• Tidak ada hasil yang ditemukan

Strategi Regulasi Emosi Pada Remaja Yang Memiliki Orangtua Overprotective

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2024

Membagikan "Strategi Regulasi Emosi Pada Remaja Yang Memiliki Orangtua Overprotective"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

Jurnal Psikologi Talenta Mahasiswa Volume 1, No 2, Oktober 2021

e-ISSN 2807-789X

Strategi Regulasi Emosi Pada Remaja Yang Memiliki Orangtua Overprotective

Muhliza Amalia1*, Muhammad Daud2 & Kurniati Zainuddin3

1,2,3Fakultas Psikologi, Universitas Negeri Makassar, Sulawesi Selatan, Indonesia

* E-mail:muhlizaamalia@gmail.com

Abstract

Overprotective behavior of parents is the behavior of excessive protection with the intention of protecting children from the dangers of the outside world. Overprotective behavior of parents can trigger behavioral and emotional impacts on children’s development as adolescents. Adolescents feel uncomfortable and feel depressed, which triggers negative emotional reactions. Emotional regulation strategies can be a way for adolescents to learn to manage negative emotions and regain emotional stability.

The purpose of this research is to determine how adolescents who have overprotective parents manage their emotions using emotional regulation strategies. This research is qualitative research using a phenomenological approach. There are three respondents in this research and obtained through the purposive sampling technique. The results of this research indicate that the overprotective behavior of parents has an impact on behavior change and negative emotional reactions. Emotional reactions of anger, sadness and even fear are felt by adolescents. Emotional regulation strategies can be a way for adolescents to deal with negative emotions that arise. Regulatory strategies in the form of telling stories with the closest people, directing thoughts towards a more positive direction, doing activities in the room, pondering, and daydreaming are strategies used in overcoming emotional reactions that arise. Lack of ability to manage emotions and use inappropriate emotional regulation strategies can lead to thoughts of wanting to die and maladaptive behavior. The right emotional regulation strategy used can help to provide emotional stability for adolescents.

Keyword: Adolescents, Emotion, Emotional Regulation Strategies, Overprotective Parents

Abstrak

Perilaku overprotective orangtua merupakan perilaku perlindungan berlebihan dengan maksud melindungi anak dari bahaya dunia luar. Perilaku overprotective orangtua dapat menjadi pemicu munculnya dampak perilaku maupun dampak emosional bagi perkembangan anak sebagai remaja. Remaja merasakan tidak nyaman serta perasaan tertekan sehingga memicu munculnya reaksi emosi negatif. Strategi regulasi emosi dapat menjadi cara remaja untuk belajar dalam mengatasi emosi negatif. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana remaja mengatasi perilaku overprotective orangtua dengan menggunakan strategi regulasi emosi. Penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan menggunakan pendekatan fenomenologi. Responden penelitian berjumlah tiga orang dan diperoleh melalui

(2)

28 teknik purposive sampling. Hasil dari penelitian menunjukkan bahwa perilaku

overprotective orangtua memberikan dampak pada reaksi emosi negatif serta perubahan perilaku. Reaksi emosi marah, sedih, bahkan rasa takut dirasakan oleh remaja. Strategi regulasi emosi dapat menjadi cara remaja dalam mengatasi emosi negatif yang muncul. Strategi regulasi berupa bercerita dengan orang terdekat, mengarahkan pikiran kearah lebih positif, melakukan aktifitas dikamar, merenung dan melamun merupakan strategi regulasi emosi yang digunakan remaja. Kurangnya kemampuan dalam mengelola emosi dan menggunakan strategi regulasi emosi yang kurang tepat dapat mengarah pada pemikiran ingin mati dan perilaku maladaptif.

Strategi regulasi emosi yang tepat digunakan dapat membantu memberikan kestabilan emosi bagi remaja.

Kata kunci: Emosi, Orangtua Overprotective, Remaja, Strategi Regulasi Emosi

PENDAHULUAN

Keluarga merupakan lingkungan pertama dan utama bagi anak dalam mendapatkan pendidikan dan bimbingan yang dapat memengaruhi pertumbuhan baik secara jasmani maupun rohani. Keluarga adalah yang terdiri dari Ayah, Ibu dan anak (Khoiriyah, 2015). Orangtua merupakan Ayah dan Ibu yang memiliki peran kuat bagi proses perkembangan seorang anak.

Orangtua memiliki peranan penting dalam memperhatikan setiap proses perkembangan anak, salah satunya pada periode perkembangan masa remaja.

Masa remaja merupakan masa peralihan antara masa kanak-kanak dan masa dewasa. Masa remaja merupakan periode perkembangan yang ditandai dengan terjadinya berbagai perubahan besar. Periode perkembangan pada masa remaja sangat dipengaruhi oleh lingkungan sekitarnya, termaksud pada lingkungan keluarga. Orangtua menjadi sarana utama yang paling berpengaruh dan bertanggung jawab dalam perkembangan remaja, baik secara fisik maupun psikis.

Perilaku pengasuhan orangtua yang tidak tepat dapat menjadi pengaruh pada hubungan negatif yang memengaruhi perkembangan remaja. Guttman dan Eccles (2007) mengemukakan bahwa pada masa remaja ada peningkatan orangtua ingin terlibat dalam kehidupan anak yang tidak memenuhi kebutuhan terhadap tugas perkembangan remaja. Terdapat orangtua yang memberikan perhatian dan dukungan serta kontrol yang tinggi kepada remaja. Perilaku tersebut dikenal sebagai orangtua overprotective.

Lubbe, Mancini, Kiel, Spangler dan Fussner (2016) mengemukakan bahwa orangtua yang overprotective seringkali menginginkan terlibat dengan kehidupan anak untuk melindungi dari segala bahaya negatif dan membantu untuk mencapai kesuksesan. Petegem, Antonietti, Nunes, Kins, dan Soenens (2019) mengemukakan bahwa bahkan selama masa remaja orangtua masih cenderung melakukan berbagai tindakan overprotective. Beberapa tindakan yang dilakukan

(3)

29 orangtua diantara lain, memberikan bantuan dalam memecahkan masalah walaupun anak tidak memintanya, menghubungi anak-anak secara berlebihan, mengganggu privasi, serta terus menerus memperingatkan bahaya potensial dan keselamatan.

