BAGIAN ILMU KEDOKTERAN FORENSIK REFERAT
DAN MEDIKOLEGAL MARET 2025
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS HASANUDDIN
HUKUM KEDOKTERAN FORENSIK
OLEH:
Alimatur Rahimul Mujahid C014232154
Andi Nurdahlia C014231113
Cindy Ayu Nirwana C014232159
Aqilah Az-zahra Rizky Ramadhani C014232076
Arianti C014232112
RESIDEN PEMBIMBING:
dr. Ruslan
SUPERVISOR PEMBIMBING:
dr. Indrayaty A.R., Sp.FM
DISUSUN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN ILMU KEDOKTERAN FORENSIK DAN MEDIKOLEGAL
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR
2025
LEMBAR PENGESAHAN
Yang bertanda tangan di bawah ini, menyatakan bahwa : Nama/
NIM
: Alimatur Rahimul Mujahid C01423215 4
Nama/
NIM : Andi Nurdahlia C01423211
3 Nama/
NIM : Cindy Ayu Nirwana C01423215
9 Nama/
NIM
: Aqilah Az-zahra Rizky Ramadhani C01423207 6
Nama/
NIM
: Arianti C01423211
2
Telah menyelesaikan referat dengan judul Hukum Kedokteran Forensik dalam rangka menyelesaikan tugas kepaniteraan klinik pada bagian Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikolegal Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin.
Makassar, Maret 2025
Supervisor Pembimbing Residen Pembimbing
dr. Indrayaty A.R., Sp.FM dr. Ruslan
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL... i
LEMBAR PENGESAHAN...ii
DAFTAR ISI... iii
BAB I. PENDAHULUAN... 1
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA...3
2.1 Pengantar Kedokteran Forensik...3
2.2 Dasar Hukum Kedokteran Forensik ...3
2.3 Visum Et Repertum ... 3
2.4 Autopsi Forensik ... 3
2.5 Kedokteran Forensik dalam Identifikasi Korban...24
2.6 Aspek Hukum dalam Kekerasan dan Pelecehan...24
2.7 Tanggung Jawab Hukum Kedokteran Forensik...24
BAB III. KESIMPULAN...28
DAFTAR PUSTAKA...26
BAB I PENDAHULUAN
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengantar Kedokteran Forensik
1. Definisi Dan Ruang Lingkup Kedokteran Forensik
Ilmu Kedokteran Forensik adalah cabang spesialis dalam ilmu kedokteran yang berperan dalam membantu proses peradilan, baik dalam penegakan hukum maupun berbagai permasalahan hukum lainnya. Bidang ini terutama berkaitan dengan pemeriksaan dan penilaian individu yang mengalami atau diduga mengalami cedera, kekerasan, atau kematian akibat faktor eksternal seperti trauma atau keracunan. Selain itu, kedokteran forensik juga menangani kasus individu yang diduga melukai orang lain atau dirinya sendiri. Pemeriksaan forensik tidak hanya dilakukan pada korban dan tersangka tindak kejahatan, tetapi juga pada kasus bunuh diri, kematian akibat kecelakaan, serta individu dengan cedera nonfatal, baik yang disengaja maupun tidak disengaja.1
Seiring waktu, ilmu Kedokteran Forensik terus berkembang sejak era Mesir kuno hingga saat ini. Berbagai cabang ilmu telah muncul dalam bidang ini, di antaranya patologi forensik, forensik klinik, laboratorium forensik, DNA forensik, entomologi forensik, antropologi forensik, odontologi forensik, psikiatri forensik, radiologi forensik, serta etikomedikolegal.2 Dalam praktiknya, ilmu kedokteran forensik terbagi menjadi dua bidang utama, yaitu patologi forensik dan pelayanan forensik. Perkembangan ini juga membawa perubahan dalam gelar dokter forensik, yang semula dikenal sebagai Dokter Spesialis Forensik (Sp.F) kini berganti menjadi Dokter Spesialis Forensik dan Medikolegal (Sp.F.M). 3
2. Peran Dan Tanggung Jawab Dokter Forensik Dalam Sistem Peradilan Hukum acara pidana bertujuan untuk menemukan kebenaran materil dalam suatu peristiwa pidana. Proses pencarian kebenaran ini tidak terlepas dari pembuktian, yang menggambarkan kejadian secara konkret. Dalam hukum pidana, pembuktian berarti menunjukkan fakta yang dapat diamati oleh panca indra, mengungkapkannya, serta menganalisisnya secara logis. Berdasarkan Pasal 184 KUHAP, pembuktian dalam perkara pidana harus menggunakan alat bukti yang sah, yaitu keterangan saksi, keterangan ahli, dokumen tertulis, petunjuk, dan keterangan terdakwa. Selain itu, Pasal
183 KUHAP menyatakan bahwa hakim tidak dapat menjatuhkan hukuman kepada seseorang kecuali jika terdapat minimal dua alat bukti yang sah, serta adanya keyakinan bahwa tindak pidana benar-benar terjadi dan terdakwa bertanggung jawab atas perbuatannya. 4
Keyakinan hakim dalam menjatuhkan putusan pidana didasarkan pada hasil pemeriksaan terhadap alat bukti yang diajukan dalam persidangan. Terkait dengan bantuan keterangan ahli yang diperlukan dalam proses pemeriksaan suatu perkara pidana, maka bantuan ini pada tahap penyidikan juga mempunyai peran yang cukup penting untuk membantu penyidik mencari dan mengumpulkan bukti-bukti dalam usahanya menemukan kebenaran materiil suatu perkara pidana. Dalam kasus-kasus tertentu, bahkan penyidik sangat bergantung terhadap keterangan ahli untuk mengungkap lebih jauh suatu peristiwa pidana yang sedang ditanganinya. Kasus-kasus tindak pidana seperti pembunuhan, penganiayaan dan pemerkosaan merupakan contoh kasus dimana penyidik membutuhkan bantuan tenaga ahli seperti dokter ahli forensik atau dokter ahli lainnya, untuk memberikan keterangan medis tentang kondisi korban yang selanjutnya cukup berpengaruh bagi tindakan penyidik dalam mengungkap lebih lanjut kasus tersebut. 5
Hal ini juga berlaku dalam kasus yang melibatkan luka pada tubuh manusia.
