• Tidak ada hasil yang ditemukan

Ket erp aduan

Dalam dokumen Buku Anotasi UU Nomor 32 Tahun 2009 (Halaman 70-75)

ASAS-ASAS PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP

4. Ket erp aduan

Pasal 2 Huruf d : Keterpaduan Penjelasan:

Yang dimaksud dengan "asas keterpaduan" adalah bahw a perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dilakukan dengan memadukan berbagai unsur atau menyinergikan berbagai kom ponen terkait.

Asas keterpaduan pertama kali dikenal dalam UU No. 32 Tahun 2009, namun dalam Naskah Akademis versi pemerintah maupun versi DPR tidak ditemukan pembahasan mengenai asas keterpaduan. Namun, penjelasan mengenai asas keterpaduan dalam UU No. 32 Tahun 2009 menyerupai prinsip integrasi yang merupakan elemen utama pembangunan berkelanjutan.

Pembahasan mengenai arti dari prinsip integrasi dapat dimulai dengan merujuk pada Deklarasi Rio yang menyatakan bahwa:

"in order to achieve sustainable development, environmental protection shall constitute an integral part of the development process and cannot be considered in isolation from it".85

83 Lihat juga Penjelasan Rancangan UU No. 32 Tahun 2009, hlm. 28. 84

Koesnadi Hardjasoemantri, Hukum Tata Lingkungan, hlm. 98.

85Prinsip 4 Deklarasi Rio, UN Doc. A/CONF.151/26 (vol. I), 31 ILM 874 (1992)—selanjutnya disebut Deklarasi Rio.

Dari kutipan ini, dapat diketahui bahwa tuntutan pertama dari prinsip integrasi adalah adanya kepastian bahwa perlindungan lingkungan merupakan bagian tidak terpisahkan dari proses pembangunan. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa prinsip integrasi dalam konteks pembangunan berkelanjutan meminta agar setiap negara menjamin bahwa kepentingan ekonomi dan sosial mereka tidak akan mengabaikan pertimbangan lingkungan hidup. Di sisi lain, upaya perlindungan lingkungan yang diambil juga harus tetap memperhatikan dampak sosial dan ekonomi yang mungkin akan timbul.86

Sementara itu, International Court Justice (ICJ) menafsirkan fungsi integrasi sebagai alat untuk menjembatani dan menyeimbangkan berbagai kepentingan dan prinsip yang mungkin saling bertentangan, yaitu kepentingan pembangunan dengan kepentingan perlindungan lingkungan. Hal ini dapat dilihat dari pandangan Weeramantry dan Trindade.87 Dengan adanya penerapan prinsip pembangunan di dalam putusan-putusan pengadilan, dalam hal ini ICJ, maka kita bisa melihat bagaimana elemen integrasi dari pembangunan berkelanjutan telah memberikan arahan bagi pengadilan untuk mendamaikan prinsip dan kepentingan-kepentingan yang berbeda, bahkan saling bertentangan.88

86

Andri G. Wibisana, Elemen-elemen Pembangunan Berkelanjutan dan Penerapannya dalam Hukum Lingkungan, (Jakarta: Materi Pengajaran Hakim Lingkungan Hidup, 2013), hlm. 5-8.

