• Tidak ada hasil yang ditemukan

A. 1. c. Data Wawancara

BAB IV HASIL DAN ANALISIS HASIL PENELITIAN

IV. A. 1. c. Data Wawancara

1) Hubungan Istri (Kasus 1) dengan Suami

Istri (Kasus 1) menikah dengan suami di bulan Agustus 2004. Saat ini usia pernikahan mereka memasuki usia 3 tahun 9 bulan. Selama 3 tahun 9 bulan ini, istrilah yang bekerja untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari di rumah. Hal ini terjadi karena suami memiliki penyakit epilepsi dan hal itu membuat suami tidak berani pergi keluar sendiri tanpa didampingi istri. Namun istri tetap menerima keadaan suami tersebut walaupun pada akhirnya ia mengetahui penyakit suami tersebut yang membuat mereka sulit memiliki anak.

“Ya... Kakak tetaplah terima dia. Yang Kakak lihat dari dia kan orangnya baik. Kita itu kan tiap orang punya kekurangan kelebihan. Ya... harus bisa terimalah kekurangannya. Kita kan... jangan hanya... mau yang baik-baik aja, terus yang jelek-jeleknya enggak mau. Mana bolehlah kayak gitu.” (K1.I, W3/b. 55-61/hal. 19).

Dalam hal keuangan, istri tahu bahwa penghasilan yang didapatnya tidak dapat mencukupi kebutuhan mereka dan biasanya saudara-saudara suamilah yang membantu kebutuhan mereka dalam mengatasi kesulitan ekonomi. Karena itulah, istri berusaha mencari tambahan penghasilan di luar pekerjaannya saat ini dengan memanfaatkan hobby memasaknya. Biasanya istri akan memasak kue-kue basah

untuk dijual di tempat ia. Selain menjual kue, istri juga terkadang menjual baju. Dan menurutnya, hal ini dapat membantu menutupi kekurangan keuangan mereka.

Pekerjaan rumah tangga mereka kerjakan dengan berbagi. Ketika istri memasak, biasanya suami akan membantu membereskan rumah seperti menyapu ruang tamu.

“... Bagi-bagi tugas kayak ini harilah. Aku memasak… abang bantu nyapu. Bagi-bagi tugaslah ya.” (K1.I, W1/b. 327-329/hal. 8).

Namun terkadang istri akan merasa kesal dan marah jika rumah masih berantakan saat ia pulang kerja. Istri ingin ketika ia pulang kerja, ia melihat rumah sudah bersih. Ketika hal ini terjadi, biasanya istri akan marah pada suami dan adik iparnya yang berada di rumah saat itu. Pada akhirnya, suamilah nantinya yang akan meminta maaf pada istri atas kelalaiannya tersebut. Dalam kehidupan rumah tangga, hal lain yang dapat menimbulkan pertengkaran antara mereka adalah kecurigaan.

“... kalau kami ini bisa dibilang sama-sama tukang curigaan. Jadi sering curiga-curigaan gitu (volume suara agak menurun). Misalnya aja kemarin abang curiga karena ada nama cowok di hpku. Ya… berantam jadinya. Makanya waktu adek datang kemarin, Kakak bilang besok aja datangnya lagi. Soalnya lagi berantam kemarin… ” (K1.I, W2/b. 80-87hal. 11-12). Penyelesaian yang dapat mereka lakukan adalah ketika situasi sudah tenang, mereka akan sama-sama membicarakannya.

“Ya… kalau sudah tenang gitu suasananya… kami sama-sama duduk… ngomongin masalahnya. Siapa itu nama cowok yang ada di hpku itu… ya… Kakak jelasinlah… kalau dia suami temanku. Mereka lagi ada masalah, jadi Kakak coba bantu.” (K1.I, W2/b. 92-97/hal. 12).

Namun karena istri adalah orang yang tertutup, maka istri lebih dulu membicarakan masalah ini kepada orang lain yang dianggapnya dapat ia percaya dan bertanya solusi padanya, barulah kemudian membicarakannya pada suami.