Untuk menentukan waktu terjadinya luka serta apakah luka tersebut merupakan akibat dari tindakan kriminal, diperlukan alat bukti yang dapat dipertanggungjawabkan secara hukum. Karena hukum tidak selalu dapat mengungkap seluruh aspek kasus secara mandiri, diperlukan bantuan dari disiplin ilmu lain, seperti kedokteran forensik. Ilmu ini tidak hanya berperan dalam mengidentifikasi luka akibat tindak kejahatan, tetapi juga dalam menjelaskan berbagai persoalan terkait kesehatan dan nyawa seseorang dalam rangka penyelesaian perkara pidana. Salah satu metode pembuktian dalam perkara pidana adalah dengan meminta dokter forensik memberikan keterangan tertulis dalam bentuk visum et repertum serta memberikan kesaksian dalam persidangan sebagai ahli.
Dengan demikian, ilmu kedokteran memiliki peran penting dalam membantu penyidik, jaksa, dan hakim dalam menangani kasus yang membutuhkan analisis medis. 6
Selain itu, ilmu kedokteran juga berperan dalam menentukan hubungan kausalitas antara suatu tindakan dengan akibat yang ditimbulkannya, baik dalam bentuk luka fisik maupun kematian. Jika terdapat indikasi bahwa akibat tersebut disebabkan oleh tindak pidana, maka hasil pemeriksaan ahli forensik akan menjadi dasar untuk mengungkap
kebenaran.Dokter forensik dapat memberikan kontribusi dalam proses peradilan melalui beberapa cara, antara lain: 7
a. Pemeriksaan di Tempat Kejadian Perkara (TKP)
Dokter forensik sering diminta oleh pihak berwenang untuk memeriksa korban yang ditemukan dalam keadaan meninggal dunia. Pemeriksaan ini penting untuk menentukan jenis dan penyebab kematian, yang kemudian akan menjadi pertimbangan dalam proses hukum. Dokter juga akan menyusun visum et repertum sebelum jenazah dimakamkan.
b. Pemeriksaan terhadap Korban Luka
Ahli forensik melakukan pemeriksaan terhadap korban luka untuk mengetahui:
● Apakah ada tanda-tanda penganiayaan
● Apakah luka tersebut berkaitan dengan tindak kejahatan atau pelanggaran kesusilaan
● Usia korban berdasarkan kondisi medis
● Kepastian apakah bayi yang meninggal dalam kandungan pernah hidup di luar rahim
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa dokter forensik memiliki peran penting dalam membantu aparat penegak hukum dalam mengungkap tindak pidana, mulai dari tahap penyelidikan hingga proses persidangan. Keahlian mereka dalam menganalisis luka, kesehatan, dan penyebab kematian sangat membantu dalam memperjelas suatu kasus pidana yang berkaitan dengan tubuh atau jiwa manusia.7
3. Etika dan kode etik dalam kedokteran forensik
Etika dan kode etik dalam kedokteran forensik adalah pedoman yang mengarahkan perilaku profesional dokter forensik dalam menjalankan tugasnya, memastikan tindakan sesuai dengan standar moral dan profesional yang tinggi, serta menjaga integritas profesi dan kepercayaan publik.8
Berikut beberapa prinsip-prinsip etika kedokteran forensik: 8
1. Profesionalisme: Dokter forensik harus menjaga kompetensi profesional melalui pendidikan berkelanjutan dan memastikan tindakan sesuai dengan standar praktik yang berlaku.
2. Objektivitas dan Imparsialitas: Dalam memberikan pendapat atau kesaksian, dokter forensik harus bersikap netral, tidak memihak, dan mendasarkan
pernyataan pada fakta ilmiah yang akurat.
3. Kerahasiaan Informasi: Dokter forensik wajib menjaga kerahasiaan informasi yang diperoleh selama pemeriksaan, kecuali jika diharuskan oleh hukum atau untuk kepentingan umum terkait kesehatan dan keselamatan.
Selain itu, kode etik kedokteran forensik juga diharapkan dapat senantiasa diterapkan. Diantaranya yaitu: 8
● Independensi dalam Kesaksian: Saat memberikan kesaksian sebagai ahli, dokter forensik harus memastikan pendapat yang disampaikan independen, objektif, dan tidak bias, serta tidak berperan sebagai advokat untuk salah satu pihak dalam proses hukum.
● Penyajian Fakta yang Akurat: Dokter forensik harus menyajikan fakta secara lengkap dan akurat, mendasarkan pendapatnya pada data yang benar, dan menghindari pernyataan yang dapat menyesatkan atau tidak tepat.
● Penghindaran Konflik Kepentingan: Dokter forensik harus menghindari situasi yang dapat menimbulkan konflik kepentingan dan memastikan semua tindakan tidak dipengaruhi oleh faktor eksternal yang dapat mempengaruhi objektivitas mereka.
Dengan mematuhi prinsip-prinsip etika dan kode etik ini, dokter forensik dapat menjalankan perannya dengan integritas, memastikan proses peradilan mendapatkan informasi yang akurat dan dapat dipercaya, serta menjaga kepercayaan masyarakat terhadap profesi kedokteran forensik. 8
2.2 Dasar Hukum Kedokteran Forensik
Kedokteran forensik di Indonesia diatur dalam berbagai peraturan perundang- undangan yang memberikan landasan hukum bagi dokter dalam menjalankan tugasnya.
Kedokteran forensik memiliki peran penting dalam membantu proses peradilan dan
penegakan hukum. Beberapa regulasi yang mengatur praktik kedokteran forensik di Indonesia meliputi:
a. Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)
KUHAP mengatur kewajiban dokter dalam membantu peradilan diatur dalam Pasal 133 sebagai berikut:
(1) Dalam hal penyidik untuk kepentingan peradilan menangani seorang korban baik luka, keracunan ataupun mati yang diduga karena peristiwa yang merupakan tindak pidana, ia berwenang mengajukan permintaan keterangan ahli kepada ahli kedokteran kehakiman atau dokter dan atau ahli lainnya.
(2) Permintaan keterangan ahli sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan secara tertulis, yang dalam surat itu disebutkan dengan tegas untuk pemeriksaan luka atau pemeriksaan mayat dan atau pemeriksaan bedah mayat.
Pasal 133 ayat (1) KUHAP mengatur tentang pemeriksaan dokter perlu dilakukan, yaitu menyangkut korban baik luka, keracunan ataupun mati yang diduga karena peristiwa pidana. Pasal 133 ayat (2) menjelaskan keterangan yang diberikan oleh ahli kedokteran kehakiman dianggap sebagai keterangan ahli, sedangkan keterangan yang diberikan oleh dokter bukan ahli kedokteran kehakiman dianggap hanya sebagai keterangan. Keterangan dokter bukan ahli kedokteran kehakiman dikategorikan sebagai alat bukti yang sah berupa petunjuk.dalam hukum acara pidana
Pasal 184 (1) KUHAP menjelaskan mengenai alat bukti yang sah dalam hukum acara pidana yang berbunyi sebagai berikut:
Alat bukti yang sah ialah:
a. keterangan saksi;
b. keterangan ahli;
c. surat;
d. petunjuk;
e. keterangan terdakwa.
