• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sejarah Walisongo dan Model Moderasi Beragama

N/A
N/A
FARID RAFIFTITO

Academic year: 2025

Membagikan "Sejarah Walisongo dan Model Moderasi Beragama"

Copied!
21
0
0

Teks penuh

(1)

MAKALAH

SEJARAH WALISONGO DAN MODEL

MODERASI BERAGAMA Disusun Guna

Memenuhi Tugas

Mata Kuliah Islam dan Moderasi Beragama

Dosen Pengampu: Elina Lestariyanti, M.Pd.

MAKALAH

SEJARAH WALISONGO DAN MODEL

MODERASI BERAGAMA Disusun Guna

Memenuhi Tugas

(2)

Mata Kuliah Islam dan Moderasi Beragama

Dosen Pengampu: Elina Lestariyanti, M.Pd.

MAKALAH

SEJARAH WALISONGO DAN MODEL

MODERASI BERAGAM

MAKALAH

SEJARAH WALISONGO DAN MODERASI BERAGAMA

Disusun untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Islam dan Moderasi Beragama

(3)

Dosen pengampu:

Dr. Kurnia Muhajarah M.S.I.

Disusun oleh:

1. Farid Rafiftito (23080360015)

2. Bagus Faqih (23080360006)

3. Marcela Elsa Talia (23080360036) 4. Icha Calista Salsabilla (23080360032) PRODI KIMIA MURNI FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO SEMARANG 2023/2024 DAFTAR ISI DAFTAR ISI...2

BAB I PENDAHULUAN...3

A. Latar Belakang...3

B. Rumusan Masalah...3

C. Tujuan Makalah...3

D. Manfaat Makalah... 4

BAB II PEMBAHASAN...5

A. Mengenal Istilah Walisongo...5

B. Sejarah Walisosngo di Nusantara...6

C. Strategi Dakwah Walisongo...7

D. Model Dakwah Waliongo...10

E. Moderasi beragama dalam islam nusantara: menimba dari Walisongo... 16

BAB III PENUTUP...18

(4)

A. Kesimpulan...18 B. Saran...18 DAFTAR PUSTAKA...19

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Islam merupakan sebuah agama yang sudah tidak asing lagi di telinga masyarakat. Islam dikenal dengan agama yang ramah dan cinta damai. Agama Islam datang ke Indonesia berlangsung secara sistematis, gradual terencana, dan dengan media penyampain yang dilakukan secara damai. Islam tidak menerapkan sistem kasta dan perbandingan kekayaan. Para pembawa syiar islam atau yang biasa kita kenal dengan sebutan Dai tersebut melakukan perubahan besar-besaran secara mendasar selama bertahun-tahun. Dari kebudayaan Animisme-Dinamisme, Hindu, dan Budha menjadi tanah yang bertradisikan islami hingga saat ini. Perubahan ini merupakan revolusi agama dan kebudayaan yang ada di tanah air kita. Perubahan yang terlihat signifikan terlihat pada perubahan pola pikir masyarakat, sudut pandang masyarakat dalam kebermanfaatan hidup, yang akhir melahirkan para sastrawan-sastrawan atau seperti filsuf, ulama dan para tokoh-tokoh revolusioner dengan karya-karya yang bermakna dan berdampak bagi lingkungan sosial.

Dari sekian banyaknya para Dai yang tersebar di Indonesia. Kita kerap mendengar nama Walisongo, entah itu di dalam cerita rakyat, mitos, sejarah, ataupun bahkan dalam pelajaran keislaman dalam pembelajaran sekolah. Sehingga timbul

(5)

suatu pertanyaan atas identitas Walisongo itu sendiri baik itu dari asal-usulnya, corak pemikiran islamnya, maupun itu kajian-kajian dan cara pendekatan yang mereka lakukan terhadap masyarakat di waktu itu.

Dalam penyebaran agama Islam di Nusantara, para walisongo ini memainkan peran penting yang telah menarik minat warga untuk mau mengenal, melihat, mempelajari, dan mengimani agama Islam. Dengan sebuah inovasi pendekatan terhadap masyarakat, yang jauh belum terpikirkan oleh para Dai-lain kala itu yang berada di Indonesia

.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana sejarah penyebaran islam dimasa para Walisongo ada?

2. Bagaimana cara pendekatan yang mereka bawakan terhadap masyarakat yang kala itu masih memegang sebuah kepercayaan lain?

3. Sarana apa yang mereka gunakan untuk mendukung kegiatan dakwah yang mereka lakukan?

4. Peran apa yang mereka pegang saat penyebaran agama Islam di zamannya?

C. Tujuan Makalah

1. Untuk menjadi media informasi tentang sejarah Walisongo.

2. Untuk mengetahui cara pendekatan dan sarana yang digunakan oleh Walisongo dalam berdakwah.

3. Supaya mngetahui peran serta dampak yang dibawa oleh kehadiran Walisongo dalam masyarakat Indonesia.

4.

Untuk memenuhi kewajiban tugas mata kuliah Islam dan Moderisasi Agama

.

D. Manfaat Makalah

Manfaat dari pembuatan makalah ini ialah, sebagai pemenuhan pengumpulan tugas, selain itu sebagai media informasi serta sebuah notulen yang suatu saat nanti bisa menjadi riwayat atau sebuah bahan untuk proses pembelajaran

.

(6)

BAB II PEMBAHASAN

A. Mengenal Istilah Walisongo

Istilah Walisongo, masih menjadi kontroversi dan tidak ada dokumen holistik yang dapat dijadikan rujukan untuk menentukan mana yang benar. Dalam bahasa Arab, istilah wali bisa berarti kekuasaan atau pemimpin seperti Wali Madinah (wali kota atau gubernur Madinah), atau bisa berarti kekasih, teman dekat, dan pembela.1

Sehingga dikatakan wali Allah, kekasih yang dekat dengan Allah karena ketaatannya, sehingga saat Imam Ibnu Hajar menguraikan tentang wali Allah, beliau berkata "Orang yang me- ngerti tentang Allah, terus menerus berbuat ketaatan dan ikhlas dalam beribadah.2

Akan tetapi istilah wali, bila dikaitkan dengan Walisongo dalam historiografi lokal muncul beragam interpretasi yang spekulatif. Ada yang berpendapat, istilah Walisongo menandakan jumlah wali yang ada sembilan, dalam bahasa Jawa, songo berarti sembilan; namun ada juga yang mengartikan songo atau sanga berasal dari tsana yang berasal dari bahasa Arab, yang berarti mulia; tetapi songo atau sanga