87

Andri G. Wibisana, Elemen-elemen Pembangunan Berkelanjutan dan Penerapannya dalam Hukum Lingkungan, menyebutkan ―Weeramantry, dalam dissenting opinion-nya untuk kasus Gabcikovo-Nagymaros (Hongaria v. Slovakia), menyatakan bahwa pembangunan berkelanjutan bukan hanya merupakan sebuah konsep, tetapi sudah merupakan sebuah prinsip hukum yang bersifat normatif. Tanpa prinsip hukum ini, maka kasus Gabcikovo-Nagymaros akan sangat sulit untuk diputuskan. Menurutnya, "…I consider it to be more than a mere concept, but as a principle with normative value which is crucial to the determination of this case. Without the benefits of its insights, the issues involved in this case would have been difficult to resolve." Lihat: Case Concerning the Gabcikovo-Nagymaros Project (Hungary v. Slovakia): Separate Opinion of Vice-President Weeramantry, 1997 ICJ 7 (selanjutnya disebut Kasus Gabcikovo-Nagymaros: Pendapat Weeramantry), hlm. 90. Dalam hal ini, Weeramantry melihat bahwa kasus Gabcikovo-Nagymaros memperlihatkan adanya kepentingan yang saling bertentangan, yaitu kebutuhan akan pembangunan di satu sisi (dalam hal ini kepentingan dari Slovakia) dan kebutuhan akan perlindungan lingkungan di sisi lain (dalam hal ini kepentingan dari Hungaria). Dalam pandangan Weeramantry, prinsip hukum yang dapat menjembatani dua kebutuhan yang saling bertentangan ini adalah prinsip pembangunan berkelanjutan. Kasus Gabcikovo-Nagymaros: Pendapat Weeramantry, hlm. 88. Sementara itu, Hakim Trindade, dalam dissenting opion-nya untuk kasus Pulp Mils on the River Uruguay (Argentina v. Uruguay) pada dasarnya menyetujui bahwa pembangunan berkelanjutan berfungsi untuk menjembatani kepentingan pembangunan di satu sisi, dan kepentingan akan perlindungan lingkungan di sisi lain. Dalam konteks ini, Trindade menyatakan: "[s]ustainable development came to be perceived, furthermore, as a link between the right to a healthy environment and the right to development; environmental and developmental considerations came jointly to dwell upon the issues of elimination of poverty and satisfaction of basic human needs." Lihat: Case Concerning Pulp Mills on the River Uruguay (Argentina v. Uruguay), Separate Opinion of Judge Cançado Trindade, 2010, <http://www.icj-cij.org/docket/files/135/15885.pdf > (Selanjutnya disebut Kasus Pabrik Kertas Sungai Uruguay: Pendapat Trindade), hlm. 132.

88

Andri G. Wibisana, Elemen-elemen Pembangunan Berkelanjutan dan Penerapannya dalam Hukum Lingkungan, menyebutkan ―sementara itu, norma pendamai/penyeimbang inilah yang oleh Lowe diartikan sebagai sifat pengisi (interstitial norm) dari pembangunan berkelanjutan. Dalam hal ini, Lowe sebagaimana dijelaskan oleh Fitzmaurice, menolak pandangan Weeramantry yang menyatakan bahwa pembangunan berkelanjutan merupakan prinsip hukum yang telah bersifat normatif. Bagi Lowe, pembangunan berkelanjutan bukanlah sebuah norma hukum, karena pembangunan berkelanjutan tidak memiliki sifat

Andri G. Wibisana menjelaskan lebih lanjut mengenai fungsi keseimbangan dan rekonsiliasi dari prinsip integrasi. Dalam pandangan Osofsky, integrasi sebagai fungsi penyeimbang berbagai kepentingan masih kurang mencukupi. Osofsky menilai bahwa sejak Deklarasi Johannesburg tahun 2000 sebenarnya telah ada pengakuan bahwa baik konsep pembangunan ekonomi di satu sisi dan pembangunan lingkungan di sisi lain, memuat pengertian yang tidak menyeluruh. Mengingat bahwa tantangan terbesar bagi perwujudan pembangunan berkelanjutan adalah persoalan kemiskinan, maka konsep pembangunan haruslah direorientasikan ke arah pembangunan sosial.89 Dari uraian ini terlihat bahwa bagi Osofsky, prinsip integrasi tidak mencukupi jika hanya dipandang sebagai fungsi penyeimbang antara kepentingan pembangunan ekonomi dengan kepentingan pembangunan lingkungan. Lebih dari itu, berdasarkan pandangan Osofsky elemen integrasi dari pembangunan berkelanjutan memberikan dorongan bagi perubahan orientasi pembangunan, dari pembangunan ekonomi di satu sisi dan pembangunan lingkungan di sisi lain, menjadi pembangunan sosial dengan penekanan pada upaya pengentasan kemiskinan.

