IMPLEMENTASI PENDIDIKAN INKLUSI DALAM PEMBELAJARAN IPA SMP NEGERI 5 KOTA TEGAL
PROPOSAL SKRIPSI
Disusun sebagai Salah Satu Syarat Penyusunan Skripsi
Oleh :
SEPTIANA DEWI CAHYANINGTIAS NPM. 1821600015
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN IPA
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS PANCASAKTI TEGAL
2025
PERSETUJUAN SEMINAR PROPOSAL SKRIPSI Proposal skripsi yang diajukan oleh mahasiswa :
Nama : Septiana Dewi Cahyaningtias
NPM : 182600015
Program Studi : Pendidikan IPA
Judul Proposal Skripsi : Implementasi Pendidikan Inklusi Dalam Pembelajaran IPA SMP Negeri 5 Kota Tegal
Disetujui dan ditindaklanjuti dalam seminar proposal skripsi.
Disetujui:
Pembimbing I Pembimbing II
Fahmi Fatkhomi, M.Pd Isrotun Ngesti Utami, M.Si
NIDN 0627048602 NIDN 0628129303
Tegal, 10 April 2025 Mahasiswa,
Septiana Dewi Cahyaningtias NPM 1821600015
DAFTAR ISI
JUDUL... i
PERSETUJUAN...ii
DAFTAR ISI...iii
DAFTAR TABEL... v
DAFTAR GAMBAR... vi
BAB 1 PENDAHULUAN... 1
1.1 Latar Belakang Masalah...1
1.2 Identifikasi Masalah...3
1.3 Pembatasan Masalah...4
1.4 Rumusan Masalah...5
1.5 Tujuan Penelitian...5
1.6 Manfaat Penelitian...6
1.6.1 Manfaat Teoritis... 6
1.6.2 Manfaat Praktis... 6
BAB 2 KAJIAN TEORI...7
2.1 Kajian Teori...7
2.1.1 Pendidikan IPA...7
2.1.2 Pendidikan Inklusi...8
2.1.3 Anak Berkebutuhan Khusus (ABK)...16
2.1.4 Penelitian Terdahulu...24
2.2 Kerangka Pikir...27
BAB III METODE PENELITIAN...30
3.1 Pendekatan dan Desain Penelitian...30
3.1.1 Pendekatan Penelitian...30
3.1.2 Desain Penelitian...31
3.2 Prosedur Penelitian...32
3.3 Sumber Data... 33
3.4 Wujud Data...34
3.5 Teknik Pengumpulan Data...34
3.5.2 Observasi...35
3.5.3 Dokumentasi... 35
3.6 Teknik Analisis Data...36
3.7 Teknik Penyajian Hasil Analisis...37
DAFTAR PUSTAKA...38
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1.4 Hasil Persamaan dan Perbedaan Penelitian Terdahulu dengan
Penelitian yang akan Dilakukan...25 Tabel 3. 4 Wujud Data...37
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.2 Kerangka Pikir... 29 Gambar 3.1.2 Desain Penelitian...34 Gambar 3.6 Proses Analisis Data Penelitian Kualitatif...45
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah
Setiap anak berhak mendapatkan pendidikan tanpa memandang suku, agama, atau status sosial karena pendidikan merupakan hak bagi semua orang, bukan hanya kelompok tertentu atau mereka yang hidup dalam keberlimpahan.
(Irawati, 2020). Indonesia merupakan negara yang memperhatikan pendidikan sebagai cara untuk membawa perubahan bagi generasi masa depan. (Sulistriani et al., 2021).
Konstitusi Indonesia, Menurut Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 32 ayat (1), yaitu setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan. Hal ini diperkuat dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 5 ayat (1), yang menegaskan hak setiap warga negara yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu (Sembung et al., 2023). Salah satunya anak berkebutuhan khusus (ABK), dimana banyak negara menunjukan komitmen bersama untuk melindungi hak pendidikan bagi ABK sebagai bentuk tanggung jawab pemerintah terhadap seluruh warga negaranya (Mayya, 2019).
Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) memiliki ciri khas tersendiri, terutama dalam hal emosional, fisik, intelektual, mental, dan sosial, dengan proses pertumbuhan yang tidak sama dibandingkan anak-anak normal pada umumnya (Nurull Hary Mulya & An Nuril Maulida Fauziah, 2023). Jumlah ABK di Indonesia pada tahun 2019 adalah 1,6 juta anak, namun tidak sebanding dengan proporsi anak yang berkesempatan mengenyam pendidikan inklusi, yaitu hanya 18% (Sulasmi et al., 2025). Menurut data Kemendikbudristek pada tahun 2024 terdapat 40.164 sekolah inklusi di Indonesia yang menerima ABK (Habibah, 2024). Meskipun jumlah sekolah inklusi cukup banyak, hanya 14,83% diantaranya yang memiliki SDM yang mampu membimbing ABK (Moningka, 2025). Pendidikan inklusi menjadi salah satu program yang tepat
untuk memberi kesempatan bagi ABK agar dapat belajar dan berinteraksi bersama anak-anak lainnya di sekolah reguler (Mujiafiat & Yoenanto, 2023).
Konsep pendidikan inklusi mulai diperkenalkan setelah diterbitkannya Keputusan Menteri Pendidikan Nomor 70 Tahun 2009, yang mengatur tentang pendidikan bagi ABK serta mereka yang memiliki kecerdasan atau bakat istimewa (Wijaya et al., 2023). Selama lebih dari sepuluh tahun terakhir, Indonesia telah mulai mengimplementasikan sistem pendidikan inklusi yang menjadi salah satu strategi yang diterapkan oleh PBB agar mencapai program “ Education For All” (EFA) (Anggraini et al., 2022). Pendidikan inklusi ini merupakan salah satu langkah pemerintah untuk memastikan pemerataan pendidikan bagi semua anak, termasuk ABK tanpa diskriminasi(Jannah et al., 2021).
Pendidikan inklusi di Indonesia masih tergolong rendah karena berbagai tantangan yang dihadapi, seperti kurikulum yang belum sesuai, kurangnya pemahaman guru dalam menyusun kurikulum yang sesuai untuk ABK, kesulitan dalam menilai kompetensi ABK, serta sarana dan prasarana yang kurang memadai (Fajra et al., 2020). Akibatnya, sistem ini belum berjalan optimal dan masih belum memenuhi harapan Masyarakat (Tyas Pratiwi et al., 2022). Ditambah lagi guru belum sepenuhnya menunjukkan sikap proaktif dan ramah kepada semua siswa. Hal ini memicu keluhan dari orang tua siswa dan menyebabkan ABK menjadi sasaran ejekan (Sembung et al., 2023).
SMP Negeri 5 Kota Tegal merupakan satu dari dua SMP di Kota Tegal yang menyelenggarakan program Pendidikan inklusi. Berdasarkan hasil observasi yang dilakukan peneliti, sekolah telah menerapkan pendidikan inklusi sejak 2 tahun dari tahun 2023. Sedikitnya terdapat tiga anak berkebutuhan khusus dari sejumlah peserta didik, yaitu 1 anak kategori slow learner, 1 anak kategori tunarungu dan 1 anak keterbatasan fisik pada kaki.
Tidak seperti sekolah luar biasa (SLB), sekolah inklusi biasanya membatasi jumlah anak berkebutuhan khusus (ABK) yang diterima. Hal ini dilakukan agar proses belajar mengajar dapat berjalan dengan lebih efektif, salah satunya saat
pembelajaran Ilmu pengetahuan Alam (IPA) (Fa’iqotusholeha & Andaryani, 2023).
Pembelajaran IPA di SMP idealnya dirancang untuk mengembangkan kemampuan berpikir sistematis siswa, yang mencakup serangkaian keterampilan seperti mengamati, bertanya, bereksperimen, bernalar, dan mengkomunikasikan hasil temuan (Ichsan et al., 2018). Keberhasilan pembelajaran IPA di kelas inklusi sangat dipengaruhi oleh kualitas guru-guru yang kompeten, yang harus memiliki kualifikasi yang sesuai untuk mendidik ABK, memahami tingkat intelektual siswa, dan mampu menciptakan lingkungan belajar yang mendukung perkembangan emosi, mental, serta sosial siswa (Shafira et al., 2022). Namun, di SMPN 5 Kota Tegal menurut salah satu guru IPA yang mengajar siswa di SMP tersebut nilai akademiknya kurang memenuhi syarat KKM sehingga pembelajaran IPA di kelas inklusi SMPN 5 Kota tegal belum bisa dikatakan berhasil. Dengan latar belakang tersebut, peneliti ingin meneliti bagaimana implementasi Pendidikan IPA di kelas inklusi SMP Negeri 5 Kota Tegal.
1.2 Identifikasi Masalah
Sejalan dengan uraian dalam latar belakang yang ada pada penelitian ini, terdapat beberapa permasalahan utama dalam penyelenggaraan Pendidikan inklusi. Salah satu tantangan utamanya yaitu terbatasnya sumber daya manusia (SDM), terutama kurangnya tenaga pendidik yang memiliki pengalaman dan keterampilan khusus dalam mengajar siswa ABK. Kondisi ini menyebabkan proses pembelajaran kurang optimal, terutama dalam memberikan perhatian dan metode pembelajaran yang sesuai dengan kebutuhan setiap siswa.
Selain itu, sarana dan prasarana yang terdapat di sekolah juga masih belum memadai untuk mendukung pembelajaran di kelas inklusif secara efektif.
Fasilitas yang kurang mendukung menjadi hambatan dalam mewujudkan lingkungan belajar yang aman dan nyaman bagi mereka.
Disisi lain, terdapat ketidak sesuaian antara kebijakan yang telah dirancang
untuk mendukung Pendidikan inklusi, kenyataannya masih banyak kendala dalam penerapannya, sehingga tujuan dari kebijakan tersebut masih belum sepenuhnya tercapai.