1 Thahir Ahmad Zawi, Tartib al-Qamus al-Muhid, (Riyard;Dar Alam Al-Kutub,1417/1996,Cet.4) Vo;.4, hlm.658.

2 Ahmad bin Ali bin Hajar al-Asqalani, Fathul Bari, (Kairo: Dar al-Hadits, 1424/ 2004), 11/387.Z

(7)

menurut R. Tanojo dan Hardjawidjaja adalah sana, berasal dari bahasa Jawa, yang berarti dununing wali (tempat tinggal wali),3

Tetapi pendapat yang banyak dianut oleh para penulis sejarah Walisongo adalah bahwa istilah Walisongo untuk sebuah dewan dakwah yang dirancang oleh Sunan Gresik alias Maulana Malik Ibrahim pada tahun 1404 Masehi/808 Hijriah kemudian dilanjutkan oleh Sunan Ampel, yang beranggotakan sembilan orang, yang menurut Hasanu Simon merupakan para petugas pilihan.4

Dadan Wildan mengutip dari analisa Siem yang menghubung kan bilangan sembilan dengan pembagian arah mata angin; utara, timur laut, timur, tenggara, selatan, barat daya, barat, barat laut, dan pusat mata angin, yang tidak ada hubungannya dengan para dewa, tetapi diartikan bahwa Walisongo ialah para wali yang datang dari sembilan arah, yaitu delapan penjuru angin dan ditambah satu titik pusatnya. Sedangkan Sunan Kalijogo yang dianggap pusat para wali.5

Akan tetapi, Sastrowardjojo mengkritik, bahwa itu hanya seba tas pendapat, yang diduga berasal dari logika othak athik gathuk, yaitu suatu yang diutak-atik sehingga menjadi klop dengan kesim- pulan yang telah disiapkan sebelumnya.6

Tapi anehnya, istilah Walisongo baru dipopulerkan pada abad ke-19 Masehi oleh pujangga sastra Jawa dari keraton Surakarta, Ronggowarsito. Malah hingga akhir abad ke-18 M, belum ditemukan naskah yang menuliskan kata "Walisongo". Boleh jadi penyebutan Walisongo merupakan istilah yang dikenalkan oleh keraton Jawa dalam rangka strategi kebudayaan, yaitu "Jawanisasi" tokoh Islam. Dan pihak pertama yang menjadi sumber pengguliran istilah walisongo adalah Sunan Giri 2. Dia menggunakan dalam bukunya Sunan Giri 2.7

Suryanegara mengatakan, bahwa Walisongo dianggap sebagai tokoh Islam yang sudah makrifat, sehingga didongengkan sebagai sosok yang tidak perlu lagi menjalankan syariat Islam. Dia jug mengatakan bahwa Walisongo adalah pemimpin umat yang tidak memahami nilai-nilai niaga Islam. Walisongo sebagai ulama tingkah laku ibadahnya sama seperti Brahmana Hindu dan Biksu Buddha, tidak mengenal masalah niaga dan tidak mau menyeberang lautan. Dengan kata lain, Walisongo didongengkan atas nama 264 Islam, tetapi isi ajarannya tetap Hindu atau Buddha.8

Alhasil, Walisongo, baik secara fakta sejarah dan pengolahan laporan secara telaah kritis dan analisa tajam masih jauh dari harapan, malah sebaliknya sejarah dan ajaran Walisongo masih banyak mengandung kekaburan data dan kekonyolan fakta.

Justru ada kemiripan sejarah Walisongo dengan gambar mereka, sama-sama bersumber pada asumsi fiktif, karena penulisan sejarah Walisongo masih banyak dipengaruhi cerita rakyat, legenda kabur, dongeng ketoprak, dan penulisan tanpa bukti valid dan fakta akurat. Lebih memilukan lagi, ajaran Walisongo masih banyak

3 Editan Tanojo, Walisana, Giri ll, (Jakarta: Yayasan Sastra Lestari, tahun 2012), hlm. 120, Asmarandono.

Pupuh, VI dan Hardjawidjaja, Suluk Walisana, Kediri: Tan Khoen Swie, 1938, him. 57.

4 Hasanu Simon, Misteri Syekh Siti Jenar, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006, Cet III, him. 50.

5 Dadan Wildan, Sunon Gunung Jati, Tangerang Penerbit Salima, 2012, Cet. 1, hlm. 200

6 Sastrowardjojo, Walisongo & Syekh Siti Jenar, Yogyakarta: t.p, 2006, Cet. 1, him, 27..

7 Gatra, Edisi Khusus, no. 5 Tahun VIII 22 Desember 2001.

8 Ahmad Manshur Suryanegara, Api Sejarah, (Bandung: Salamadani, 1434/2013), Cet. VI, Vol. 1/6

(8)

bersandar pada otak-atik para penulis dan persepsi awam, sementara fakta ajaran mereka sebenarnya masih tersamarkan.

B. Sejarah Walisosngo di Nusantara

Islam masuk ke wilayah Nusantara sudah terjadi sejak lama. Sebagian berpendapat bahwa Islam masuk pada abad ke-7 M dan datang langsung dari Arab.

Pendapat lain mengatakan bahwa Islam masuk pada abad ke-13 M, dan ada juga yang berpendapat bahwa Islam masuk pada sekitar abad ke-9 M atau ke-11 M.

Dari bukti-bukti sejarah tersebut, sangat jelas bahwa teori awal mula masuknya Islam ke Nusantara, seperti Teori Cina, Teori Persia, Teori Maritim, apalagi Teori Gujarat semuanya telah tertolak. Teori Mekah yang menyatakan bahwa Islam masuk pertama kali ke Nusantara melalui Aceh dari Mekah pada abad 7 adalah teori yang paling kuat dari semua teori lainnya.(Rachmad Abdullah, S.Si., 2015)

Beberapa buku dan keterangan sumber referensi sejarah mengatakan bahwa perkembangan Islam di Nusantara sangat erat dengan peran tokoh atau ulama yang hidup pada saat itu, di mana tokoh yang sangat berjasa dalam proses islamisasi di Nusantara, terutama di tanah Jawa adalah para Walisongo. Mereka adalah para wali yang membantu proses islamisasi di Jawa.

Walisongo kemudian menjadi sosok yang sangat penting di kalangan masyarakat muslim Jawa. Hal ini karena ajaran-ajaran dan dakwah mereka yang unik, serta sosok-sosok mereka yang menjadi teladan serta ramah terhadap masyarakat Jawa. Dengan begitu, Walisongo mudah untuk menyebarkan Islam ke seluruh wilayah Nusantara. Walisongo menyebarkan agama Islam dari Jawa Barat sampai ke Jawa Timur. Mereka berdakwah di Cirebon, Demak, Kudus, Muria, Surabaya, Gresik, dan Lamongan.