“... Terus Kakak ini orangnya lumayan tertutup. Jadi kalo lagi ada masalah, Kakak lebih dulu ngomong ke... orang lain. Nanya dulu ke teman-teman, jaranglah langsung ngomong. Ntar-ntarnya baru diomongin ke dia. Jadi Kakak cari solusi dulu keluar baru dibicarain gitu.” (K1.I, W3/b. 270-276/hal. 24).

Suami di mata istri adalah seorang pribadi yang mudah emosi dan pemarah, terlebih lagi ketika masalah itu berhubungan dengan keadaan mereka saat ini yang belum juga memiliki anak. Namun dalam keadaan seperti ini, istri berperan menenangkan suami dan meminta suami untuk bersikap santai dalam menghadapi keadaan ini.

“Ya… kalo dia sih… emang gampang marah. Emosian. Suka marah-marah… karena kenapa kita enggak dikasih momongan. Seringlah dia gitu marah. Ya kubilang kenapa kau musti marah. Kan belum dikasih sama Tuhan. Kita kan udah usaha. Santai ajalah.” (K1.I, W1/b. 134-139/hal. 4). Menurut istri, penyebab mereka belum memiliki anak adalah karena mani suami yang encer. Hal ini diketahui istri dari suami sendiri. Namun sampai saat ini baik istri maupun suami belum pernah memeriksakan diri ke dokter. Yang menjadi hambatan mereka untuk memeriksakan diri ke dokter disebabkan oleh masalah ekonomi. Jadi selama ini usaha yang mereka lakukan hanya dengan melakukan pengobatan alternatif seperti kusuk.

“Ya...kita masih... berobatnya kayak kusuk. Tapi kalau berobat ke dokter sih belum. Eceknya dikusuk aja gitu.” (K1.I, W3/b. 204-206/hal. 22).

Istri sangat mengharapkan kehadiran anak dalam pernikahan mereka dan ketika di 2 bulan pertama pernikahan, istri merasa gelisah karena belum juga

hamil. Saat itulah timbul perasaan marah pada istri yang dirasakannya selama 1 bulan lebih. Kemarahan yang ia rasakan lebih kepada menyalahkan diri sendiri atas keadaan mereka yang belum memiliki anak ini. Perasaan marah itu meliputi perasaan menolak keadaan mereka ini.

“Ya... kita kan itulah... kenapa gitu, kita belum dikasih anak. Kita istilahnya enggak... enggak menyalahkan orang gitu. Cuma kita marah sama diri kita sendiri aja. Kok bisa kayak gini. Eceknya kok kamu gini-gini, gini-gini-gini, enggak. Eceknya ya udah marah pada... pada diri kita sendiri...” (K1.I, W3/b. 89-95/hal. 20).

Dengan keadaan ini, istri lebih memilih untuk memendam perasaan marah dan penolakannya itu daripada harus memperlihatkannya pada suami. Karena istri merasa kasihan melihat keadaan suami. Jika suami mengetahui kemarahan dan penolakannya itu, maka hal itu dapat menjadi beban pikiran suami yang dapat memicu penyakit suami kambuh. Jadi menurut istri lebih baik jika ia tampak baik-baik saja di depan suami agar dapat menenangkan suami. Yang dapat dilakukan istri hanyalah mencoba pengobatan-pengobatan alternatif yang diharapkannya dapat membantunya untuk dapat segera memiliki anak. Namun jika hal itu tidak membuahkan hasil, istri tidak merasa keberatan untuk mengasuh anak orang lain. Karena ia merasa anak itu tetaplah juga anak mereka yang telah dititipkan Tuhan pada mereka.