Clarke, Cooper, dan Creswell (2013) mengemukakan bahwa orangtua yang melakukan perilaku pengasuhan perlindungan berlebihan akan melakukan berbagai penghindaran terhadap anak. Orangtua akan membatasi ruang gerak anak dalam mengembangkan keterampilannya dan kepercayaan diri dalam meningkatkan potensinya. Perilaku overprotective orangtua juga dapat diketahui dengan cara mengukur seberapa besar perilaku overprotective orangtua dengan menggunakan skala pengukuran parent protection scale by Thomsgard, Shonkoff, Metz &

Edelbrock (1995). Walker dan Nelson (2012) mengemukakan bahwa beberapa perilaku overprotective orangtua berupa pemberian batasan waktu diluar rumah, mencegah perilaku mandiri, serta membantu memecahkan masalah anak untuk menghindari hambatan pada remaja.

Berdasarkan hasil pengumpulan data awal yang dilakukan melalui wawancara awal terhadap dua orang responden remaja yaitu L dan N mengaku mendapatkan perilaku overprotective dari orangtua. Responden L mengaku orangtua secara terus menerus menghubungi L tiap 30 menit ketika berada diluar rumah untuk memastikan kondisinya, L juga mengaku orangtuanya sangat sering bertanya secara detail sehingga tidak dapat memberikan privasi kepada L, pada setiap masalah yang dimiliki L orangtua juga selalu ingin terlibat, L juga mengaku bahwa orangtua membatasi dan selalu memantau setiap lingkup pertemanan L, terutama dengan siapa L keluar rumah. Responden N juga mengaku mendapatkan perilaku overprotective dari orangtuanya. N mengaku bahwa orangtua sangat membatasi dan memantau lingkup pertemanan yang membuat N merasa tidak dapat berteman secara bebas. Orangtua juga secara terus menerus menghubungi N ketika berada diluar rumah untuk memastikan kondisi dan posisi N. Dalam hal menyangkut masa depan, orangtua N juga sering ikut membantu dalam menentukan dan memecahkan masalah.

Gaya pengasuhan overprotective orangtua dapat berpengaruh terhadap perbedaan perkembangan emosi remaja. Remaja yang memiliki orangtua overprotective rentang memiliki reaksi emosi yang negatif akibat pengasuhan yang tidak sejalan dengan fase perkembangannya.

Remaja memerlukan upaya-upaya yang dilakukan dalam mengembangkan emosi, agar emosi dapat terkontrol dan mengarah ke hal-hal yang positif. Salah satu cara penting untuk diterapkan dalam menghadapi situasi emosional adalah regulasi emosi. Kemampuan meregulasi emosi dengan baik dapat membantu individu dalam menghadapi ketegangan dalam kehidupan.

Regulasi emosi adalah bagaimana individu mengontrol emosi dari emosi apa yang dimiliki,

(4)

30 kapan dan bagaimana mengalami serta mengekspresikan emosi tersebut, (Gross, 1998).

Remaja yang memiliki orangtua overprotective dapat memiliki strategi regulasi emosi yang berbeda sesuai dengan sudut pandang remaja dalam menyikapi perilaku orangtua yang overproteticve. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Wenze, Pohoryles, dan DeCicco (2019) yang mengemukakan bahwa remaja akhir lebih tinggi dalam menggunakan penekanan (suppression) yang berfokus pada respons, dan lebih rendah dalam menggunakan penilaian kognitif (reappraisal) yang berfokus pada anteseden dalam menghadapi orangtua yang memiliki kontrol yang tinggi atau orangtua overprotective.

Berdasarkan hasil pemaparan dan hasil data awal diatas terdapat remaja yang mengalami tekanan dan menimbulkan ketidaknyamanan sehingga sering memicu munculnya reaksi emosi negatif akibat orangtua yang overprotective. Remaja yang memiliki orangtua overprotective perlu untuk menjaga agar emosi tetap stabil dan mengelola emosi negatif dengan tepat agar terhindar dari dampak-dampak negative seperti perilaku maladaptif. Remaja agar tetap pada emosi yang stabil perlu memiliki kemampuan dalam strategi regulasi emosi yang tepat saat menghadapi orangtua yang overprotective. Oleh karena itu, penelitian ini mencoba untuk mengungkap strategi regulasi emosi pada remaja yang memiliki orangtua overprotective.

METODE

Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif karena informasi yang ingin dikumpulkan adalah mengenai strategi regulasi emosi remaja yang memiliki orangtua overprotective.

Penelitian kualitatif digunakan untuk mengeksplorasi dan memahami makna dari masalah sosial atau kemanusiaan yang dialami sejumlah individu atau sekelompok orang. Penelitian kualitatiif digunakan untuk mengumpulkan data-data dengan cara menganalisis data berupa kata-kata, baik lisan maupun tulisan serta perbuatan manusia.

Metode atau jenis penelitian yang digunakan yaitu fenomenalogi, metode ini berfokus untuk menjelaskan situasi yang dialami oleh individu dalam kehidupannya sehari-hari. Metode ini dilakukan dengan mengkaji suatu gejala dari proses situasi pengalaman yang dialami individu sampai menggambarkannya seperti yang sebenarnya terjadi. Hal ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana gejala itu dialami dalam proses terjadinya pengalaman yang dimiliki responden penelitian sehingga dapat mencapai tujuan penelitian yang ingin diketahui.

Penelitian ini berusaha mengungkap strategi regulasi emosi pada remaja yang memiliki orangtua overprotective. Purposive sampling adalah teknik pengambilan sampel yang digunakan peneliti untuk mendapatkan responden penelitian. Purposive sampling digunakan oleh peneliti agar mendapatkan responden penelitian yang sesuai dengan tujuan penelitian.

(5)

31 Penelitian ini dilakukan kepada 3 remaja perempuan yang memiliki orangtua overprotective, yang orangtua nya memenuhi hasil skor dari skala parent protection scale by Thomsgard, Shonkoff, Metz & Edelbrock (1995). Responden penelitian berada di Kota Makassar.

Teknik pengumpulan data yang dilakukan dalam penelitian ini adalah wawancara.

Wawancara merupakan teknik pengumpulan data yang dilakukan dengan cara bertatap muka dan mengajukan beberapa pertanyaan umum dan terbuka. Tujuan wawancara dalam penelitian ini untuk mengumpulkan beberapa informasi dari responden terkait dengan strategi regulasi emosi remaja yang memiliki orangtua overprotective dengan cara mengajukan beberapa pertanyaan.

Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik analisis Model Miles dan Huberman. Teknik analisis data memiliki tiga tahap yaitu reduksi data, model data, dan penarikan kesimpulan. Reduksi data adalah suatu bentuk analisis yang mempertajam, memilih, memfokuskan, membuang, dan menyusun data dalam suatu cara dimana kesimpulan akhir dapat digambarkan dan diverifikasikan. Reduksi data dilakukan agar peneliti dapat melakukan pengkodean terhadap data-data yang telah didapatkan. Model data merupakan hasil dari reduksi data yaitu sekumpulan informasi yang disusun menjadi bentuk yang praktis sehingga peneliti dapat melihat apa yang terjadi dan dapat dengan baik menggambarkan kesimpulan. Bentuk model data dalam penelitian ini merupakan matriks yang digunakan untuk mengkategorisasikan data dan menyusunnya dalam bentuk narasi. Penarikan kesimpulan merupakan teknik analisis data yang terakhir. Kesimpulan yang didapatkan dalam penelitian ini harus sesuai dengan kondisi responden penelitian agar terhindar dari bias subjektivitas dalam diri peneliti.

Teknik verifikasi data yang digunakan dalam penelitian ini adalah Triangulasi. Triangulasi adalah proses untuk meningkatkan akurasi penelitian dari berbagai sumber data penelitian.

Triangulasi dilakukan dengan cara mengumpulkan data dari berbagai sumber agar hasil wawancara, observasi, dan dokumentasi dapat dianalisis seutuhnya. Proses triangulasi dalam penelitian ini dengan memberikan orangtua responden penelitian berupa skala parent protection scale by Thomsgard, Shonkoff, Metz, & Edelbrock (1995), untuk mengukur sejauh mana orangtua berperilaku overprotective terhadap responden penelitian.

HASIL

1. Latar belakang responden

Berdasarkan hasil penelitian ditemukan bahwa responden memiliki orangtua yang overprotective. Perilaku overprotective yang dilakukan Ayah PC pun membuat PC sering merasakan reaksi sedih, kesal, bahkan rasa takut. Namun, dari reaksi tersebut PC memilih untuk

(6)

32 mengontrolnya dengan melakukan berbagai tindakan untuk menurunkan emosi negatif. PC mengungkapkan bahwa ketika reaksi emosi negatif muncul, PC lebih memilih untuk menghindar dari Ayahnya. Tidak jarang juga PC lebih memilih untuk bercerita ke ibu atau ke kakaknya tentang apa yang dia rasakan dan mengajak kakaknya bermain. PC juga mengungkapkan bahwa untuk mengatasi reaksi emosi negatif tersebut, PC mengubah pikirannya kearah yang lebih positif. PC mengaku lebih berpikir bahwa perilaku overprotective Ayahnya dilakukan demi kebaikan PC. Tidak jarang juga PC lebih memilih untuk menyembunyikan ekspresi emosi negatif yang dirasakan dengan masuk kedalam kamar dan memendam perasaannya. Walaupun hal tersebut dapat mengalihkan reaksi emosi negatif pada PC, tetapi tidak sepenuhnya dapat mengurangi pengalaman emosi negatif yang dapat membuat masalah terus menumpuk dan tidak terselesaikan.

Perilaku overprotective orangtua membuat AA sering merasakan dampak emosi negatif yang membuat tidak nyaman. Reaksi emosi seperti amarah dan kesedihan sering dirasakan AA.

AA mengungkapkan ketika perilaku overprotective orangtua memicu munculnya emosi negatif pada dirinya, AA lebih sering memilih untuk memendam dan menyembunyikan ekspresi emosi negatif dari kedua orangtuanya. AA lebih sering memilih masuk kekamarnya melakukan berbagai aktifitas, memendam perasaan negatif yang dirasakan daripada menunjukkan ke orangtuanya. Bercerita ke teman terdekat juga dilakukan AA sebagai salah satu cara untuk menstabilkan emosi negatif yang dirasakan. AA juga mengungkapkan bahwa lebih sering mengalihkan pikirannya pada hal yang menyenangkan. Hal tersebut juga menjadi salah satu cara pengalihan AA ketika merasa tidak nyaman akibat perilaku overprotective orangtua.

Perilaku overprotective yang dilakukan orangtua ET pun memberikan dampak perilaku maupun dampak emosional baginya. ET mengungkapkan bahwa tidak dapat menikmati masa SMA nya sebagai remaja akibat perilaku overprotective yang mulai dilakukan oleh Ibunya.

Dampak lainnya, ET juga mulai tertutup dengan orangtua dan lebih memendam apa yang dia rasakan. Perilaku overprotective yang dilakukan orangtuanya juga membuat ET memiliki lingkup pertemanan yang sempit. Akibatnya Ibu ET mulai membatasi dan memantau dengan siapa saja ET berteman dan bergaul saat berada diluar rumah. Ketika di sekolah tidak jarang ET menjadi tidak fokus pada pelajarannya, pada saat perilaku overprotective orangtua memengaruhi pikirannya. Hal tersebut sering menimbulkan tidak nyaman bagi ET. Perilaku overprotective Ibunya sering memicu reaksi emosi negatif, seperti reaksi emosi amarah, kesedihan bahkan rasa takut. ET juga mengungkapkan bahwa perilaku overprotective Ibunya sering membuatnya menangis dan sampai terlintas pikiran ingin mati.

