I. TEORI GETARAN pada BATANG & KABEL (Beam & String Theory)
1.1. String Theory
Bila panjang kabel relatif lebih besar dibandingkan dengan diameternya maka teori kabel ini cukup baik digunakan. Teori kabel ini mengabaikan parameter lendutan (Saxon dan Chan 1953; Irvine 1981):
(1.1)
dengan:
T : gaya aksial (N)
m : massa per satuan panjang (kg/m) L : panjang (m)
fn : frekuensi alami (Hz) n : mode number
1.2. Beam-string Theory
Shimada dkk, (1989) dan Humar (1990) memperkenalkan persamaan yang biasa digunakan untuk balok yang dibebani aksial tarik dengan memasukkan parameter kekakuan lentur (EI) tetapi mengabaikan lendutan.
(1.2)
dengan:
T : gaya aksial (N)
m : massa per satuan panjang (kg/m) L : panjang (m)
fn : frekuensi alami (Hz) n : mode number
EI : kekakuan lentur (Nm2) 1.3. Stokey’s Theory
Stokey (1998) memperkenalkan formulasi praktis untuk menghitung frekuensi alami batang yang diberikan beban aksial sebagai berikut:
(1.3)
F : gaya aksial (kN)
m : massa per satuan panjang (kg/m) L : panjang (m)
fn : frekuensi alami (Hz) n : mode number
EI : kekakuan lentur (kNm2) κ : jenis tumpuan (lihat Tabel 1.1)
Tabel 1.1 Nilai κ pada berbagai kondisi batas ujung tumpuan
Ujung Tumpuan
Nilai K
Mode 1 Mode 2 Mode 3
Sendi-sendi 3,146 6,283 9,425
Jepit-jepit 4,730 7,853 10,996
Jepit-sendi 3,927 7,069 10,210
Jepit-bebas 1,875 4,694 7,855
1.4. Irvine’s Theory
Irvine (2003) menyederhanakan teori Stokey (1998) dan memberikan persamaan perhitungan frekuensi alami pada batang yang ditumpu sendi- sendi sebagai berikut:
(1.4)
dengan :
F : gaya aksial (kN)
m : massa per satuan panjang (kg/m) L : panjang (m)
fn : frekuensi alami (Hz) n : mode number
EI : kekakuan lentur (kNm2) κ : jenis tumpuan (lihat Tabel 5.1)
II. PEMROSESAN SINYAL (Signal Processing)
2.1. Klasifikasi Sinyal Getaran.
2.1.1. Sinyal Analog dan Sinyal Digital
Sinyal analog adalah sinyal yang nilainya berubah dalam setiap waktu atau dalam ruang, sinyal ini bersifat kontinyu terhadap waktu dan tidak terputus (biasanya dalam ilmu elektro berbentuk voltase). Sinyal digital adalah sinyal yang didaptkan dari pengambilan sampel sinyal analog dalam rentang waktu tertentu (sampling rate), sehingga amplitudo setiap waktunya tidak terhubung langsung dengan ampitudo sebelumnya. Sinyal digital yang diambil dari proses pengambilam sampel dari sinyal analog, memiliki arti bahwa pengambilan nilai dari t = 0, data berikutnya diambil pada setiap saat t = t, t = 2.t dan seterusnya (t = n. t).
(a) (b)
Gambar 2.1. (a). Sinyal analog, (b). Sinyal digital
2.1.2. Sinyal Riil (real) dan Sinyal Semu (imaginary)
Sebuah sinyal dikatakan sinyal riil, jika nilainya bersifat riil untuk semua variabel. Sinyal semu merupakan kebalikan dari sinyal riil. Sebuah sinyal paling sedikit mempunyai nilai riil, bila kedua jenis sinyal itu ada maka sinyal itu dinamakan sinyal kompleks. Contoh kedua jenis sinyal
Sinyal riil : y(t)=Asin
( )
tdengan : A, , dan t riil
Sinyal kompleks : y(t)=ejt dengan : ejnt =cosnt+ jsinnt
2.1.3. Sinyal Deterministik dan Sinyal Random.
Sinyal deterministik adalah sinyal yang nilai amplitudo dan bentukya berulang secara terus menerus, untuk semua titik waktu. Sedangkan sinyal random untuk waktu yang diberikan, nilai dan bentuknya berubah. Sinyal ini hanya akan dibahas berdasarkan karakter statistik, misalnya nilai tengah, deviasi dan lain sebagainya.
2.2. Analisis Sinyal (Domain Waktu dan Domain Frekuensi)
Ketika mengevaluasi perilaku getaran dalam bentuk sinyal kadang kala dilakukan dalam domain waktu (intensitas/amplitudo getaran merupakan fungsi dari waktu) karena karakter getaran itu dapat dimanfaatkan oleh profesi tertentu (dokter) secara lebih mudah dan lebih cepat melalui tampilan waktu (misal analisis denyut nadi jantung, respon kerja otak) karena pola sinyal terhadap waktu dapat memberikan informasi dalam menegakkan diagnosa. Di sisi lain dalam profesi keteknikan, domain frekuensi lebih diminati karena umumnya diagnosa dapat dilihat dari sejumlah besaran frekuensi dan amplitudo dari fungsi sinus dan cosinus.
Proses pemurnian sinyal melalui pentapisan (filtering) saat ini sudah banyak dilakukan secara digital di dalam domain frekuensi (intensitas getaran merupakan fungsi dari frekuensinya) karena proses pebtapisan dapat dilakukan dengan lebih mudah dan didukung oleh kecepatan processor dan memory yang semakin meningkat. Keuntungan dan kerugian dari tiap domain diterangkan di bawah ini.
2.2.1. Domain Waktu (Time Domain)
Domain waktu adalah suatu rekaman (record) dari apa yang terjadi pada suatu sistim terhadap waktu. Sebelum ditemukannya peralatan
merubahnya menjadi data angka secara cepat dan dalam jumlah besar, pemakaian domain waktu masih banyak digunakan. Domain waktu memiliki keunggulan dalam hal penyimpanan datanya dalam bentuk pita, yang digerakkan oleh motor dengan kecepatan tertentu, sehingga kemampuan menyimpannya dapat sangat besar, dan lebih tahan terhadap pengaruh lingkungan. Kelemahannya ada pada proses pencarian alamat yang memerlukan waktu lebh lama sehingga sangat tidak efisien. Untuk membaca data pada posisi awal, motor harus memutar balik pita lebih dahulu dan hal itu memerlukan waktu. Pemutaran yang berulang kali dapat menambah panjang pita dan dapat merusak/merubah data. Suatu rekaman (record) waktu yang mempertunjukkan peristiwa ini diperlihatkan dalam Gambar 2.2.