Dalam hal ini surat berupa visum et repertum dan keterangan ahli merupakan alat bukti yang sah dalam proses peradilan.
Wewenang penyidik meminta keterangan ahli ini diperkuat dengan kewajiban dokter untuk memberikannya bila diminta, seperti yang tertuang dalam pasal 179 KUHAP sebagai berikut: (1) Setiap orang yang diminta pendapatnya sebagai ahli kedokteran kehakiman atau dokter atau ahli lainnya wajib memberikan keterangan ahli
demi keadilan. Pasal 179 (1) menjelaskan kewajiban ahli forensik untuk memberikan keterangan berdasarkan keilmuannya dalam sidang pengadilan.
b. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
Pasal 222 KUHP mengatur bahwa setiap orang, termasuk dokter, wajib memberikan keterangan kepada pihak berwenang dalam proses peradilan. Ini berarti bahwa dokter forensik yang melakukan pemeriksaan terhadap korban atau tersangka harus memberikan laporan medis yang dapat digunakan sebagai alat bukti di pengadilan.
Peran dokter forensik dalam KUHP juga terkait dengan kewajiban penyusunan visum et repertum, yaitu dokumen resmi yang berisi hasil pemeriksaan medis terhadap korban tindak pidana. Dokumen ini menjadi bukti yang sah dalam proses hukum dan membantu hakim dalam mengambil keputusan berdasarkan fakta medis.
c. Undang-Undang
1. Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran
Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran memberikan dasar hukum bagi pelaksanaan praktik kedokteran di Indonesia, termasuk aspek kedokteran forensik. Berikut terdapat beberapa pasal penting yang mengatur kewajiban dan hak dokter forensik dalam menjalankan tugasnya.
Pasal 50 menyebutkan bahwa dokter atau dokter gigi berhak mendapatkan perlindungan hukum selama mereka menjalankan tugasnya sesuai dengan standar profesi dan prosedur operasional yang berlaku. Ini penting dalam praktik kedokteran forensik karena seringkali dokter berhadapan dengan tekanan hukum atau pihak-pihak tertentu dalam menangani kasus forensik.
Pasal 51 menjelaskan bahwa dokter wajib memberikan pelayanan medis sesuai dengan standar profesi dan peraturan perundang-undangan. Dalam kedokteran forensik, hal ini mencakup kewajiban menyusun visum et repertum secara objektif dan ilmiah serta memberikan keterangan ahli yang sesuai dengan fakta medis.
Pasal 53 menegaskan kewajiban dokter untuk membuat rekam medis sebagai bukti tertulis atas tindakan medis yang dilakukan. Dalam konteks forensik, rekam medis berfungsi sebagai alat bukti yang dapat digunakan dalam proses hukum, misalnya dalam kasus kekerasan atau kematian tidak wajar.
Selain itu, Pasal 75 hingga 79 dalam undang-undang ini mengatur sanksi bagi dokter yang melanggar ketentuan praktik kedokteran, termasuk memberikan keterangan medis yang tidak sesuai fakta atau melakukan malpraktik. Ini memastikan bahwa dokter forensik bertanggung jawab dalam menjalankan tugasnya dan dapat dikenai sanksi jika melanggar standar yang telah ditetapkan.
2. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan
Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan memberikan dasar hukum yang kuat bagi berbagai aspek pelayanan kesehatan, termasuk kedokteran forensik. Terdapat beberapa pasal yang mengatur kewajiban tenaga medis dalam menangani kasus-kasus yang berkaitan dengan aspek hukum dan forensik;
Pasal 179 UU No. 36 Tahun 2009 tentang kewajiban pelaporan dan visum et repertum yang menyatakan bahwa tenaga kesehatan yang mengetahui adanya dugaan tindak pidana yang berkaitan dengan kesehatan, seperti kekerasan fisik atau pelecehan seksual, wajib melaporkan kepada pihak yang berwenang. Hal ini relevan dalam kedokteran forensik, di mana dokter memiliki kewajiban untuk memberikan visum et repertum dalam kasus-kasus kekerasan, kecelakaan, atau kematian yang mencurigakan.
Selain itu, Pasal 180 mengatur bahwa setiap tenaga kesehatan yang menangani korban tindak pidana berkewajiban membuat laporan medis yang dapat dijadikan alat bukti dalam proses hukum. Laporan ini harus dibuat secara profesional dan objektif untuk mendukung proses penyidikan dan peradilan.
Pasal 133 tentang pemeriksaan medis dan autopsi, mengatur bahwa dalam kasus kematian yang mencurigakan atau tidak wajar, dokter berwenang melakukan pemeriksaan medis atau autopsi untuk menentukan penyebab kematian. Autopsi hanya dapat dilakukan dengan izin keluarga atau berdasarkan perintah penyidik jika kasus tersebut berkaitan dengan kepentingan hukum.
Namun, dalam kondisi tertentu dimana terdapat dugaan tindak pidana atau kepentingan hukum yang lebih besar, autopsi dapat dilakukan tanpa persetujuan keluarga berdasarkan ketentuan hukum yang berlaku. Hal ini penting untuk memastikan bahwa penyebab kematian dapat diketahui dengan jelas dan membantu proses penegakan hukum.
Pasal 57 memberikan perlindungan hukum bagi tenaga kesehatan yang menjalankan tugasnya sesuai dengan standar profesi. Dalam kedokteran forensik,
dokter seringkali berhadapan dengan tekanan dari berbagai pihak, baik dari keluarga korban, pelaku kejahatan, maupun aparat penegak hukum. Perlindungan hukum ini bertujuan untuk memastikan bahwa dokter forensik dapat bekerja secara profesional tanpa adanya intervensi yang dapat mempengaruhi objektivitas hasil pemeriksaan.
Pasal 46 tentang rekam medis dan kerahasiaan pasien mengatur kewajiban setiap fasilitas kesehatan untuk menyimpan rekam medis dengan baik. Rekam medis ini mencakup data pasien, hasil pemeriksaan, serta dokumen visum et repertum yang dapat digunakan sebagai alat bukti dalam pengadilan.