(7)

33 2. Deskripsi hasil análisis data

Berdasarkan hasil analisis data yang dilakukan, maka peneliti menemukan sejumlah kesimpulan. Kesimpulan yang telah teridentifikasi akan diruaikan oleh peneliti sebagai jawaban dari pertanyaan penelitian yang dijelaskan sebagai berikut:

2.1. Dampak overprotective orangtua pada remaja

Berdasarkan hasil dari pemaparan deskripsi responden diatas dapat ditarik sejumlah kesimpulan mengenai dampak overprotective orangtua pada remaja, baik dampak pada emosional maupun perilaku:

a. Dampak reaksi emosi yang muncul pada remaja

Reaksi emosi yang muncul pada responden merupakan respon yang dialami akibat rangsangan dari situasi saat perilaku overprotective orangtua memengaruhi responden. Reaksi emosi yang dirasakan responden merupakan emosi-emosi negatif. Reaksi emosi yang dirasakan dari setiap responden memiliki beberapa kesamaan. Dalam hal ini reaksi emosi yang muncul adalah sebagai berikut:

1) Reaksi emosi sedih dan putus asa yang dirasakan oleh responden termaksud dalam bentuk emosi kesedihan. Perilaku overprotective orangtua yang dilakukan kepada responden sering memicu dan merangsang munculnya reaksi emosi sedih dan putus asa. Berdasarkan hasil wawancara maka dapat disimpulkan bahwa perilaku overprotective orangtua dapat menjadi pemicu munculnya reaksi emosi sedih dan putus asa pada responden. Reaksi emosi sedih pun dapat mendorong responden untuk berperilaku menangis. Reaksi sedih yang dirasakan juga membuat responden tidak leluasa untuk bermain bersama teman-temannya.

2) Reaksi emosi marah dan jengkel yang dirasakan oleh responden termaksud didalam bentuk emosi amarah. Reaksi emosi benci dan kesal sering dirasakan responden akibat merasa tidak nyaman dengan perilaku overprotective yang didapatkan. Berdasarkan hasil wawancara dapat disimpulkan bahwa perilaku overprotective yang dilakukan orangtua kepada responden memicu reaksi emosi kesal hati dan jengkel pada responden. Reaksi emosi ini sering terjadi kepada responden dan mendorong responden untuk berperilaku menangis hingga pasrah dengan keadaan.

3) Rasa takut merupakan bentuk emosi lainnya yang didalamnya terdapat takut, gelisah, dan cemas. Perilaku overprotective orangtua menjadi pemicu munculnya reaksi emosi seperti takut, gelisah hingga cemas. Reaksi ini sering dirasakan oleh responden dengan orangtua

(8)

34 overprotective. Berdasarkan wawancara dapat disimpulkan bahwa perilaku overprotective jelas menjadi pemicu rangsangan munculnya reaksi emosi takut, gelisah hingga cemas yang dirasakan oleh responden. Reaksi emosi ini pun mendorong responden sering berperilaku menangis hingga berpikir ingin mati akibat tidak dapat menahan perilaku overprotective orangtua. Pentingnya kemampuan dalam mengelola emosi untuk dimiliki setiap responden agar dapat menyalurkan emosi yang dirasakan dengan tepat. Kemampuan mengelola emosi yang dimiliki juga dapat menghindarkan responden dari perilaku menyimpang yang tidak diinginkan.

b. Dampak perubahan perilaku

1) Tidak leluasa untuk melakukan hal yang diinginkan. Perilaku overprotective orangtua dapat memberikan dampak tersendiri bagi responden. Responden yang mendapatkan perilaku overprotective tidak leluasa dalam mengembangkan diri sebagai remaja. Tidak leluasa dalam mengembangkan diri akibat perilaku overprotective orangtua dapat menghambat responden untuk mengembangkan kreativitasnya sesuai dengan minat dan hobinya, perilaku overprotective orangtua membuat responden merasa tertekan karena tidak bebas dalam mengekspresikan diri dan melakukan sesuatu yang diinginkan. Perilaku overprotective orangtua juga dapat menghambat remaja untuk mengembangkan diri sesuai dengan kemauannya. Hal ini dapat menimbulkan reaksi yang tidak nyaman seperti marah dan sedih.

2) Dampak perilaku overprotective orangtua selanjutnya yaitu membuat responden tertutup dengan lingkungan sekitar. Perilaku overprotective yang didaptkan membuat responden dapat tertutup kepada orangtua maupun teman-teman sebayanya, sehingga tidak leluasa dalam mengutarakan pendapatnya serta mengembangkan hal yang disukai. Perilaku overprotective yang dilakukan orangtua dapat membuat responden menjadi tertutup dengan teman-teman sebaya maupun orang baru yang ditemui. Perilaku overprotective juga dapat membuat responden menjadi tertutup kepada orangtua.

3) Membandingkan diri merupakan salah satu dampak dari perilaku overprotective orangtua yang dirasakan oleh responden. Responden yang tidak terbiasa diberikan kepercayaan akan menjadikan tidak kuat mental dan membuat responden akhirnya membandingkan diri mereka dengan teman-temannya yang memiliki keluarga yang lebih baik. Perilaku overprotective orangtua dapat membuat remaja merasa tidak dipercaya oleh orangtua sendiri. Ketidakpercayaan yang dirasakan responden membuat responden membandingkan diri dengan teman-teman sebayanya yang mendapatkan kebebasan dari orangtua mereka.

(9)

35 4) Perilaku overprotective orangtua yang membatasi dan mengawasi lingkup pertemanan responden membuat lingkup pertemanan menjadi sempit. Responden hanya berteman dengan orang pilihan orangtuanya. Responden merasa tidak leluasa akibat pertemanan yang selalu dipantau oleh orangtua, akibatnya responden tidak dapat berkembang lebih baik.

Membatasi pergaulan anak juga dapat memberikan dampak pada ruang lingkup pertemanan yang sempit. Responden akan merasa takut untuk membentuk lingkup pertemanannya sendiri. Responden akan merasa tidak nyaman dan tidak bebas akibat selalu dipantau oleh orangtua.

5) Perilaku overprotective orangtua dapat menimbulkan dampak untuk memicu perilaku memberontak pada responden. Responden yang merasa tidak nyaman akibat perilaku overprotective orangtua akan mengakibatkan perilaku memberontak. Responden tidak segan untuk berbohong akibat perilaku overprotective yang sangat membatasi. Responden juga akan merasa tidak betah dan ingin pergi dari rumah akibat orangtua yang overprotective.

Perilaku oveprotetcive orangtua dapat membuat responden memberontak dengan perilaku berbohong hingga merasa tidak betah berada dirumah sendiri. Responden akan merasa terkekang akibat perilaku overprotective orangtua dan menimbulkan reaksi emosi sedih pada responden.