Ketimpangan dalam akses Pendidikan bagi siswa ABK juga menjadi permasalahan yang cukup serius. Tidak semua ABK memiliki kesempatan yang sama untuk mendapatkan Pendidikan yang baik, karena faktor sosial dan ekonomi sering kali mempengaruhi akses mereka terhadap pendidikan.
Selanjutnya, dalam konteks pembelajaran, khususnya mata Pelajaran IPA di kelas inklusi, masih ditemukan berbagai kendala. Sifat pembelajaran IPA yang cenderung abstrak dan membutuhkan pemahaman konsep yang kompleks menjadi tantangan bagi siswa ABK. Oleh karena itu, dibutuhkan metode pembelajaran yang kreatif dan inovatif agar mereka dapat memahami materi dengan lebih baik.
Dengan adanya berbagai permasalahan ini, diperlukan langkah-langkah konkret untuk meningkatkan kualitas Pendidikan inklusi. Upaya yang dapat dilakukan meliputi peningkatan kompetensi tenaga pendidik, penyediaan fasilitas yang memadai, serta implementasi kebijakan yang lebih efektif dan sesuai dengan kebutuhan di lapangan.
1.3 Pembatasan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang sudah dijelaskan, diperlukan pembatasan masalah agar pembahasan tetap terfokus dan tidak terlalu luas. Mengingat keterbatasan waktu serta kemampuan yang dimiliki, penelitian ini akan difokuskan pada tiga aspek utama yang berkaitan dengan implementasi pembelajaran IPA di kelas inklusi SMP Negeri 5 Kota Tegal.
Aspek pertama yang dikaji dalam penelitian ini yaitu pelaksanaan pendidikan IPA di kelas inklusi. Penelitian ini akan meneliti bagaimana proses pembelajaran IPA berlangsung bagi siswa ABK dan siswa non-ABK dalam lingkungan belajar yang sama. Fokus ini bertujuan untuk memahami dinamika interaksi, cara mengajar yang diterapkan dan seberapa baik kelas inklusi dapat menyesuaikan dengan kebutuhan semua siswa.
Selain itu, penelitian ini juga akan meneliti hambatan dalam proses pembelajaran IPA, terutama yang dialami oleh siswa ABK, seperti slow learner dan tunarungu dalam memahami materi IPA. Karena sifat materi pelajaran IPA yang cenderung abstrak dan membutuhkan pemahaman konsep yang kompleks, maka tantangan ini menjadi hal penting yang perlu di analisis lebih lanjut.
Aspek yang terakhir yang menjadi fokus pada penelitian ini yaitu peran guru IPA dalam manangani siswa ABK tanpa adanya dukungan dari GPK.
Penelitian ini mengeksplorasi tantangan yang dihadapi guru dalam memastikan pembelajaran tetap efektif serta berbagai strategi yang digunakan untuk mendukung kebutuhan siswa ABK dalam kelas inklusi.
Melalui pembatasan ini, diharapkan penelitian dapat memberikan wawasan mendalam mengenai dinamika pembelajaran IPA dalam kelas inklusi serta menemukan solusi untuk mengatasi berbagai permasalahan yang ada.
1.4 Rumusan Masalah
Berdasarkan masalah yang telah diidentifikasi dan batasan yang telah dijelaskan sebelumnya, rumusan masalah dapat disusun sebagai berikut:
1. Bagaimana cara pelaksanaan pembelajaran IPA di kelas inklusi SMP Negeri 5 Kota Tegal, terutama dalam melibatkan siswa berkebutuhan khusus (ABK) dan siswa lainnya?
2. Bagaimana peran guru IPA dalam menangani siswa ABK tanpa adanya dukungan dari Guru Pendamping Khusus (GPK), serta Upaya apa saja yang dilakukan untuk memastikan proses pembelajaran berjalan efektif?
1.5 Tujuan Penelitian
1. Untuk menganalisis implementasi Pendidikan inklusi dalam pembelajan IPA SMP Negeri 5 Kota Tegal.
2. Untuk mendeskripsikan peran guru IPA dalam mengatasi tantangan pembelajaran di kelas inklusi tanpa dukungan GPK, serta upaya-upaya yang
dilakukan untuk memastikan pembelajaran berjalan efektif bagi semua siswa.
1.6 Manfaat Penelitian 1.6.1 Manfaat Teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat menjadi referensi bagi lembaga-lembaga terkait, khususnya bagi SMP Negeri 5 Kota Tegal dalam mengimplementasikan Pendidikan IPA di kelas inklusi. Selain itu, penelitian ini diharapkan dapat berkontribusi dalam meningkatkan dan mengembangkan pembelajaran IPA agar lebih efektif.
1.6.2 Manfaat Praktis
Penelitian ini diharapkan dapat memperluas wawasan bagi peneliti, akademisi, dan masyarakat umum mengenai pelaksanaan pendidikan inklusi bagi ABK. Selain itu, penelitian ini juga diharapkan dapat berkontribusi dalam pengembangan sistem pendidikan inklusi serta menjadi referensi yang bermanfaat bagi kemajuan Jurusan Pendidikan IPA.
BAB 2 KAJIAN TEORI 2.1 Kajian Teori
2.1.1 Pendidikan IPA
2.1.1.1 Pengertian Pendidikan IPA
Belajar merupakan proses seseorang mengalami perubahan dalam perilaku setelah berinteraksi dengan lingkungan sekitarnya, di mana perubahan tersebut bersifat berkelanjutan, bermanfaat, positif, aktif, dan terarah serta dapat terjadi dalam berbagai situasi sesuai dengan teori-teori pendidikan dan psikologi (Imel Ahmarita Meliana & Marsofiyati Marsofiyati, 2024). Sementara itu, pembelajaran merupakan proses aktif Dimana siswa dan guru berinteraksi dengan memanfaatkan materi pelajaran, metode pengajaran, strategi belajar, serta sumber daya pendidikan dalam lingkungan yang mendukung, sehingga jika tujuan pendidikan tercapai, proses belajar dan pembelajaran dapat dikatakan berhasil. (Arif Widiyatmoko, 2023).
Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) berasal dari istilah natural science, di mana natural merujuk pada sesuatu yang bersifat alami dan berhubungan dengan alam, sedangkan science memiliki arti yaitu ilmu pengetahuan (Tami et al., 2023). Selain itu, IPA adalah ilmu yang mempelajari alam dan segala isinya. Namun, IPA tidak hanya mencakup kumpulan konsep, fakta, atau prinsip, tetapi juga tentang melakukan penelitian (Nikmah, 2024). Secara umum, pembelajaran IPA berperan penting dalam meningkatkan kualitas Pendidikan, terutama dalam membentuk siswa yang cerdas dan terampil.
Siswa diharapkan mampu berpikir kritis, kreatif, dan logis serta memiliki inisiatif dalam menghadapi berbagai masalah di masyarakat yang muncul akibat kemajuan sains dan teknologi (Suryantari et al., 2019).
2.1.1.2 Tujuan Pembelajaran IPA
Pembelajaran IPA di tingkat SMP dirancang untuk membantu siswa menjadi lebih mandiri dan mampu bekerja sama dengan orang lain, serta membantu mereka menggali potensi Indonesia sekaligus memahami permasalahan global dari sudut pandang lokal. Melalui pendekatan pembelajaran IPA yang terpadu, siswa diharapkan dapat berkembang sesuai dengan profil pelajar Pancasila, yakni:
a. Menumbuhkan rasa ingin tahu serta ketertarikan dalam mempelajari fenomena alam dan dampaknya terhadap kehidupan manusia.
b. Ikut serta dalam menjaga kelestarian lingkungan dan menggunakan sumber daya alam dengan bijak.
c. Memahami perannya sebagai anggota masyarakat serta berkontribusi dalam menyelesaikan berbagai isu di sekitarnya.
d. Memahami konsep-konsep IPA dan dapat menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari.
(Kemendikbudristek, 2022) 2.1.2 Pendidikan Inklusi
2.1.2.1 Pengertian Pendidikan Inklusi
Pendidikan inklusi, sebagaimana diatur dalam Permendiknas No. 70 Tahun 2009, merupakan sistem yang memberikan kesempatan bagi semua siswa, termasuk ABK atau yang memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa, untuk belajar bersama dalam satu lingkungan pendidikan yang sama dengan siswa reguler (Warminda et al., 2022).
Menurut Sapon-Shevin dalam O’Neil (1994) bahwa pendidikan inklusi mengharuskan ABK untuk bersekolah di sekolah reguler terdekat dan belajar bersama teman-temannya di kelas yang sama. Sementara itu, menurut Stainback (1980), sekolah inklusi harus menerima semua siswa dalam satu kelas yang sama dan menyediakan program pendidikan yang sesuai, menantang, serta harus disesuaikan dengan kebutuhan dan kemampuan
masing-masing siswa, dengan dukungan serta bimbingan dari guru guna memastikan keberhasilan mereka dalam belajar (Darul & Email, 2017).
J. David Smith mendefinisikan pendidikan inklusi sebagai sistem yang menghargai potensi semua siswa dengan asumsi bahwa semua siswa memiliki bakat yang sama dan berhak mendapatkan akses pendidikan setara, tanpa terpengaruh oleh kondisi sekolah tempat mereka belajar (Abiyyah et al., n.d.). Sejalan dengan itu, Stoub & Peck (1995) menjelaskan bahwa pendidikan inklusi adalah sistem yang menempatkan anak-anak dengan berbagai tingkat disabilitas, mulai dari ringan hingga berat, dalam lingkungan belajar kelas regular (Susilo & Prihatnani, 2022).
Dalam praktiknya, pendidikan inklusi memungkinkan ABK untuk belajar bersama siswa lainnya di sekolah reguler yang berada di dekat tempat tinggal mereka. Agar sistem ini berjalan dengan optimal, sekolah yang menyelenggarakan pendidikan inklusi perlu menyesuaikan kurikulum, fasilitas, serta metode pembelajaran agar sesuai dengan kebutuhan individu setiap siswa (Astawa, 2021). Oleh karena itu, pendidikan inklusi diharapkan mampu memaksimalkan potensi anak berkebutuhan khusus di lingkungan sekolah umum.