Selain itu, Pasal 48 menegaskan bahwa tenaga medis wajib menjaga kerahasiaan informasi medis pasien, kecuali dalam keadaan tertentu, seperti ketika diminta oleh aparat penegak hukum dalam proses peradilan. Hal ini penting dalam praktik kedokteran forensik, dimana informasi medis sering kali menjadi bagian dari penyelidikan hukum.
Pasal 190 mengatur sanksi bagi tenaga kesehatan yang dengan sengaja tidak melaksanakan kewajibannya dalam menangani kasus forensik atau memberikan keterangan yang tidak sesuai dengan fakta medis. Dokter yang terbukti melakukan kesalahan dalam memberikan keterangan forensik dapat dikenai sanksi pidana maupun administratif.
d. Peraturan Menteri Kesehatan
Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) Nomor 24 Tahun 2022 tentang Rekam Medis mengatur penyelenggaraan rekam medis di fasilitas pelayanan kesehatan.
Permenkes ini memberikan landasan hukum bagi tenaga medis dalam menyusun dan mengelola rekam medis yang dapat mendukung proses penegakan hukum melalui kedokteran forensik. Dalam konteks kedokteran forensik, rekam medis berfungsi sebagai alat bukti yang dapat digunakan dalam proses hukum. Oleh karena itu, rekam medis harus memuat data yang lengkap dan akurat, termasuk identitas pasien, hasil pemeriksaan, diagnosis, dan tindakan medis yang diberikan. Selain itu, peraturan ini juga mengatur tentang kerahasiaan rekam medis, yang hanya dapat dibuka untuk kepentingan tertentu, seperti permintaan aparat penegak hukum dalam proses peradilan.1
e. Kode Etik Kedokteran
Kode Etik Kedokteran Indonesia (KODEKI) menjadi dasar etika bagi dokter dalam menjalankan praktik kedokteran forensik. KODEKI mengatur berbagai prinsip yang harus ditaati oleh dokter forensik, seperti menjaga kerahasiaan pasien sesuai Pasal 6, kecuali jika diminta secara sah oleh aparat penegak hukum dalam proses penyelidikan atau peradilan. Selain itu, Pasal 7 menegaskan bahwa dokter harus memberikan keterangan medis secara jujur dan objektif tanpa dipengaruhi tekanan eksternal, yang sangat penting dalam penyusunan visum et repertum serta dalam memberikan kesaksian di pengadilan. Pasal 9 juga menekankan bahwa dokter tidak boleh menyalahgunakan keahliannya untuk kepentingan yang bertentangan dengan hukum atau hak asasi manusia, sementara Pasal 21 mengatur bahwa dokter yang menjadi saksi ahli wajib memberikan pendapatnya secara ilmiah dan netral.2
Dengan adanya regulasi ini, dokter forensik memiliki pedoman hukum yang jelas dalam menjalankan profesinya serta mendapatkan perlindungan hukum saat bertindak sesuai dengan standar profesi. Hal ini juga memperkuat kredibilitas kedokteran forensik dalam sistem peradilan pidana.
2.3 Visum et Repertum a. Definisi
Visum et Repertum adalah istilah yang dikenal dalam Ilmu Kedokteran Forensik, biasanya dikenal dengan nama “Visum”. Visum berasal dari bahasa latin, bentuk tunggalnya adalah “visa”. Dipandang dari arti etimologi atau tata bahasa, kata
“visual” berarti tanda melihat atau melihat yang artinya penandatanganan dari barang bukti tentang segala sesuatu hal yang ditemukan, disetujui, dan disahkan, sedangkan “Repertum” berarti melapor yang artinya apa yang telah didapat dari pemeriksaan dokter terhadap korban. Secara etimologi Visum et Repertum adalah apa yang dilihat dan ditemukan
Visum et Repertum berkaitan erat dengan Ilmu Kedokteran Forensik.
Mengenai disiplin ilmu ini, ilmu kedokteran forensik dapat disebut juga sebagai ilmu kedokteran kehakiman, Sutomo Tjokronegoro menjelaskan bahwa Ilmu Kedokteran Kehakiman atau Ilmu Kedokteran Forensik adalah ilmu kedokteran yang digunakan untuk kepentingan pengadilan, artinya ilmu kedokteran kehakiman sangat berperan dalam membantu Kepolisian, Kejaksaan dan Kehakiman di dalam mengungkapkan dan memecahkan segala soal hubungan sebab akibat (kausalitas verband) terjadinya
suatu tindak pidana sehingga pelakunya dapat dipertanggungjawabkan menurut hukum di dalam sidang Peradilan (pidana) yang dilaksanakan.
Dalam Surat Keputusan Menteri Kehakiman No.M04/UM/01.06 tahun 1983 pada pasal 10 menyatakan bahwa hasil pemeriksaan ilmu kedokteran kehakiman disebut sebagai Visum et Repertum. Pendapat seorang dokter yang dituangkan dalam sebuah Visum et Repertum sangat diperlukan oleh seorang hakim dalam membuat sebuah keputusan dalam sebuah persidangan. Hal ini mengingat, seorang hakim sebagai pemutus perkara pada sebuah persidangan,tidak dibekali dengan ilmu-ilmu yang berhubungan dengan kedokteran forensik ini. Dalam hal ini, hasil pemeriksaan dan laporan tertulis ini akan digunakan sebagai petunjuk sebagaimana yang dimaksud pada pasal 184 KUHAP tentang alat bukti. Artinya, hasil Visum et Repertum ini bukan saja sebagai petunjuk dalam hal membuat terang suatu perkara pidana namun juga mendukung proses penuntutan dan pengadilan.
b. Jenis - Jenis Visum et Repertum
Visum et Repertum sebagai suatu hasil pemeriksaan dokter terhadap barang bukti yang dibuat agar suatu perkara pidana menjadi jelas dan berguna bagi kepentingan pemeriksaan dan untuk kepentingan peradilan. Adapun jenis- jenis Visum et berdasarkan objeknya antara lain :
1. Visum et Repertum Korban Hidup a. Visum et Repertum biasa :
Jenis ini diberikan kepada pihak peminta (penyidik) untuk korban yang tidak memerlukan perawatan lebih lanjut.
b. Visum et Repertum Sementara
Jenis visum ini diberikan apabila korban memerlukan perawatan lebih lanjut karena belum dapat membuat diagnosis dan derajat lukanya.
Apabila sudah sembuh dibuatkan Visum et Repertum.
c. Visum et Repertum Lanjutan
Pada jenis ini korban tidak memerlukan perawatan lebih lanjut karena sudah sembuh, pindah dirawat orang lain, atau meninggal dunia.