2.2. Strategi regulasi emosi remaja

Strategi regulasi emosi merupakan strategi yang dapat dilakukan untuk mengatasi emosi yang muncul. Dalam mengatasi reaksi emosi yang muncul, responden akan melakukan berbagai strategi regulasi emosi yang sesuai dengan keinginan responden.

a. Bercerita dan mengajak bermain orang terdekat menjadi salah satu cara responden dalam mengatasi perilaku overprotective orangtua yang muncul. Kehadiran orang terdekat seperti saudara dan teman menjadi dukungan tersendiri bagi responden. Bercerita kepada saudara atau teman dapat memberikan ketenangan bagi responden dan dapat memberikan kestabilan emosi pada responden. Bermain dengan saudara juga menjadi salah satu cara yang digunakan responden dalam mengatasi reaksi emosi akibat perilaku overprotective orangtua.

b. Mengarahkan pikiran kearah lebih positif merupakan cara responden dalam menilai situasi yang dialami untuk mengubah siginifikansi emosinya. Responden dalam hal ini mengubah penilaiannya secara positif terhadap situasi yang didapatkan akibat perilaku overprotective orangtua. Responden mengarahkan pikiran kearah lebih positif untuk melihat suatu kejadian lebih positif. Responden mengubah atau mengarahkan situasi yang dipikirkan merupakan usaha dalam hal mengurangi pengaruh emosional yang dirasakan.

(10)

36 c. Mengikuti batasan dari orangtua merupakan salah satu cara responden dalam mengatasi reaksi emosi yang muncul akibat perilaku overprotective orangtua. Responden memilih mengikuti batasan dari orangtua untuk menyembunyikan reaksi emosi yang dirasakan. Hal tersebut dilakukan untuk menghindari konflik dengan orangtua. Responden lebih memilih untuk menerima segala batasan untuk menyembunyikan reaksi emosi yang dirasakan.

Walaupun dengan menerima segala batasan dari orangtua, hal tersebut tidak dapat menyelesaikan masalah, namun menekan reaksi emosi yang dimiliki oleh responden.

d. Mengurung dan menyibukkan diri dalam kamar menjadi cara selanjutnya yang dilakukan responden dalam mengatasi reaksi emosi yang muncul akibat perilaku overprotective orangtua. Responden yang terbatas keluar rumah menjadikan kamar sebagai salah satu tempat untuk menyembunyikan reaksi emosi yang dirasakan dari orangtua. mengurung diri didalam kamar dan melakukan berbagai aktifitas tertentu menjadi cara yang digunakan responden dalam menyembunyikan reaksi emosi yang muncul akibat perilaku overprotective orangtua. Ketika perilaku overprotective orangtua memicu reaksi emosi negatif, responden akan masuk kedalam kamar melakukan berbagai aktifitas yang dapat menekan emosi negatif yang dirasakan. Walaupun hal tersebut tidak dapat menyelesaikan masalah pada perasaan yang tidak nyaman, tetapi dapat memberikan kestabilan emosi sementara bagi responden.

e. Merenung, melamun dan mengatur penapasan merupakan cara responden dalam mengatasi reaksi emosi negatif yang muncul akibat perilaku overprotective orangtua yang dapat memengaruhi responden. Responden memilih untuk menyembunyikan ekpresi emosi negatif yang dilakukan dengan cara merenung, melamun hingga mengatur pernapasan.

Merenung, melamun bahkan mencoba mengatur pernapasan ketika perilaku overprotective orangtua memicu reaksi emosi negatif pada responden. Responden menyembunyikan perasaan yang dirasakan didepan orangtua dengan menekan ekspresi emosi negatif didepan orangtua maupun teman-temannya.

DISKUSI

Berdasarkan wawancara yang telah dilakukan oleh peneliti terhadap ketiga responden, maka akan lebih lanjut dibahas mengenai bagaimana strategi regulasi emosi responden yang memiliki orangtua overprotective. Pembahasan lebih lanjut akan dipaparkan sebagai berikut:

1. Dampak reaksi emosi yang muncul pada remaja

Orangtua yang overprotective tentu sangat memengaruhi perkembangan responden sebagai remaja. Perilaku-perilaku overprotective yang diberikan orangtua terhadap responden sering

(11)

37 kali memicu munculnya reaksi emosi-emosi negatif. Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa ketiga responden mengaku perilaku overprotective yang dilakukan orangtua sering memicu reaksi marah, sedih, bahkan rasa takut. Yusuf (2017) mengemukakan bahwa emosi adalah warna afektif yang menyertai setiap keadaaan atau perilaku individu. Senada dengan pendapat Sarwono (Yusuf, 2017) mengemukakan bahwa warna afektif yang dimaksud adalah perasaan tertentu yang dialami individu pada situasi tertentu, seperti perasaan gembira, bahagia, putus asa, terkejut serta benci. Hasil penelitian juga menunjukkan reaksi emosi yang dialami responden terpicu ketika perilaku overprotective orangtua dapat memengaruhi responden dalam melakukan kegiatan yang diinginkan. Gross (2002) mengemukakan bahwa emosi muncul ketika sesuatu yang penting bagi individu sedang terancam, emosi terkadang akan terpicu secara otomatis.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa, dua dari ketiga responden mengaku merasakan emosi negatif yang mengarah pada kesedihan. Responden merasa tidak dapat secara bebas dalam melakukan kegiatan yang diinginkan akibat perilaku overprotective orangtua. Hal tersebut akhirnya menjadi pemicu maupun sebuah rangsangan munculnya emosi sedih hingga berkecil hati. Perilaku overprotective orangtua yang sangat membatasi dan memantau secara berlebihan setiap kegiatan responden, membuat responden merasakan reaksi emosi negatif yaitu amarah.

Responden merasa jengkel hingga muncul rasa ingin menangis ketika mendapatkan perilaku overprotective dari orangtua. Rasa takut bahkan dirasakan dua dari ketiga responden akibat terbiasa dengan perilaku overprotective yang didapatkan dari orangtua. Berdasarkan hasil penelitian tersebut menunjukan bahwa perilaku overprotective orangtua sering menjadi pemicu munculnya berbagai reaksi emosi negatif pada responden penelitian. Wenze, Pohoryles, dan DeCicco (2019) merangkum dalam penelitiannya bahwa remaja yang melaporkan mendapatkan perilaku perlindungan berlebihan serta keterlibatan yang tinggi membuat remaja mengarah pada gejala-gejala kecemasan umum, kecemasan sosial, hingga depresi. Sehingga kecemasan dan depresi yang terjadi memungkinkan akibat adanya kesulitan dalam memproses maupun mengatur emosi yang muncul secara efektif. Pentingnya kemampuan dalam melakukan pengembangan emosi terhadap kesulitan yang dialami untuk mencegah adanya gangguan lain.