“... Kalo Kakak kayak gitu terus... dia pasti yang akan menyalahkan diri sendiri. Dan kalo... dia udah kayak gitu kan... itu bakal jadi bahan pikirannya dia. Kalo udah banyak mikir dia... dia bisa... bisa... ini loh... (tangan melambai), kumat penyakitnya itu. Kalo Kakak sih cuma menghindarilah, ya... menghindari yang kayak gitu. Jadi... daripada tau dia Kakak ini marah... sedih, lebih baguslah Kakak tetap baik-baik aja... enggak ada masalah di depan dia. Dan Kakak usahakan cari kusuk-kusuk gitu yang bagus kan. Tapi, dianya yang susah kali diajak. Karena itulah... dia udah merasa putus asa kan, sama keadaannya. Kalo Kakak tambahlah kesusahannya itu lagi dengan marahnya Kakak... sedihnya Kakak,

bisa-bisa tambah putus asalah dia. Kan Kakak enggak mau dia kayak gitu. Lebih baiklah kupendam aja... karena Kakak masih sehat kan dan Kakak enggak pernah mau memaksakan dia supaya gini-gini... enggak. Yah (menghela napas)... kalo sekarang sih mikirnya... kalopun nanti Kakak bisa punya anak dari kami sendiri... bersyukur sama Tuhan. Tapi, kalo enggak bisa... siapa pun itu... anak siapa pun itu... tetapnya itu anak kami.”(K1.I, W3/b.566-594/hal. 30-31).

2) Makna Anak menurut istri (Kasus 1)

a) Anak adalah tempat berbagi

Menurut istri, jika mereka memiliki anak, ia dapat berbagi.

“... Kan maunya kalo kita punya anak, kita kan bisa berbagi gitu kan...” (K1.I, W1/b. 91-93/hal. 3).

Dengan adanya anak, dapat membuatnya senang, bahkan dapat menjadi penambah semangat istri dalam bekerja. Istri merasa jika mereka memiliki anak, pekerjaan yang telah dilakukannya tidak akan sia-sia.

“... Gimana… anak itu ada di tengah-tengah keluarga kita itu bisa buat kita senang, semangat cari duit gitu, misalnya kan. Capek pulang dari kerja ada anak kita, jadi lepaslah semua. Ceritanya jadi enggak sia-sia mencari… mencari… apalah… sesuap nasi itu namanya ya. Jadi semangat lagi.” (K1.I, W1/b. 189-195/hal. 5).

b) Anak itu berharga

Istri berpendapat bahwa kehadiran anak itu adalah sesuatu yang berharga dalam kehidupan ini, karena istri merasa anak adalah titipan Tuhan yang harus diasuh dan dirawat dengan baik hingga besar.

“Berharga ya. Ya... kalo Kakak itu aja, punya anak itu aja yang berharga bagi Kakak. Terus pekerjaan.” (K1.I, W3/b. 184-186/hal. 22).

“Ya... pastilah anak itu berharga ya kan. Dia itu kan kayak titipan Tuhan untuk kita juga, untuk kita asuh... untuk kita rawatlah sampai besar. Dialah nantinya yang bisa jadi penambah semangat ya kan. Apalagi saat-saat kita nunggu adanya dia ya kan. Mungkin ya... karena belum dikasih juga ya

kan, makanya rasanya nanti kalo dapat, berharga kali dia untuk Kakak.” (K1.I, W3/b. 189-196/hal. 22).

c) Anak merupakan penerus keturunan

Anak dapat menjadi penerus keturunan mereka, terlebih jika anak laki-laki yang dapat menjadi penerus marga. Istri merasakan tuntutan seperti itu dari Budaya Batak dan ia pun mengharapkan adanya anak yang dapat menjadi penerus keturunan mereka, terlebih suami adalah anak pertama dalam keluarga.

“... Ya misalnya ya kan, misalnya kayak contoh lah ya kan, kayak orang Batak misalnya, kalo dia ada punya anak laki-laki, bisa jadi penerus, pembawa marga ya kan. Tapi kalo misalnya kalo enggak ada anaknya, siapa yang jadi pembawa. Itukan suatu tuntutan... bisa juga dikatakan tuntutan ya kan. Apalagi orang Kakak paling besar. Kalo bisa... kalo ada dikasih anak bisa jadi penerus marga.” (K1.I, W3/b. 140-148/hal. 21).