2. Visum et Repertum Korban Mati (Jenazah)
Pada pembuatan Visum et Repertum ini, dalam hal korban mati maka penyidik mengajukan permintaan tertulis kepada pihak Kedokteran Forensik untuk dilakukan bedah mayat (outopsi).
3. Visum et Repertum tempat kejadian perkara (TKP)
Pada jenis ini visum dibuat setelah dokter selesai melaksanakan pemeriksaan di TKP.
4. Visum et Repertum penggalian jenazah
Visum ini dibuat setelah dokter melakukan penggalian jenazah 5. Visum et repertum psikiatri
Yaitu visum pada terdakwa yang pada saat pemeriksaan sidang pengadilan menunjukkan gejala-gejala penyakit jiwa.
6. Visum et Repertum barang bukti
Pada visum ini misalnya visum terhadap barang bukti yang ditemukan yang ada hubungannya dengan tindak pidana yang dilakukan, contohnya darah, bercak mani, selongsong peluru, pisau.
c. Proses Permohonan Pembuatan Visum et Repertum
Untuk dapat membuat Visum et Repertum, seorang dokter harus menunggu surat permintaan visum yang dibuat oleh pihak penyidik. Di dalam surat tersebut harus jelas tertulis mengenai pemeriksaan yang akan dilakukan (Pasal 133 KUHAP). Jika ternyata pemeriksaan bedah mayat (autopsi) perlu dilakukan, maka pihak penyidik wajib untuk memberitahukan keluarga pasien terlebih dahulu mengenai tindakan tersebut. Autopsi baru dapat dilakukan jika keluarga korban sudah tidak keberatan atau jika minimal dua hari tidak ada tanggapan dari keluarga korban (Pasal 134 KUHAP). Pada kasus-kasus lama, namun harus dilakukan pemeriksaan autopsi, maka penggalian kubur guna autopsi juga dapat dilakukan (Pasal 135 KUHAP).
d. Kaidah Penulisan Visum et Repertum
Dalam penulisan Visum et Repertum, dianjurkan untuk dibuat menggunakan mesin ketik. Penulisan dilakukan pada sebuah kertas putih kosong yang harus disertakan dengan adanya kop surat yang berasal dari institusi yang mengeluarkan VeR tersebut. Menggunakan singkatan, bahasa asing termasuk bahasa medis tidak dianjurkan dalam pembuatan visum. Jika terpaksa menggunakan bahasa asing, maka keterangan jelas menggunakan bahasa Indonesia harus disertakan. Jika dalam penulisan visum tidak berakhir pada tepi kanan format, maka penggunaan garis pada akhir kalimat hingga ke batas ujung kanan format harus dilakukan. Foto dapat diberikan dalam bentuk
lampiran jika ternyata dibutuhkan untuk memperjelas suatu VeR. Dalam penulisan VeR, ada 5 bagian yang harus selalu disertakan, yaitu :
1. Pro Justitia
Diletakan di bagian kanan atas yang menjelaskan bahwa visum yang dibuat adalah untuk tujuan peradilan. Visum et Repertum tidak memerlukan materai untuk menjadikannya alat bukti yang sah.
2. Pendahuluan
Dalam pendahuluan terdapat keterangan seperti nama pembuat VER, institusi kesehatan, instansi penyidik lengkap dengan permintaan tanggal dan tanggal surat permintaan. Selain itu, tempat waktu dilakukannya pemeriksaan juga harus ditulis. Serta identitas korban harus disertakan.
3. Pemberitaan
Merupakan hasil pemeriksaan dokter terhadap apa yang dilihat dan ditemukan pada barang bukti.
4. Kesimpulan
Berisi tentang pendapat dokter berdasarkan tentang keilmuan yang berisi tentang jenis perlukaan , jenis kekerasan, zat penyebab, derajat luka dan penyebab kematian.
5. Penutup
Pada bagian ini berisikan kalimat baku yang selalu digunakan untuk menutup suatu visum yaitu “Demikian visum et Repertum ini saya buat dengan sesungguhnya berdasarkan keilmuan saya dan dengan mengingat sumpah sesuai dengan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.
e. Peran Visum et Repertum terhadap Proses Penyidikan
Bagi penyidik (Polisi/Polisi Militer) Visum et Repertum berguna untuk mengungkapkan perkara. Bagi Penuntut Umum (Jaksa) keterangan itu berguna untuk menentukan pasal yang akan didakwakan, sedangkan bagi Hakim sebagai alat bukti formal untuk menjatuhkan pidana atau membebaskan seseorang dari tuntutan hukum. Untuk itu perlu dibuat suatu Standar Prosedur Operasional Prosedur (SOP) pada suatu Rumah Sakit tentang tata laksana pengadaan Visum et Repertum.
f. Dasar Hukum Visum et Repertum
Pasal 133 KUHAP menyebutkan :
1). Dalam hal penyidik untuk kepentingan peradilan menangani seorang korban baik luka, keracunan ataupun mati yang diduga karena peristiwa yang merupakan tindak pidana, ia berwenang mengajukan permintaan keterangan ahli kepada ahli kedokteran kehakiman atau dokter dan atau ahli lainnya.
2). Permintaan keterangan ahli sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan secara tertulis, yang dalam surat itu disebutkan dengan tegas untuk pemeriksaan luka atau pemeriksaan mayat dan atau pemeriksaan bedah mayat.
Selanjutnya,keberadaan Visum et Repertum tidak hanya diperuntukkan kepada seorang korban (baik korban hidup maupun tidak hidup) semata, akan tetapi untuk kepentingan penyidikan juga dapat dilakukan terhadap seorang tersangka sekalipun seperti VER Psikiatri. Hal ini selaras dengan apa yang disampaikan dalam KUHAP yaitu :
Pasal 120 ayat 1 KUHAP :
Dalam hal penyidik menganggap perlu, ia dapat meminta pendapat orang ahli atau orang yang memiliki keahlian khusus.
Apabila pelaku perbuatan pidana tidak dapat bertanggung jawab, maka pelaku dapat dikenai pidana. Sebagai perkecualian dapat dibaca dalam Pasal 44 KUHP sebagai berikut:
1).Barang siapa melakukan perbuatan yang tidak dapat dipertanggung jawabkan padanya, disebabkan karena jiwanya cacat dalam tubuhnya atau terganggu karena penyakit, tidak dipidana.
2). Jika ternyata perbuatan itu tidak dapat dipertanggung jawabkan padanya disebabkan karena jiwanya cacat dalam tumbuhnya atau terganggu karena penyakit, maka hakim dapat memerintahkan supaya orang itu dimasukkan dalam Rumah Sakit Jiwa, paling lama satu tahun sebagai waktu percobaan.