Proses islamisasi berjalan dengan damai. Jarang ada perlawanan yang diberikan oleh masyarakat terkait dengan proses islamisasi. Hanya ada pertentangan kecil yang tidak terlihat sebagai perang atau pemaksaan budaya. Penduduk Jawayang pada akhirnya memeluk Islam, melakukan hijrah tersebut dengan sukarela. Walisongo menerapkan metode dakwah yang lembut dan damai sehingga dapat diterima dengan sangat baik oleh masyarakat Jawa. Bahkan, kehadiran para Wali di tengah-tengah Pulau Jawa tidak pernah dianggap sebagai sebuah ancaman.

Para Wali ini menyebarkan agama Islam menggunakan pendekatan budaya dengan cara menyerap seni budaya lokal yang dipadukan dengan ajaran Islam, seperti wayang, tembang Jawa, gamelan, upacara-upacara adat yang digabungkan dengan.

makna-makna Islam dan sebagainya. Para Wali juga memadukan unsur ajaran sebelumnya sebagai media dakwah. Mereka memasukkan nilai-nilai agama Islam ke dalam unsur tersebut, sehingga kedua unsur, baik unsur sebelumnya yang masih menganut ajaran Hindu-Buddha, bergabung bersama unsur ajaran Islam membentuk sebuah keserasian. Pada subbab setelah ini akan di bahas lebih detailnya tentang cara Walisongo menyebarkan ajaran agama Islam kepada Masyarakat Indonesia.

(DR.Zainal Abidin bin Syamsuddin Lc, 2022)

(9)

C. Strategi Dakwah Walisongo

Dalam penyampaian dakwah walisongo menggunakan unsur dakwah yang sangat menarik. Unsur tersebut meliputi :

1. Da’i

Walisongo berdakwah dengan cara damai. Yakni dengan pendekatan pada masyarakat pribumi dan akulturasi budaya (percampuran budaya Islam dan budaya lokal). Maulana Malik Ibrahim sebagai perintis mengambil peranannya di daerah Gresik, setelah beliau wafat wilayah ini di kuasai oleh Sunan Giri, Sunan Ampel mengambil posisinya di Surabaya, Sunan Bonang di Tuban, sementara itu Sunan Drajat di Sedayu, sedangkan di Jawa Tengah ada tiga wali yaitu Sunan Kudus yang mengambil wilayah di Kudus, Sunan Muria pusat kegiatan dakwahnya terletak di Gunung Muria (sekitar 18 km sebelah utara Kota Kudus), dan Sunan Kalijaga berdakwah di Demak, sedangkan di Jawa Barat hanya ada satu orang wali saja yaitu Sunan Gunung Jati.

Sunan Gunung Jati menjadi Raja muda di Cirebon dan Banten di bawah lindungan Demak, dan Sunan Giri bukan hanya ulama, namun juga pemimpin pemerintahan, jadi beliau bersifat al-ulama wa al-umara, sedangkan tujuh wali yang lain hanya bersifat al-ulama saja.

2. Mad’u

Kondisi mad’u pada masa wali ini termsuk mad’u ummah karena pada saat itu mereka masih beragama hindu – budha, akan tetapi ada juga sebagian yang menerima islam sebagai agamanya, jadi pada masa walisongo ini termasuk mad’u ijabah dan mad’u ummah.

3. Materi

Materi dakwah yang diterapkan pada dakwah Walisongo ini adalah akidah, syari’ah dan muamalah, dimana para Wali menanamkan akidah kepada masyarakat setempat,karena menghawatirkan penyimpangan akidah akibat tradisi masyarakat jawa,serta memperhatikan secara khusus kepada kesejahteraan social dari fakir miskin,mengorganisir amil,zakat dan infak, dan juga mengajarkan ilmu-ilmu agama seperti ilmu fikih, ilmu hadis, serta nahwu dan saraf kepada anak didiknya.

4. Metode

Meskipun tidak membawa bendera tertentu kecuali Islam dan Ahl alSunnah Wa al-Jama’ah, metode dakwah yang digunakan Walisongo adalah penerapan metode yang dikembangkan para sufi Sunni dalam menanamkan ajaran Islam melalui keteladanan yang baik. Aliran teologinya menggunakan teologi Asy’ariyah, sedangkan aliran sufistiknya mengarah pada Al-Ghazali.

Jejak yang ditinggalkan Walisongo itu terlihat dalam kumpulan nasihat agama yang termuat dalam tulisantulisan para murid dalam bahasa Jawa yang dikenal dengan primbon, yang menggambarkan hakikat aliran tasawuf yang mereka anut dan kembangkan. Hal ini juga didasarkan pada manuskrip yang ditemukan Drewes yang diperkirakan ditulis pada masa transisi dari Hinduisme kepada Islam, yakni pada masa Walisongo hidup. Dalam

(10)

manuskrip yang menguraikan tasawuf itu terdapat beberapa paragraf cuplikan dari kitab al-Bidayah wa al-Nahayah karya al-Ghazali.

Kendati demikian, metode dakwah yang dilakukan para wali berbeda- beda. Metode yang dilakukan Sunan Kudus tampak unik dengan mengumpulkan masyarakat untuk melihat lembu yang dihias sedemikian rupa sehingga tampil bagai pengantin itu kemudian diikat di halaman masjid, sehingga masyarakat yang ketika itu masih memeluk agama Hindu datang berduyun-duyun menyaksikan lembu yang diperlakukan secara istimewa dan aneh itu. Sesudah mereka datang dan berkumpul di sekitar masjid, Sunan Kudus lalu menyampaikan dakwahnya. Cara ini praktis dan strategis untuk menarik minat masyarakat yang masih banyak menganut agama Hindu.

Seperti diketahui, lembu merupakan binatang keramat Hindu.

Terhadap tokoh-tokoh masyarakat yang keras dan gigih menentang dakwah Islamiyah, para wali menerapkan metode al-mujadalah billati hiya ahsan (berbantah bantah dengan jalan yang sebaik-baiknya). Mereka diperlakukan secara personal, dan diperlakukan secara istimewa, langsung, bertemu pribadi sambil diberikan keterangan, pemahaman dan perenungan (tadzkir) tentang Islam. Cara ini dilakukan oleh Raden Rahmat atau Sunan Ampel ketika berdakwah kepada Adipati Aria Damar dari Palembang. Berkat keramahan dan kebijaksanaan Raden Rahmat, Aria Damar masuk Islam bersama istri dan seluruh penduduk negeri yang dipimpinnya. Metode itu dipergunakan pula oleh Sunan Kalijaga ketika berdakwah mengajak Adipati Pandanaran di Semarang. Mulanya terjadi perdebatan seru, tetapi perdebatan itu kemudian berakhir dengan rasa tunduk Sang Adipati untuk masuk Islam.

