• Tidak ada hasil yang ditemukan

Selamat Datang - Digital Library

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2024

Membagikan "Selamat Datang - Digital Library"

Copied!
77
0
0

Teks penuh

(1)

PENGARUH JARAK UJUNG JARUM KE KOLEKTOR PADA PEMBENTUKAN SERAT NANO TITANIUM DIOKSIDA (TiO2) DENGAN

MENGGUNAKAN METODE ELECTROSPINNING

(Tesis)

Oleh

INTAN WANDIRA 2027041002

PROGRAM STUDI MAGISTER FISIKA JURUSAN FISIKA

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG 2022

(2)

ii

PEMBENTUKAN SERAT NANO TITANIUM DIOKSIDA (TiO2) DENGAN MENGGUNAKAN METODE ELECTROSPINNING

Oleh

INTAN WANDIRA

Telah dibuat serat nanotitania dengan menggunakan metode electrospinning.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh variasi jarak ujung jarum ke kolektor terhadap morfologi, komposisi unsur dan struktur kristal serat nano TiO2. Variasi jarak ujung jarum ke kolektor yang divariasikan adalah 7, 9, 11, 13 dan 15 cm. Prekursor yang digunakan adalah titanium (IV) isopropoksida (TTIP). Proses electrospinning dilakukan pada tegangan tinggi 20 kV dengan laju alir 1,5 ml/jam kemudian serat nano yang telah terbentuk dikalsinasi pada suhu 450 oC selama 3 jam. Serat nano TiO2/PVP dikarakterisasi menggunakan Scanning Electron Microscopy – Energy Dispersive X-Ray (SEM-EDS) dan X-Ray Diffraction (XRD).

Besar viskositas dan tegangan permukaan larutan TiO2/PVP yang digunakan adalah 2,8 Pa.s dan (28,9 ± 3,7) dyn/cm. Hasil karakterisasi SEM menunjukkan morfologi serat nano relatif seragam dan kontinu dengan rata-rata ukuran diameter sampel ES7, ES9, ES11, ES13 dan ES15 masing-masing adalah (410 ± 190) nm, (367 ± 169) nm, (286 ± 156) nm, (296 ± 154) nm dan (400 ± 198) nm. Hasil analisis EDS menampilkan adanya unsur C, O, Ti dan Si. Hasil karakterisasi XRD menunjukkan bahwa ukuran partikel serat nano TiO2 berkisar 11,15 nm dengan struktur kristal yang terbentuk adalah fasa anatase.

Kata kunci: electrospinning, jarak ujung jarum ke kolektor, serat nano TiO2, PVP.

(3)

iii ABSTRACT

THE INFLUENCE OF DISTANCE BETWEEN NEEDLE TIP AND COLLECTOR ON FORMATION OF TITANIUM DIOXIDE (TiO2)

NANOFIBERS WITH ELECTROSPINNING METHOD

By

INTAN WANDIRA

Nanotitania fiber has been made by using electrospinning method. This study aims to determine the effect of distance variations on the morphology and crystal structure of TiO2 nanofibers. The variation of the distance between needle tip to collector were 7, 9, 11, 13 and 15 cm respectively. The precursor was titanium (IV) isopropoxide (TTIP). The electrospinning process was carried out at a high voltage of 20 kV with a flow rate of 1.5 ml/hour then as-prepared nanofiber calcined at a temperature of 450 oC for 3 hours. TiO2/PVP nanofibers were characterized using Scanning Electron Microscopy – Energy Dispersive X-Ray (SEM-EDS) and X-Ray Diffraction (XRD). The viscosity and surface tension of TiO2/PVP solution used were 2.8 Pa.s and (28.9 ± 3.7) dyn/cm. The results of SEM characterization showed that the morphology of nanofibers was relatively uniform and continuous with the average sample diameter sizes ES7, ES9, ES11, ES13 and ES15 were (410 ± 190) nm, (367 ± 169) nm, (286 ± 156) nm, (296 ± 154) nm and (400 ± 198) nm respectively.. The results of EDS analysis showed the presence of C, O, Ti and Si elements. The XRD characterization results showed that the particle size of TiO2

nanofibers ranged from 11.15 nm with the crystal structure formed in the anatase phase.

Keyword: electrospinning, needle tip distance to collector, TiO2 nanofibers, PVP.

(4)

Oleh

INTAN WANDIRA 2027041002

Tesis

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar MAGISTER SAINS

Pada

Program Studi Magister Fisika Jurusan Fisika

Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam

PROGRAM STUDI MAGISTER FISIKA JURUSAN FISIKA

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG 2022

(5)
(6)
(7)
(8)

viii

Penulis dilahirkan di OKU Timur, 07 Mei 1995. Beliau adalah putri pertama dari tiga bersaudara pasangan Bapak Saripudin dan Ibu Nursiah. Penulis menyelesaikan pendidikan Sekolah Dasar di SDN 1 Kurungan Nyawa OKU Timur pada tahun 2007, Sekolah Menengah Pertama di SMPN 1 Buay Madang OKU Timur pada tahun 2010, Sekolah Menengah Atas di SMAN 1 Buay Madang OKU Timur pada tahun 2013.

Pada tahun 2018, beliau menyelesaikan Pendidikan Strata-1 di Universitas Lampung (Unila), Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA), Jurusan Fisika. Selanjutnya tahun 2020 penulis melanjutkan studi Magister di FMIPA Universitas Lampung pada program Studi Magister Fisika.

(9)

ix MOTTO

Jangan pernah menunda sampai besok apa yang bisa anda lakukan hari ini (Thomas Jefferson)

Cobalah tidak untuk menjadi seseorang yang sukses, tetapi menjadi seseorang yang bernilai

(Albert Einstein)

“…Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman diantaramu dan orang- orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat…”

(Q.S, Al-Mujaadillah; 11)

Suatu hal yang telah dimulai dengan ucapan “Bismillah” pantang menyerah sebelum terucap “Alhamdulillah”.

(10)

x

Dengan mengucap rasa syukur kepada Allah SWT, ku persembahkan karya ini untuk orang-orang yang ku sayangi:

Kedua Orang Tuaku Tercinta

Yang penuh kesabaran dalam membimbing, mendidik, menemani, dan menyemangati dengan kelembutan do’a dan kasih sayang. Terima kasih

atas restu yang tiada hentinya hingga sekarang dan sampai nanti.

Adik-Adikku tersayang

Terima kasih atas segala semangat, dukungan dan keceriaan kalian

Universitas Lampung

Almamater Tercinta

(11)

xi

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT, yang telah memberikan kesehatan, rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis yang berjudul

“PENGARUH JARAK UJUNG JARUM KE KOLEKTOR PADA PEMBENTUKAN SERAT NANO TITANIUM DIOKSIDA (TiO2) DENGAN MENGGUNAKAN METODE ELECTROSPINNING”. Adapun tujuan utama tesis ini adalah sebagai salah satu syarat yang harus ditempuh untuk mendapatkan gelar Magister Sains dari jurusan Fisika FMIPA Universitas Lampung.

Penulis menyadari dalam penyusunan dan penulisan tesis ini banyak terdapat kekurangan. Oleh sebab itu kritik dan saran yang bersifat membangun sangat diperlukan untuk memperbaiki dan menyempurnakan tesis ini. Semoga tesis ini dapat bermanfaat.

Bandar Lampung, Agustus 2022 Penulis

Intan Wandira

(12)

xii Assalamu’alaikum Wr.Wb

Puji syukur senantiasa penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang menciptakan langit dan bumi serta penguasa atas semua makhluk. Dengan kerendahan diri dan ketulusan hati, penulis mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah mendukung dan membantu dalam menyelesaikan tesis ini.

Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada:

1. Bapak Prof. Posman Manurung, M.Si., Ph.D. sebagai Dosen Pembimbing I dan Pembimbing Akademik atas kesediannya membimbing penulis dengan penuh kesabaran dan selalu meluangkan waktunya untuk memberikan ilmu dan nasihatnya kepada penulis selama proses penelitian dan penulisan tesis.

2. Bapak Dr. Junaidi, S.Si., M.Sc. sebagai Dosen Pembimbing II dan Kepala Program Studi Magister Fisika, atas kesediannya membimbing dan memberikan saran kepada penulis.

3. Ibu Drs. Dwi Asmi, M.Si., Ph.D. sebagai dosen Penguji I yang telah berkenan memberikan saran yang membangun kepada penulis agar lebih baik lagi.

4. Ibu Dr. Yanti Yulianti, S.Si., M.Si. sebagai dosen Penguji II yang telah membantu dan berkenan memberikan saran yang membangun kepada penulis.

5. Dr. Eng. Suripto Dwi Yuwono, S.Si., M.T. selaku Dekan FMIPA Universitas Lampung.

(13)

xiii

6. Prof. Dr. Ir. Ahmad Saudi Samosir, S.T., M.T. selaku Direktur Program Pacasarjana Universitas Lampung.

7. Gurum Ahmad Pauzi, S.Si., M.T. selaku Ketua Jurusa Fisika FMIPA Universitas Lampung.

8. Bapak dan Ibu Dosen serta Staff Program Magister Fisika Universitas Lampung.

9. Orang tua penulis, Ayah dan Ibu tercinta (Bapak Saripudin dan Ibu Nursiah) yang selalu mendo’akan kebaikan bagi penulis.