(a) (b) Gambar 2.2. Contoh rekaman waktu : (a) impulse, (b) random
Respon terhadap waktu lebih mudah diamati melalui domain waktu, memberi kesan alami walaupun sering bersifat perkiraan (tidak eksak). Gabungan dari banyak sinyal, yang di dalamnya ada yang bermanfaat dan yang tidak bermanfaat (noise) tidak dapat terlihat dengan lebih jelas. Sebagai akibatnya kualitas keluarannya tidak dapat maksimum karena desis (noise) itu sendiri tidak terdeteksi dengan baik.
2.2.2. Domain Frekuensi (Frequency Domain)
Baron Baptiste Jean Fourier yang hidup antara 1768 – 1830 menyatakan pendapat bahwa setiap sinyal periodik dapat dirumuskan sebagai penjumlahan dari banyak sinyal cosinus dan sinus yang memiliki amplitudo dan frekuensi yang bervariasi (1928). Amplitudo (magnitude)
percepatan. Fourier menemukan persamaan deret matematik yang dapat menggambarkan perilaku gabungan banyak sinyal itu yang dikenal dengan Deret Fourier
Gambar 2.3. Percepatan dalam domain waktu dapat diuraikan seperti penjumlahan dari banyak gelombang Sinus dengan berbagai variasi frekuensi dan amplitude (Eclund 2006). Mengetahui konsep dasar itu lebih lanjut diciptakannya lagi persamaan transformasi untuk melihat secara terpisah fungsi-fungsi sinusoidal yang menyusun sinyal gabungan itu dalam fungsi frekuensinya yang kemudian dikenal dengan nama Transformasi Fourier (Fourier Transformed) yang menghubungkan antara frekuensi dan amplitudo dari setiap sinyal harmonik penyusunnya.
Keuntungan dari transformasi Fourier dalam domain frekuensi diantaranya bahwa frekuensi penyusun dan frekuensi lain yang tergabung dalam sebuah sinyal dapat diidentifikasikan amplitudo, frekuensi dan beda phasenya. Prinsip kerja transformasi Fourier adalah merubah cara pandang sinyal itu dari sisi masing- masing amplitudo dan frekuensinya seperti terlihat dalam Gambar 2.4. Dengan mengetahui sinyal-sinyal sinusoidal penyusunnya maka dapat dengan mudah dilakukan pemisahan diantara sinyal satu dan lainnya. Kemajuan bidang teknologi digital/ komputer meningkatkan pemakaian integral Fourier karena proses itu lebih mudah dilakukan pada data berbentuk digital dari pada analog. Konsekuensi dari pemakaian data digital mengharuskan peralatan yang dapat mencacah (sampling) dan merubah dalam bentuk digital secara cepat (A/D converter) dan menyimpannya dalam jumlah yang banyak untuk mendapatkan kualitas output yang baik.
Gambar 2.4. Skema cara pandang domain frekuensi. Bagian kiri atas, beberapa gelombang Sinus ditampilkan oleh beberapa garis amplitudo (Eclund 2006)
2.3. Transformasi Fourier Terbatas dan Transformasi Fourier Cepat (Discrete Fourier Transformed/ DFT dan Fast Fourier
Transformed/ FFT)
Seperti diketahui bahwa getaran ada yang harmonik, periodik dan ada pula yang pure random dan periodic random. Bila suatu getaran boleh diasumsikan sebagai getaran periodik maka penggunaan transformasi Fourier dapat dibenarkan, tidak demikian halnya getaran pure random yang harus menggunakan statistik sebagai solusinya. Getaran yang diakibatkan oleh beban yang bergerak secara dinamik (getaran ritmik) biasanya berupa fungsi getaran yang tidak teratur (random vibration).
Transformasi deret fourier pertama kali dikembangkan menjadi Discrete Fourier Transform (DFT). Pada metode ini fungsi beban terhadap waktu dibagi menjadi sejumlah data (N) dengan jarak waktu pengabilan (sampling rate) yang sama (t) yang didefenisikan sebagai discrete time. Total waktu pengambilan data disyaratkan mulai dari -∞ sampai dengan +∞. Total waktu ini (-∞ sampai dengan +∞) tidak mungkin dilakukan dan merupakan kelemahan dari metode DFT. Selain itu kelemahan lain adalah metode DFT ini masih sulit untuk dikembangkan dengan perhitungan komputer bila jumlah data yang diproses sangat banyak karena membutuhkan waktu yang lama dalam proses perhitungannya (Clough, 1975).
Cooley dan Tukey (1960) mempublikasikan sebuah buku An Algorithm for the Machine Calculation of Complex Fourier Series, dan algoritma mereka dikenal dengan Fast Fourier Transform atau FFT dan menjadi konteks baru dalam analisis Fourier. Ini bukan hanya konteks digital tapi konteks baru yang memungkinkan kecepatan, aplikasi yang ekonomis dari teknik Fourier untuk penggunaan yang lebih luas dan untuk keperluan analisis (Ramires, 1985). Tuan Cooley dan Tukey mendapatkan suatu algoritma berbasis 2 (jumlah data yang diproses merupakan kelipatan dari nilai 2, misal 2, 4, 8, 16, 32, dst... 2N) yang memungkinkan proses perkalian dan penjumlahan data digital yang dibutuhkan tidak sebanding lurus dengan jumlah data, tetapi proses perkaliaan dan penjumlahan yang menghasilkan nilai sama diabaikan.
Transformasi Fourier Cepat (FFT) adalah suatu algoritma untuk merubah data dari domain waktu ke dalam domain frekwensi dengan mengabaikan proses yang berulang. Algoritma itu sendiri diciptakan untuk mengefisienkan proses yang secara inherent terjadi pada transformasi terbatas (Discrete). Hasil transformasi dapat diproses balik menjadi sinyal domain waktu yang disebut Transformasi Balik Fourier (Inverse Fourier ransform). Menurut Jean Sebastian Fourier setiap signal/isyarat yang “dapat dianggap” sebagai sinyal berkala/periodic x(t) dapat dirumuskan sebagai jumlahan banyak sinyal sinusoidal yang memiliki amplitudo dan frekuensi bervariasi.
