• Tidak ada hasil yang ditemukan

S E R T I F I K A T

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2024

Membagikan "S E R T I F I K A T"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

S E R T I F I K A T

Prof. Dr. M. Khusna Amal, S.Ag., M.Si.

197212081998031001

Eni Zulfa Hidayah, SS, M.Pd

Diberikan kepada:

BAHASA DAN SEXISME DALAM LINGUISTIK ARAB

K E ME N T E RI A N A G A MA R EP U B L I K I N D O N ES I A

U NI V E R S I T A S I SL A M N EG ER I K H A C HM A D S I D D I Q JEMB ER F A K U L T A S USHUL UD D I N A D A B D A N HU M A N I O R A

sebagai PEMATERI

dalam diskusi periodik FUAH dengan judul:

Jember, 26 April 2022 Dekan FUAH

NO. B. 546/UN. 22/5/PP. 00. 9/05/2022

(2)

1

BAHASA DAN SEKSISME DALAM LINGUISTIK ARAB

Oleh:

Eni Zulfa Hidayah, SS, M.Pd

Pendahuluan

Bahasa dan seksisme merupakan wacana yang terus berkembang seiring dengan munculnya gerakan gender maupun feminisme di segala bidang termasuk linguistik.

Munculnya gerakan 'anti sexist language' ini semakin membuktikan bahwa nyata- nyata bahasa itu tidak semata-mata sebagai alat komunikasi tetapi juga senjata ampuh untuk menundukkan seseorang sebagaimana selama ini diteriakkan oleh kaum post-modernis dan post strukturalis yang berpendapat bahwa bahasa bukan sekedar alat komunikasi, melainkan merupakan tempat terjadinya pergolakan berbagai kepentingan dan kekuasaan. Misalnya saja Chist Weedon, seorang post-strukturalis, berpendapat bahwa bahasa merupakan wilayah di mana rasa tentang diri, subyektivitas, termasuk definisi tentang perempuan dan laki-laki serta apa yang baik dan buruk dari masing-masing jenis ini dibentuk, ini semua terbentuk dikarenakan bahasa adalah kekuatan, pertentangan, dan pergulatan.1

Untuk itu, penting kiranya kita mendiskusikan lebih jauh seputar wacana keterpautan bahasa dan seksisme ini.

Pengertian Bahasa Seksis

Sebelum pembahasan seputar 'sexist language', kita perlu membicarakan terlebih dahulu perbedaan konsep antara "gender" dan "seks" agar tidak terjadi kerancuan pemahaman. Seks adalah kategori biologis, biasanya terbentuk sejak sebelum seseorang lahir. Dasar perbedaannya adalah perbedaan anatomi fisik pria dan wanita. Sedangkan gender adalah kategori sosial, yaitu pola-pola perilaku tertentu. Hal tersebut merujuk kepada peran, tingkah laku, kecenderungan dan atribut lain yang mendefinisikan arti menjadi seorang pria dan wanita dalam kebudayaan yang ada.2

1 Mudjia Rahardjo, Relung-relung Bahasa, (Yogyakarta: Aditya Media,2002), hal.215.

2 Gilbert (1999) dalam Robert A.Baron, Psikologi Sosial Jilid I, (Jakarta: Erlangga, 2004), hal.187.

(3)

2 Secara lebih jelas, Shan Wareing (1999) mencontohkan perbedaan antara seks dan gender pada desain sepeda pancal. Sepeda pancal yang dirancang untuk wanita biasanya diberi sadel yang lebih lebar karena wanita memiliki tulang pinggul yang lebih lebar dari pada pria (ini adalah perbedaan seksual antara pria dan wanita), tapi ketika sepeda untuk wanita tidak diberi palang (bagian dari kerangka sepeda yang menghubungkan antara bagian bawah sadel dengan bagian bawah dari setang sepeda agar memudahkan wanita yang mengenakan rok untuk naik sepeda, itu merupakan perbedaan gender karena secara biologis, tidak ada alasan biologis mengapa wanita harus mengenakan rok dan pria tidak.3 Di Indonesia, sepeda "wanita" seperti itu malah memudahkan pria yang menggunakan sarung, bahkan sepeda motor yang sering dipakai pria sekarang ini adalah sepeda motor bebek yang notabene dirancang untuk wanita, dan kita tidak tabu melihat hal itu. Sebaliknya, kita akan merasa tabu dan risih jika melihat wanita memakai sepeda motor pria.