10. Adikku Gita Fitria dan Faqih Aji Surya yang telah mendo’akan dan menghiburku.

11. Teman satu perjuangan penelitian Ira Sudarsono Putri dan Diah Purwarini yang telah membantu dan memberikan motivasi kepada penulis.

12. Teman-teman Magister Fisika 2020 yang telah memberikan semangatnya selama ini.

13. Sahabatku Dewi Nurul Fania Faras Efendi yang telah meluangkan waktunya untuk memberikan dukungan, bantuan dan menjadi pendengar yang baik.

Semoga Allah SWT membalas segala kebaikan dan niat baik yang telah diberikan.

Aamiin.

Wassalamu’alaikum Wr.Wb.

Bandar Lampung, Agustus 2022 Penulis

Intan Wandira

(14)

xiv

Halaman

ABTRSAK...ii

ABSTRACT...iii

HALAMAN JUDUL...iv

HALAMAN PERSETUJUAN...v

HALAMANPENGESAHAN...vi

HALAMAN PERNYATAAN...vii

RIWAYAT HIDUP...viii

MOTTO...ix

HALAMAN PERSEMBAHAN...x

KATA PENGANTAR...xi

SANWACANA...xii

DAFTAR ISI...xiv

DAFTAR GAMBAR...xvi

DAFTAR TABEL...xviii

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang... 1

B. Rumusan Masalah ... 6

C. Tujuan Penelitian ... 7

D. Batasan Masalah ... 7

E. Manfaat penelitian ... 7

II. TINJAUAN PUSTAKA A. Serat Nano (Nanofiber) ... 9

B. Titanium Dioksida (TiO2)... 10

C. Titanium Isopropoksida (TTIP) ... 13

D. Polyvinylpyrrolidone (PVP) ... 14

E. Electrospinning ... 17

(15)

xv

1. Parameter Larutan ... 23

2. Parameter Proses ... 25

3. Parameter Lingkungan ... 27

F. Karakterisasi Material ... 27

1. Scanning Electron Microscopy - Energy Dispersive Spectroscopy (SEM-EDS) ... 27

2. X-Ray Diffraction (XRD) ... 32

III. METODE PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian ... 36

B. Alat dan Bahan ... 36

1. Alat ... 36

2. Bahan ... 37

C. Prosedur Penelitian ... 37

1. Pembuatan Larutan Polimer ... 37

2. Sintesis Larutan TiO2 ... 38

3. Pembuatan Gel Serat Nano TiO2/PVP ... 38

4. Mengukur Viskositas dan Tegangan Permukaan Larutan TiO2/ PVP ... 39

5. Pembuatan Serat Nano TiO2 ... 42

6. Proses Kalsinasi ... 44

7. Karakterisasi Sampel ... 44

D. Diagram Penelitian ... 46

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil Pembuatan Larutan Serat Nano TiO2/PVP ... 47

B. Kekentalan dan Tegangan Permukaan Larutan Serat Nano TiO2/PVP ... 48

C. Hasil Electrospinning Serat Nano TiO2/PVP ... 50

D. Analisis Morfologi Permukaan, Ukuran Diameter dan Komposisi Unsur Serat Nano TiO2/PVP ... 52

E. Analisis Kualitatif dan Kuantitatif XRD Sampel Serat Nano TiO2/ PVP ... 62

1. Hasil Analisis Kualitatif XRD Sampel Serat Nano TiO2/PVP ... 63

2. Hasil Analisis Kuantitatif XRD Sampel Serat Nano TiO2/PVP ... 64

V. KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan ... 68

B. Saran ... 69 DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN

(16)

xvi

Halaman

Gambar 2.1 Morfologi serat nano TiO2/PVP ... 10

Gambar 2.2 Struktur kristal TiO2: (a) anatase, (b) rutil, dan (c) brukit ... 12

Gambar 2.3 Struktur 2D TTIP ... 14

Gambar 2.4 Struktur molekul PVP ... 15

Gambar 2.5 Skema alat electrospinning ... 18

Gambar 2.6 Skematis perubahan tetesan larutan polimer dalam electro- spinning ... 21

Gambar 2.7 Komponen SEM ... 28

Gambar 2.8 Morfologi permukaan: (a) serat nano TiO2/PVA, (b) serat nano PVA ... 31

Gambar 2.9 Spektrum EDS serat TiO2/PVA ... 31

Gambar 2.10 Difraksi sinar-X pada kristal ... 33

Gambar 2.11 Contoh hasil XRD serat nano TiO2 ... 35

Gambar 3.1 Pembuatan larutan polimer ... 37

Gambar 3.2 Sintesis larutan TiO2 ... 38

Gambar 3.3 Pembuatan gel serat nano TiO2/PVP ... 38

Gambar 3.4 Pengukuran kekentalan larutan TiO2/PVP ... 39

Gambar 3.5 Bagian-bagian Viscometer Ostwald ... 40

Gambar 3.6 Skema tensiometer ... 41

Gambar 3.7 Pembuatan serat nano TiO2 ...43

Gambar 3.8 Diagram alir ...46

Gambar 4.1 Hasil pembuatan (a) larutan polimer, (b) larutan TiO2, (c) larutan TiO2/PVP ...48

Gambar 4.2 Hasil electrospinning (a) ES7, (b) ES9, (c) ES11, (d) ES13, dan (e) ES15 ...51

Gambar 4.3 Morfologi permukaan dan grafik distribusi ukuran diameter serat nano TiO2/PVP (a) sampel ES7 dan (b) sampel ES9 ...53

Gambar 4.4 Morfologi permukaan dan grafik distribusi ukuran diameter serat nano TiO2/PVP (c) sampel ES11, (d) sampel ES13 dan (e) sampel ES15 ...54

Gambar 4.5 Grafik pengaruh jarak ujung jarum ke kolektor terhadap ukuran diameter rata-rata serat nano TiO2/PVP ...59

Gambar 4.6 Komposisi unsur serat nano TiO2/PVP ES11 ...61

Gambar 4.7 Difaktogram XRD sampel ES11. a = anatase ...63

(17)

xvii

Gambar 4.8 Hasil penghalusan data XRD sampel ES11 ... 65

(18)

xviii

Halaman

Tabel 2.1 Karakteristik struktur kristal TiO2 ... 12

Tabel 2.2 Sifat titanium isopropoksida ... 14

Tabel 2.3 Keunggulan penggunaan PVP... 16

Table 3.1 Spesifikasi komponen electrospinning ... 43

Tabel 4.1 Data pengukuran kekentalan larutan serat nano TiO2/PVP ... 49

Tabel 4.2 File input proses penghalusan ... 65

Table 4.3 Nilai parameter struktur kisi, criteria-of-fit (Rwp), goodness- of-fit (χ2) dan fraksi massa fasa yang terbentuk untuk sampel ES11 ... 66

Table 4.4 Hasil perhitungan ukuran partikel ... 67

(19)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Serat nano merupakan serat yang berupa benang-benang kecil yang memiliki diameter sebesar 100-500 nm (MacDiarmid et al., 2001). Karena berukuran nano, maka memiliki karakteristik luas permukaan yang tinggi, struktur berpori yang saling berhubungan, dan bersifat konduktif. Hal ini menarik minat para peneliti untuk mengembangkan serat nano sebagai filter partikel berukuran submikron. Dengan orde yang lebih kecil, serat nano memungkinkan optimalisasi penyaringan debu di udara (Ramasundaram et al., 2013).

Saat ini, titanium dioksida (TiO2) merupakan salah satu bahan yang sedang dikembangkan untuk pembuatan serat nano. Selain TiO2 terdapat beberapa bahan yang dapat digunakan seperti seng dioksida (ZnO) dan timah dioksida (SnO2). Namun, dalam penggunannya TiO2 lebih unggul dibandingkan dua bahan semikonduktor tersebut. TiO2 lebih unggul dikarenakan lebih murah (Yang et al., 2012) dan tidak beracun (Hayle and Gonfa, 2014). Sebagai semikonduktor dengan kinerja sangat baik, serat nano TiO2 lebih berpotensi untuk diaplikasikan sebagai media filtrasi (Wang and Pan, 2015; Li et al., 2013), membran fotooksidasi (Modesti et al., 2014), sensor gas (Li et al., 2008),

(20)

sensor kelembaban (Moon et al., 2010), sel surya (Song et al., 2004), dan fotokatalis (Nasikhudin et al., 2014).

Dalam mensintesis serat nano TiO2 metode sol-gel adalah metode sintesis yang sering digunakan. Metode ini digunakan karena dianggap memiliki homogenitas yang cukup tinggi, relatif murah, ramah lingkungan dan menghasilkan material dengan kemurnian yang tinggi (Yu et al., 2014). Metode sol-gel sangat bergantung pada penggunaan prekursor (bahan awal) yang digunakan (Chen et al., 2006). Serat nano TiO2 biasanya disintesis menggunakan berbagai macam prekursor seperti titanium isopropoksida (TTIP), tetrabutil titanat (TBOT) dan titanium tetraklorida (TiCl3). TBOT dan TiCl3 hanya mampu menghasilkan serat berdiameter di atas 100 nm (Cassaignon et al., 2007) sedangkan TTIP mampu menghasilkan serat dengan diameter di bawah 100 nm (Dharma et al., 2021). Oleh karena itu TTIP menjadi prekursor yang paling banyak digunakan. TTIP sangat mudah bereaksi dengan air sehingga laju hidrolisis menjadi sangat cepat. Reaksi hidrolisis ini terjadi karena ion hidroksil menjadi terikat pada atom logam (Brinker and Scherer, 1990).

