• Tidak ada hasil yang ditemukan

Repositori Institusi | Universitas Kristen Satya Wacana: Skill Mismatch: Overeducation dan Horizontal Mismatch pada Karyawan di PT Morich Indo Fashion

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2024

Membagikan "Repositori Institusi | Universitas Kristen Satya Wacana: Skill Mismatch: Overeducation dan Horizontal Mismatch pada Karyawan di PT Morich Indo Fashion"

Copied!
48
0
0

Teks penuh

(1)

1 PENDAHULUAN

Tren angkatan kerja berpendidikan tinggi semakin meningkat di Indonesia. Indonesia saat ini memiliki jumlah angkatan kerja yang besar. Pada bulan Agustus 2022 terdapat 143,72 juta angkatan kerja di Indonesia (BPS 2022). Proporsi pekerja di Indonesia dengan status lulusan pendidikan tinggi mengalami peningkatan dari tahun 2020 hingga 2021 dari yang semula 9,63%

pada Agustus 2020 menjadi 10,18% pada Agustus 2021, setara dengan 13,34 juta pekerja di Indonesia. Hal ini menunjukkan terjadinya suatu perubahan struktur angkatan kerja, di mana jumlah tenaga kerja dengan pendidikan tinggi di Indonesia semakin meningkat (Hasibuan dan Handayani 2021). Namun, angka ini belum sebanding dengan pekerja tamatan pendidikan SD, SMP, SMA, dan SMK. Tercatat, jumlah pekerja lulusan SD ke bawah sebanyak 49,39 juta atau 37,69% (BPS 2021).

Sekretaris Jenderal Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker) menyampaikan kualifikasi pekerjaan perlu disesuaikan dengan kebutuhan kerja (Putri 2023). Ketidaksesuaian atau ketidakcocokan menunjukkan situasi di mana pengetahuan dan keterampilan yang dibutuhkan untuk bekerja secara memadai dalam pekerjaan saat ini lebih tinggi, lebih rendah, atau berbeda sama sekali dari pengetahuan dan keterampilan karyawan (Naguib et al 2019). Ketidaksesuaian mengacu pada kurangnya kecocokan antara keterampilan yang ada di pasar tenaga kerja dan keterampilan yang dibutuhkan (Palmer 2018). Adanya ketidakcocokan ini dapat terjadi ketika tenaga kerja terlatih dalam bidang tertentu, mendapatkan pekerjaan di bidang lain yang tidak sesuai dengan bidang studinya. Kualitas tenaga kerja yang meningkat tanpa diikuti dengan peningkatan permintaan tenaga kerja yang memiliki keterampilan tinggi dapat menyebabkan ketidaksesuaian. Dalam hal ini, ketidaksesuaian yang dimaksud disebut dengan skill mismatch (ILO 2013).

Skill mismatch dapat terjadi secara vertikal maupun horizontal. Skill mismatch secara vertikal merupakan ketidaksesuaian yang dihasilkan dari tenaga kerja yang memiliki kualifikasi pendidikan atau keterampilan yang lebih rendah atau lebih tinggi dari yang dibutuhkan . Sementara itu, skill mismatch secara horziontal disebabkan oleh ketidaksesuaian bidang

(2)

2

akademik, di mana tenaga kerja memiliki keterampilan yang berbeda dengan yang dibutuhkan untuk pekerjaannya (Hasibuan dan Handayani 2021). Skill mismatch secara vertikal di mana tingkat pendidikan yang dimiliki oleh tenaga kerja lebih tinggi daripada tingkat pendidikan yang dibutuhkan oleh pekerjaan dinamakan overeducation (Bian 2020), sebaliknya di mana tingkat pendidikan yang dimiliki lebih rendah daripada tingkat pendidikan yang dibutuhkan oleh pekerjaan dinamakan undereducation (Reis 2017).

Dalam perspektif psikologis, skill mismatch akan berdampak buruk pada kepuasan kerja karena harapan tenaga kerja pada posisi sosial dan jenis pekerjaan tidak terpenuhi seperti yang dipikirkan ketika mereka berinvestasi di pendidikan tinggi (Capsada-Munsech 2017). Adanya ketidaksesuaian dapat menimbulkan dampak negatif pada kepuasan kerja dan menyebabkan tenaga kerja memilih untuk mencari pekerjaan baru yang akhirnya menyebabkan terjadinya perputaran dan kinerja organisasi yang menurun (Pholphirul 2017). Dalam penelitian yang dilakukan di Brazil oleh Reis (2017) terdapat penemuan bahwa tenaga kerja dengan tingkat pendidikan yang lebih tinggi daripada yang dibutuhkan pekerjaannya maka akan mendapatkan kelebihan upah tenaga kerja, sedangkan untuk tenaga kerja yang memiliki tingkat pendidikan rendah akan mendapatkan wage penalty.

Terjadinya suatu skill mismatch di sebuah perusahaan akan berdampak pada produktivitas dari perusahaan tersebut (Fanti, Guarascio, dan Tubiana 2021). Lebih lanjut, Fanti et al (2021) memaparkan bahwa solusi untuk selalu memberikan pelatihan khusus setiap kali karyawan membutuhkan keterampilan baru pada bidang pekerjaannya menjadi tidak efisien apabila keterampilan yang dibutuhkan tergolong unik dan baru. Mempekerjakan karyawan yang sudah memiliki dan menguasai keterampilan tertentu dalam bidang pekerjaannya dinilai lebih efisien karena keterampilan dan produktivitas karyawan merupakan bagian dari pembentuk produktivitas perusahaan. Skills mismatch yang terjadi dalam suatu perusahaan menjadi sebuah isu penting ketika berdampak pada disfungsi operasional perusahaan karena menghambat perusahaan tersebut berkembang (Pasieczny dan Sitnicki 2019). Hal ini dikarenakan adanya asumsi tidak realistis antara tujuan yang ingin dicapai perusahaan dengan alokasi sumber daya yang kurang memadai lalu berimplikasi pada tidak tercapainya tujuan perusahaan.

Dari sudut pandang prospek masa depan perusahaan, skill mismatch terlebih pada fenomena overeducation akan menempatkan karyawan pada situasi penurunan kinerja individu dan perasaan

(3)

3

kompetitif dalam organisasi (Kohnová et al 2020). Penurunan kinerja individu dan perasaan kompetitif disinyalir dengan adanya kehilangan motivasi, kreativitas dan kepuasan atas jabatan dan upah yang diterima (Montt 2017). Keadaan karyawan dalam perusahaan ini berimplikasi pada perspektif karyawan terhadap keterlibatan dan kebahagiaan saat bekerja yang nantinya akan berpengaruh terhadap kualitas kerja karyawan (Arjuni, Priyatama dan Satwika 2019). Hasil dari kemampuan perusahaan yang buruk dengan menempatkan karyawan di tempat yang tidak sesuai akan menyebabkan perusahaan kehilangan kesempatan untuk mendapatkan keberlanjutan pemanfaatan keterampilan karyawan (Kohnová et al 2020).

Isu ketidaksesuaian antara pendidikan dan pekerjaan telah diperbincangkan sejak tahun 1960 (Bian 2020). Namun, di Indonesia isu ini jarang diperhatikan meski angka ketidaksesuaiannya terbilang cukup tinggi. Menurut Menteri Ketenagakerjaan, pada tahun 2017, angka ketidaksesuaian di Indonesia mencapai 67% dan hanya 37% tenaga kerja yang bekerja selaras dengan bidang akademik yang ditempuh (Mardiana 2017). Pada tahun 2018, tenaga kerja di Indonesia yang mengalami keadaan overeducation mencapai angka 27,9% ditambah dengan adanya ketidaksesuaian pekerjaan saat ini dengan bidang akademik yang pernah ditempuh berada di angka 68% (Hasibuan dan Handayani 2021). Melalui penelitian yang dilakukan oleh Prayudhani (2020) dengan menganalisa data dari Sakernas, pada tahun 2019 terdapat 35,4%

tenaga kerja yang memiliki jabatan di bawah kompetensi mereka dari berbagai sektor. Putri dan Febriani (2021) menerangkan data yang diolah dari statistik ILO, bahwa tenaga kerja di Indonesia menempati urutan keempat teratas negara di Asia Tenggara yang mengalami overeducation dengan nilai sebesar 14,4% pada tahun 2019. Hal ini menunjukkan bahwa tidak menutup kemungkinan tenaga kerja berpendidikan tinggi (S1/S2 dan D3) dengan kesempatan bekerja di bidang profesi masuk ke dalam jenis pekerjaan non-profesi (Prayudhani 2020). Meninjau dari data dan fenomena di atas, dapat dilihat jika tenaga kerja di Indonesia memiliki kecenderungan untuk mengalami skills mismatch, dalam hal ini termasuk horizontal mismatch dan overeducation.

Penelitian dari Hasibuan dan Handayani (2021) menunjukkan bahwa skills mismatch memiliki pengaruh terhadap upah yang diterima oleh karyawan. Sumbodo dan Florentine (2014) juga mengungkapkan bahwa skills mismatch dapat memicu stres yang dialami karyawan saat bekerja. Kedua penelitian ini merupakan penelitian dengan menggunakan pendekatan kuantitatif, sehingga hanya melihat kedudukan skills mismatch dengan aspek lain dan tidak melakukan

(4)

4

pendalaman mengenai fenomena tersebut. Penelitian dari Dwiatmadja dan Pravitasmara Dewi (2018) mengungkapkan bahwa pelatihan dapat dilakukan untuk menambah keterampilan karyawan yang mengalami skill mismatch dalam dimensi kesenjangan keterampilan dan belum melihat dari dimensi ketidaksesuaian pendidikan, sehingga peneliti tertarik untuk meneliti topik skills mismatch dalam dimensi ketidaksesuaian pendidikan secara mendalam.

