dalam jangka panjang dibandingkan dengan jangka pendek. Selain itu, Poncheri (2006) mendefinisikan Organizational Citizenship Behavior sebagai perilaku positif yang memiliki efek positif pada pengembangan organisasi. Kedua pendekatan ini jelas membuktikan peran ekstra yang dimainkan oleh karyawan di tempat kerja yang memiliki dampak positif pada kinerja organisasi. (Todd, 2003) dalam studinya mengidentifikasi bahwa Organizational Citizenship Behavior membantu mendorong karyawan untuk menerapkan pengetahuan, keterampilan, dan pengetahuan, keahlian serta kemamapuan mereka secara maksimum.
Menurut Robins dan Coulter (2010), Organizational Citizenship Behavior adalah perilaku atas kehendak sendiri yang bukan menjadi bagian dari tuntutan kerja formal tetapi mendorong efektivitas fungsi organisasi. Ada tiga faktor yang mempengaruhi Organizational Citizenship Behavior, yaitu: 1) kecerdasan emosional, 2) komitmen organisasio, dan 3) kepuasan kerja.
Menurut Herlina (2013), Organizational Citizenship Behavior (OCB) adalah perilaku-perilaku yang dilakukan oleh anggota organisasi/karyawan yang tidak secara tegas diberi penghargaan apabila mereka melakukannya dan juga tidak akan diberi hukuman apabila mereka tidak melakukannya, tidak merupakan bagian dari deskripsi pekerjaan yang dimiliki oleh karyawan, dan merupakan perilaku karyawan yang tidak membutuhkan latihan terlebih dahulu untuk melaksanakannya. Ada lima dimensi atau indikator dari OCB, yaitu: (1) altruism (helping), (2) conscientiousnes, (3) sportmanship (sikap sportif), (4) courtesy (kebaikan), dan (5) civic virtue
Dari konsep-konsep di atas dapat disintesiskan bahwa Organizational Citizenship Behavior (OCB) adalah perilaku pegawai yang dilakukan dengan sukarela sehingga dapat menjadikan fungsi organisasi menjadi efektif dan efisisen. Adapun indikatornya adalah : 1) Perilaku membantu (altruism), 2) Sportifitas, 3) Kesopanan (courtesy), 4) Perilaku tanggung jawab (civic virtue), dan 5) Komitmen terhadap organisasi.
2. Hakikat Konsep Diri
Menurut Calhoun dan Acocella, (2008) konsep diri merupakan gambaran mental setiap individu yang terdiri atas tiga dimensi, yaitu pengetahuan tentang dirinya, pengharapan yang mendorong tercapainya harapan di masa datang, dan penilaian tentang diri sendiri. Konsep diri
(self concept) merupakan seperangkat perspektif yang dipercaya orang mengenai dirinya sendiri.
M. Nur Ghufron dan Rini Risnawati S (2012) mendefinisikan konsep diri sebagai gambaran mental diri seseorang, yang dibagi menjadi konsep diri positif dan konsep diri negatif. Konsep diri positif adalah penerimaan yang mengarah individu ke arah sifat yang rendah hati, dermawan, dan tidak egois. Orang dengan konsep diri positif dapat memahami dan menerima sejumlah fakta yang bermacam-macam tentang dirinya sendiri baik yang merupakan kekurangan maupun kelebihan.
Sedangkan, konsep diri negatif merupakan pandangan seseorang terhadap dirinya yang tidak teratur, tidak memiliki kestabilan, dan keutuhan diri. Selain itu, bisa juga konsep diri yang terlalu stabil dan terlalu teratur (kaku).
Menurut Baumeister (1999), konsep diri adalah kendaraan perilaku simbolik kita bagaimana kita memikirkan dan menilai diri kita sendiri.
Menurut Jai Mala (2005) konsep diri mengacu pada cara seseorang berpikir ekonomi untuk pemikirannya, penalaran dan pemecahan masalah tentang kemampuan mereka dalam berbagai fakta seperti:
akademisi, perilaku dan banyak membantunya dalam memperoleh pengetahuan dan atletik dan interaksi sosial. Konsep diri (self concept) merupakan seperangkat perspektif yang dipercaya orang mengenai dirinya sendiri. Peranan, talenta, keadaan emosi, nilai, keterampilan dan
keterbatasan sosial, intelektualitas, dan seterusnya yang membentuk konsep diri (West dan Turner, 2008).