Selain prekursor, pelarut juga berperan dalam sintesis sol-gel. Jenis pelarut yang umum digunakan dalam proses sol-gel adalah etanol. Etanol memiliki rantai karbon yang lebih pendek dibandingkan dengan jenis pelarut lainnya sehingga etanol memiliki tingkat kepolaran yang lebih besar. Semakin besar polar pelarut menyebabkan proses hidrolisis semakin cepat karena ikatan hidrogen antara prekursor dengan pelarut lebih cepat terjadi dibandingkan dengan pelarut yang

(21)

3

memiliki tingkat kepolaran kecil misal air. Oleh karena itu etanol lebih mudah untuk berikatan hidrogen dan akan menghasilkan kristal yang lebih kecil dan merata (Hermawan et al., 2017).

Penggabungan prekursor TTIP dan pelarut etanol menyebabkan laju hidrolisis semakin besar. Untuk mengatasi hal ini dilakukan penambahan asam asetat dalam larutan guna menurunkan laju hidrolisisnya. Asam asetat berperan sebagai nukleofil yang akan mengganti satu gugus isopropoksi pada TTIP menjadi gugus asetat. Hal ini diakibatkan karena gugus isopropoksi kurang kuat sebagai ligan jika dibandingkan dengan ligan asetat, yang mana ligan asetat memiliki kemampuan untuk membentuk ligan jembatan, sehingga pada tahap hidrolisis hanya gugus isopropoksi yang mudah terlepas sedangkan ligan asetat tetap terikat pada titanium (Nguyen et al., 2004). Pada penelitian Escobar et al.

(2008) ditemukan bahwa pencampuran asam asetat dalam TTIP + etanol menghasilkan hampir 100% berada pada fasa kristal anatase dibandingkan dengan asam klorida.

Sintesis larutan untuk membuat serat nano dengan metode sol-gel umumnya membutuhkan polimer. Penambahan polimer bertujuan untuk mempermudah proses pemintalan serat (Pirzada et al., 2012). Serat nano dapat dibuat dari berbagai jenis polimer, seperti polyvinyl pyrrolidone (PVP) dengan cara yang relatif mudah dan harga PVP yang lebih murah. PVP adalah polimer pembentuk serat terbaik karena serat yang dihasilkan tidak mengandung banyak beads (manik-manik) dan serat bersifat kontinyu (Bai et al., 2008). Selain itu, keunggulan lainnya yaitu toksisitas kimia rendah, biokompatibilitas yang

(22)

tinggi, memiliki kelarutan yang sangat baik pada sebagian besar pelarut organik, dan kemampuan berinteraksi dengan berbagai bahan hidrofilik (Nasouri et al., 2015).

Pembuatan serat nano dapat dilakukan dengan beberapa metode seperti teknik pemintalan serat multi komponen (Chen et al., 2017), lelehan (melt blowing) (Hasan, 2013) dan electrospinning. Dari ketiga metode pembuatan serat tersebut, yang akan menjadi fokus penelitian ini adalah teknik pemintalan listrik atau electrospinning. Electrospinning menjadi teknik yang banyak digunakan untuk memproduksi serat nano karena keefektifannya dan mampu menghasilkan serat nano dengan rentang ukuran paling kecil yakni 40-2000 nm (0,04-2 µm) (Kalayci V.E, 2002). Disamping itu dengan pemintalan electrospinning, diameter serat dapat dikendalikan dengan mengatur beberapa parameter electrospinning seperti tegangan, jarak ujung jarum dengan kolektor serat dan viskositas larutan (Nakane et al., 2010; Vaisniene et al., 2009).

Electrospinning dinilai efisien untuk memproduksi serat nano karena harganya yang murah, mudah serta pemilihan bahan-bahannya yang luas (Wang et al., 2015).

Tang et al. (2016), Someshwararao et al. (2018) dan Hazem (2020) berhasil mensintesis serat nano TiO2/PVP menggunakan teknik electrospinning. Dalam penelitiannya, memilih TTIP sebagai prekursor, PVP sebagai polimer, asam asetat sebagai penstabil larutan dan etanol sebagai pelarut. Serat nano disintesis menggunakan metode sol-gel. Pada penelitian Tang et al. (2016), jarak antara ujung (tip) jarum ke kolektor divariasikan 8, 10, 12 dan 14 cm dengan tegangan

(23)

5

tinggi yang digunakan sebesar 15 kV. Dari ke-4 variasi jarak tersebut, sampel 10 cm menghasilkan serat yang paling seragam dengan standar deviasi sebesar 60 nm. Pada penelitian Someshwararao et al. (2018), jarak yang digunakan berkisar antara 8 cm - 14 cm dengan tegangan sebesar 10 kV. Serat yang dipintal ini optimum pada jarak 14 cm dan menghasilkan diameter rata-rata sebesar 147 nm. Berbeda halnya dengan Hazem (2020), yang memakai jarak 6, 9, 12, 15 dan 18 cm dengan tegangan sebesar 14 kV. Pada penelitian ini menghasilkan serat nano terbaik pada jarak 15 cm dengan besar diameter sebesar 69 nm dan fasa yang terbentuk yaitu fasa anatase.

Salah satu manfaat serat nano adalah masker filtrasi. Ada banyak jenis masker yang beredar di masyarakat diantaranya masker bedah hingga masker N95. Dari segi kualitas dan kinerja penyaringan kedua masker ini berbeda terutama dalam hal menyaring partikel-partikel halus yang berterbangan di udara berukuran kurang dari 1 mikrometer. Masker N95 memiliki efisiensi yang lebih tinggi dibanding masker bedah (Wu et al., 2020). Di masyarakat luas masker bedah lebih dipilih karena harga yang terjangkau, namun demikian dikarenakan sifatnya yang sekali pakai, menimbulkan masalah baru yakni sampah masker.

Masker kain menjadi solusi karena masker ini dapat dicuci berulang-ulang.

Namun menurut anjuran WHO masker kain tidak disarankan karena sifatnya yang hidrofilik (menyerap air) bukan hidrofobik (menolak air). Untuk mengatasi kekurangan-kekurangan itu banyak peneliti mencoba mengembangkan masker serat nano yang dibuat dengan struktur berlapis untuk meningkatkan efisiensi filtrasi dan dapat dicuci hingga 20x pemakaian.

(24)

Menurut Ullah et al. (2020) masker serat nano memiliki efisiensi filtrasi sebesar 97%-99%.

Pada penelitian ini akan dilakukan pembuatan serat nano TiO2/PVP menggunakan teknik electrospinning dengan variasi jarak ujung jarum ke kolektor sebesar 7, 9, 11, 13 dan 15 cm. Dengan variasi ini diharapkan dapat menghasilkan serat yang kontinu dengan ukuran yang seragam sehingga dapat diaplikasikan dalam lapisan filtrasi masker. Karakterisasi sampel dilakukan menggunakan Scanning Electron Microscopy- Energy Dispersive Spectroscopy (SEM-EDS) untuk mengetahui morfologi dan komposisi unsur serat nano dan X-Ray Diffraction (XRD) untuk mengetahui struktur kristal dan ukuran partikel yang terbentuk pada sampel.

B. Rumusan Masalah

Rumusan masalah dari penelitian ini sebagai berikut:

1. Bagaimana pengaruh variasi jarak ujung jarum ke kolektor terhadap morfologi permukaan serta diameter rata-rata dan distribusi ukuran diameter serat nano TiO2 yang terbentuk?.

2. Bagaimana unsur kimia serat nano TiO2 yang terbentuk setelah dilakukan proses electrospinning?.

3. Bagaimana pengaruh variasi jarak ujung jarum ke kolektor terhadap struktur kristal yang terbentuk pada serat nano TiO2?.

(25)

7

C. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah:

1. Mengetahui pengaruh variasi jarak ujung jarum ke kolektor terhadap morfologi permukaan serta diameter rata-rata dan distribusi ukuran diameter serat nano TiO2 yang terbentuk.

2. Mengetahui unsur kimia serat nano TiO2 yang terbentuk setelah dilakukan proses electrospinning

3. Mengetahui pengaruh variasi jarak ujung jarum ke kolektor terhadap struktur kristal yang terbentuk pada serat nano TiO2.

D. Batasan Masalah

Pada penelitian ini, batasan masalah yang digunakan adalah:

1. Sintesis material menggunakan bahan TTIP, etanol, asam asetat dan PVP.

2. Variasi jarak yang digunakan sebesar 7, 9, 11, 13 dan 15 cm.

3. Metode yang digunakan untuk pembentukan serat nano TiO2 adalah electrospinning yang diberi tegangan 20 kV.

4. Proses sintesis TiO2 menggunakan metode sol-gel.

5. Temperatur kalsinasi serat nano TiO2 yang digunakan yaitu 450oC dengan waktu tahan selama 3 jam.

6. Karakterisasi serat nano TiO2 menggunakan SEM, EDS dan XRD.

E. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat, diantaranya:

(26)

1. Dapat mengetahui pengaruh variasi jarak terhadap morfologi dan struktur kristal serat nano TiO2 yang dihasilkan menggunakan metode electrospinning.