Berdasarkan pengamatan awal peneliti, fenomena skill mismatch juga terjadi di PT Morich Indo Fashion yang bergerak di industri garmen. Terdapat karyawan yang memiliki jenjang pendidikan tinggi tetapi mendapatkan pekerjaan yang tidak sesuai dengan pendidikan yang dimilikinya. Karyawan dengan lulusan pendidikan tinggi (S1 dan D3) mendapatkan pekerjaan sebagai admin di PT Morich Indo Fashion yang seharusnya dimiliki oleh pekerja dengan tingkat pendidikan di bawah D3. Keadaan ini menunjukkan adanya fenomena overeducation di PT Morich Indo Fashion ketika karyawan memiliki tingkat pendidikan lebih dari yang dibutuhkan pekerjaan mereka. Dari pengamatan awal peneliti juga, ditemukan beberapa tenaga kerja yang memiliki ketidaksesuaian antara pendidikan dan pekerjaan saat ini. Tenaga kerja memiliki pendidikan yang tidak linier dengan pendidikan yang mereka tempuh, sehingga menyebabkan ketidaksesuaian antara keterampilan dan pengetahuan dengan deskripsi pekerjaan yang mereka lakukan. Keadaan ini menunjukkan adanya fenomena horizontal mismatch ketika tenaga kerja di PT Morich Indo Fashion bekerja tidak sesuai dengan pendidikan yang mereka tempuh. Pada penelitian yang dilakukan di India oleh Kukreja dan Prateek (2018) ditemukan bahwa terdapat 67,61% pekerja yang bekerja di industri tekstil dan pakaian jadi mengalami educational mismatch dan 68% di antara mereka mengalami overducation. Melihat dari keadaan ini, ketidaksesuaian pendidikan pekerjaan menjadi masalah dalam penelitian ini dan akan dilakukan di PT Morich Indo Fashion yang bergerak di industri garmen untuk melihat keadaan skills mismatch di industri garmen Indonesia.

Dari pemaparan latar belakang di atas terkait dengan skills mismatch, dalam hal ini adalah horizontal mismatch dan overeducation terjadi kecenderungan skills mismatch sehingga perlu adanya eksplorasi kembali mengenai isu ini. Maka persoalan penelitian yang mendasari penelitian ini antara lain: 1) Apa yang menyebabkan terjadinya skills mismatch di PT Morich Indo Fashion?;

2) Apa saja upaya yang dilakukan untuk menanggulangi terjadinya skills mismatch di PT Morich

(5)

5

Indo Fashion?; 3) Apa saja hambatan dari upaya untuk menanggulangi skill mismatch di PT Morich Indo Fashion?

Tujuan dari penelitian ini antara lain: 1) Mengetahui penyebab terjadinya skill mismatch di PT Morich Indo Fashion; 2) Mengetahui upaya yang dilakukan untuk menanggulangi terjadinya skill mismatch di PT Morich Indo Fashion; 3) Mengetahui hambatan dari upaya menanggulangi skill mismatch di PT Morich Indo Fashion.

Manfaat dari dilakukannya penelitian ini, antara lain: 1) Manfaat teoritis, diharapkan bahwasanya penelitian ini dapat memberikan wawasan baru, terkhususnya pada bidang sumber daya manusia dan menjadikan penelitian ini sebagai bahan referensi untuk pengembangan ilmu ke depannya; 2) Manfaat praktis, penelitian ini dapat menjadi pertimbangan bagi perusahaan untuk mengurangi terjadinya ketidaksesuaian antara pendidikan dengan pekerjaan, sehingga kepuasan kerja dan kinerja karyawan dapat meningkat.

KAJIAN LITERATUR Skills Mismatch

Skills mismatch atau ketidakcocokan antara keterampilan dan pekerjaan mengacu pada rendahnya ketidakcocokan antara keterampilan yang tersedia di pasar tenaga kerja dan keterampilan yang dibutuhkan (Palmer 2018). Konsep skills mismatch sangat luas untuk menjelaskan adanya ketidakcocokan yang tidak optimal antara pekerja dan pekerjaan dalam hal keterampilan maupun kualifikasi yang diminta (Vandeplas et al 2019). Ketika keterampilan tidak digunakan secara efektif, maka ketidakcocokan terjadi, dalam hal ini ketika keterampilan yang dimiliki oleh pekerja melebihi atau tidak memenuhi keterampilan yang dibutuhkan di tempat kerja mereka (Perry et al 2014). Ketidakcocokan dalam hal pekerja dapat didefinisikan sebagai ketidakseimbangan dalam sisi permintaan dan penawaran pasar tenaga kerja (Bian 2020).

Ada banyak bentuk dari skills mismatch yang dapat digunakan untuk menjelaskan berbagai kondisi. Ketidakcocokan vertikal menunjukkan situasi di mana individu memiliki kualifikasi yang terlalu tinggi atau terlalu rendah untuk sebuah pekerjaan. Situasi di mana terdapat kekurangan orang yang memiliki keterampilan yang memadai dapat dijelaskan dengan konsep skills gap, skill shortages maupun horizontal mismatch, tergantung dari keadaan masing-masing individu.

(6)

6

Keusangan keterampilan menunjukkan situasi di mana individu sudah memiliki keterampilan yang usang (ILO 2017). Klasifikasi skills mismatch dapat dilihat dalam tabel berikut.

Tabel 1 Klasifikasi Skills Mismatch

Jenis Definisi

Skill shortage Permintaan akan jenis keterampilan tertentu melebihi tenaga kerja yang tersedia dengan keterampilan tersebut.

Skill surplus Pasokan tenaga kerja dengan jenis keterampilan tertentu melebihi permintaan akan keterampilan tersebut.

Skill gap Jenis atau tingkat keterampilan berbeda dengan yang dibutuhkan untuk melakukan pekerjaan.

Horizontal Mismatch (dalam ruang lingkup pendidikan)

Jenis atau ranah pendidikan tidak sesuai dengan pekerjaan.

Over-skilling (under-skilling) Pekerja memiliki kemampuan lebih (kurang) dari yang dibutuhkan oleh pekerjaan.

Overeducation (undereducation) Pekerja memiliki tingkat pendidikan lebih tinggi (rendah) dari yang dibutuhkan oleh pekerjaan

Over-qualification (under- qualification)

Pekerja memiliki kualifikasi lebih tinggi (rendah) dari yang dibutuhkan oleh pekerjaan.

Sumber: ILO (2013)

Dari klasifikasi skills mismatch di atas, dapat terlihat bahwa ketidaksesuaian yang dirasakan oleh tenaga kerja dapat terjadi dalam ruang lingkup pendidikan melalui keberagaman kemampuan maupun motivasi setiap individu (Quang dan Tran-Nam 2019), yang disebut educational mismatch, dalam hal ini termasuk horizontal mismatch dan overeducation (Sitorus dan Wicaksono 2020).

Horizontal Mismatch

Horizontal mismatch dapat diidentifikasikan sebagai kondisi di mana karyawan bekerja tidak sesuai dengan standar keterampilan lulusan pada suatu bidang tertentu (Verhaest et al 2015).

Horizontal mismatch terjadi apabila ada ketidakcocokan antara pendidikan formal dengan

(7)

7

pekerjaan saat ini (Schweri, Eymann, dan Aepli, 2020). Keadaan individu yang berdasarkan bidang studi pendidikannya tidak cocok dengan sifat pekerjaan mereka dapat disebut juga sebagai horizontal mismatch (Suna et al 2020). Horizontal mismatch mengacu pada ketidaksesuaian antara pendidikan dengan pekerjaan saat ini dan merupakan bagian dari educational mismatch (Wardani dan Fatimah 2020).

Faktor penentu terjadinya educational mismatch, dalam hal ini horizontal mismatch dapat dilihat dari adanya ketidaksesuaian bidang studi dan lama durasi dalam menempuh pendidikan (Domadenik et al 2021). Dalam penelitian yang dilakukan oleh Hasibuan dan Handayani (2021) ditemukan bahwa semakin sedikit waktu tempuh mengenyam pendidikan, maka semakin tinggi potensi individu tersebut mengalami horizontal mismatch. Namun, tidak menutup peluang jika horizontal mismatch terjadi pada lulusan yang menempuh pendidikan tinggi (Domadenik et al 2021). Dengan semakin banyak potensi bidang studi yang ditempuh, maka potensi terjadinya horizontal mismatch bagi lulusan pendidikan tinggi semakin besar.

Namun, ketidaksesuaian bidang studi dapat terjadi sejak awal masa pemilihan bidang studi oleh calon lulusan (Suna et al 2020), ketika calon lulusan sudah tidak puas terhadap bidang studi yang dipilih sehingga memilih pekerjaan lain yang sesuai minat. Hal ini berkaitan dengan kesempatan berkarir yang lebih baik sehingga lulusan mengubah minat mereka (Sam 2020). Calon pekerja lebih memilih pekerjaan yang permanen dibandingkan kontrak, meskipun pilihan karir mereka bersifat horizontal (Robert 2014).

Overeducation

Fenomena overeducation dapat terjadi apabila seorang tenaga kerja dianggap terlalu berpendidikan untuk pekerjaan mereka saat ini, yang artinya tenaga kerja tersebut memiliki tingkat pendidikan yang diharapkan dari yang dibutuhkan oleh pekerjaannya (Capsada-Munsech 2017).

Permintaan di pasar tenaga untuk pekerja yang memiliki kualifikasi pendidikan lebih tinggi tidak selalu ada, sehingga pekerja yang memiliki pendidikan lebih tinggi ini terpaksa harus menempati posisi yang lebih rendah dari yang seharusnya (Sánchez-Sánchez dan Fernández Puente 2021).

Overeducation juga dapat dilihat sebagai sebuah konsekuensi dari kurangnya keterampilan yang hanya bisa dikumpulkan melalui pengalaman kerja, terlepas dari tingkat pendidikan kaum muda yang semakin meningkat (Caroleo dan Pastore 2018).

