• Tidak ada hasil yang ditemukan

A. Kajian Lingkungan Hidup St rat egis (KLHS)

Dalam dokumen Buku Anotasi UU Nomor 32 Tahun 2009 (Halaman 137-145)

PENGENDALIAN LINGKUNGAN

VI.2. A. Kajian Lingkungan Hidup St rat egis (KLHS)

Pasal 1 ang ka 10

Kajian lingkungan hidup strategis, yang selanjutnya disingkat KLHS, adalah rangkaian analisis yang sistematis, m enyeluruh dan partisipatif untuk memastikan bahwa prinsip pembangunan berkelanjutan telah menjadi dasar dan terintegrasi dalam pembangunan suatu wilayah dan/atau kebijakan, rencana, dan/atau program.

Penjelasan Cukup Jelas

Pasal 15

pembangunan berkelanjutan telah menjadi dasar dan terintegrasi dalam pem bangunan suautu wilayah dan/atau kebijakan, rencana, dan/atau program.

(2) Pemerintah dan pemerintah daerah wajib melaksanakan KLHS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ke dalam penyusunan atau evaluasi:

a. Rencana tata ruang w ilayah (RTRW) beserta recana rincinya, encana pembangunan jangka panjang, dan rencana pembangunan jangka menengah (RPJM) nasional, provinsi, dan kabupaten/kota.

b. Kebijakan, rencana, dan/ atau program yang berpotensi menimbulkan dam pak dan/atau risiko lingkungan hidup.

(3) KLHS dilaksanakan dengan m ekanisme:

a. Pengkajian pengaruh kebijakan, rencana, dan/atau program terhadap kondisi lingkungan di suatu wilayah;

b. Perumusan alternatif penyempurnaan kebijakan, rencana, dan/atau program; dan c. Rekomendasi perbaikan untuk pengam bilan keputusan kebijakan, rencana,

dan/atau program yang mengintegrasikan prinsip pembangunan berkelanjutan.

Penjelasan (1)

geografis beserta segenap unsur terkait yang batas dan sisitem nya ditentukan berdasarkan aspek administrasi dan/ atau aspek fungsional.

(2)

a. Cukup jelas

b. Dam pak dan/atau risiko lingkungan hidup yang dimaksud meliputi: a. Perubahan iklim

b. Kerusakan, kemerosotan, dan/atau kepunahan keanekaragaman hayati c. Peningkatan intensitas dan cakupan w ilayah bencana banjir, longsor,

kekeringan, dan/atau kebakaran hutan dan lahan d. Penurunan mutu dan kelimpahan sumber daya alam e. Peningkatan alih fungsi kawasan hutan dan/atau lahan

f. Peningkatan jumlah penduduk miskin atau terancam nya keberlanjutan penghidupan sekelompok masyarakat

g. Peningkatan risiko terhadap kesehatan dan keselamatan manusia (3) Cukup jelas

Pasal 16

KLHS memuat kajian Antara lain:

a. kapasitas daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup untuk pem bangunan b. perkiraan mengenai dampak dan risiko lingkungan hidup

c. kinerja layanan/ jasa ekosisitem

d. efisiensi pemanfaatan sum ber daya alam

f. tingkat ketahanan dan potensi keanekaragaman hayati

Penjelasan Cukup Jelas

Pasal 17

(1) Hasil KLHS sebagaimana dim aksud pada Pasal 15 ayat (3) menjadi dasar bagi kebijakan, rencana, dan/atau program pembangunan dalam suatu wilayah.

(2) Apabila hasil KLHS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menyatakan bahwa daya dukung dan daya tampung telah terlampaui,

a. kebijakan, rencana, dan/atau program pembangunan tersebut wajib diperbaiki sesuai dengan rekomendasi KLHS

b. segala usaha dan/atau kegiatan yang telah melampaui daya dukung dan daya tam pung lingkungan tida diperbolehkan lagi

Penjelasan Cukup Jelas

Pasal 18

(1) KLHS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1) dilaksanakan dengan melibatkan masyarakat dan pemangku kepentingan

(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyelenggaraan KLHS diatur dalam Peraturan Pemerintah.