Berdasarkan berbagai definisi dari para peneliti, dapat disimpulkan bahwa Pendidikan inklusi merupakan pendekatan dalam sistem pendidikan yang bertujuan memberikan kesempatan yang sama bagi seluruh peserta didik, termasuk ABK, dalam memperoleh pendidikan yang setara dalam lingkungan sekolah reguler. Pendekatan ini menekankan pentingnya peran serta dukungan dari guru, kurikulum yang fleksibel, serta penyesuaian sarana dan prasarana guna mendukung proses pembelajaran yang efektif bagi seluruh siswa. Dengan menerapkan Pendidikan inklusi, sekolah tidak hanya menciptakan lingkungan yang lebih adil dan ramah bagi semua siswa, tetapi juga memberikan peluang bagi setiap individu untuk mengembangkan potensi mereka secara maksimal.
2.1.2.2 Tujuan Pendidikan Inklusi
Tujuan umum pendidikan inklusi adalah memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada seluruh peserta didik, termasuk mereka yang memiliki keterbatasan fisik, emosional, mental, atau sosial, serta yang memiliki kecerdasan dan bakat istimewa, agar mereka dapat mengakses pendidikan berkualitas sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan masing-masing.
(Yahya et al., 2021).
Sementara itu, tujuan khusus pendidikan inklusi mencakup peningkatan kualitas penyelenggaraan pendidikan secara menyeluruh dengan mengoptimalkan efektivitas serta efisiensi pembelajaran, menyesuaikan metode pengajaran agar sesuai dengan kebutuhan setiap siswa, dan memperkuat nilai budaya lokal dalam proses pembelajaran. Selain itu, keberhasilan pendidikan inklusi juga bergantung pada keterlibatan aktif orang tua, masyarakat, dan pemerintah dalam mendukung kebijakan pendidikan inklusi, sehingga dapat berjalan secara optimal dan memberikan manfaat yang maksimal bagi seluruh peserta didik (Budiyanto, 2017).
2.1.2.3 Landasan Pendidikan Inklusi a. Landasan Filosofis
Penerapan pendidikan inklusi di Indonesia didasarkan pada filosofi Pancasila sebagai lima pilar utama dan cita-cita bangsa dengan fondasi yang lebih mendalam dalam konsep Bhinneka Tunggal Ika, yang mencerminkan pengakuan terhadap keberagaman manusia baik secara vertikal, mencakup perbedaan dalam kecerdasan, kekuatan fisik, kondisi finansial, jabatan, kemampuan, serta pengendalian diri, maupun secara horizontal, yang meliputi perbedaan suku bangsa, ras, bahasa, dan aspek budaya lainnya, sehingga berdasarkan prinsip tersebut, perbedaan kondisi, baik dalam keterbatasan fisik maupun bakat luar biasa, hanyalah bagian dari keberagaman manusia yang tidak seharusnya menjadi penghalang dalam pendidikan, dan oleh karena itu, sistem pendidikan harus mengakomodasi keberagaman ini dengan menciptakan lingkungan yang memungkinkan interaksi serta kebersamaan di antara siswa dengan
berbagai latar belakang guna menumbuhkan sikap saling menghargai, peduli, dan membimbing dalam semangat toleransi agar setiap peserta didik dapat berkembang secara optimal dalam suasana inklusif (Irawati, 2020).
b. Landasan Yuridis
Landasan yuridis dalam sistem pendidikan memiliki tingkatan yang berjenjang, mulai dari Undang-Undang Dasar, undang-undang, peraturan pemerintah, kebijakan direktur jenderal, peraturan daerah, kebijakan direktur, hingga peraturan sekolah. Selain itu, landasan ini juga mencakup berbagai kesepakatan internasional yang berhubungan dengan pendidikan (Al Kahar, 2019).
Landasan yuridis ini menjadi dasar dalam penyelenggaraan pendidikan inklusi, memastikan bahwa setiap peserta didik, termasuk mereka yang berkebutuhan khusus, mendapatkan akses pendidikan yang adil dan berkualitas sesuai dengan hak mereka.
c. Landasan Pedagogis
Landasan pedagogis dalam pendidikan inklusif mencakup berbagai metode dan strategi pembelajaran yang dapat diterapkan untuk menciptakan lingkungan belajar yang mendukung semua peserta didik (Ansori et al., 2023). Beberapa prinsip pedagogis yang dapat diterapkan dalam pendidikan inklusif meliputi:
1. Pembelajaran berorientasi pada peserta didik
Proses pembelajaran harus disesuaikan dengan kebutuhan dan kemampuan setiap peserta didik agar mereka dapat mengikuti dan memahami materi dengan baik.
2. Pemanfaatan teknologi
Teknologi dapat dimanfaatkan sebagai alat bantu bagi peserta didik yang memiliki keterbatasan fisik atau mengalami kesulitan dalam belajar, sehingga mereka tetap dapat mengakses pendidikan secara optimal.
3. Kemitraan antara guru dengan orang tua
Kolaborasi antara guru dan orang tua memiliki peran penting dalam mendukung perkembangan peserta didik serta memastikan mereka memperoleh bimbingan yang tepat, baik di lingkungan sekolah maupun di rumah.
4. Penerapan Pendidikan karakter
Pendidikan karakter harus diintegrasikan dalam pembelajaran inklusif agar peserta didik dapat membangun sikap positif, menghargai keberagaman, serta memiliki rasa empati dan toleransi terhadap sesama.
5. Pelatihan untuk guru dan tenaga pendidik
Guru serta tenaga pendidik perlu mendapatkan pelatihan khusus agar memiliki keterampilan dan pemahaman yang tepat dalam mengajar serta membimbing peserta didik dengan kebutuhan khusus.
Dengan menerapkan pendekatan pedagogis yang sesuai, pendidikan inklusif dapat menciptakan kesempatan belajar yang setara bagi seluruh peserta didik, memungkinkan mereka untuk berkembang sesuai dengan potensi dan kemampuannya masing-masing (Agnes Meilina, 2024).
d. Landasan Empiris
Penelitian empiris mengungkap bahwa klasifikasi dan penempatan peserta didik berkebutuhan khusus di sekolah, kelas, atau lingkungan khusus seperti Sekolah Luar Biasa dinilai kurang efektif dan berpotensi menimbulkan diskriminasi. Oleh karena itu, para peneliti merekomendasikan agar pendidikan khusus yang bersifat segregatif hanya diterapkan dalam situasi tertentu berdasarkan hasil identifikasi yang akurat (Heller, Holtzman, & Messick, 1982) (Anjliana et al., 2023).
Sementara itu, studi metaanalisis yang dilakukan oleh Carlberg dan Kavale (1980) terhadap 50 penelitian, Wang dan Baker (1985/1986) terhadap 11 penelitian, serta Baker (1994) terhadap 13 penelitian menunjukkan bahwa pendidikan inklusif memberikan dampak positif baik dalam aspek akademik maupun sosial bagi anak berkebutuhan khusus serta
teman sebayanya. Selain itu, menurut Depdiknas (2007), penyelenggaraan pendidikan inklusif juga mendapat dukungan dari berbagai peristiwa penting di tingkat nasional maupun internasional, di antaranya:
1. Deklarasi Hak Asasi Manusia (Declaration of Human Rights), tahun 1948;
2. Konvensi Hak Anak (Convention on the Rights of the Child), tahun 1989;
3. Konferensi Dunia tentang Pendidikan untuk Semua (World Conference on Education for All), tahun 1990;
4. Resolusi PBB No. 48/96 tahun 1993 tentang Kesetaraan Kesempatan bagi Penyandang Disabilitas (The Standard Rules on The Equalization of Opportunities for Persons with Disabilities);
5. Rekomendasi Bukittinggi tahun 2005 yang menegaskan bahwa pendidikan inklusif dan ramah anak harus dipandang sebagai pendekatan dalam meningkatkan kualitas sekolah secara menyeluruh, guna memastikan bahwa strategi nasional “pendidikan untuk semua”
benar-benar mencakup seluruh peserta didik tanpa terkecuali.
Dengan demikian, berbagai penelitian dan kebijakan global maupun nasional telah mendukung implementasi pendidikan inklusif sebagai pendekatan terbaik dalam memastikan akses pendidikan yang setara bagi semua anak, termasuk mereka yang memiliki kebutuhan khusus.
2.1.2.4 Prinsip Pendidikan Inklusi
Menurut (Purbasari et al., 2022), Pendidikan inklusi harus berlandaskan beberapa prinsip utama, di antaranya:
1) Proses Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) yang terbuka dan mampu mengakomodasi semua anak tanpa diskriminasi.
2) Identifikasi yang dilakukan oleh guru untuk memahami karakteristik serta kebutuhan anak berkebutuhan khusus.
3) Penyesuaian kurikulum yang lebih fleksibel agar dapat menyesuaikan dengan beragam kemampuan dan latar belakang peserta didik.
4) Pengembangan rancangan pembelajaran yang ramah anak, termasuk dalam pembuatan bahan ajar dan kegiatan belajar mengajar.
5) Pengaturan lingkungan kelas yang mendukung kenyamanan dan aksesibilitas bagi seluruh siswa.
6) Proses asesmen yang mencakup berbagai tahapan, seperti penyaringan awal, diagnosis kebutuhan, perancangan program, evaluasi kurikulum, peninjauan metode pengajaran, pemanfaatan media pembelajaran, serta penilaian dan evaluasi hasil belajar.
2.1.2.5 Kriteria Kelas Inklusi
Menurut kelas inklusi memiliki kriteria yang berbeda dengan kelas yang tidak inklusi. Berikut beberapa kriteria kelas inklusi :
1) Tanpa adanya diskriminasi
Kelas inklusi wajib menyelenggarakan pendidikan yang terbuka bagi semua anak tanpa terkecuali. Setiap peserta didik, termasuk anak berkebutuhan khusus (ABK), memiliki hak yang sama untuk memperoleh kesempatan belajar dan berkembang secara optimal.
