• Tidak ada hasil yang ditemukan

Prinsip Pemberian Obat Farmakoterapi Kel 3 (1)

N/A
N/A
Siti Regina

Academic year: 2025

Membagikan "Prinsip Pemberian Obat Farmakoterapi Kel 3 (1)"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

PRINSIP PEMBERIAN OBAT KEMOTERAPI (ANTI CACING, ANTI MALARIA, ANTI AMUBA, ANTI JAMUR, DAN ANTI NEOPLASTIK/ANTI KANKER, DAN

TRANSFUSI DARAH)

Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Farmakologi Dosen Pengampu :

Dr. Dra. Ari Estuningtyas, M.Biomed.

DISUSUN OLEH KELOMPOK 3:

1. Mercy Artanti Zahra (P3.73.20.2.24.099) 2. Nur Najmi Lahfah Tianingrum (P3.73.20.2.24.085) 3. Rajwa Alya Nabilah (P3.73.20.2.24.086) 4. Salzabilla Aulia (P3.73.20.2.24.087) 5. Shabiya Shabhah Sholawat (P3.73.20.2.24.088) 6. Shera Ananta Supriatna (P3.73.20.2.24.089) 7. Shifa Sulistianingsih (P3.73.20.2.24.090)

8. Sita Hanifah (P3.73.20.2.24.091)

9. Siti Regina Wati (P3.73.20.2.24.092) 10. Syahira Muzakkina (P3.73.20.2.24.093) 11. Syifa Nurfauziah (P3.73.20.2.24.094) 12. Tasya Adelia Ramadhani (P3.73.20.2.24.095) 13. Virginia Aura Sumadi (P3.73.20.2.24.096) 14. Vivi Alayda Yahyah (P3.73.20.2.24.097) 15. Zafira Khairani (P3.73.20.2.24.098)

SEMESTER II/1B

PROGRAM STUDI SARJANA TERAPAN KEPERAWATAN DAN PROFESI NERS POLTEKKES KEMENKES JAKARTA III

BEKASI 2025

(2)

ii

KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmat dan karunia-Nya, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan judul "Prinsip Pemberian Obat Kemoterapi (Anti Cacing, Anti Malaria, Anti Amuba, Anti Jamur, dan Anti Neoplastik/Anti Kanker, dan Transfusi Darah)". Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Farmakologi yang diberikan oleh Dr. Dra. Ari Estuningtyas, M.Biomed.

Dalam makalah ini, kami akan membahas secara rinci mengenai prinsip pemberian obat-obat kemoterapi yang digunakan dalam pengobatan berbagai penyakit seperti infeksi parasit (anti cacing, anti malaria, anti amuba, dan anti jamur), serta terapi untuk kanker (anti neoplastik/anti kanker) dan transfusi darah. Pembahasan ini penting untuk memahami peran obat-obat tersebut dalam pengobatan modern serta cara penggunaannya yang tepat dan efektif untuk mendapatkan hasil yang optimal.

Kami mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Dr. Dra. Ari Estuningtyas, M.Biomed selaku dosen pengampu mata kuliah Farmakologi, yang telah memberikan bimbingan dan pengetahuan yang sangat berharga dalam penyusunan makalah ini. Semoga makalah ini dapat memberikan manfaat bagi pembaca dan memperkaya pengetahuan dalam bidang farmakologi.

Bekasi, 27 Januari 2025

Kelompok 3

(3)

iii DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... ii

DAFTAR ISI ...iii

BAB 1 PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 1

1.3 Tujuan Penulisan ... 2

BAB II PEMBAHASAN ... 3

2.1 Pengertian Obat Kemoterapi ... 3

2.2 Prinsip Pemberian Obat Kemoterapi ... 3

2.2.1 Anti Cacing ... 3

2.2.2 Anti Malaria ... 4

2.2.3 Anti Amuba ... 5

2.2.4 Anti Jamur ... 8

2.2.5 Anti Neoplastik/Anti Kanker ... 9

2.2.6 Transfusi Darah ... 13

BAB III PENUTUP ... 16

3.1 Simpulan... 16

3.1 Saran ... 16

DAFTAR PUSTAKA ... iv

(4)

1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Kesehatan merupakan aspek penting dalam kehidupan manusia yang berpengaruh terhadap kualitas hidup. Berbagai penyakit, seperti infeksi parasit, jamur, hingga kanker, membutuhkan penanganan medis yang tepat dan efektif. Berdasarkan hasil Riskesdas 2018, di Indonesia prevalensi kanker berdasarkan diagnosis dokter pada semua usia adalah 1,79 per mil dan di Provinsi Riau 1,67 per mil. Hasil ini meningkat dibandingkan tahun 2013 dimana prevalensi di Indonesia hanya 1,4 per mil dan di Riau 1,3 per mil. Dari jumlah semua kasus kanker di Indonesia, sekitar 24,9% ditatalaksana dengan kemoterapi, sedangkan di Riau sekitar 22,7% (Kementerian Kesehatan RI, 2013; Kementerian Kesehatan RI, 2018). Salah satu metode pengobatan untuk penyakit kanker yaitu kemoterapi, dengan tujuan utama untuk membasmi mikroorganisme patogen dan sel abnormal dengan efek samping seminimal mungkin pada sel normal.