Hughes, Galbraith dan White (2011) yang juga mengatakan bahwa konsep diri merupakan deskripsi mengenai diri sendiri yang juga mengandung evaluasi terhadap diri. William D.Brooks mendefinisikan konsep diri sebagai “ Those psychical, social, and psychological perceptions of our selves that we have derived from experiences and our interaction with other”. Konsep diri didefinisikan sebagai totalitas dari pemikiran individu dan perasaan memiliki referensi untuk dirinya sendiri sebagai obyek. Ini adalah persepsi individu dari dan perasaan terhadap dirinya sendiri. Dengan kata lain, konsep diri individu terdiri dari sikap individu terhadap diri yang individu itu pegang (Hawkins, Mothersbaugh, & Best, 2007). Behesh Hiftiftar & Nezhad (2012) menyatakan bahwa seseorang menggambarkan individu tertentu dalam berbagai karakter kepribadian, ketika karakter ini diterapkan secara konsisten, maka individu tersebut menerima dirinya sebagai deskripsi tentang dirinya
Zastrow & Ashman (2010), mengemukakan bahwa konsep diri merujuk pada perasaan positif dan negatif, dimana perasaan ini menunjukkan dirinya. Konsep diri dikenal dengan istilah citra diri (self image), kesadaran diri (sense of self), harga diri (self esteem), identitas diri (self identity). Menurut Desmita (2012) konsep diri merupakan
representasi diri yang mencakup identitas diri yakni karakteristik personal, pengalaman, peran, dan status sosial.
Rahmat (dalam Gufron, 2011) mengemukakan definisi konsep diri sebagai suatu penilaian terhadap diri adalah cara bagaimana individu menilai diri sendiri, bagaimana penerimaannya terhadap diri sendiri sebagaimana yang dirasakan, diyakini, dan dilakukan, baik ditinjau dari segi fisik, moral, keluarga, personal, dan sosial. Konsep diri menurut Marsh dan Shavelson dapat didefinisikan sebagai apa yang dipikirkan seseorang tentang dirinya sendiri. Konsep diri memiliki struktur hierarkis. Pada tingkat tertinggi dari struktur ada bagian yang paling stabil, konsep-diri umum, dibangun melalui integrasi dari dua aspek utama dari tingkat yang lebih rendah pertama - konsep diri akademik dan non-akademik. Dalam ranah akademis bisa dibedakan aspek-aspek yang terkait dengan ranah akademis yang berbeda dan dalam ranah non- akademik itu bisa dibedakan konsep-konsep sosial, emosional dan fisik.
Di bagian bawah, ada elemen spesifik yang kurang stabil yang lebih bergantung pada situasi.(Todorovi, Gordana, & Doskovi, 2014).
Berdasarkan beberapa konsep yang telah dikemukakan, maka dapat disintesiskan bahwa konsep diri adalah gambaran diri seseorang tentang dirinya, baik secara fisik, sosial, dan emosi, yang dapat diukur melalui indikator: 1) citra diri, 2) evaluasi diri, 3) perspektif sosial, dan 4) perspektif moral.
3. Hakikat Kepemimpinan Melayani
Menurut Robert K.Greenleaf, kepemimpinan melayani adalah gaya seseorang yang dimulai dengan perasaan alami ingin melayani lebih dulu untuk membantu, mendukung, mendorong, dan mengangkat orang lain. Ada tujuh faktor yang menunjukkan perilaku kepemimpinan yang melayani, yaitu: 1) integritas, 2) altruisme, 3) humalitas, 4) empati dan penyembuhan, 5) pengembangan diri, 6) keadilan, dan 7) memberdayakan.