Melihat fenomena di atas, berarti bahwa sexist language adalah bahasa yang memuat atau berpihak pada suatu kekuatan gender atas gender yang lain di dalam unsur-unsurnya, misalnya di dalam unsur kosakata, gramatika, istilah, dan yang lainnya. Atau yang menurut Miller & Shift sebagai bahasa apapun yang mengungkapkan sikap atau pandangan adanya suatu superioritas suatu gender atas gender lainnya. 4

Rumusan lain dari bahasa seksis adalah bahasa yang merepresentasikan pria dan wanita secara tidak setara di mana anggota dari kelompok seks yang satu dianggap lebih rendah kemanusiaannya, lebih sederhana, lebih sedikit hak-haknya daripada anggota kelompok seks lain. Bahasa seksis biasanya menyajikan stereotip- stereotip tentang pria dan wanita yang kadang merugikan salah satu dari keduanya, tapi lebih sering merugikan kaum wanita.

Kepedulian terhadap dampak dari bahasa yang bersifat sexist sebenarnya berakar dari hipotesis Sapir-Whorf, yaitu linguistic relativity yang menyatakan bahwa terdapat hubungan yang erat antara bahasa dengan budaya (culture) dari penutur bahasa tersebut. Hipotesis tersebut menyatakan lebih rinci bahwa bahasa secara langsung mempengaruhi perilaku masyarakat budaya yang bersangkutan. Bahasa dan budaya saling berkaitan sehingga makna

3 Linda Thomas & Shan Wareing, Language, Society and Power,(New York: Routledge,1999) diterj. Sunoto dkk., Bahasa, Masyarakat dan Kekuasaan, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), hal.106.

4 Gary Ghosgarian, Exploring Language, (London: Scott, Forman and Company, 1989).hal 164. dalam Agus Wijayanto & Endang Fauziati, opcit, hal. 134.

(4)

3 yang dinyatakan oleh bahasa tersebut mempengaruhi realitas, konsep, dan sudut pandang.

Argumentasi dari hipotesis Sapir-Whorf ini pada akhirnya digunakan oleh kaum feminis untuk berkampanye menentang bahasa yang bersifat sexist dan untuk mencari alternatif bahasa yang bersifat lebih netral.5

Penanda-penanda Seksis dalam Bahasa

Menurut Shan Wareing (1999), Bahasa seksis dapat dipandang dari dua sudut, yaitu:

pertama, dari aspek tata bahasanya; kedua, dari aspek di luar tata bahasa yang digunakan untuk menciptakan bahasa seksis. 6

Adapun untuk melihat sejauh mana tata bahasa itu bersifat seksis bisa dilihat dari penanda seksis sebagai berikut;

1. Simetri dan Asimetri7

Contoh dari simetri dalam penggunaan bahasa adalah sebagaimana berikut

Bahasa Indonesia Bahasa Inggris

(a). Generik : manusia Jenis kelamin perempuan : Wanita Jenis kelamin laki-laki : Pria

Generik : horse (kuda) Betina : Mare

Jantan : Stallion

Contoh dari asimetri dalam penggunaan bahasa Indonesia sebagai berikut:

(b). Generik : Polisi

Jenis kelamin perempuan : Polwan (Polisi Wanita).