Kejadian mengharukan ketika Adipati rela melepaskan jabatan dan rela meninggalkan harta dan keluarga untuk bergabung dalam dakwah Sunan Kalijaga.

Beberapa wali bahkan telah membuktikan diri sebagai Kepala daerah seperti misalnya Sunan Giri, Sunan Gunung Jati, dan Sunan Kudus yang berkuasa di daerahdaerah di sekitar kediaman mereka. Kekuatan diplomasi dan kemampuan dalam berhujjah atas kekuatan pemerintahan Majapahit yang sedang berkuasa ditunjukkan oleh Sunan Ampel, Sunan Gresik dan Sunan Majagung. Alhasil, Prabu Brawijaya I (Raja yang sedang berkuasa di Majapahit saat itu) memberi izin kepada mereka untuk memilih daerah-daerah yang disukai sebagai tempat tinggal. Di kawasan baru tersebut mereka diberi kebebasan mengembangkan agama, menjadi imam dan bahkan kepala daerah masyarakat setempat.

Dari penjalasan di atas dapat diambil kesimpulan bahwa, metode yang digunakan oleh Walisongo dalam berdakwah ada tiga macam, yaitu:

a. Al-Hikmah (kebijaksanaan) : Al-Hikmah merupakan kemampuan dan ketepatan da’i dalam memilih, memilah dan menyelaraskan teknik dakwah dengan kondisi objektif mad’u (objek dakwah). Sebagaimana yang dilakukan oleh Sunan Kudus.

(11)

b. Al-Mau’izha Al-Hasanah (nasihat yang baik) : memberi nasihat dengan katakata yang masuk ke dalam kalbu dengan penuh kasih sayang dan ke dalam perasaan dengan penuh kelembutan; tidak membongkar atau membeberkan kesalahan orang lain sebab kelemah-lembutan dalam menasehati seringkali dapat meluluh hati yang keras dan menjinakkan kalbu yang liar, ia lebih mudah melahirkan kebaikan daripada larangan dan ancaman. Inilah yang dilakukan oleh para wali.

c. Al-Mujadalah Billati Hiya Ahsan (berbantah-bantah dengan jalan sebaikbaiknya) : tukar pendapat yang dilakukan oleh dua pihak secara sinergis, yang tidak melahirkan permusuhan dengan tujuan agar lawan menerima pendapat yang diajukan dengan memberikan argumentasi dan bukti yang kuat.

Antara satu dengan lainnya saling menghargai dan menghormati pendapat keduanya berpegang kepada kebenaran, mengakui kebenaran pihak lain dan ikhlas menerima hukuman kebenaran tersebut. sebagaimana dakwah Sunan Ampel kepada Adipati Aria Damar dan Sunan Kalijaga kepada Adipati Pandanarang.

Metode-metode tersebut sejalan dengan Firman Allah SWT :“serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.” (An-Nahl : 125).

5. Media a. Masjid

Dimana masjid ini di gunakan sebagai tempat ibadah dan masjid Demak juga di jadikan sentral seluruh aktivitas dan social kemasyarakatan.

b. Wayang

Wayang sesungguhnya merupakan boneka yang terbuat dari kulit kerbau atau sapi, pipih yang memiliki dua tangan yang dapat digerakkan dengan stik dan dimainkan oleh seorang dalang, Oleh karenanya, di dalam cerita wayang itulah terkandung nilai moral dan akhlak, perihal keimanan sampai pada thariqah (jalan) menuju ketaqwaan kepada Allah

c. Pesantren

Di mana pesantren ini berfungsi sebagai sarana mengamalkan dan mengabdikan ilmunya kepada masyarakat, dari pesantren yang didirikan lahirlah para Da’i yang memiliki kemampuan tinggi yang tinggi dalam memperjuangkan dakwah selanjutnya.

d. Kitab

(12)

Kitab yang berbentuk puisi maupun prosa, kitab inilah yang kemudian dikenal dengan Suluk Sunan Bonang. e. Gamelan Alat musik yang di gunakan untuk mengiringi tembang atau lagu-lagu Jawa yang

e. Gamelan

Alat musik yang di gunakan untuk mengiringi tembang atau lagu-lagu Jawa yang bernuansa Islam.(Nurul Syalafiyah & Budi Harianto, 2020)

D. Model Dakwah Waliongo

Walisongo, merupakan auliullah atau wali-wali Allah yang tersebar diseluruh penjuru tanah jawa, orang Jawa menyebutnya cikal bakal tanah jawa. Sesuai dengan namanya walisongo yaitu wali yang terdiri dari Sembilan orang yang tersebar di daerah Jawa Timur, Jawa Tengah dan Jawa Barat. Meskipun begitu, kesembilan wali tersebut masih saling berkesinambungan maksudnya disini masih ada nasab-nasab atau hubungan menantu atau mertua yang menjadikan walisongo itu menjadi satu kesatuan.

Ajaran islam yang diajarkan oleh kesembilan wali tersebut yaitu dengan sedikit demi sedikit atau tadrij (bertahap) tidak dilakukan secara instan atau mendadak.

Ajaran atau cara dakwah islam walisongo berbeda-beda.lantas metode apa dan seperti aapa yang dilakukan oleh Walisongo dalam menyebarluaskan moderasi beragama:

1. Sunan Kalijaga

Sunan Kalijaga menyebarkan ajaran islam dengan menggunakan wayang kulit sebagai media dakwahnya, beliau menceritakan ajaran-ajaran islam melalui pertunjukan wayang kulit yang digelar, selain wayang Raden Mas Syahid juga berdakwah melalui seni ukir dan suara lagu yang berhasil diciptakan. Berikut ini merupakan model-model yang dilakukan sunan kalijaga dalam moderasi beragama

a) Wayang Kulit Sunan Kalijaga menggunakan wayang kulit untuk berdakwah dengan memasukkan ajaran-ajaran Islam ke cerita wayang tersebut. Hal ini bertujuan agar ajaran Islam dapat tersampaikan kepada masyarakat dan masyarakat mengikuti ajarannya.

b) Serat Dewa Ruci Serat Dewa Ruci merupakan cerita wayang. Sunan kalijaga menerapkan cerita ini dalam wayang untuk menceritakan kisah perjalanan Bima dalam menyempurnakan hidup supaya dekat dengan Sang Pencipta. Kisah ini bisa menjadi contoh untuk manusia agar menghindarkan diri dari perbuatan dosa dan selalu menjaga kesucian dirinya.

