UU PLP NO.23 TAHUN 2022 BAB 5 & 6
LAYANAN PSIKOLOGI &
ORGANISASI PROFESI
KELOMPOK 3
• Friska (241804002)
• Cici (241804006)
• Sekar (241804019)
UU PLP NO.23 TAHUN 2022- Bab 5 dan Bab 6 2
PENDAHULUAN
• Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2022 tentang Pengelolaan Layanan Psikologi dan Organisasi Profesi (PLP) merupakan langkah signifikan dalam pengaturan dan pengembangan profesi psikologi di Indonesia. Dengan mengatur berbagai aspek layanan psikologi, undang-undang ini bertujuan untuk meningkatkan kualitas layanan psikologi, melindungi masyarakat, serta memberikan landasan hukum bagi para profesional di bidang psikologi. Dalam konteks ini, Bab 5 dan 6 dari undang-undang ini menjadi fokus utama, karena membahas layanan psikologi dan organisasi profesi secara lebih mendalam.
• Layanan psikologi di Indonesia memiliki peranan penting dalam mendukung kesehatan mental masyarakat. Berdasarkan data dari World Health Organization (WHO), diperkirakan 1 dari 4 orang mengalami masalah kesehatan mental di sepanjang hidup mereka (WHO 2021). Hal ini menunjukkan bahwa kebutuhan akan layanan psikologi yang profesional dan berkualitas sangat mendesak.
Undang-Undang PLP No. 23 Tahun 2022 memberikan kerangka kerja yang jelas untuk penyelenggaraan layanan psikologi yang efektif dan efisien.
• Bab 5 dari undang-undang ini mengatur tentang layanan psikologi, yang
mencakup berbagai aspek, mulai dari definisi layanan psikologi, jenis-jenis
layanan yang disediakan, hingga tanggung jawab dan kewajiban para penyedia
layanan. Misalnya, layanan psikologi dapat mencakup konseling, terapi, dan
evaluasi psikologis. Dalam konteks ini, penting untuk memastikan bahwa para
psikolog memenuhi standar kompetensi yang ditetapkan agar dapat memberikan
layanan yang berkualitas kepada masyarakat.
UU PLP NO.23 TAHUN 2022- Bab 5 dan Bab 6 3
PENDAHULUAN
• Selanjutnya, Bab 6 membahas tentang organisasi profesi psikologi. Organisasi profesi berperan penting dalam pengembangan dan pengaturan profesi psikologi di Indonesia. Melalui organisasi ini, para profesional dapat berkolaborasi, berbagi pengetahuan, dan meningkatkan kompetensi mereka. Selain itu, organisasi profesi juga berfungsi sebagai wadah untuk advokasi dan perlindungan hak-hak psikolog serta masyarakat yang membutuhkan layanan psikologi.
• Dalam implementasinya, undang-undang ini diharapkan dapat meningkatkan akses masyarakat terhadap layanan psikologi yang berkualitas. Namun, tantangan tetap ada, terutama dalam hal penyebaran informasi dan pemahaman masyarakat mengenai pentingnya kesehatan mental.
Menurut survei yang dilakukan oleh Kementerian Kesehatan, hanya sekitar 30% masyarakat yang memahami pentingnya layanan kesehatan mental (Kemenkes 2022) Oleh karena itu, edukasi dan sosialisasi mengenai undang-undang ini sangat penting untuk dilakukan.
• Selain itu, undang-undang ini juga memberikan peluang bagi pengembangan penelitian dan inovasi dalam bidang psikologi. Dengan adanya regulasi yang jelas, para akademisi dan peneliti dapat melakukan studi yang lebih mendalam mengenai isu-isu kesehatan mental yang dihadapi masyarakat. Data dan temuan dari penelitian ini diharapkan dapat digunakan untuk merumuskan kebijakan yang lebih baik dalam bidang kesehatan mental.
UU PLP NO.23 TAHUN 2022- Bab 5 dan Bab 6 4
PENDAHULUAN
•
Dalam konteks global, perkembangan layanan psikologi juga tidak terlepas dari pengaruh teknologi. Telepsikologi, misalnya, semakin populer sebagai alternatif dalam memberikan layanan psikologi. Menurut sebuah studi yang diterbitkan dalam "Journal of Telemedicine and Telecare", penggunaan telepsikologi dapat meningkatkan akses layanan bagi individu yang berada di daerah terpencil (López, A. M. 2020). Oleh karena itu, undang-undang ini perlu mengakomodasi perkembangan teknologi dalam penyelenggaraan layanan psikologi.