Jenis obat kemoterapi mencakup Obat anti cacing digunakan untuk mengatasi infeksi cacing yang sering terjadi di daerah tropis dan subtropis, yang dapat menyebabkan masalah kesehatan serius jika tidak ditangani. Obat anti malaria dan anti amuba berperan penting dalam pengobatan penyakit infeksi yang disebabkan oleh Plasmodium dan amuba, yang prevalensinya tinggi di beberapa wilayah dengan sanitasi dan kondisi lingkungan yang kurang memadai. Selain itu, obat anti jamur digunakan untuk mengatasi berbagai jenis infeksi jamur yang dapat menyerang sistem organ manusia. Di sisi lain, obat anti neoplastik atau anti kanker memiliki peranan krusial dalam penanganan kanker, yang merupakan salah satu penyebab utama kematian di dunia. Obat ini bekerja dengan menghancurkan atau menghambat perkembangan sel-sel kanker. Dalam pengobatan kanker, transfusi darah sering diperlukan guna mendukung pasien yang mengalami efek samping seperti anemia. Pemahaman yang baik tentang prinsip pemberian obat kemoterapi diharapkan dapat menghasilkan terapi yang optimal sesuai kebutuhan pasien.

1.2 Rumusan Masalah

1. Apa saja jenis obat kemoterapi?

2. Bagaimana mekanisme kerja obat anti cacing, anti malaria, anti amuba, anti jamur, dan anti mikroplastik?

(5)

3. Bagaimana peran transfusi darah dalam mendukung terapi kanker yang menggunakan kemoterapi?

1.3 Tujuan Penulisan

1. Mampu mengidentifikasi jenis-jenis obat kemoterapi.

2. Mampu menjelaskan mekanisme kerja obat anti cacing, anti malaria, anti amuba, anti jamur, dan anti mikroplastik?

3. Mampu menganalisis peran transfusi darah dalam mendukung keberhasilan terapi kanker yang menggunakan kemoterapi.

(6)

3 BAB II PEMBAHASAN 2.1 Pengertian Obat Kemoterapi

Obat kemoterapi adalah jenis obat yang digunakan untuk mengobati infeksi atau penyakit dengan cara membunuh atau menghambat pertumbuhan mikroorganisme patogen (seperti bakteri, virus, jamur, dan parasit) atau sel-sel yang abnormal dalam tubuh (misalnya sel kanker). Obat kemoterapi bekerja dengan cara mengganggu proses biologis yang penting bagi kelangsungan hidup atau pembelahan sel, baik pada mikroorganisme maupun sel tubuh yang terinfeksi atau kanker. Obat kemoterapi dibagi dalam beberapa kategori, seperti anti cacing, anti malaria, anti amuba, anti jamur, anti kanker (anti neoplastik), dan obat-obatan yang digunakan dalam transfusi darah.

2.2 Prinsip Pemberian Obat Kemoterapi

Pemberian obat kemoterapi harus dilakukan dengan mempertimbangkan prinsip- prinsip tertentu agar dapat memberikan efek terapeutik yang optimal dan meminimalkan risiko efek samping. Prinsip-prinsip tersebut antara lain:

1. Selektivitas dan Efektivitas: Obat kemoterapi harus selektif membunuh patogen atau sel kanker tanpa merusak sel sehat dan efektif dalam memberikan hasil dengan dosis tepat.

2. Dosis yang Tepat: Dosis obat disesuaikan dengan jenis penyakit, berat badan, usia, dan tingkat keparahan untuk menghindari efek samping atau berkurangnya efektivitas.

3. Durasi Pengobatan: Durasi pengobatan harus cukup untuk mencegah kambuh, namun tidak terlalu lama untuk menghindari efek samping atau resistensi obat.

4. Pemantauan Efek Samping: Pemantauan efek samping penting karena obat kemoterapi sering menimbulkan efek samping seperti penurunan daya tahan tubuh, mual, atau kerusakan organ.

5. Kombinasi Obat: Penggunaan beberapa obat kemoterapi secara bersamaan untuk meningkatkan efektivitas dan mencegah resistensi.

6. Individualisasi Terapi: Pengobatan disesuaikan dengan respons masing-masing pasien untuk efektivitas yang optimal dan penyesuaian dosis sesuai kebutuhan.

2.2.1 Anti Cacing

Pemberian obat kemoterapi anti cacing bertujuan untuk mengatasi infeksi yang disebabkan oleh parasit cacing. Obat-obatan ini bekerja dengan berbagai mekanisme untuk

(7)

membunuh atau memblokir pertumbuhan cacing dalam tubuh. Obat anti-cacing yang umum digunakan:

1. Albendazole: Menghambat penyerapan glukosa oleh cacing, menyebabkan mereka kehilangan energi dan mati

2. Mebendazole: Menghentikan penggunaan glukosa oleh cacing, yang mengakibatkan kematian cacing secara perlahan

3. Ivermectin: Bekerja dengan cara melumpuhkan cacing dan mengeluarkannya dari sistem pencernaan

4. Pirantel Pamoat: Melumpuhkan cacing sehingga mereka kehilangan kemampuan untuk menempel pada dinding usus.

2.2.2 Anti Malaria

Obat anti malaria dapat dibagi berdasarkan aktifitas obat pada stadium parasit sebagai berikut:

1. Skizontosida jaringan untuk profilaksis kausal

Bekerja pada awal siklus eritrositik setelah berkembang di hati. Primakuin dan pirimetamin merupakan obat jenis ini.

2. Skizontisida jaringan untuk mencegah relaps

Bekerja pada bentuk hipnozoit dari P. vivax dan P. ovale di hati dan digunakan untuk pengobatan radikal sebagai obat anti relaps. Obat utama yang termasuk dalam kelompok ini adalah primakuin, tetapi pirimetamin juga mempunyai aktifitas serupa.

3. Skizontosida darah

Membunuh parasit pada siklus eritrositik, yang berhubungan dengan penyakit akut disertai gejala klinis. Obatnya adalah kuinin, klorokuin, meflokuin, halofantrin, sulfadoksin, dan pirimetamin yang mempunyai efek terbatas.