Leaden et al (2008) mendefinisikan kepemimpinan melayani adalah gaya seorang pemimpin yang secara alami membangun hubungan yang kuat, positif dan jangka panjang dengan anggotanya. Tujuh dimensi yang menggambarkan karakteristik penting kepemimpinan melayani: 1) peduli dan peka terhadap kesejahteraan anggota, 2) memberdayakan, 3) membantu bawahan tumbuh dan sukses, 4) menempatkan kepentingan dan kesuksesan bawahan terlebih dahulu, 5) menciptakan nilai bagi masyarakat, 6) memiliki keterampilan konseptual, 7) berperilaku etis dengan betindak dan berinteraksi secara terbuka, adil, dan jujur dengan orang lain. (Chiniara & Bentein, 2017)
Dierendonck (2011: 1228-1261) menyatakan bahwa kepemimpinan melayani adalah kepemimpinan yang mengutamakan soal pelayanan. Pelayanan yang dimaksud adalah pelayanan yang timbul dari keinginan individu secara suka rela untuk melakukan pelayanan terhadap orang lain dengan tujuan agar orang lain dapat tumbuh berkembang
(grow), sehat (healthy), mandiri (autonoumous) dan mempunyai jiwa melayani. Perilaku ini memiliki beberapa indikator-indikator (1) altruitic calling; perilaku pemimpin yang mengutamakan kepentingan orang lain di atas kepentingan sendiri dan bekerja keras untuk memenuhi kebutuhan bawahan (2) emotional healing; perilaku pemimpin untuk meningkatkan dan mengembalikan semangat bawahannya dari trauma dan penderitaan (3) wisdom; perilaku pemimpin yang dengan mudah membaca tanda- tanda situasi di sekitar dan mengetahui implikasi apa saja yang harus dilakukan pada situasi tersebut (4) persuasive mapping; perilaku pemimpin untuk memetakan persoalan dan mengantisipasi kemungkinan yang terjadi serta mendesak individu lain untuk melakukan sesuatu demi mendapatkan suatu peluang (5) stewardship; pemimpin untuk melakukan kontribusi positif terhadap lingkungan seperti lewat pengabdian masyarakat.
Focht dan Ponton (2015: 44-61) juga menjelaskan hal senada yaitu kepemimpinan melayani adalah seorang pemimpin yang memliki keinginan untuk melayani serta membantu pengikutnya untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Hal ini berawal dari keinginan untuk memberikan layanan kepada bawahan, lalu termotivasi untuk mengarahkan mereka untuk mencapai tujuan tertentu. Perilaku ini memiliki dimensi-dimensi: (1) value people; menghargai individu apa adanya. (2) service other’s needs before their own; mendahulukan pelayanan kepada individu lain daripada kebutuhan sendiri (3)
integrity; jujur dan dapat dipercaya serta mengembangkan nilai-nilai luhur terhadap bawahan (4) caring; ramah dan memperhatikan individu lain baik kebutuhan maupun tujuan (5) listening: mendengarkan, memahami, dan belajar dari individu lain (6) service; pemberian layanan individu lain (7) humanity; menyadari pentingnya keberadaaan individu lain dalam rangka mencapai tujuan organisasi secara bersama-sama (8) love, unconditional love; penerimaan diri, pengakuan, penghargaan, kepercayaan dan ketahanan (9) collaboration; proses kolaborasi antara pemimpin dan bawahan untuk mencapai tujuan yang lebih tinggi (10) learning; merasa tidak tahu sehingga tetap ingin belajar tentang semua hal dalam organisasi tersebut.
Sedangkan Barbuto dan Wheeler (2006: 300-326) mendifiniskan kepemimpinan melayani adalah suatu konsep kepemimpinan yang berawal dari perasaan tulus yang timbul dari dalam hati untuk melayani, menempatkan kebutuhan pengikut sebagai prioritas dan membantu orang lain dalam mencapai kebutuhan bersama. Dalam penelitiannya menghasilkan lima faktor kepemimpinan melayani (1) empowering and developing; memberdayakan dan mengembangkan keaktifan bertindak, rasa percaya diri dan kekuatan mental (2) humanity; memanusiakan individu dengan cara mengembangkan potensi individu pada bidang yang sesuai dengan pribadi individu itu sendiri (3) authenticity;
mengekspresikan diri sesuai jati dirinya (4) providing direction;
menjamin pemahaman individu bahwa arah perilakunya sejalan dengan
tujuan organisasi maupun harapan dirinya (5) stewardship; ketaaatan untuk bersedia menjalankan tugas dan tanggung jawab yang lebih besar.