(8)

8

Dalam mengukur overeducation terdapat tiga klasifikasi, yaitu analisis pekerjaan, realisasi kesesuaian dan penilaian diri karyawan (Capsada-Munsech 2019). Analisis pekerjaan dibangun berdasarkan kriteria pada ahli pekerjaan yang menilai syarat atau kriteria pendidikan pada suatu pekerjaan. Realisasi kesesuaian menggunakan pendekatan statistik di mana pekerja yang memiliki tahun pendidikan lebih lama dibandingkan tenaga kerja pada pekerjaan tersebut diklasifikasikan lebih dari satu standar deviasi dibandingkan tenaga kerja pada umumnya. Lalu penilaian diri karyawan menggunakan pendapat pribadi dalam tolak ukur overeducation mengenai kualifikasi pekerjaan yang sesuai dengan tingkat pendidikan mereka.

Overeducation cenderung memberikan dampak negatif pada individu, seperti upah yang rendah dan ketidakpuasan kerja (Meroni dan Vera-Toscano 2017). Dampak dari overeducation juga dapat dirasakan bagi pemberi kerja seperti produktivitas yang rendah (Vandeplas et al 2019) dan keinginan tenaga kerja untuk keluar dari pekerjaan mereka (Sam 2020). Meskipun beberapa studi menunjukkan bahwa overeducation belum tentu mengimplikasikan bahwa seorang individu memiliki keterampilan yang banyak (Sloane dan Mavromaras 2020), tetapi overeducation tetap memiliki efek pada upah, kepuasan kerja serta produktivitas (Sellami et al 2018).

Analisis skills mismatch dalam bidang pendidikan, terlebih overeducation dapat dilihat berdasarkan Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2012 Tentang Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia (KKNI). Terdapat Sembilan jenjang kualifasikasi KKNI melalui jenjang pendidikan.

Tabel 2 Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia

Pendidikan KKNI Jenis Pekerjaan

Pendidikan Dasar (SD, SMP) Jenjang 1 Operator Pendidikan Menengah (SMA/MA/SMK) Jenjang 2 Operator

Diploma I Jenjang 3 Operator

Diploma II Jenjang 4 Teknisi/Analis

Diploma III Jenjang 5 Teknisi/Analis

Diploma IV/Sarjana Terapan/Sarjana Jenjang 6 Teknisi/Analis

Pendidikan Profesi Jenjang 7 atau 8 Ahli

S2/Megister Terapan/Megister Jenjang 8 Ahli

(9)

9

Pendidikan Spesialis Jenjang 8 atau 9 Ahli

S3/Doktor Terapan/Doktor Jenjang 9 Ahli

Sumber: Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2012

Faktor yang Mempengaruhi Terjadinya Skills Mismatch

Ketidakcocokan antara pendidikan dan pekerjaan sering terjadi dalam tingkatan keterampilan (Badillo-Amador dan Vila 2013). Dalam studi yang dilakukan oleh Sitorus dan Wicaksono (2020) ditemukan bahwa terjadinya skill mismatch dikarenakan terbatasnya lapangan pekerjaan yang menampung calon tenaga kerja sesuai dengan kualifikasi mereka. Caroleo dan Pastore (2018) juga berpendapat yang didukung oleh penelitian terdahulu, skills mismatch dapat dipicu oleh latar belakang sosial dan pendidikan individu dalam memilih bidang studi mereka.

Dari sudut pandang pendidikan, skill mismatch dapat terjadi karena kurangnya kualitas pendidikan untuk menyamai kualifikasi calon pekerja untuk sebuah pekerjaan (Reis 2017).

Menurut Spector (2021) kesesuaian pekerjaan dengan karyawan tidak dinilai dari latar belakang pendidikan. Kesesuaian pekerjaan dengan karyawan dapat dilihat dari kesesuaian pengetahuan, keterampilan, kemampuan dan karakteristik lain dengan individu. Terjadinya educational mismatch, dalam hal ini horizontal mismatch dan vertikal mismatch dipicu oleh beberapa faktor, yaitu: 1) Banyaknya individu di pasar tenaga kerja yang menguasai kemampuan pada suatu bidang tertentu, tetapi tawaran pekerjaan yang membutuhkan kemampuan tersebut terbatas; 2) Terbatasnya informasi yang beredar mengenai uraian pekerjaan sehingga lulusan tidak menguasai kemampuan yang diharapkan; 3) Kemampuan yang beragam dari suatu sistem pendidikan (Wardani dan Fatimah 2020). Hal lain yang menjadi pemicu terjadinya horizontal mismatch dikarenakan adanya dinamika pasar yang disebabkan oleh perubahan dalam teknologi dan persaingan secara internasional (Schweri et al., 2020a).

Sitorus dan Wicaksono (2020) mengungkapkan terjadinya tipe skill mismatch overeducation disebabkan oleh terbatasnya kesempatan kerja bagi tenaga kerja yang sudah menempuh pendidikan tinggi. Situasi pasar tenaga kerja, seperti ketersediaan tenaga kerja dan situasi ekonomi juga dapat menjadi penyebab terjadinya overeducation (Diem dan Wolter 2014).

Tuntutan ekonomi dan kepribadian dari seorang individu dapat menjadi pendorong untuk mengambil risiko mengalami overeducation (Abun 2021). Kesempatan kerja yang sedikit

(10)

10

sehingga menyebabkan kelebihan pasokan di pasar tenaga. Hal ini menjadi salah satu pemicu overeducation terjadi (Sánchez-Sánchez dan Fernández Puente 2021).

Upaya untuk Menanggulangi Skills Mismatch

Skills mismatch memiliki implikasi yang luas dalam bidang sosial (Bian 2020) pendidikan dan lapangan pekerjaan, sehingga penanganan skills mismatch perlu dilakukan dari dua sisi.

Bidang pendidikan menjadi penting karena menjadi tempat bagi calon lulusan untuk membangun karakter dan kemampuan sehingga mencapai kompetensi lulusan (Wardani dan Fatimah 2020).

Dalam ranah pendidikan, penting untuk mengadakan fasilitas penyamarataan status lulusan dengan pekerjaan yang tersedia di lapangan kerja (Li et al 2018). Hal ini menyangkut pada perubahan besar-besaran yang perlu dilakukan pemerintah untuk mengubah sistem pendidikan sesuai dengan minat dan bakat siswa (Quang dan Tran-Nam 2019).

Di ranah lapangan pekerjaan, upaya untuk menanggulangi skills mismatch dapat dilihat dari usaha perusahaan, tergantung dengan ketidaksamaan pengetahuan dan kemampuan yang ada.

Ketidaksamaan pengetahuan dan kemampuan yang terjadi dapat diimbangkan melalui transfer pengetahuan dari sesama rekan atau senior di perusahaan (Jyoti dan Rani 2019). Transfer pengetahuan dari rekan kerja maupun senior dapat menjadi dukungan bagi karyawan yang masih menyesuaikan diri di lingkungan kerja (Nadilla 2020). Penyamaan informasi pekerjaan juga dapat dilakukan dengan menempuh pendidikan formal yang sesuai dengan pekerjaan yang ada (Kankaraš, 2021). Dalam menangani ketidaksesuaian kemampuan teknis, maka perusahaan melakukan on-the-job training atau pelatihan (Dwiatmadja dan Pravitasmara Dewi 2018;

Hasibuan dan Handayani 2021). Hal ini dilakukan apabila di dalam melakukan pekerjaan tersebut, karyawan lebih menonjolkan kemampuan teknik dibandingkan analisis.

Dari sisi seorang individu yang mengalami skills mismatch, terlibat atau tidak terlibatnya penawaran diri di pasar tenaga kerja merupakan sebuah keputusan pribadi (Jamalludin 2022). Hal ini menjadi sebuah konsekuensi bagi seorang individu untuk mengalami skill mismatch atau memilih untuk tidak bekerja (Shi dan Wang 2022). Maka bagi individu yang mengambil konsekuensi mengalami skills mismatch, sudah menjadi keharusan bagi mereka untuk mengimbangi keterampilan yang dipunya dan keterampilan yang dibutuhkan di lapangan

(11)

11

pekerjaan (Bischof 2021) dibantu layanan konseling bagi setiap karyawan yang mengalami kesulitan dalam menyesuaikan diri di pekerjaan saat ini dari perusahaan (Bastomi 2019).

Hambatan dalam Menanggulangi Skills Mismatch

Hambatan menanggulangi skills mismatch dalam ranah yang lebih luas melibatkan pemerintah dan tatanan ekonomi, perubahan paragdima besar-besaran adalah hal yang riskan, yang apabila terjadi kegagalan akan menyebabkan ketimpangan ekonomi, kegagalan pembangunan dan memperparah ketimpangan (Mcguinness et al 2017). Keterbatasan dalam studi mengenai skills mismatch juga menjadi penghambat untuk menangani fenoma ini (Di Stasio et al 2016). Sedangkan, dalam ranah lapangan pekerjaannya, melalui upaya yang dilakukan perusahaan tingkat upah yang untuk menangani akan berimplikasi terhadap kepuasaan karyawan dan kinerja karyawan (Sam 2020). Karyawan yang mengalami skills mismatch memiliki kecondongan untuk merasa tidak puas dengan pekerjaan yang mereka dan memilih untuk bekerja sesuai dengan pendidikan yang pernah ditempuh (Zakariya, 2017). Keadaan karyawan yang tidak puas ini akan berujung pada karyawan mencari pekerjaan baru dan meninggalkan pekerjaan mereka saat ini (Pholphirul 2017). Apabila tingkat perputaran karyawan yang dialami tinggi, maka akan menjadi masalah bagi perusahaan tersebut (Susilo et al 2019).

Menurut Dibeh, Fakih dan Marrouch (2019) kondisi skill mismatch, terlebih pada keadaan overeducation dalam bidang pendidikan sosial-ekonomi menyebabkan rendahnya kualitas sumber daya manusia dalam mengembangkan kompetensi praktis. Maka, ketidaksesuaian kemampuan dalam sektor yang menonjolkan keterampilan akan sangat terlihat (Ferrari 2022). Dalam jangka panjang, apabila selalu terjadi skills mismatch dalam sebuah perusahaan dan pelatihan serta pengembangan karyawan terus dilakukan untuk menanggulangi hal tersebut, maka perusahaan akan kehilangan keuntungan dari investasi pekerja (Maltseva 2019). Lebih lanjut, perusahaan akan sulit melakukan pertumbuhan dan ekspansi akibat dari tenaga kerja yang kurang menguasai kompetensi pekerjaan saat ini. Terlebih apabila karyawan tidak meluangkan waktu dan menyisakan biaya untuk mempelajari kompetensi tertentu yang mereka butuhkan (Anlesinya, 2018; Tan, Nguyen, Chandran, dan Tan, 2017).