4. Gametositosida

Bekerja dengan menghancurkan bentuk seksual semua spesies Plasmodium malaria di darah sehingga mencegah transmisi parasit ke tubuh nyamuk. Obatnya adalah primakuin untuk keempat spesies Plasmodium serta klorokuin dan kuinin untuk P. vivax, P.malariae, dan P. ovale.

5. Sporontosida

Bekerja dengan menghambat perkembangan ookista dalam tubuh nyamuk sehingga mencegah terjadinya transmisi lebih lanjut. Obat golongan ini adalah primakuin dan kloroguanid.

(8)

5

2.2.3 Anti Amuba

Amuba, juga dikenal sebagai sel amoeboid, adalah organisme uniseluler yang dapat mengubah bentuknya dengan mkeeeenumbuhkan dan mengecilkan pseudopoda. Amuba bukan digolongkan sebagai kategori taksonomi yang berbeda tetapi dapat ditemukan di seluruh garis kehidupan terutama pada jenis eukariotik. Sel amoeboid tidak hanya ditemukan pada protozoa tetapi juga pada jamur, alga, dan mamalia. Amuba tidak memiliki dinding sel, yang memungkinkan untuk bergerak bebas. Amuba memakan makanan yang terdiri dari alga, bakteri, cacing, nematoda, protozoa lain, tumbuhan, dan sel hewan.

Antiamuba adalah obat-obat yang digunakan untuk mengobati disentri amuba yang disebabkan oleh mikroorganisme bersel satu (protozoa), yaitu Entamoeba histolytica yang ada di dalam usus dengan gejala diare yang disertai feses berlendir dan darah kadang-kadang disertai keram dan nyeri perut, serta mulas pada waktu buang air besar.

A. Jenis Obat Amuba

Penggolongan obat-obat antiamuba dibagi menjadi beberapa, yaitu:

1. Obat amubiasid, obat ini mematikan bentuk tropozoid dalam rongga usus.

Contoh obatnya metronidazol dan tinidazol. Sementara itu, obat dengan jenis antibiotik lainnya, antara lain, tetrasiklin, eritromisin, azitromisin, kliokinol, dan diloksanida furoat (khusus untuk pembawa amuba, tidak untuk disentri amuba).

2. Obat amubiasid jaringan, adalah obat yang bekerja pada amuba bentuk histolitika yang bekerja pada dinding usus, merupakan obat pilihan utama dalam kasus amubiasis dihidro emetin dan kloroquin. Yang termasuk golongan ini adalah nitro imidazole (metronidazol dan tinidazol).

3. Amubiasid kontak atau lumen yaitu obat yang bekerja di lumen usus atau aktif terhadap amubiasis intestinal. Contohnya: dihidroemetin dan emetin.

B. Penggolongan Anti Amuba Berdasarkan Tingkat Keparahan Infeksi 1. Golongan Nitroimidazole

Golongan anti amuba nitroimidazole merupakan golongan obat dengan gugus nitro pada posisi 5 cincin imidazol. Secara umum, golongan nitroimidazole meliputi metronidazole, ordinazole, tinidazole, secnidazole, dan satranidazole. Contoh terapi yang paling umum untuk amuba adalah metronidazole.

Mekanisme kerja metronidazole terjadi melalui empat langkah. Langkah pertama adalah masuk ke organisme melalui difusi melintasi membran sel

(9)

patogen anaerobik dan aerobik. Namun, efek anti amuba metronidazole hanya terbatas pada amuba yang bersifat anaerob. Langkah kedua melibatkan aktivasi reduktif oleh protein transpor intraseluler dengan mengubah struktur kimia piruvat-feredoksin oksidoreduktase. Pengurangan metronidazol menciptakan gradien konsentrasi dalam sel yang mendorong penyerapan lebih banyak obat dan mendorong pembentukan radikal bebas yang bersifat sitotoksik. Langkah ketiga, interaksi dengan target intraseluler, dicapai oleh partikel sitotoksik yang berinteraksi dengan DNA sel inang yang mengakibatkan kerusakan untai DNA dan destabilisasi heliks DNA yang fatal. Langkah keempat adalah pemecahan produk sitotoksik. Metronidazole memiliki beberapa efek samping seperti ganguan sistem pencernaan, sakit kepala, neuropati, mual, adanya rasa logam pada indra perasa. Metronidazole dapat menyebabkan mual dan muntah terutama jika dikonsumsi bersamaan dengan alkohol. Secara umum metronidazole efektif melawan E. histolytica di jaringan-jaringan maupun organ, namun metronidazole kurang efektif melawan infeksi amuba di bagian bawah saluran pencernaan dikarenakan sebagian besar metronidazole mengalami absorpsi di saluran pencernaan bagian atas hingga menyebabkan konsentrasi obat yang rendah di daerah.

2. Golongan Dichloroacetamide

Golongan kedua anti amuba adalah golongan dichloroacetamide yang meliputi diloxanide furoate, etofamide, teclozan, dan clefamide. Secara umum, golongan ini mempunyai struktur acetamide yang telah melalui proses terklorinasi. Sebagai contoh, diloxanide furoate dapat menghancurkan trofozoit.

3. Histolytica dan mencegah pembentukan kista amuba.

Walaupun golongan obat ini memiliki efek yang bagus dalam menghambat amuba, mekanisme yang tepat dari golongan ini tidak diketahui dengan jelas.

Berbagai hipotesis yang dapat mendukung mekanisme kerja yang pasti meliputi struktur dilozanide furoate yang hampir sama dengan kloramfenikol dan dapat bertindak dengan cara yang sama dengan mengganggu ribosom.