•
Secara keseluruhan, Undang-Undang PLP No. 23 Tahun 2022 merupakan langkah maju dalam pengaturan layanan psikologi dan organisasi profesi di Indonesia. Dengan adanya regulasi yang jelas, diharapkan dapat meningkatkan kualitas layanan, melindungi masyarakat, dan memajukan profesi psikologi di tanah air. Namun, implementasi yang efektif dari undang-undang ini memerlukan kerjasama antara pemerintah, organisasi profesi, dan masyarakat.
•
Dalam makalah ini, akan dibahas lebih lanjut mengenai Bab 5 dan 6 dari Undang-Undang PLP No. 23 Tahun 2022, dengan fokus pada layanan psikologi dan organisasi profesi.
Pembahasan akan mencakup berbagai aspek, termasuk tantangan dan peluang yang
dihadapi dalam implementasi undang-undang ini. Diharapkan, makalah ini dapat
memberikan wawasan yang lebih mendalam mengenai pentingnya regulasi dalam
pengembangan layanan psikologi di Indonesia.
LANDASAN TEORI:
UU PLP No.23 Tahun 2022 Bab 5 dan Bab 6
Presentation title 5
KASUS DAN PEMBAHASAN
Presentation title 6
KASUS 1
KASUS PSIKOLOG SHERLY SOLIHIN
https://news.okezone.com/read/2013/10/02/500/875317/diduga-
langgar-kode-etik-psikolog-digugat-ke-pn-jaksel
8
JAKARTA - Seorang psikolog Sherly Solihin dan klinik tempatnya bekerja yakni ICAC Profesional Service digugat ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.
Mereka digugat lantaran diduga telah melanggar kode etik psikolog.
Gugatan ini menyusul gagalnya dalam proses mediasi oleh PN Selatan antara pihak tergugat yakni Sherly dan ICAC dengan pihak penggugat seorang warga negara (WN) Australia bernama Denis Anthony Michael Keet.
Pengaduan tersebut disebabkan pihak tergugat telah mengeluarkan rekam medis dari proses konseling perceraian antara pihak tergugat dan penggugat Denis
beserta istrinya Yeane Sailan. "Kita sudah kirim somasi, tapi tidak ada tanggapan positif. Kita sebenarnya hanya minta maaf dan cabut dari tergugat tapi tidak ada.
Jadi kita adukan ke pengadilan. Mereka anggap yang dilakukan sesuai prosedur.
Tapi prosedur yang mana? ICAC kan berprinsip menjaga kerahasian. Tapi
ternyata tidak menjaga kerahasian klien kami," jelas kuasa hukum Denis, Andru Bimaseta Siswodihardjo, di Jakarta, Rabu (2/10/2013).
Menurutnya, ICAC dan Sherly secara nyata telah melanggar kode etik psikolog, dengan mengeluarkan rekam medis hasil konseling. Upaya mediasi sebelumnya telah dilakukan pekan lalu di PN Selatan, namun gagal lantaran pihak ICAC dan Sherly bersikukuh tidak bersalah terkait proses keluarnya rekaman medis yang sejatinya bersifat rahasia. "Padahal dalam konseling yang dilakukan, tidak pernah membahas soal anak, apalagi soal yang dituliskan oleh pihak ICAC. Di mana dikeluarkan Luke telah mengalami gangguan kecemasan yang disebabkan pengalaman buruk masa lalunya atau penyekapan oleh ayahnya pada 20 Mei 2012," terang Andru. Kliennya pun merasa telah dirusak nama baiknya karena dalam rekam medis yang dikeluarkan oleh ICAC melalui dokter Sherly,
tercantum nama Denis telah melakukan penyekapan dan penyiksaan terhadap anaknya, Luke Xavier Keet. Andru menambahkan, kliennya tersebut tidak pernah meminta surat rekam medis dari klinik, namun ICAC justru
mengeluarkannya tanpa izin. "Kami sudah minta pendapat kepada pihak
organisasi psikolog, dan menyatakan apa yang dilakukan Sherly dan ICAC
salah. Itu akan jadi bahan masukkan kami," tukasnya.
9 Pembahasan:
Dari kasus di atas menunjukkan adanya potensi pelanggaran terhadap beberapa pasal pada UU PLP No.23 tahun 2022:
Pasal 27
Pasal ini membahas mengenai persetujuan layanan psikologi. Pada kasus di atas, psikolog tersebut membagikan informasi atau hasil layanan psikologi tanpa persetujuan klien serta terdapat pula beberapa hal yang tidak sesuai dengan fakta ketika konseling dilakukan, hal ini melanggar ketentuan bahwa layanan psikologi harus didasarkan pada persetujuan klien. Jika dalam konteks penegakan hukum maka hal itu bisa saja dikecualikan. Namun, jika informasi diberikan tanpa dasar hukum yang jelas, maka bisa dianggap sebagai pelanggaran.