2. Sebagai referensi pada penelitian selanjutnya yang berkaitan dengan pembuatan serat nano TiO2 menggunakan metode electrospinning.

3. Dapat digunakan sebagai kandidat serat nano dengan daya filtrasi yang tinggi.

(27)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Serat Nano (Nanofiber)

Serat nano atau nanofiber didefinisikan sebagai serat yang memiliki diameter sebesar 100-500 nm (MacDiarmid et al., 2001). Secara geometri serat nano masuk ke dalam kategori material satu dimensi (1D) sehingga pengaplikasiannya sangat luas. Serat nano memiliki banyak keunggulan diantaranya memiliki nilai perbandingan luas permukaan dan volume lebih besar seribu kali (103) dibandingkan dengan serat mikro (Huang et al., 2003), struktur berpori kecil, diameter kecil, kekuatan tarik besar, fleksibel dalam fungsi permukaan dan bersifat konduktif. Dengan keunggulan ini, serat nano dapat diaplikasikan secara efektif di berbagai bidang seperti nanokatalis, rekayasa jaringan tulang, pakaian pelindung, filtrasi, biomedis, farmasi, kesehatan, optik, bioteknologi, pertahanan dan keamanan juga teknik lingkungan (Luu et al., 2003; Subbiah et al., 2005; Ramakrishna et al., 2006;

Yoon et al., 2006; Cui et al., 2006; Wu et al., 2007; Barnes et al., 2007; Welle et al., 2007; Kim et al., 2006).

Dalam beberapa tahun terakhir, serat nano banyak dibuat melalui proses electrospinning. Hal ini dikarenakan electrospinning mampu menghasilkan serat nano yang kontinu dengan ukuran yang seragam (Faccini et al., 2014).

(28)

Serat nano berupa membran tipis yang terbentuk pada plat kolektor selama proses electrospinning (Ramakrishna et al., 2005). Karakteristik serat nano (bentuk diameter serat dan struktur permukaan) dipengaruhi secara signifikan oleh perubahan dalam parameter electrospinning (Magniez et al., 2010).

Tampilan morfologi serat nano hasil penelitian dari Sadeghi et al. (2018) yang menggunakan prekursor TTIP dan polimer PVP dapat dilihat pada Gambar 2.1.

Gambar 2.1 Morfologi serat nano TiO2/PVP (Sadeghi et al., 2018).

Berdasarkan morfologi permukaan yang disajikan pada Gambar 2.1 terlihat bahwa serat nano TiO2/PVP berhasil dipintal menggunakan teknik electrospinning. Keberhasilan ini ditunjukkan oleh bentuk serat yang kontinu dengan ukuran yang relatif seragam tanpa adanya manik yang terbentuk.

B. Titanuim Dioksida (TiO2)

Titanium dioksida juga biasa disebut titania atau titanium (IV) dioksida merupakan bentuk oksida dari titanium, secara kimia dapat dituliskan dengan TiO2. TiO2 adalah semikonduktor oksida yang memiliki celah energi yang lebar (>3,00 eV), transmitansi yang tinggi, sifat listrik yang baik (Ichzan et al, 2015),

(29)

11

tidak beracun, fotosensitif dan memiliki aktivitas fotokatalis yang baik (Zhang et al., 2015). Dengan berbagai keunggulan tersebut, TiO2 banyak diaplikasikan sebagai pigmen putih dalam cat, penjernih air, material yang dapat meregenerasi diri, degradasi senyawa organik dan senyawa tidak beracun, antibakteri dan fotokatalis (Rahman et al., 2014).

TiO2 dilaporkan memiliki tujuh bentuk polimorf, empat bentuk ditemukan di alam dan sisanya sintetis (Ahonen, 2001). Dari empat bentuk alami tersebut hanya tiga yang terlibat dalam sintesis anorganik yaitu anatase, rutil dan brukit.

Hanya anatase dan rutil yang penting secara komersial. Ketiga struktur kristal dapat didefinisikan sebagai oktahedral (TiO26−) dimana masing-masing fasa dibedakan dengan cara penyusunan distorsi tiap-tiap oktahedral (Kurtoglu, 2011). Anatase dan rutil memiliki struktur kristal tetragonal, sedangkan brukite memiliki struktur kristal ortorhombik (Landaman et al., 2012). Rutil merupakan bentuk kristal yang stabil, sedangkan anatase dan brukit merupakan bentuk kristal yang metastabil dan akan merubah menjadi rutil apabila dipanaskan pada suhu <700 oC (Paola et al., 2008). Fasa anatase cenderung lebih stabil pada suhu rendah dari 120 oC dan optimal pada suhu 500 oC, sedangkan di atas suhu tersebut maka akan terbentuk fasa rutil (Saini et al., 2007). Menurut Zhang and Banfield (2000) fasa anatase paling stabil pada ukuran 11-15 nm, brukit paling stabil untuk ukuran kristal 11-35 nm dan rutil paling stabil pada ukuran lebih besar dari 35 nm. Struktur kristal TiO2 rutil, anatase dan brukit ditunjukkan pada Gambar 2.2.

(30)

(a) (b) (c)

Gambar 2.2 Struktur kristal TiO2: (a) anatase (Horn et al., 1972), (b) rutil (Howard et al., 1991), dan (c) brukit (Meagher and Lager., 1979).

Penggambaran kristal menggunakan Vesta versi 4.0.5.

Dari Gambar 2.2 terlihat bahwa panjang parameter sel ketiga bentuk kristal berbeda-beda. Fasa anatase memiliki parameter sel a (3,796 Å) yang lebih kecil dibandingkan dengan parameter sel a rutil (4,594 Å) dan brukit (5,436 Å). Untuk parameter b, fasa brukit memiliki parameter b paling besar (9,166 Å) dibandingkan dengan parameter b fasa anatase (3,796 Å) dan rutil (4,594 Å).

Begitu juga dengan parameter sel c, fasa anatase memiliki parameter sel c terbesar (9,444 Å) dibandingkan dengan parameter sel c rutil (4,594 Å) dan brukit (9,166 Å). Untuk karakteristik struktur kristal TiO2 ditunjukkan oleh Tabel 2.1.

Tabel 2.1. Karakteristik struktur kristal TiO2 (Carp et al., 2004).

Karakteristik Rutil Anatase Brukit Bentuk kristal Tetragonal Tetragonal Ortorhombik

Massa jenis (kg/m3) 4240 3830 4170

Konstanta kisi (nm) 0,644 2,51 0,944

Celah pita (eV) 3,0 3,2 -

Indeks refraksi 2,6506 2,6584 2,677

Ti O2

(31)

13

Perbedaan struktur kristal anatase dan rutil terletak pada distorsi dan pola penyusunan rantai oktahedral. Oktahedral pada struktur rutil mengalami sedikit distorsi ortorombik, sedangkan pada anatase distorsi ortorombiknya cukup besar. Jarak antara Ti-Ti anatase lebih besar pada anatase dibandingkan dengan rutil (3,79 Å dan 3,04 Å dengan 3,57 Å dan 3,96 Å) sedangkan jarak Ti-O anatase lebih kecil dibanding dengan rutil (1,934 Å dan 1,980 Å dengan 1,949 Å dan 1,980 Å). Ukuran partikel TiO2 merupakan salah satu faktor penting dalam menentukan karakteristiknya dan potensial penerapannya. Semakin kecil partikelnya, semakin beragam potensial penerapannya (Mahmoud et al., 2013).

C. Titanium Isopropoksida (TTIP)

TTIP merupakan suatu senyawa kimia dengan rumus molekul C12H28O4Ti.

Senyawa ini berbentuk cairan berwarna jerami yang memiliki titik didih 238℃

pada suhu kamar dengan Standard Temperature and Pressure (STP) (Katsuki and Sharpless, 1980). TTIP memiliki molekul tetrahedral diamagnetik dan salah satu struktur alkoksida yang kompleks. TTIP adalah monomer dalam pelarut nonpolar (Wright and Williams, 1968). Biasanya titanium alkoksida ini digunakan dalam sintesis bahan ilmu organik (Cho et al., 2001). Struktur molekul 2D dari TTIP ditunjukkan pada Gambar 2.3 dan sifat kimianya dapat dilihat pada Tabel 2.2.

(32)

Gambar 2.3 Struktur 2D TTIP.

Tabel 2.2. Sifat kimia titanium isopropoksida

Nama Senyawa Titanium Isopropoksida Rumus molekul C12H28O4Ti

Mr (masa molekul relatif) 284,2 g/mol

Massa jenis 0,96 g/cm3

Titik leleh 17℃

Titik didih 238℃

Kelarutan dalam air Bereaksi membentuk TiO2

Kelarutan Larut dalam etanol, eter dan benzene Dalam sintesis serat nano prekursor TTIP banyak digunakan dibanding dengan prekursor lainnya. Hal ini disebabkan TTIP mampu menghasilkan serat nano dengan diameter lebih kecil, harga relatif murah dan mudah diperoleh dibanding prekursor lainnya seperti TBT. Hasil penelitian Dharma et al. (2021) menunjukkan bahwa pembuatan serat nano menggunakan prekursor TTIP menghasilkan diameter serat lebih kecil dibanding dengan prekursor tetrabutil titanat (TBT). Besar rata-rata diameter serat yang diperoleh TTIP yaitu (331,6

± 148,4) nm dan TBT (460,1 ± 72,3) nm.