2) Menghargai keanekaragaman individu
Lingkungan belajar harus bersifat inklusif, nyaman, dan menghargai perbedaan. Sekolah perlu membangun suasana yang mendukung keberagaman serta menerapkan kurikulum yang adaptif sesuai dengan kebutuhan setiap siswa. Selain itu, pembelajaran harus mengedepankan pendekatan CBSA (Cara Belajar Siswa Aktif) agar selaras dengan potensi dan kemampuan masing-masing anak.
(Herawati, 2016) 3) Fasilitas yang nyaman dan Aksesibel
Fasilitas dan infrastruktur di kelas harus dirancang untuk memudahkan akses dan memastikan keamanan bagi semua siswa, termasuk ABK. Suasana belajar yang nyaman dan bersahabat akan mendukung setiap anak dalam menjalani proses pendidikan secara optimal.
4) Kerja sama guru dengan tim professional
Guru tidak bekerja sendiri, tetapi harus berkolaborasi dengan berbagai pihak, seperti tenaga ahli atau sumber daya lainnya, dalam perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi pembelajaran. Model pembelajaran inklusi harus bersifat terpadu dengan menerapkan pendekatan tim lintas disiplin.
5) Keterlibatan orang tua dan Masyarakat
Orang tua memiliki peran penting dalam Pendidikan inklusi dan perlu dilibatkan secara aktif dalam proses pembelajaran anak. Selain itu, dukungan dari masyarakat, termasuk LSM, juga sangat diperlukan dalam mendukung pendidikan anak baik di sekolah maupun di rumah.
3 Proses Pembelajaran Inklusi
Menurut panduan pelaksanaan pendidikan inklusif, proses pembelajaran dalam sistem inklusi dilakukan dengan berbagai penyesuaian agar dapat memenuhi kebutuhan semua peserta didik. Penyesuaian tersebut mencakup (Sunanto, 2016):
1) Penyesuaian Isi
Materi yang diberikan mencakup fakta, konsep, prosedur, dan strategi berpikir yang harus dipelajari siswa agar mampu mencapai kompetensi yang ditargetkan.
2) Penyesuaian Soal
Soal yang diberikan dapat disesuaikan dengan kemampuan individu siswa dan berbeda dari yang diberikan kepada peserta didik reguler.
3) Penyesuaian Alat
Evaluasi dapat menggunakan alat bantu khusus serta bahan ajar yang disesuaikan dengan kebutuhan siswa berkebutuhan khusus.
4) Penyesuaian Waktu
Memberikan tambahan waktu dalam mengerjakan tugas, serta memberikan kesempatan untuk pembelajaran tambahan atau penjelasan di luar jam belajar reguler.
5) Penyesuaian Tempat
Proses penilaian dapat dilakukan di lokasi khusus atau secara individu.
Selain itu, pengaturan tempat duduk juga dapat diubah, seperti menempatkan siswa lebih dekat dengan guru untuk memudahkan interaksi.
6) Penyesuaian Metode
Penilaian dapat dilakukan secara lisan, di mana guru membacakan soal dan siswa menuliskan jawabannya. Metode ini juga dapat diterapkan dengan pendampingan dari tutor sebaya.
(Sunanto, 2016).
2.1.3 Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) 2.1.3.1 Pengertian ABK
Anak berkebutuhan khusus (ABK) adalah anak yang memerlukan pendidikan serta layanan khusus agar dapat mengembangkan potensinya secara optimal (Owa et al., 2023). Istilah "anak berkebutuhan khusus"
digunakan karena mereka membutuhkan berbagai layanan tambahan, seperti pendidikan, sosial, bimbingan, dan konseling, yang bersifat khusus untuk memenuhi kebutuhan hidupnya . ABK memiliki karakteristik unik yang membedakannya dari anak-anak lain, namun tidak selalu berkaitan dengan keterbatasan mental, emosional, atau fisik (Mardiansah et al., 2024). Mereka dapat memiliki kebutuhan khusus, baik bersifat sementara maupun permanen, sehingga memerlukan layanan pendidikan yang lebih intensif. Perbedaan yang dialami ABK dibandingkan dengan anak-anak seusianya dapat mencakup berbagai aspek, seperti pertumbuhan dan perkembangan yang mengalami gangguan atau penyimpangan, baik dalam aspek fisik, mental, intelektual, sosial, maupun emosional (Fakhiratunnisa et al., 2022).
Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990 mengesahkan Convention on the Rights of the Child, yang dalam Pasal 23 menegaskan hak anak dengan disabilitas untuk hidup layak, percaya diri, dan berpartisipasi dalam masyarakat. Pemerintah bertanggung jawab memastikan akses mereka
terhadap pendidikan, pelatihan, kesehatan, rehabilitasi, pekerjaan, dan rekreasi. Hak-hak ini juga dijamin dalam Pasal 41 ayat (2) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. selain itu, Indonesia telah mengesahkan Convention on the Rights of Persons with Disabilities melalui Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2011, yang menegaskan perlindungan bagi penyandang disabilitas dari tindakan kekerasan, eksploitasi, dan penyiksaan, serta menjamin hak mereka untuk mendapatkan perlindungan sosial. Namun, meskipun berbagai peraturan telah menjamin hak anak berkebutuhan khusus, penerapannya masih menghadapi hambatan, seperti faktor sosial dan keterbatasan dalam keluarga (Nunung, 2022).
2.1.3.2 Keberagaman Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) a. Anak dengan Gangguan Pendengaran (Tunarungu)
Tunarungu merupakan individu yang mengalami gangguan pendengaran, baik sebagian maupun seluruhnya, akibat ketidak berfungsian organ pendengaran (Purba Bagus Sunarya et al., 2018).
Kondisi ini menyebabkan kesulitan dalam memanfaatkan pendengaran dalam kehidupan sehari-hari serta berdampak pada berbagai aspek kehidupan mereka.
Berdasarkan tingkat gangguannya, anak tunarungu dikategorikan sebagai berikut:
1. Tunarungu ringan
Mampu menangkap suara dengan intensitas 20–40 dB. Mereka sering tidak menyadari ketika diajak berbicara dan mengalami sedikit kendala dalam berkomunikasi.
2. Tunarungu sedang
Dapat mendengar suara dengan intensitas 40–65 dB. Mereka mengalami kesulitan dalam memahami percakapan tanpa melihat wajah lawan bicara, sulit menangkap suara dari kejauhan, serta lebih bergantung pada orang lain dalam komunikasi. Alat bantu dengar dapat
3. Tunarungu berat
Hanya dapat mendengar suara dengan intensitas 65–95 dB. Mereka mampu memahami sebagian percakapan jika memperhatikan ekspresi wajah lawan bicara dan mendengar suara yang cukup keras, namun komunikasi secara normal hampir tidak memungkinkan. Penggunaan alat bantu dengar dapat memberikan sedikit bantuan.
4. Tunarungu parah
Hanya bisa menangkap suara dengan intensitas lebih dari 95 dB.
Mereka tidak dapat berkomunikasi secara verbal dengan normal dan lebih mengandalkan komunikasi visual, meskipun dalam beberapa kasus dapat dibantu dengan alat bantu dengar tertentu.
Anak tunarungu memiliki beberapa karakteristik khusus, antara lain:
1. Dalam aspek intelegensi
Mereka cenderung memiliki prestasi akademik lebih rendah dalam materi berbasis verbal dibandingkan anak dengan pendengaran normal.
Namun, dalam materi yang tidak bergantung pada bahasa verbal, kemampuan mereka dapat setara.
2. Dalam aspek bahasa dan bicara
Ketidakmampuan mendengar menghambat perkembangan bahasa mereka jika tidak mendapatkan pendidikan atau pelatihan khusus. Oleh karena itu, dibandingkan anak sebaya yang memiliki pendengaran normal, kemampuan bahasa mereka berkembang lebih lambat.
3. Dalam aspek emosional dan sosial
Anak tunarungu cenderung memiliki tingkat egosentrisme yang lebih tinggi dibandingkan anak dengan pendengaran normal.
(Arnida et al., 2024) b. Anak dengan Gangguan Penglihatan ( Tunanetra)
Tunanetra adalah individu dengan gangguan penglihatan yang menghambat mereka dalam memperoleh informasi, sehingga termasuk dalam kategori ABK yang kehilangan fungsi indera penglihatan
(Nur’aisah et al., 2022). Untuk menjalani aktivitas sehari-hari dan berinteraksi dengan lingkungan, mereka mengandalkan indera lain yang masih berfungsi, seperti pendengaran, perabaan, penciuman, dan pengecapan. Secara umum, kondisi ini tidak memengaruhi kecerdasan mereka, tetapi dapat menyebabkan kesulitan dalam memahami konsep, meskipun dalam beberapa kasus tertentu yang melibatkan gangguan tambahan.
Berdasarkan tingkat daya penglihatannya, tunanetra diklasifikasikan sebagai berikut:
1. Tunanetra ringan (low vision)
Mengalami gangguan penglihatan tetapi masih dapat berpartisipasi dalam program pendidikan dan melakukan berbagai aktivitas yang melibatkan fungsi penglihatan.
2. Tunanetra sedang (partially sighted)
Mengalami kehilangan sebagian penglihatan, tetapi masih bisa membaca teks berukuran besar atau menggunakan alat bantu seperti kaca pembesar untuk mengikuti pendidikan umum.
3. Tunanetra berat (totally blind)
Tidak memiliki kemampuan melihat sama sekali.
(Ika Febrian Kristiana, 2021) c. Anak Kelainan Fisik (Tunadaksa)
Anak tunadaksa merupakan anak yang memiliki kelainan fisik atau cacat tubuh, yang dapat berupa gangguan pada anggota tubuh, kelainan gerak, hingga kelumpuhan, termasuk kondisi yang dikenal sebagai cerebral palsy (CP) (Suparno, 2012).