(12)

12 Kerangka Berpikir

Menurut Sugiyono (2017) kerangka berpikir merupakan sebuah kesatuan dari banyak elemen yang mengungkapkan hubungan antara variabel, disusun dalam teori yang sudah terdeskripsikan yang selanjutkan akan dianalisi dan dijabarkan secara kritis dan sistematis. Lebih lanjut, Sugiyono memaparkan kerangka berpikir adalah sebuah model konseptual mengenai bagaimana setiap teori berhubungan dengan faktor-faktor yang telah didefinisikan sebagai masalah.

Berdasarkan pemarapan di atas, skill mismatch dapat terjadi karena adanya ketidaksetaraan antara permintaan karyawan berkompeten dengan penawaran karyawan yang memiliki kompetensi tidak sesuai terhadap pekerjaannya di pasar tenaga kerja (Vandeplas et al 2019), dalam penelitian ini skill mismatch yang terjadi di PT Morich Indo Fashion, yaitu horizontal mismatch dan overeducation. Fenomena horizontal mismatch dan overeducation ini membawa dampak negatif apabila tidak ditangani (Vera-Toscano et al 2017). Maka upaya penanganan inilah yang perlu ditelaah secara mendalam baik dari sudut pandang penerima kerja dan karyawan (Capsada- Munsech 2017). Dengan adanya upaya yang diterapkan, dampak negatif dari skills mismatch dapat dicegah sehingga mampu mempertahankan kepuasan kerja dan kinerja karyawan (Sam 2020).

Alur berpikir di atas dapat digambarkan secara lebih rinci dengan kerangka berpikir sebagai berikut:

(13)

13

c

Skills Mismatch

Overeducation

Upaya yang dilakukan untuk mengurangi

skill mismatch

Kendala yang dihadapi dalam mengurangi skill mismatch Kebutuhan karyawan

berkompeten sesuai dengan deskripsi pekerjaan

Horizontal Mismatch

Ketersediaan karyawan yang tidak berkompeten sesuai

dengan kebutuhan

Kepuasan dan Kinerja Karyawan Meningkat

Gambar 1 Kerangka Berpikir

(14)

14 METODE PENELITIAN

Jenis Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian eksploratif dengan menggunakan pendekatan kualitatif.

Penelitian eskploratif merupakan penelitian yang bertujuan untuk menggali hubungan sebab- akibat atau hal-hal yang saling mempengaruhi secara mendalam (Arikunto, 2019). Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini merupakan pendekatan kualitatif yang berlandaskan filsafat postpositivisme, di mana penelitian bersifat realistis, sesuai dengan fakta yang ada (Sugiyono, 2017). Melalui pendekatan kualitatif fenomena yang terjadi oleh objek penelitian dapat dipahami secara mendalam dengan menelusuri perilaku, persepsi maupun tindakan yang dijabarkan secara deskriptif dalam bentuk kata-kata dan bahasa (Moleong, 2017). Menurut Hermawan dan Amirullah (2016) pendekatan kualitatif merupakan bentuk pendekatan yang mendeskripsikan sebuah fenomena dengan bentuk kata-kata, bukan menghasilkan angka dan tidak menggunakan berbagai pengukuran.

Unit Analisis dan Satuan Pengamatan

Menurut Morrisan (2017) unit analisis merupakan segala hal yang akan diteliti dengan tujuan untuk mendapatkan penjelasan yang lebih ringkas, biasa disebut dengan unit observasi.

Berdasarkan definisi tersebut, unit analisis dalam penelitian ini adalah PT Morich Indo Fashion, yang beralamat di Jalan Raya Karang Jati Semarang KM 25 Kecamatan Bergas Kabupaten Semarang, Ungaran, Jawa Tengah. PT Morich Indo Fashion didirikan sejak tahun 1990, bergerak di bidang garment sebagai produsen utama.

Satuan pengamatan (unit of observation) adalah satuan unit yang diteliti, diukur atau dikumpulkan dalam sebuah penelitian guna memperoleh data untuk dianalisis (DeCarlo, 2018).

Berdasarkan definisi tersebut, maka satuan pengamatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah karyawan sebagai informan penelitian yang bekerja di PT Morich Indo Fashion. Menurut Moleong (2017) informan penelitian merupakan subyek penelitian yang mengetahui situasi dan kondisi dari permasalahan penelitian dan sumber informasi dari fenomena yang diangkat dalam penelitian. Kresno dan Martha (2017) membagi informan penelitian menjadi tiga, yaitu: 1) Informan kunci; 2) Informan utama; 3) Informan pendukung. Informan kunci merupakan informan

(15)

15

yang mengetahui secara menyeluruh mengenai permasalahan yang diangkat dalam penelitian.

Selain mengetahui permasalahan dalam penelitian, informan kunci juga memahami informasi mengenai informan lain, dalam hal ini informan utama dan informan pendukung. Dalam pendekatan kualitatif, informan utama merupakan pusat dari informasi yang akan dianalisis. Maka dari itu, sebagai informan utama harus mengetahui permasalahan dalam penelitian secara teknis dan detail. Informan penelitian yang terakhir adalah informan pendukung yaitu pemberi informasi pendukung sebagai pelengkap analisis dan pembahasan dalam penelitian. Beberapa kriteria dari informan adalah; 1) Merupakan individu yang aktif dalam satuan pengamatan penelitian; 2) Terlibat dalam satuan pengamatan saat fenomena terjadi dan saat penelitian dilakukan; 3) Memiliki waktu yang memadai; 4) Menyampaikan informasi secara natural.

Teknik Pengumpulan Data

Data yang digunakan dalam penelitian ini merupakan data primer, yaitu data yang bersumber langsung dari pemberi data ke pengumpul data (Sugiyono, 2017). Dalam mengumpulkan data primer, penelitian ini menggunakan metode wawancara. Wawancara adalah sesi tanya jawab atau percakapan yang dilakukan dua orang atau lebih untuk mencapai tujuan tertentu (Moleong, 2017). Wawancara yang dilakukan untuk mengumpulkan data menggunakan jenis wawancara tidak terstruktur maupun terstruktur. Wawancara tidak terstruktur dilakukan untuk membangun pendahuluan dikarenakan belum berpedoman pada pedoman wawancara.

Sedangkan wawancara terstruktur dilakukan untuk mendalami masalah dalam penelitian di mana peneliti dan informan sudah mengetahui dengan pasti hasil wawancara yang diperoleh dengan instrument yang telah disediakan, seperti daftar pertanyaan ataupun instrumen lain (Sugiyono, 2017).

Sebelum melakukan pengumpulan data, peneliti terlebih dahulu melakukan wawancara tidak terstruktur untuk membangun pendahuluan dan mendalami fenomena yang terjadi di satuan pengamatan. Setelah mendalami fenomena, peneliti mencari informan penelitian yang sesuai, membuat pedoman wawancara, lalu menghubungi informan penelitian untuk menyepakati waktu dan tempat wawancara. Selain itu, peneliti juga menyiapkan buku catatan, alat perekam dan alat dokumentasi lainnya untuk mendokumentasikan proses wawancara. Dalam tahap pelaksanaan wawancara, peneliti akan menjalin komunikasi dengan informan untuk melancarkan proses

(16)

16

wawancara dan pengumpulan data. Setelah itu data akan dikumpulkan kemudian dianalisis hingga menemukan hasil penelitian. Hasil penelitian akan dibahas dan akan ditarik kesimpulan dari pembahasan tersebut hingga peneliti akan mengungkapkan beberapa saran.

Teknik Analisis Data

Teknik analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah model Miles dan Huberman, yang menjadi beberapa aktivitas analisis data, yaitu; 1) Data reduction, yaitu merangkum data yang didapat di lapangan dan memilih hal-hal pokok yang menjadi fokus dan pokok dari informasi yang sedang dikomunikasikan; 2) Data display, data yang sebelumnya sudah dirangkum kemudian akan disajikan secara rinci dan terorganisasi sehingga mudah untuk dipahami. Penyajian data dapat berupa teks naratif, tabel, grafik atau matriks; 3) Conclusion/drawing, penarikan kesimpulan di mana peneliti dapat melihat apakah persoalan dalam penelitian dapat terjawab atau tidak. Dalam teknik tersebut, peneliti melakukan analisis data pada saat pengumpulan data sedang berlangsung, yang artinya pada saat melakukan wawancara peneliti sudah melakukan analisis terhadap jawaban yang diberikan dari narasumber, sehingga apabila peneliti merasa belum memperoleh jawaban yang memuaskan maka peneliti berhak melanjutkan pertanyaan guna memperoleh data yang kredibel (Sugiyono, 2017).

(17)

17 HASIL DAN PEMBAHASAN

Deskripsi Informan

Melalui penelitian yang dilakukan pada Mei hingga Juni 2023, peneliti melakukan wawancara bersama empat informan, dengan dua informan merupakan HRD dan dua informan merupakan karyawan PT Morich Indo Fashion, dengan profil sebagai berikut:

Tabel 3 Informasi Informan

Nama Kode Informan

Lama Bekerja

Posisi Latar Belakang Pendidikan

Kesesuaian

Pendidikan/Tingkat Pendidikan dengan Pekerjaan

YB A 30

tahun

HRD S1 Keguruan Pendidikan Tidak sesuai

DY B 5 tahun HRD S1 Pendidikan Non

Formal

Pendidikan Tidak sesuai

SN C 1 bulan Assistant

HRD

S1 Gizi Pendidikan Tidak Sesuai

ND D 4 bulan Staff

Administrasi

S1 Hukum Pendidikan dan Tingkat Pendidikan Tidak Sesuai

Berdasarkan penjabaran data di atas, maka dapat diketahui bahwa di PT Morich Indo Fashion terjadi kecenderungan karyawan mengalami skills mismatch dalam dimensi ketidaksesuaian ketidaksesuaian antara latar belakang pendidikan formal dengan pekerjaan.

