• Tidak ada hasil yang ditemukan

Skripsi - Universitas Muhammadiyah Makassar

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2023

Membagikan "Skripsi - Universitas Muhammadiyah Makassar"

Copied!
85
0
0

Teks penuh

Luhur Prianto, S.IP, M.Si Masyarakat Suku Kajang dalam Pengolahan Hutan Adat di Desa Tana Toa Kecamatan Kajang Kabupaten Bulukumba. Sinergitas Pemerintah Daerah dan Masyarakat Suku Kajang dalam Pembinaan Hutan Adat di Desa Tana Toa Kecamatan Kajang Kab.

Rumusan Masalah

Akkrana (Dewa), Pasang, Ammatoa (leluhur pertama) dan tanah yang diberikan Turiek Akkrana kepada leluhurnya. Merawat hutan bagi masyarakat Kajang merupakan bagian dari ajaran pasang surut, karena hutan merupakan bagian dari tanah pemberian Turiek Akkrana kepada nenek moyang suku Kajang.

Tujuan Penelitian

Kekuatan itu datangnya daripada roh nenek moyang masyarakat Kajang yang sentiasa menjaga kelestarian hutan agar terhindar daripada niat jahat manusia.

Manfaat Penelitian

Jika diamati lebih dekat, cakupan hubungan pelayanan publik tampaknya hampir serupa dengan cakupan sumber daya alam. Bahkan jika dilihat sepintas, keterkaitan atau relasi di bidang pelayanan publik dan sumber daya alam sangat jelas dan bisa ditarik benang merah, dimana arti penting otonomi daerah sebenarnya lebih terfokus pada ruang lingkup dan keluasan relasi atau keterkaitan tersebut. membangun pemerintahan provinsi dan pemerintah kabupaten/kota dengan menjalin hubungan. mampu menjadi.

Konsep Pemerintah Daerah

Konsep Kearifan Ekologis Suku Kajang ( Tallase Kamase-Mase )

Berbicara mengenai kearifan ekologis yang dianut oleh masyarakat Kajang, kita tidak dapat melepaskannya dari sebuah prinsip hidup yang disebut tallase kamase-mase, bagian dari arus yang secara gamblang diperintahkan oleh masyarakat Kajang untuk hidup sederhana dan bersahaja. Prinsip tallase kamase-mase artinya tidak mempunyai nafsu berlebihan dalam kehidupan sehari-hari, baik terhadap makanan maupun pakaian.

Hutan Adat Dalam Keseharian Suku Kajang

Itu berarti; Tidak ada kekayaan yang abadi, yang ada hanyalah kesederhanaan, makanan yang cukup, pakaian yang cukup, ikan yang cukup untuk dibeli, taman yang cukup, rumah yang cukup. Kawasan Borong Karamaka atau Hutan Keramat merupakan kawasan hutan yang dilarang untuk segala jenis kegiatan kecuali upacara adat. Hutan ini merupakan hutan dimana kayunya boleh dipanen sepanjang sumber daya kayunya masih tersedia dan atas izin Ammatoa sebagai pemimpin adat.

Hutan yang terawat akan melindungi mereka dari kekeringan, karena jika hutan tetap terjaga maka persediaan air tidak akan pernah berubah meskipun di musim kemarau. Ammatoa sendiri secara filosofis meyakini adanya keterkaitan antara hutan yang dipelihara dengan kondisi musim. Batang pohon berperan memanggil hujan, akar pohon menjaga air tetap mengalir di sela-selanya. Tumbuhan yang kita pelihara, anggrek yang tidak pernah kita sentuh, menjadi makanan dan sumber nutrisi bagi seluruh habitat di hutan. Ammatoa juga memiliki kepentingan untuk menjaga hutan, karena jika hutan tetap terjaga sehingga seluruh flora dan fauna dapat hidup bebas dan tidak terganggu, ia tetap dapat membaca tanda-tanda dari alam.

Konsep Pemerintah Daerah dan Komunitas Suku Kajang Dalam Pengelolahan Hutan

Masyarakat Adat Tanah Toah Kajang

Pengertian Masyarakat Adat

Masyarakat adat Ammatoa yang tinggal di Kabupaten Bulukumba, Sulawesi Selatan, mengelola hutan secara lestari, meski secara geografis wilayahnya tidak jauh (sekitar 50 km) dari pusat kegiatan perekonomian dan pemerintahan di Kabupaten Bulukumba. Hal ini dikarenakan hubungan masyarakat adat dengan lingkungan hutannya dilandasi oleh pandangan hidup yang bijaksana, yaitu memperlakukan hutan sebagai ibu yang harus dihormati dan dilindungi (Suriani, 2006). Masyarakat adat Kajang Dalam tersebar di beberapa desa antara lain Desa Tana Toa, Bonto Baji, Malleleng, Pattiroang, Batu Nilamung dan sebagian desa Tambangan.