(13)

c) Suluk Linglung Suluk Linglung menceritakan perjalanan spiritual Sunan Kalijaga yaitu tentang akhlak kepada Allah SWT, Rasul-Nya, dan akhlak kepada manusia. Suluk linglung menjadi pelajaran agar manusia mempunyai adab kepada yang menciptakan, tidak lupa bahwa manusia diciptakan untuk beribadah kepada Allah SWT, mencintai Rasul Allah SWT, dan memperbaiki sikap terhadap sesama manusia, karena sejatinya manusia tidak bisa hidup tanpa bantuan dari orang lain.

d) Lagu Lir-ilir Ciptaan Sunan Kalijaga yang masih sangat popular hingga saat ini adalah lagu lir-ilir. Lagu ini diciptakan untuk membangun semangat manusia untuk selalu berdzikir kepada Allah SWT, menjalankan segala kewajibannya , memperbaiki dan membenahi dirinya supaya tidak lupa diri bahwa hidup ini bergantung dari Allah SWT.

e) Kidung Rumekso Ing Wengi Kidung ini bisa dikatakan sebagai doa untuk mengusir kejahatan jin, setan serta perlindungan dari berbagai macam penyakit dan terbebas dari mala petaka.

f) Lagu Gundul-gundul Pacul Sama dengan lir-ilir, gundul-gundul pacul masih sering dinyanyikan saat ini. Bukan hanya anak-anak tetapi juga orang dewasa. Gundul-gundul pacul memiliki makna yaitu tidak diperbolehkannya dalam diri manusia menanamkan sikap sombong.

Sikap sombong bisa membuat manusia lupa diri dan tidak menjalankan amanatnya dengan baik. Sikap ini bisa membuat manusia merasa bahwa dirinya adalah yang paling baik tanpa memikirkan bahwa dia tidak bisa berbuat apa-apa kecuali bantuan dari Allah SWT.

g) Grebeg Maulud. Grebeg maulud merupakan acara tahunan untuk peringatan hari besar, yaitu kelahiran Nabi Muhammad SAW. Maulud masih dilestarikan hingga saat ini, bukan hanya untuk peringatan hari lahir nabi, tetapi juga untuk meningkatkan rasa cinta kepada Nabi Muhammad SAW.

2. Sunan Bonang

Dengan nama asli Raden Makdum Ibrahim ini menyebarkan syiar islamnya melalui bidang kesenian dengan menciptakan gending jawa yang berjudul tombo ati yang masih bisa kita dengar hingga saat ini.

3. Sunan Gresik

Sunan Gresik atau yang memiliki nama asli Raden Maulana Malik Ibrahim berdakwah dengan berbaur dengan masyarakat secara langsung dengan menunjukkan sikap ramah dan akhlaq yang baik.

4. Sunan Kudus

Sunan Kudus atau yang memiliki nama asli Ja’far Sadiq menyiarkan agama Islam di daerah Kudus dan sekitarnya. Beliau memiliki keahlian khusus dalam bidang agama, terutama dalam ilmu fikih, tauhid, hadits, tafsir serta logika. Karena itulah di antara walisongo hanya ia yang mendapat julukan

(14)

waliyyul-ilmi (wali yang luas ilmunya), dan karena keluasan ilmunya ia didatangi oleh banyak penuntut ilmu dari berbagai daerah di Nusantara. Dalam melaksanakan dakwahnya, sunan kudus menggunakan metode dengan pendekatan kultural. Sunan Kudus menciptakan berbagai cerita keagamaan.

Yang paling terkenal adalah Gending Makumambang dan Mijil. Cara-cara berdakwah Sunan Kudus adalah sebagai berikut:

a. Strategi pendekatan kepada masyarakat dengan jalan 1.Membiarkan adat istiadat lama yang sulit diubah

2.Menghindarkan konfrontasi secara langsung dalam menyiarkan agama islam

3.Tut Wuri Handayani

4.Bagian adat istiadat yang tidak sesuai dengan mudah diubah langsung diubah

b. Merangkul masyarakat Hindu seperti larangan menyembelih sapi karena dalam agama Hindu sapi adalah binatang suci dan keramat.

c. Merangkul masyarakat Budha Setelah masjid, terus Sunan Kudus mendirikan padasan tempat wudlu denga pancuran yang berjumlah delapan, diatas pancuran diberi arca kepala Kebo Gumarang diatasnya hal ini disesuaikan dengan ajaran Budha ”Jalan berlipat delapan atau asta sunghika marga”.

5. Sunan Ampel

Sunan Ampel atau yang memiliki nama asli Raden Rahmat adalah putra Syekh Maulana Malik Ibrahim dari istrinya bernama Dewi Candrawulan.

Beliau memulai aktivitasnya dengan mendirikan pesantren di Ampel Denta, dekat dengan Surabaya. Di antara pemuda yang dididik itu tercatat antara lain Raden Paku (Sunan Giri), Raden Fatah (Sultan pertama Kesultanan Islam Bintoro, Demak), Raden Makdum Ibrahim (putra Sunan Ampel sendiri dan dikenal sebagai Sunan Bonang), Syarifuddin (Sunan Drajat), dan Maulana Ishak.

Metode dakwah yang dimiliki sunan ampel mumngkin berbeda dari metode dakwah yang dilakukan oleh para walisongo lainnya. Sunan Ampel menggunakan metode pembaruan dan pendekatan Intelektual dan menggunakan metode budaya dan media seni untuk menyebarkan islam.

Kedua metode itu menjadi keunggulan oleh Sunan Ampel selama menyebarkan Islam.

Metode pertama adalah pembaruan atau penyebaran yaitu pergaulan dengan masyarakat yang diselipkan sedikit demi sedikit tentang ajaran islam, pada saat proses penyebarannya, sunan ampel diuji oleh masyarakat tentang pengetahuannya mengenai islam.

Metode kedua adalah pendekatan intelektual yaitu cara berdiskusi dan memberikan pemahaman tentang agama islam dengan para masyarakat yang dapat diterima oleh akal manusia.