4. Golongan Antibiotik

Secara umum, golongan ini dibagi menjadi beberapa obat yang meliputi paromomycin, erythromycin, dan tetracycline. Golongan antibiotik ini merupakan terapi garis pertama untuk pasien amubiasis (infeksi amuba) yang

(10)

7

tidak memliki gejala. Contoh yang paling sering diresepkan adalah paromomycin. Antibiotik paromomycin adalah inhibitor sintesis protein dalam sel yang tidak resisten dengan mengikat RNA ribosom 16S. Antibiotik spektrum luas ini larut dalam air, sangat mirip dengan neomisin. Paromomycin bekerja sebagai antibiotik dengan meningkatkan tingkat kesalahan dalam terjemahan ribosom. Paromomycin berikatan dengan loop RNA, di mana residu A1492 dan A1493 biasanya ditumpuk, dan mengeluarkan kedua residu ini yang disertai dengan produksi rantai polipeptida yang rusak. Produksi terus menerus dari protein yang rusak akhirya menyebabkan kematian bakteri.

C. Bentuk Amuba dan Cara Penularannya

Penularan amubasis dapat melalui makanan yang tercemar Krista dewasa, tetapi dapat juga terjadi melalui hubungan seks pada kaum homoseksual. Begitupula pada keadaan hamil, malnutrisi dan penderita gangguan imunologi. Bentuk pada amuba dibagi menjadi 3 yaitu:

1. Bentuk Kista. Kista adalah bentuk tidak aktif dari amuba yang memiliki membran pelindung tahan getah lambung. Berukuran 10-20 mikron, berbentuk bulat atau lonjong, dan mengandung inti entamoeba. Kista ini tidak patogen, namun infektif.

2. Bentuk Minuta. Bentuk minuta adalah bentuk trofozoit yang merupakan fase aktif dari amuba. Kista yang terinfeksi akan berkembang menjadi minuta setelah memasuki usus manusia, menyebabkan gejala seperti kejang perut, diare berlendir, dan darah.

3. Bentuk Histolitika. Bentuk histolitika adalah trofozoit patogen yang lebih besar (20-40 mikron) dan dapat hidup di berbagai organ tubuh seperti usus, hati, paru, otak, kulit, dan vagina. Bentuk ini menyebabkan nekrosis jaringan dengan cara menginfeksi eritrosit dan sel-sel jaringan melalui fagositosis.

Pencegahan amubiasis berfokus pada kebersihan perorangan dan lingkungan.

Kebersihan perorangan meliputi mencuci tangan dengan baik sebelum dan setelah makan serta menghindari berbagi handuk atau kain wajah. Sedangkan kebersihan lingkungan mencakup mencuci atau memasak sayuran sebelum dimakan, menutup makanan dengan rapat, membuang sampah pada tempat yang tertutup untuk menghindari lalat, serta melakukan pendidikan kesehatan, perbaikan sanitasi, dan gotong royong dalam menjaga kebersihan lingkungan.

(11)

D. Turunan Kelompok Obat Antiamuba

Obat antiamuba dibagi menjadi tujuh kelompok, yaitu:

1. Turunan 4-Aminokuinolin (mis. klorokuin) digunakan untuk ambiasis sistemik, terutama abses hati.

2. Antibiotika (mis. eritromisin, tetrasiklin) bekerja dengan memodifikasi flora usus, membantu melawan amuba.

3. Turunan 8-Hidroksikuinolin (mis. kiniofon, kliokuinol) bekerja pada amuba melalui oksidasi dan pembentukan kelat; dapat menyebabkan efek samping serius seperti neuropati optik.

4. Alkaloida Ipeka (mis. emetin) digunakan untuk amuba disentri berat dan abses hepatik; efek samping termasuk kardiovaskular dan gangguan otot.

5. Turunan Nitroimidazol (mis. metronidazol, tinidazol) efektif untuk amubiasis usus dan sistemik, mengganggu proses biokimia amuba.

6. Arsen Organik (mis. karbarson, glikobiarsol) mengandung arsen pentavalen, digunakan untuk amubiasis namun memiliki toksisitas tinggi.

7. Turunan lain-lain (mis. diloksanid furoat) digunakan untuk amubiasis usus, cepat diserap dan bekerja dalam waktu singkat.

2.2.4 Anti Jamur

Anti jamur adalah obat yang membunuh atau menghentikan pertumbuhan jamur yang menyebabkan infeksi. Obat ini juga disebut agen anti mikotik. Obat anti jamur dapat bekerja dengan membunuh atau menghambat perkembangan sel jamur. Obat golongan ini umumnya menarget dinding sel atau membran sel jamur yang dibutuhkan jamur untuk memperbanyak diri dan bertahan hidup.

A. Jenis Obat Anti jamur

1. Azole: Obat ini merupakan anti jamur berspektrum luas sehingga dapat membunuh berbagai jenis jamur. Antijamur golongan azole bekerja dengan cara merusak membran sel jamur. Jika membran sel jamur rusak, sel tersebut akan mati. Contoh obat ini adalah Itraconazole, Ketoconazole, Clotrimazole, Econazole, Fluconazole, Miconazole, Tioconazole, Voriconazole.

2. Echinocandin: Obat anti jamur ini bekerja dengan cara merusak dinding sel jamur. Jika dinding sel jamur rusak, maka sel tersebut akan mati. Contoh obat ini adalah Anidulafungin, Micafungin.

(12)

9

3. Polyene: Anti jamur golongan polyene dikenal sebagai antimikotik. Obat ini bekerja dengan merusak membran sel jamur sehingga sel tersebut mati. Contoh obat anti jamur polyene adalah Nystatin, Amphotericin B.