Kawasan Masyarakat Adat Kajang Dalam secara keseluruhan berbatasan dengan Tuli di utara, Limba di timur, Seppa di selatan, dan Doro di barat. Namun hanya masyarakat yang tinggal di kawasan Kajang Dalam yang masih memegang teguh adat istiadat Ammatoa. Masyarakat yang selalu mengenakan pakaian berwarna hitam inilah yang kemudian disebut dengan masyarakat adat Ammatoa.Dalam hal ini masyarakat Adat Kajang terbagi menjadi dua bagian yaitu Kajang dalam dan Kajang luar.

Masyarakat Adat Kajang

Turiek Akrakna mengungkapkan perintahnya kepada masyarakat Kajang dalam bentuk pasang surut (sejenis wahyu dalam tradisi agama Ibrahim) melalui manusia pertama yang bernama Ammatoa. Secara harfiah, pasang surut berarti pesan. Namun, pesan yang dimaksud bukan sembarang pesan. Agar pesan-pesan yang diturunkannya ke bumi dapat dipatuhi dan dilaksanakan oleh manusia, Turiek Akkrana memerintahkan Ammatoa untuk menjaga, menyebarkan dan melestarikan arus.Fungsi Ammatoa dalam masyarakat Kajang adalah sebagai mediator, pihak yang menjadi perantara antara Turiek Akkrana dan masyarakat. . Dari Mitos yang berkembang di masyarakat Kajang adalah Ammatoa merupakan manusia pertama yang diturunkan Turiek Akkrana ke dunia. Oleh karena itu, mereka percaya bahwa To Manurung adalah Ammatoa (pemimpin tertinggi suku Kajang) yang pertama dan mengikuti semua ajaran yang dibawanya.

Melalui arus pasang surut, masyarakat Ammatoa mengapresiasi bahwa keberadaan mereka merupakan komponen sistem yang saling berhubungan secara sistematis; Turiek Akrakna (Tuhan), Pasang, Ammatoa (leluhur pertama) dan tanah pemberian Turiek Akrakna kepada leluhur mereka. Bagi masyarakat Kajang, menjaga kelestarian hutan juga menjadi tanda bahwa Ammatoa yang dipilih diterima oleh Turiek Akrakna dan alam. Ammatoa dinilai berhasil menerapkan ajaran pasang surut yang diperintahkan Turiek Akrakna. Benar atau salahnya ajaran yang diyakini masyarakat Kajang, tidak dapat dipungkiri bahwa pembangunan hutan keramat yang mereka lakukan telah berperan besar dalam kelestarian dan kelestarian kawasan hutan mereka.

Karakteristik Masyarakat Adat Di Tanah Toa Kajang

Sebagian besar penduduknya hidup sebagai petani, tukang kayu, dan penenun. Kegiatan tersebut dilakukan hanya untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, tanpa ada kecenderungan untuk mencari hal lain selain kebutuhan sehari-hari. Nilai kesederhanaan atau kesopanan inilah yang menjadikan masyarakat adat Kajang identik dengan istilah “Tallasa’ kamase-masea” atau hidup sederhana. Kamase-masea Tallasa merupakan prinsip hidup masyarakat tradisional Kajang. Hal ini tetap dipegang oleh warganya meskipun mereka secara sadar mengetahui bahwa mereka dapat mencapai kehidupan yang lebih sejahtera karena potensi sumber daya lingkungan (hutan) yang mendukungnya. Hampir semua masyarakat adat yang masih ada di Indonesia, umumnya juga memiliki struktur kelembagaan di dalam lingkungannya. adat istiadat masing-masing. Mereka mempunyai struktur kelembagaan yang menurut logika sulit diciptakan bagi masyarakat yang tidak mempunyai latar belakang pendidikan. Yang lebih mengesankan lagi, setiap individu yang masuk dalam struktur dan menduduki jabatan di lembaga adat menjalankan amanahnya dengan jujur ​​dan konsisten.

Mereka memahami pentingnya tugas dan tanggung jawab, meski belum pernah mendapat pelajaran formal mengenai hal tersebut, yang diajarkan hanya adat istiadat yang mendukung dan nilai-nilai yang mereka anut. Menurut pencipta UUPA, kewenangan masyarakat adat harus bergantung pada pembentukan negara Indonesia melalui penyatuan perkumpulan masyarakat adat tersebut.

Kerangka Pikir

Fokus Penelitian

Deskripsi Fokus Penelitian

Jenis dan Type Penelitian

Jenis Penelitian

Tipe Penelitian

Informan Penelitian

Periode penelitian adalah Mei – Juli 2015 setelah workshop, Penelitian ini akan dilaksanakan di Kecamatan Kajang Kabupaten Bulikumba. Pemilihan lokasi tersebut didasarkan pada pertimbangan judul Sinergi Pemerintah Daerah dengan Masyarakat Adat Kajang dalam Pengelolaan Hutan Adat di Tana Toah Kajang.