Empat dari empat atau 100% karyawan dalam penelitian ini mengalami horizontal mismatch, sedangkan satu dari empat atau 25% karyawan dalam penelitian ini mengalami overeducation.

Keadaan ini selaras dengan fenomena yang terjadi di Indonesia dengan data yang menunjukkan bahwa tenaga kerja lebih cenderung mengalami ketidaksesuaian pekerjaan dengan pendidikan formal dibandingkan overeducation

(18)

18 .

Faktor Penyebab Terjadinya Skills Mismatch di PT Morich Indo Fashion

Berdasarkan hasil wawancara, peneliti menemukan beberapa faktor yang dapat smenyebabkan terjadinya skills mismatch di PT Morich Indo Fashion, dalam hal ini adalah overeducation dan horizontal mismatch. Beberapa faktor berikut akan dijabarkan sebagai berikut.

Faktor dari perusahaan, bagi PT Morich Indo Fashion, ketika merekrut karyawan baru, selama karyawan dapat memenuhi kebutuhan perusahaan, maka latar belakang pendidikan tidak menjadi masalah. Hal ini sesuai dengan pemaparan dari Informan B, yang menyatakan bahwa:

Biasanya terjadi dua hal, yang pertama karyawan tersebut melamar sesuai dengan pengalaman yang merek miliki, kedua karyawan tersebut masih fresh graduate lalu melamar di bidang pekerjaan yang tidak membutuhkan seorang ahli dalam pekerjaan tersebut, pekerjaan tersebut masih dapat dipelajari. Jadi, merekrut orang berdasarkan bidang studi tidak menjadi masalah.”

Dari pemaparan Informan B di atas, dapat dipahami bahwa di PT Morich Indo Fashion tidak semua pekerjaan harus relevan dengan bidang pendidikan yang pernah ditempuh oleh karyawan sebelumnya. Selama karyawan tersebut memiliki pengalaman yang mendukung untuk menjalani pekerjaan mereka atau selama pekerjaan tersebut dapat diisi oleh orang yang tidak harus ahli dalam bidang tersebut dan kebutuhan perusahaan akan pekerjaan bisa terpenuhi. Artinya, selama segala hal yang berkaitan dalam pekerjaan tersebut masih dapat dipelajari, maka karyawan yang memiliki latar belakang bidang pendidikan yang berbeda tidak akan menjadi masalah.

Pernyataan dari Informan B juga sejalan dengan apa yang diungkapkan oleh Informan A:

“Kadang terjadi karena recruiter menilai pekerjaan itu tidak begitu penting, seperti misalkan assistant. Untuk beberapa bidang, masih dapat dipelajari, jadi sepertinya tidak begitu dipermasalahkan.”

Lebih lanjut lagi, informan A juga menambahkan:

“Pendidikan penting untuk beberapa pekerjaan tertentu, tapi tidak semua Karena sebenarnya karyawan yang akan masuk juga melewati test IQ dan tertulis, jadi kalau karyawan tersebut lolos dengan skor yang tinggi atau sesuai kriteria, karyawan itu bisa kita ambil. Kita juga menilai kecocokan kepribadian orang tersebut dengan pekerjaan yang mereka lamar, jadi bukan hanya sekadar pengetahuannya saja.”

(19)

19

Perusahaan menilai kepribadian, mental dan soft kill yang dimiliki oleh karyawan yang melamar di perusahaan mereka, hingga dapat lolos dari proses perekrutan yang dilakukan oleh perusahaan. Karakter karyawan menjadi poin yang lebih penting dibandingkan bidang pendidikan maupun tingkat pendidikan karyawan. Selama proses perekrutan karyawan, para rekruiter menilai kecocokan karyawan dengan posisi yang dilamar, budaya yang dibawa apabila calon karyawan tersebut berasal dari perusahaan lain dan kemampuan pemecahan masalah yang dimiliki oleh karyawan. Meskipun dalam beberapa posisi tertentu, pendidikan menjadi poin penting, seperti dalam Departement Human Resource, di mana beberapa posisi mendahulukan karyawan yang memiliki latar belakang pendidikan Psikologi, tetapi apabila calon karyawan tersebut didukung dengan pengalaman atau sertifikasi kompetensi, maka bidang pendidikan dan tingkat pendidikan tidak menjadi penghalang perusahaan merekrut karyawan.

Hal lain yang juga diungkapkan oleh informan A mengenai faktor yang mendorong perusahaan untuk merekrut karyawan dari latar belakang yang tidak relevan adalah kemampuan tertentu yang mereka miliki. Informan A mengungkapkan:

“Perusahaan butuh orang yang punya kemampuan menjahit. Tidak banyak orang yang bisa menjahit sekarang, jadi apabila terdapat pelamar yang memiliki kemampuan tersebut, meski (pendidikan atau bidang) pendidikan tidak relevan, perusahaan dapat memutuskan untuk merekrut mereka.”

Melalui pernyataan yang diungkapkan oleh informan A, dapat dilihat bahwa perusahaan mempertimbangkan kemampuan yang tersebar di pasar tenaga kerja saat ini. Perusahaan memerlukan kemampuan tertentu yang tidak banyak dimiliki oleh tenaga kerja, sehingga akan merekrut tenaga kerja tersebut meskipun memiliki latar belakang pendidikan yang tidak sesuai.

Faktor dari individu, karyawan yang mengalami skills mismatch dalam hal ini adalah horizontal mismatch dan overeducation memiliki kecenderungan yang tinggi di PT Morich Indo Fashion. Hal ini diungkapkan oleh Informan A, bahwa:

“Hampir selalu terjadi skills mismatch di perusahaan setiap kali ada karyawan yang masuk, seperti pada karyawan yang melamar berangkat dari pengalaman yang mereka miliki ataupun pada karyawan fresh graduate.”

Berdasarkan informasi dari Informan A, kecenderungan skills mismatch terjadi pada karyawan yang baru lulus dari menempuh pendidikan atau karyawan yang melamar pada pekerjaan tertentu dengan berlatarbelakangkan pengalaman. Hal tersebut didorong karena sulitnya

(20)

20

para pencari kerja untuk mendapatkan pekerjaan sehingga akan menerima pekerjaan apa saja yang ditawarkan pada mereka meskipun terhalang dengan pengetahuan yang mereka miliki mengenai pekerjaan tersebut. Keadaan ini dipaparkan oleh Informan C, seperti:

“Selama saya mencari kerja sejak lulus kuliah, saya belum menemukan lowongan pekerjaan sesuai dengan bidang yang saya inginkan, yaitu bidang pendidikan saya sebelumnya. Jadi, mau tidak mau, saya mencoba untuk mengeksplorasi bidang lain.”

Melalui pernyataan informan C tersebut, dapat dipahami bahwa kesempatan kerja yang terbatas pada bidang pendidikan tertentu menyebabkan para pencari kerja terpaksa untuk bekerja tidak sesuai dengan bidang pendidikan yang sudah mereka tempuh, meskipun bidang studi yang telah dipelajari tersebut masih relevan pada masa kini. Keadaan ini menyebabkan tenaga kerja dengan kompetensi tersebut mau tidak mau mencari peluang kerja dengan kompetensi lain yang tidak mereka miliki.

Selain keadaan lapangan kerja yang memaksa karyawan untuk bekerja tidak pada bidang yang mereka kuasai, faktor dari kebutuhan karyawan juga diperhitungkan dalam keputusan tersebut. Hal ini dinyatakan oleh informan D, sebagai berikut:

Di sini saya kerja untuk mencari pengalaman kerja pertama saya. Saat ini pelamar membutuhkan pengalaman kerja.”

Informan D juga menambahkan:

“Saya pribadi tidak takut untuk keluar dari zona nyaman saya. Jadi, menurut saya, kerja tidak sesuai dengan pendidikan sebelumnya dapat menjadi tantangan tersendiri. Meskipun saya sudah S1, pada akhirnya yang saya terima adalah pengalamannya.”

Dari hal yang diungkapkan oleh informan D, bahwa kurangnya pengalaman untuk menempuh jenjang karir yang lebih tinggi menjadikan karyawan lebih memilih untuk memulai karir dari pekerjaan yang tidak sesuai dengan tingkat pendidikan mereka. Hal ini terjadi karena kebutuhan karyawan untuk memenuhi kualifikasi yang tertera dalam permintaan kerja dari beberapa perusahaan. Alasan lain yang menjadikan karyawan memilih untuk bekerja dengan tingkat pendidikan yang tidak sesuai adalah karena karakter dari karyawan yang menyukai tantangan, sehingga tidak menjadikan bekerja dengan tingkat pendidikan yang lebih tinggi sebuah masalah.

(21)

21

Melalui penjabaran dari informan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya skills mismatch dapat disajikan melalui tabel berikut.

Tabel 4 Faktor yang Mempengaruhi Skills Mismatch

No. Faktor Keterangan

1. Keputusan perusahaan Ketika merekrut karyawan, perusahaan tidak menilai dari latar belakang pendidikan, tetapi dari karakter karyawan 2. Keadaan pasar tenaga kerja Lapangan pekerjaan dan keterampilan tertentu terbatas di

pasar tenaga kerja 3. Kebutuhan dan karakter

karyawan

Karyawan membutuhkan pengalaman dalam pemenuhan kualifikasi kerja serta sikap karyawan yang mendorong untuk bekerja tidak sesuai dengan pendidikan mereka

Berdasarkan hasil wawancara dapat diketahui bahwa salah satu penyebab terjadinya skills mismatch adalah berasal dari perusahaan sendiri. Perusahaan menilai bahwa latar belakang pendidikan menjadi penting dalam beberapa pekerjaan tertentu yang memerlukan pengetahuan dan keterampilan khusus. Namun, di luar dari pada itu, ketidaksesuaian latar belakang pendidikan dan bidang pekerjaan tidak menjadi penghalang bagi perusahaan untuk merekrut karyawan.