2.4. Bentuk Trigonometri dari Deret Fourier
Mula - mula ditinjau sebuah fungsi periodik f(t) yang didefinisikan sebagai berikut :
f(t) = f(t + ∑T) (2.1)
dengan :
∑T : adalah sejumlah perioda pengambilan data.
Selanjutnya dianggap bahwa fungsi f(t) memenuhi sifat-sifat berikut (Dirichlet Condition) :
1. f(t) memenuhi definisi matematis dari sebuah fungsi.
2. Integral t
+Tt
o
o
dt t
f( ) ada dan berhingga untuk setiap pemilihan waktu pengambilan data awal, to
3. f(t) mempunyai diskontinuitas yang terbatas banyaknya didalam sejumlah pengambilan data
4. f(t) mempunyai maksimum dan minimum yang terbatas banyaknya didalam setiap perioda.
Meskipun mungkin ada fungsi matematik tertentu tidak memenuhi keempat syarat tersebut, akan tetapi dianggap bahwa keempat syarat tersebut selalu dipenuhi. Dengan adanya fungsi periodik f(t) seperti itu, maka teorema Fourier mengatakan bahwa f(t) dapat dinyatakan oleh deret tak berhingga :
f(t) = a0 + a1 cos 0t + a2 cos 20t + … + b1 sin 0t + b2 sin 20t =
==
+ +n
n
n
n n t b n t
a a
1
0 0
0 ( cos sin ) (2.2) Hubungan frekuensi alami 0 dan perioda T seperti berikut di bawah ini :
f T
0 =2. . = 2 (2.3)dengan : a0, an dan bn adalah konstanta yang tergantung pada n dan f(t).
Konstanta ini dinamakan konstanta Fourier. Persamaan di (2.2) adalah bentuk trigonometri dari deret Fourier untuk f(t). Nilai a0, an dan bn dapat didefinisikan seperti berikut :
=
T
dt t T f a
0
0 1 ( )
(2.4)
=
T
n f t n tdt
a T
0
cos 0
)
2 ( (2.5)
=
T
n f t n t dt
b T
0
sin 0
)
2 ( (2.6)
Perlu diketahui bahwa untuk mendapatkan hasil integrasi, batas awal tidak harus bermula dari waktu T = 0 tetapi bisa juga bisa sebarang, misal waktu T = τ, maka persamaan t
+Tt
o
o
dt t
f( ) dapat pula ditulis dengan :
+T
dt t f
)
( . (2.7)
2.5. Penggunaan Fungsi Simetri
Ada bebarapa fungsi simetri yang dapat membantu dalam menghitung konstanta Forier ao, an dan bn. Ada dua jenis fungsi simetri yang mudah dikenal, yaitu fungsi simetri-genap dan fungsi simetri-ganjil, atau singkatnya simetri-genap dan simetri-ganjil. Dikatakan bahwa sebuah fungsi f(t) simetri-genap, jika dan hanya jika :
f(t) = f(-t) (2.8)
misalnya : f(t) = t2; f(t) = cos 5t; f(t) = ln (cos t); f(t) = sin2 7t; f(t) = t sin t dan konstanta C, semua fungsi tersebut simetri-genap sebab penggantian t dengan ( - t ) tidak mengubah nilai fungsi-fungsi tersebut. Jenis fungsi simetri seperti ini dapat juga dikenal secara grafis, karena jika f(t) = f(-t) maka terdapat simetri cermin pada sumbu f(t) atau sumbu ordinat,y.
Bila definisikan bahwa f(t) simetri-ganjil, jika dan hanya jika (lihat Gambar 2.5).
f(t) = - f(-t) (2.9)
Dengan kata lain , jika t diganti dengan ( - t ), maka akan didapatkan negatif dari fungsi yang diketahui, contohnya : f(t) = t; f(t) = sin t; f(t) = t cos (35t); f(t) = t 1+t2 . Karakteristik grafis dari simetri-ganjil jelas, yaitu jika kita bergerak dari t = 0 sejauh a kearah kanan ( sumbu t positif) dan bergerak dari t = 0 sejauh a juga kearah kiri ( sumbu t negatif) , maka nilai f(t) berlawanan tanda (lihat Gambar 2.5).
-1.5 -1 -0.5 0 0.5 1 1.5
0 0.01 0.02 0.03 0.04 0.05 0.06 0.07 0.08 0.09 0.1 0.11 0.12 0.13 0.14 0.15 0.16 0.17 0.18 0.19 0.2 0.21 0.22 0.23 0.24 0.25
Amplitudo
Waktu (dt) fungsi ganjil fungsi genap
Gambar 2.5. Fungsi genap dan fungsi ganjil
Dalam matematika/ kalkulus dikenal beberapa sifat dari fungsi simetri- genap dan simetri-ganjil, yaitu :
1. Perkalian dua fungsi simetri yang sama (genap dengan genap atau ganjil dengan ganjil) menghasilkan simetri-genap
2. Perkalian dua fungsi simetri yang berbeda (genap dengan ganjil atau ganjil dengan genap) menghasilkan simetri-ganjil
3. Perkalian fungsi simetri dengan konstanta, tidak mengubah fungsi simetri
4. Penjumlahan dua fungsi simetri atau lebih, jika seluruhnya fungsi simetri yang sama (semuanya genap atau semuanya ganjil), hasilnya akan tetap fungsi simetri itu.