Berdasarkan tingkat keparahannya, tunadaksa dikategorikan sebagai berikut:
1. Cerebral Palsy (CP):
a. Ringan: Mampu berjalan tanpa alat bantu, dapat berbicara, serta mampu melakukan aktivitas sehari-hari secara mandiri.
b. Sedang: Membutuhkan bantuan dalam berjalan, berlatih berbicara, dan mengurus diri sendiri.
c. Berat: Memerlukan perawatan intensif dalam pergerakan, komunikasi, dan aktivitas sehari-hari.
2. Berdasarkan Lokasi Gangguan:
a. Spastic: Mengalami kekakuan pada sebagian atau seluruh otot tubuh.
b. Dyskenisia: Mengalami gerakan tidak terkendali (athetosis) serta kekakuan pada seluruh tubuh yang sulit digerakkan (rigid).
c. Ataxia: Mengalami gangguan keseimbangan, koordinasi mata dan tangan yang tidak optimal, serta berjalan dengan cara yang tidak stabil.
d. Campuran: Mengalami lebih dari satu jenis kelainan.
3. Polio:
a. Tipe Spinal: Menyebabkan kelumpuhan pada otot-otot leher, dada, tangan, dan kaki.
b. Tipe Bulbair: Mengakibatkan gangguan fungsi motorik pada satu atau lebih saraf tepi, yang dapat menyebabkan kesulitan bernapas.
c. Tipe Bulbispinalis: Gabungan antara tipe spinal dan bulbair.
d. Encephalitis: Ditandai dengan demam, penurunan kesadaran, tremor, serta kemungkinan mengalami kejang.
(Suparno, 2012) d. Anak Kelainan Intelektual (Tunagrahita)
Tunagrahita adalah sebutan untuk anak berkebutuhan khusus yang memiliki keterbatasan dalam kecerdasan dan mengalami kesulitan menyesuaikan diri dalam menjalani aktivitas sehari-hari (Chasanah &
Pradipta, 2019).
Di Indonesia, istilah tunagrahita digunakan untuk mengelompokkan beberapa jenis anak berkebutuhan khusus. Meskipun klasifikasinya bervariasi, mereka memiliki kesamaan dalam keterbatasan intelektual yang memengaruhi proses belajar. Dalam lingkup internasional, anak
dengan hambatan intelegensi disebut dengan berbagai istilah, seperti mental retardasi, mental defective, atau mental deficiency, yang semuanya merujuk pada gangguan kognitif serta kesulitan dalam beradaptasi.
Klasifikasi tunagrahita umumnya didasarkan pada tingkat kecerdasan, dengan standar kecerdasan normal menurut Skala Binet berada dalam rentang 90–110. Berdasarkan skor IQ, tunagrahita terbagi menjadi beberapa kategori, yaitu:
1. Ringan (IQ 65–80) 2. Sedang (IQ 50–65) 3. Berat (IQ 35–50)
4. Sangat berat (IQ di bawah 35)
Selain itu, klasifikasi juga dapat didasarkan pada kemampuan yang dimiliki individu, yaitu:
1. Ringan (Mampu Didik): Masih dapat menerima pendidikan dan pelatihan akademik sederhana.
2. Sedang (Mampu Latih): Lebih fokus pada keterampilan hidup dan pelatihan keterampilan kerja.
3. Berat (Mampu Rawat): Memerlukan perawatan serta pendampingan penuh dalam menjalani kehidupan sehari-hari.
(Syah Roni Amanullah, 2022) e. Anak Lamban Belajar (Slow Learner)
Lamban belajar (Slow Learner) adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan seseorang yang memiliki kecepatan belajar lebih lambat dibandingkan rata-rata (Rahayu et al., 2023). Mereka membutuhkan waktu lebih lama untuk memahami konsep baru dan sering kali memerlukan metode pembelajaran yang berbeda atau bantuan tambahan. Namun, Lamban belajar berbeda dari gangguan intelektual, karena mereka memiliki kecerdasan normal tetapi membutuhkan waktu lebih lama untuk memahami informasi, dan dengan dukungan serta metode pembelajaran yang tepat, mereka tetap dapat mengembangkan potensi secara optimal
f. Anak Disabilitas Sosial (Tunalaras)
Kelainan perilaku atau tunalaras sosial mengacu pada individu yang mengalami hambatan dalam menyesuaikan diri dengan lingkungan, aturan, norma sosial, dan nilai-nilai yang berlaku. Anak dengan kondisi ini dapat menunjukkan perilaku seperti kompensasi berlebihan, sering berkonflik dengan lingkungan sekitar, serta melanggar hukum, norma, atau etika (Abdullah, 2013).
Kategori anak yang termasuk dalam kelompok ini mencakup anak dengan gangguan psikosis (psychotic) dan neurosis (neurotic), anak dengan gangguan emosi, serta anak nakal (delinquent). Meskipun masing- masing memiliki karakteristik dan penyebab yang berbeda, mereka sama- sama mengalami kesulitan dalam beradaptasi secara sosial.
Berdasarkan sumber penyebabnya, kelainan perilaku sosial dibedakan menjadi:
1. Tunalaras emosi: Penyimpangan perilaku sosial yang ekstrem akibat gangguan emosi.
2. Tunalaras sosial: Penyimpangan perilaku yang terjadi karena kesulitan dalam menyesuaikan diri secara sosial, yang bersifat fungsional.
(Abdullah, 2013) g. Anak Cerdas dan Bakat Istimewa
Anak berbakat dan cerdas istimewa termasuk kelompok yang memerlukan perhatian khusus, sebagaimana diatur dalam UU Sisdiknas No. 2 Tahun 2003. Mereka memiliki kemampuan di atas rata-rata, baik dalam intelegensi (IQ), akademik, seni, maupun keterampilan tertentu, sehingga membutuhkan layanan khusus untuk mendukung perkembangan mereka. Meskipun unggul dalam berbagai bidang, mereka juga menghadapi tantangan emosional dan sosial. Tekanan untuk berprestasi dapat membuat mereka rentan terhadap stres, isolasi sosial, atau bahkan depresi. Oleh karena itu, selain dukungan akademik, pendampingan
emosional dan konseling juga diperlukan untuk menjaga keseimbangan mental dan sosial mereka (Khairun Nisa et al., 2018).
h. Anak Gangguan Pemusatan Perhatian (GPP) dan ADHD
Gangguan Pemusatan Perhatian (GPP) adalah kondisi yang menyebabkan anak kesulitan fokus, mudah gelisah, dan tidak bisa duduk tenang, terutama pada usia 3–10 tahun. Anak dengan GPP cenderung cepat beralih perhatian dan sulit berkonsentrasi, baik di sekolah maupun dalam aktivitas lainnya.
Attention Deficit Hyperactivity Disorder (ADHD) adalah gangguan perkembangan otak yang ditandai dengan hiperaktivitas, impulsivitas, dan kesulitan memusatkan perhatian. Dahulu dikenal sebagai Attention Deficit Disorder (ADD), ADHD memiliki tiga gejala utama:
1. Hiperaktif: Anak tampak selalu bergerak, tidak bisa duduk diam, sering gelisah, berlari, atau memanjat tanpa henti.
2. Kurang fokus (Inattention): Sulit berkonsentrasi, mudah terdistraksi, sering lupa atau kehilangan barang, dan kesulitan mengikuti arahan.
3. Impulsif: Bertindak spontan tanpa berpikir, sulit menunggu giliran, sering menyela pembicaraan, atau menjawab sebelum pertanyaan selesai.
Kondisi ini dapat memengaruhi perkembangan anak, sehingga dibutuhkan penanganan khusus agar mereka dapat beradaptasi dengan lingkungan (SHELEMO, 2023).
i. Anak Autism
Autism Syndrome adalah gangguan perkembangan yang disebabkan oleh kerusakan pada otak, terutama dalam kemampuan berbahasa dan interaksi sosial. Berdasarkan penelitian Delay & Deinaker serta Marholin
& Philips, gejala autisme meliputi:
1. Perilaku Menyendiri: Anak cenderung acuh, sering duduk sendiri, dan tampak tidak bersemangat.
2. Minim Komunikasi: Jarang berbicara atau merespons lingkungan.
3. Respon Terbatas: Berbicara dengan suara pelan, monoton, atau aneh, lalu kembali menyendiri.
4. Kurangnya Rasa Sosial: Tidak menunjukkan minat terhadap lingkungan atau emosi yang jelas.
5. Ketertarikan Terbatas: Hanya fokus pada benda atau aktivitas tertentu.
6. Gangguan Bahasa dan Fungsi Saraf: Mengalami kesulitan berbicara, gangguan saraf, serta hambatan intelektual.
Gangguan ini berdampak pada aspek sosial, komunikasi, dan perilaku anak, sehingga membutuhkan penanganan khusus (Dermawan, 2018).
3.1.3 Penelitian Terdahulu
Peneliti menyertakan berbagai hasil penelitian terdahulu yang relevan dan memiliki keterkaitan dengan penelitian ini. Langkah ini dilakukan untuk menilai tingkat orisinalitas serta menentukan posisi penelitian yang sedang dilakukan. Penelitian sebelumnya yang relevan dengan penelitian ini antara lain:
Penelitian yang dilakukan oleh Fa’iqotusholeha, A. dan Andaryani, E.
berjudul Implementasi Pendidikan Inklusif di SDN Slerok 2 Kota Tegal tahun 2023. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa penelitian ini membahas penerapan pendidikan inklusi di salah satu SD di Kota Tegal. Meskipun masih terdapat kendala dalam kesiapan sekolah, baik dari segi tenaga pendidik maupun sarana dan prasarana, pihak sekolah tetap berupaya memberikan pembelajaran yang inklusif bagi siswa berkebutuhan khusus (Fa’iqotusholeha
& Andaryani, 2023).