Jenis kelamin laki-laki : Polisi

: TKI : TKW : TKI

(Pada contoh b ini ada ambiguitas pada istilah polisi, di mana secara generik apabila kita menyebut polisi, maka seyogyanya semua polisi dari jenis apapun. Tapi asumsi kita apabila menyebut polisi hanya dalam artian spesifik yaitu hanya merujuk pada laki-laki saja, dan kita menyebut polisi berjenis kelamin perempuan dengan Polwan/polisi wanita tapi kita tidak pernah sekalipun menyebut Polpri/polisi pria. Begitu juga istilah TKI yang merujuk

5 Agus Wijayanto & Endang Fauziati, Sexist Language, Jurnal Penelitian Humaniora, Vol. 7, No. 2, 2006: 133.

6 Linda Thomas & Shan Wareing, Language, Society and Power,(New York: Routledge,1999) diterj. Sunoto dkk., opcit, hal.107.

7 Simetri ialah kata yang punya padanan secara seimbang, sedang asimetri ialah kata yang tidak punya padanan secara seimbang.

(5)

4 pada tenaga kerja yang kerja di luar negeri, akan tetapi seringkali kita lebih menggunakan istilah TKW untuk yang berjenis kelamin wanita tanpa pernah menyebut Tenaga Kerja Pria/TKP).

Contoh dari asimetri dalam penggunaan bahasa Arab sebagai berikut:8

(c). Generik :

ناسنلإا

Jenis kelamin perempuan :

ةناسنلإا

Jenis kelamin laki-laki :

ناسنلإا

Kata

نااسنلإا

tersebut di atas secara generik memiliki makna manusia, baik laki-laki ataupun perempuan.9 Kita pun sering memakainya dalam ungkapan seperti :

ّ نااااسنلإا ناااسنلاو ءاطخلا

, dengan maksud bahwa dengan kata al-insan tersebut termasuk di dalamnya laki-laki dan perempuan. Akan tetapi, ketika kita membahas tentang status mudzakkar dan mu'annats dengan jelas Ibnu 'Aqil dan Musthafa al-Ghulayaini memasukkan

نااسنلإا

sebagai laki-laki/mudzakkar dan sebagai padanannya adalah

ةناسنلإا

sebagai perempuan/mu'annast.10 Adapun dalam kasus pemakaian kata

نااااسنلإا

dalam al-Quran seperti

ditafsirkan dengan ,11 ataupun ditafsir dengan .12 dari sini dapat dipahami bahwa kata yang lebih umum dari adalah .

Contoh asimetri dalam bahasa Inggris:13

(d). Generik : man

Jenis kelamin perempuan : woman Jenis kelamin laki-laki : man

Secara etimologis, kata man dahulu merupakan kata yang umum atau netral yang berarti ‘manusia’. Kata tersebut sama dengan kata latin homo yang berarti ‘umat manusia’ (a member of the human species). Pada bahasa inggris kuno (old english) kata yang menunjuk

8 Atabik Ali & A.Zuhdi Muhdor, Kamus Kontemporer, (Yogyakarta, Multi Karya Grafika, 1996), hal.250.

9 lihat kamus kontemporer hal.205

10 lihat Baha'uddin Abdullah Ibnu 'Aqil 'ala Alfiyati Ibn Malik, (Yogyakarta, Badr el-Ilmi,tt) hal.165. dan Mushthafa al-Ghulayaini, Jami' al-Durus al-Arabiyyah, (Beirut, Maktabah Ashriah, 1997) hal. 99.

11 Tafsir al-Qurthubi, Maktabah Syamilah, Ishdar al-Tsaniy.

12 Tafsir al-Baidhawiy, Maktabah Syamilah, Ishdar al-Tsaniy.

13 ibid,hal 108.

(6)

5 pada laki-laki dewasa adalah weapman atau wer, sedang kata yang mengacu pada wanita dewasa adalah wifman atau wif. Dalam perkembangannya kata wifman berevolusi menjadi woman. Adapun kata netral yang digunakan untuk mengacu pada kedua jenis gender laki- laki dan wanita adalah kata man. Dapat disimpulkan bahwa dahulu kata man merupakan kata benda yang dapat mengacu pada laki-laki maupun perempuan. Namun, dalam perkembangan selanjutnya sekitar pada abad ke-18, kata man telah mempunyai arti yang lebih menyempit atau spesifik, yaitu manusia laki-laki yang sudah dewasa (adult male human being) yang menggantikan kata weapman dan wer.14

Penggunaan man yang sekarang dianggap sexist tersebut terdapat dalam kalimat berikut : 15

Man yang berarti implisit a person, terdapat pada data berikut:

A man who works in a garden is………

A man who drives a car is………

A man who looks for news and writes the news into newspaper is a………

Man yang berarti implisit people/human beings, terdapat pada data berikut:

A wise man can differ the bad and the good

Food is important for man, animals and plants.