Penjelasan

(1) Pelibatan masyarakat dilakukan melalui dialog, diskusi, dan konsultasi publik. (2) Cukup jelas

Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) merupakan salah satu instrumen pencegahan terjadinya pencemaran dan/ atau perusakan lingkungan hidup yang baru diadopsi dalam UU. Instrumen ini bertujuan untuk mengintegrasikan prinsip pembangunan berkelanjutan ke dalam perencanaan pembangunan, tata ruang, serta penyusunan kebijakan, rencana, dan program yang memiliki risiko t erhadap lingkungan hidup. Scara politis, keberadaan KLHS dalam UU No. 32 Tahun 2009 ivitas

manusia yang telah melampaui daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup.235

KLHS atau Staregic Environmental Assessment (SEA) merupakan pendekatan baru dalam pelaksanaan pembangunan di Indonesia. Pendekatan ini muncul sebagai respon atas pengalaman bahwa pengelolaan lingkungan hidup selama ini hanya terfokus pada skala proyek (usaha/ kegiatan) melalui Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal) atau environmental impact assessment (EIA). Hal ini megakibatkan pengendalian pencemaran dan perusakan lingkungan hidup kurang berjalan efektif.236 Oleh karena itu, muncul inisiatif untuk menggunakan instrumen KLHS agar pertimbangan perlindungan lingkungan hidup dapat diintegrasikan pada tahap yang lebih awal sebelum perencanaan di tahap proyek, yaitu dalam proses penyusunan kebijakan, rencana, dan program (KRP). Sebagai contoh Kanada, pada tahun 1990 telah menerbitkan peraturan mengenai Environmental Assessment Process for Policy and Program Proposals yang mensyaratkan perlunya kajian lingkungan hidup atas semua KRP yang diusulkan oleh pemerintah.237 Hal serupa dapat dilihat di Australia, pada tahun 1989 telah memberlakukan Resource Assessment Commission Act. Pemerintah Australia telah membentuk komisi independen untuk melaksanakan kajian lingkungan hidup terhadap kebijakan-kebijakan yang diambil dalam pengelolaan sumber daya alam berdasarkan peraturan tersebut.238 Sementara itu pemerintah Inggris pada tahun 1991 juga telah mengeluarkan Policy Appraisal and the Environment yang merupakan panduan bagi pemerintah dalam merumuskan KRP.239 Meskipun insiaitif yang muncul belum menggunakan terminologi KLHS atau SEA, namun secara umum semua inisiatif tersebut berorientasi pada perlunya pertimbangan lingkungan hidup dalam perumusan KRP yang dilakukan oleh pemerintah.

Istilah KLHS atau SEA secara formal pertama kali tercatat digunakan oleh Pemerintah Denmark yang pada tahun 1993 menerbitkan peraturan pemerintah yang dikenal dengan the Strategic Environmental Assessment of Government Bills and other Proposals. Dengan peraturan tersebut pelaksanaan SEA menjadi kegiatan yang wajib dilakukan bagi seluruh KRP pembangunan yang dilakukan d i Denmark.240 Pengarusutamaan SEA sebagai bagian dari kegiatan penyusunan KRP

235

Sebagaimana dikemukanan oleh Pimpinan Komisi VII pada saat Rapat Paripurna DPR RI untuk mengesahkan UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Lihat Pandangan Akhir Komisi VII DPR RI.

236

Chay Asdak, Kajian Lingkungan Hidup Strategis: Jalan Menuju Pembangunan Berkelanjutan, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2012), hlm. 11.

