• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA

2.2 LANDASAN TEORI

2.2.3 Unsur-Unsur Intrinsik Syair

2.2.3.1 تفطاعنا /al-‘āṭifatu/ Rasa

Dalam lirik lagu terdapat rasa yang bermaksud menimbulkan perasaan seseorang yang diwujudkan oleh rangkaian kata yang dapat menjadi emosi pembaca. Rasa berarti perasaan, emosi, penderitaan, dan menikmati. Ada dua istilah yang seringkali disamakan dengan rasa yaitu feeling dan emosi. Feeling ialah sikap seorang penyair terhadap pokok permasalahan atau obyeknya, sedangkan emosi adalah keadaan batin yang kuat, yang memperlihatkan kegembiraan, kesedihan, keharuan, atau keberanian yang bersifat subyektif (Muzakki, 2011: 75).

Artinya rasa sedih muncul ketika penderitaan dan kesengsaraan mendera kehidupan seseorang dan rasa senang muncul ketika kesenangan dan kenikmatan dirasakan oleh seseorang.

31

Berikut contoh

خ فطبؼىا

/al-„āṭifatu/ rasa dalam syair

بثس بث ذِٞضس

/raḍītu

billahi rabba/ oleh Maher Zain (Assa‟adah: 2018) :

بثس بث ذِٞضس

/ Raḍītu Billahi Rabba/ „Aku Rida Allah Subhanahu wata'ala sebagai Tuhanku‟.

Syair ini menjelaskan tentang penerimaan manusia terhadap Tuhan Ilahi Rabbi. Rasa penerimaan itu tampak pada kata

ذِٞضس

/raḍītu/ „aku rida‟. Rida memiliki arti menerima, berkenan, rela, suka, senang hati. Sesuatu yang kita terima adalah hal yang kita lakukan dengan senang hati dan menyukainya. Segala penerimaan yang dirasakan oleh manusia itu berasal dari hati, kemudian akan dilaksanakan dengan sikap dan tindakan sebagai wujud dari apa yang dirasakan oleh hati tersebut. Wujud dari rasa rida akan melahirkan rasa mencintai, beriman, menyembah, takut, bertawakal, memohon pertolongan dan berharap kepada-Nya serta merendahkan diri dihadapan-Nya. Maka inilah yang dimaksud dengan rida kepada Allah. Segala tindakan dalam menjalankan kewajiban dan menghindari kemaksiatan adalah wujud dari rasa rida yang merupakan penerimaan atau rasa berkenan yang dirasakan seorang hamba kepada Tuhannya. Maka

خفطبؼىا

/al-„āṭifatu/ rasa yang didalam syair diatas adalah keridaan yang dirasakan hati seorang hamba kepada Allah.

Sebuah karya sastra memiliki ukuran-ukuran nilai rasa maka dalam mengetahui dan menilai sastra,

خفطبؼىا

/al-„āṭifatu/ rasa terdiri dari: (a)

خفطبؼىا ذص

/shidq

al-„athifah/ kebenaran rasa, (b)

خفطبؼىا ح٘ق

/quwah al-`aṭifah/ kekuatan rasa, (c)

خفطبؼىا

ذجث

/tsabat al-`aṭifah/ kelanggenggan rasa (d)

خفطبؼىا غْر

/tanawu al-`aṭifah/ ragam rasa (e)

خفطبؼىا َ٘س

/sumuw al-`aṭifah/ tingkat rasa.

32

2.2.3.1.1

تفطاعنا قذص

/shidq al-‘athifah/ Kebenaran Rasa

Maksudnya rasa itu timbul dengan sebenarnya, tidak dibuat-buat sehingga rasa tersebut dapat memberikan nilai yang kekal dalam sebuah karya sastra.

Misalnya, kematian seorang anak dapat membangkitkan rasa sedih, kemenangan dalam perjuangan dapat menimbulkan rasa gembira, dan seterusnya (Muzakki, 2011:

76).

Berikut contoh kebenaran rasa

( خلافطبؼىا ذلاص)

/shidq al-„athifah/ dalam syair

بثس بث ذِٞضس

/raḍītu billahi rabba/ oleh Maher Zain (Assa‟adah: 2018) :

كبضس ٜزٝبغ ٜثس كبَح ٜف

/fi hamāka rābbi ghāyāthi riḍhāka/ „Di dalam perlindunganmu Tuhanku, tujuanku adalah keridaan-Mu‟.