3). Ketentuan tersebut dalam ayat 2 hanya berlaku bagi Mahkamah Agung, Pengadilan Tinggi, dan Pengadilan Negeri.
Dalam menentukan adanya jiwa yang cacat dalam tumbuhnya dan jiwa yang terganggu karena penyakit, segera dibutuhkan kerjasama antar pihak yang terkait, yaitu ahli dalam ilmu jiwa (dokter jiwa atau kesehatan jiwa), yang dalam persidangan nanti muncul dalam bentuk Visum et Repertum Psychiatricum,
digunakan untuk dapat mengungkapkan keadaan pelaku perbuatan (tersangka) sebagai alat bukti surat yang dapat dipertanggungjawabkan.
Yang berwenang meminta keterangan ahli adalah penyidik dan penyidik pembantu sebagaimana bunyi pasal 7 ayat 1 butir h dan pasal 11 KUHAP.
Penyidik yang dimaksud disini adalah penyidik sesuai dengan pasal 6 ayat 1 butir a, yaitu penyidik yang merupakan pejabat Polisi Negara Republik Indonesia.
Penyidik ini adalah penyidik tunggal bagi pidana umum, termasuk pidana yang berkaitan dengan kesehatan dan jiwa manusia. Oleh karena, Visum et Repertum adalah keterangan ahli mengenai pidana yang berkaitan dengan kesehatan jiwa manusia, maka penyidik pegawai negeri sipil tidak berwenang meminta Visum et Repertum , karena mereka hanya mempunyai wewenang sesuai dengan undang- undang yang menjadi dasar hukumnya masing-masing (Pasal 7 ayat 2 KUHAP).
Sanksi hukum bila dokter menolak permintaan penyidik, dapat dikenakan sanksi pidana.
Pasal 216 KUHP :
1). Barangsiapa dengan sengaja tidak menuruti perintah atau permintaan yang dilakukan menurut undang-undang oleh pejabat yang tugasnya mengawasi sesuatu, atau oleh pejabat berdasar- kan tugasnya, demikian pula yang diberi kuasa untuk mengusut atau memeriksa tindak pidana; demikian pula barangsiapa dengan sengaja mencegah, menghalang-halangi atau menggagalkan tindakan guna menjalankan ketentuan, diancam dengan pidana penjara paling lama empat bulan dua minggu atau denda paling banyak sembilan ribu rupiah.
2.7 Tanggung Jawab Hukum Dokter Forensik a. Malpraktik dalam kedokteran Forensik. 3
Secara harfiah istilah malpraktik atau malpractice atau malapracxis adalah praktik yang buruk atau praktik yang jelek. Istilah “malpraktik” sendiri memiliki konotasi yang luas dan sering digunakan secara umum untuk mengarah pada praktik yang buruk, terkadang disebut malpraksis dalam perawatan pasien.
Dikatakan buruk sebab salah dan menyimpang dari tujuan utamanya. Jika kata
“malpraktik” dihubungkan dengan kata “dokter” menjadi malpraktik dokter atau malpraktik kedokteran.
Malpraktik adalah sebuah tindakan atas dasar kelalaian atau kesalahan seorang dokter dalam menjalankan profesi, praktik, pengetahuan dan keterampilannya yang biasa digunakan dalam mengobati pasien sehingga menyebabkan kerusakan atau kerugian bagi kesehatan atau kehidupan pasien karena tidak sesuai dengan standar profesi medik serta menggunakan keahlian untuk kepentingan pribadi.
Seorang dokter sebagai pengemban profesi, harus selalu bertanggungjawab terhadap tindakannya saat melaksanakan praktik kedokteran.
Dokter ketika menjalankan profesinya mempunyai keterikatan terhadap ketentuan-ketentuan hukum yang berkaitan dengan pelaksanaan praktik kedokteran dalam hal ini hukum kesehatan. Maka dari itu, diberlakukan sanksi hukum jika dokter telah melakukan tindakan malpraktik kedokteran sebagai bentuk pertanggungjawaban hukum. Tujuan meminta pertanggungjawaban perdata pada dokter secara hukum ialah untuk mendapatkan ganti rugi.
Pada Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran diatur jika dokter atau tenaga medis terbukti melakukan malpraktik maka mereka dapat dikenakan sanksi berupa:
1. Sanksi Administrasi
Sanksi administrasi yang didapatkan oleh dokter atau tenaga medis yang melakukan malpraktik yakni pemberian peringatan tertulis, rekomendasi pencabutan surat tanda registrasi atau surat izin praktik dan/atau kewajiban mengikuti pendidikan atau pelatihan di institusi pendidikan kedokteran. Tidak menutup kemungkinan adanya tuntutan perdata atau pidana dari pasien atau keluarga pasien.
2. Tuntutan Perdata
Tuntutan Perdata yang diajukan oleh korban malpraktik dapat berupa tuntutan wanprestasi yang berdasarkan pada contractual liability dan/atau
perbuatan melawan hukum. Apabila seorang dokter memiliki praktik swasta per orang maka ia dapat digugat secara pribadi termasuk bertanggung jawab terhadap tindakan tenaga medis yang berada di bawah perintahnya. Apabila dokter tersebut bekerja sama dalam sebuah tim, maka pertanggungjawabannya berdasarkan pada seberapa besar tanggung jawab dokter pada timnya. Demikian juga seperti pada rumah sakit dapat ditarik sebagai tergugat atas segala tindakan yang telah dilakukan seluruh karyawannya (baik medis atau non medis), bahkan terhadap dokter pribadi yang diberi tempat praktik di rumah sakit.
3. Tuntutan Pidana
Tuntutan Pidana pada kasus malpraktik kedokteran dapat digunakan ketentuan pasal-pasal karena kesengajaan atau kealpaan yang mengakibatkan orang lain mati, sakit atau luka dan pasal-pasal terkait pengguguran kandungan.
Kecuali ketika seorang dokter menangani kasus yang memberikan pilihan dilematis antara menyelamatkan jiwa bayi atau jiwa ibunya, maka menyelamatkan jiwa yang lebih utama (abortus provocatus medicialis) hal tersebut dikecualikan dari tuntutan pidana, namun pidana akan berlaku jika seorang dokter melakukan penghilangan nyawa tanpa alasan medis (aborsi).