Money is one of man’s necessity

Contoh lain adalah nama pekerjaan yang bermuatan kekuatan gender laki-laki sebagai berikut: camera man, yang selama ini belum ada istilah yang berbunyi camera woman.

Seolah-olah keahlian ini hanya dimiliki oleh kaum laki-laki; delivery man, padahal pekerjaan ini sekarang juga dilakukan oleh kaum perempuan; fire man di beberapa negara bagian di Amerika, pekerjaan ini dilakukan juga oleh wanita; draft man, space man, dan sebagainya.

Kalimat-kalimat contoh di atas mengimplikasikan bahwa seolah-olah hanya kaum laki-laki yang ada di muka bumi ini dan kaum wanita seolah-olah tidak ada atau tidak diakui keberadaannya. Jika man atau men itu berarti orang atau manusia, lalu bagaimana dengan kaum wanita, apakah mereka merupakan kelompok dari orang atau manusia atau bagian dari

14 Agus Wijayanto & Endang Fauziati, opcit, hal. 138.

15 Contoh-contoh di bawah ini diambil oleh Agus Wijayanto & Endang Fauziati dari LKS-LKS Bahasa Inggris SMP yang beredar di Surakarta.

(7)

6 laki-laki (sub-human)? Di sinilah terjadi ambiguitas pada istilah man, apakah ia berarti generik dan spesifik.

Karena itu, kaum feminist lebih menyukai istilah person, people atau human being, human beings untuk menggantikan istilah man karena dianggap lebih netral dan non-seksis.

2. Bertanda dan Tak Bertanda (Marked, Unmarked /

هل ةّلاع لا ،ةّلاعلا هل

)

Konsep lain yang berguna untuk menganalisis seksisme dalam bahasa adalah konsep bertanda dan tak bertanda.ini adalah bentuk asimetri tapi lebih menekankan adanya tanda yang menunjuk suatu kelamin pada suatu kata.

Dalam bahasa Indonesia –sebagaimana diungkapkan Suyanto— kata-kata tertentu yang telah dikonsepsikan masyarakat bahwa kata tersebut adalah identik dengan pria, maka seandainya kata tersebut ditunjukkan untuk perempuan ia harus ditambahkan suatu "kata"

yang menunjukkan identitas perempuan di belakang kata tersebut, sebagai contoh polisi wanita, dokter wanita, tentara wanita, hakim wanita, dan lain sebagainya.

Hal ini disebabkan kuatnya konsepsi masyarakat bahwa kata-kata tersebut; polisi, dokter, tentara, hakim identik dengan kedudukan laki-laki. Maka dari itu, ketika kita menyebut polisi, tentara, dokter asumsinya adalah laki-laki dan tidak perlu bagi kita menambahkan polisi pria, dokter pria, tentara pria. Sebaliknya kata-kata pembantu, perawat, sekretaris, penari sangat identik dengan wanita dan kitapun tidak perlu menambah kata

"wanita" di belakangnya.16

Lebih lanjut Suyanto mengungkapkan bahwa selain dengan menambah kata seperti tersebut di atas, untuk menandai perbedaan jenis kelamin dalam Bahasa Indonesia adakalanya dengan menambahkan penanda morfologis. Baik berupa mengganti akhiran pada kata-kata tertentu seperti akhiran a (yang menunjukkan maskulin) dengan akhiran i (yang menunjukkan feminim), sebagai contoh kata-kata pemuda, mahasiswa, putra diganti akhiran menjadi pemudi, mahasiswi, putri. Ataupun dengan menambah Akhiran –wan dan –man pada kata-kata tertentu yang digunakan sebagai penanda untuk jenis kelamin laki-laki seperti karyawan, wartawan, seniman, dan lain sebagainya. Sedangkan kalimat tertentu yang diberi imbuhan –wati mengacu pada jenis kelamin perempuan seperti karyawati, wartawati,