2.2.5 Anti Neoplastik/Anti Kanker

Obat-obatan yang digunakan untuk kemoterapi disebut dengan obat sitostatik atau antineoplastik. Antineoplastik merupakan golongan obat yang digunakan dalam pengobatan kanker dengan mekanisme menghentikan serta mencegah pertumbuhan dan penyebaran tumor.

Antineoplastik, termasuk kedalam golongan obat sitotoksik yang bersifat karsinogenik, mutagenik, dan teratogenik, sehingga diperlukan suatu pemahaman dan pengendalian atas resiko yang bisa saja terjadi saat proses pengujian.

Obat antikanker/antineoplastik pertama yang digunakan dalam pengobatan kanker adalah kortison kemudian prednison. Obat ini juga dapat menyebabkan efek samping terhadap kesehatan tenaga kesehatan yang menanganinya. Pasien yang menerima terapi obat-obat sitostatik menunjukkan daftar panjang efek samping akut dan kronis, termasuk kanker. Obat- obat sitostatik merupakan sediaan steril yang penanganannya harus secara aseptis.

"Antikanker" mengacu pada berbagai macam tindakan medis dan farmakologis yang bertujuan untuk menghilangkan atau mengontrol pertumbuhan kanker dalam tubuh. Kanker adalah kondisi yang ditandai oleh pertumbuhan sel yang tidak terkendali yang dapat menyebar ke jaringan sekitarnya dan organ lain melalui proses yang disebut metastasis.

A. Kemoterapi Kanker

Terapi utama untuk kanker meliputi pembedahan, radioterapi, kemoterapi, endokrinoterapi, dan imunoterapi. Berikut adalah cara-cara terapi atau pengobatan kanker:

1. Pembedahan, dilakukan terutama untuk tumor padat yang terlokalisasi, seperti karsinoma pada payudara dan kolorektal.

2. Radioterapi, menggunakan isotop radioaktif untuk terapi penunjang sesudah pembedahan, dan juga untuk terapi tumor tertentu, seperti seminoma testikular dan karsinoma nasofaring.

3. Kemoterapi, menggunakan obat (antikanker) untuk membunuh tumor yang tidak terlokalisir, seperti leukemia, koriokarsinoma, multipel mieloma, penyakit Hodgkin, limfoma Burkitt, dan juga untuk terapi penunjang sesudah pembedahan.

(13)

4. Endokrinoterapi, merupakan bagian dari kemoterapi, yaitu penggunaan hormon tertentu untuk pengobatan tumor pada organ yang proliferasinya tergantung pada hormon, seperti karsinoma payudara dan prostat.

5. Imunoterapi, cara yang sedang dalam penelitian dan mempunyai prospek penting di masa mendatang dalam pencegahan mikrometastasis.

Tujuan terapi antikanker adalah untuk menargetkan dan menghancurkan sel-sel kanker, mengurangi kerusakan pada sel normal, dan mengontrol atau memperlambat perkembangan penyakit (Hunis, 2022).

B. Kerja Obat Antikanker pada Siklus Sel

Obat antikanker dapat memengaruhi proses kehidupan sel. Proses kehidupan sel merupakan suatu siklus yang terdiri dari beberapa fase sebagai berikut:

1. Fase mitosis (M): pada fase ini terjadi pembelahan inti (mitosis) dan pembelahan sel (sitokinesis) menghasilkan dua sel kembar. Setelah melalui fase ini ada dua alternatif:

a) menuju fase G, dan memulai proses proliferasi;

b) masuk ke fase istirahat (Go). Pada fase istirahat (Go) kemampuan sel untuk berproliferasi hilang dan sel meninggalkan siklus secara tak terpulihkan.

2. Fase Gap 1 (G₁), pada fase ini terjadi sintesis RNA dan protein tetapi tidak terjadi sintesis DNA. Pada akhir fase G, terjadi sintesis RNA yang optimum.

3. Fase sintesis (S), pada fase ini terjadi replikasi DNA sel serta sintesis RNA dan protein.

4. Fase Gap 2 (G2), pada fase ini tidak terjadi sintesis DNA, tetapi sintesis RNA dan protein dilanjutkan.

Proses selanjutnya adalah kembali ke fase mitosis, demikian seterusnya sehingga merupakan suatu siklus.

C. Kelompok Obat Sitotoksik (antineoplastik)

Obat-obat sitotoksik dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu:

1. Kelompok 1, obat spesifik siklus sel: Obat-obat kelompok 1 membunuh sel hanya pada satu fase dalam siklus. Contoh obat spesifik siklus sel:

a) Obat-obat yang bekerja dalam fase-S (periode sintesis DNA), seperti:

sitosin arabinosida, hidroksiurea, 6-merkaptopurin, dan metotreksat.

b) Obat-obat yang aktif dalam fase M (selama mitosis), seperti: alkaloida vinka (vinblastin dan vinkristin) dan paklitaksel.

(14)

11

Pada penggunaan obat-obat spesifik siklus sel, peningkatan dosis tidak lagi membunuh sel-sel sumsum tulang dibanding dosis awal.

2. Kelompok 2, obat non spesifik siklus sel: Obat-obat kelompok 2 dapat membunuh sel pada semua fase dalam siklus sel, meskipun beberapa obat masih lebih aktif pada fase tertentu dalam siklus sel. Contohnya adalah senyawa pengalkilasi (siklofosfamida, melfalan, klorambusil), nitrosourea, sisplastin, karmustin, lomustin, 5-fluorourasil, antitumor antibiotika (aktinomisin D, dan daunorubisin), prokarbasin dan dakarbasin (Brunton, et al., 2011).