2. Dampak perubahan perilaku

Perilaku overprotective orangtua selain memberikan dampak emosional pada responden juga memberikan dampak pada perubahan perilaku. Responden mengakui bahwa perilaku overprotective yang didapatkan dari orangtua memberikan pengaruh pada perkembangan responden sebagai remaja. Ketiga responden mengakui mendapatkan dampak tersendiri akibat

(12)

38 perilaku overprotective orangtua. Perilaku overprotective orangtua membuat responden tidak dapat dengan leluasa melakukan hal yang diinginkan sebagai remaja. Perilaku overprotective orangtua juga membuat responden tidak puas dengan kehidupan keluarganya sehingga sering membandingkan diri dengan teman-temannya. Lingkup pertemanan responden juga terpengaruh akibat orangtua membatasi pergaulan responden hanya boleh berteman dengan orang tertentu maupun teman pilihan dari orangtua. Wenze, Pohoryles, dan DeCicco (2019) mengemukakan bahwa pengasuhan yang melibatkan perlindungan berlebihan pada anak dapat memengaruhi kepuasaan hidup yang lebih rendah, motivasi akademik maladaptif, serta hubungan teman sebaya yang buruk.

3. Strategi regulasi emosi

Strategi regulasi emosi yang dilakukan responden penelitian bertujuan untuk mengatasi reaksi emosi negatif yang muncul akibat perilaku overprotective orangtua. Gross dan John (2003) mengemukakan bahwa strategi regulasi emosi adalah strategi yang digunakan individu secara sadar maupun tidak sadar untuk menaikkan ataupun menurunkan komponen-komponen seperti respon fisiologis, perilaku maupun perasan dari respon emosi yang terjadi. Kemampuan dalam melakukan regulasi emosi menjadi penting agar individu dapat menjadi efektif untuk melakukan coping pada setiap masalah yang sedang dihadapi. Hal tersebut juga menjadi penting jika individu mampu untuk mengelola reaksi emosi negatif seperti sedih, marah, benci, kecewa bahkan frustasi (Thompson, 1994).

Hasil penelitian menunjukkan bahwa ketiga responden mampu untuk melakukan strategi regulasi emosi pada saat reaksi emosi negatif muncul akibat perilaku overprotective orangtua maupun melakukan strategi regulasi emosi sebelum respon emosi aktif. Responden penelitian yang memiliki orangtua overprotective terkadang melakukan tindakan dalam mengevaluasi maupun menekan reaksi emosi yang muncul. Berdasarkan hasil penelitian, terkadang responden melakukan tindakan evaluasi isyarat emosi dengan cara mengubah pemikiran mengenai perilaku overproteticve orangtua agar dapat mengurangi intensitas emosi yang akan muncul. Selain itu, responden juga melakukan tindakan menekan reaksi emosi yang muncul untuk menyembunyikan emosi negatif yang dirasakan didepan orangtua yang berperilaku overprotective. Gross dan John (2003) mengemukakan bahwa terdapat dua regulasi emosi yang terjadi pada awal tindakan dan pada akhir tindakan yaitu antecedent focused emotion regulation dan response focused emotion regulation. Antecedent focused emotion regulation adalah regulasi emosi yang mengacu pada hal-hal yang dilakukan sebelum kecenderungan respon emosi diaktifkan sepenuhnya kemudian dapat merubah perilaku dan emosinya. Sedangkan,

(13)

39 response focused emotion regulation adalah regulasi emosi yang mengacu pada hal-hal yang dilakukan individu setelah emosi muncul atau berlangsung.

Berdasarkan hasil penelitian, adapun dalam proses strategi regulasi emosi responden melakukan berbagai upaya dalam meregulasi emosinya. Bercerita dan mengajak bermain orang terdekat menjadi cara yang dilakukan responden dalam mengatasi perilaku overprotective orangtua. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ketiga responden akan bercerita kepada saudara maupun temannya mengenai hal tidak menyenangkan yang dirasakan akibat perilaku overprotective dari orangtua. Salah satu responden juga mengaku bahwa sering mengajak saudara bermain didalam rumah. Gross dan John (2003) mengemukakan bahwa modifikasi situasi merupakan upaya dalam mengubah situasi untuk mengubah dampak emosionalnya.

Upaya yang dilakukan dalam modifikasi situasi tersebut merupakan penanganan yang berfokus pada masalah (Gross, 1998). Dengan hadirnya orang terdekat seperti teman, saudara maupun orangtua juga dapat memberikan intervensi pada responden.

Mengarahkan pikiran kearah lebih positif merupakan cara selanjutnya yang dilakukan responden dalam menjaga reaksi emosi sebelum aktif. Hasil dari penelitian menunjukkan bahwa, dua dari tiga responden yang mendapatkan perilaku overprotective mengaku bahwa lebih memilih untuk mengarahkan pikiran mereka kearah yang lebih positif mengenai perilaku overprotective orangtua. Responden menganggap bahwa perilaku overprotective orangtua memiliki maksud yang baik dalam menjaga anak mereka. Responden lainnya mengarahkan pemikirannya pada perubahan perilaku overprotective yang nantinya tidak akan dia lakukan kepada penerusnya. Gross dan John (2003) mengemukakan bahwa perubahan kognitif dilakukan dengan cara mengacu pada pemilihan situasi yang memiliki makna yang dapat dilampirkan dari suatu kejadian. Individu melakukan penilaian kognitif agar dapat mengurangi dampak emosional yang tidak diinginginkan.

Mengurung diri didalam kamar menjadi cara selanjutnya yang dilakukan responden dalam mengatasi reaksi emosi negatif yang muncul akibat perilaku overprotective orangtua. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ketiga responden sering memilih untuk masuk kedalam kamar untuk menghindari orangtua ketika berperilaku overprotective. Hal tersebut dilakukan responden akibat lebih memilih untuk merasakan sendiri emosi negatif yang dialami dan tidak memperlihatkannya kepada orangtua. Dengan kata lain responden lebih memilih untuk menekan respon emosi negative yang dimiliki. Merenung dan melamun juga menjadi cara responden dalam menekan respon emosi negative yang dirasakan akibat perilaku overprotective orangtua yang diterima. Gross dan John (2003) mengemukakan bahwa modulasi respon merupakan regulasi emosi dengan cara melibatkan pengaturan emosi ekspresif dengan cara

(14)

40 menyembunyikan perasaan sesungguuhnya didepan orang lain. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa, salah satu dari ketiga responden mengaku bahwa terkadang merasa gemetar dan cemas ketika orangtua memberikan perilaku overprotective. Namun dari hal itu responden memilih untuk mengontrol ekspresi emosi dengan mengatur pernapasannya. Suinn dan Richardson (Gross & John, 2003) mengungkapkan bahwa perubahan respon merupakan upaya yang dilakukan salah satunya dengan relaksasi untuk digunakan dalam mengurangi aspek fisiologis dan pengalaman dari emosi negatif.