Pasal 37
Dari kasus diatas, psikolog dan klinik nya juga melanggar pasal 37 dimana tidak melakukan prosedur penyimpanan laporan rekam medis dengan baik serta melanggar standar etika psikologi Indonesia, dimana psikolog dan kliniknya dengan berkesadaran membocorkan rekam medis atau informasi psikologi tanpa izin.
Pasal 42 dan 44
Pada kasus di atas juga melanggar pasal 42 terkait psikolog yang tidak bersifat profesional dimana dia menambahkan hal-hal mengenai kliennya yang tidak sesuai dengan saat konseling serta melanggar kewajiban psikolog dalam hal kerahasiaan dan menghormati hak klien. Jaminan kerahasiaan kondisi serta data dari klien merupakan hak dari klien.
• Jadi dapat disimpulkan bahwa dari kasus tersebut, Psikolog Dr Sherlly Solihin, PsyD dan klinik ICAC Professional Service melakukan pelanggaran UU No.23 tahun 2002.
KASUS 2
Menyoal Status Profesional Novita Tandry sebagai Psikolog
11
Kasus yang melibatkan Novita Tandry pertama kali mencuat setelah sejumlah tuduhan beredar
di media sosial, khususnya di platform seperti Threads dan X (sebelumnya Twitter). Novita,
yang dikenal sebagai "psikolog anak dan remaja" dengan banyak kemunculan di media untuk
memberikan komentar tentang masalah parenting dan kasus criminal. Namun, belakangan
muncul tuduhan di media sosial, khususnya di media sosial thread, bahwa Novita diduga tidak
memiliki STR (Surat Tanda Registrasi) dan SILP (Surat Izin Praktik Psikologi), yang wajib
dimiliki oleh setiap psikolog profesional di Indonesia sesuai Undang-Undang No. 23 Tahun
2022. Selain itu, ia juga disebut tidak terdaftar sebagai anggota HIMPSI maupun IPK
Indonesia, dua organisasi resmi dalam bidang psikologi. Klaim pendidikannya pun menuai
kontroversi, karena gelar S2 dan PhD yang diakuinya dari University of New South Wales
(UNSW), Australia, tidak dapat diverifikasi, dan tidak ditemukan riwayat pendidikan profesi
psikologi yang sah. Jika seluruh tuduhan ini terbukti benar, maka praktik yang dijalankan
Novita Tandry dapat dikategorikan sebagai ilegal dan melanggar etika profesi, serta berisiko
menyesatkan atau merugikan masyarakat yang menerima layanannya
12
Dari isu di atas, yang menjadi sorotan adalah bila memang yang bersangkutan merupakan psikolog lulusan dari luar negeri maka sesuai dengan UU PLP No.23 tahun 2022 pasal 38 maka ia seharusnya melakukan penyetaraan kompetensi sehingga bisa mendapatkan STR ataupun SILP agar dapat berpraktek di Indonesia. Tuduhan bahwa gelarnya tidak terverifikasi menambah keraguan terhadap kepatuhannya pada aturan ini.
Tanpa STR dan SILP, Novita tidak berhak memberikan layanan psikologi seperti konsultasi, psikoedukasi, atau intervensi psikologis. Jika ia melakukannya, ini melanggar Pasal 25 dan Pasal 26, dengan potensi sanksi administratif seperti denda atau larangan praktik.
HIMPSI adalah otoritas utama untuk registrasi psikolog. Ketidakterdaftaran Novita di HIMPSI menunjukkan bahwa ia tidak diakui sebagai psikolog resmi, sehingga klaimnya sebagai psikolog tidak sah.
IPK Indonesia, meski tidak disebut eksplisit dalam UU PLP No.23 tahun
2022, relevan untuk psikolog klinis. Ketidakterdaftaran di IPK memperkuat
dugaan bahwa Novita tidak memiliki kompetensi klinis, terutama jika ia
menangani kasus klinis.