Perusahaan meyakini bahwa beberapa bidang pekerjaan dapat dipelajari tanpa ada penempuhan pendidikan formal sebelumnya. Keadaan ini sesuai dengan konsep yang diungkapkan oleh Spector (2021) bahwa kesesuaian pekerjaan dengan seorang individu dapat dilihat dari pengetahuan (knowledge), keterampilan (skill), kemampuan (ability) dan karakteristik lainnya (others) atau konsep KSAO. Pengetahuan merupakan sejauh apa individu tersebut mengetahui bidang pekerjaannya, keterampilan merupakan semahir apa individu melakukan pekerjaan tersebut, kemampuan merupakan seberapa dalam individu tersebut dapat mempelajari pengetahuan dan keterampilan pekerjaannya, kemudian karakteristik lainnya merupakan hal lain yang dibutuhkan perusahaan untuk memenuhi pekerjaan tersebut, seperti kepribadian, sikap atau sifat dari individu.

Mengidentifikasi kesesuaian pekerjaan dengan individu dapat dimulai dari mengetahui KSAO pekerjaan yang bersangkutan dan menganalisa KSAO yang dimiliki calon karyawan. Keputusan

(22)

22

dapat diambil berdasarkan pemilihan orang-orang yang memiliki kecocokan KSAO terbaik untuk pekerjaan atau situasi tertentu tanpa melihat latar belakang dari calon pekerjaan.

Perusahaan lebih mempertimbangkan pemenuhan kebutuhan perusahaan atas tanggung jawab karyawan baru, di mana perusahaan menilai kecocokan karakteristik karyawan dengan meyakini bahwa pekerjaan tersebut dapat dipelajari. Dalam hal ini, perusahaan meyakini bahwa pengetahuan, keterampilan dan kemampuan karyawan dapat diasah sembari bekerja. Perusahaan lebih menilai kecocokan kepribadian, sifat dan sikap yang dimiliki oleh karyawan dengan pekerjaan mereka dibandingkan latar belakang pendidikan. Sifat, sikap, kemampuan karyawan dalam menyelesaikan pekerjaan, kepribadian, keinginan ingin berkembang semua hal ini digolongkan dalam bakat (Dahshan, Keshk, dan Dorgham 2018). Penting bagi perusahaan untuk merekrut karyawan yang berbakat dapat mencapai tujuan organisasi dengan kinerja yang baik dan mereka memiliki komitmen yang lebih besar terhadap organisasi karena mereka sangat termotivasi untuk melakukan tugas-tugas mereka, yang pada akhirnya memberikan keunggulan kompetitif yang signifikan, serta peningkatan produktivitas dan profitabilitas (Aina dan Atan 2020).

Pandangan ini memberikan pengertian bahwa bakat menjadi sebuah sumber daya bagi perusahaan yang memberikan dampak positif dengan memprioritaskan perekrutan, retensi dan kompensasi bagi karyawan berdasarkan kinerja baik yang diberikan kepada perusahaan (McDonnell et al 2017).

Apabila dilihat dari sisi karyawan yang mengalami skills mismatch, faktor eksternal dari kondisi pasar tenaga kerja memaksa para karyawan untuk mengambil pekerjaan yang bukan pada bidang mereka. Hal ini sejalan dengan apa yang dipaparkan oleh Wardani dan Fatimah (2020) dan Sitorus dan Wicaksono (2020) yang mengatakan bahwa salah satu penyebab terjadi skills mismatch karyawan adalah terbatasnya lapangan kerja pada suatu bidang dengan kompetensi tertentu. Keadaan ini menyebabkan tenaga kerja dengan kompetensi tertentu mau tidak mau mencari peluang kerja dengan kompetensi lain yang tidak mereka miliki. Seiring dengan berkembangnya pasar tenaga kerja, maka kemampuan dan keterampilan baru terus bertambah (Schweri, Eymann, dan Aepli, 2020). Lebih lanjut, keadaan ini mengakibatkan adanya keterampilan lama yang sudah usang dan tidak dibutuhkan oleh perusahaan, tetapi masih tersebar di pasar tenaga kerja. Keterampilan turut berkembang mengikuti pergerakan perubahan teknologi (Alam et al 2020). Maka pembaharuan kemampuan dan keterampilan yang lebih spesifik dan

(23)

23

sesuai dengan kualifikasi pekerjaan diperlukan agar dapat dipahami dengan jelas di di pasar tenaga kerja (Sloane dan Mavromaras, 2020; Schweri et al., 2020). Keadaan ini berindikasi pada keadaan lain yang dialami perusahaan ketika memutuskan untuk merekrut karyawan dengan bidang pendidikan dan tingkat pendidikan yang tidak sesuai adalah keterampilan yang dibutuhkan oleh perusahaan terbatas di pasar tenaga kerja. Hal ini sejalan dengan apa yang diungkapkan oleh Wardani dan Fatimah (2020) di mana terjadi ketidakseimbangan keterampilan yang dibutuhkan dan keterampilan yang tersedia karena keterampilan menyebar tidak merata. Hal ini diindikasikan bahwa sebagian besar keterampilan yang ada di pasar tenaga tidak dimanfaatkan dengan sempurna (Maltseva 2019). Tenaga kerja yang tersedia rentan memiliki keterampilan yang belum siap untuk masuk ke dalam pasar tenaga kerja meskipun sudah menempuh pendidikan tinggi (Lindsay et al 2015). Keadaan inilah yang mendorong perusahaan untuk merekrut karyawan yang sudah memiliki keterampilan yang dibutuhkan perusahaan walaupun memiliki bidang studi yang tidak sesuai.

Faktor lain yang menjadi penyebab terjadinya skills mismatch adalah kebutuhan karyawan untuk memenuhi kualifikasi pekerjaan di masa kini dengan memiliki pengalaman kerja. Ketika menempuh masa pendidikan, karyawan tidak memiliki persiapan karir yang matang sehingga memerlukan pengalaman bekerja untuk memenuhi kualifikasi tertentu. Melalui studi yang dilakukan oleh Kinash et al (2016) menunjukkan bahwa sekitar 87% rekruiter memilih pelamar yang memiliki pengalaman bekerja. Keadaan ini menyebabkan karyawan memulai karir dari tingkat pekerjaan yang tidak sesuai dengan tingkat pendidikan mereka yang seharusnya untuk menambah pengalaman kerja. Pengalaman kerja sangat dibutuhkan untuk meningkatkan efektifitas sumber daya manusia perusahaan, dan tujuannya adalah untuk memberikan pekerjaan yang praktis bagi perusahaan dan sebagai sarana untuk meningkatkan produktifitas kerja bagi tenaga kerja (Dewi 2021). Melalui sudut pandang rekruiter, terdapat nilai yang berbeda dari calon karyawan yang sebelumnya memiliki pengalaman dengan calon karyawan yang tidak memilki pengalaman kerja dalam menerapkan kemampuan seperti komunikasi, kepemimpinan dan kreativitas ke pekerjaan (Irwin, Nordmann, dan Simms 2019). Kurangnya kualifikasi bagi lulusan baru untuk menempuh karir yang setara dengan kualifikasi sebuah pekerjaan menjadi penanda bahwa kualitas pendidikan yang diberikan kepada calon lulusan masih belum memadai (Reis, 2017). Kualitas pendidikan yang kurang memadai ini menjadikan lulusan dengan tingkat

(24)

24

pendidikan tertentu mengambil pekerjaan yang seharusnya ditujukan kepada tingkat pendidikan yang lebih rendah agar tetap memperoleh pekerjaan (Badillo-Amador dan Vila, 2013).

Keadaan eksternal yang dialami oleh karyawan di pasar tenaga kerja menuntut karyawan yang mengalami skills mismatch untuk memiliki sikap kerja yang penuh semangat dan positif, sehingga karyawan berani mengambil risiko dengan mengalami skills mismatch. Sikap yang menyukai tantangan ini membawa individu untuk mengembangkan pengetahuan dan keterampilan yang dapat membantu mereka untuk mengelola tujuan pada tingkat yang lebih tinggi dan meningkatkan kepuasan serta motivasi kerja, sehingga meningkatkan kinerja mereka di tempat kerja (Ingusci et al 2019). Dengan sikap yang dimiliki oleh karyawan ini menyebabkan karyawan berani mengambil tindakan dalam mencapai tujuan yang mereka rencanakan sebagai acuan untuk berkembang (Abun et al 2021) meski dalam hal ini karyawan harus mengalami skills mismatch dengan tingkat pendidikan yang tidak sesuai.

Upaya Perusahaan untuk Menanggulangi Skills Mismatch

Di PT Morich Indo Fashion, penyesuaian karyawan dilakukan dengan adanya mentoring dari setiap mentor di mana karyawan tersebut ditempatkan. Mentoring tidak hanya dilakukan pada karyawan yang mengalami skills mismatch, tetapi pada setiap karyawan yang baru ditempatkan di perusahaan. Hal ini diungkapkan oleh informan B, yaitu:

“Penyesuaian itu perlu untuk semua karyawan yang baru masuk. Entah itu karyawan yang sudah pengalaman atau belum tetap diberikan penyesuaian untuk menjelaskan alur kerja di sini itu bagaimana, jangan sampai kebiasaan yang mereka miliki terbawa sampai ke sini.”

Melalui pernyataan informan B tersebut, banyak hal yang perlu disesuaikan bagi karyawan untuk memulai pekerjaan mereka di PT Morich Indo Fashion, maka dari itu mentoring dilakukan untuk menyesuaikan pengetahuan, kebudayaan yang dibawa dari tempat kerja lama dan cara karyawan bekerja di PT Morich Indo Fashion. Pernyataan dari informan B ini didukung oleh informan C dan Informan D.