5. Penjumlahan dua fungsi simetri atau lebih, jika salah satu atau lebih berbeda simetrinya , hasilnya bukan fungsi simetri lagi Dari sifat keempat dan kelima di atas dapat disimpulkan :
1. Fungsi periodik simetri-genap tidak mungkin mengandung komponen sinus (sebab fungsi sinus adalah simetri-ganjil), dengan kata lain persamaan (2.6) konstanta bn = 0
2. Fungsi periodik simetri-ganjil tidak mungkin mengandung komponen cosinus (sebab fungsi cosinus adalah simetri-genap), dengan kata lain persamaan (2.5) konstanta an = 0
Secara matematis dapat dituliskan persamaan untuk menghitung konstanta
Simetri-genap :
=
2 /
0
cos 0
) 4 T (
n f t n t dt
a T (2.10)
bn = 0 (2.11)
Simetri-ganjil :
=0
an (2.12)
=
2 /
0
sin 0
) 4 T (
n f t n t dt
b T (2.13)
2.6. Bentuk Kompleks dari Deret Fourier
Dengan menggunakan deret Fourier, untuk mendapatkan spektrum frekuensi, terlihat amplitudo setiap komponen bergantung pada kedua konstanta an dan bn. Fungsi sinusoidal dan cosinusoidal memberikan kontribusi kepada amplitudo. Ungkapan yang tepat untuk amplitudo ini adalah an2 +bn2 . Mungkin juga didapatkan amplitudo untuk setiap komponen frekuensi dari deret Fourier, yaitu dengan mengubah persamaan deret Fourier menjadi bentuk cosinus saja ditambah dengan sudut fase tertentu persamaan :
y = A cos ωt + B sin ωt dapat ditulis y = C cos (ωt + φ)
dengan :
amplitudo C = A2 +B2 Sudut fase
A arc −B
= tan
dapat ditulis
A
1 B tan−
= . Amplitudo dan sudut fase adalah fungsi dari f(t) dan n. Bentuk yang paling sederhana dan lengkap dari derat Fourier didapat jika sinusoidal dan cosinusoidal dinyatakan sebagai fungsi eksponensial imajiner (ingat identitas Euler fungsi eksponensial imajiner adalah bilangan kompleks dengan bagian riilnya adalah bentuk cosinusoial dan imajinernya bentuk sinusoidal).
==
+ +
= n
n
n
n n t b n t
a a
t f
1
0 0
0 ( cos sin )
)
( (2.14)
Menurut identitas Euler : t n j t n
ejnt =cos + sin t n j t n
e−jnt =cos − sin t n e
ejnt + −jnt =2cos
cos 2
t jn t
jn e
t e n
= + − (2.15)
t n j t n
ejnt =cos + sin t n j t n
e−jnt =cos − sin t n j e
ejnt − −jnt =2 sin
j e t e
n
t jn t jn
sin 2
= − − (2.16)Dengan mensubstitusikan identitas Euler (persamaan 2.15 dan 2.16) ke dalam persamaan deret Fourier (persamaan 2.2) di atas, maka persamaan bentuk trigonometri dari deret Fourier dapat ditulis kembali menjadi :
==
−
− + −
+ +
= n
n
t jn t jn n t jn t jn
n j
e b e
e a e
a t f
o o
o o
1
0 )
2 ( 2
) (
(2.17)
0 1
( ) ( )
2 2
o
n
jn t
jn ot n n n n
n
a jb a jb
f t a e e
= −
=
− +
= +
+ (2.18)
Bila didefinisikan sebuah konstanta kompleks cn yaitu :
(
n n)
n a jb
c .
2
1 −
= (n = 1,2,3, …) (2.19)
Nilai an, bn dan cn semuanya tergantung pada n dan f(t). Misalkan sekarang n diganti dengan (-n), koefisien an dan b n dapat didefiniskan sebagai :
=
T
n f t n tdt
a 2 ( )cos 0
+
-
= T
n f t n t dt
b T
0
sin 0
)
2 (
−− =
T
n f t n t dt
a T
0
0 ) cos(
)
2 (
−− =
T
n f t n t dt
b T
0
0 ) sin(
)
2 (
− =
T
n f t n t dt
a T
0
0 ) cos(
)
2 (
−
− =
T
n f t n t dt
b T
0
0 ) sin(
)
2 (
n
n a
a− = ; b−n =−bn Maka :
( ) ( ( ))
2 1 2
1
n n
n n
n a jb a j b
c− = − − − = − −
( )
*2 1
n n n
n a jb c
c− = + = (2.20)
Sedangkan co :
= =
T
nn f t tdt
a T
0
0 2 ( )cos00
= =
T
nn f t tdt
b T
0
0 2 ( )sin00
= =
T
nn f t dt
a T
0
0 2 ( )
= =
T
nn f t x dt
b T
0
0 2 ( ) 0
2a
a = b =0
Maka memasukkan persamaan (2.20) ke dalam persamaan (2.18) didapat untuk n = 0 didapat :
(
o)
oo a j a
c = 2 − .0 = 2
1 (2.22)
Memasukkan persamaan (2.19) dan (2.21) ke dalam persamaan (2.17) berikut ini :
0 1
( ) ( )
2 2
o
n
jn t
jn ot n n n n
n
a jb a jb
f t a e e
= −
=
− +
= +
+Akhirnya persamaan/ fungsi deret Fourier dapat ditulis kembali menjadi :
0 1
( ) ( o )
n
jn t jn ot
n n
n
f t c c e e c
= −
−
=
= +
+
=
=
=
=
−
+ −
+
= n
n
n
n
t jn n t
jn n
o
o c e
e c c
t f
1 1
) 0
(
0 1
( ) o o
n n
jn t jn t
n n
n n
f t c e c e
= =−
= =−
=
+
=+−
=
=n
n
t jn n
e o
c t
f( ) (2.23)
dengan nilai cn :
(
n n)
n a jb
c = −
2 1
Memasukkan nilai an dan bn dari persamaan (2.5) dan (2.6) didapat :
=
T
n f t n t dt
c T
0
cos 0
) 2 ( 2(
1 2 ( )sin )
0
0− T f t n t dt
jT
−
=T
f t n t j n t dtc
T
o o
n
0
) sin )(cos
1 (
−= T jn t
n f t e dt
c T o
0
)
1 (
Persamaan cn biasa ditulis :
−
= /2 − 2 /
) 1 T (
T
t jn
n f t e dt
c T o (2.24)
Deret Fourier ini memungkinkan menganggap hubungan yang sembarang menjadi fungsi tertentu agar bisa dianalisis lebih lanjut dengan Fast Fourier Transform. Perhitungan deret ini menjadi semakin cepat bila menggunakan komputer. Syarat yang harus dipenuhi oleh deret Fourier adalah bahwa sinyal itu harus deterministik dan periodik. Ini berarti bahwa suatu sinyal x(t) dengan perioda T, maka sinyal itu akan berulang pada x(t + T). Dengan kata lain kata lain bahwa sinyal itu akan selalu berulang pada suatu perioda tertentu sebelum dipenuhinya deret Fourier. Ini berarti sinyal itu harus dimulai dari minus tak berhingga sampai plus tak berhingga (- s/d +). Hal ini pada kenyataannya tidak pernah terjadi bagaimana mungkin suatu sinyal dapat dimulai dari minus tak berhingga ?. Untuk menjadikan persamaan matematik itu dapat digunakan secara praktek maka minus tak berhingga dapat diartikan sebagai awal sinyal itu ditangkap, dan plus tak berhingga diartikan sebagai akhir sinyal itu diputus. Pengambilan sampel dapat berupa fungsi yang disebut fungsi jendela (window).