(15)

Selain dari dua metode di atas, sudah disebutkan bahwa Sunan Ampel juga melakukan metode dakwah melalui pendekatan Budaya dengan mempergunakan budaya lokal, berikut paparan metode-metode tersebut:

a. Metode Al-Hikmah

Kata " hikmah “ dalam balusa Indonesia yaitu " bijaksana” yang berarti selalu menggunakan akal budinya (pengalaman pengetahuannya) dan tajam pikirannya. Al-Hikmah atau kebijaksanaan yaitu teknik dakwah yang disesuaikan dengan objek dakwah. Al- Hikmah dijadikan metode dakwah untuk menyampaikan ajaran Islam dengan membawa kebenaran dengan kemampuan untuk penerima dakwah. Al- Hikmah memiliki kemampuan dan ketepatan dalam memilih teknik dakwah dengan objek mad'u serta kemampuan da'i dalam menjelaskan doktrin-doktrin Islam yang ada dengan bahasa yang baik.

Al Hikmah dalam dakwah sangat penting dalam menentukan sukses tidaknya dakwah dalam mengahapi mad'u yang beragam sehingga ajaran Islam yang masuk ke hati paru mad'u.

Metode ini merupakan sistem dan cara berdakwah para wali dengan jalan kebijakan yang dilakukan secara aktif dan sensasional.

Dengan cara ini mereka dapat menghadapi masyarakat awam dan Sunan Ampel menyunun aturan- aturan syarat Islam bagi orang Jawa . b. Metode Ummah

Metode ini dilakukan sebagai proses klasıfikası yang sesua dengan tahap pendidikan masyarakat. Ajaran ini dapat dengan mudah dimengerti oleh masyarakat dan dijalan secara bersamaan yang ditempuh berdasarkan pokok pikiran yaıtu memperhatikan bahwa setiap jenjang dan bakat, ada tingkat, bidang materi dan kurikulumnya.

Dalam tahap pendidikan ini terdapat pengajaran bagı masyarakat yang ingin belajar mengkaji sesuatu dalam masalah figih dan syariat.

Melalui pendidikan diusahakan ajaran-ajaran yang disampaikan bersifat praktis agar dapat menjadi tradisi yang menciptakan adat lembaga.

Contoh bagi semua ini ialah antara lain ketika Raden Fatan menyatakan ingin berguru agama kepada Sunan Ampel, maka Raden Fatah di canya Iebih dulu apakah sudah memiliki dasar. Setelah mengetahui dasar yang dimilikinya kemudian Raden Fatah tidak lagi diharuskan masuk pondok poantren, tetapi langsung ditempatkan dalam derajat lingkaran wirid. Raden Fatah memang membawa bekal ilmu yang sebetumnya ia miliki sejak dari Palembang.

c. Metode Pembentukan, Penanaman Kader dan Penyebaran Juru Dakwah Pada metode ini ialah para pendakwah melakukan dakwah di daerah-daerah yang kosong darı pengaruh lslam agar memudahkan menyebarkan islam. Adapun metode lain yang Sunan Ampel dalam menyebarkan islam, yaitu:

1. Membangun pesantren

(16)

2. Aspek aqidah dan ibadah

3. Perancang kerajaan Islam Demak 4. Mengadakan perkawinan

6. Sunan Giri

Sunan Giri merupakan putra dari Maulana Ishak dan ibunya bernama Dewi Sekardadu putra Menak Samboja. Kebesaran Sunan Giri terlihat antara lain sebagai anggota dewan Walisongo. Nama Sunan Giri tidak bisa dilepaskan dari proses pendirian kerajaan Islam pertama di Jawa, Demak. Ia adalah wali yang secara aktif ikut merencanakan berdirinya negara itu serta terlibat dalam penyerangan ke Majapahit sebagai penasihat militer.

Sunan Giri atau Raden Paku dikenal sangat dermawan, yaitu dengan membagikan barang dagangan kepada rakyat Banjar yang sedang dilanda musibah. Beliau pernah bertafakkur di goa sunyi selama 40 hari 40 malam untuk bermunajat kepada Allah. Usai bertafakkur ia teringat pada pesan ayahnya sewaktu belajar di Pasai untuk mencari daerah yang tanahnya mirip dengan yang dibawahi dari negeri Pasai melalui desa Margonoto sampailah Raden Paku di daerah perbatasan yang hawanya sejuk, lalu dia mendirikan pondok pesantren yang dinamakan Pesantren Giri. Tidak berselang lama hanya dalam waktu tiga tahun pesantren tersebut terkenal di seluruh Nusantara.

Sunan Giri sangat berjasa dalam penyebaran Islam baik di Jawa atau nusantara baik dilakukannya sendiri waktu muda melalui berdagang tau bersama muridnya. Beliau juga menciptakan tembang-tembang dolanan anak kecil yang bernafas Islami, seperti muran, cublak suweng dan lain-lain.

7. Sunan Drajat

Nama aslinya adalah Raden Syarifudin. Ada sumber yang lain yang mengatakan namanya adalah Raden Qasim, putra Sunan Ampel dengan seorang ibu bernama Dewi Candrawati. Jadi Raden Qasim itu adalah saudaranya Raden Makdum Ibrahim (Sunan Bonang). Sunan Drajat yang lahir dengan nama Raden Qasim, diperkirakan lahir pada tahun 1470 Masehi. Sunan Drajat adalah putra bungsu Sunan Ampel dengan Nyi Ageng Manila.

Oleh ayahnya yaitu Sunan Ampel, Raden Qasim diberi tugas untuk berdakwah di daerah sebalah barat Gresik, yaitu daerah antara Gresik dengan Tuban. Di desa Jalang itulah Raden Qasim mendirikan pesantren. Dalam waktu yang singkat telah banyak orang-orang yang berguru kepada beliau.

Setahun kemudian di desa Jalag, Raden Qasim mendapat ilham agar pindah ke daerah sebalah selatan kirakira sejauh satu kilometer dari desa Jelag itu. Di sana beliau mendirikan Mushalla atau Surau yang sekaligus dimanfaatkan untuk tempat berdakwah. Tiga tahun tinggal di daerah itu, beliau mendapat ilham lagi agar pindah tempat ke satu bukit. Dan di tempat baru itu belaiu berdakwah dengan menggunakan kesenian rakyat, yaitu dengan menabuh seperangkat gamelan untuk mengumpulkan orang, setelah itu lalu diberi ceramah agama. Demikianlah kecerdikan Raden Qasim dalam mengadakan pendekatan kepada rakyat dengan menggunakan kesenian rakyat sebagai

(17)

media dakwahnya. Sampai sekarang seperangkat gamelan itu masih tersimpan dengan baik di museum di dekat makamnya. Sunan Drajat dikenal sebagai penyebar Islam yang berjiwa sosial tinggi dan sangat memerhatikan nasib kaum fakir miskin serta lebih mengutamakan pencapaian kesejahteraan sosial masyarakat. Setelah memberi perhatian penuh, baru Sunan Drajat memberikan pemahaman tentang ajaran Islam. Ajarannya lebih menekankan pada empati dan etos kerja keras berupa kedermawanan, pengentasan kemiskinan, usaha menciptakan kemakmuran, solidaritas sosial, dan gotong-royong. Menurut Primbon milik Prof. KH. R. Mohammad Adnan, dalam melakukan dakwah mengajak penduduk sekitar memeluk Islam, Sunan Drajat yang menjadi anggota.