3) Dampak-dampak yang dirasakan dari ketidakhadiran anak

a) Dampak Negatif

Dampak negatif yang dirasakan istri dari ketidakhadiran anak, yaitu: 1. Tuntutan dari sudut budaya

Istri merasakan kekhawatiran akan tuntutan yang mungkin saja datang dari keluarga suami karena istri belum juga dapat memberikan keturunan. Tuntutan itu saat ini memang belum pernah dihadapi istri, namun kekhawatiran itu muncul sendiri karena istri menyadari bahwa ia hidup dalam Budaya Batak yang menekankan kehadiran anak sebagai penerus keturunan bagi suatu keluarga. Terlebih suami adalah anak pertama dalam keluarganya sehingga kekhawatiran akan omongan yang tidak enak semakin membesar. Istri takut nantinya ia akan merasa tersisih dan terasing dari keluarga suaminya.

“Ya... datangnya... ya... datang sendiri gitu. Dari apa... Kakak sendiri (menunjuk ke diri sendiri). Ya misalnya ya kan, misalnya kayak contoh lah ya kan, kayak orang Batak misalnya, kalo dia ada punya anak laki-laki, bisa jadi penerus, pembawa marga ya kan. Tapi kalo misalnya kalo enggak ada anaknya, siapa yang jadi pembawa. Itukan suatu tuntutan... bisa juga dikatakan tuntutan ya kan. Apalagi orang Kakak paling besar. Kalo bisa... kalo ada dikasih anak bisa jadi penerus marga.” (K1.I, W3/b. 138-148/hal. 21).

“Karena kita was-was jugalah ya kan. Istilahnya, was-was itu enggak ada... pengaruh omongan orang lain. Cuma dari hati kita aja. Misalnya was-was kadang diri Kakak sendiri ya kan. Kayak yang Kakak bilang tadi, bisalah saat ini pemikiran orang normal, eh... besoknya enggak normal. ‘Udahlah, Bang... cari aja, Bang, eceknya perempuan yang lain yang bisa kasih anak gitu ya kan’. Jadi Kakak kan timbul was-was ke situ gitu.. Gimana nanti pemikiran mereka itu ada gitu. Kita kan tersisih ya kan.. Hm... was-was jadi ke situ aja.” (K1.I, W3/b. 151-162/hal. 21).

2. Mengalami stres

Ketika istri menginat keadaan mereka yang belum memiliki anak ini, istri merasa tertekan dan stres. Namun untuk mengurangi hal tersebut, biasanya istri akan menyibukkan diri dengan pekerjaannya sehingga ia menjadi lebih santai dalam menghadapi keadaan ini.

“... Di rumah kita suntuk ya sebentar aja… Itulah yang disuntukkan… eceknya aku enggak punya anak (volume suara merendah) kan mau kita kepikiran. Tapi kalo kita kerja ya… dibawa santai aja, kerja aja... ” (K1.I, W1/b. 123-127/hal. 3).

Keadaan tertekan yang dialami istri bukan terjadi karena ada pihak lain yang membuatnya tertekan, namun lebih karena dirinya sendiri yang merasa bahwa peran seorang wanita adalah menjadi seorang ibu. Sehingga menurutnya, jika mereka tidak memiliki anak, semuanya menjadi sia-sia.

“Tertekan… ya… gitulah… cuman tertekannya itu karena belum punya anak. Tapi lebih dari perasaanku sendiri. Ya…kita kan seorang ibulah gitu kan (menunjuk ke dirinya). Eceknya kalo enggak ada anak sia-sialah. Bukannya nyalahin Tuhan…bukan marah sama Tuhan. Bukan.” (K1.I, W1/b. 225-230/hal. 6).

4) Gambaran Makna Hidup pada Istri (Kasus 1)

Dalam menjalani hidup, istri tidak terlalu banyak berharap dan berangan-angan yang tinggi. Istri hanya berusaha lebih banyak daripada mengberangan-angan- mengangan-angankan sesuatu yang tinggi dan berdoa dalam menjalani hidup ini. Saat ini istri bekerja di sebuah swalayan dan telah bekerja di sana selama 8 tahun bahkan sebelum ia menikah. Istri merasa nyaman dengan pekerjaannya saat ini dan telah merasa betah di sana sehingga tidak memiliki keinginan untuk mencari pekerjaan di tempat lain. Istri juga melihat pekerjaannya saat ini sebagai sesuatu yang berharga dalam kehidupannya. Karena tanpa pekerjaan, istri tidak dapat mencukupi kebutuhan sehari-hari di rumah.