- 500.00 1,000.00 1,500.00 2,000.00 2,500.00 3,000.00
0 10 20 30 40 50
JUMLAH OPERASI
JUMLAH DATA FFT : N log(N) DFT : N^2
Gambar 2.6. Jumlah operasional DFT dan FFT
Transformasi Fourier Cepat (Fast Fourier Transform) dapat digunakan untuk melihat frekuensi dan amplitudo suatu getaran yang
seperti segitiga, cosinusoidal, persegi, Hanning, Hamming dan masih banyak lagi bentuk. Maksud dari jendela ini untuk mengurangi kesalahan yang diakibatkan oleh adanya diskontunitas sinyal oleh pengambilan yang kenyataannya sebarang (tidak dapat dikondisikan bahwa setiap fungsi sinusoidal yang ada di dalamnya terambil/ terekam secara genap). Cara lain untuk mengurangi kesalahan oleh diskontinuitas sinyal dapat dilakukan dengan menambah data bernilai nol pada akhir pengambilan data. Cara ini akan meningkatkan ketelitian dalam domain frekuensi karena bertambahnya waktu total (Σ Δt). Namun demikian cara ini akan memberikan pengaruh pada peningkatan side lobe (kebocoran) di sekitar frekuensi utama dan sedikit berpengaruh pada ketelitian amplitudo. Oleh adanya asumsi bahwa -∞ dan +∞ dalam fungsi integral itu sama dengan saat memulai merekam dan mengakhiri data maka dalam hasil transformasi terdapat kelemahan yang kemudian dipelajari oleh banyak ahli diantaranya oleh Dirichlete (...) yang kemudian dikenal dengan Dirichlete Condition seperti berikut ini.
Sifat – sifat Discrete Fourier Transform adalah :
1. Semakin rendah waktu antara pengambilan data (sampling rate, t) maka semakin tinggi frekwensi cakupan yang didapat di dalam domain frekwensi. Maksimum frekwensi disebut sebagai frekwensi Nyquist (f Nyquist = 1/(2t)
2. Semakin panjang total waktu yang didapat, semakin baik ketelitian frekwensi yang didapat (f = 1/(t. N) dengan N = Jumlah data.
3. Kesalahan oleh pembulatan dapat terjadi bila ada kesalahan dalam pemilihan cakupan waktu (t. N) atau keterbatasan ketelitian A/D converter (bit resolution)
4. Bila jumlah data dalam setiap putaran kurang dari dua buah maka akan terjadi pelipatan/ penggeseran frekwensi, yaitu frekwensi yang dimaksud terlihat pada frekwensi lebih rendah (aliases).
5. Tidak setiap data lapangan yang dianalisis merupakan bentuk sinusoidal atau cosinusoidal oleh karenanya ada kemungkinan adanya frekwensi anakan/harmonik yang merupakan pelipatan dari frekwensi utamanya dengan amplitudo yang semakin menghilang bersamaan dengan
.
2.7. Kepekaan Frekuensi (frequency resolution)
Dalam spektrum frekuensi terdiri dari garis-garis (line spectrum) dengan jarak antara tertentu yang kemudian disebut resolusi/kepekaan frekuensi. Semakin kecil jarak antara line spectrum (∆t) akan semakin memberikan gambaran yang lebih baik terhadap sinyal yang terkandung dalam getaran tersebut (ketelitian berbanding terbalik dengan total waktu eksekusi). Semakin panjang waktu yang dianalisis (total time = Σ∆t) dalam suatu transformasi Fourier maka akan semakin peka spektrum itu. Bila dirumuskan secara matematik dapat ditulis sebagai berikut :
∆f = (1/Σ∆t) (2.25)
2.8. Frekuensi Nyquist (FN).
Frekwensi Nyquist adalah frekuensi tertinggi yang dapat dilihat di dalam domain frekuensi. Secara matematik Frekuensi Nyquist dituliskan sebagai berikut.
FN = 1/(2 x sampling rate) = 1/ (2.∆t) (2.26) Dari persamaan di atas dapat diketahui bahwa bila sampling rate semakin kecil maka FN (frekuensi Nyquist) semakin tinggi. Pengambila sampling rate disesuaikan dengan frekuensi yang akan diamati, dan tidak selalu pengambilan sampling rate yang terlalu rendah itu baik karena akan menyebabkan jumlah data yang semakin besar (memory yang dibutuhkan juga semakin besar) dan frekuensi yang sesungguhnya ingin diamati sering menjadi kurang jelas (kecuali disediakan memory yang sangat besar agar total waktu pengambilan data cukup untuk memberikan resolusi frekuensi yang dikehendaki). Sebagai contoh, jika suatu sinyal diambil datanya dengan sampling rate (∆t) = 0.0025 mili detik (2.5/1000 detik), maka Frekuensi Nyquist akan menjadi = 1000/(2x2,5) = 200 Hz.
2.9. Pelipatan Frekuensi (Aliasing)
Aliasing adalah fenomena bergesernya frekuensi suatu sinyal getaran menjadi lebih rendah yang diakibatkan oleh pemilihan interval waktu/
sini mengandung maksud bahwa seseorang yang ingin mengamati suatu sinyal harus mengetahui secara kasar lebih dahulu nilai frekuensinya, apabila tidak diketahui maka spektrum yang didapat tidak akan berarti.