8. Sunan Gunung Jati

Sunan Gunung jati atau yang memiliki nama asli Syarif Hidayatullah ini dalam menyebarkan agama islam yakni salah Salah satu strategi dakwah yang dilakukan Syarif Hidayat dalam memperkuat kedudukan, sekaligus memperluas hubungan dengan tokoh-tokoh berpengaruh di Cirebon adalah melalui pernikahan sebagaimana hal itu telah dicontohkan Nabi Muhammad Saw dan para sahabat. Serat Purwaka Caruban Nagari, Babad Tjerbon, Nagarakretabhumi, Sadjarah Banten, dan Babad Tanah Sunda mencatat bahwa Syarif Hidayat Susuhunan Gunung Jati menikahi tidak kurang dari enam orang perempuan sebagai istri.

9. Sunan Muria

Salah seorang Walisongo yang banyak berjasa dalam menyiarkan agama Islam di pedesaan Pulau Jawa adalah Sunan Muria yang memiliki nama asli Raden Umar Said. Beliau lebih terkenal dengan nama Sunan Muria karena pusat kegiatan dakwahnya dan makamnya terletak di Gunung Muria (18 km di sebelah utara Kota Kudus sekarang).

Beliau adalah putra dari Sunan Kalijaga dengan Dewi Saroh. Dalam berdakwah ia seperti ayahnya yaitu menggunakan cara halus, ibarat mengambil ikan tidak sampai keruh airnya. Muria dalam menyebarkan agama Islam. Sasaran dakwah beliau adalah para pedagang, nelayan dan rakyat jelata.

Beliau adalah satu-satunya wali yang mempertahankan kesenian gamelan dan wayang sebagai alat dakwah dan beliau pulalah yang menciptakan tembang Sinom dan kinanthi. Beliau banyak mengisi tradisi Jawa dengan nuansa Islami seperti nelung dino, mitung dino, nyatus dino dan sebagainya.

E.Moderasi beragama dalam islam nusantara: menimba dari Walisongo

Proyeksi moderasi beragama di Indonesia memiliki harapan terbangunnya sikap umat beragama yang inklusif. Moderasi beragama diharapkan tidak hanya sebatas narasi, tetapi menjadi sebuah gaya hidup sehari-hari. Gagasan dan praktik moderasi beragama bukanlah hal yang baru, tetapi telah ada praktiknya sejak dahulu kala. Hasil penelitian ini mengungkapkan bahwa konstruksi moderasi beragama dapat dilacak salah satunya melalui praktik moderasi beragama Wali Songo. Melaluinya, Islam tidak

(18)

sekedar disebar, tetapi juga dibangun sebagai satu sistem pengetahuan yang menusantara melalui perpaduan Islam dengan tradisi dan pengetahuan lokal guna menjawab berbagai persoalan masyarakat nusantara.

Moderasi beragama yang dikembangkan Wali Songo tentu bukan hanya soal adaptasi Islam terhadap budaya lokal, tetapi juga para Wali dalam memperkenalkan ajaran Islam mengedepankan dialog, menghindari kekerasan dan bertoleransi terhadap agama lain. Perspektif toleransi Wali Songo tidak persis sama dengan toleransi yang dikenal dalam liberalisme, tetapi justru berpijak pada komunalitas atau kelompok. Penghargaan didasarkan pada agama sebagai satu perkumpulan atau kelompok dari satu umat, sementara individu di dalamnya terikat pada kelompok tersebut. Orang-orang yang berbeda agama dihargai hakhaknya sebagai satu komunitas yang memiliki tradisi maupun aturan tersendiri. Selain itu, salah satu penekanan moderasi beragama yang dilakukan oleh Wali Songo adalah keadilan.

Keadilan dalam perspektif moderasi beragama Wali Songo, tidak sekedar keseimbangan, tetapi yang paling penting adalah pemenuhan hak-hak masyarakat secara adil dalam aspek hukum, ekonomi, pendidikan dan kebudayaan. Keadilan, dalam konteks ini dianggap menjadi dasar terbangunnya perdamaian dan toleransi.

Temuan artikel ini secara teoritis menyiratkan beberapa kajian yang memperkaya tentang moderasi beragama di Indonesia. Secara praktis, hasil kajian ini dapat bermanfaat bagi pengambil kebijakan—khususnya yang terkait dengan kebijakan agama-dalam membuat strategi penanaman nilai-nilai agama secara moderat melalui aspek ideologis, teoretis, dan praktis. Terakhir, seperti halnya penelitian akademis, artikel ini tentunya membutuhkan tanggapan dari penelitian- penelitian selanjutnya yang secara umum dapat mengkaji temuan-temuan penelitian tersebut. Penelitian selanjutnya dapat mengkaji hasil artikel tersebut dengan menempatkannya pada beberapa contoh di berbagai jejak manuskrip lainnya. Dengan demikian, kajian tentang penelusuran jejak moderasi beragama di Indonesia semakin komprehensif dan dapat dikaji secara akademis.9

9 Syamsurijal. Wasisto Raharjo Jati. Halimatusa’diah, moderasi beragama dalam Islam Nusantara: menimba dari Walisongo, Jurnal Masyarakat dan Budaya, Volume 24 No. 3 Tahun 2022.

(19)

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan

Dari topik yang sudah kita baca bersama dapat kita tarik kesimpulan bahwa, Walisongo ini merupakan orang-orang hebat pada masanya. Walisongo merupakan tokoh-tokoh yang memegang peran penting dalam perkembangan penyebaran islam di Indonesia. Dengan metode-metode yang mereka bawakan, merupakan sebuah inovasi yang dapat mengubah polapikir masyarakat Indonesia khususnya tanah jawa pada masa itu. Metode yang mereka bawakan menjunjung tinggi rasa damai dan kesenangan dalam belajar, yang di ekspresikan dengan pembelajaran yang menyenangkan, ramah, interaktif, dan tidak menghakimi seseorang dengan suatu sifat yang membuat para Walisongo ini bersifat terbuka dalam proses berdakwahnya.