Penelitian yang dilakukan oleh Nabila Trisna Shafira, Muhyiatul Fadilah, Fitri Arsih, Ganda Hijrah Selaras berjudul Profil Pembelajaran IPA di SMP Inklusi; Analisis Kebutuhan Media Pembelajaran Digital pada tahun 2022. Menunjukkan bahwa pembelajaran IPA di sekolah inklusi masih menghadapi beberapa kendala. Salah satu tantangan utamanya adalah kurangnya variasi dalam penggunaan media pembelajaran, sehingga banyak siswa merasa bosan dan kurang termotivasi. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa 63% siswa merasa jenuh karena bahan ajar yang tersedia kurang bervariasi, sedangkan 76% siswa belum pernah menggunakan media pembelajaran digital. Selain itu, 73% siswa setuju bahwa penggunaan media digital dapat membantu mereka dalam belajar. Berdasarkan wawancara dengan Guru Pembimbing Khusus (GPK), ditemukan bahwa siswa berkebutuhan khusus memerlukan media pembelajaran yang lebih konkret dan sesuai dengan kebutuhan mereka. Oleh karena itu, pemanfaatan media pembelajaran digital dianggap dapat meningkatkan minat belajar siswa serta membuat proses pembelajaran di kelas inklusi lebih menarik dan interaktif (Shafira et al., 2022).
Penelitian yang dilakukan oleh Kartika Alfa Mujiafiat, Nono H.
Yoenanto berjudul Kesiapan Guru dalam Pelaksanaan Peendidikan Inklusi tahun 2023. Hasil penelitian ini mengungkap bahwa tingkat kesiapan guru dalam melaksanakan pendidikan inklusi masih rendah, terutama disebabkan oleh minimnya pengalaman dalam mengajar siswa ABK. Banyak guru belum memahami secara spesifik karakteristik ABK serta memiliki keterbatasan dalam melakukan asesmen, menyusun program pembelajaran yang sesuai, dan mengadaptasi metode pengajaran yang inklusif. Selain itu, minimnya pelatihan khusus bagi guru semakin menghambat kesiapan mereka dalam mendukung pembelajaran yang efektif bagi ABK. Oleh karena itu, diperlukan peningkatan pelatihan serta pengembangan kompetensi bagi guru guna menciptakan lingkungan belajar yang lebih inklusif dan memastikan hak pendidikan yang setara bagi semua siswa (Mujiafiat & Yoenanto, 2023).
Tabel 2.1.4 Hasil Persamaan dan Perbedaan Penelitian Terdahulu dengan Penelitian yang akan Dilakukan
No Nama Peneliti, Tahun, dan
Judul Penelitian Perbedaan Persamaan
1 Fa’iqotusholeha, A. dan Andaryani, E. 2023
“Implementasi Pendidikan
Penelitian ini dilakukan di tingkat SD,
Sama-sama membahas implementasi
Kota Tegal”. penelitian Anda berfokus pada tingkat SMP.
Penelitian ini lebih umum mengenai pendidikan inklusi, sementara penelitian Anda lebih spesifik pada
pembelajaran IPA.
inklusi.
Fokus pada peran guru dan kendala dalam pembelajaran.
2 Nabila Trisna Shafira, Muhyiatul Fadilah, Fitri Arsih, Ganda Hijrah Selaras, 2022 “Profil Pembelajaran IPA di SMP Inklusi; Analisis
Kebutuhan Media Pembelajaran Digital”.
Penelitian ini lebih fokus pada penggunaan media
pembelajaran digital, sementara penelitian Anda membahas aspek implementasi yang lebih luas.
Sama-sama meneliti pembelajaran IPA di kelas inklusi.
Membahas kendala siswa ABK dalam memahami konsep IPA.
3 Kartika Alfa Mujiafiat, Nono H. Yoenanto, 2023,
“Kesiapan Guru dalam Pelaksanaan Peendidikan Inklusi tahun”.
Penelitian ini berfokus pada kesiapan guru secara umum, sementara penelitian Anda
Sama-sama membahas peran guru dalam
pembelajaran inklusi.
lebih spesifik pada peran guru dalam
pembelajaran IPA.
Tidak secara khusus membahas kendala dalam memahami konsep IPA bagi ABK
Menyoroti kendala dalam menerapkan metode pembelajaran bagi ABK.
2.2 Kerangka Pikir
Kerangka pikir yaitu alur pemikiran yang digunakan oleh peneliti sebagai dasar dalam memperkuat subfokus yang melatarbelakangi penelitian ini.
Dalam penelitian kualitatif, diperlukan dasar yang kuat agar penelitian dapat berjalan lebih terarah. Oleh karena itu, kerangka pikir berperan dalam mengembangkan konteks dan konsep penelitian, sehingga hubungan antara konteks penelitian, metodologi, dan teori yang digunakan menjadi lebih jelas.
Dengan adanya kerangka pikir, teori yang digunakan dapat dikaitkan langsung dengan masalah yang diteliti.
Kerangka pikir bukan sekadar kumpulan informasi dari berbagai sumber atau pemahaman yang diperoleh, tetapi lebih dari itu. Kerangka pikir memerlukan data dan informasi yang relevan dengan penelitian, yang kemudian dianalisis dan diolah untuk membentuk pemahaman yang mendalam berdasarkan kajian terhadap sumber-sumber yang tersedia. Pemahaman ini menjadi dasar bagi konsep-konsep lain yang telah dikembangkan sebelumnya.
Kerangka pikir dalam penelitian ini memberikan gambaran sistematis mengenai keterkaitan antara variabel yang diteliti serta menjelaskan bagaimana pembelajaran IPA di kelas inklusi dapat berjalan secara efektif. Berdasarkan wawancara dengan Guru BK di SMPN 5 Kota Tegal, ditemukan beberapa permasalahan, di antaranya keterbatasan tenaga pendidik yang memiliki keahlian khusus dalam mengajar ABK, kurikulum yang belum sepenuhnya disesuaikan dengan kebutuhan siswa inklusi, serta sarana dan prasarana yang masih kurang mendukung proses belajar secara optimal. Oleh karena itu, peran guru dalam kelas inklusi menjadi penting, karena mereka harus berperan sebagai fasilitator yang menciptakan lingkungan belajar yang ramah dan inklusif serta mampu menyesuaikan metode pengajaran meskipun tanpa kehadiran GPK.
Dalam hal dampak dan solusi, penerapan pembelajaran IPA secara inklusif dapat memberikan manfaat bagi siswa, terutama dalam meningkatkan interaksi sosial serta mengembangkan keterampilan berpikir ilmiah. Untuk mengatasi berbagai hambatan yang ada, Diperlukan pelatihan bagi guru serta pengembangan kurikulum yang lebih inklusif guna meningkatkan efektivitas proses pembelajaran, sehingga semua siswa, baik ABK maupun non-ABK, mendapatkan kesempatan belajar yang setara.
BAB III
1. Untuk mendeskripsikan bagaimana proses pembelajaran IPA dilaksanakan dikelas inklusi SMP Negeri 5 Kota Tegal, khususnya dalam mengakomodasi kebutuhan siswa ABK dan Non-ABK.
2. Untuk mendeskripsikan peran guru IPA dalam mengatasi tantangan pembelajaran di kelas inklusi tanpa dukungan GPK, serta upaya-upaya yang dilakukan untuk memastikan pembelajaran berjalan efektif bagi semua siswa.
Implementasi Pendidikan IPA pada Kelas Inklusi di SMP Negeri 5 Kota Tegal
Pentingnya Pendidikan Inklusi
1. Terbatasnya sumber daya manusia (SDM) atau kurangnya tenaga pendidik yang memiliki pengalaman khusus dalam menangani ABK.
2. Sarana dan Prasarana untuk mendukung kebutuhan ABK kurang memadai.
3. kurikulum yang belum sepenuhnya disesuaikan dengan kebutuhan siswa inklusi
4. Kendala yang dihadapi saat pembelajaran IPA di kelas inklusi.
3.1 Pendekatan dan Desain Penelitian 3.1.1 Pendekatan Penelitian
Sesuai dengan judul yang diangkat oleh peneliti, yaitu Implementasi Pendidikan IPA pada Kelas Inklusi di SMP Negeri 5 Kota Tegal, maka pendekatan penelitian yang akan digunakan oleh peneliti yaitu studi kasus kualitatif. Alasan peneliti menggunakan pendekatan ini karena penelitian ini dapat menggali informasi secara mendalam dan detail mengenai praktik, tantangan, dan strategi pembelajaran IPA di kelas inklusi. Data yang diperoleh menggunakan hasil dari observasi, wawancara berupa data yang sesuai fakta yang ada di lapangan dan sebagaimana mestinya.
Penelitian kualitatif adalah metode yang digunakan untuk memahami dan menganalisis suatu fenomena sosial secara mendalam dengan melihat konteks, pengalaman, dan pandangan individu yang terlibat. Pendekatan ini menekankan pada makna, bagaimana suatu realitas dibentuk secara sosial, serta kerumitan dari fenomena yang diteliti (Ardiansyah et al., 2023). Selain itu, penelitian ini juga menitikberatkan pada pemahaman interaksi manusia, di mana manusia berperan sebagai pencipta sekaligus pemecah masalah, serta menggunakan pendekatan deskriptif berbasis kata tanpa angka atau pengukuran melalui berbagai metode seperti etnografi, studi naturalistik, studi kasus, studi lapangan, pekerjaan teknis, dan pengamatan. (Waruwu, 2024).
Metode studi kasus adalah pendekatan yang menjelaskan suatu permasalahan, peristiwa, atau situasi tertentu, di mana siswa diberi tugas untuk mencari alternatif solusi. Tujuannya adalah mengembangkan pemikiran kritis serta menemukan solusi baru terhadap topik yang sedang dikaji. (Husna et al., 2024) .