Sebagai contoh di bawah ini, jika sinyal dengan frekuensi 25 Hz (perioda sinyal T = 1/f = 1/25 detik = 0,04 detik) maka sampling rate tidak boleh lebih besar dari setengah dari perioda frekuensi yang diamati yaitu (1/2).0,04 detik = 0,02 detik, atau dengan kata lain bahwa dalam satu perioda sinyal diperlukan jumlah data lebih dari 2 (dua). Bila dirumuskan secara matematik dapat ditulis bahwa sampling rate itu seperti berikut.
Sampling rate (Δt) ≤ T/2 (2.27)
dengan :
T = 1/fdiamati
Sebagai contoh disini akan diamati frekuensi sinyal 40 Hz (T = 0,025 detik). Sampling rate seharusnya Δt ≤ T/2 atau < 0,0125 detik. Bila Δt diambil sebesar 0,015625 detik > 0,0125 detik maka frekuensi Nyquist (FN) = 1/(2. Δt) = 1/(2.0,015625) = 32 Hz sedang yang ingin diamati 40 Hz. Tentu frekuensi itu tidak dapat dilihat dalam spektrum. Tetapi kenyataannya terlihat juga di frekuensi yang lebih rendah yaitu di 24 Hz.
Peristiwa ini disebut pelipatan frekuensi (aliasing). Peristiwa ini sering mengganggu dalam dunia telekomunikasi bila tidak dicegah dengan menggunakan tapis (filter). Menghitung kemungkinan munculnya frekuensi terlipat dapat ditulis secara matematik sebagai berikut.
Fterlipat = {FN – (f - FN)} = 2.FN – f (2.28)
Dalam contoh di atas maka frekuensi 40 Hz akan terlihat di frekuensi = 32 – (40-32) = 24 Hz. Bila dalam sinyal tersebut terdapat sinyal lain dengan frekuensi 25 Hz maka frekuensi itu akan tetap terlihat dengan benar karena sampling rate 0,015625 detik < T/2 = ½ .0,04 = 0,02 detik. Di bawah ini diberikan contoh bagaiman kedua frekuensi itu muncul bila FN = 32 Hz sedang frekuensi yang diamati 25 Hz dan 40 Hz (lihat Gambar 2.6).
Gambar 2.7. Fenomena aliasing frekuensi 40 Hz, (a) domain waktu, (b) domain frekuensi
6.11. Konvolusi (Convolution)
Secara umum konvolusi didefinisikan sebagai suatu proses mengalikan dan menjumlahkan dua fungsi/ deret sehingga menghasilkan deret baru. Secara matematik, konvolusi adalah suatu proses integral yang mencerminkan perkalian dan penjumlahan dari sebuah fungsi a, f(a) yang digeser atas fungsi b, f(b) sehingga menghasilkan fungsi c, f(c). Sehingga, konvolusi dari fungsi a dan b yang menghasilkan fungsi c dapat dituliskan sebagai berikut Σ f(a)*f(b) = f(c). Konvolusi dari dua fungsi a dan fungsi b dalam rentang terbatas [0, t] diberikan secara matematik oleh :
−=
=
t
d t b a b a c
0
) ( ) (
* (2.29)
secara diskrit dapat ditulis :
+=
−
=n k
n
n k b k a k
c
0
] [ ] [ ]
[ (2.30) Cntoh :
f(a) = [1, 2, 3] dan f(b) = [4, 5, 6] maka konvolusi f(a)* f(b). dilakukan dengan membalik fungís a (conjugate) atau fungsi b. Kemudian f(a) dikalikan dengan f(b) pada setiap kolomnya dan setelah itu dijumlahkan keseluruhannya.
Dalam Gambar 2.7 dapat dilihat bahwa hasil dari konvolusi f(c) = f(a)* f(b)
0 0.2 0.4 0.6 0.8 1 1.2
0 5 10 15 20 25 30 35
-2 -1.5 -1 -0.5 0 0.5 1 1.5 2
0 1 2 3 4 5
(akhir) adalah sama dengan jumlah elemen a ditambah jumlah elemen b dikurangi 1, yaitu = 3 + 3 - 1 = 5.
4 5 6
3 2 1 = 4x1 4
3 2 1 = 4x2 + 5x1 13
3 2 1 = 4x3 + 5x2 + 6x1 28
3 2 1 = 5x3 + 6x2 27
3 2 1 = 6x3 18
Gambar 2.8. Proses konvolusi
Menurut Bracewell, 1965, konvolusi di domain waktu (time domain) ekuivalen bila dilakukan dalam domain frekuensi akan sama dengan perkalian dari kedua fungsi tersebut dan sebaliknya konvolusi di domain frekuensi ekuivalen akan sama dengan perkalian di domain waktu dengan catatan fungsi f(a) dan f(b) dapat berbeda atau sama.
6.12. Korelasi Silang (Cross Correlation) dan Korelasi Diri (Auto Correlation).
Secara matematik proses korelasi silang (Cross Correlation) dapat ditulis sebagai berikut :
−
=
− − +=
0 )
(
0 ) .
(
* 1
0
*
m m
R
m b m m a
R
ba m N
n
n n
ab
(2.31)
Dimana a dan b adalah fungsi yang memiliki panjang N dengan (N > 1), m
= 1, ..., 2N-1. dan b* adalah kebalikan (conjugate) dari b. Perbedaan antara cross correlation dan auto correlation terletak pada data yang dikonvolusikan. Cross correlation adalah konvolusi dari dua data yang berbeda sedang auto correlation adalah konvolusi dari dua data yang sama.
Jika panjang salah satu data tidak sama maka bagian yang kosong dari data yang pendek di-nol kan sampai panjangnya sama. Contoh cross correlation misalnya fungsi f(a) = [1, 2, 3] dan f(b) = [4, 5, 6]. Hasil cross correlation antara fungsi a dan b diperoleh : [6, 17, 32, 23, 12], lihat Gambar 5.8.
Bila auto-correlation dilakukan pada fungsi f(a) = [1, 2, 3] maka hasilnya merupakan korelasi dari sebuah vektor dengan dirinya sendiri, contoh di
bawah ini menunjukkan fungsi f(a) = [1, 2, 3] akan menghasilkan [3, 8, 14, 8, 3], lihat Gambar 2.9.