13
A. Kasus 1 – Pelanggaran Kerahasiaan Rekam Medis oleh Psikolog dan Klinik (ICAC & Sherly Solihin)
Kesimpulan:
Dalam kasus ini, psikolog Sherly Solihin dan klinik tempatnya bekerja, ICAC Professional Service, diduga telah melakukan pelanggaran terhadap prinsip dasar kerahasiaan klien, yang menjadi salah satu pilar penting dalam kode etik profesi psikologi. Berdasarkan UU No. 23 Tahun 2022 tentang Praktik Layanan Psikologi, terdapat beberapa pelanggaran pasal, yaitu:
Pasal 27 mengenai persetujuan layanan psikologi, yang menekankan bahwa informasi hasil layanan psikologi tidak boleh diberikan tanpa persetujuan klien. Dalam kasus ini, rekam medis dikeluarkan tanpa persetujuan Denis, yang merupakan bagian dari konseling bersama mantan istrinya.
Pasal 37, yang berkaitan dengan penyimpanan laporan psikologi dan pelaksanaan layanan sesuai standar, dilanggar karena rekam medis bocor kepada pihak luar tanpa landasan hukum yang sah dan prosedur yang benar.
Pasal 42 dan 44, yang menjelaskan kewajiban menjaga kerahasiaan, bersikap profesional, serta menjamin hak klien atas privasi dan informasi yang benar, juga dilanggar karena adanya informasi tambahan dalam rekam medis yang tidak pernah disampaikan dalam sesi konseling, serta berpotensi mencemarkan nama baik klien.
• Dengan demikian, tindakan psikolog dan klinik dalam kasus ini mencerminkan pelanggaran kode etik profesional, terutama dalam aspek kerahasiaan, profesionalitas, dan hak klien atas informasi, serta bertentangan dengan prinsip-prinsip etis yang dijunjung tinggi oleh profesi psikologi.
KESIMPULAN
14 A. Kasus 2 – ( Menyoal Status Profesional Novita Tandry sebagai Psikolog)
Kasus yang melibatkan Novita Tandry menimbulkan sejumlah pertanyaan serius terkait legalitas dan etika profesional dalam praktik psikologi di Indonesia. Berdasarkan tuduhan yang beredar:
Ketidakjelasan Legalitas Praktik: Jika benar bahwa Novita Tandry tidak memiliki STR (Surat Tanda Registrasi) dan SILP (Surat Izin Praktik Psikologi), maka secara hukum ia tidak memiliki hak untuk memberikan layanan psikologi di Indonesia. Hal ini merupakan pelanggaran terhadap UU Praktik Psikologi No. 23 Tahun 2022, khususnya Pasal 25 dan 26.
Ketidakterdaftaran di Organisasi Profesi: Tidak terdaftarnya Novita di HIMPSI dan IPK Indonesia, dua organisasi resmi bagi psikolog dan psikolog klinis, mengindikasikan bahwa ia tidak diakui sebagai psikolog resmi di Indonesia.
Kontroversi Pendidikan: Klaim gelar dari UNSW Australia yang tidak terverifikasi serta tidak adanya catatan pendidikan profesi psikologi semakin memperkuat dugaan bahwa latar belakang keilmuannya tidak memenuhi standar kompetensi profesional psikolog, baik secara akademik maupun secara etik.
Pelanggaran Etik dan Administratif: Bila Novita tetap melakukan layanan psikologi seperti konsultasi, intervensi, atau psikoedukasi tanpa STR dan keanggotaan resmi, maka tindakan tersebut dapat dianggap sebagai praktik ilegal dan dapat dikenakan sanksi administratif, termasuk denda atau larangan praktik.
Jika seluruh tuduhan tersebut terbukti benar, maka klaim Novita Tandry sebagai psikolog tidak sah secara hukum maupun etik profesi. Hal ini sangat merugikan publik karena berpotensi menyesatkan dan membahayakan klien yang membutuhkan layanan psikologi profesional. Kasus ini juga menyoroti pentingnya verifikasi kompetensi dan latar belakang profesional bagi siapa pun yang mengaku sebagai praktisi psikologi di Indonesia. Untuk melindungi masyarakat dari potensi penyalahgunaan wewenang profesi.
KESIMPULAN
15
Kedua kasus di atas menunjukkan pentingnya kepatuhan terhadap kode etik dan peraturan perundang-undangan dalam praktik psikologi. Baik pelanggaran terhadap kerahasiaan klien, kompetensi profesional, maupun legalitas praktik psikologi, semuanya dapat berdampak buruk terhadap kepercayaan masyarakat, kesejahteraan klien, dan kredibilitas profesi psikologi itu sendiri. Oleh karena itu, setiap psikolog dituntut untuk selalu bertindak profesional, beretika, serta mematuhi ketentuan hukum yang berlaku demi menjaga integritas dan kualitas layanan psikologi.
KESIMPULAN
Thank you