Spears (2002) menggambarkan kepemimpinan melayani sebagai hal utama dan mendorong hubungan yang baik dengan mengembangkan atmosfer dignity dan respect, membangun komunitas dan kerja tim, dan mendengarkan rekan dan karyawan. Menurut Larry Spears (dalam Lantu dkk, 2007) terdapat 10 karakteristik dari kepemimpinan yang melayani yakni : (1) Mendengarkan, (2) Empati, (3) Menyembuhkan (healing), (4) Kesadaran Diri (awarness), (5) Persuasif, (6) Konseptual, (7) Kemampuan untuk melihat masa depan (foresight), (8) Kemampuan untuk melayani (stewardship), (9) Komitmen pada pertumbuhan individu, (10) Membangun Komunitas
Menurut Lantu dkk (2007) definisi dari kepemimpinan yang melayani adalah suatu kepemimpinan yang timbul dengan tulus dari dalam hati untuk melayani baik itu karyawan suatu perusahaan, pelanggan, dan seluruh masyarakat. Pilihan yang muncul karena suara dalam hati maka akan membentuk hasrat untuk menjadi seorang pemimpin. Perbedaan manifestasi yang diberikan untuk melakukan sebuah pelayanan yakni, memastikan bahwa kebutuhan dari orang lain dapat terpenuhi dengan baik, kemudian menjadikan para masyarakat menjadi individu yang memiliki kedewasaan, sehat, bebas, dan otonom yang nantinya masyarakat tersebut dapat menjadi pemimpin yang melayani (servant leadership) selanjutnya.
Menurut Nuryati, 2004 (dalam Astohar 2012) mengemukakan bahwa kepemimpinan yang melayani merupakan suatu gaya kepemimpinan yang berasal dari perasaan yang tulus dari dalam hati untuk melayani karyawan, pelanggan, maupun masyarakat untuk menjadi individu yang pertama dalam melayani karyawan, pelanggan, maupun masyarakat. Pemimpin yang melayani adalah orang yang memiliki rasa kemanusiaan yang tinggi bukan seorang pemimpin untuk dilayani, tetapi pemimpin yang memiliki hak istimewa untuk melayani.
Menurut Neuschel (2008), pemimpin pelayan adalah orang dengan rasa kemanusiaan yang tinggi. Bukan nasib pemimpin untuk dilayani, tetapi adalah hak istimewanya untuk melayani. Harus ada sejumlah elemen atau pemahaman tentang hidup dalam kepemimpinan berkualitas tinggi karena tanpa karakter pemimpin pelayan ini, kepemimpinan dapat tampak menjadi dan sebenarnya menjadi termotivasi untuk melayani diri sendiri dan mementingkan kepentingannya sendiri.
Fauzi (2007) menyatakan orang (kepemimpinan) ini termasuk orang yang dilayani organisasi, orang-orang yang ingin mereka layani, orang di dalam organisasi yang melakukan produksi dan pelayanan, mitra eksternal utama (seperti distributor, sekutu, strategis, pemasok, dsb), siapa pun dalam organisasi yang mendukung produser dan melayani para pemberi layanan, pemegang saham atau mitra pemberi dana, dan (sengaja ditempatkan terakhir). Haryanto (2004) berpendapat bahwa
kepemimpinan melayani adalah kepemimpinan yang mampu membuat perubahan yang besar pada pengikutnya, perubahan tersebut berupa kesuksesan dan kemajuan pengukutnya di masa yang akan datang.
Harvey mendefinisikan kepemimpinan yang melayani yakni gaya seorang pemimpin yang lebih mengutamkan kepentingan atau kebutuhan karyawannya serta memperlakukan bawahan sebagai suatu tim atau rekan kerja. Dalam hal ini Harvey menyatakan terdapat urutan prioritas seseorang yang menggunakan gaya kepemimpinan yang melayani dari urutan yang tertinggi hingga yang terendah, urutan tersebut yaitu: 1) Pengembangan dan pertumbuhan pengikut, 2) Pelayanan terhadap pelanggan, 3) Pengembangan komunitas dan masyarakat sekitar, 4) Pengembangan organisasi (profit, peningkatan nilai saham, dll)
Menurut Barbuto dan Wheeler (2006) pemimpin yang melayani adalah gaya seseorang yang memiliki rasa kemanusiaan yang tinggi bukan seorang pemimpin untuk dilayani, tetapi pemimpin yang memiliki hak istimewa untuk melayani. Ada lima faktor pengukuran skala kepemimpinan melayani, yakni: 1) altruistic calling: hasrat yang kuat dari pemimpin untuk membuat perbedaan positif pada kehidupan orang laindan meletakkan kepentingan orang lain di atas kepentingannya sendiri dan akan bekerja keras untuk memenuhi kebutuhan bawahannya, 2) emotional healing: komitmen pemimpin dan keterampilannya untuk meningkatkan dan mengembalikan semangat bawahan dari trauma atau penderitaan, 3) wisdom: pemimpin yang memahami situasi dan implikasi
dari situasi tersebut, 4) persuasive mapping: keterampilan untuk memetakan persoalan dan mengkonseptualkan kemungkinan tertinggi untuk terjadinya dan mendesak seseorang untuk melakukan sesuatu ketika mengartikulasikan peluang, dan 5) organizational stewardship:
sejauh mana pemimpin menyiapkan organisasi untuk membuat kontribusi positif terhadap lingkungannya.