237 Ibid. 238 Ibid. 239 Ibid. 240

semakin mendapatkan momentum saat Parlemen Eropa dan Dewan Uni Eropa mengeluarkan the SEA Directive atau panduan pelaksanaan KLHS sebagai panduan evaluasi dampak lingkungan terhadap rencana dan program pembangunan di Negara-negara Eropa.241

Secara historis, perkembangan konsep SEA di tataran global dapat dibagi ke dalam beberapa tahapan:242

1. Level perkembangan (1970-1989) ketika preseden hukum dan kebijakan tertentu dibuat di bawah kerangka EIA. Secara umum, SEA terbatas dalam ruang lingkup dan perannya, hanya Amerika Serikat yang mengaplikasikan EIA secara formal tidak hanya untuk kegiatan dalam skala proyek namun juga terhadap kegiatan penyusunan perencanaan atau program di bawah NEPA (National Environmental Policy Act)243 dan hukum federal, misalnya California Environmental Quality Act (1970)

2. Level formalisasi (1990 - 2001) ketika provisi SEA mulai dibuat oleh lebih banyak negara, termasuk negara-negara transisi di Eropa Tengah dan Timur dan Negara-negara yang baru berdiri (Newly Independent States, NIS). Proses ini juga menjadi lebih beragam terkait dengan pengaturan EIA di berbagai negara.

3. Level lanjutan (2001 - hingga kini) ketika SEA mulai diterapkan secara luas dan terkonsolidasikan lebih jauh sebagai bentuk dari pembangunan hukum dan kebijakan internasional. Perkembangan positif dalam tahapan ini dapat dilihat misalnya di Negara-negara Uni Eropa dengan lahirnya kesepakatan European Directive on SEA pada tahun 2003 serta lahirnya prot okol SEA sebagai salah satu turunan dari Konvensi UNECE tentang EIA lintas batas Negara.244

241

Ibid., hlm. 12.

242 Sadler, B. From Environmental Assessment to Sustainability Appraisal : Environmental Assessment Yearbook 2002, Insititute of Environmental Management and Assessment. (Manchester: Lincoln and EIA Center, University of Manchester, 2002), hlm. 145-152.

243

NEPA disahkan pada 1 Januari 1970 (sekalipun lebih popular sebagai NEPA 1969), muncul bersamaan dengan meningkatnya apresiasi dan keperdulian terhadap lingkungan hidup dan kesejahteraan ekologis. Terdapat kemungkinan pula bahwa peristiwa tumpahan minyak di St. Barbara pada 1969 juga merupakan katalis, bersamaan dengan "pemberontakan tol" (freeway/highway revolts) pada tahun 1960an dan 1970an, yang terjadi di negara-negara berkembang sebagai respon rencana kontruksi jalan-jalan tol baru yang sebagaian besar dinilai gagal mempertimbangkan aspek ekologis. Lih: Oliver Gillham dan Alex MacLean,

The Limitless City: A Primer on the Urban Sprawl Debate, (Island Press: 2002) 244

Convention on Environmental Impact Assessment in Transboundary Context (dikenal juga sebagai Espoo Convention) merupakan konvensi di bawah United Nations Economic Commission for Europe (UNECE) yang ditandatangani di Espoo, Finlandia, pada 1991 dan mulai berlaku semenjak 1997. Hingga bulan Mei 2013, perjanjian ini telah diratifikasi oleh 44 negara dan European Union. Indonesia belum meratifikasi konvensi ini. Protokol SEA yang melengkapi Espoo Convention ditandatangani di Kiev pada 2003 dan mulai berlaku semenjak 11 Juli 2011. Protokol ini telah ditandatangani 38 negara dan diratifikasi 25 negara. Lihat United Nations Treaty Collection, http://treaties.un.org/Pages/ViewDetails.aspx?src=TREATY &mtdsg_no=XXVII-chapter=27&lang=en