16 Mudjia Rahardjo, Relung-relung Bahasa, (Yogyakarta: Aditya Media,2002), hal.215.

(8)

7 seniwati, dan lain sebagainya. Walaupun begitu, ada beberapa kata yang berakhiran –wan seperti ilmuwan, sejarahwan, budayawan yang tidak memiliki padanan atau pasangan feminimnya. Ada yang berpendapat hal itu dikarenakan asumsi bahwa perempuan tidak memiliki kemampuan untuk menalar dengan baik sehingga ilmu dan budaya adalah hanya tugas laki-laki.17

Adapun dalam bahasa inggris –sebagaimana diungkapkan Shan Wareing—seringkali untuk merujuk perempuan diberi tanda –ess di akhir kata, seperti waiter/waitress, host/hostess, actor/actress. Namun demikian, ada istilah-istilah yang tidak membedakan antara laki-laki dan perempuan seperti surgeon (ahli bedah), professor dan nurse (perawat), tapi kadang istilah tersebut masih digunakan seolah berlaku bagi pria saja, sebab kadang masih menambahkan tanda pada istilah tersebut seperti woman professor (profesor wanita), woman surgeon (ahli bedah wanita), lady doctor (dokter wanita), dll. Contoh-contoh ini merupakan contoh dari bahasa seksis karena penggunaan istilah-istilah bertanda di atas mengimplikasikan bahwa posisi pria dalam profesi itu lebih normal daripada jika profesi itu dipegang wanita.18

Dalam bahasa arab kita temukan kata yang menunjukkan perempuan/mu'annast dengan tanda-tanda: ta' marbuthoh seperti

ةاا لاااع

, alif maqsuroh seperti

ااااس

, dan alif mamdudah seperti

ءاناسح

. Penanda yang paling sering dipakai untuk menunjuk perempuan adalah ta' marbuthoh –bahkan Musthafa al-Ghulayainiy dan Ibnu Aqil menyatakan ta' marbuthoh ini sebagai daya pembeda antara kata laki-laki/mudzakkar dan perempuan/mu'annats— seperti

أّاسةأّا ،ة ةلس ةل ،ةنااااسنإسنااااسنإ

.19 Walaupun begitu dalam kasus-kasus kata sifat yang otomatis menunjuk wanita kata-kata tersebut tidak perlu menambah ta' marbuthoh seperti kata:

ّاح ،باث ،قلاط ،ضئاح

.

Kesetaraan akan terlihat dalam bahasa arab ketika terdapat kata-kata yang di situ sama kedudukan antara kata laki-laki/mudzakkar dan perempuan/mu'annats, yaitu kata- kata yang mengikuti pola morfologi:20

17 ibid, hal. 216-215.

18 Linda Thomas & Shan Wareing, Language, Society and Power,(New York: Routledge,1999) diterj. Sunoto dkk., opcit, hal.112-113.

19 lihat Baha'uddin Abdullah Ibnu 'Aqil, Opcit. hal.165. dan Mushthafa al-Ghulayaini, Opcit, hal. 99.

20 Baha'uddin Abdullah Ibnu 'Aqil, Opcit. hal.166.

(9)