Responden yang memiliki orangtua overprotective mampu untuk mengevaluasi reaksi emosi yang dialami, sehingga hal ini dapat secara efisien mengurangi dampak emosionalnya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ketiga responden lebih memilih untuk menilai sisi positif dari perilaku overprotective orangtua. Responden penelitian juga cenderung melakukan pemusatan ulang pada perencanaan. Dalam hal ini salah satu responden memikirkan langkah untuk mengubah situasi yang lebih diharapkan. Gross (2002) mengemukakan bahwa individu menggunakan strategi penilaian ulang kognitif (cognitive reappraisal) untuk mengurangi pemaknaan situasi negatif menjadi netral dan terhindar dari perilaku maladaptif. Salah satu dari ketiga responden mengaku perilaku overprotective orangtua pernah memicu pada pemikiran ingin mati. Namun, responden masih memiliki ketakutan pada benda tajam dan mengarahkan pikirannya dengan cara bercerita keteman terdekat. Hofmann, Heering, Sawyer dan Asnaani (2009) mengemukakan bahwa dari hasil penelitiannya menunjukkan bahwa individu yang menggunakan cognitive reappraisal dapat menjadi efektif dalam mengurangi rasa cemas yang dirasakan.

Berdasarkan hasil penelitian, ketiga responden mampu untuk mengubah tindakan dalam merespon reaksi emosi yang muncul, namun masih kurang dalam mengubah emosi negatif yang dirasakan. Ketiga responden terkadang lebih memilih untuk menyembunyikan reaksi emosi negatif yang dirasakan didepan orang lain terlebih didepan orangtua pada saat perilaku overprotective sangat memengaruhi. Gross dan John (2003) mengemukakan bahwa individu yang menggunakan strategi penekanan (expressive suppresion) cenderung tidak memperlihatkan emosi yang dirasakan didepan orang lain. Expressive suppression dapat terlibat secara aktif dalam menghambat penglaman emosi, baik secara verbal maupun mengontrol ekspresi wajah sehingga emosi tidak dapat tersampaikan dengan baik (Keenan, 2013).

Hasil penelitian menunjukkan bahwa ketiga responden ketika berada didepan orangtua yang berperilaku overprotective akan menampilkan ekspresi emosi yang baik, namun kenyataannya ketiga responden sedang merasakan reaksi emosi negatif seperti sedih, marah, bahkan rasa

(15)

41 takut. Gross dan John (2003) mengemukakan bahwa expressive suppression dapat menciptakan perasaan ketidaksesuaian atau perbedaan antara apa yang dirasakan didalam diri dengan ekspresi yang dikeluarkan. Hal tersebut dapat menimbulkan perasaan tidak jujur pada diri sendiri dan menghambat perkembangan hubungan secara emosional dengan orang lain. Butler, Tiane, dan Gross (2007) mengemukakan bahwa hasil penelitiannya menunjukkan bahwa orang Asia cenderung melakukan expressive suppression sebagai usaha dalam mencegah melakukan tindakan yang tidak diinginkan maupun menjaga hubungannya dengan orang lain.

KESIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan dan tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini, maka dapat disimpulkan bahwa:

1. Dampak reaksi emosi yang muncul pada remaja yang memiliki orangtua overprotective berupa marah, sedih, takut, putus asa, jengkel, berkecil hati dan pasrah dengan perilaku overprotective orangtua. Rentang waktu munculnya reaksi emosi remaja hampir sama.

Reaksi-reaksi emosi tersebut dialami oleh remaja ketika mendapatkan pemicu rangsangan dari luar berupa perilaku overprotective orangtua.

2. Dampak perubahan perilaku yang terjadi pada remaja berupa menjadi lebih tertutup, tidak bebas dalam melakukan hal yang diinginkan, membandingkan diri dengan teman sebaya lainnya, lingkup pertemanan yang menjadi sempit, serta menimbulkan sikap pemberontak seperti berbohong dengan orangtua maupun tidak betah didalam rumah.

3. Strategi regulasi emosi yang dilakukan remaja dengan orangtua overprotective yaitu strategi regulasi yang terjadi pada awal tindakan maupun pada akhir tindakan yang berguna untuk menurunkan maupun menghambat keluaran tanda-tanda emosi. Strategi regulasi emosi yang digunakan yaitu berupa bercerita dan bermain dengan orang terdekat, mengarahkan pikiran kearah lebih positif, mengikuti batasan dari orangtua, mengurung diri dan melakukan aktifitas di dalam kamar, serta melamun dan merenung.

REFERENSI

Afrizal. (2014). Metode penelitian kualitatif: Sebuah upaya mendukung penggunaan penelitian kualitatif dalam berbagai ilmu disiplin. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

Ali, M., & Asrori, M. (2017). Psikologi remaja perkembangan peserta didik. Jakarta: Bumi Aksara.

Butler, E.A., Lee, T.L., & Gross, J.J. (2007). Emotion regulation and culture: Are the social consequences of emotion suppression culture-specific? Emotion Regulation and Culture, 7(1). 30-48.

Chaplin, J.P. (2002). Kamus Lengkap Psikologi. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

Chaplin, J.P. (2006). Kamus lengkap psikologi. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

(16)

42 Clarke, K., Cooper, P., & Creswell, C. (2013). The parental overprotection scale: associations

with child and parental anxiety. Journal of Affective Disorders, 1(151). 618-624.

Creswell, J.W. (2012). Educational research: planning, conducting, and evaluating, quantitative and qualitative research 4th edition. Boston: Pearson.

Darling, N. & Steinberg, L. (1993). Parenting style as context: An integrative model.