Sebagai sebuah pendekatan pembangunan yang relatif baru, pelaksanaan dan penerapan SEA tidak selau seragam di berbagai negara. Penelitian yang dilakukan oleh Dusik dan Xie mengenai perbandingan SEA di Asia Timur dan Asia Tenggara menunjukan bahwa penerapan SEA tidaklah seragam, tetapi disesuaikan dengan kondisi dan aturan main masing-masing negara. Dalam fungsinya sebagai instrumen pencegahan kerusakan fungsi lingkungan hidup dan untuk menjamin pembangunan yang berkelanjutan, SEA dapat dibedakan menjadi dua, yakni (1) SEA sebagai instrumen untuk menjamin keberlangsungan lingkungan hidup, dilaksanakan setelah penyusunan KRP (dalam rangka evaluasi KRP); dan (2) SEA diintegrasikan dalam penyusunan KRP. Varian daripada sistem pokok ini didapati di berbagai negara yang melaksanakan SEA.245 Beberapa Negara seperti Vietnam, Filipina, dan Malaysia adalah Negara yang menjadikan KLHS sebagai bagian integral dari dokumen KRP yang harus dipersiapkan secara bersamaan pada saat perumusan KRP tersebut. Sementara di Thailand SEA dilakukan secara fleksibel.246

Di Indonesia, meski aturan formal tentang kewajiban KLHS dalam proses penyusunan dan evaluasi KRP baru diterapkan saat diberlakukannya UU No. 32 Tahun 2009, pengarusutamaan KLHS atau SEA telah dimulai jauh sebelum itu. Sejak tahun 2000-an konsep KLHS telah diimplementasikan di beberapa daerah seperti Studi Dampak Lingkungan Kebijakan Rencana, dan Program Kawasan Pusat Perkotaan Yogyakarta (dilakukan oleh PPSDAL tahun 2002) dan KLHS terhadap KRP Kawasan Bogor, Puncak, dan Cianjur (dilakukan oleh BPLHD Jawa Barat Tahun 2003).247 Pengarusutamaan KLHS di Indonesia mendapatkan momentum saat disahkan UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang yang memandatkan dilakukannya revisi RTRW dengan mempertimbangkan aspek lingkungan hidup. Berkenaan dengan itu Menteri Dalam Negeri menerbitkan Permendagri No 50. Tahun 2009 tentang Pembentukan Badan Koordinasi Penataan Ruang Daerah, yang menyatakan perlunya pengarusutamaan lingkungan hidup dalam penyusunan RTRW di daerah dengan melakukan KLHS.248 Meski demikian, pelaksanaan KLHS belum memiliki kekuatan hukum yang kuat dan mengikat pemerintah selaku penyusun KRP.

Kajian yang dilakukan oleh Kementerian Negara Lingkungan Hidup mengenai pelaksanaan KLHS menunjukan bahwa pengaturan mengenai KLHS paling ideal

245

Jiri Dusik dan Jian Xie, Strategic Environmental Assessment in East and Southeast Asia, (The World Bank: Juni 2009), hlm. 7.

246

Maria S.W. Sumardjono dan Totok Dwi Diantoro, Naskah Akademis (Draft Final) Rancangan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia tentang Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS), (Jakarta: Kementerian Lingkungan Hidup, 2011), hlm. 5.

247 Ibid., hlm. 12. 248

diatur dalam bentuk undang-undang.249 Hal ini dimaksudkan agar tidak ada hambatan legal formal dalam implementasi KLHS yang akan diwajibkan dalam perumusan KRP, dimana bentuk hukum KRP yang membuka kemungkinan diatur dalam bentuk peraturan perundang-undangan maupun kebijakan. Materi muatan mengenai KLHS kemudian dimasukan dalam UU No. 32 Tahun 2009, dan sampai saat ini pengaturan teknisnya dalam bentuk Peraturan Pemerintah (PP) sebagaimana dimandatkan belum juga dibentuk, meski untuk teknis pelaksanaannya telah dikeluarkan Peraturan Menteri No. 9 tahun 2011 tentang Pedoman Umum Kajian Lingkungan Hidup Strategis.