8

POLA CONTOH

عف ّ مشغّ ،لوقّ

عف ّ ا

ل لاطعّ ،لاوقّ

ا عف ّ أاكسّ ،أاطعّ

عاف نع ب لوعف لواغ ،لوبص

لوعفّ نع ب اعف حيأة ، اتق

لوعفّ نع ب ع ف ن ط ،حبذ

لوعفّ نع ب ع ف ب س ،ل ز ة

فصولا هب داأّ لدصّ ق ح ،لد ع

Akan tetapi yang menjadi kajian kritik dewasa ini adalah pendapat-pendapat para ahli nahwu –termasuk di dalamnya Imam Sibawaih dan Ibnu Aqiel—yang menyatakan bahwa kata-kata perempuan/mu'annats merupakan cabang dari kata laki-laki/mudzakkar. Pendapat seperti ini sangat dikritik dan dikecam oleh Ahmad Sulaiman Yaqut dengan menganggap bahwa pendapat tersebut sangat dipengaruhi unsur-unsur fiqh bukan unsur linguistik.21 Pernyataan kata-kata perempuan/mu'annats merupakan cabang dari kata laki-laki/mudzakkar mengesankan bahwa wanita merupakan sub-ordinat laki-laki. Misal lain, dalam bahasa Arab simbol-simbol keagungan dan kebesaran yang merujuk pada Tuhan digunakan kata ganti laki-laki, bentuk jamak tidak berakal digunakan kata ganti atau sifat yang spesifik untuk perempuan, apakah ini merupakan indikasi kesetaraan wanita dengan benda?22

3. Derogasi Semantik

Derogasi semantik adalah proses di mana kata-kata yang merujuk pada wanita mendapatkan makna yang negatif atau mendapatkan konotasi seksual (derogasi berarti membuat sesuatu tampak lebih rendah, semantik berarti makna). Sebagai contoh dalam bahasa inggris: 23

(a) Sir-Madam

21 Untuk lebih jelas, lihat Ahmad Sulaiman Yaqut, Ilmu al-Lughah al-Taqabuliy, (Iskandariah; Dar al- Ma'rifah al-Jamiiyyah, 1992), hal. 98.

22 Syafiyah AF, Seksisme Bahasa, dalam Mudjia Rahardjo, Opcit, hal.223.

23 Linda Thomas & Shan Wareing, Language, Society and Power,(New York: Routledge,1999) diterj. Sunoto dkk., opcit, hal. 113.

(10)

9

"Sir" dan "madam" digunakan untuk menyapa orang yang berstatus sosial tinggi, tetapi "madam" juga digunakan untuk menyapa germo di tempat pelacuran, sementara "sir"

tidak bisa.

(b) Master-Mistress

Kalimat "he is my master" (dia adalah majikan saya) berarti bahwa "dia adalah bos daya" atau "dia lebih besar kekuasaannya daripada saya". Tapi "she is my mistress" berarti bahwa "dia (perempuan) adalah kekasih gelap saya".

Ini menunjukkan dua hal: pertama bahwa kata-kata untuk wanita cenderung kehilangan status jika dibandingkan dengan kata-kata untuk laki-laki. Kedua, bahwa kata- kata untuk wanita sering kali merujuk pada kapasitas seksual dari wanita. Ini terjadi pada kata "mistress" di atas. Contoh lain seperti pada frasa "wine, women dan song" (anggur, wanita dan lagu, pomeo untuk menyebut tiga kesenangan hidup). Dalam konteks Indonesia kita juga mengenal ungkapan harta, tahta, wanita sebagai biang keladi malapetaka kehidupan. Padahal wanita dalam ungkapan tersebut bermakna negatif dan memojokkan kaum wanita.

Kita juga menemukan kata-kata lain seperti; ayam kampus yang berkonotasi negatif terhadap wanita/mahasiswi, padahal kata "ayam" itu kata generik. Kalaupun kata "ayam" itu kita padankan dengan kata "jago" maka kalau kita gabungkan menjadi kata "jago kampus"

bisa dipastikan kata tersebut bermakna positif bagi pria. Selain itu kita juga menemukan banyak istilah yang bermakna negatif bagi wanita dan sedikit bagi pria. Sebagai contoh kata gigolo memiliki padanan yang banyak sekali diantaranya; PSK (kata pekerja di sini sebenarnya laki-laki maupun wanita), WTS, Balon, Senuk (senengane manuk), Kupu-kupu malam, dll. Dalam konteks sosialpun kita juga sering mendapati atribut-atribut yang berkonotasi seksual, seperti genit, bahenol, semox, semlohe, dll.