3.1.2 Desain Penelitian
Desain penelitian adalah rancangan yang disusun secara sistematis untuk menjawab seluruh pertanyaan penelitian serta mengatasi berbagai hambatan yang mungkin muncul. Dalam prosesnya, diterapkan strategi tertentu guna memperoleh data yang diperlukan untuk menguji hipotesis, menjawab pertanyaan penelitian, dan mengendalikan variabel yang berpengaruh. (Rasyid, 2023). Tujuan dari penelitian studi kasus yaitu menyajikan gambaran yang sistematis, faktual, dan aktual mengenai fakta serta karakteristik populasi di lapangan. Penelitian ini dilakukan untuk memahami bagaimana implementasi pembelajaran IPA di kelas inklusi.
Penyajian
Gambar 3.1.2 Desain Penelitian
3.2 Prosedur Penelitian
Implementasi Pendidikan IPA pada Kelas Inklusi SMP Negeri 5 Kota Tegal
Penyajian Hasil Analisis (Informal) Pengambilan Data
a. Data Primer b. Data Sekunder Metode Studi Kasus Kualitatif
Gambar 3.1 Desain Penelitian
Kualitas hasil penelitian ditentukan oleh dua faktor utama dalam prosedur penelitian, yaitu mutu instrumen penelitian dan efektivitas proses pengumpulan data. Oleh karena itu, prosedur yang tepat dalam proses penelitian sangat penting untuk memastikan instrumen yang digunakan sesuai dalam pengumpulan data. Menurut (Sugiyono, 2020) menyatakan ada beberapa sesi utama dalam riset kualitatif, ialah (1) tahap deskripsiatau orientasi, (2) sesi reduksi, (3) serta seleksi.
Mengenai beberapa Langkah dari pendapat di atas yang akan menentukan masalah pada penelitian kali ini, peneliti akan menjabarkan beberapa Langkah dalam penelitiannya, sebagai berikut:
1. Tahap Deskripsi atau Orientasi
Yang dimaksud dalam tahapan ini yaitu peneliti mencoba untuk mencari tahu mengenai permasalahan yang muncul sebelum dilakukannya penelitian, selanjutnya peneliti mencoba untuk berkonsultasi dengan dosen pembimbing untuk mendapatkan suatu yang relevan untuk diteliti, setelah berkonsultasi dengan dosen pembimbing, kemudian peneliti mendeskripsikan suatu permasalahan yang sudah didiskusikan dengan dosen pembimbing, dengan melakukan studi pendahuluan.
2. Fase Reduksi
Maksud dari fase reduksi dalam penelitian yang ingin diteliti oleh seorang peneliti yaitu dengan meruncingkan informasi yang diperoleh dalam studi pendahuluan, setelah itu peneliti membuat suatu proposal penelitian yang diajukan ke tahap penelitian yang disetujui oleh dosen pembimbing, kaprodi, dan dekan, selanjutnya melakukan seminar proposal.
3. Tahap Seleksi
Yang dimaksud dengan seleksi pada tahapan ini yaitu peneliti mencoba untuk melakukan analisis setelah dilakukannya eminar proposal, dan dosen pembimbing memberi langkah untuk ketahap penelitian yang kemudian peneliti melakukan analisis secara menyeluruh terhadap arah tujuan penelitian, kemudian peneliti melakukan pelaporan hasil data penelitian dengan melakukan siding dihadapan dewan penguji skripsi.
Beberapa Langkah yang akan menentukan maslaah pada penelitian kali ini, menetapkan pembahasan pada subfokus pada penelitian, pengumpulan data, pengolahan, pemaknaan data, serta pelaporan hasil data penelitian.
3.3 Sumber Data
Menurut Lofland, sebagaimana dikutip oleh Meleong (2019: 157), sumber data utama dalam penelitian kualitatif terdiri dari kata-kata dan tindakan, sementara data lain, seperti dokumen dan sebagainya, berperan sebagai data pelengkap. Sumber data ini dibagi menjadi dua jenis, yaitu data primer dan data sekunder. (Asti, 2020).
1. Data Primer data yang diperoleh langsung dari sumber atau objek penelitian. Dalam penelitian ini, data primer dikumpulkan melalui wawancara dengan Anak Berkebutuhan Khusus (ABK), Guru BK, dan Guru IPA di SMP Negeri 5 Kota Tegal.
2. Data Sekunder adalah data yang telah dipublikasikan atau digunakan oleh pihak lain. Dalam penelitian ini, data sekunder diperoleh melalui dokumentasi, literatur, serta sumber dari website yang relevan dengan penelitian.
Dengan mengacu pada kedua jenis sumber data tersebut, proses dan hasil penelitian diharapkan mampu mengungkap serta menjelaskan bagaimana implementasi pembelajaran IPA di kelas inklusi. Sumber data dapat berupa dokumen atau berbagai informasi lain yang dapat digunakan sebagai referensi dalam memperoleh data penelitian.
3.4 Wujud Data
Wujud data dalam penelitian ini diperoleh melalui pengumpulan informasi dari berbagai sumber untuk dianalisis. Data tersebut dapat berupa transkrip wawancara, catatan lapangan hasil pengamatan, foto, video, dokumen pribadi, catatan memo, serta dokumen resmi lainnya
Tabel 3.4 Wujud Data
Data primer menggunakan wawancara unttuk mengetahui berbagai permasalahan yang ada dengan responden yang nantinya diketahui satu-satu dalam penelitian ini, sehingga nantinya semua permasalahan mengenai implementasi Pendidikan IPA pada kelas inklusi akan didiskusikan dan diselesaikan dengan menggunakan studi kasus kualitatif. Sedangkan untuk data sekunder atau data pendukung yaitu dengan mengumpulkan berbagai dokumen yang ada, serta foto yang nantinya sebagai penguat dalam penelitian yang peneliti lakukan. Sumber data dalam penelitian ini diperoleh dari SMP Negeri 5 Kota Tegal, dengan menggunakan dokumentasi dari penelitian.
3.5 Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data adalah langkah penting dalam penelitian, karena menjadi dasar dalam penyusunan instrumen penelitian, di mana penerapan teknik yang tepat akan menghasilkan data yang kredibel, sehingga proses ini harus dilakukan dengan cermat, sesuai prosedur, dan mengikuti karakteristik penelitian kualitatif (Kristanto, 2018). Peneliti juga harus menentukan teknik pengumpulan data yang sesuai dengan permasalahan yang akan diteliti.
Primer Wawancara dengan siswa ABK
Wawancara dengan Guru BK
Wawancara dengan Guru IPA
Sekunder Dokumen
Foto
Berdasarkan sumber datanya, Teknik dalam pengumpulan data dilakukan menggunkana sepenuhnya dari data primer yaitu sumber yang langsung dilakukan dalam proses pengumpulan data kepada pengumpul data. Sedangkan berdasarkan cara dalam mengumpulkan datanya yaitu dengan Teknik yang dilakukan meliputi Teknik wawancara, Teknik observasi, dan dokumentasi.
3.5.1 Wawancara
Wawancara dalam penelitian ini sebagai bentuk dalam mendapatkan suatu informasi yang mendalam dan mengkonfirmasi mengenai apa yang telah didapatkan dari hasil observasi dan hasil angket di SMP Negeri 5 Kota Tegal 3.5.2 Observasi
Observasi adalah teknik pengumpulan data yang melibatkan proses pemilihan, pencatatan, pengubahan, dan pengodean berbagai perilaku serta situasi yang berkaitan dengan organisasi, sesuai dengan tujuan penelitian empiris (Hasanah, 2017). Menurut (Sugiyono, 2020) bahwa “dengan observasi peneliti terlibat dengan kegiatan sehari-hari orang yang sedang diamati atau yang digunakan sebagai sumber data penelitian”. Dengan begitu mencermati dari pendapat di atas mengenai observasi di SMP Negeri 5 Kota Tegal, peneliti mencoba untuk menanyakan dan mendalami semua yang berkaitan dengan kegiatan responden pada kelas inklusi.
3.5.3 Dokumentasi
Melakukan wawancara dan observasi bertujuan untuk mengumpulkan informasi berdasarkan fakta yang ditemukan di lapangan, seperti dalam bentuk surat, catatan harian, arsip foto, dan dokumen lainnya. Selain itu, peneliti perlu memiliki kepekaan dalam memahami makna dari semua dokumen tersebut agar tidak hanya dianggap sebagai sekadar kumpulan data yang tidak bermakna. Dengan mengumpulkan data dari dokumentasi disini peneliti dapat menjabarkan berbagai kegiatan yang dilakukan di SMP Negeri 5 Kota Tegal.
Sehingga dengan begitu akan mendapatkan data yang lengkap dengan disertai
dokumentasi akan mendapatkan porsi yang lebih banyak, mengingat dalam kaitannya dengan berbagai kegiatan yang dilakukan yang sangat membantu dalam tercapainya tujuan yang peneliti lakukan di SMP Negeri 5 Kota Tegal.
3.6 Teknik Analisis Data
Analisis data adalah proses mengidentifikasi dan menyusun data dari catatan, wawancara, observasi, atau dokumen secara sistematis guna meningkatkan pemahaman peneliti terhadap topik yang dikaji serta menyajikannya sebagai temuan kepada pihak lain (Spradley & Huberman, 2024). Dengan menggunakan penelitian studi kasus kualitatif, peneliti dapat mengumpulkan data secara lebih rinci dan detai, serta dapat memudahkan penelitian. Peneliti dapat lebih mudah melakukan penelitian dengan menerapkan berbagai teknik yang telah disajikan dan diterapkan dalam proses penelitian. Teknik yang digunakan dalam menganalisis data pada penelitian ini adalah analisis deskriptif. Adapun langkah-langkah dalam proses analisis data pada penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Reduksi Data adalah proses berkelanjutan yang melibatkan seleksi, penyederhanaan, pengabstrakan, serta transformasi data mentah dari catatan lapangan dengan cara merangkum, memberikan kode, mengidentifikasi tema, dan mengelompokkan informasi ke dalam kategori tertentu (Sofwatillah et al., 2024).