D. Mekanisme Kerja Obat-Obat Kemoterapi

Prinsip dasar dari kemoterapi adalah menggunakan obat-obatan anti-kanker untuk menghancurkan sel-sel kanker. Obat kemoterapi dapat bekerja dengan beberapa mekanisme yang berbeda, termasuk:

1. Menghambat pertumbuhan sel, beberapa obat kemoterapi bekerja dengan cara menghentikan sel-sel kanker untuk membelah diri dan tumbuh. Mekanisme ini melibatkan gangguan pada DNA sel kanker atau menghambat enzim yang diperlukan untuk replikasi DNA.

2. Merusak DNA, obat kemoterapi tertentu dapat menyebabkan kerusakan pada DNA sel kanker, yang menghentikan pertumbuhan dan menyebabkan kematian sel.

3. Menghambat angiogenesis, beberapa jenis kanker memerlukan pasokan darah yang cukup untuk bertahan hidup dan berkembang. Kemoterapi dapat menghambat pembentukan pembuluh darah baru di sekitar tumor, sehingga mencegah pasokan darah yang dibutuhkan dan memperlambat pertumbuhan kanker.

E. Jenis-Jenis Kemoterapi

Ada beberapa jenis kemoterapi yang digunakan dalam pengobatan kanker, dan jenis yang dipilih tergantung pada jenis kanker, stadium penyakit, dan kondisi kesehatan pasien. Berikut adalah beberapa bentuk kemoterapi yang umum:

1. Kemoterapi adjuvant, digunakan setelah pengangkatan tumor melalui operasi.

Tujuannya adalah untuk membunuh sel-sel kanker yang mungkin tersisa dan mencegah kembalinya kanker.

2. Kemoterapi neoadjuvant, diberikan sebelum operasi untuk mengecilkan tumor agar lebih mudah diangkat. Hal ini juga dapat membantu mengendalikan penyebaran kanker sebelum operasi dilakukan.

(15)

F. Efek Samping Kemoterapi

Kemoterapi adalah metode pengobatan yang efektif dalam melawan kanker, namun sering kali diiringi dengan beragam efek samping, baik yang bersifat akut maupun kronis. Hal ini terjadi karena kemoterapi tidak hanya menyerang sel kanker, tetapi juga dapat merusak sel-sel normal yang memiliki laju pembelahan cepat, seperti sel-sel di rambut, saluran pencernaan, dan sumsum tulang. Berikut adalah beberapa efek samping umum yang sering dialami pasien kemoterapi:

1. Mual dan Muntah: Obat-obatan kemoterapi dapat merangsang pusat muntah di otak, yang menyebabkan mual dan muntah. Kondisi ini dapat menurunkan kualitas hidup pasien secara signifikan.

2. Kehilangan Rambut (Alopecia): Sebagian besar obat kemoterapi dapat menyebabkan kerontokan rambut yang bersifat sementara, biasanya terjadi beberapa minggu setelah pengobatan dimulai.

3. Kelelahan (Fatigue): Kelelahan yang parah adalah efek samping umum yang sering dialami pasien. Hal ini disebabkan oleh penurunan jumlah sel darah merah (anemia) serta terganggunya metabolisme tubuh.

4. Infeksi: Kemoterapi dapat menurunkan jumlah sel darah putih, yang memiliki peran penting dalam melawan infeksi, sehingga meningkatkan risiko terjadinya infeksi pada pasien.

5. Anemia: Kerusakan pada sumsum tulang akibat kemoterapi dapat mengurangi produksi sel darah merah, yang berujung pada anemia dan gejala seperti pusing, sesak napas, serta kelelahan.

6. Perubahan pada Sistem Pencernaan: Efek samping yang muncul pada saluran pencernaan, seperti mulut kering, sariawan, diare, atau sembelit, sering kali disebabkan oleh kerusakan pada sel-sel yang melapisi sistem pencernaan.

7. Masalah pada Sistem Reproduksi: Beberapa jenis obat kemoterapi dapat memengaruhi kesuburan pada pria dan wanita, yang dapat mengakibatkan masalah kesuburan baik bersifat sementara maupun permanen.

8. Kerusakan Saraf (Neuropati): Obat kemoterapi tertentu seperti vinblastin dan paklitaksel dapat menyebabkan neuropati perifer, yang ditandai dengan rasa sakit, mati rasa, atau kesemutan di tangan dan kaki.

9. Kanker Sekunder: Meskipun kemoterapi dirancang untuk mengatasi kanker, penggunaan jangka panjang atau dosis tinggi dapat meningkatkan risiko terjadinya kanker sekunder, seperti leukemia.

(16)

13

G. Pengelolaan Efek Samping Kemoterapi

Pengelolaan efek samping kemoterapi bertujuan untuk mengurangi dampak negatif dari pengobatan dan meningkatkan kualitas hidup pasien. Beberapa pendekatan yang dapat dilakukan untuk mengatasi efek samping ini antara lain:

1. Obat Anti-Mual

Obat-obatan seperti ondansetron atau metoclopramide dapat digunakan untuk mengurangi rasa mual dan muntah yang sering dialami pasien.

2. Perawatan Kulit dan Rambut

Menggunakan sampo dan kondisioner yang lembut serta menjaga kelembapan kulit kepala dapat membantu mengurangi kerusakan akibat kerontokan rambut.

3. Pengelolaan Kelelahan

Istirahat yang cukup, pola makan sehat, dan aktivitas fisik ringan (jika memungkinkan) dapat membantu meredakan kelelahan akibat kemoterapi.