Disamping lewat aspek tata bahasa, masih ada terms ataupun wacana yang seksis di luar tata bahasa yang menunjukkan superioritas laki-laki dan inferioriatas wanita. Misalnya saja, ketika Si Ita kawin dengan Si Ali, maka ia akan dipanggil orang lain dengan Bu Ali atau Nyonya Ali, atau setidaknya nama suaminya ada di belakang namanya sendiri "Ita Ali".

Selain itu kadangkala panggilan wanita/istri ini juga mengikut kepada jabatan suami, ketika suaminya jadi rektor maka istrinya akan dipanggil bu rektor, ketika suami jadi lurah maka istri akan dipanggil bu lurah. Hal itu tidak penulis temukan ketika umpama istri yang jadi

(11)

10 lurah, kok suaminya tidak dipanggil pak lurah? Atau ketika Megawati jadi presiden, kok suaminya Taufik Kiemas tidak dipanggil "bapak negara" sebagai padanan dari "ibu negara"?

Selain dapat diketahui melalui penanda-penanda di atas, bahasa seksis itu dapat dianalisis dengan beberapa teori. Antara lain; (1) teori dominasi; menyatakan bahwa perbedaan wacana antara pria dan wanita disebabkan karena perbedaan kekuasaan. Kalau kita lihat sepanjang sejarah, pria cenderung memiliki kekuasaan yang lebih besar dari wanita baik dalam arti fisik, finansial, maupun hirarki jabatan. Hal ini menyebabkan bahasa lebih memihak pria daripada wanita, (2) teori perbedaan; menyatakan bahwa perbedaan bahasa antara pria dan wanita karena adanya pemisahan pada tahapan-tahapan penting dalam kehidupan mereka. Menurut teori perbedaan kebiasaan-kebiasaan bermain dengan sesama jenis sewaktu kanak-kanak hingga berteman ketika dewasa akan menciptakan suatu sub- budaya. Wanita akan lebih mengutamakan kesaling-pahaman, kesetaraan, kedekatan hubungan. Sedangkan pria akan lebih mementingkan status, kebebasan, dan kurang memperhatikan perbedaan dan ketidaksetaraan dalam hubungan, dan (3) teori sosialisasi, yang menyatakan bahwa wanita yang sejak kecil diajari untuk mengalah, sopan, lemah lembut tentu akan berbeda dengan pria yang sedikit memiliki kebebasan dan aktif, dan ini berpengaruh terhadap cara berbahasa dan bahasa yang berkembang.24

Upaya Menetralkan Bahasa Seksis

Bahasa seksis merupakan realitas kebahasaan yang tak terelakkan yang keberadaannya terdapat dalam setiap bahasa di muka bumi ini. Realitas ini –disadari atau tidak- berimplikasi terhadap pemberian treatment yang memarjinalkan, me-subordinat-kan kaum perempuan atas kaum laki-laki. Akibatnya, dalam bidang apapun, peran dan fungsi kaum perempuan di bawah kaum laki-laki baik secara kuantitas maupun kualitas. Hal ini terjadi salah satunya karena munculnya bahasa seksis. Untuk itulah, diperlukan usaha perubahan, sekurang-kurangnya untuk meminimalisir pengunaan bahasa-bahasa seksis, yaitu melalui;

24 Linda Thomas & Shan Wareing, Language, Society and Power,(New York: Routledge,1999) diterj. Sunoto dkk., opcit, hal. 132-133.

(12)

11 1) Usaha mensosialisaikan kosakata yang netral. Contoh: untuk menyebut manusia, mereka mensosialisaikan kata people, policeman diganti dengan police officer, chairman diganti chairperson.

2) Pembelajaran bahasa yang netral (bias gender). Jika dulu wanita dibatasi dalam berbicara diruang publik, maka selanjutnya wanita dipersilahkan untuk memasuki wilayah publik.

Inipun perlu upaya dari kaum wanita sendiri untuk berani memasuki wilayah publik.