Pada syair diatas terdapat

خفطبؼىا ذص

/shidq al-„athifah/ kebenaran rasa yang bisa dirasakan pembaca, yang menyatu dan kekal dalam kenyakinan dan pengharapan kepada Tuhan yaitu pada kata

كبَح

/hamāka/ „perlindunganmu‟ dan

كبضس

/riḍhāka/ „keridaanmu‟. Syair mengungkapkan tentang seorang hamba yang meletakkan perlindungan atas dirinya kepada Tuhannya dan menjadikan tujuan hidupnya adalah untuk menggapai keridaan dari Tuhannya. Pada kata

كبَح

/hamāka/

„perlindunganmu‟ berarti sebagai tempat berlindung, melindungi diri dari kejahatan dan keburukan. Di dalam sebuah perlindungan kita mendapatkan perawatan, pemeliharaan, penjagaan dan pengamanan yang menimbulkan rasa aman. Apabila seseorang mengatakan „perlindunganmu Tuhanku‟ maka ada kenyakinan yang besar yang sungguh berasal dari hatinya kepada Tuhannya bahwa orang itu yakin Tuhannya menjaganya, memelihara dan memberikan pengamanan pada dirinya jauh dari segala bahaya. Hal ini juga terdapat didalam Asma‟ul Husna yang merupakan nama-nama milik Allah SWT. yang baik dan indah. Sebagai tempat perlindungan Allah memelihara dan menjaga manusia yang sesuai dengan nama-Nya yaitu

عٞفحىا

33

/al-hafiẓ/ memiliki arti Yang Maha Memelihara, hal ini menunjukkan bahwa Allah sangat kuat menjaga yang ingin dijaga-Nya serta Allah menjaga, melindungi dan memelihara sesuatu yang dikehendaki-Nya. Selain itu, Asma‟ul Husna yang memiliki makna melindungi dan memelihara yaitu

وٞم٘ىا

/al-wakil/ berarti Yang Maha Memelihara,

ٚى٘ىا

/al-waliy/ berarti Yang Maha Melindungi dan

ٍِؤَىا

/al-mu‟min/ berarti Yang Maha Pemberi Keamanan. Jadi, rasa yang menyatu dalam ungkapan itulah yang merupakan kebenaran rasa yang dituangkan dalam syair yang dirasakan oleh pembaca atau pendengar tanpa dibuat-buat, namun hadir dengan sendirinya dan memiliki nilai yang kekal.

Kemudian pada kata

كبضس

/riḍhāka/ „keridaanmu‟ merupakan kebenaran rasa yang ada di dalam hati agar diijabah, pengkabulan, penerimaan, kepuasaan, izin, persetujuan dan kerelaan. Pada kalimat „tujuanku adalah keridaan-Mu‟, didalamnya terdapat pengharapan kepada Tuhan tentang penerimaan dan kepuasaan Tuhan atas apa-apa yang seorang hamba kerjakan, maka sebuah harap kembali inilah yang menimbulkan atau memberikan rasa yang sampai kepada pembaca atas kenyakinan seseorang yang menjadikan persetujuan Tuhannya sebagai Tujuan hidupnya.

2.2.3.1.2

تفطاعنا ةول

/quwah al-`aṭifah/ Kekuatan Rasa

Yang dimaksud dengan kekuatan rasa berarti dominanasi, gaya, kadar, intensitas, kekuasaan, kemampuan, kekukuhan dan keteguhan rasa yang ada didalam sebuah karya sastra. Sumber kekuatan rasa adalah sastrawan itu sendiri karena rasa yang kuat dari sastrawan itulah yang menjadikan karya sastra mampu memberikan pengaruh kepada pembaca atau pendengar sastra (Muzakki, 2011: 77). Berikut contoh

خلافطبؼىا ح٘لاق

/quwah al-„athifah/ kekuatan rasa dalam syi‟ir

بلاثس بلاث ذٞلاِضس

/raḍītu billahi rabba/ oleh Maher Zain (Assa‟adah: 2018):

ٕ٘

ا تٕاٗ

حبٞحىا

ٓبضس ٜنزجْيف

34

/Huwā wāhibū al-hayātu fālnābtāghiy rīḍāḥu/ „Dia adalah pemberi kehidupan dan kita mencari Rida-Nya‟.