1 2 3
4 5 6 = 1x6 6
4 5 6 = 1x5 + 2x6 17
4 5 6 = 1x4 + 2x4 + 3x5 32
4 5 6 = 2x4 + 3x5 23
4 5 6 = 3x4 12
Gambar 2.9. Proses cross correlation
1 2 3
1 2 3 = 1x3 3
1 2 3 = 1x2 + 2x3 8
1 2 3 = 1x1 + 2x2 + 3x3 14
1 2 3 = 2x1 + 3x2 8
1 2 3 = 3x1 3
Gambar 2.10. Proses auto correlation
6.13. Ayunan (Beating)
Ayunan atau beating adalah proses interferensi Bila frekuensi dari suatu sinyal berdekatan dengan frekuensi dari sinyal lain, maka akan terjadi proses penjumlahan (amplitudo meningkat) dan pengurangan (amplitudo menurun) secara berulang. Fenomena ini dikenal sebagai ayunan (beating).
Dua sinyal itu suatu saat berada pada suatu fase yang sama akan saling menguatkan, tetapi pada saat lain akan saling menghilangkan.
Perhatikan persamaan berikut :
1 2 1 2
1 2
cos (2. . . ) cos (2. . . ) 2.cos (2. . . ).cos (2. . . )
2 2
f f f f
f t f t t t
+
=
+
−1 2 1 2
1 2
cos (2. . . ) cos (2. . . ) 2.cos (2. . . ).cos (2. . . )
2 2
f f f f
f t f t t t
+
=
+
−Bila f1 dan f2 sama maka f1 - f2 akan sama dengan nol sehingga
1 2
cos (2. . . ) 1 2
f f
− t = dan sinyal getaran akan bergerak dengan amplitudo-6 -4 -2 0 2 4 6
0 0.1 0.2 0.3 0.4 0.5 0.6 0.7 0.8 0.9 1 1.1 1.2 1.3 1.4 1.5 1.6 1.7 1.8 1.9 2 2.1 2.2 2.3 2.4
f(a) f(a)+f(b)
Waktu (detik)
Amplitudo (mm)
Gambar 2.11. Sinyal dengan f1 = 5Hz, A1 = 2mm dan f2 = 5Hz, A2 = 2mm
-6 -4 -2 0 2 4 6
0 0.1 0.2 0.3 0.4 0.5 0.6 0.7 0.8 0.9 1 1.1 1.2 1.3 1.4 1.5 1.6 1.7 1.8 1.9 2 2.1 2.2 2.3 2.4
f(a) f(a)+f(b)
Waktu (detik)
Amplitudo (mm)
Gambar 2.12. Sinyal dengan f1 = 5Hz, A1 = 2mm dan f2 = 4Hz,A2 = 2mm
Sebaliknya bila cos (2. . 1 2. ) 0 2
f f
− t = maka kedua sinyal f1 pada f2 akan saling mengilangkan atau disebut (out of phase). Jadi, peristiwa ayunan bergantung pada seberapa besar perbedaan antara f1 pada f2. Bila perbedaan itu cukup besar maka ayunan itu tidak akan terasa, dan sebaliknya.-6 -4 -2 0 2 4 6
0 0.1 0.2 0.3 0.4 0.5 0.6 0.7 0.8 0.9 1 1.1 1.2 1.3 1.4 1.5 1.6 1.7 1.8 1.9 2 2.1 2.2 2.3 2.4
f(a) f(a)+f(b)
Waktu (detik)
Amplitudo (mm)
Gambar 2.13. Sinyal dengan f1 = 5Hz, A1 = 2mm dan f2 = 4,5Hz,A2 = 2mm
Sinyal dari suku pertama, yaitu f(a) = 2 cos (2. . 1 2. ) 2
f f
+ t selalu ada dan tetap amplitudonya, tetapi sinyal dari suku kedua yaitu f(b) =1 2
cos (2. . . ) 2
f f
− t berayun berantung pada beda nilai antara f1 pada f2Sehingga bila f beat = f1 - f2 semakin kecil maka ayunan akan dirasakan semakin sering → frekuensi ayunan makin besar, dan sebaliknya (lihat Gambar 2.11 dan 2.12)
6.14. Filter/ Tapis (Analog dan Digital)
Tapis (filter) adalah sebuah sistem atau jaringan yang dapat secara selektif melewatkan sinyal yang diinginkan/ menghentikan sinyal yang tidak diinginkan, merubah karakteristik sinyal berdasarkan frekuensi yang diinginkan. Secara umum tujuan dari pentapisan adalah untuk meningkatkan kualitas dari sebuah sinyal dengan mengabaikan sinyal lain yang tidak diperlukan, sebagai contoh untuk menghilangkan atau mengurangi noise yang dibawa oleh sinyal yang menjadi fokus perhatian atau untuk memisahkan dua atau lebih sinyal yang sebelumnya menyatu dalam satu sinyal.
Filter dapat berbentuk analog (rangkaian dari komponen elektronik seperti resistor, R dan kapasitor, C untuk frekuensi rendah dan menggunakan induktor, L dan kapasitor,C untuk frekuensi tinggi), tetapi juga dapat berbetuk digital, yaitu suatu persamaan binomial pangkat tinggi. Filter analog sudah banyak ditinggalkan karena untuk mendapatkan hasil yang baik sering diperlukan kualitas material yang tidak mudah didapat di pasaran. Tapis digital dapat dilakukan dengan lebih mudah, lebih cepat karena proses konvolusi dalam domain waktu dapat diubah menjadi proses perkalian dalam domain frekuensi dengan mengimplementasi algoritma matematik ke dalam perangkat keras dan/atau perangkat lunak yang beroperasi pada sebuah input sinyal digital untuk menghasilkan sebuah output sinyal digital agar tujuan pentapisan tercapai. Filter digital memainkan peranan yang sangat penting dalam pemrosesan sinyal digital (Endra dan Fauzie, 2004).
Terdapat beberapa macam tapis yaitu : tapis tengah (band pass), tapis bahwa (low pass / high cut) dan tapis atas (high pass / low cut).
Gambar di bawah menunjukkan ketiga jenis filtering, baik dalam basis waktu (time domain) maupun basis frekuensi (frequency domain).
Gambar 2.13. Fungsi tapis dalam domain frekwensi
(https://www.seeedstudio.com/blog/2020/06/11/the-basics-of-filters-and-the-different-types- of-filters/.)