5. Manfaat

Pasal 2 huruf e: Manfaat Penjelasan:

Yang dimaksud dengan "asas manfaat" adalah bahwa segala usaha dan/atau kegiatan yang dilaksanakan disesuaikan dengan potensi sum ber daya alam dan lingkungan hidup untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan harkat manusia selaras dengan lingkungannya.

dalam bahasa normatif. Menurut Lowe, karena pembangunan berkelanjutan tidak bisa dituangkan ke dalam bahasa normatif, maka pembangunan berkelanjutan tidak memiliki ―a fundamentally norm-creating character‖. Lihat: Malgosia Fitzmaurice, Contemporary Issues in International Environmental Law, (Edward Elgar, 2009), hlm. 80. Lebih jauh lagi, Lowe melihat bahwa pembangunan berkelanjutan hanyalah merupakan sebuah meta-principle yang berfungsi untuk mendamaikan beberapa prinsip yang saling bertentangan. Dalam hal ini, Lowe beranggapan bahwa fungsi meta-principle ini adalah "interstitial activity, pushing and pulling the boundaries of true primary norms when they threaten to overlap or conflict with each other." Ibid., hlm. 80-81. Namun demikian, perlu lah diungkapkan di sini bahwa baik pandangan Weeramantry maupun Lowe di atas sama-sama menunjukkan peranan pembangunan berkelanjutan untuk memberikan arahan bagi atau mengubah pandangan dari pengambil keputusan atas kepentingan atau norma yang sebelumnya telah ada. Elemen integrasi dari pembangunan berkelanjutan lah yang memiliki peran utama sebagai pemberi arahan atau pengubah pandangan dari para pengambil keputusan".

89

Hari M. Osofsky, "Defining Sustainable Development After Earth Summit 2002," Loyola of Los Angeles International & Comparative Law Review, Vol. 26, (2003), hlm. 123-124.

Asas manfaat tentunya sangat berkaitan dengan pemanfaatan SDA dan lingkungan. Pembahasan mengenai asas manfaat salah satunya disampaikan oleh Andri G. Wibisana yang melihat asas manfaat dari sudut pandang hukum dan ekonomi. Terminologi yang digunakan adalah pemanfaatan berkelanjutan dalam perspektif hukum dan pemanfaatan berkelanjutan dalam perspektif ekonomi. Kata "berkelanjutan" merupakan istilah yang digunakan untuk merujuk pada upaya perlindungan lingkungan dan SDA adalah istilah konservasi.90 Pada masa lalu, kebutuhan akan konservasi ini pun hanyalah muncul apabila telah terjadi ancaman terhadap sebuah spesies, baik berupa ancaman kepunahan maupun berupa pengurangan ketersediaan secara serius.91 Dalam perkembangannya, konservasi kemudian dianggap penting sebagai upaya untuk mencapai keberlanjutan, tanpa perlu mengaitkannya dengan ancaman kepunahan atau penipisan SDA.

Pemanfaatan berkelanjutan dalam perspektif hukum dapat dilihat dari beberapa konvensi dan pertemuan teknis. Pada World Charter of Nature tahun 1982, sebagaimana dikutip oleh Birnie, et al., menyatakan bahwa prinsip-prinsip konservasi perlu diterapkan pada semua area di Bumi untuk mencapai tujuan produktivitas optimum yang berkelanjutan (optimum sustainable productivity) yang tidak membahayakan ekosistem. Untuk mencapai tujuan tersebut, pemakaian SDA dilakukan tanpa melampaui kapasitas sumber daya tersebut untuk melakukan regenerasi dan tanpa menimbulkan dampak lingkungan yang tidak dapat dipulihkan (irreversible damage).92 Sedangkan dalam Konvensi tentang Keanekaragaman Hayati (Convention on Biological Diversity CBD), pemanfaatan secara berkelanjutan (sustainable use) dimaknai sebagai pemanfaatan sumber daya hayati dengan cara dan dalam laju pemanfaatan yang dalam jangka panjang tidak akan mengarah pada penurunan keanekaragaman hayati, sehingga mampu menjaga potensi sumber daya keanekaragaman hayati untuk memenuhi kebutuhan generasi sekarang dan yang akan datang.93 Masih ada beberapa konvensi dan pertemuan teknis yang memiliki tujuan konservasi seperti Pertemuan Teknis Roma 1955; sebagai pendahulu dari Konferensi UNCLOS I di Geneva tahun 1958; Konvensi Ramsar tentang Lahan Basah (Ramsar Convention on Wetlands) tahun 1971; COP 3 dari Konvensi Ramsar yang diadakan di Regina, Kanada, pada tahun 1987; COP 9 Konvensi Ramsar yang diadakan di Kampala, Uganda, tahun 2005; dan sebagainya. Andri G. Wibisana kemudian menambahkan bahwa setiap negara bagaimana pun terikat oleh kewajiban untuk tidak melakukan penyalahgunaan hak (abuse of right). Kewajiban ini telah diakui sebagai sebuah prinsip hukum lingkungan internasional,

90

Andri G. Wibisana, Elemen-elemen Pembangunan Berkelanjutan dan Penerapannya dalam Hukum Lingkungan, hlm. 8.