Syair diatas menjelaskan tentang makna kehidupan yang sebenarnya bahwa Allah adalah Tuhan yang memberikan segala hal yang kita butuhkan dan inginkan tanpa mengharapkan imbalan kembali, maka seharusnya kita mencari rida-Nya didalam kehidupan ini. Pada kata

تٕاٗ

/wāhibū/ „pemberi‟ dan

حبٞحىا

/al-hayātu/

„kehidupan‟ gabungan kata yang menjadi frasa ini memberikan kekuatan rasa yang sampai ke hati pembaca dan pendengar sehingga dapat memdominasi pikiran, menjernihkan akal sebagai pengingat bahwa Allah adalah Tuhan semesta alam yang sesungguhnya harus kita Esakan dan kita utamakan dari segala hal urusan di dunia ini. Kekuasaan Allah dalam memberikan segala nikmat kepada hambanya juga sesuai dengan nama-nama baik dan indah yang Allah miliki yaitu Asma‟ul Husna. Nama Allah yang menyatakan sebagai Maha Pemberi yaitu

ةبٕ٘ىا

/al-wahhab/ berarti Maha Pemberi Karunia dan

اصشىا

/ar-rażaq/ berarti Maha Pemberi Rezeki.

Kemudian kata

بضس

/rīḍā/ „rida‟ berarti penerimaan, ketulusan, izin, pengabulan, kepuasan dan persetujuan. Maka dari apa yang telah disadari oleh seorang hamba bahwa Allah yang memberi segalanya, seorang hamba harus memusatkan perhatiannya dan menjadikan tujuan dari kehidupannya dan keberadaannya di dunia ini semata-mata hanyalah untuk mencari, menggapai dan mengharap penerimaan dan kepuasan sebagai rida-Nya. Maka usaha yang dapat kita lakukan adalah dengan melaksanakan segala perintah, menjalankan kewajiban dan meninggalkan kemaksiatan. Keteguhan rasa yang ditimbulkan pada syair diatas mampu menjadi peringatan dan pengingat seorang hamba, hal ini memberikan pengaruh kepada pembaca dan pendengar untuk melaksanakan kewajibannya melalui sikap dan perbuatan. Pengaruh inilah yang menjadi

خفطبؼىا ح٘ق

/quwah al-„athifah/ kekuatan rasa didalam syair.

35

2.2.3.1.3

تفطاعنا تبث

/tsabat al-`aṭifah/ Kelanggenggan Rasa

Maksudnya adalah kelanggengan rasa pada diri seorang sastrawan atau penyair selama ia berkarya. Kelanggengan itu berarti keadaan yang abadi yang terasa didalam karya sastra yang dirasakan secara terus menerus oleh siapapun yang membaca, mendengar dan menganalisis sebuah karya sastra. Hal ini dimaksudkan agar rasa tersebut tetap kuat berpengaruh pada hasil karyanya. Dengan demikian, si pembaca atau si pendengar akan merasakan kelanggengan rasa sastra tersebut sekalipun terdapat perbedaan situasi (Muzakki, 2011: 78). Adapun contohnya dalam syair

بْٞيػ سذجىا غيط

/ṭala‟a al-badru „alaynā/ sebagai berikut:

/ṭala‟a al-badru „alaynā, min tsaniyāti al-wada‟i/

/wajaba asy-syukru „alaynā,mada‟a lillahida‟i/

/‟ayyuhā mab‟ūtsu fīnā, ji‟ta bi al-amri al-muṭa‟i/

/anta gawtsunā jami‟an, yā mujammala aṭ-ṭibā‟i/

Telah terbit bulan purnama diatas kita, dari lembah wada‟

Dan wajiblah kita bersyukur atasnya, ketika seorang penyeru mengajak kepada Allah Wahai engkau yang diutus kepada kami, engkau datang dengan perintah yang ditaati Engkaulah peindung kami, wahai yang indah budi