Dasar pertanggung jawaban hukum bagi dokter yang melakukan perbuatan melawan hukum (onrechtmatige dad) adalah karena tindakannya bertentangan dengan asas kepatutan, ketelitian, serta sikap kehati-hatian. Hal tersebut diatur pada:
a. Pasal 58 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan yang menyatakan bahwa setiap orang berhak menuntut ganti rugi terhadap seseorang, tenaga kesehatan, dan/atau penyelenggara kesehatan yang menimbulkan kerugian akibat kesalahan atau kelalaian dalam pelayanan kesehatan yang diterimanya.
b. Pada Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang menyatakan bahwa perbuatan yang dilakukan dengan sengaja ataupun dilakukan karena kurang hati-hati atau kealpaan memiliki akibat hukum yang sama, yaitu pelaku tetap bertanggung jawab mengganti seluruh kerugian yang diakibatkan dari
perbuatan melawan hukum yang dilakukannya. Dalam mengajukan Perbuatan Melawan Hukum dengan Pasal 1365 KUHP harus memenuhi 4 syarat, yakni:
● Pasien harus mengalami kerugian.
● Harus ada kesalahan atau kelalaian, baik perorangan atau oleh pihak rumah sakit atau pegawainya.
● Adanya hubungan atau korelasi antara kesalahan dengan kerugian.
● Perbuatan yang melanggar hukum.
Prinsip tanggung jawab hukum dapat dibedakan sebagai berikut:
➢ Praduga tanggung jawab berdasarkan unsur kesalahan (liability based on foult).
➢ Prinsip praduga untuk selalu bertanggung jawab (presumtion of liability).
➢ Praduga untuk tidak selalu bertanggung jawab (presumtion of non liability).
➢ Prinsip tanggung jawab mutlak (strict liability).
➢ Prinsip tanggung jawab dengan pembatasan (limitation of liability).
b. Kewajiban menjaga kerahasiaan medis.4
Rekam medis merupakan dokumen yang berisi identitas pasien, riwayat penyakit, hasil pemeriksaan, diagnosis, serta tindakan medis yang harus dijaga kerahasiaannya. Tenaga medis dan fasilitas layanan kesehatan bertanggung jawab dalam menjaga keamanan data pasien agar tidak disalahgunakan atau diakses oleh pihak yang tidak berwenang. Rekam medis memiliki beberapa fungsi, di antaranya:
● Administratif: Menunjang pelayanan kesehatan yang tertib.
● Hukum: Sebagai bukti dalam kasus hukum.
● Keuangan: Sebagai dasar klaim biaya perawatan.
● Penelitian dan pendidikan: Sumber data untuk penelitian kesehatan.
● Dokumentasi: Arsip resmi pelayanan medis yang dapat dijadikan referensi di masa mendatang.
Dalam UU No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran, Pasal 51 mengatur bahwa dokter wajib menjaga kerahasiaan informasi pasien, bahkan setelah pasien meninggal. Pasal 10 Permenkes No. 269/MENKES/PER/III/2008 menyatakan bahwa rekam medis adalah dokumen yang harus dirahasiakan.
Dalam beberapa kondisi, informasi medis dapat dibuka, seperti:
● Demi kepentingan kesehatan pasien.
● Atas permintaan aparat penegak hukum berdasarkan perintah pengadilan.
● Dalam penelitian atau audit medis, dengan ketentuan identitas pasien tetap dirahasiakan.
Pelepasan informasi medis kepada pihak ketiga bisa dilakukan tetapi harus melalui prosedur resmi dan mendapatkan izin tertulis dari pasien atau keluarganya. Pelepasan informasi medis dapat dilakukan untuk beberapa keperluan, seperti:
● Klaim asuransi (misalnya Jasa Raharja).
● Permintaan visum et repertum dari kepolisian untuk kepentingan hukum.
● Keperluan pendidikan dan penelitian, dengan tetap menjaga anonimitas pasien.
c. Sanksi pidana dan perdata bagi dokter forensik.5,6
Hukum Acara Pidana memiliki tujuan untuk mencari kebenaran materiil dari suatu peristiwa pidana, penemuan kebenaran materil tidak luput dari suatu pembuktian yang menggambarkan suatu kejadian secara konkret untuk membuktikan sesuatu menurut hukum pidana berarti menunjukkan hal-hal yang dapat ditangkap oleh pancaindra, mengutarakan hal tersebut dan berpikir secara logika, pembuktian dalam perkara pidana menurut Pasal 184 KUHAP memerlukan adanya alat bukti yang sah, yaitu: Keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk dan keterangan terdakwa.
Selanjutnya, di dalam Pasal 183 KUHAP menyebutkan bahwa: “Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila sekurang-
kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar telah terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya”. Hasil pemeriksaan alat-alat bukti yang dikemukakan pada proses persidangan membentuk keyakinan hakim dalam menjatuhkan putusan pidana, begitu juga halnya terhadap kasuskasus yang berhubungan dengan luka tubuh manusia untuk menentukan kapan luka tersebut terjadi dan/atau apakah luka tersebut disebabkan oleh tindak kejahatan. Sehingga diperlukan alat bukti yang dapat dipertanggungjawabkan secara hukum.
Berawal dari ketidakmampuan untuk mengungkap kejahatan, hukum perlu bantuan dari ilmu pengetahuan lainnya seperti kedokteran dan tentunya ilmu kedokteran tidak terbatas untuk hal-hal semacam itu, melainkan segala persoalan yang berhubungan dengan luka, kesehatan dan nyawa seseorang yang diakibatkan oleh suatu kejahatan yang selanjutnya diterangkan oleh dokter dalam rangka penyelesaian perkara pidana. Ilmu kedokteran sangat berperan dalam membantu penyidik, kejaksaan, dan hakim dalam hal yang dapat dipecahkan dengan ilmu kedokteran.
Selanjutnya, ilmu kedokteran juga mempunyai peranan dalam hal menentukan hubungan kausalitas antara suatu perbuatan dengan akibat yang akan ditimbulkannya dari perbuatan tersebut, baik yang menimbulkan akibat luka pada tubuh, atau yang menimbulkan matinya seseorang, dimana terdapat akibat-akibat tersebut patut diduga telah terjadi tindak pidana. Berdasarkan hasil pemeriksaan ahli forensik inilah selanjutnya dapat diketahui apakah luka seseorang, tidak sehatnya seseorang tersebut diakibatkan oleh tindak pidana atau tidak.
Peran dokter ahli forensik dapat memberikan bantuan dalam hubungannya dengan proses peradilan dalam hal:
1. Pemeriksaan di tempat kejadian perkara
Ini biasanya dimintakan oleh pihak yang berwajib dalam hal dijumpai seseorang yang dalam keadaan meninggal dunia. Pemeriksaan yang dilakukan oleh ahli forensik akan sangat penting dalam hal menentukan jenis kematian dan sekaligus untuk mengetahui sebab-sebab dari kematiannya tersebut, sangat berguna bagi pihak yang berwajib untuk memproses atau
tidaknya menurut hukum. Dalam hal ini, dokter akan membuat visum et repertum sebelum mayat dikuburkan.