Psychological Bulletin, 113(3). 487-496.

Desmita. (2013). Psikologi perkembangan. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

Francesco, L. & Espinoza, J. (1999). The relationship of parental overprotection and parenting stress to psychological distress in parents of childen with asthma and cystic fibrosis: a cross illness comparison. (Thesis). South Africa: Bachelor of Arts in Psychlogy. Rand Afrikaans University.

Ganaprakasam, C., Davaidass, K.S., Muniandy, S.C. (2018). Helicopter parenting and psychological consequences among adolescent. International Journal of Scientific and Research Publications, 8(1) 378-381. ISSN: 2250-315.

Guttman, L.M., & Eccles, S. J. (2007). Stage environment fit during adolescene: trajectories of family relation and adolescent outcomes. Journal of Development Pscyhology, 43(2). 522- 537.

Gross, J.J. (1998). The emerging field of emotion regulation: an integrative review. Review of general psychology, 2(3). 271-299.

Gross, J.J. (2002). Emotion regulation: Affective, cognitive, and social consequences. Society for psychophysiological research, 39(2). 281-291.

Gross, J.J., & John, O.P. (2003). Individual diffrences in two emotion regulation processes:

implications for affect, relationships, and wellbeing. Journal of Personality and Social Psychology, 85(2). 348-362.

Hasanah, U. (2016). Sikap overproteksi orangtua dan kematangan sosial anak. Jurnal An-Nafs dan Penelitian Psikologi, 1(1). 133-150.

Hurlock, E. B. (1980). Psikologi perkembangan: Suatu pendekatan sepanjang rentang kehidupan (Edisi Kelima). Jakarta: Erlangga.

Hofmann, S.G., Heering, S., Sawyer, A.T., & Asnaani, A. (2009). How to handle anxiety: the effects of reappraisal, acceptance, and suppression strategies on anxious arousal. Behavior Research and Therapy, 47(1). 389-394.

Jojon, Wahyuni, T.P., & Sulasmini. (2017). Hubungan pola asuh overprotective orangtua terhadap perkembangan anak usia sekolah di SDN Tlogomas 1 Kecamatan Lowokwaru Malang. Jurnal Nursing News, 2(2). 524-535.

Keenan, N.K. (2013). Emotion regulation and health behavior: Effects of negative affect and emotion regulation strategies on eating and smoking. Disertasi. USA: University of Minnesota.

Khoiriyah, U. (2015). Peran keluarga menurut konsep perkembangan kepribadian perspektif psikologi islam. Jurnal Al-Adyan, 10(1). 123-140.

Kusumaningtyas, L.E. (2015). Dampak overprotektif terhadap perkembangan kemandirian anak. Jurnal Widya Wacana, 10(1)12. 1-12.

Luebbe, A.M., Mancini, K.J., Kiel, E.J., Spangler, B.K., Semlak, J.K., & Fussner, L.M. (2016).

Dimensionality of helicopter parenting and relations to emotional, decision making, and academic functioning in emerging adults. Article. Hongkong: The University of Hongkong Libraries.

Nessayan, A., Hosseini, B., & Gandomani, R.A. (2017). The effectiveness of emotion regulation skills training on anxiety and emotional regulation strategies in adolescents students. Practice in Clinical Psychology, 5(4). 263-270.

Petegem, S.V., Antonietti, J.P., Nunes, C.E., Kins, E., Soenens, B. (2019). The relationship between maternal overprotection, adolescent internalizing and externalizing problems, and

(17)

43 psychological need frustration: a multiinformant study using response surface. Journal of Youth and Adolescence, 1(1). 1-16.

Purwanto, N. (2009). Ilmu Pendidikan Teoritis dan Praktis. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Roberton, T., Daffern, M., & Bucks, R.S. (2012). Emotion regulation and aggression.

Aggression and Violent Behavior, 17(1). 72-82.

Santrock, J.W. (2003). Perkembangan remaja: Edisi keenam. Jakarta: Erlangga.

Santrock, J.W. (2007). Remaja edisi:kesebelas. Terjemahan oleh Benedictine Widyasinta.

Jakarta: Erlangga.

Thompson, R.A. (1994). Emotion regulation: a theme in search definition. Monographs of The Society for Reasearch in Child Development, 59(2/3). 25-52.

Thomsgard, M. & Metz, M. P. (1999). Parental overprotection and its relation to perceived child vulnerability. American Journal of Orthopsychiatry, 67(2). 330-335.

Walker, L.M.P., & Nelson, L.J. (2012). Black hawk down? Establishing helicopter parenting as a distinct construct from other forms of parental control during emerging adulthood.

Journal of Adolescence, 1(35). 1177-1190.

Wenze, S.J., Pohoryles, A.B., DeCicco, J.M. (2019). Helicopter parenting and emotion regulation in U.S. College students. Psi Chi Journal of Psychological Research, 24(4). 274- 289.

Yusuf, S. (2017). Psikologi perkembangan anak dan remaja. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Referensi

Dokumen terkait

Tujuan penelitian ini yaitu untuk mengetahui hubungan antara regulasi emosi dengan kecenderungan perilaku bullying pada remaja, mengetahui tingkat regulasi emosi,

Hasilnya menunjukkan bahwa sebanyak 4 remaja cenderung menggunakan strategi regulasi emosi yang positif dalam menghadapi permasalahan di lingkungan keluarga, teman

gambaran strategi regulasi emosi dilihat dari proses emosi pada remaja yang terhadap percobaan bunuh diri yang dilakukan oleh orang tuanya.

Regulasi emosi ini memiliki lima strategi yang bisa dilakukan yaitu situation selection, situation modification, attention deployment, cognitive change, dan

Wanita premenopuse yang memiliki regulasi emosi yang baik, dapat mengarahkan dirinya untuk menghalangi perilaku yang tidak tepat akibat kuatnya intensitas emosi

Berdasarkan hasil dari kuesioner tertutup menunjukkan bahwa sebanyak 4 remaja cenderung menggunakan strategi regulasi emosi yang positif dalam menghadapi

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara komunikasi orangtua dengan regulasi emosi di Sekolah Menengah Atas DKI Jakarta, karena menurut penelitian

Berdasarkan hasil penelitian dapat diketahui bahwa ada hubungan negatif yang sangat signifikan antara regulasi emosi dengan kecenderungan perilaku bullying, namun