Dari konsep-konsep di atas dapat disintesiskan bahwa kepemimpinan melayani adalah gaya pemimpin yang mengutamakan anggota untuk berkembang dan maju secara alami dengan membangun hubungan kuat dan positif dengan anggota dalam jangka panjang, yang memiliki indikator: 1) cara melayani, 2) kerendahhatian, 3) keterampilan pemimpin memetakan persoalan (konseptual), 4) memahami situasi , 5) meletakkan kepentingan orang lain di atas kepentingan pribadi dan 6) healing (meningkatkan dan mengembalikan semangat karyawan).
B. Hasil Penelitian yang Relevan
Penelitian yang dilakukan oleh Mahembe and Engelbrecht (2014) berjudul The Relationship between Servant leadership, Organisational Citizenship Behavior and Team Effectiveness menyatakan bahwa Servant leadership berpengaruh secara signifikan terhadap Organizational Citizenship Behavior (OCB) terbukti (diterima). Tujuan utama dari penelitian ini adalah untuk melakukan analisis terhadap hubungan yang ada antara kepemimpinan pelayanan, Organizational Citizenship Behavior dan efektivitas tim sekolah.
Dalam penelitiannya yang berkaitan dengan Servant leadership menyatakan bahwa ada hubungan positif dan signifikan yang ditemukan antara kepemimpinan melayani dan Organizational Citizenship Behavior.
Penelitian yang dilakukan oleh Dr. Sayyed Mohsen Allameh (2011) yang berjudul The Effect of Self Concept and Organizational Identity on Organizational Citizen Behavior (A Case Study in Social Security Organization of Isfahan City) menyatakan bahwa hubungan antara perilaku kewargaan organisasi dan konsep diri memiliki korelasi (rρ = 0,365) yang signifikan karena memiliki ρ <0,01. Juga, koefisien efek standar adalah sama dengan 0,365 untuk hipotesis ini. Jumlah signifikansi sama dengan nol yang lebih rendah dari 0,05 dan menunjukkan konfirmasi hipotesis. Dengan kepercayaan 0,95, kita dapat mengatakan bahwa identitas organisasi mempengaruhi perilaku kewarganegaraan organisasi karyawan dari Jamsostek di Provinsi Isfahan. Oleh karena itu, kita dapat menyimpulkan bahwa adalah mungkin untuk meningkatkan perilaku kewarganegaraan organisasi melalui peningkatan dan peningkatan hubungan ini dan memperkuat konsep diri positif karyawan dengan memperhatikan efek positif dan signifikan konsep diri pada perilaku kewarganegaraan organisasi di antara karyawan jaminan sosial di Provinsi Isfahan.
Penelitian yang dilakukan oleh Putu Agung Pratama Sandra dan I Gusti Swandana (2018) yang berjudul Pengaruh Servant Leadership dan Empowerment Terhadap Organizational Citizenship Behavior Pada Karyawan ASA Vila Seminyak memiliki hasil nilai uji thitung untuk servant
leadership yaitu 2,137. Nilai ini lebih besar dari nilai ttabel, yaitu 1,684 (thitung
2,137 > ttabel = 1,684) artinya servant leadership secara parsial berpengaruh positif dan signifikan terhadap Organizational Citizenship Behaviour Asa Villa Seminyak. Berdasarkan hasil analisis data diketahui bahwa servant leadership berpengaruh positif signifikan terhadap organizational citizenship behavior. Artinya, semakin baik penerapan servant leadership, maka ada kecenderungan terwujudnya Organizational Citizenship Behavior di Asa Villa Seminyak.