Rumusan mengenai KLHS pada awalnya tidak secara rinci diatur dalam naskah perubahan RUU revisi No. 23 tahun 1997 yang dibahas di DPR RI. Dalam rumusan ini KLHS belum dikelompokan sebagai bagian dari instrumen pencegahan terjadinya pencemaran dan perusakan lingkungan hidup. Rumusan awal mengelompokan KLHS bersama-sama dengan kajian risiko lingkungan yang dijadikan sebagai indikator dan perangkat integrasi aspek lingkungan hidup bersama dengan Amdal yang harus diperhatikan oleh Pemerintah dan pemerintah daerah dalam menetapkan kebijakan nasional pengelolaan lingkungan hidup.250 Tidak disebutkan secara terperinci bagaimana KLHS dilakukan serta bagaiman kedudukannya terhadap KRP.

Lemahnya pengaturan mengenai KLHS dalam RUU yang dibahas ditegaskan kembali oleh Bery Nahdian Furqon dari Walhi pada saat RDPU dengan Komisis VII DPR RI tanggal 13 Juli 2009.251 Pada pemaparannya, Bery mengungkapkan bahwa dalam hal perlindungan lingkungan hidup harus mengutamakan KLHS sebagai dasar untuk perencanaan pembangunan dan pengelolaan lingkungan hidup. Dalam paparannya, Bery juga menambahakan bahwa pencegahan dan pengendalian eksploitasi sumber daya alam tidak cukup hanya dengan Amdal, karena Amdal tidak melihat bagaimana pertimbangan sebuah kawasan secara keseluruhan. Oleh karena itu KLHS menjadi solusi yang patut dipertimbangkan.252 Atas usulan ini Komisi VII DPR RI kemudian mengagendakan pembahasan mengenai KLHS hingga kemudian materi muatan mengenai KLHS diatur dalam satu bagian dari instrumen pencegahan pencemaran dan perusakan lingkungan hidup dalam UUPPLH yang secara utuh mengatur mengenai ruang lingkup serta kedudukannya terhadap KRP.

UU No. 32 Tahun 2009 telah mengatur secara rinci hal-hal pokok terkait dengan KLHS yang meliputi: (1) makna dan karakteristiknya (Pasal 1 huruf 10, Pasal 15 Ayat

249

Lutfi Lesilolo et.al., Rencana Organisasi Balai Kliring KLHS, (Jakarta : Kementerian Negara Lingkungan Hidup, 2010), hlm. 15.

250

RUU PLH, Pasal 40 ayat (1) huruf a, Pasal 41 ayat (1) huruf a, dan Pasal 42 ayat (1) huruf a dan Penjelasan.

251 Risalah Sidang Pembahasan RUU PLH agenda RDPU tanggal 13 Juli 2009, hlm. 62. 252

(1), Pasal 16); (2) kedudukannya (Pasal 15 Ayat (2)); dan (3) mekanisme pelaksanannya (Pasal 15 Ayat (3), Pasal 17, Pasal 18).

Ad. 1. Makna dan Karakt erist ik KLHS

Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) atau Strategic Environmental Assessment (SEA) memiliki didefinisikan berbeda-beda di seluruh dunia. Meski demikian, berbagai definisi yang ada terdapat irisan yang dapat dilihat persamaannya. Secara sederhana dapat disimpulkan bahwa SEA merupakan sebuah proses formal, sistematik untuk menganalisa dan menjawab efek-efek lingkungan hidup dari kebijakan, perencanaan, dan program dan inisiatif-inisiatif strategis lainnya. Proses ini diaplikasikan terutama terhadap inisiatif terkait pembangunan yang diketahui atau kemungkinan diketahui akan memiliki efek lingkungan yang signifikan, baik yang dilakukan secara individu di sektor-sektor seperti transportasi dan energi, atau secara kolektif melalui perubahan spasial atau tata ruang.253 Hal ini yang membedakan SEA dengan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) atau Environmental Impact Assessment (EIA) yang diaplikasikan dalam kegiatan skala usaha/ kegiatan/ proyek.