D. Polyvinyl Pyrrolidone (PVP)

PVP merupakan polimer sintesis yang tersusun dari monomer N-vinyl pyrrolidone dengan rumus molekul (C3H4O2)n. Bentuknya berupa serbuk putih, tidak berbau, higroskopis dan memiliki densitas 0,29 – 0,39 g/cm3 dan pH 3,0

(33)

15

– 7,0. Derajat polimerisasi ditentukan oleh jumlah n dari unit-unit ulang per makromolekul atau dengan kata lain dapat dikatakan bahwa derajat polimerisasi ditentukan oleh bobot molekulnya. Semakin besar bobot molekulnya, maka viskositasnya akan semakin besar. Bobot molekul dari PVP bervariasi dari 10.000 hinggan 70.000. Serbuk ini stabil pada suhu 110-130 oC, mudah terurai dengan adanya udara dari luar dan stabil jika disimpan ditempat yang kering (Rowe et al., 2009). Struktur molekul PVP ditampilkan pada Gambar 2.4.

Karakteristik PVP sangat baik karena memiliki konstanta dielektrik, kelarutan, stabilitas, kompatibilitas, resistensi yang tinggi. PVP sangat mudah larut dalam asam, etanol, kloroform, aseton, metanol, dan air (Lachman et al., 2008).

Namun, tidak larut dalam eter, hidrokarbon, dan minyak mineral (Wade, 2003).

Gambar 2.4 Struktur molekul PVP (Rowe et al., 2009).

Berdasarkan Gambar 2.4 struktur atom PVP terdiri dari 6 atom karbon (C), 9 atom hidrogen (H), 1 atom nitrogen (N) dan 1 atom okdigen (O). Sehingga dengan melihat jumlah atom yang dimiliki maka rumus kimia dari PVP yaitu (C6H9NO). Manfaat PVP di bidang industri sangatlah beragam. Beberapa penggunaan dan keunggulan PVP ditunjukkan Tabel 2.3.

(34)

Tabel 2.3. Keunggulan penggunaan PVP (Abdelrazek et al., 2013)

Penggunaan Keunggulan PVP

Perekat Perekat khusus untuk kaca, logam,

plastik. Membentuk film yang tahan minyak, meningkatkan titik leleh termoplastik dan penambah efektifitas perekat gigi.

Keramik (untuk produk seperti tanah liat, tembikar, porselen)

Pengikat mudah terbakar dalam proses pembakaran dan tidak memberikan pengaruh pada produk akhir keramik Kaca dan kawat kaca (berfungsi

sebagai pengikat, pelumas dan agen pelapis)

Membantu dalam proses dan mencegah abrasi kaca.

Serat dan tekstil (Serat sintetik, banyak digunakan sebagai dispersant pewarna dan untuk mendispersikan titanium dioksida)

Solubilizer untuk pewarna, memberikan kontribusi perekat untuk kaca serat, mengembalikan warna tekstil yang memudar)

Polimerisasi Bertindak sebagai regulator ukuran partikel, viskositas pengubah emulsi polimer, meningkatkan kekuatan.

PVP memiliki peran penting dalam menentukan morfologi TiO2. Dalam pembentukan serat nano TiO2, PVP mampu menghasilkan diameter serat yang kecil, serat tanpa banyak beads (manik) dan serat bersifat kontinyu (Tang et al., 2016). Hasil penelitian Kim et al. (2021) menunjukkan bahwa dalam rentang tertentu konsentrasi PVP mempengaruhi terbentuknya manik dan jumlahnya menurun seiring bertambahnya konsentrasi PVP dan diikuti kenaikan besar diameter serat. Konsentrasi yang digunakan adalah 2, 4, 6, 8 dan 10% wt. Tang et al. (2016) juga melihat peningkatan konsentrasi PVP berpengaruh pada serat karena jumlah cacat manik dan besarnya ukuran serat meningkat dengan peningkatan %wt (4, 6, 7 dan 8% wt).

(35)

17

E. Electrospinning

Electrospinning merupakan proses pemintalan serat (fiber) melalui pancaran muatan listrik dari suatu larutan atau cairan polimer. Electrospinning merupakan teknik yang efektif dan sederhana untuk memproduksi serat mulai dari puluhan nanometer ke mikrometer. Teknik ini telah dipatenkan oleh Formhals pada tahun 1934 (Yang et al., 2011). Proses ini sangat sedikit digunakan dan diteliti hingga pertengahan 1990 saat Doshi dan Reneker membuat serat tipis dari berbagai polimer organik. Sejak saat itu, terjadi peningkatan penelitian baik dalam teori maupun aplikasi electrospinning.

Meskipun electrospinning umumnya digunakan dalam pembuatan serat dari polimer, tetapi dapat juga digunakan dalam biologi molekul.

Electrospinning adalah proses yang terjadi saat adanya perbedaan potensial antara larutan dan kolektor. Seringnya, medan listrik eksternal digunakan untuk mengontrol pancaran electrospinning yang digunakan. Faktor-faktor yang mempengaruhi kemampuan larutan untuk membawa muatan, medan listrik yang mengelilingi pancaran electrospinning dan disipasi muatan pada serat polimer yang disimpan pada kolektor akan berdampak pada proses electrospinning (Huang et al., 2003). Selama proses electrospinning, perlu sumber daya bertegangan tinggi yang dialirkan pada cairan polimer, sehingga terjadi tolakan antar muatan pada permukaan tetes larutan diujung kapiler bersaing dengan tegangan permukaan, yang menstabilkan tetes larutan. Saat kondisi kritis tercapai maka tolakan permukaan muatan akan mendominasi, permukaan setengah bola cairan diujung memanjang untuk membentuk rupa

(36)

kerucut yang dikenal sebagai kerucut Taylor. Untuk lebih meningkatkan intensitas medan listrik, pancaran diambil dari pemintal yang di bawah laju alir konstan. Sebelum mencapai kolektor, larutan akan menguap dan terkumpul sebagai jaring-jaring serat dalam kolektor. Skema alat electrospinning dasar ditunjukkan dalam Gambar 2.5.

Gambar 2.5 Skema alat electrospinning (Junaedi and Nurmayady, 2012).

Berdasarkan Gambar 2.5, electrospinning mempunyai 3 komponen utama yakni sumber daya tegangan tinggi, pompa jarum suntik dan kolektor. Pada metode electrospinning, sumber daya tegangan tinggi pada rentang tertentu diterapkan di antara dua buah elektroda untuk memperoleh jenis dan kualitas serat nano yang diinginkan. Elektroda positif dibuat bersentuhan dengan cairan polimer melalui ujung jarum untuk menghasilkan cairan bermuatan ketika dikenai medan listrik luar, dan elektroda negatif dipasangkan pada kolektor yang bertindak sebagai pengumpul serat. Pada studi penelitian, sumber daya tegangan tinggi yang digunakan pada electrospinning yaitu sebesar 7-32 kV (Patil et al., 2017). Karena adanya gaya elektrostatik larutan akan tertarik ke dalam kolektor yang akan menghasilkan serat berskala nm.

High Voltage

+ -

Larutan Polimer

Kerucut Taylor

Kolektor

Serat Nano

Pompa suntik

(37)

19

Gaya elektrostatik yang dilakukan muatan oleh larutan polimer (Q) pada kolektor(q) memenuhi Persamaan(2.1).

𝐹⃗ = 𝑘𝑄𝑞

𝑟2 (2.1)

Medan listrik dan potensial listrik yang dihasilkan oleh larutan polimer padakolektordengan jarakrdisajikan pada Persamaan (2.2), (2.3) dan (2.4).

𝐸 = 𝐹⃗

𝑞 (2.2)

𝐸 = 𝑘𝑄𝑞/𝑟2

𝑞 𝐸 = 𝑘𝑄

𝑟2 (2.3)

𝑉 = 𝑘𝑄

𝑟 (2.4)

Dari Persamaan (2.3) dan Persamaan (2.4) diperoleh hubungan medan listrik dengan potensial listrik berikut ini.

𝐸 = 𝑉

𝑟 (2.5)

dengan 𝐹⃗, k, Q, q dan r, adalah masing-masing gaya elektrostatik, konstanta, muatan listrik pada larutan polimer, muatan listrik pada kolektor dan jarak antara dua muatan listrik.

Untuk mendapatkan serat nano, proses electrospinning harus diawali dengan terbentuknya formasi kerucut Taylor (cairan berbentuk seperti kerucut diujung jarum) pada proses inisiasi. Medan listrik yang mengenai kerucut Taylor harus mampu mengimbangi tegangan permukaan larutan. Ketika medan listrik dinaikan, formasi pancaran akan keluar dari ujung kerucut Taylor. Polimer

(38)

pancaran akan mengalami gangguan sehinggga terjadi kelengkungan dan dilanjutkan dengan terbentuknya lintasan spiral hingga akhirnya serat nano terkumpul di kolektor dalam bentuk padatan. Proses tahapan-tahapan tersebut akan dijelaskan lebih rinci pada tahapan proses electrospinning di bawah ini.

a. Tahap inisiasi

Tahap inisiasi adalah tahap terbentuknya tetesan larutan pada ujung jarum, dimulai dengan terbentuk dan berkumpulnya muatan positif di permukaan ujung jarum. Tegangan permukaan akan dilawan oleh tekanan listrik normal, sedangkan gaya viskos dilawan oleh tekanan listrik tangensial.