“Pekerjaan juga berhargalah sama kita ya kan. Kalo kakak enggak kerja dari mana kita dapat duit ya kan. Gimana kita nyambung hidup ya kan.” (K1.I, W3/b. 198-201/hal. 22).

Ketika dihadapkan pada situasi yang belum juga dapat memiliki anak, istri merasakan kemarahan dan kekesalan. Karena ia melihat orang lain dapat langsung memiliki anak, sedangkan dirinya di usia pernikahannya yang hampir 4 tahun, belum juga dapat memiliki anak. Namun istri tidak mau menyalahkan orang lain dan lebih marah kepada dirinya sendiri. Karena menurut istri, semua ini sudah ada jalannya. Dengan keadaan saat ini yang belum memiliki anak, istri merasa sunyi. Istri ingin memiliki anak agar kesunyian itu dapat terobati.

“Ya... sunyi aja gitu. Kita kan dalam berumah tangga itu maunya enggak hanya berdua aja kan. Maunya ada anak gitu kan. Pokoknya sunyi ajalah. Kita merasa kesunyian karena hanya berdua gini aja. Enggak ada anak kecil.” (K1.I, W3/b. 79-83/hal. 19).

Hal ini juga sering menimbulkan perasaan iri dalam diri istri jika ia melihat keluarga lain yang sudah memiliki anak. Istri juga ingin merasakan hal seperti itu yang ia katakan pasti “enak”.

“Ya... kalau Kakak lihat orang yang punya anak itu, ya, Kakak iri gitu. Enak ya. Sedih juga. Kenapa... kenapa enggak bisa seperti mereka. Seandainya aku punya anak mungkin aku kayak mereka. Ada iri juga sebenarnya.” (K1.I, W3/b. 531-535/hal. 29).

Ketika istri merasa stres dan tertekan akan hal ini, istri lebih memilih untuk membawanya santai dan menyibukkan diri dengan bekerja. Karena menurut istri, kerja dapat membuang suntuknya di rumah.

“Ya… kita menikmatinya biasa aja. Enggak usah terlalu forsir kali bekerja. Memang kerja bisa buang suntuk kita di rumah sih.” (K1.I, W1/b. 356-358/hal. 8).

Selama ini istri merasakan dukungan dari pihak keluarganya maupun keluarga suami. Dan selama ini keluarga kedua belah pihak tidak pernah mendesak, malah selalu meminta istri dan suami melakukan hal yang terbaik menurut pandangan mereka sendiri.

Keadaan marah dan kesal itu tidak pernah ditunjukkan di hadapan suami, karena ia tidak ingin perasaannya itu semakin menambah beban pikiran suami dan membuat penyakit suami kambuh. Sebulan istri masih merasakan kemarahan itu. Selama sebulan itu, istri menolak keadaannya yang sulit memiliki anak ini. Akan tetapi melihat kondisi kesehatan suami yang kurang stabil dan saran juga dukungan dari pihak keluarga membuat kemarahan itu mulai mereda. Dan hal yang dilakukan istri sampai saat ini adalah tetap berusaha mencari pengobatan-pengobatan alternatif sambil terus berdoa kepada Tuhan. Saat ini, walaupun tetap

berusaha mendapatkan anak dari rahim sendiri, istri dan suami juga berusaha untuk mencari anak yang dapat mereka adopsi. Istri mempercayai hal itu dapat dijadikan sebagai “pancingan” agar nantinya ia dapat hamil dan memiliki anaknya sendiri. Menurut istri, pihak keluarga mendukung keputusan mereka itu dan meminta mereka untuk mencari jalan yang terbaik bagi pernikahan mereka sendiri. Jadi saat ini istri dan suami sedang berusaha mencari anak yang dibuang atau tidak diinginkan oleh keluarganya untuk mereka asuh. Karena jika mereka harus mengadopsi anak dari rumah sakit atau panti asuhan, mereka terhalang dengan biayanya yang mahal. Sedangkan jika mereka mengambil anak yang dibuang atau tidak diinginkan orangtuanya, mereka dapat membayar biaya obat ibunya saja. Dan hal yang terakhir inilah yang dapat mereka jangkau.