Syair

بلاْٞيػ سذلاجىا غلايط

/ṭala‟a al-badru „alaynā/ adalah syair yang dinyanyikan oleh kaum Anshar untuk menyambut kedatangan Nabi SAW di Yastrib (Madinah) dalam peristiwa hijrah dari Makkah ke Madinah. Syair ini memiliki hubungan kebatinan yang mengikat dan mengandung rasa yang kuat dan dapat dirasakan secara terus-menerus serta abadi di hati pembaca dan pendengar dari tahun 622 M hingga masa kini tentang keagungan, keistimewaan, rasa cinta dan kemuliaan sosok Rasulullah SAW. Syair ini termasuk syair tertua dalam agama islam yang telah

36

berusia 1400 tahun. Masa pemerintahan Abbasyah adalah masa keemasan dalam perkembangan agama Islam khususnya dalam ilmu pengetahuan dan seni. Pada masa ini sastra mengalami perkembangan yang pesat, sehingga banyak mengangkat tema-tema syair yang membicarakan tentang keagungan dan kemuliaan. Syair ṭala‟a al-badru „alaynā termasuk kedalam tema ghazal yang mengungkapkan tentang rasa cinta dan kemuliaan kepada Rasulullah. Syair ini tetap populer dilantunkan oleh para musisi dalam peringatan hari-hari Islam dan oleh para santri dalam memuliakan guru-gurunya. Maka kekonsistenan rasa yang terkandung dalam syair ṭala‟a al-badru

„alaynā yang tidak pernah berubah dari masa ke masa bahkan dalam situasi yang berbeda, inilah yang disebut dengan kelanggegan rasa.

2.2.3.1.4

تفطاعنا عىت

/tanawu al-`aṭifah/ Ragam rasa

Maksudnya adalah kemampuan sastrawan dalam mentransformasikan kesan-kesan rasa yang beraneka ragam dalam jiwa pembaca, seperti rasa cinta, rasa semangat, rasa kagum, rasa simpati, rasa bangga, suka, harapan, sedih, haru, kecewa, marah, benci, sakit, iri, dengki dan sebagainya (Muzakki, 2011: 79). Dengan kata lain raga sastra adalah persepsi, anggapan, dan ingatan yang merasuki psikis, rohani, sekaligus spirit dalam diri pembaca dan pendengar dalam bentuk asa, gembira, hasad dan riya.

Berikut ini adalah contoh ragam rasa syair Hasan bin Tsabit (Muzakki, 2011:

79) :

بْٞجّٗ بؼٍ بْؼَجبف ةس بٝ

ذسحىا ُ٘ٞػ ْٜثر خْج ٜف

ٔششؼث حٝ ٍِٗ ٔىلاا ٚيص ذَحأ كسبجَىا ٚيػ ُ٘جٞطىاٗ

/ya rabba fa‟ijma‟nā ma‟ā wa nabīnā/

/fī jannati tutsniya „uyūnu al-hasud/

/ṣalla „alālahu wa man yahuffu bi‟arsyihi / /wa al-ṭayyibūna „ala al-mubāraka ahmad/

37 Ya Tuhan kumpulkan kami bersama nabi kami

dalam surga yang dapat memalingkan mata orang-orang yang hasud Tuhan memberkati orang-orang yang mengelilingi singgasana-Nya Dan orang-orang yang baik atas orang yang diberkahi, yaitu Ahmad

Ragam rasa yang terdapat dalam syair Hasan yaitu harapan yang terdapat pada baris pertama

بلاْٞجّٗ بلاؼٍ بْؼَجبف ةس بٝ

/ya rabba fa‟ijma‟nā ma‟ā wa nabīnā/

„Ya Tuhan kumpulkan kami bersama nabi kami‟, pada kata

خلاْج

/jannatu/ „surga‟

yang didalamnya terdapat kenikmatan dan kebahagian yang sebenarnya, pada kata

ذلاسحىا

/al-hasud/ „hasud‟ yaitu sifat iri hati dan dengki, pada frasa

ٔلاىلاا ٚيلاص

/ṣalla „alālahu/ „Tuhan memberkati‟ artinya Tuhan memberikan nikmat dan rahmatnya yang merupakan kabar gembira, rasa senang bagi yang diberi berkah, dan pada kalimat