Sudah kita ketahui tadi. Bahwa, Walisongo merupakan tokoh-tokoh yang hebat dalam Moderasi agama Islam di Indonesia. Tapi yang patut digaris bawahi ialah meskipun cara atau metode yang mereka bawakan itu berbeda-beda dalam berdakwah.

(20)

Namun, intinya tetap sama hanya pada satu tujuan, yakni menyebarluaskan maksud dari Moderasi Agama Islam dan tauhid kepada Allah SWT

B. Saran

Makalah ini merupakan sebuah hasil dari pembelajaran untuk sebuah pembelajaran lagi. Jadi, selaku penulis kami meyakini bahwa makalah ini masih banyak segi yang haru diperbaiki atau di koreksi. kami sudah mengusahakannya dengan kemampuan terbaik kami dan kami sangat berharap akan saran yang mendukung dan kritik yang membangun agar kami dapat berkembang lagi lebih jauh.

Kami selaku penulis memohon maaf apabila ada kesalahan yang kami perbuat dalam membuat makalah ini. Kami ingin menjadikan sebuah makalah ini menjadi bermanfaat bagi kami dan bagi beberapa orang yang akan membacanya di masa yang akan datang.

DAFTAR PUSTAKA

DR.Zainal Abidin bin Syamsuddin Lc, M. M. (2022). FAKTA BARU WALISONGO (Tim Penerbit Imam Bonjol (ed.)). PENERBIT IMAM BONJOL.

Rachmad Abdullah, S.Si., M. P. (2015). WALISONGO GELORA DAKWAH DAN JIHAD DI TANAH JAWA (T.

E. Al-Wafi (ed.)). Al-Wafi.

Zulham Farobi. (2018). Sejarah walisongo: perjalanan penyebaran Islam di Nusantara.

Yogyakarta : Mueeza, 2018.

Zulham Farobi, Erlinadani. (2018). Pesan perdamaian walisongo. Yogyakarta : Penerbit Legality, 2018.

Research, Development, Training, and Education Agency of the Ministry of Religious Affairs of the Republic of Indonesia. (2020). RELIGIOUS MODERATION. Jakarta: Ministry of Religious Affairs of the Republic of Indonesia, 2020.

https://pendispress.kemenag.go.id/index.php/ppress/catalog/view/10/7/32-1

Jati, W. R. (2022). Moderasi Beragama Dalam Islam Nusantara : Menimba Dari Wali Songo Religious Moderation Within Islam of the Archipelago : Lesson Learnt From Nine Islamic. Jurnal

Masyarakat Dan Budaya, 24(3), 361–378. https://doi.org/10.55981/jmb.1804

(21)

Nurul Syalafiyah, & Budi Harianto. (2020). Walisongo: Strategi Dakwah Islam di Nusantara. J-KIs:

Jurnal Komunikasi Islam, 1(2), 41–52. https://doi.org/10.53429/j-kis.v1i2.184

Sandi Subekti, Reny Maysitoh. (2022). Strategi Dakwah Walisongo di Nusantara, 5(2), 111-126.

file:///C:/Users/indon/Downloads/166-Article%20Text-332-1-10-20230126%20(1).pdf Ahmad Agis Mubarok, Diaz Gandara Rustam. (2018). Islam Nusantara: moderasi Islam Indonesia,

3(2), 153-168. https://d1wqtxts1xzle7.cloudfront.net/61094302/Agis20191101-6429-qac855- libre.pdf?1572638760=&response-content-disposition=inline%3B+filename

%3DISLAM_NUSANTARA_MODERASI_ISLAM_DI_INDONE.pdf&Expires=1695485663&Signature

=DKkHtWQ7pCHv6jHIlpez-wyMbZf~GLvb8jmTBBubibRhy3pKw3Gqx-Q8IBiIjn~BA- GCaRs4f6zrocz30f7Pz42fTaHsn98DEFB80H35DUqZzR2~nbIb-

qM6VgxcAE0DhjUD4cXrRNaMXUXgzmv8cQ-

5N6gO04kbV2IOf8mJfaGPXMTlmoBUEPjkapeob7bIztOCY0MWoiqYN1DrjAR54UwvZejvvniP6rCe UAkFbWOjaAnvyMh6v~X39dYtIE87yVxQ9JSqnsPNW0axbENhZSKX4UIUEaY9eD9Gcmf2c1om3A OQM2PpDOHQ36UnfstatA3zslSugOGW8QkFc~96Ug__&Key-Pair-Id=APKAJLOHF5GGSLRBV4ZA Inayatillah, Kamaruddin, M Anzaikhan. (2022). The History of Moderate Islam in Indonesia and Its

Influence on the Content of National Education, 17(2), 213-226.

http://ojie.um.edu.my/index.php/JAT/article/view/35227/15222

Referensi

Dokumen terkait

mendeskripsikan beberapa gambaran tentang moderasi beragama (wasat}iyyah) dari berbagai macam aspeknya. Bab ketiga, membahas tentang sketsa buku wasathiyyah: wawasan Islam

Artikel ini bertujuan mendeskripsikan implementasi model pembelajaran berbasis moderasi beragama dalam upaya membangun dan membina kharakter siswa. Guru dalam

Berkaitan dengan konsep dan prinsip moderasi beragama, pandangan Mohammad Hashim Kamali 2015 tentang manifestasi moderasi dalam Islam penting dikemukakan di sini, yaitu pertama,

Implementasi Moderasi Beragama pada Madrasah Ibtidaiyah MI, Madrasah Tsanawiyah MTs, Madrasah Aliyah MA dan Madrasah Aliyah Kejuruan MAK Implementasi moderasi beragama pada madrasah

moderasi beragama perspektif bimas islam untuk

Demikian peneliti amat tertarik dengan pembahasan moderasi beragama dan mengangkat judul internalisasi nilai-nilai moderasi beragama dalam pelaksanaan pembelajaran akidah akhlak kelas X

KESUNGGUHAN ADA MODERASI INTERN PEMELUK BERAGAMA : PAHAM TENTANG PENDAPAT TERKAIT FIKIH ADA MODERASI INTERNAL PEMELUK BERAGAMA  MEMAHAMI TENTANG AGAMA SENDIRI  TIDAK SALING

Artikel ini membahas tentang peran gereja ekumenis dalam mewujudkan moderasi beragama yang sempurna di tengah masyarakat