Tegangan permukaan pada lapisan terluar tetesan berperan membentuk permukaan bulat dan menahan tetesan agar tidak menetes seperti yang ditampilkan Gambar 2.6a. Medan listrik yang muncul akibat adanya beda potensial antara ujung jarum dan kolektor mengakibatkan partikel-partikel larutan yang berada di ujung jarum menjadi bermuatan listrik sejenis sehingga muncul gaya elektrostatik antar partikel seperti yang ditunjukkan oleh Gambar 2.6b. Ketika medan listrik atau tegangan cukup tinggi, gaya listrik yang dihasilkan akan melampaui gaya tegang permukaan, sehingga pada larutan dengan konsentrasi yang cukup akan terjadi aliran pancaran serat seperti pada Gambar 2.6d. Aliran pancaran diawali dengan terbentuknya permukaan kerucut Taylor yang ditunjukkan oleh Gambar 2.6c. Selama terjadi aliran pancaran permukaan kerucut Taylor seiring dengan waktu akan mengalami relaksasi akibat pengaruh masih adanya tegangan permukaan. Peristiwa terpancarnya larutan bermuatan disebut

(39)

21

dengan aliran pancaran (Deniz, 2011). Perubahan bentuk formasi larutan menjadi kerucut Taylor diperlihatkan secara skematik pada Gambar 2.6.

Gambar 2.6 Skematis perubahan tetesan larutan polimer dalam electrospinning: (a) tidak ada perubahan tetesan ketika tidak ada tegangan, (b) muatan menumpuk di sekitar tetesan pada penerapan tegangan rendah, (c) tolakan coulombik mengalahkan tegangan permukaan, dan tetesan mulai berubah bentuk menjadi kerucut Taylor, dan (d) pada tegangan tinggi, kerucut Taylor memasuki "mode pengaliran", dan serat diekstrusi dari ujungnya (Suresh et al., 2020).

Fenomena kerucut Taylor merupakan kerucut yang terbentuk dalam cairan penghantar listrik saat terkena medan listrik tinggi. Cairan yang bermuatan diekspos ke medan listrik statis yang besar sehingga pada ujung jarum terbentuk kerucut dengan sisi cembung dan ujung membulat seperti yang ditunjukkan pada Gambar 2.4. Medan listrik menyebabkan tetesan cairan ionik melepaskan diri dari kerucut Taylor dan mempercepat terjadinya daya dorong (Wright and Ferrer, 2015). Daya dorong tersebut yang kemudian menyebabkan larutan yang terlontar menjadi memanjang dan mempercepat larutan menuju kolektor sehingga terbentuklah serat yang tertempel pada kolektor (Beaumont and Zweben, 2018).

b. Tahap pengecilan serat

(a) (b) (c) (d)

(40)

Tahap pengecilan serat terjadi saat diameter serat mengecil akibat terjadinya peristiwa ketidakstabilan pembelokan pada aliran pancaran. Aliran pancaran mulanya bergerak dalam lintasan lurus, setelah itu akan terjadi gerakan seperti pembelokan, perputaran dan semakin jauh jarak yang ditempuh semakin kompleks gerakan yang terjadi. Ketidakstabilan pembelokan diilustrasikan dalam bentuk lingkaran spiral. Semakin jauh jarak ujung tip dengan kolektor, lingkaran spiralnya semakin komplek dan akan mengkibatkan penurunan ukuran diameter serat.

c. Tahap pancaran pemadatan

Tahap ini terkait dengan titik penguapan pelarut. Setiap pelarut membutuhkan waktu penguapan yang berbeda. Lamanya waktu penguapan dikorelasikan dengan pengaturan jarak ujung jarum ke kolektor. Semakin singkat waktu penguapan pelarut maka diperlukan jarak antara ujung jarum dengan kolektor yang semakin pendek, begitu pula sebaliknya. Akibatnya lamanya waktu penguapan memberikan berpengaruh yang signifikan pada ukuran diameter serat nano (Deniz, 2011).

Meskipun electrospinning adalah proses yang sederhana, ada beberapa parameter penting yang perlu diperhatikan dalam pembentukan serat nanofiber.

Parameter ini sangat mempengaruhi kualitas dari membran nanofiber yang dihasilkan. Parameter larutan meliputi konsentrasi, berat molekul, viskositas, tegangan permukaan dan konduktivitas; parameter proses meliputi tegangan, laju alir larutan, jenis kolektor dan jarak kolektor dengan ujung jarum; dan parameter lingkungan seperti kelembaban dan temperatur lingkungan.

(41)

23

1. Parameter Larutan a. Konsentrasi

Konsentrasi larutan polimer berperan penting dalam pembentukan fiber selama proses electrospinning:

1. Jika konsentrasi sangat rendah (sangat viskos), maka akan terbentuk kumpulan tetesan larutan akibat terganggunya kemampuan polimer untuk diproses. Dalam hal ini, yang terjadi bukanlah electrospinning, melainkan electrospray.

2. Jika konsentrasi sedikit lebih tinggi, maka akan dihasilkan campuran tetesan dan fiber.

3. Jika konsentrasi sesuai, maka akan dihasilkan nanofiber yang halus.

4. Jika konsentrasi sangat tinggi, maka akan dihasilkan fiber dengan diameter yang besar sehingga akan menyumbat kapiler (Ramakrishna et al., 2005).

b. Berat molekul

Berat molekul mencerminkan ketergantungan antar rantai polimer dalam larutan. Peningkatan berat molekul akan menghasilkan fiber yang halus. Berat molekul suatu polimer akan memberikan dampak pada viskositas larutan (Ramakrishna et al., 2005).

c. Viskositas

Viskositas yang sangat rendah hanya akan menghasilkan tetesan atau campuran tetesan dengan fiber sehingga ada kecenderungan terbentuknya beads daripada serat yang halus. Larutan dengan viskositas yang sangat tinggi akan mengakibatkan pancaran sulit

(42)

mengeluarkan serat. Viskositas larutan diatur dengan menyesuaikan konsentrasi larutan. Fiber kontinu dihasilkan oleh larutan yang viskositasnya sesuai (Ramakrishna et al., 2005). Tekmen et al. (2008) dalam penelitiannya melihat seiring meningkatnya nilai viskositas pada larutan TiO2 makamembuat ukuran manik-manik meningkat dan bentuk manik menjadi lebih berbentuk gelondong dari pada bola.

d. Tegangan permukaan

Tegangan permukaan merupakan fungsi dari komposisi pelarut sehingga perbedaan pelarut menyebabkan perubahan tegangan permukaan. Tegangan permukaan berpengaruh dalam terbentuknya manik-manik (beads) pada serat hasil electrospinning. Penurunan tegangan permukaan dapat menghasilkan fiber yang lebih halus.

Tegangan permukaan dapat diatur dengan mengubah rasio campuran pelarut (Ramakrishna et al., 2005). Penelitian Tungprapa et al. (2007) menyatakan bahwa larutan dengan tegangan permukaan mulai dari 28 dyn/cm sudah dapat digunakan untuk membuat serat nano menggunakan teknik electrospinning. Pada teknik electrospinning, tegangan permukaan diatasi dengan menerapkan medan listrik.

e. Konduktivitas

Konduktivitas larutan umumnya dipengaruhi oleh tipe polimer, pelarut, dan garam. Umumnya, polimer alami merupakan polielektrolit sehingga meningkatkan kemampuan pancaran membawa muatan, menambah ketegangan pada medan listrik, dan akan menghasilkan bentuk fiber yang kurang baik. Konduktivitas elektrik larutan diatur dengan

(43)

25

menambahkan garam ionic. Dengan bantuan garam ionik, dapat diperoleh nanofiber dengan diameter kecil. Penggunaan asam organik sebagai pelarut dapat menghasilkan larutan dengan konduktivitas yang tinggi dan menghasilkan larutan tanpa beads (Ramakrishna et al., 2005).

2. Parameter Proses a. Tegangan

Tegangan harus melebihi tegangan ambang agar pancaran bisa dikeluarkan dalam bentuk Taylor Cone. Tegangan mempengaruhi diameter fiber, namun signifikansinya bergantung pada konsentrasi larutan dan jarak ujung jarum ke kolektor. Saat konsentrasi meningkat, gaya listrik yang dibutuhkan semakin besar untuk mengatasi tegangan permukaan (Yao et al., 2008).

b. Laju alir larutan

Laju alir yang kecil memberikan waktu lebih pada polimer untuk terpolarisasi. Jika laju alir sangat besar, maka hasil yang akan diperoleh adalah campuran tetesan fiber dengan diameter yang tebal (Ramakrishna et al., 2005).

c. Jenis kolektor

Kolektor berperan sebagai substrat konduktif untuk mengumpulkan fiber bermuatan. Biasanya, alumunium foil digunakan untuk mengumpulkan nanofiber (Varesano et al., 2009).

d. Jarak kolektor dengan ujung jarum

Jarak kolektor dengan ujung jarum mempengaruhi morfologi dan diameter serat dikarenakan jarak dapat menentukan waktu deposisi,

(44)

tingkat penguapan, dan ketidakstabilan jet atau pancaran larutan. Oleh sebab itu, dibutuhkan jarak tip ke kolektor yang optimum agar membentuk serat nano dengan diameter dan morfologi serat seperti yang diinginkan. Sejumlah penelitian telah mempelajari pengaruh jarak tip ke kolektor dan menyimpulkan bahwa kenaikan jarak membuat diameter serat menurun namun ketidakstabilan pancaran larutan meningkat. Apabila terjadi penurunan jarak maka diameter serat meningkat dengan menurunnya ketidakstabilan pancaran. Jarak tip ke kolektor yang diterapkan pada beberapa larutan yang memiliki viskositas berbeda, maka akan menghasilkan diameter serat yang berbeda pula (Haider et al., 2015). Berdasarkan penelitian Patil et al.