Saat ini yang menjadi tujuan hidup istri adalah agar kehidupannya dapat berkembang sehingga lebih maju dan lebih baik lagi, baik itu dalam hubungan dengan suami maupun dengan keluarga. Istri ingin ketika pun di dalam kehidupan rumah tangga itu, suami-istri mengalami pertengkaran , harus lebih diselesaikan dengan cara yang baik-baik dan damai sehingga tidak perlu ribut-ribut.

“Berkembang ya… ya… biar lebih maju lagi, lebih baik lagi (berdehem). Eceknya di dalam kehidupan kita itu… di dalam rumah tangga ini bisa lebih baik. Kalo hari ini kita seperti ini ya… jangan lagi kayak gini ke depannya. Ya… harus lebih baik lagi. Kalo kayak gini-gini aja ya enggak berkembang namanya.” (K1.I, W2/b. 4-10/hal. 10).

“Bisa. Misalnya berkembangnya itu ya… misalnya di bidang keuangan. Ya… harus bisa lebih baik lagi. Diusahakan untuk lebih baik lagilah. Terus gimana hubungan kita dengan suami… dengan keluarga, ya… harus lebih baik lagi. Harus ada kemajuannya.” (K1.I, W2/b. 13-18/hal. 10). “... Kita kan enggak boleh kayak gini-gini aja. Kita harus berkembang dan lebih maju lagi. Kita lebih bahagia… eceknya enggak ada ribut-ribut,

damai-damai aja. Setiap permasalahan itu kita selesaikan dengan cara yang baik-baik. Enggak ribut-ribut.” (K1.I, W2/b. 22-27/hal. 10).

Usaha yang dilakukan istri untuk dapat meraih hal itu adalah dengan usaha agar mereka dapat memiliki rumah sendiri agar mereka dapat hidup mandiri. Karena selama ini istri dan suami masih menempati rumah keluarga suami

“Meraih… usahanya ada lah. Supaya tercapai, maunya kita itu bisa mandiri… bisa punya rumah sendiri walaupun kecil.” (K1.I, W1/b. 347-349/hal. 8).

Dan dalam hal ekonomi pun, istri dan suami belum dapat mandiri karena masih sering dibantu oleh saudara-saudara mereka. Maka dari itu, istri pun bekerja lebih giat dan berusaha mencari tambahan penghasilan.

Kehidupan pernikahan yang dijalani istri saat ini dirasakannya senang dan dalam porsi yang cukup. Walaupun hidup mereka sederhana, namun istri merasa senang dan bahagia saja. Begitu juga dengan kekurangan yang dimiliki suaminya. Istri tetap menerimanya apa adanya, karena istri berpendapat bahwa suaminya adalah jodoh yang telah diberi Tuhan untuknya. Jadi ketika pun ada masalah yang mereka hadapi, istri tetap menerima semuanya.

Dari keadaan mereka yang belum memiliki keturunan ini, ternyata tidak mempengaruhi istri dalam memaknai hidupnya. Bahkan istri melihat salah satu hal yang berharga dalam hidupnya saat ini adalah anak, karena sampai saat ini ia sangat menantikan kehadiran anak tersebut.

“Ya... pastilah anak itu berharga ya kan. Dia itu kan kayak titipan Tuhan untuk kita juga, untuk kita asuh... untuk kita rawatlah sampai besar. Dialah nantinya yang bisa jadi penambah semangat ya kan. Apalagi saat-saat kita nunggu adanya dia ya kan. Mungkin ya... karena belum dikasih juga ya kan, makanya rasanya nanti kalo dapat, berharga kali dia untuk Kakak.” (K1.I, W3/b. 189-196/hal. 22).

Walaupun ia merasa sunyi dengan ketiadaan anak ini, hal itu tidak membuatnya menjadi kehilangan pegangan hidup, tetapi tetap berdoa untuk keadaan mereka ini agar menjadi lebih baik dan berkembang lagi ke depannya nanti.