Penelitian yang dilakukan oleh Meily Margaretha dan Yanuar Adfitia Prasetio (2012) yang berjudul Pengaruh Servant Leadership, Organizational Behavior, Kecocockan Orang-Organisasi serta Identifikasi Organisasi di Lingkungan Universitas Kristen Maranatha diperoleh hasil uji hipotesis regresi linier menemukan bahwa variabel servant leadership mempunyai pengaruh yang signifikan tehadap Organizational Citizenship Behavior pengikut (R square = 0.244 dengan sign.0.00).
Penelitian yang dilakukan oleh Anggi Effry Liqwiyanti dan D. Yoseph jangkung (2016) dengan judul Subjective Well Being and Organizational Citizenship Behavioral of Aryaduta Jakarta Hotel’s Employee didapat hasil bahwa ada hubungan positif yang sangat signifikan antara subjective well being dan Organizational Citizenship Behavior pada karyawan hotel Aryaduta Jakarta dengan nilai r= 0,345 dan nilai ρ= 0,000.
C. Kerangka Berfikir
Berdasarkan kajian teoritik, dapat disusun kerangka berpikir hubungan antara Konsep Diri dan Kepemimpinan Melayani dengan Organizational Citizenship Behavior guru honor MTs swasta di Kota Bogor.
1. Hubungan antara Konsep Diri dengan OCB
Konsep diri adalah gambaran diri seseorang tentang dirinya, baik secara fisik, sosial, dan emosi, yang dapat diukur melalui indikator: 1) citra diri, 2) evaluasi diri, 3) perspektif sosial, dan 4) perspektif moral.
Organizational Citizenship Behaviour (OCB) adalah perilaku pegawai yang dilakukan dengan sukarela sehingga menjadikan fungsi organisasi menjadi efektif dan efisisen. Adapun indikatornya adalah : 1) Perilaku membantu (altruism), 2) Sportifitas, 3) Kesopanan (courtesy), 4) Perilaku tanggung jawab (civic virtue), dan 5) Komitmen terhadap organisasi.
Dari definisi kedua variabel, yaitu antara konsep diri dan Organizational Citizenship Behavior dapat disintesiskan bahwa seorang pegawai yang memiliki citra diri yang positif, maka akan senantiasa melakukan evaluasi diri guna meningkatkan kinerjanya secara sukarela dengan membantu rekan kerja yang membutuhkan bantuan dengan tetap berpegang pada komitmen organisasi sehingga fungsi organisasi menjadi efektif dan efisien.
Dari uraian di atas, diduga terdapat hubungan positif antara konsep diri dengan Organizational Citizenship Behavior (OCB).
2. Hubungan antara Kepemimpinan Melayani dengan Organizational Citizenship Behavior
Kepemimpinan melayani adalah gaya pemimpin yang mengutamakan anggota untuk berkembang dan maju secara alami dengan membangun hubungan kuat dan positif dengan anggota dalam jangka panjang, yang memiliki indikator: 1) cara melayani, 2) kerendahhatian, 3) keterampilan pemimpin memetakan persoalan (konseptual), 4) memahami situasi, 5) meletakkan kepentingan orang lain di atas kepentingan pribadi dan 6) healing (meningkatkan dan mengembalikan semangat karyawan).
Organizational Citizenship Behaviour (OCB) adalah perilaku pegawai yang dilakukan dengan sukarela sehingga menjadikan fungsi organisasi menjadi efektif dan efisisen. Adapun indikatornya adalah : 1) Perilaku membantu (altruism), 2) Sportifitas, 3) Kesopanan (courtesy), 4) Perilaku tanggung jawab (civic virtue), dan 5) Komitmen terhadap organisasi.
Berdasarkan definisi kedua variabel di atas, yaitu antara kepemimpinan melayani (variabel bebas X2) dan Organizational Citizenship Behavior (variabel terikat Y) dapat disisntesiskan gaya pemimpin yang mengutamakan anggota untuk berkembang dan maju secara alami dengan membangun hubungan kuat dan positif dengan
anggota dalam jangka panjang, sehingga anggota pun akan menjaga komitmennya dengan organisasi, dimana anggota yang satu membantu anggota yang lainnya, bersikap sportif dan sopan, serta bertanggung jawab terhadap komitmen organisasi.