2. Pemeriksaan terhadap korban yang luka oleh ahli forensik dimaksudkan untuk mengetahui :
a. Ada atau tidaknya penganiayaan
b. Menentukan ada atau tidaknya kejahatan atau pelanggaran kesusilaan.
c. Untuk mengetahui umur seseorang
d. Untuk menentukan kepastian seorang bayi yang meninggal dalam kandungan seorang ibu.
Sanksi perdata berlaku pada kasus seperti keluarga korban menggugat dokter forensik karena hasil autopsi yang keliru menyebabkan kesalahan dalam penyelidikan atau keputusan hukum. Selain itu, kasus seperti dokter forensik memberikan laporan yang salah sehingga seseorang dituduh secara keliru, dan korban menuntut kompensasi. Sanksi perdata yang diberikan biasanya berupa ganti rugi (kompensasi finansial) kepada pihak yang dirugikan. Adapun sanksi pidana berlaku untuk kasus dokter forensik memberikan keterangan palsu di pengadilan (melanggar Pasal 242 KUHP tentang sumpah palsu) dan melakukan autopsi tanpa izin dan melanggar hak pasien atau keluarga (bisa dikenakan Pasal 351 KUHP tentang penganiayaan). Sanksinya berupa pidana penjara, denda, atau hukuman tambahan (misalnya pencabutan izin praktik).
BAB III KESIMPULAN
Secara hukum, dokter forensik memiliki kewajiban untuk bertindak sesuai dengan standar profesi, kode etik kedokteran, serta regulasi yang berlaku. Jika seorang dokter forensik melanggar hukum atau etika dalam menjalankan tugasnya, ia dapat dikenakan sanksi dalam tiga aspek utama: pidana, perdata, dan administratif. Pertama, sanksi pidana dikenakan jika dokter forensik melakukan tindakan yang melanggar hukum pidana, seperti memberikan keterangan palsu, membuka rahasia medis tanpa izin, atau merekayasa hasil autopsi. Hukuman dapat berupa penjara, denda, atau sanksi lainnya sesuai ketentuan KUHP dan KUHAP. Kedua, sanksi perdata diterapkan jika kelalaian atau kesalahan dokter forensik menyebabkan kerugian bagi pihak lain, baik secara materiil maupun immateriil. Dalam hal ini, dokter dapat digugat berdasarkan Pasal 1365 KUHPerdata dan diwajibkan membayar ganti rugi. Ketiga, sanksi administratif diberikan oleh organisasi profesi seperti Ikatan Dokter Indonesia (IDI) atau Majelis Kehormatan Etik Kedokteran (MKEK). Sanksi ini meliputi teguran, pembatasan praktik, atau pencabutan izin praktik dokter jika terjadi pelanggaran etik atau malapraktik.
Sebagai bagian dari sistem peradilan, dokter forensik memiliki tanggung jawab besar dalam menjunjung tinggi keadilan dan kebenaran. Oleh karena itu, mereka harus bekerja secara profesional, objektif, dan berdasarkan bukti ilmiah agar tidak menimbulkan konsekuensi hukum yang merugikan diri sendiri maupun pihak lain.
DAFTAR PUSTAKA
referensi bagian pengantar kedokteran forensik:
1. Widya Iswara, R. A. F., Dewi, R. K., Maulia, S. R., Bagiastra, I. N., Rumancay, S., Rompas, E., Syarifah, M. C., Haryanto, J. I., Alim, D. P., Mallo, N. T. S., Malau, J., Sumino, R., Handayani, V. W., Kusuma, M. S. E., & Purwanti, T.
(2023). Pengantar ilmu kedokteran forensik dan medikolegal. CV. Eureka Media Aksara. ISBN: 978-623-151-307-6.
2. Cox, W. A. (2023) What is Forensic Pathology?. Diakses dari https://www.forensicjournals.com/about/what-is forensic-pathology-and- neuropathology/.
3. Stancu, A. (2022) A History of Medicolegal Death Investigation and Forensic Pathology. Diakses https://www.openaccessgovernment.org/orensic pathology- history/130800/.
4. Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)
5. Purba, O. S. (2020). Peran Ilmu Kedokteran Forensik Dalam Pembuktian Tindak Pidana Penganiayaan. Jurnal Retenrum, 127-133.
6. Yudianto, A. (2020) Ilmu Kedokteran Forensik, Scopindo Media Pustaka.
Scopindo Media Pustaka.
7. Monita, Y., & Wahyudhi, D. (2020) Peranan dokter forensik dalam pembuktian perkara pidana. Universitas Jambi.
8. Hidayat, T. (2020). Penerapan Kode Etik Kedokteran Indonesia Dalam Praktik Kedokteran di Rumah Sakit Universitas Andalas. Tesis Magister Bioetika, Universitas Gadjah Mada.
referensi bagian lain
1. Permenkes RI. (2022). Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2022 Tentang Rekam Medis. Jakarta: Kemenkes RI. Jakarta.
2. Majelis Kehormatan Etik Kedokteran (MKEK). (2012). Kode Etik Kedokteran Indonesia (KODEKI). Jakarta:IDI
3. Karim, Dr., S.H., M.H. (2023).Peranan Hukum Forensik dalam Penegakan Hukum di Indonesia.CV. Jakad Media Publishing.ISBN: 978-623-468-196-3.
4. Marwiyah. (2022). Analysis of legal review of medical information release to ensure the confidentiality of patient identity. Awang Long Law Review, 4(2), 326-330.
5. Karim, Dr., S.H., M.H. (2023).Peranan Hukum Forensik dalam Penegakan Hukum di Indonesia.CV. Jakad Media Publishing.ISBN: 978-623-468-196-3.
6. Ningsih, Tia. (2022). Ilmu Kedokteran Forensik Sebagai Ilmu Bantu Dalam Penegakan Hukum Pidana Di Indonesia. Widya Yuridika. 5. 157.
10.31328/wy.v5i1.2504.
7. Apriliyanto, R. and Enggarsasi, U. (2024) ‘The position of visum et repertum and the legal consequences of refusal of autopsy by the families of crime victims’, 6(3).
8. Sampurna, Budi. Peranan Ilmu Forensik Dalam Penegakan Hukum Sebuah Pengantar, Jakarta. 2008.
Peraturan Perundang-undangan:
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran.
Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan.