• Tidak ada hasil yang ditemukan

Solusi untuk Pengurangan Tenaga Kerja di Jepang

N/A
N/A
Hexa gon

Academic year: 2023

Membagikan " Solusi untuk Pengurangan Tenaga Kerja di Jepang"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Terus berkurangnya populasi penduduk Jepang sejak tahun 2005, serta meningkatnya persentase penduduk usia tua menimbulkan kekhawatiran terhadap jumlah angkatan kerja yang tersedia di masa depan. Salah satu solusi yang semakin dikedepankan bagi masalah tersebut adalah meningkatkan penerimaan pekerja asing. Dalam struktur industri Jepang, pekerja asing paling banyak dibutuhkan dalam sektor industri kecil-menengah (informal). Hal ini terjadi sebagai konsekuensi semakin tidak menariknya pekerjaan di sektor tersebut bagi penduduk lokal.1

Dalam mengisi kekurangan pekerja tersebut Pemerintah Jepang menerbitkan aturan yang memperbolehkan perusahaan merekrut pekerja asing temporal. Salah satu wujud dari kebijakan tersebut adalah program Technical Intern (Pekerja Magang). Program yang muncul melalui revisi undang-undang imigrasi tahun 1991 ini memperbolehkan perusahaan untuk melibatkan pekerja asing dalam proses produksi. Sebagai gantinya, pemerintah mewajibkan perusahaan memberi pelatihan kultur dan teknis, serta pemberian remunerasi. Namun pemerintah Jepang membatasi masa tinggal asing yang direkrut paling lama tiga tahun.2

Kebijakan pekerja temporal seperti pekerja magang sering diadopsi oleh negara- negara industrial yang menghadapi kekurangan tenaga kerja. Dengan mempekerjakan pekerja asing dalam jangka waktu tertentu, negara dapat mengatasi kekurangan pekerja tanpa harus memenuhi komitmen jaminan sosial yang didapat warga negara.3 Bagi Jepang, kebijakan pekerja temporal juga berkesesuaian dengan praktik penerbitan visa kerja untuk pekerja asing di sektor formal saja. Sedangkan Pekerja migran di sektor pekerjaan informal hanya boleh mengakses visa non-kerja.

Hal ini menjadikan pekerja asing dalam sektor informal tidak merasakan standar ketenagakerjaan yang berlaku di Jepang (tertuang dalam Labor Standard Act). Walaupun begitu, program pekerja magang kemudian menjadi aturan de facto yang memayungi pekerja migran dalam sektor informal Jepang. Status legal mereka relatif mendapat kejelasan melalui program tersebut, walaupun tetap digolongkan sebagai bukan pekerja. Apalagi sejak tahun 2009, revisi undang-undang imigrasi Jepang menyatakan pekerja magang mendapatkan hak-

1 V. Mackie, ‘Managing Borders and Managing Bodies in Contemporary Japan,’ Journal of the Asia Pacific Economy, Vol. 15, No. 1, 2010, pp. 74-75.

2 H. Watanabe, ‘Concerning Revisions in the Foreign Trainee and the Technical Intern System,’ Japan Labor Review, Vol. 7, No. 3, 2010, p. 49.

3 P. Martin, Towards Effetive Temporary Worker Programs: Issues and Challenges in Industral Countries, ILO, Geneva, 2007, p. 9.

(2)

hak yang berhubungan dengan sektor ketenagakerjaan seperti upah minimum, batas maksimal jam kerja, upah lembur, hari libur, dan hak cuti hamil bagi pekerja magang perempuan.

Revisi tahun 2009 merupakan hasil dari pengkajian mengenai adanya praktik eksploitatif perusahaan perekrut terhadap Pekerja Magang. Salah satunya pada masalah gaji.

Sebelum adanya revisi tersebut, Pekerja Magang umumnya digaji menurut batas minimal dari kebutuhan hidup di wilayah mereka bekerja. Hal ini karena UU imigrasi revisi tahun 1990 mendefinisikan upah pekerja magang sebatas “actual cost recognized as necessary for daily needs”.4 Selain itu, Pekerja Magang juga tidak mendapatkan pelatihan teknis, namun hanya dilibatkan dalam aktivitas produksi saja. Hal ini menjadi sebuah bentuk pelanggaran, karena selain membatasi hak hidup pekerja magang, tujuan dari program Pekerja Magang tidak tercapai.5

Sayangnya setelah revisi tahun 2009 banyak perusahaan yang masih melakukan pelanggaran. Laporan Kementrian Kehakiman Jepang menyatakan bahwa pelanggaran perusahaan memang berkurang drastis di tahun 2010. Jika pada tahun 2009 pelanggaran tercatat sebanyak 358 kasus, di tahun 2010 jumlahnya turun menjadi 160. Namun, hal tersebut lebih dianggap sebagai dampak resesi ekonomi yang menurunkan jumlah pekerja magang di tahun tersebut.6 Selain itu tren pelanggaran dari tahun ke tahun mengalami kenaikan. Pada tahun 2014, tercatat ada 241 kasus pelanggaran, naik dari 230 kasus di tahun 2013.7 Bentuk pelanggaran yang dilakukan umumnya berupa pelanggaran ketenagakerjaan dalam masalah gaji dan lembur, penetapan jam kerja yang melebihi aturan, serta ketidaksesuaian data antara perusahaan perekrut dengan asosiasi.8 Namun di luar itu juga terdapat pelanggaran berat seperti adanya pelecehan seksual, penyitaan paspor dan buku bank pekerja magang, sampai aktivitas kerja yang berdampak pada kematian.

Pelanggaran-pelanggaran tersebut merupakan masalah klasik yang sudah tercatat sejak tahun pertama program magang dilaksanakan. Hal tersebut juga menunjukkan revisi tahun 2009 belum mampu mengatasi permasalahan pelanggaran secara komprehensif. Dalam

4 Watanabe, 51.

5 C. Kamibayashi, Rethinking Temporary Workers Right: Living Conditions of Technical Interns in the Japanese Technical Internship Program (TIP), Hosei University, Jepang, 2012, 21.

6 Japan Ministry of Justice, Basic Plan for Immigration Control (5th Edition), 2015, pp. 13-15.

7 Japan Ministry of Justice, p. 7

8 S. S. Bhattacharjee, ‘Legal Protection for Migrant Trainees in Japan: Using International Standards to Evaluate Shifts in Japanese Immigration Policy,’ University of Pennsylvania Journal of International Law, Vol. 35, No. 4, 2014, pp. 7-8.

(3)

dunia internasional, fenomena ini semakin meningkatkan perhatian terhadap penjaminan hak hidup dan ketenagakerjaan dalam program Pekerja Magang dengan

PBB merupakan salah satu aktor yang paling tegas menyoroti pelanggaran- pelanggaran dalam program ini. Pada tahun 2010, laporan perwakilan PBB dalam bidang hak asasi pekerja migran menyatakan bahwa program Pekerja Magang menjadi sarana mengisi kebutuhan industri Jepang akan pekerja yang dapat dieksploitasi.9 Bahkan dalam beberapa kasus laporan tersebut menggolongkan keadaan pekerja magang mirip dengan perbudakan.10

Penjabaran di atas menunjukkan bahwa pelaksanaan program pekerja temporal di Jepang tidak sesuai dengan norma internasional yang diadopsi dalam komunitas internasional. PBB sebagai salah satu otoritas yang mengurusi permasalahan pekerja migran telah mendefinisikan bahwa program pekerja asing temporal selain harus menciptakan rancangan aturan yang memunculkan timbal balik antara negara penerima dengan pengirim, juga harus meminimalisasi diskriminasi pekerja migran dalam berbagai sektor.11

Dalam masalah penanganan pekerja asing temporal ada tiga kovenan utama yang sering menjadi rujukan: Konvensi ILO 97 mengenai Migrasi untuk Pekerjaan (1949);

Konvensi ILO 143 mengenai Pekerja Migran (1975) (ketentuan tambahan); dan Konvensi PBB tentang Perlindugan Pekerja Migran dan Anggota Keluarganya (1990).12 Konvensi pertama mewajibkan negara menyediakan informasi relevan tentang imigrasi, mencegah diskrimasi, dan kesetaraan relatif dengan warga negara. Konvensi kedua menyangkut tentang penanganan imigran ilegal, dan kesetaraan hukum dan sosial bagi pekerja asing legal.

Sedangkan konvensi ketiga memuat definisi mengenai pekerja migran, memperjelas hak asasi mereka ketika bermigrasi, serta melacak hak-hak mereka dalam proses migrasi.

Jepang sendiri tidak meratifikasi ketiga kovenan tersebut. Namun melihat peran ketiga kovenan tersebut sebagai perwujudan dari norma penanganan pekerja asing, khususnya yang temporal; serta kritik terhadap program Pekerja Magang Jepang yang banyak mengacu pada ketiga kovenan itu menunjukkan bahwa Jepang juga turut terpengaruh dari pelaksanaan ratifikasinya. Hal ini karena urusan imigrasi menyangkut sebuah aktivitas yang saling bersinggungan antar-negara. Apalagi Jepang semakin menjadi negara tujuan dari pekerja migran. Ketika standar penganganan rendah belum juga dibenahi, tekanan dari publik domestik dan internasional akan menguat.

9 United Nations, UN Migrants Rights Expert Urges Japan to Increase Protection of Migrants, Official of U.N.

High Commisioner for Human. Rights, 2010.

10 United Nations, 17-18.

11 A. Shipper, Contesting Foreigner’s Rights in Contemporary Japan, North Carolina Journal of International Law vol. 36, no. 3, 2011, pp. 505-06.

12 Bhattacharjee, pp. 10-12.

(4)

Fenomena masih terjadinya pelanggaran terhadap Pekerja Magang setelah revisi 2009 yang semakin memperkuat fasilitasi mereka menunjukkan bahwa kebijakan Pemerintah Jepang relatif tertinggal dari norma internasional yang berlaku. Hal ini juga dapat dianggap sebagai konsekuensi dari kebijakan Jepang untuk tidak meratifikasi kovenan-kovenan tersebut. Keberadaan pekerja magang yang semakin dibutuhkan dalam industri Jepang juga meningkatkan tekanan bagi pemerintah untuk semakin menyesuaikan fasilitasi pekerja asing temporal dengan norma internasional.

1.2 Rumusan Masalah

Untuk menganalisis bagaimana kebijakan Pemerintah Jepang terhadap pekerja asing temporal dipandang dari perspektif norma internasional, pertanyaan yang penulis angkat adalah:

1. Bagaimana pelaksanaan kebijakan pekerja asing temporal di Jepang, yang mana konvensi perlindungan pekerja asing belum diratifikasi?

1.3 Landasan Konseptual

1.3.1 Norma Perlindungan Pekerja Asing

Dalam studi hubungan internasional, konsep norma menjadi salah satu alat dalam menganalisis latar belakang dari munculnya perilaku negara. Konsep ini menekankan bahwa perilaku negara tidak semata dipengaruhi oleh pertimbangan untung-rugi, melainkan juga hal-hal normatif yang mempengaruhi perpolitikan domestiknya maupun dinamika regional.13 Awalnya konsep ini muncul untuk menjelaskan perilaku negara dalam organisasi internasional dan bidang ekonomi-politik. Dalam arena tersebut, norma terbukti mampu membentuk kerangka aturan dan ekspektasi, yang kemudian mempengaruhi perilaku negara.

Namun dengan semakin berpengaruhnya organisasi internasional dalam berbagai bidang dewasa ini berkonsekuesi pada menguatnya tekanan negara untuk menginternalisasi norma.

Norma perlindungan terhadap pekerja asing muncul didorong oleh adanya fenomena diskriminasi yang dialami imigran di negara penerima.14 Hal ini menunjukkan adanya ketidaksetaraan secara politik dan sosial yang mereka alami. Padahal praktik penerimaan pekerja asing yang diinisiasi pemerintah telah muncul sejak abad ke-19. Hal tersebut kemudian menjadi salah satu faktor dibentuknya konvensi-konvensi internasional yang mengatur perlindungan pekerja asing. Norma perlindungan pekerja asing utamanya termuat

13 G. Goertz dan P. Diehl (1992), ‘Toward a Theory of International Norm,’ Journal of Conflict Resolution, Vol. 36, No. 4, p.636.

14 D. Gerber, American Immigration: A Very Short Introduction, Oxford University Press, New York, 2011, pp.

7-8.

(5)

dalam Konvensi ILO 97 mengenai Migrasi untuk Pekerjaan (1949); Konvensi ILO 143 mengenai Pekerja Migran (1975) (ketentuan tambahan); dan Konvensi PBB tentang Perlindugan Pekerja Migran dan Anggota Keluarganya (ICMR, 1990). Ekpektasi-ekspektasi norma perlindungan pekerja asing bagi negara penerima yang diatur dalam norma tersebut antara lain:

1. Penyediaan informasi kebijakan imigrasi bagi pekerja asing, mencegah diskrimasi, dan kesetaraan dengan warga negara.

Ekspektasi ini termuat dalam Konvensi ILO 97 mengenai Migrasi untuk Pekerjaan.

Konvensi yang diundangkan pada 1949 ini mengatur anggota ILO untuk menyediakan—

ketika diminta oleh ILO maupun anggota lain—mengenai informasi kebijakan nasional, ketentuan-ketentuan khusus, serta kesepakatan yang dibuat berdasar konvensi ini dalam masalah imigrasi (Pasal 1, 2).15 Konvensi ini juga memuat ketentuan pencegahan diskriminasi (Pasal 6) dan menjamin kesetaraan imigran dengan warga negara (Pasal 6b, 6c).16

2. Pencegahan dan penanganan imigran ilegal, dan kesetaraan kesempatan bagi pekerja asing legal.

Ekspektasi ini termuat dalam Konvensi ILO 143 mengenai Pekerja Migran (1975).

Konvensi ini memiliki memiliki dua ketentuan utama, yaitu mencegah kemunculan praktik imigrasi paksa dan yang mengarah pada perdagangan manusia (Pasal 2).17 Konvensi juga mengatur negara anggota untuk memberi sanksi bagi pihak-pihak yang mengirim dan mempekerjakan imigran yang sesuai dalam kategori imigrasi paksa (Pasal 3, 5).18

3. Menyatakan status pekerja asing secara jelas, mengaplikasikan hak asasi manusia kepada pekerja asing, serta pencatatan hak-hak pekerja asing dalam masa migrasinya.

Konvensi yang mulai berlaku sejak tahun 2003 ini mengatur kategorisasi pekerja asing (skilled dan unskilled), memperjelas berlakunya hukum-hukum HAM kepada pekerja asing, serta melacak dan mencatat pemenuhan hak-hak pekerja asing dalam proses

15C097 - Migration for Employment Convention (Revised), 1949 (No. 97),’ International Labour Organization, diakses pada:

http://www.ilo.org/dyn/normlex/en/f?p=NORMLEXPUB:12100:0::NO::P12100_INSTRUMENT_ID:312242, 24 Juni 2016.

16 International Labour Organization.

17 C143 - Migrant Workers (Supplementary Provisions) Convention, 1975 (No. 143), International Labour Organization, diakses pada:

‘http://www.ilo.org/dyn/normlex/en/f?p=NORMLEXPUB:12100:0::NO::P12100_ILO_CODE:C143, 24 Juni 2016.

18 International Labour Organization

(6)

migrasinya.19 Konvensi ini dianggap sebagai salah satu kodifikasi paling komperhensif mengenai hak-hak pekerja asing dan keluarganya.20

1.3.2 Organizational Culture (Budaya Organisatoris)

Sebuah negara akan selalu berusaha memitigasi dampak dari dinamika lingkungan eksternal terhadap urusan internalnya. Salah satu pendekatan dalam menjelaskan perbedaan dari mitigasi-mitigasi tersebut adalah dengan menganalisis norma yang menghegemoni dalam birokrasi sebuah negara. Ketika norma tersebut telah menjadi ide kolektif, akan terbentuklah ketentuan mengenai bagaimana negara mengkalkulasikan tindakan, yang kemudian disebut sebagai budaya organisatoris (Organizational Culture).21 Budaya organisatoris terwujud dalam bentuk identitas, prioritas, persepsi, serta preferensi kapabilitas yang muncul dari relasi kompleks baik di internal maupun karena pengaruh eksternal yang dirasakan birokrasi.

Birokrasi menjadi objek yang dianalisis karena mereka merupakan agen utama bagi negara dalam merumuskan sebuah tindakan. Budaya organisatoris dalam agen-agen negara akan menjadi petimbangan substansial dalam perumusan tersebut. Konsekuensinya, budaya organisatoris menciptakan preferensi terhadap sarana apa saja yang dianggap lebih baik untuk mencapai tujuan, serta pantas didukung. Sarana-sarana yang berkesesuaian dengan budaya akan mendapat perhatian dalam hal diskursus dan pendanaan dibanding yang tidak. Dengan begitu budaya organisatoris memiliki kemampuan untuk mempengaruhi bentuk dari dimensi material sebuah negara.22

Relevansi dari keberadaan norma dalam birokrasi negara dengan analisis pengaruh norma internasional adalah yang pertama akan mempengaruhi ketaatan, atau justru mendorong pengabaian/pelanggaran, terhadap yang kedua.23 Keberadaan norma internasional yang berkesesuaian dengan budaya organisatoris akan mendorong agen-agen birokrasi untuk mempromosikan apropriasi yang sejalan dengan ekspektasi norma. Sedangkan pengabaian ataupun motivasi pelanggaran akan muncul ketika norma internasional dipandang tidak sejalan dengan budaya organisatoris dalam birokrasi.

19 International Convention on the Protection of the Rights of All Migrant Workers and Members of Their Families, United Nations.

20 Bhattacharjee, p. 1161.

21 J. W. Legro, Which Norms Matter? Revisiting the "Failure" of Internationalism, International Organization, Vol. 51, No. 1, 1997, p.35.

22 A. Björkdahl, Norms in International Relations: Some Conceptual and Methodological Reflections, Cambridge Review of International Affairs, Vol.15, No.1, 2002, pp. 7-8.

23 Legro, p. 37.

(7)

Pendekatan ini memang lebih menekankan pada dinamika domestik negara dalam merespon norma internasional. Namun hal tersebut tidak selalu berarti bahwa analisis akan mengabaikan faktor-faktor internasional dan menjadikan analisis berakhir dengan pendekatan struktur tradisional. Menurut Gurowitz, faktor domestik memiliki relevansi sebagai agen internalisasi norma yang muncul dalam dinamika internasional.24 Internalisasi tersebut akan menghasilkan diskursus yang sesuai dengan konteks domestik negara tersebut. Ketika norma dipandang memiliki potensi dampak, negara cenderung mengintegrasikan anjuran-anjuran dalam norma ke dalam tata aturan domestik berdasarkan diskursus yang dihasilkan.

Dalam konteks pengaturan imigrasi di Jepang, pandangan budaya organisatoris memiliki relevansi yang dapat menjelaskan kecenderungan pengabaian terhadap norma internasional. Sejak diterbitkannya konstitusi baru pasca Perang Dunia II, posisi penduduk yang dianggap sebagai imigran dalam sistem masyarakat Jepang cenderung didiskriminasi.

Salah satu contohnya adalah praktik diskriminatif terhadap penduduk keturunan Korea (Selatan) dan etnis Ainu serta Burakumin dalam masalah kewarganegaraan. Namun terbitnya Convention on the Elimination of Racial Discrimination (CERD) memberikan dasar legitimasi bagi pihak-pihak di Jepang yang ingin mengubah praktik tersebut dengan. Apalagi konvensi tersebut kemudian menjadi salah satu yang paling banyak diratifikasi, sehingga meningkatkan tekanan kepada Pemerintah Jepang untuk meratifikasinya di tahun 1995.25 Contoh tersebut menunjukkan bahwa faktor domestik mampu berinteraksi dengan faktor internasional untuk mempengaruhi budaya organisatoris Pemerintah Jepang.

Konsep ini juga dapat digunakan untuk menganalisis penyebab belum diratifikasinya Konvensi ILO 97 mengenai Migrasi untuk Pekerjaan (1949); Konvensi ILO 143 mengenai Pekerja Migran (1975) (ketentuan tambahan); dan Konvensi PBB tentang Perlindugan Pekerja Migran dan Anggota Keluarganya (1990). Sebabnya, belum diratifikasinya konvensi oleh Pemerintah Jepang menunjukkan perbedaan pandangan antara ekspektasi yang tertuang dalam tiga konvensi tersebut dengan unsur-unsur domestik yang membentuk budaya organisatoris di Jepang.

24 A. Gurowitz, Mobilizing International Norms: Domestic Actors, Immigrants, and the Japanese State, World Politics, Vol. 51, No.3, 1999, p.416

25 Gurowitz, pp. 428-429.

(8)

1.4 Argumentasi Utama

Melalui konsep norma perlindungan terhadap pekerja asing, dan organizational culture penulis berusaha menganalisis sebab-sebab belum diratifikasinya Konvensi ILO 97 mengenai Migrasi untuk Pekerjaan (1949); Konvensi ILO 143 mengenai Pekerja Migran (1975) (ketentuan tambahan); dan Konvensi PBB tentang Perlindugan Pekerja Migran dan Anggota Keluarganya (1990). Penulis berasumsi bahwa belum diratifikasinya ketiga konvensi tersebut disebabkan budaya organisatoris yang sejalan dengan tradisi dan praktik proteksionisme imigrasi dari agen pemerintah (dalam hal ini Kementrian Kehakiman; Kementrian Luar Negeri); dan Kementrian Tenaga Kerja dalam pembuatan kebijakan, termasuk dalam masalah ratifikasi kovenan mengenai pekerja asing. Di sisi lain, hal tersebut juga menjadi penyebab masih terjadinya pelanggaran dalam fasilitasi pekerja magang.

1.5 Jangkauan Penelitian

Analisis dari penelitian ini dibatasi dari tahun 2009 sampai tahun 2014. Tahun 2009 adalah periode revisi teraktual dari kebijakan imigrasi dalam sektor pekerja magang yang menjadi kebijakan de facto dalam bidang pekerja asing temporal di Jepang. Tahun 2010-2014 adalah periode masih munculnya pelanggaran-pelanggaran dari perusahaan perekrut di tengah implementasi dari revisi undang-undang tersebut. Selain itu, tahun 2014 Parlemen Jepang juga mengesahkan paket kebijakan third arrow, yang dalam bagi pekerja magang memperluas bidang pekerjaan yang dapat dimasuki serta memperpanjang izin tinggal menjadi lima tahun.

1.6 Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode kualitatif. Menurut Creswell, metode kualitatif adalah cara penelitian yang bertujuan untuk mengeksplorasi dan memahami makna dari sebuah masalah sosial atau kemanusiaan.26 Dalam proses pengumpulan data, penulis menggunakan studi literatur/kajian pustaka. Data yang digunakan bersifat primer dan sekunder. Data primer didapat dari situs dan rilisan resmi yang berasal dari otoritas penanganan bidang imigrasi Jepang, seperti Kementrian Kehakiman,Kementrian Tenaga Kerja, Kementrian Luar Negeri serta Japan International Training Cooperation Organization (JITCO). Sedangkan data sekunder didapat dari jurnal akademik maupun berita yang berbentuk cetak dan digital.

26 J. W. Creswell, Research Design, edisi Bahasa Indonesia Research Design, diterjemahkan oleh Achmad Fawaid, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2010, p. 4.

(9)

1.7 Sistematika Penulisan

Penelitian ini akan terdiri dari empat bagian. Bagian pertama mendeskripsikan latar belakang, rumusan masalah, landasan konseptual, argumen utama, serta sistematika penulisan penelitian.

Bagian kedua akan berisi tentang bagaimana perkembangan kebijakan pekerja temporal dalam program Pekerja Magang. Selain itu bagian ini akan menjelaskan konteks dibentuknya program serta revisi-revisi yang bertujuan untuk meningkatkan fasilitasi pekerja magang, serta masalah-masalah umum yang muncul dalam pelaksanaan program ini.

Bagian ketiga akan menjelaskan relasi antara budaya organisatoris agen Pemerintah Jepang di bidang imigrasi (Kementrian Kehakiman, Kementrian Tenaga Kerja, dan Kementrian Luar Negeri) dengan ekspektasi norma yang tertuang dalam kovenan megenani pekerja asing. Relasi tersebut diasumsikan menjadi sebab belum diratifikasinya tiga kovenan pekerja asing temporal: Konvensi ILO 97 mengenai Migrasi untuk Pekerjaan (1949);

Konvensi ILO 143 mengenai Pekerja Migran (1975) (ketentuan tambahan); dan Konvensi PBB tentang Perlindugan Pekerja Migran dan Anggota Keluarganya (1990). Kemudian kovenan tersebut akan diperbandingkan dengan kebijakan pekerja temporal Jepang yang tertuang dalam Immigration Control and Refugee Recognition Act (selanjutnya disebut UU Imigrasi Jepang) versi revisi tahun 2009, serta dampaknya bagi pekerja magang.

Bagian keempat berisi tentang kesimpulan dan jawaban atas rumusan masalah yang diajukan dalam penlitian ini.

Referensi

Dokumen terkait