4. Transfusi Darah

Untuk mengatasi anemia dan kekurangan sel darah merah, transfusi darah atau penggunaan obat stimulasi produksi sel darah merah dapat dipertimbangkan.

5. Antibiotik dan Perawatan Infeksi

Pemberian antibiotik atau obat antijamur mungkin diperlukan untuk mencegah dan mengobati infeksi akibat rendahnya jumlah sel darah putih.

2.2.6 Transfusi Darah

Transfusi darah adalah suatu pemberian darah lengkap atau komponen darah seperti plasma, sel darah merah, atau trombosit melalui jalur IV. Menurut Peraturan Pemerintah No.18, definisi transfusi darah adalah tindakan medis memberikan darah kepada seorang penderita yang darahnya telah tersedia dalam botol kantong plastik. Usaha transfusi darah adalah segala tindakan yang dilakukan dengan tujuan untuk memungkinkan penggunaan darah bagi keperluan pengobatan dan pemulihan kesehatan yang mencakup masalah-masalah pengadaan, pengolahan, dan penyampaian darah kepada orang sakit.

A. Jenis Darah Transfusi

1. Whole Blood (Darah Utuh/ Lengkap)

Darah lengkap (whole Blood ) adalah cairan yang mengandung berbagai macam sel darah yang bergabung dengan cairan kekuningan yang disebut plasma. Sel darah ini terdiri dari sel darah merah (eritrosit), sel darah putih

(17)

(leukosit) dan trombosit. Satu unit darah lengkap mengandung sekitar 450 mL darah dan 63 mL antikoagulan. Nilai hematokritnya 36- 44% , darah lengkap yang disimpan pada suhu 4 ± 2 °C. Penyimpanan darah lengkap lebih darah 24 jam, menyebabkan penurunan platelet atau granulosit.

2. Sel Darah Merah Pekat (Packed Red Cell)

Darah merah pekat/ packed red cell (PRC) digunakan untuk meningkatkan kapasitas oksigen pada pasien anemia atau gagal jantung. Isi utama dalam sel darah merah pekat adalah eritrosit. Disimpan pada suhu 4 ± 2°C dengan larutan antikoagulan, masa simpannya mencapai 42 hari.

Peningkatan kadar hemoglobin (Hb) dan hematokrit post transfusi PRC yang berasal dari 450 mL sama dengan darah lengkap. PRC bermanfaat untuk mengurangi volume transfusi, memungkinkan transfusi cocok serasi tidak identik ABO pada keadaan darurat (seperti PRC : golongan darah O). Proses pemisahan plasma mengurangi volume transfusi dan mencegah reaksi imun.

3. Konsentrat Trombosit (Thrombocyte Concentrate)

Konsentrat trombosit digunakan untuk meningkatkan jumlah trombosit pada pasien trombositopenia, terutama akibat gangguan pembentukan trombosit seperti aplasia sumsum tulang. Disimpan pada suhu 20 ± 2°C dengan masa simpan 3-5 hari. Transfusi meningkatkan trombosit 5000-10.000/µL, tetapi kurang efektif pada destruksi trombosit atau pembesaran limpa. Efek sampingnya meliputi urtikaria, demam, dan aloimunisasi. Konsentrat dari tromboferesis lebih aman karena berasal dari satu donor. Evaluasi peningkatan trombosit setelah transfusi, terutama dalam 1 dan 24 jam, penting untuk menentukan keberhasilan terapi dan kelangsungan hidup trombosit.

4. Plasma Segar Beku (Fresh Frozen Plasma)

Fresh Frozen Plasma (FFP) mengandung plasma dan faktor pembekuan labil, disimpan pada suhu -18°C hingga satu tahun. Digunakan untuk defisiensi faktor pembekuan atau transfusi tukar bayi, FFP ditransfusikan dalam 6 jam setelah dicairkan. Efek sampingnya meliputi urtikaria, demam, dan hipervolemia. Alternatifnya, plasma kriopresipitat rendah, digunakan untuk Purpura Trombositopenik Trombotik (PTT).

5. Kriopresipitat (Cryoprecipitate)

Kriopresipitat adalah produk plasma yang mengandung faktor pembekuan VIII, XIII, von Willebrand (vWF), dan fibrinogen. Digunakan

(18)

15

untuk mengatasi pendarahan, hipofibrinogenemia, dan koagulasi intravaskular diseminata. Disimpan pada suhu -18°C atau lebih rendah, dan harus ditransfusikan dalam 6 jam setelah dicairkan. Kriopresipitat bermanfaat untuk mengobati pendarahan ringan sampai sedang pada pasien dengan penyakit von wiillebrand. Efek samping termasuk demam dan alergi, dan digunakan juga dalam prosedur bedah untuk menyediakan fibrinogen.

6. Liquid Plasma (LP)

Isi utama liquid plasma adalah plasma yang mengandung faktor pembekuan stabil dan protein plasma, volume pada kantong darah 150 – 220 ml. Penggunaan liquid plasma bertujuan untuk: Meningkatkan volume plasma, tetapi pemakaian cairan pengganti lebih dianjurkan dan Meningkatkan faktor pembekuan stabil [Faktor II, VII, IX, X, XI]. Efek samping yang ditimbulkan, antara lain: urtikaria, menggigil, demam, hipervolemia.

B. Risiko Transfusi Darah

1. Demam: Reaksi demam bisa terjadi dalam beberapa jam setelah seseorang mendapatkan transfusi darah. Hal ini cukup umum terjadi dan tidak selalu berbahaya.

2. Alergi: Orang yang menerima transfusi darah bisa saja mengalami reaksi alergi terhadap protein atau zat tertentu yang terdapat di dalam darah pendonor.