(2017) umumnya jarak tip dengan kolektor yaitu 5 - 25 cm.

Deitzel et al. (2001) pada penelitiannya melihat peningkatan tegangan electrospinning berpengaruh pada serat karena jumlah cacat manik (akibat perubahan kemiringan arus electrospinning sebagai fungsi tegangan), peningkatan panjang dan penurunan ukuran serat juga cenderung meningkat seiring dengan peningkatan tegangan. Nayak et al. (2017) juga mengamati jarak antara nosel ke kolektor yang lebih pendek cenderung menghasilkan serat dengan diameter yang lebih kasar karena pemancaran tetesan larutan polimer telah terkumpul di kolektor sebelum pancaran tetesan polimer memanjang dan menipis dengan maksimal, sehingga menurut Zhang et al.

(2019) dibutuhkan jarak yang tepat untuk memberikan waktu cairan meregang dan mengering sebelum terjadi pengendapan pada kolektor. Kim et al. (2005) membandingkan hasil serat pada 3 jenis kolektor penampung

(45)

27

yang berbeda-beda. Pada kolektor berbahan logam (permukaan serat halus), pada kolektor penampung (reservoir) air (permukaan serat kasar), sedangkan kolektor penampung (reservoir) metanol (serat kasar dan melengkung). Peningkatan laju aliran ternyata meningkatkan diameter serat dan morfologi manik-manik pada serat nano (Mirjalili and Zohoori, 2016).

Penyebab manik yang terbentuk dikaitkan dengan tidak adanya penguapan pelarut serta peregangan yang rendah dari larutan saat pancaran dari jarum ke kolektor.

3. Parameter Lingkungan

Temperatur dan kelembaban juga dapat mempengaruhi morfologi dan diameter nanofiber. Peningkatan temperatur mengurangi viskositas dari larutan dan meningkatkan evaporasi pelarut. Akibatnya, nanofiber yang dihasilkan kebih tipis. Peningkatan kelembaban menghasilkan nanofiber berdiameter lebih kecil.

Pada tingkat kelembaban yang relatif rendah, laju penguapan pelarut meningkat sehingga terbentuk pori-pori dengan ukuran dan kedalaman yang berbeda (Junaedi and Donny, 2012). Hu et al. (2013) dalam penelitiannya melihat peningkatan temperatur dan jenis medium pendinginan berpengaruh terhadap serat nano yang terbentuk. Semakin tinggi temperatur ukuran diameter serat cenderung akan meningkat dan serat tidak kontinu.

F. Karakterisasi Material

1. Scanning Electron Microscopy - Energy Dispersive Spectroscopy (SEM- EDS)

(46)

SEM adalah alat yang dapat digunakan untuk mengamati dan menganalisis struktur mikro dan morfologi berbagai material. SEM memiliki kemampuan dimana sumber energi yang digunakan adalah berkas elektron, sehingga menghasilkan resolusi dan kedalaman fokus yang tinggi. Oleh karena resolusi yang tinggi, tekstur, topografi, morfologi serta tampilan permukaan sampel dapat terlihat dalam ukuran mikron. SEM juga memberikan informasi dalam skala atomik dari suatu sampel (Griffin and Riessen, 1991). Skema kerja alat SEM, berawal dari elektron primer yang keluar dari sumber elektron dengan energi yang sangat besar melewati anoda. Anoda berfungsi menyerahkan elektron menuju titik fokus, membatasi dan mengeleminasi pancaran elektron yang memiliki sudut hambur terlalu besar. Setelah melewati anoda berkas elektron diteruskan menuju lensa magnetik, agar elektron terfokuskan dan menuju kumparan pemindai hingga sampai ke sampel (Sampson, 1996). Skema dasar SEM disajikan pada Gambar 2.7.

Skema Fisik

Gambar 2.7 Komponen SEM (Meghana et al., 2009).

Pistol elektron Berkas elektron

Anoda Lensa magnetik

Kumparan

Detektor elektron hamburan balik

Sampel Tempat sampel

Detektor elektron sekunder

TV Pemindai

(47)

29

Electron Gun merupakan sumber elektron dari bahan material yang menggunakan energy tegangan tinggi sekitar 10-40 kV. Adapun material yang biasa digunakan yaitu tungsten dan Lantanum atau Hexaboride cerium (LaB6

atau CeB6). Tungsten yang sering digunakan sebagai electron gun dalam SEM- EDS. Adanya energi panas pada bahan material akan diubah menjadi energi kinetik oleh elektron sehingga ada pergerakan elektron. Semakin besar panas yang diterima maka energi kinetiknya akan semakin besar sehingga pergerakan elektron semakin cepat dan tidak menentu yang mengakibatkan elektron tersebut terlepas dari permukaan bahan material. Bahan yang digunakan sebagai sumber elektron disebut sebagai emitter atau lebih sering disebut katoda sedangakan bahan yang menerima elektron disebut sebagai anoda atau plate dalam instrument SEM-EDS.

Magnetic lens terdiri dari dua buah (kodensator) bekerja untuk memfokuskan arah elektron. Selain itu, lensa magnetik juga berfungsi untuk menguatkan elektron sehingga informasi gambar yang dihasilkan memiliki kualitas yang baik. Scanning foil berfungsi untuk mengumpulkan berkas sinar elektron, karena pada dasarnya elektron yang dipancarkan ke sampel tidak terjadi secara kontinu melainkan berupa paket-paket energi. Setelah terjadi tumbukan antara elektron dan sampel, detekor akan merekam interaksi yang terjadi pada sampel.

Detektor secondary electron (SE) merupakan sebuah sintilator yang akan menghasilkan cahaya jika mengenai elektron, cahaya tersebut akan dikonversi menjadi sinyal elektrik oleh photomultiplier. Dalam sintilator terdapat potensial positif yang digunakan untuk mempercepat aliran SE, sehingga SE yang memiliki energi rendah (beberapa volt) dapat ditangkap detekor dengan baik.

(48)

Sedangkan detekor backscatered electron (BSE) yang juga terdapat sintilator dapat menerima sinyal BSE tanpa adanya beda potensial, karena pada dasarnya BSE sudah memiliki energi yang cukup tingi untuk diterima oleh detekor BSE.

SE dan BSE dimanfaatkan dalam SEM-EDS sebagai analisis bahan material yang didasarkan pada tingkat energi dan tentunya menggunakan spektometer jenis energy dispersive (ED). Karena spektrometer jenis ED diakui memiliki akurasi yang tinggi untuk menganalisis jenis unsur pada bahan material.

Berbeda dengan alat XRD yang menggunakan spektrometer jenis wave dispersive (WD) dengan analisis yang didasarkan pada panjang gelombang untuk mengetahui senyawa pada bahan material.

SE adalah sebuah pancaran elektron yang dihasilkan akibat interaksi elektron dengan sampel. SE berasal dari interaksi elektron yang energinya rendah (kurang dari 50 eV) dan hanya mampu berinteraksi pada permukaan sampel, maka informasi yang dapat diambil dari SE yaitu mencakup bentuk permukaan sampel (topografi).

BSE dihasilkan oleh interaksi elektron yang memiliki energi tinggi sebagai akibat adanya hamburan elastik. Energi yang dimiliki elektron ini mampu berinteraksi dengan sampel hingga menembus lapisan permukaan sampel.

Informasi yang diperoleh dari elektron BSE mencakup morfologi struksur pada bahan material. Adanya interaksi elektron yang menghasilkan SE dan BSE pada alat SEM-EDS, maka alat ini digunakan untuk menganalisis permukan sampel (topografi) dan morfologi struktur (elemen) dari suatu bahan material.

(49)

31

Tampilan gambar morfologi permukaan serta spektrum komposisi unsur sampel yang diperoleh dari hasil karakterisasi SEM dan EDS akan tampak seperti pada Gambar 2.8.

Gambar 2.8 Morfologi permukaan: (a) serat nano TiO2/PVA, (b) serat nano PVA (Nasikhudin et al., 2017).

Bedasarkan morfologi permukaan yang ditampilkan pada Gambar 2.8 dapat dilihat bahwa serat TiO2/PVA dan PVA terbentuk dan dapat dipintal dengan menggunakan metode electrospinning. Perbedaan ukuran serat antara sampel TiO2/PVA dan PVA nampak jelas terlihat. Tampak bahwa serat PVA memiliki banyak manik dan panjang serat yang tidak kontinu dibandingkan dengan serat TiO2/PVA. Pada Gambar 2.9 ditampilkan spektrum EDS dari serat TiO2/PVA.