Informan C mengatakan bahwa:

“Saya di sini ada mentor yang membantu saya bekerja, belum ada pelatihan khusus, tetapi saya diberikan arahan ketika bekerja.. Seperti belajar sembari menyelesaikan pekerjaannya.”

(25)

25 Demikian pula informan D mengatakan:

Awalnya semua pasti mengalami kebingungan, tapi di sini diberikan mentor yang memberitahu dan mengajari apabila kita tidak tahu waktu. Seiring berjalannya waktu jadi terbiasa hingga bisa.”

Selama melakukan masa penyesuaian, karyawan baru akan diberikan tugas sesuai dengan deskripsi pekerjaan saat ini. Dalam menyelesaikan pekerjaan tersebut, karyawan baru akan selalu dibimbing dan diawasi oleh mentor yang sudah ditugaskan. Karyawan akan melewati proses dari tidak bisa sampai menjadi bisa dan terbiasa untuk melakukan pekerjaan tersebut, sehingga mereka dapat menyelesaikan dan bertanggung jawab atas pekerjaan tersebut sendiri.

Setiap karyawan yang baru saja menyesuaikan diri dengan pekerjaan mereka didukung dengan lingkungan kerja yang baik. Apabila terjadi kesalahan dalam pekerjaan tertentu, maka mentor atau karyawan lain yang berada dalam kelompok akan membantu untuk memperbaiki hal tersebut, seperti apa yang dikatakan oleh informan C:

“Teman-teman di sini saling membantu, jadi saya merasa tertolong. Apabila ada yang salah atau keliru, pasti langsung ditegur.”

Dari pernyataan Informan C tersebut, dapat dipahami bahwa selama masa penyesuaian, dibutuhkan dukungan dari rekan kerja untuk mengatasi masalah-masalah yang ditimbulkan.

Rekan kerja dapat berperan menjadi pendukung dan pemberi masukan serta membantu memberikan penyelesaian yang tepat apabila diperlukan. Bagi karyawan yang sebelumnya tidak menguasai bidang pekerjaannya karena beberapa faktor, salah satunya skills mismatch, bimbingan dari mentor ataupun rekan kerja yang sudah berpengalaman akan membantu masa penyesuaian karyawan.

Sama halnya dengan mentoring, pelatihan dan pengembangan karyawan khusus untuk hard skills yang dilakukan oleh perusahaan diarahkan kepada seluruh karyawan, bukan hanya karyawan yang mengalami skills mismatch. Hal ini dijabarkan oleh informan A yang menyatakan bahwa:

Untuk hal-hal tertentu, perusahaan akan mengadakan pelatihan-pelatihan guna mengasah hard skill. Seperti misalkan menjahit. Menjahit itu tidak semua orang bisa, tapi apabila karyawan dituntut untuk bisa menjahit, maka perusahaan memberikan ruang untuk karyawan belajar menjahit. Di sini kita ada tempat khusus untuk karyawan yang di bagian sewing, jika belum bisa menjahit, kita latih dulu untuk menjahit.”

(26)

26

Di PT Morich Indo Fashion yang bergerak dalam bidang industri garment akan menyediakan pelatihan khusus untuk karyawan yang bekerja dalam bidang produksi, khususnya dalam bidang menjahit. Pelatihan dilakukan di waktu khusus sebelum memulai masa kerja bagi karyawan yang sebelumnya tidak memiliki keterampilan menjahit, tetapi mau belajar dan berkembang sehingga menjadi terbiasa dalam bidang pekerjaan mereka. Pelatihan ini tidak dikhususkan pada karyawan yang mengalami skills mismatch dalam bidang pendidikan saja, tetapi bagi karyawan yang juga belum menguasai keterampilan tertentu.

Dalam kasus tertentu, bagi karyawan yang mengalami overeducation, perusahaan akan menyediakan kesempatan bagi karyawan untuk melanjutkan pendidikan dengan dukungan dari perusahaan selama bekerja. Keadaan ini disampaikan oleh informan B demikian:

Terkadang ada karyawan yang sebelumnya tidak menempuh bidang pendidikan tersebut dan setelah bekerja, mereka ingin mempelajari lebih lanjut tentang bidang pekerjaannya, maka perusahaan memberikan kesempatan untuk karyawan tersebut melanjutkan pendidikan di bidang tersebut.”

Pernyataan informan B ini turut didukung oleh informan A yang menyampaikan:

Sebenarnya, ini tergantung dari karyawannya sendiri. Jika perusahaan melihat potensi yang ada dalam karyawan itu, maka kita bisa kirim untuk belajar lebih lanjut, tidak memandang latar belakang pendidikannya, entah sebelumnya tidak relevan atau tidak ada pengalaman. Jika kinerjanya bagus, dapat diberikan promosi.”

Melalui pernyataan informan A dan informan B di atas, karyawan yang mengalami skills mismatch memiliki peluang yang sama dengan karyawan lain untuk mendapatkan kesempatan bekerja dan mendapati jenjang karir yang lebih tinggi. Perusahaan akan memberikan dukungan berupa kesempatan untuk mendapatkan pendidikan sesuai dengan bidang pekerjaan mereka dan memberikan promosi apabila kinerja yang diberikan oleh karyawan tersebut baik.

Selain kesempatan bekerja, perusahaan juga memberikan dukungan moral bagi karyawan yang merasa kinerja yang mereka berikan tidak sesuai dengan harapan perusahaan. Dalam hal ini, bukan hanya bagi karyawan yang mengalami skills mismatch dan sulit menyesuaikan diri, tetapi juga bagi karyawan yang memiliki masalah dan menghambat kinerja mereka, seperti apa yang dinyatakan oleh informan A:

“Kita menganalisa dulu masalah yang dihadapi oleh karyawan tersebut berasal dari mana, dari internal atau perusahaan. Jika itu dari perusahaan, kita ada HR Consultant untuk membantu karyawan.”

(27)

27

Melalui pernyataan dari informan A tersebut, dapat diketahui bahwa perusahaan memberikan konsultasi one on one bagi karyawan yang mengalami kesulitan selama bekerja bersama HR Consultant. Melalui konsultasi ini, karyawan dapat menceritakan masalah yang dihadapi dan diberikan solusi untuk mengatasi masalah tersebut.

Di luar dari usaha yang dilakukan oleh perusahaan untuk menanggulangi keadaan karyawan yang mengalami skills mismatch, karyawan sendiri dapat mengimbangi kemampuan yang mereka perlukan untuk menyelesaikan pekerjaan yang telah diberikan. Hal ini diungkap oleh Informan D, yaitu:

“Sebenarnya ada di sini saya butuh kemampuan berbahasa, khususnya Bahasa Inggris untuk bisa menjangkau lingkup pekerjaan yang lebih luas, tetapi perusahaan tidak memberikan pelatihan untuk hal-hal seperti itu, sehingga saya belajar sendiri.”

Pernyataan dari informan D ini juga sejalan dengan apa yang Informan A ungkapkan:

Dulu saya sebelum bekerja di posisi HR, saya juga tidak tahu apa-apa.. Jadi saya cari pengetahuan di luar, mengikuti kursus atau sertifikasi, perusahaan tidak selalu memberikan pelatihan untuk semua karyawan.”

Perusahaan menyadari keterbatasan yang mereka miliki untuk menanggulangi masalah yang dihadapi oleh karyawan, oleh sebab itu perusahaan mengharapkan bagi setiap karyawan untuk memenuhi kebutuhan pribadi mereka. Untuk menyesuaikan keterampilan ataupun kemampuan yang diperlukan untuk menyelesaikan pekerjaan yang ada, karyawan akan mengambil waktu untuk kursus di luar perusahaan dengan menyesuaikan jadwal pekerjaan. Dalam hal ini, karyawan memahami keadaan mereka dan berusaha untuk mengembangkan diri dengan terbuka terhadap ilmu baru yang sebelumnya tidak mereka dapati selama menempuh pendidikan.

Melalui penjabaran dari informan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa upaya untuk menanggulangi skills mismatch di PT Morich dapat dijabarkan melalui tabel berikut.

Tabel 5 Upaya untuk Menanggulangi Skills Mismacth

No Faktor Upaya Keterangan

1. Keputusan perusahaan Mentoring Perusahaan memberikan mentor untuk mendampingi karyawan selama masa penyesuaian

(28)

28

Kesempatan belajar Perusahaan memberikan kesempatan untuk menempuh pendidikan formal di bidang pekerjaan saat ini bagi karyawan yang berpotensi

2. Keadaan pasar tenaga kerja

Pelatihan Perusahaan mengadakan pelatihan dan pengembangan hard skills yang dibutuhkan untuk karyawan

Mengembangkan kemampuan di luar perusahaan

Karyawan mengimbangi kemampuan yang dimiliki dengan mengikuti kursus atau pendidikan non-formal di luar perusahaan

3. Kebutuhan dan karakter karyawan

Konseling Perusahaan mengadakan konseling one-on-one bagi karyawan yang merasa kesulitan menyesuaikan diri Membangun kerja

sama tim yang baik

Dukungan yang diberikan dari rekan kerja untuk mengatasi masalah yang dialami selama masa penyesuaian.