2. Penyajian Data Tujuan dari proses ini adalah untuk membantu peneliti dalam memahami situasi yang terjadi, merancang langkah berikutnya, serta mengenali pola, hubungan, dan tema dari data mentah. Dengan demikian, analisis ini mendukung interpretasi data dan proses penarikan kesimpulan dalam penelitian. (Rijali, 2019).
3. Verifikasi Data/Penarikan Kesimpulan Menurut Miles dan Huberman, proses penarikan kesimpulan dan verifikasi bersifat sementara pada tahap awal dan dapat mengalami perubahan jika tidak didukung oleh bukti yang kuat. Namun, apabila temuan awal tetap valid dan konsisten seiring dengan
pengumpulan data berikutnya, maka kesimpulan yang dihasilkan akan memiliki kredibilitas yang tinggi. (Kojongian et al., 2022).
Gambar 3.2 Proses Analisis Data Penelitian Kualitatif (Spradley & Huberman, 2024)
3.7 Teknik Penyajian Hasil Analisis
Hasil analisis dalam penelitian ini disajikan menggunakan metode penyajian informal, yaitu dengan menggunakan kata-kata biasa daripada angka. Pemilihan metode ini didasarkan pada sifat penelitian yang bersifat deskriptif. Analisis yang dilakukan menghasilkan data konkret dalam bentuk kalimat yang menggambarkan bagaimana implementasi pembelajaran IPA di kelas inklusi di SMP Negeri 5 Kota Tegal.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, N. (2013). Mengenal anak berkebutuhan khusus. Magistra, 25(86), 1–10.
Penyajian Data
Reduksi Data Verifikasi Data/
Penarikan Kesimpulan Pengumpulan Data
Katolik, D. B., & Atma, I. (n.d.). Implementasi Filosofi Pendidikan Inklusi dalam sistem Pendidikan.
Agnes, M. (2024). Landasan Pendidikan Inklusi. Kerjacita. Landasan Pendidikan Inklusif. (28 Februari 2025)
Agustin, R. D., Zakiah, L., Hasanah, A., Faruqi, M. I., & Maulidina, C. A. (2024).
Implementasi Pendidikan Multikultural Pada Anak Berkebutuhan Khusus di Sekolah Dasar Inklusi. Jurnal Ilmiah Profesi Pendidikan, 9(2), 875–882.
https://doi.org/10.29303/jipp.v9i2.2217
Al Kahar, A. A. D. (2019). Pendidikan Inklusif Sebagai Gebrakan Solutif
“Education for All.” Al-Riwayah: Jurnal Kependidikan, 11(1), 45–66.
http://ejournal.stain.sorong.ac.id/indeks.php/al-riwayah
Anggraini, S. N., Rahman, A., Martono, T., Kurniawan, A. R., & Febriyani, A. N.
(2022). Strategi Pendidikan Multikulturalisme dalam Merespon Paham Radikalisme. Jurnal Jendela Pendidikan, 2(01), 30–39.
https://doi.org/10.57008/jjp.v2i01.93
Anjliana, R., Andriani, O., Studi Pendidikan Guru Sekolah Dasar, P., Muhammadiyah Muara Bungo, U., & Kunci, K. (2023). Implementasi Pendidikan Inklusif Di Sekolah Dasar Muara Bungo. Jurnal Penelitian Pendidikan Indonesia, 1(1), 232–235.
Ansori, R. W., Yulianto, A., Putri Arif, N. N., & Mufidah, I. M. (2023). Tinjauan kritis landasan pedagogis dalam pembelajaran Bahasa Indonesia. Patria
Eduacational Journal (PEJ), 3(4), 283–288.
https://doi.org/10.28926/pej.v3i4.1360
Ardiansyah, Risnita, & Jailani, M. S. (2023). Teknik Pengumpulan Data Dan Instrumen Penelitian Ilmiah Pendidikan Pada Pendekatan Kualitatif dan Kuantitatif. Jurnal IHSAN : Jurnal Pendidikan Islam, 1(2), 1–9.
https://doi.org/10.61104/ihsan.v1i2.57
Arnida, Hijriati, Maulina, C. P., Fitria, A., & Fadila, N. (2024). Analisis
Karakteristik Dan Aktivitas Belajar Anak Berkebutuhan Khusus (Tunarungu) Di Sekolah Slb- B Ypac Banda Aceh. Jurnal Warna, 8(1), 1–10.
https://doi.org/10.52802/warna.v8i1.1047
Asti, O. (2020). Analisis Teks Percakapan Tema 6 Buku Siswa Kelas I Sekolah Dasar Berdasarkan Nilai Karakter. Analisis Teks Percakapan Tema 6 Buku Siswa Kelas I Sekolah Dasar Berdasarkan Nilai Karakter, 25–28.
Budiyanto. (2017). Pengantar Pendidikan Inklusif Berbasis Budaya Lokal. In Prenadamedia Group (Vol. 51, Nomor 1), 155-156.
Chasanah, N. U., & Pradipta, R. F. (2019). Pengaruh Penggunaan Media Sempoa Geometri pada Kemampuan Berhitung Tunagrahita. Jurnal
ORTOPEDAGOGIA, 5(1), 12–17.
https://doi.org/10.17977/um031v4i12018p012
Darul, U., & Email, U. J. (2017). Jurnal Bimbingan dan Konseling Terapan. Jurnal Bimbingan dan Konseling Terapan, 01(02), 86–102.
https://ojs.unpatti.ac.id/index.php/bkt/article/view/234/158
Dermawan, O. (2018). Strategi Pembelajaran Bagi Anak Berkebutuhan Khusus Di Slb. Psympathic : Jurnal Ilmiah Psikologi, 6(2), 886–897.
https://doi.org/10.15575/psy.v6i2.2206
Fa’iqotusholeha, & Andaryani, E. (2023). Implementasi Pendidikan Inklusif di SDN Slerok 2 Kota Tegal. Journal Elementary Education, 12(1), 38–47.
Fajra, M., Jalinus, N., Jama, J., Dakhi, O., Sakti, U. E., & Padang, U. N. (2020).
Pengembangan Model Kurikulum Sekolah Inklusi. Jurnal Pendidikan UT, 21, 51–63.
Fakhiratunnisa, S. A., Pitaloka, A. A. P., & Ningrum, T. K. (2022). Konsep Dasar Anak Berkebutuhan Khusus. Masaliq, 2(1), 26–42.
https://doi.org/10.58578/masaliq.v2i1.83
Habibah, A. F. (2024). Kemendikbudristek : 40.164 sekolah memiliki siswa
berkebutuhan khusus. Antara.
https://www.antaranews.com/berita/4038030/kemendikbudristek-40164- sekolah-miliki-siswa-berkebutuhan-khusus. (21 Februari 2025)
Hasanah, H. (2017). TEKNIK-TEKNIK OBSERVASI (Sebuah Alternatif Metode Pengumpulan Data Kualitatif Ilmu-ilmu Sosial). At-Taqaddum, 8(1), 21.
https://doi.org/10.21580/at.v8i1.1163
Herawati, N. I. (2016). Pendidikan Inklusif. In EduHumaniora | Jurnal Pendidikan
Dasar Kampus Cibiru (Vol. 2, Nomor 1).
https://doi.org/10.17509/eh.v2i1.2755
Husna, R., Bunari, B., & Al Fiqri, Y. (2024). Pengaruh Metode Pembelajaran Studi Kasus Terhadap Prestasi Belajar Siswa Dalam Pelajaran Sejarah Kelas XI IPS SMA Negeri 1 Kampar. JAMPARING: Jurnal Akuntansi Manajemen Pariwisata dan Pembelajaran Konseling, 2(2), 565–573.
https://doi.org/10.57235/jamparing.v2i2.2952
Ichsan, I. Z., Dewi, A. K., Hermawati, F. M., & Iriani, E. (2018). Pembelajaran IPA dan Lingkungan: Analisis Kebutuhan Media Pembelajaran pada SD, SMP, SMA di Tambun Selatan, Bekasi. JIPVA (Jurnal Pendidikan IPA Veteran), 2(
2), 131. https://doi.org/10.31331/jipva.v2i2.682
Ika Febrian Kristiana, C. G. W. (2021). Buku ajar psikologi anak berkebutuhan khusus 1. 1–110.
Imel Ahmarita Meliana, & Marsofiyati Marsofiyati. (2024). Peran Strategi Pembelajaran Terhadap Hasil Belajar Peserta Didik. Katalis Pendidikan : Jurnal Ilmu Pendidikan dan Matematika, 1(2), 188–199.
https://doi.org/10.62383/katalis.v1i2.352
Irawati. (2020). Urgensi Pendidikan, Pendidikan Segregasi dan Pendidikan Inklusi di Indonesia. Instructional Development Journal. 3(3), 177-187.
Jannah, A. M., Setiyowati, A., Lathif, K. H., Devi, N. D., & Akhmad, F. (2021).
Model Layanan Pendidikan Inklusif di Indonesia. Anwarul, 1(1), 121–136.
https://doi.org/10.58578/anwarul.v1i1.51
Kemendikbudristek. (2022). Capaian Pembelajaran Mata Pelajaran Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) Fase D. Pusat Kurikulum dan Pembelajaran, Badan Standar, Kurikulum, dan Asesmen Pendidikan, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, 3, 103–111.
Khairun Nisa, Mambela, S., & Badiah, L. I. (2018). Karakteristik Dan Kebutuhan Anak Berkebutuhan Khusus. Jurnal Abadimas Adi Buana, 2(1), 33–40.
https://doi.org/10.36456/abadimas.v2.i1.a1632
Kojongian, M., Tumbuan, W., & Ogi, I. (2022). Efektifitas Dan Efisiensi Bauran Pemasaran Pada Wisata Religius Ukit Kasih Kanonang Minahasa Dalam Menghadapi New Normal. Jurnal EMBA, 10(4), 1968.
Mardiansah,