ذلاَحأ كسبلاجَىا ٚلايػ ُ٘لاجٞطىاٗ

/wa al-ṭayyibūna „ala al-mubāraka ahmad/ „dan orang-orang yang baik atas orang yang diberkahi, yaitu Ahmad‟

artinya rasa syukur dan mendapatkan keberkahan atas kehadiran Rasulullah yang menjadi penunjuk jalan kebenaran yaitu menyiarkan Agama Islam. Syair tersebut mengungkapkan perasaan Hassan memohon kepada Allah agar ia bisa berkumpul bersama Nabi, di dalam surga karena didalam surga ada rasa kesenangan dan rasa syukur karena dapat berkumpul dengan Nabi, Hassan bin Tsabit dalam syairnya juga mengungkapkan rasa kesedihannya, karena ia ditinggal oleh seseorang yang berprilaku dan berakhlak mulia, seseorang yang menjadi uswatun hasanah dalam meraih kesuksesan yaitu Rasulullah SAW. Tetapi, di balik kesedihan yang dialaminya, Hassan sesungguhnya merasakan kebahagiaan yang tiada bandingannya karena dalam menata kehidupannya, ia selalu dituntun oleh syari'atnya di mana ajaran-ajaran yang dibawa oleh Rasulullah dapat menyelamatkan dan membahagiakan manusia, baik di dunia maupun di akhirat.

38

2.2.3.1.5

تفطاعنا ومس

/sumuw al-`aṭifah/Tingkat rasa

Tingkat rasa adalah perbedaan tinggi rendahnya rasa sastra bagi setiap sastrawan. Perbedaan ini dapat diketahui dari segi keindahan gaya bahasa (stilistika) yang dipergunakan. Gaya bahasa adalah pengucapan bahasa dalam prosa, atau bagaimana seorang pengarang mengungkapkan sesuatu yang akan dikemukakan (Abrams dalam Nurgiyantoro, 2014: 40). Kemudian Nurgiyantoro (2014: 40) mengatakan bahwa gaya bahasa ditandai oleh ciri-ciri formal kebahasaan seperti pilihan kata (diksi), struktur kalimat, dan bentuk-bentuk bahasa figuratif . Maka keindahan gaya bahasa yang digunakan dalam suatu karya sastra yang menunjukkan tingkat rasa yang ada di dalamnya.

Berikut ini contoh tingkat rasa (sumuw al-„athifah) dalam syair Ibn Al-Mu‟iz (Muzakki, 2011: 80):

ٜنجْٝ بَم ِسحىبث ٌٕٞأ ٓإ٘لف حجقىا ٌحسأٗ

/„uhīmu bilhusni kamā yanbagī/

/ wa „arhamu al-qabhu fa‟ahwāhu /

Aku mencintai kebaikan sebagaimana layaknya

Dan aku menyayangi kejelekan kemudian menyukainya

Pada baris pertama Mu‟iz mengungkapkan

ٜلانجْٝ بلاَم ِلاسحىبث ٌٞلإأ

/„uhīmu bilhusni kamā yanbagī/ „Aku mencintai kebaikan sebagaimana layaknya‟, artinya kebaikan adalah hal yang sangat disukai dan patut kita cintai didalam hidup ini.

Kebaikan akan membawa kita kepada kehidupan yang saling membantu satu sama lain dan hidup aman sejahtera. Sedangkan pada baris kedua

ٓإ٘للاف حجلاقىا ٌلاحسأٗ

/wa

„arhamu al-qabhu fa‟ahwāhu/ „dan aku menyayangi kejelekan kemudian menyukainya‟, Mu‟iz menggambarkan kejelekan sebagai sesuatu yang disukai, padahal sesuatu yang jelek harusnya dihindari dan diperbaiki menjadi lebih baik.

Namun dalam syair hal ini dilakukan dengan harapan agar seseorang menyakini dan melakukan perbuatan sebaliknya. Sehingga kalimat „aku menyayangi kejelekan

39

kemudian menyukainya‟ itu merupakan sindiran halus yang ditujukan kepada pembaca dan pendengar dengan menggunakan gaya bahasa atau majas yang terkandung dalam syair. Adapun majas yang dimaksud adalah majas ironi yang merupakan ungkapan yang digunakan dengan sindiran halus yang kata-katanya bertentangan dengan makna sesungguhnya. Syair diatas menggunakan kata yang sengaja dibuat kebalikan dari kata aslinya yang bertujuan agar pembaca atau pendengar dapat melakukan perbuatan yang diharapkan penyair yaitu menghindari dan menjauhi segala keburukan atau kejelekan.