3. Kelebihan Cairan: Transfusi darah bisa menyebabkan tubuh kelebihan cairan, sehingga terjadi penumpukan cairan di organ atau jaringan tubuh.

4. Kelebihan Zat Besi: Transfusi darah dapat menyebabkan tubuh kelebihan zat besi dalam darah (hemokromatosis), terutama jika darah yang diberikan jumlahnya sangat banyak. Hal ini dapat berdampak buruk pada organ tertentu, seperti hati dan jantung.

5. Infeksi: Darah yang diberikan untuk transfusi idealnya harus dalam kualitas baik dan tidak mengandung virus, kuman, atau parasit tertentu, seperti malaria, HIV dan hepatitis B.

6. Penyakit graft-versus-host: Terjadi akibat sel darah putih yang diterima dari darah pendonor menyerang jaringan tubuh, seperti sumsum tulang, penerima darah.

(19)

16 BAB III PENUTUP 3.1 Simpulan

Obat kemoterapi merupakan agen terepeutik penting dalam mengobati berbagai infeksi serta penyakit, terutama kanker. Terbagi dalam kategori seperti antibiotik, anti jamur, dan anti neoplastik, obat kemoterapi bekerja dengan mengganggu proses biologis sel, baik pada mikroorganisme patogen maupun sel abnormal. Sebagai bagian dari pengobatan kanker, kemoterapi dapat menggunakan berbagai jenis obat berdasarkan siklus sel, dengan mekanisme kerja meliputi penghambatan pertumbuhan sel, kerusakan DNA, dan penghambatan angiogenesis. Meskipun efektif, kemoterapi sering kali disertai efek samping serius seperti mual, kehilangan rambut, infeksi, dan anemia, yang memerlukan manajemen yang baik untuk meningkatkan kualitas hidup pasien.

3.1 Saran

Untuk memastikan efektivitas dan keamanan pengobatan, terapi kemoterapi perlu dioptimalkan melalui pemilihan obat yang tepat berdasarkan jenis penyakit dan kondisi pasien.

Pemantauan rutin terhadap efek samping dan respons pasien sangat penting agar terapi dapat disesuaikan guna mengurangi risiko komplikasi. Selain itu, memberikan edukasi kepada pasien dan keluarga mengenai cara kerja kemoterapi, kemungkinan efek samping, serta strategi penanganannya dapat membantu meningkatkan kepatuhan dan kualitas hidup selama pengobatan. Pendekatan yang melibatkan berbagai disiplin ilmu, termasuk dokter spesialis, apoteker, dan tenaga medis lainnya, juga diperlukan agar terapi lebih komprehensif. Selain itu, pengembangan dan penelitian lebih lanjut terhadap obat kemoterapi yang lebih selektif dan memiliki efek samping minimal perlu terus dilakukan demi meningkatkan kenyamanan serta harapan hidup pasien. Dengan upaya tersebut, kemoterapi diharapkan dapat menjadi metode pengobatan yang lebih efektif dan aman bagi pasien yang membutuhkannya.

(20)

iv

DAFTAR PUSTAKA

Antiamuba. Scribd. https://id.scribd.com/document/367563119/Obat-Antiamuba (diakses pada 27 Januari 2025).

Azlin, E. (2016). “Obat Anti Malaria”. Sari Pediatri, 5(4), 150-4.

Digambiro, Reza A., & Edy Parwanto. (2024). PRINSIP TERAPI KANKER. Jawa Tengah:

Underline.

Hardjono, Suka., et al. (2016). OBAT ANTIKANKER. Jawa Timur: Airlangga University Press.

Martalina Limbong, N. H. (2023). Farmakologi Sosial dan Pengelolaan Obat. Medan: Yayasan Kita Menulis.

Putri, H. D., Rahayu, V. S., Prihatini, I., Putri, M. R., & Henna, A. P. (2017, Desember 20).

Obat.

Silalahi, D. R. P., (2023). “Mengatasi Kanker dengan Terapi Medis Kemoterapi”. Diakses pada 30 Januari 2025 dari https://herminahospitals.com/id/articles/mengatasi-kanker-dengan- terapi-medis-kemoterapi.html.

Referensi

Dokumen terkait

besi folat, vitamin C dan obat cacing pada anak sekolah dasar penderita anemia gizi dan infeksi cacing terb.adap kadar Haemoglobin dan prestasi belajarI. Jenis penelitian yang

Judul : Rasionalitas Penggunaan Obat Anti Tuberkulosis pada Penderita Tuberkulosis Paru di Rumah Sakit Umum Daerah Palembang Bari.. Tuberkulosis (TB) adalah penyakit infeksi

Bagi para perawat hendaknya terus berusaha meningkatkan pengetahuan, memperbaiki sikap dan tindakan dalam penerapan prinsip 6 (enam) benar pemberian obat, selalu

Prinsip enam tepat merupakan prinsip yang harus diperhatikan oleh perawat dalam pemberian obat untuk menghindari kesalahan pemberian obat dan keberhasilan pengobatan.Penelitian

Kesimpulan studi literatur ini yaitu faktor yang dapat meningkatkan kepatuhan perawat dalam penerapan prinsip enam benar pemberian obat adalah tingkat

Dari Gambar.1 berikut ini tampak bahwa kandungan Eosinofil pada ternak kambing yang diberi pengobatan beberapa jenis obat penyakit scabies, menunjukkan adanya

Pentingnya peningkatan efikasi diri pada pasien dengan penyakit Tuberkulosis yang menjalani pengobatan obat anti Tuberkulosis, dapat membantu pasien memutuskan sebuah pilihan untuk

Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi sejauh mana perawat menerapkan prinsip enam tepat dalam pemberian obat di ruang rawat