Gambar 2.9 Spektrum EDS serat TiO2/PVA (Nasikhudin et al., 2017).

(a) (b)

A

(50)

Berdasarkan tampilan spektrum EDS pada Gambar 2.9 menunjukkan bahwa rasio unsur C, O dan Ti berturut-turut 68,03; 28,76; 3,21%. Hal ini membuktikan bahwa nanofiber mengandung TiO2.

2. X-Ray Diffraction (XRD)

XRD adalah teknik analisis yang bertujuan untuk mengetahui pembentukan fasa pada material. Prinsip dasar kerja XRD adalah pendifraksian sinar X oleh bidang-bidang atom dalam kristal padatan. Tembakan sinar-X monokromatis kepada struktur kristal tersebut memberikan interferensi yang konstruktif (Cullity, 1978).

Sinar-X telah ditemukan pada tahun 1985 oleh fisikawan Jerman Roentgen.

Sinar-X merupakan radiasi elektromagnetik mirip dengan sinar tampak, namun sinar-X memiliki panjang gelombang yang lebih pendek. Sinar-X adalah radiasi elektromagnetik dengan rentang panjang gelombang kurang lebih dari 0,01 nm hingga 10 nm (energinya kurang lebih dari 100 eV hingga 100 keV). Panjang gelombang tersebut sama dengan orde konstanta kisi kristal, sehingga sinar-X sangat berguna untuk menganalisis struktur kristal. Jika sinar-X dikenai pada suatu material, maka intensitas sinar yang dihamburkan akan lebih rendah dari intensitas sinar yang datang. Hal ini disebabkan adanya penyerapan oleh material dan juga penghamburan oleh atom-atom dalam material tersebut.

Berkas sinar yang dihamburkan tersebut ada yang saling menghilangkan, karena fasanya berbeda dan ada yang saling menguatkan karena fasanya sama.

Berkas sinar yang saling menguatkan itulah yang disebut sebagai berkas

(51)

33

difraksi sinar-X. Intensitas sinar-X terdifraksi bergantung pada berbagai faktor.

Faktor-faktor yang mempengaruhi tersebut berasal dari polarisasi sinar-X, penyerapan sinar-X, faktor geometri, posisi dan getaran atom-atom karena adanya pengaruh temperatur (Smallman and Bishop, 1995). Peristiwa difraksi yang terjadi pada kisi kristal, dapat dilukiskan seperti Gambar 2.10.

Gambar 2.10 Difraksi sinar-X pada kristal. d = jarak antar bidang.

Seberkas sinar-X pertama dengan panjang gelombang λ yang mengenai atom A pada bidang pertama dan sinar-X kedua dengan panjang gelombang λ jatuh pada kristal dengan sudut θ terhadap permukaan bidang kristal yang jaraknya adalah d. Seberkas sinar-X pertama yang mengenai atom A pada bidang pertama dan sinar-X kedua yang mengenai atom B pada bidang berikutnya mengakibatkan masing-masing atom menghambur dalam arah rambang. Sinar yang berinterferensi saling menguatkan terjadi ketika sinar-sinar yang terdifraksi beda lintasannya sebesar kelipatan bulat dari panjang gelombang. Difraksi akan saling menguatkan jika terpenuhi persamaan Bragg (2.6).

λ = 2 d sin θ (2.6)

dengan d adalah jarak antar bidang atom dalam kristal, λ adalah panjang gelombang sinar-X dan θ adalah sudut difraksi.

A

B

Sinar X datang Sinar X hambur

Muka gelombang

Muka gelombang

Atom

(52)

Karakterisasi menggunakan metode difraksi merupakan metode analisis yang penting untuk menganalisisi suatu kristal. Karakterisasi XRD dapat digunakan untuk menentukan struktur, ukuran butir, konstanta kisi, dan FWHM (Smallman and Bishop, 1999). Data yang diperoleh dari metode XRD adalah sudut hamburan dan intensita cahaya difraksi. XRD memberikan data-data difraksi dan kuantisasi intensitas difraksi pada sudut-sudut dari suatu bahan.

Data yang diperoleh dari XRD berupa intensitas difraksi sinar-X yang terdifraksi dan sudut-sudut . Tiap pola yang muncul pada pola XRD mewakili satu bidang kristal yang memiliki orientasi tertentu.

Prinsip kerja XRD secara umum adalah sebagai berikut:

a. XRD terdiri dari tiga bagian utama, yaitu tabung sinar-X, tempat objek yang diteliti, dan detektor sinar-X.

b. Sinar-X dihasilkan pada tabung sinar-X yang berisi katoda dan memanaskan filamen, sehingga menghasilkan elektron.

c. Perbedaan tegangan menyebabkan percepatan elektron akan menembaki objek. Ketika elektron mempunyai tingkat energi yang tinggi dan menabrak elektron dalam objek sehingga dihasilkan pancaran sinar-X.

d. Objek dan detektor berputar untuk menangkap dan merekam intensitas refleksi sinar-X. Detektor merekam dan memproses sinyal sinar-X dan mengolahnya dalam bentuk grafik.

Contoh hasil pengukuran difraksi sinar-X dari serat nano TiO2 yang dibuat dari bahan TTIP dan polimer PVP dapat dilihat pada Gambar 2.11.

(53)

35

Gambar 2.11 Contoh hasil XRD serat nano TiO2. A = anatase, R = rutil (Sumber: Lee et al., 2009).

Gambar 2.11 menampilkan hasil XRD yang terbentuk dari sampel serat nano TiO2 dalam berbagai keadaan suhu kalsinasi. Dari gambar terlihat bahwa puncak-puncak yang terbentuk menunjukkan fasa anatase dan rutil.

Berdasarkan puncak-puncak yang diperoleh dari hasil XRD, selanjutnya dapat digunakan untuk menentukan ukuran partikel. Tingkat kristanilitas partikel TiO2 dapat diperoleh dengan membandingkan intensitas dan pelebaran puncak difraksi dari sampel yang diuji. Perhitungan ukuran partikel dapat dilakukan menggunakan persamaan Scherrer (Cullity, 1978) seperti persamaan (2.7).

𝐿 = 𝑘𝜆

𝐵 cos 𝜃 (2.7)

dengan L adalah ukuran partikel (nm), k adalah konstanta (0,94), B adalah lebar penuh pada setengah intensitas maksimum atau full width at half maximum (FWHM), λ adalah panjang gelombang sinar-X (nm) dan θ adalah sudut hamburan pada puncak difraksi (o).

2θ(°)

Intensitas Relatif (a.u)

(54)

A. Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret 2022 hingga bulan Juni 2022.

Preparasi sampel dilakukan di Laboratorium Fisika Material dan pembentukan serat nano TiO2 dilakukan di Laboratorium Instrumentasi Jurusan Fisika Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Lampung.

Karakterisasi sampel meliputi SEM-EDS yang dilakukan di UPT Laboratorium Terpadu dan Sentra Inovasi Teknologi Universitas Lampung dan XRD dilakukan di Departemen Fisika FMIPA Universitas Indonesia.

B. Alat dan Bahan

1. Alat

Dalam penelitian ini alat yang digunakan adalah gelas ukur, neraca digital, mikropipet (0-1000 µL), sendok spatula, magnetic stirrer, plastik wrap, syringe pump 12 mL, electrospinning, kaca preparat, aluminium foil, sarung tangan, masker, tisu, mortar, pastel, SEM-EDS dan XRD.

Gambar

Gambar 2.1 Morfologi serat nano TiO 2 /PVP (Sadeghi et al., 2018).
Gambar  2.2  Struktur  kristal  TiO 2 :  (a)  anatase  (Horn  et  al.,  1972),  (b)  rutil  (Howard et al., 1991), dan (c) brukit (Meagher and Lager., 1979)
Tabel 2.1. Karakteristik struktur kristal TiO 2  (Carp et al., 2004).
Tabel 2.2. Sifat kimia titanium isopropoksida
+7

Referensi

Dokumen terkait

KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan bahwa Project-based Blended Learning dapat meningkatkan kemampuan berpikir kreatif siswa kelas

KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah dilakukan, maka kesimpulan yang dapat diambil dari penelitian ini adalah terdapat

Berdasarkan permasalahan yang sudah di paparkan tersebut, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul “Strategi Dinas Perhubungan Kota Bandar Lampung dalam

Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui variasi silika terhadap penyangga γ-Al2O3 yang paling baik sebagai katalis hydrotreating pada industri green fuel dengan menggunakan beberapa

SIMPULAN DAN SARAN 5.1 Simpulan Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah dilakukan mengenai pengaruh interaksi pemimpin-anggota dan aktivitas berbagi pengetahuan

Penelitian ini difokuskan pada pengaruh dosis kompos endapan limbah cair pabrik kelapa sawit yang diinduksi jamur selulolitik terhadap tanaman pakcoy Brassica rapa L... Penelitian ini

sehingga perlu diatur lebih lanjut secara tegas batas kewenangan jaksa pengecara negara dalam melakukan permohonan pembubaran Perseroan terbatas Metode penelitian yang dipergunakan

1.2 Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis konsentrasi NO3 pada sistem akua- ponik dengan metode pasang surut dengan bak pengendapan dan tanpa bak pe-