Fischer mengindentifikasi SEA atau KLHS sebagai; i) Sebuah proses terstruktur dan teliti yang berbasis pada analisis mengenai dampak lingkungan (Environmental Impact Assessment-EIA), yang diaplikasikan secara khusus terhadap perencanaan dan program, disusun oleh otoritas perencanaan umum dan terkadang badan swast; ii) Sebuah proses partisipatif, terbuka dan transparan, dimungkinkan tidak berbasis EIA, yang diaplikasikan dengan cara yang lebih fleksibel terhadap kebijakan, disusun oleh otoritas perencanaan umum dan terkadang badan swasta; dan (iii) Sebuah proses fleksibel yang bukan berbasiskan EIA, yang diaplikasikan terhadap proposal legislatif dan kebijakan lainnya, perencanaan, dan program dalam pembuatan kebijakan politik/ kabinet.254

Sementara itu UNEP menyatakan bahwa SEA memperluas tujuan dan prinsip-prinsip EIA ke level yang lebih tinggi dari pengambilan keputusan ketika alternatif-alternatif utama masih terbuka dan terdapat ruang lingkup yang jauh lebih luas dibandingan pada level proyek untuk mengintegrasikan pertimbangan-pertimbangan lingkungan hidup ke dalam tujuan dan target pembangunan. SEA memungkinkan permasalahan kerusakan lingkungan dijawab pada "sumber hulu"-nya dalam proses pembuatan kebijakan dan perencanaan, dibandingkan memitigasi "gejala-gejala hilir" atau dampak dari level-level proyek. Lebih jauh, SEA dapat menyediakan tanda peringatan dini terkait efek-efek berskala besar dan kumulatif, termasuk yang dihasilkan dari berbagai proyek-proyek berskala kecil yang secara individual akan jatuh di bawah ambang batas untuk memicu EIA untuk

253 Hussein Abaza, Ron Bisset dan Barry Sadler (UNEP), Environmental Impact Assessment and Strategic Environmental Assessment: Towards an Integrated Approach, (UNEP: 2004), hlm. 86.

254

sebuah proyek. Ketika diaplikasikan secara sistem atis, proses ini dapat menjadi sebuah cara pemberesan lingkungan hidup terhadap isu-isu kunci terkait apa, dimana, dan dalam bentuk apa yang baik dan layak bagi lingkungan hidup.

UU No. 32 Tahun 2009 mendefiisikan KLHS sebagai rangkaian analisis yang sistematis, menyeluruh dan partisipatif untuk memastikan bahwa prinsip pembangunan berkelanjutan telah menjadi dasar dan terintegrasi dalam pembangunan suatu wilayah dan/ atau kebijakan, rencana, dan/ atau program.255 Adapun muatan dari KLHS mencakup: 256

a. kapasitas daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup untuk pembangunan;

b. perkiraan mengenai dampak dan risiko lingkungan hidup; c. kinerja layanan/ jasa ekosistem;

d. efisiensi pemanfaatan sumber daya alam;

e. tingkat kerentanan dan kapasitas adaptasi terhadap perubahan iklim; dan f. tingkat ketahanan dan potensi keanekaragaman hayati.

Secara garis besar berbagai definsi mengenai KLHS atau SEA memiliki karakteristik yang sama, yakni kajian lingkungan untuk aktivitas yang lebih tinggi dari kegiatan dalam skala proyek, dalam hal ini kegiatan penyusunan KRP. Definisi KLHS yang tercantum dalam UU No. 32 Tahun 2009 mengafirmasi hal tersebut dengan memberikan penekanan pada bagaimana KLHS tersebut dilakukan (sisitematik, menyeluruh dan partisipatif) serta bagaimana kedudukan KLHS terhadap perencanaan pembangunan wilayah dan KRP secara umum.

Dalam dokumen Buku Anotasi UU Nomor 32 Tahun 2009 (Halaman 137-145)