Tanda A, B, C dan D pada band pass filter merupakan frekwensi sudut (corner frequency). Secara matematik, operasi pentapisan merupakan konvolusi dalam kawasan waktu antara gelombang mentah dan fungsi filter di atas dan perkalian dalam kawasan frekuensi.
DAFTAR PUSTAKA
[1] Afriandini, B., 2016. Analisis Respon Dinamik Getaran Mikro Gedung Asrama Mahasiswa Kinanti UGM. Yogyakarta: Departement of Civil and Environmental Engineering, Faculty of Engineering, Universitas Gadjah Mada, Master Thesis.
[2] Apriansyah, R., 2010. Karakteristik Dinamik Hotel Ambarukmo Menggunakan Data Seismometer. Yogyakarta: Departement of Civil and Environmental Engineering, Faculty of Engineering, Universitas Gadjah Mada, Master Thesis.
[3] Ariyani, I., 2016. Analisis Mikrotremor Gedung Asrama Sendowo (Prediksi Ketahanan Struktur Terhadap Beban Gempa). Yogyakarta: Departement of Civil and Environmental Engineering, Faculty of Engineering, Universitas Gadjah Mada, Master Thesis.
[4] Bahri, A.S., Utama, W., Aini D.N., and Lutfie, M.N., 2016, Valuation of Building strength against earthquake Vibrations using Microtremor Analysis (case study: the city of Surabaya), International Symposium on Geophysical Issues IOP Publishing IOP Conf. Series: Earth and Environmental Science 29 (2016) 012018 doi:10.1088/1755- 1315/29/1/012018
[5] Dwi Purwantoro Sasongko, Gatot Yuliyanto, and Zaenal Arifin, 2019, Vibration Vulnerability Identification in Kota Lama Semarang using Microtremor Method, Indonesian Journal of Applied Physics (2019) Vol.
9 No.2 page 105
[6] Halisa and Priyosulistyo, H., 2011. The Structural Dynamic Behavior of Building with Asymmetric Plan and Dilatation by Means of Microtremor Analysis, Proceedings of the 4th ASEAN Civil Engineering
Conference,Yogyakarta, 22-23 November 2011
[7] Hakas Prayuda, Berkat Cipta Zega, Henricus Priyosulistyo, 2017, Prediction of Allowable Lateral Ground Acceleration (in-Plane Direction) of Confined Masonry Walls Using Ambient Vibration (microtremor) Analysis, Science Direct Procedia Engineering 171 ( 2017 ) 1194 – 1203 [8] Halisa, dan Priyosulistyo, H., 2011, The Structural Dynamic Behavior
of Building with Asymmetric Plan and Dilatation by Means of Microtremor Analysis (A Case Study on Dental Clinic Building of GMU), The 4th ASEAN Civil Engineering Conference
International, 22-23 November, Yogyakarta, Indonesia
[9] Margarita, M., and Filippos, V., 2017. Microtremors for seismic response assessments of important modern and historical structures of Crete, AIP
[10] Nakamura, Y., Gurler, E. D., Saita, J., Rovelli, A., Donati, S., 2000.
Vulnerability Investigation of Roman Colosseum Using Microtremor, Prepared for 12th WCEE 2000 in Auckland, NZ. 2660/6/A
[11] Nakamura, Y., 1997. Seismic Vulnerability Indices for Ground and Structures Using Microtremor, World Congress on Railway Research in Florence, Italy, November.
[12] Nakamura, Y., 2000. Clear identification of fundamental idea of Nakamura's technique and its applications, Proc. XII World Conference, Earthquake Engineering, New Zealand paper no. 2656.
[13] Nakamura, Y., Characteristic of H/V Spectrum, System and Data Research., 3-25-3 Fujimidai, Kunitachi-shi, 186-0003, Tokyo
[14] Priyosulistyo, H., Atika U.J., Halisa, Widowati, A.C., 2012. Effect of Change of Stiffness and Damping on the Strength Prediction of Reinforced Concrete Building Structures Using Microtremor Analysis, Proceeding Seminar, on the 1st International Conference on Sustainable Civil Engineering Structures and Construction Materials (SCESCM), Yogyakarta, 11-13 September 2012
[15] Priyosulistyo, H., Widowati, A.C., Atika U.J., 2008. Prediction of Strength and Structural Behaviour of Asymmetric Buildings Using Microtremor - Learning from Vulnarability Indices, Procceeding Seminar on the Two Year Reconstruction of Bantul Earthquake, Civil Engineering Department of UII, Yogyakarta
[16] Priyosulistyo, H., 2010, Dynamic Behavior of a Three Storey Building Based on Microtremor Analysis (a case study on building with asymmetric plan and possible soft storey effect), The 3rd ASEAN Civil Engineering Conference, November, Manila, Philippine
[17] Priyosulistyo, H., 2010, Prediction of Strength and Structural Behaviour of Asymmetric Buildings Using Microtremor - Learning from Vulnarability Indices, Proceeding Seminar on the 3rd ACEC Seminar, AUN SEED NET, Manila
[18] Rodriguez, M., and Park, R., 1990, Lateral Load Response of Reinforced Concrete Columns Strengthened by Jacketing, New Zealand
[19] Timur, E., Ozicer, S., Sari, C.,Uyanik, O., 2015. Determination of Buildings Period and Vulnerability Index using Microtremor Measurement, the 8th Congress of the Balkan Geophysical Society 5-8 October, Chania, Greece
Bibliography
[1] Badan Standarisasi Nasional. 1989. SNI 03-1727-1989 Pedoman
[2] Badan Standarisasi Nasional. 2012. SNI 1726:2012 Tata Cara Perencanaan Ketahanan Gempa Untuk Struktur Bangunan Gedung dan Non gedung.
Jakarta: BSN.
[3] Badan Standarisasi Nasional. 2013. SNI 1727:2013 Beban Minimum Untuk Perancangan Bangunan Gedung dan Struktur Lain. Jakarta: BSN.
[4] Ramirez, R. 1985, The FFT Fundamentals and Concepts, Prentice-Hall Inc, New Jersey, USA.
[5] Zaslavsky, Y., 2004, Microzoning of the Earthquake Hazard in Israel, November, Earth Science and Research Administration Nation Ministry of Infrastructures and the Ministry of Absorption, Contract Number : 23-17- 023