Kepemimpinan Melayani yang berhasil dapat menimbulkan keinginan bagi para guru untuk berbuat hal yang sama dalam bentuk perilaku Organizational Citizenship Behaviour (OCB) terhadap rekan- rekan kerja guru, yaitu saling melayani terhadap sesama dalam organisasi seperti yang telah dilakukan seorang kepala madrasah melayani. Seorang guru akan membantu rekan kerja yang sedang menghadapi masalah beban pekerjaan, membimbing rekan kerja yang baru, ingin selalu terlibat bersama-sama dalam kegiatan organisasi, menerima kebijakan organisasi dengan lapang dada tanpa mengeluh dan marah walaupun tidak sejalan dengan pendapatnya, serta melaksanakan tugas melebihi standar yang ditetapkan. Hasil positif yang dihasilkan dalam hubungan antara kepala madrasah melayani dengan para guru yang berperilaku Organizational Citizenship Behaviour (OCB) menjadi lebih kuat ketika para guru menjadi lebih bertanggung jawab terhadap tugas-tugas pekerjaan, terjalin hubungan yang harmonis antara kepala madrasah dan para guru sebagai bawahan maupun antara guru dan rekan kerja serta adanya peningkatan kinerja individu dan kelompok dalam organisasi.
Dari sintesis di atas diduga terdapat hubungan positif antara kepemimpinan melayani dengan Organizational Citizenship Behavior.
3. Hubungan antara Konsep Diri dan Kepemimpinan Melayani bersama-sama dengan Organizational Citizenship Behavior
Konsep diri adalah gambaran diri seseorang tentang dirinya, baik secara fisik, sosial, dan emosi, yang dapat diukur melalui indikator: 1) citra diri, 2) evaluasi diri, 3) perspektif sosial, dan 4) perspektif moral
Kepemimpinan melayani adalah gaya pemimpin yang mengutamakan anggota untuk berkembang dan maju secara alami dengan membangun hubungan kuat dan positif dengan anggota dalam jangka panjang, yang memiliki indikator: 1) cara melayani, 2) kerendahhatian, 3) keterampilan pemimpin memetakan persoalan (konseptual), 4) memahami situasi dan implikasi dari situasi tersebut, 5) meletakkan kepentingan orang lain di atas kepentingan pribadi dan 6) healing (meningkatkan dan mengembalikan semangat karyawan).
Organizational Citizenship Behaviour (OCB) adalah perilaku pegawai yang dilakukan dengan sukarela sehingga dapat menjadikan fungsi organisasi menjadi efektif dan efisisen. Adapun indikatornya adalah: 1) Perilaku membantu (altruism), 2) Sportifitas, 3) Kesopanan (courtesy), 4) Perilaku tanggung jawab (civic virtue), dan 5) Komitmen terhadap organisasi.
Dari ketiga variabel tersebut, yaitu konsep diri dan kepemimpinan melayani dengan Organizational Citizenship Behavior dapat disintesiskan bahwa seorang pegawai yang memiliki konsep diri yang baik didukung
oleh pemimpin yang melayani akan menghasilkan perilaku kewargaan organisasi yang tinggi sehingga organisasi dapat berjalan dengan efektif dan efisien karena para anggotanya yang saling membantu, dapat mengevaluasi diri sehingga tercipta citra diri yang positif, yang mampu bertanggung jawab terhadap komitmen organisasi sehingga menghasilkan kepemimpinan yang kuat.
4. Berdasarkan uraian di atas terlihat bahwa dapat diduga terdapat hubungan positif antara konsep diri dengan Organizational Citizenship Behavior.
Kepemimpinan melayani dengan Organizational Citizenship Behavior, dan konsep diri dan kepemimpinan melayani secara bersama-sama dengan Organizational Citizenship Behavior guru. Dengan demikian dapat diduga Organizational Citizenship Behavior dapat ditingkatkan melalui penguatan konsep diri dan kepemimpinan melayani.
D. Hipotesis Penelitian
Berdasarkan kerangka berfikir, dapat dikemukakan hipotesis penelitian sebagai berikut:
1. Terdapat hubungan positif Konsep Diri dengan Organizational Citizenship Behaviour (OCB).
2. Terdapat hubungan positif Kepemimpinan Melayani dengan Organizational Citizenship Behaviour (OCB).
3. Terdapat hubungan positif antara Konsep Diri dan Kepemimpinan Melayani secara bersama-sama dengan Organizational Citizenship
Behaviour (OCB).
4. Organizational Citizenship Behavior (OCB) dapat ditingkatkan melalui Konsep Diri dan Kepemimpinan Melayani.