Keadaan tidak ideal yang muncul akibat dari faktor-faktor penyebab terjadinya skills mismatch menyebabkan adanya celah antara kepentingan pengetahuan dan keterampilan atau kesesuaian langsung bakat dan penggunaan keterampilan untuk sebuah pekerjaan (Pellizzari dan Fichen 2017). Kecondongan perusahaan untuk melihat kesesuaian langsung bakat dari karyawan dibandingkan pengetahuan mengarah kepada kurangnya pengetahuan yang dimiliki oleh karyawan terhadap pekerjaan tersebut. Ketidaksesuaian yang dialami oleh karyawan ketika masuk ke perusahaan menuntut karyawan untuk beradaptasi dengan cepat selama masa penyesuaian berlangsung. Agar karyawan dapat menyesuaikan diri dengan baik terhadap pekerjaan yang diberikan, perusahaan melakukan mentoring dalam kurung waktu tertentu agar karyawan dapat mempelajari keterampilan dan kemampuan yang dibutuhkan. Dalam perspektif mentoring tradisional, mentoring memasangkan karyawan senior dan junior menjadi rekan dan memandu karyawan junior untuk mencapai kemajuan karir dan kesiapan psikologis dalam bekerja (Mullen dan Klimaiti 2021). Mentoring memberikan dampak positif untuk karyawan dapat bertahan dikarenakan adanya dukungan emosional berkelanjutan, bimbingan, konseling, peluang pengembangan pribadi dan profesional yang ditawarkan oleh para mentor, yang membangkitkan

(29)

29

niat untuk terus berkembang (Naim dan Lenka 2017). Mentoring merupakan proses di mana orang-orang dengan pangkat/keahlian yang lebih tinggi menginstruksikan, menasihati, membimbing, dan membantu dalam pengembangan intelektual dan/atau karir individu dengan pangkat/keahlian yang lebih rendah, sehingga mentoring memainkan peran penting terhadap pertumbuhan individu atau sosialisasi ke dalam profesi (Jyoti dan Rani 2019). Dalam hal ini, dapat dilihat jika mentoring menjadi tempat yang baik bagi karyawan yang belum memiliki pengetahuan atau tidak memiliki banyak pengetahuan mengenai bidang pekerjaan mereka untuk mempelajari kemampuan baru yang dibutuhkan dan mengembangkannya. Dengan diberikannya waktu bagi karyawan, maka karyawan dapat mempelajari karakteristik pekerjaan tersebut setelah dipekerjakan (Domadenik et al 2021).

Upaya lain yang dilakukan oleh perusahaan untuk menanggulangi skills mismatch untuk menambah pengetahuan karyawan atas pekerjaannya adalah dengan memberikan kesempatan untuk menempuh pendidikan dengan bidang pendidikan yang sesuai dengan pekerjaan mereka saat ini. Kesempatan yang diberikan oleh perusahaan biasanya berupa pendidikan formal terpisah dari perusahaan yang berbasiskan pembelajaran kelas, pengajar dan kurikulum dengan hasil akhir berupa sertifikasi dan gelar. Praktik kesempatan kerja dari perusahaan ini memberikan keuntungan yang mutual bagi perusahaan dan karyawan (Eurofound dan Cedefop 2020). Pencapaian akhir yang sebenarnya dibutuhkan bagi perusahaan dan karyawan melalui kesempatan menempuh pendidikan ini adalah dengan terjadinya pemanfaatan keterampilan yang efektif, di mana ada kecocokan antara keterampilan yang dibutuhkan oleh perusahaan dan keterampilan yang dimiliki oleh karyawan (Kankaraš 2021). Namun, hal ini perlu didukung dengan adanya pengetahuan mengenai bidang tersebut agar dapat mengimplementasikan kompetensi pada tugas-tugas tertentu dengan baik. Dengan adanya kesempatan untuk menempuh pendidikan ini mendukung komitmen karyawan terhadap organisasi dan mengurangi keinginan untuk keluar (Bachrach et al 2021).

Adanya ketidaksesuaian keterampilan yang dibutuhkan oleh perusahaan dengan yang tersedia di pasar tenaga kerja menyebabkan karyawan perlu mengadakan pelatihan dan pengembangan apabila karyawan dituntut untuk memiliki keterampilan tersebut. Upaya ini selaras dengan apa yang dijabarkan oleh Dwiatmadja dan Pravitasmara Dewi (2018) juga Hasibuan dan Handayani (2021) di mana perusahaan mempraktikan langsung pelatihan dalam bidang pekerjaan yang dilakukan oleh karyawan untuk menanggulangi keadaan skills mismatch. Dalam pemenuhan

(30)

30

kebutuhan karyawan yang mengalami skills mismatch, perusahaan menggunakan on-the-job training agar lebih fokus melatih keterampilan relevan yang dibutuhkan oleh karyawan dan lingkup perusahaan. On-the-job training cenderung fokus pada situasi karyawan saat ini dengan menggunakan intruksi 1-on-1 (Amalia dan Lubis 2021). Melalui proses pembelajaran dalam pelatihan dan pengembangan, maka karyawan akan mendapatkan pengetahuan dan keahlian untuk menyelesaikan tanggung jawab yang dimiliki (Osborne dan Hammoud 2017). Lebih lanjut, dengan adanya pelatihan dan pengembangan dapat mencapai produktivitas karyawan yang lebih tinggi. Upaya perusahaan melakukan pelatihan dan pengembangan untuk mengembangkan pengetahuan, keterampilan, kemampuan serta sikap karyawan yang memadai (Bolarinwa, 2020) yang dapat dihasilkan dari keadaan skills mismatch dengan tujuan memenuhi kebutuhan karyawan dan perusahaan di masa depan. Kebutuhan akan pelatihan dan pengembangan bukan hanya untuk mendapatkan keahlian baru, tetapi untuk membentuk perubahan dalam sikap, kinerja, motivasi dan kepuasan karyawan serta cara pandang mereka terhadap organisasi (Kanapathipillai 2020).

Atas kesadaran diri karyawan yang mengalami skills mismatch, karyawan tidak hanya bergantung pada perusahaan untuk memenuhi kebutuhan mereka atas keterampilan yang diperlukan. Karyawan akan secara sadar mencari dan mengembangkan keterampilan yang mereka miliki melalui kursus yang ada di luar perusahaan. Hal ini juga didorong karena pelatihan dan pengembangan yang dilaksanakan perusahaan tidak selalu ada. Keadaan ini sesuai dengan apa yang disampaikan Bischof (2021), yaitu karyawan yang mengalami skills mismatch harus menyadari konsekuensi mereka dan menjadi keharusan bagi karyawan untuk mempelajari keterampilan baru demi pekerjaan mereka. Meskipun melalui pendidikan non-formal seperti kursus kurang terstruktur dan terorganisir, output yang ingin dicapai karyawan akan kebutuhan keahlian yang diinginkan tidak jauh berbeda dari pendidikan formal (Manuel, van der Linden dan Popov 2017). Pendidikan non-formal, seperti kursus bersifat pribadi dan sukarela atas kesadaran setiap individu untuk memperoleh pengetahuan dan mengasah keterampilan sesuai dengan keinginannya sendiri dan berfungsi sebagai pelengkap dari sumber pengetahuan utama yang dimiliki oleh karyawan. Namun, bagian terpenting dari pendidikan non-formal adalah pelatihan spesialis di bidang pendidikan karyawan sehingga mereka menggunakan pengetahuan dalam kondisi yang terus berubah, yang dapat terlibat dalam peningkatan diri dan pendidikan diri selama bekerja (Ogienko dan Terenko 2018).

(31)

31

Dalam menanggulangi keadaan skills mismatch, perusahaan juga menyediakan layanan bagi karyawan yang mengalami kesulitan menyesuaikan diri dengan pekerjaan berupa konseling.

Bagi karyawan yang terpaksa bekerja untuk memenuhi kualifikasi tertentu, dengan adanya konseling potensi karyawan mampu berkembang semaksimal mungkin hingga dapat menyesuaikan diri dengan lingkungannya (Bastomi 2019). Maka HR Consultant yang disediakan memiliki peran penting bagi karyawan dengan memberikan pimpinan, panduan, arahan dalam membuat keputusan dan menjadi pendorong bagi karyawan untuk mengeluarkan potensi yang diinginkan oleh perusahaan (Azra dan Kurniawan 2021). Lebih lanjut, melalui adanya konseling, karyawan akan merasa lebih termotivasi dan percaya diri, sehingga membangun kompetensi karyawan melalui pembentukan karakter dan kedisiplinan diri dalam bekerja.

Dari sisi karyawan, dukungan dari rekan tim menjadi penting bagi karyawan yang mengalami skills mismatch. Senior memiliki peran penting untuk membagikan informasi yang mereka miliki apabila terjadinya ketidaksamaan pengetahuan mengenai pekerjaan, sehingga akan ada kesamaan visi dan misi untuk menghasilkan output yang baik bagi perusahaan (Nadilla 2020).

Tim yang memiliki kesamaan visi dan misi, pengetahuan dan keterampilan dasar mampu mencapai tujuan bersama dengan terus meningkatkan semangat tim dan keterampilan dalam menyelesaikan tugas (Ali et al 2017). Sebuah kerja tim yang baik akan memunculkan sinergi positif sehingga memberikan dukungan mental dan emosional bagi karyawan (Astuti, Hasyim dan Nofierni, 2021). Lebih lanjut, kerja tim yang baik akan membangun motivasi kelompok sehingga efisiensi kerja maksimal dan tujuan perusahaan dapat tercapai.

Dalam mencapai kepuasaan dan peningkatan kinerja, perusahaan dapat melakukan upaya penanganan yang tepat. Peningkatan pengetahuan dan keterampilan yang ses

Gambar

Tabel 1 Klasifikasi Skills Mismatch
Tabel 2 Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia
Gambar 1 Kerangka Berpikir
Tabel 3 Informasi Informan
+2

Referensi

Dokumen terkait

PENGARUH LITERASI KEUANGAN DAN PENGENDALIAN DIRI TERHADAP PENGELOLAAN KEUANGAN PRIBADI KARYAWAN SWASTA DENGAN JENIS KELAMIN SEBAGAI VARIABEL MODERASI STUDI KASUS PADA PT GRAMEDIA

2 PENGARUH LITERASI KEUANGAN DAN PENGENDALIAN DIRI TERHADAP PENGELOLAAN KEUANGAN PRIBADI KARYAWAN SWASTA DENGAN JENIS KELAMIN SEBAGAI VARIABEL MODERASI STUDI KASUS PADA PT GRAMEDIA

1212 E-mail: [email protected] PERNYATAAN PENYERAHAN LISENSI NONEKSKLUSIF DAN PILIHAN EMBARGO TUGAS AKHIR Dengan menyerahkan tugas akhir karya dengan: Judul : untuk diunggah ke