Teknik Pengumpulan Data

Teknik Analisis Data

Keabsahan Data

Secara administratif, Desa Tana Toa merupakan salah satu dari sembilan belas desa yang ada di Kecamatan Kajang, Kabupaten Bulukumba, Sulawesi Selatan. Apa yang kita sebut budaya rendah dan budaya tinggi akibat modernisasi juga berdampak pada masyarakat Tana Toa Kajang. Kehidupan Kamase-mase bermula dari pemimpin yang lebih dikenal dengan sebutan Ammatoa yang dinobatkan sebagai pemimpin adat sekaligus pemimpin spiritual Tana Toa Kajang.

Kapitalisme yang selalu berorientasi pada mengejar keuntungan telah menghancurkan tatanan alam dan tradisi yang dianggap sakral oleh masyarakat Tana Toa Kajang. Kapitalisasi budaya dalam bentuk pariwisata membuat upacara adat Tana Toa Kajang terbawa gaya hidup modern, sehingga menimbulkan persepsi bahwa budaya Kajang bukan lagi budaya lokal semata. Di kawasan adat Tana Toa terdapat kawasan inti di sekitar rumah Ammatoa dan tokoh adat.

Letak Geografis

Secara geografis Kabupaten Bulukumba terletak pada koordinat antara 5°20‖ 5°40‖ Lintang Selatan dan 119°50‖ 120°28‖ Bujur Timur. Secara wilayah Kabupaten Bulukumba terdiri dari empat dimensi yaitu dataran tinggi di kaki Gunung Bawakaraeng – Lompobattang, dataran rendah, pesisir pantai, dan laut lepas. Kabupaten Bulukumba terletak di ujung paling selatan ibukota provinsi Sulawesi Selatan, terkenal dengan kawasan tradisional Amma Toa, wisata bahari dan industri perahu pinisi yang banyak memberikan nilai tambah ekonomi bagi masyarakat.

Dua dusun lain di luar wilayah Amma Toa yang kehidupannya lebih maju dan langsung beradaptasi dengan modernitas adalah Dusun Jannayya dan Dusun Balagana. Pusat kegiatan masyarakat adat Amma Toa terletak di Dusun Benteng, dimana Amma Toa juga berdomisili sebagai pemimpin adat. Masyarakat adat Amma Toa juga tersebar di beberapa desa antara lain Desa Tanah Towa, Desa Bonto Baji, Desa Malleleng, Desa Pattiroang, Desa Batu Nilamung dan sebagian Desa Tambangan. Secara geografis dan administratif, masyarakat adat Kajang terbagi menjadi Kajang Dalam dan Kajang Luar.

Hasil Dan Pembahasan Penelitian

Hutan adat adalah kawasan hutan dalam wilayah adat yang menjadi bagian integral dalam siklus hidup masyarakat adat. Sebelumnya, Pasal 1 Angka 6 UU Kehutanan menyebutkan hutan adat adalah hutan negara yang berada dalam wilayah masyarakat adat. Sejak putusan Mahkamah Konstitusi, hutan adat tidak lagi menjadi hutan negara.

Hutan adat ini berada dalam kerangka hak ulayat dalam satu kesatuan wilayah (kesatuan wilayah) masyarakat adat. Hasilnya, puluhan juta hektar hutan adat yang sebelumnya dinyatakan sebagai hutan nasional telah diakui dan dapat dikelola oleh masyarakat adat yang menempatinya. Pasal 6 Undang-Undang Kehutanan, sehingga nomor Pasal 6 Pasal 1 Undang-Undang Kehutanan menjadi “Hutan adat adalah hutan yang berada dalam wilayah masyarakat adat”.

Rabbang Seppang meliputi kawasan adat Ammatoa yang didalamnya terdapat hutan adat yang tidak boleh dirusak atau diganggu. Menurut pandangan Patuntung, hutan adat Ammatoa dipercaya sebagai tempat turunnya manusia (Tau-Manurung) pertama ke bumi.

Saran

Ammidhan dan Saafudin, (2006), Mewujudkan Hak Konstitusional Masyarakat Hukum Adat, Komnas HAM, Jakarta. 2013) “Hutan adat bukan lagi hutan: Landasan Keputusan MK No. Makalah yang disampaikan pada Lokakarya Pengakuan dan Penguatan Pengelolaan Hutan Adat dan Kawasan Konservasi Masyarakat Adat (ICCAs): Ruang Pengalaman dan Kebijakan.

Referensi

Dokumen terkait

Kerangka Pikir Sesuai dengan judul skripsi yang membahas kedisiplinan guru pendidikan ilmu pengetahuan sosial IPS dan pengaruhnya terhadap minat belajar peserta didik kelas IV SDN