3) Himbauan kepada semua kalangan, utamanya pada pengajar, penulis, jurnalis, dan lembaga bahasa untuk mengenakan kosakata yang dianggap netral. Contoh: siswa (konotasi laki-laki) versi siswi (konotasi perempuan), bisa dinetralkan dengan murid yang berkonotasi netral. Wartawan-wartawati dinetralkan menjadi jurnalis, reporter atau kuli tinta. Karyawan- karyawati dinetralkan menjadi pekerja. Seniman-seniwati dinetralkan menjadi pekerja seni dan lain sebagainya.

Penutup

Setiap bahasa terdapat bahasa seksis. Ini tidak lepas dari persoalan sistem sosial budaya yang berlaku dalam masyarakat. Kita sering menemui bahwa ketika masyarakatnya berbudaya patriarki maka bahasa yang muncul dan berlaku dalam masyarakat itupun akan juga menjadi seksis. Maka sebagai penutur dan pembelajar bahasa yang baik, kita pun dituntut untuk melakukan upaya reformulasi kebahasaan melalui penetralan bahasa yang seksis menjadi bahasa yang berkesetaraan gender.

DAFTAR PUSTAKA

Ali, Atabik & A.Zuhdi Muhdor, Kamus Kontemporer, (Yogyakarta, Multi Karya Grafika, 1996).

Baron , Robert A., Psikologi Sosial Jilid I, (Jakarta: Erlangga, 2004).

Husen, Ida Sundari & Rahayu Hidayat, Meretas Ranah Bahasa, Semiotika dan Budaya, (Yogyakarta: Bentang Budaya, 2001)

Ibnu 'Aqil, Baha'uddin Abdullah, Syarh Alfiyati Ibn Malik, (Yogyakarta, Badr el-Ilmi,tt).

al-Ghulayaini, Mushthafa, Jami' al-Durus al-Arabiyyah, (Beirut, Maktabah Ashriah, 1997).

Rahardjo, Mudjia, Relung-relung Bahasa, (Yogyakarta: Aditya Media,2002), hal.215.

(13)

12 Tafsir al-Qurthubi, Maktabah Syamilah, Ishdar al-Tsaniy.

Tafsir al-Baidhawiy, Maktabah Syamilah, Ishdar al-Tsaniy.

Thomas,Linda & Shan Wareing, Language, Society and Power, (New York:

Routledge,1999) diterj. Sunoto dkk., Bahasa, Masyarakat dan Kekuasaan, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007).

Wijayanto, Agus & Endang Fauziati, Sexist Language, Jurnal Penelitian Humaniora, Vol. 7, No. 2, 2006.

Yaqut, Ahmad Sulaiman, Ilmu al-Lughah al-Taqabuliy, (Iskandariah; Dar al-Ma'rifah al- Jamiiyyah, 1992).

(14)

13

Referensi

Dokumen terkait

[r]

Kedudukan Kebudajacn Perant jis di Indonesia. 4 II/ Studi Kebudaja.nn Perantjis di Indonesia. Pusat Nasional untuk Pendidikan Bahssa. 19 Daftar peserta.. PERTEMUAN

• Putaran adalah suatu operasi yang menyebabkan objek bergerak berputar pada titik pusat atau pada sumbu putar yang dipilih berdasarkan sudut putaran tertentu.. Untuk melakukan

bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a sampai dengan huruf c, perlu ditetapkan Peraturan Sekretaris Jenderal tentang Standar Biaya

Setelah melalui proses pencalonan sebagaimana ditetapkan dalam Tata Gereja - Gereja Kristen Indonesia, didoakan dan dilawat serta setelah digumuli pencalonannya dalam doa oleh

Dalam rangka menghadapi persaingan global, khususnya memasuki Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) di tahun 2015, tenaga ahli Indonesia di semua bidang baik yang bekerja di sektor

1. Pada awal penelitian dilakukan studi pendahuluan yang menunjukkan masalah pada PT. Socfin Indonesia Kebun Tanah Besih. Masalah yang ditemukan adalah bagaimana menentukan

Hasil dari setiap dimensi akan menunjukkan hubungan dengan peformansi individu setiap karyawan di PT Pelabuhan Indonesia I yang kemudian dapat digunakan perusahaan