91

Patricia Birnie, Alan Boyle, dan Catherine Redgwell, International Law and the Environment, Third Edition. (Oxford: Oxford University Press, 2009), hlm. 589. Sebagaimana dikutip dari Andri G. Wibisana, Elemen-elemen Pembangunan Berkelanjutan dan Penerapannya dalam Hukum Lingkungan.

92Ibid., hlm. 199. 93

yang kemudian dituangkan dalam Prinsip 21 Deklarasi Stockholm dan Prinsip 2 Deklarasi Rio. Pada intinya, kedua deklarasi ini menyatakan bahwa meskipun memiliki hak dan kedaulatan untuk mengelola sumber dayanya sesuai dengan kebijakan lingkungan dan pembangunan mereka, setiap negara juga memiliki tanggung jawab untuk menjamin bahwa kegiatan pemanfaatan SDA yang ada di wilayahnya tidak menyebabkan kerugian pada wilayah negara lain atau wilayah di luar yurisdiksinya.94

Pemanfaatan berkelanjutan dalam perspektif ekonomi dapat dari pendapat Bell dan McGillivray menyatakan bahwa terdapat paling tidak dua penafsiran yang saling bertentangan mengenai makna dari sustainable development.95 Tafsiran pertama strong sustainability , yang menyatakan kerusakan lingkungan tidak bisa dibenarkan meskipun kerusakan lingkungan ini akan menghasilkan peningkatan kesejahteraan. Strong sustainability berpendapat bahwa generasi yang akan datang tidak boleh diwarisi kondisi lingkungan yang buruk, meskipun kondisi ini di sisi lain mampu memberikan kekayaan ekonomi kepada generasi sekarang dan generasi yang akan datang.

Tafsiran kedua atas keberlanjutan adalah "weak sustainability". Dalam pandangan weak sustainability, modal alamiah (natural capital)96 dapat dieksploitasi sepanjang hasil dari eksploitasi ini dapat diimbangi dengan peningkatan modal manusia (human capital), seperti skills, pengetahuan, dan teknologi, serta peningkatan modal buatan (human-made capital), seperti infrastruktur. Dalam pandangan ini, keseluruhan modal (total capital) adalah Natural Capital ditambah Cultivated Capital, Human Capital, dan Human-made Capital.97 Sepanjang total capital ini dari

94 Andri G. Wibisana, Elemen-elemen Pembangunan Berkelanjutan dan Penerapannya dalam Hukum Lingkungan, hlm. 12.

95 S. Bell dan D. McGillivray, Environmental Law: the Law and Policy Relating to the Protection of the Environment, Fifth Edition, (London: Blackstone Press, 2000), hlm. 44. Bandingkan dengan D. Hunteret.al., yang menggambarkan adanya 4 versi pemahaman keberlanjutan lingkungan, yaitu: "weak sustainability", "intermediate sustainability" (yang menyatakan bahwa di samping harus menjaga tingkat keutuhan modal, kita juga harus memperhatikan komposisi dari modal kapital tersebut, yaitu sumber daya alam, manufaktur, dan manusia), "strong sustainability", dan "absurdly strong sustainability" (bahwa SDA yang tak terbarui tidak boleh mengalami pengurangan sedikit pun, sedangkan sumber daya yang tidak dapat diperbarui hanya dapat dikonsumsi sebatas tingkat pertumbuhan tahunan sumber daya tersebut). Lihat: David Hunter, James Salzman, dan Durwood Zaelke, International Environmental Law and Policy (Foundation Press, 1998), hlm. 136-137. Berdasarkan ilmu ekonomi, perbedaan antara weak dan strong sustainability

terletak pada pertanyaan apakah sumber daya alam dapat digantikan dengan sumber daya buatan. Menurut pendapat weak sustainability, sumber daya alam dan buatan adalah dua hal yang dapat disubstitusikan. Artinya, sumber daya alam dapat dieksploitasi sepanjang hasil dari eksploitasi ini dialokasikan untuk pembangunan sumber daya alam buatan yang nilainya sama dangan atau lebih besar dari eksploitasi sumber daya alam yang dilakukan.

96 Natural capital ini meliputi semua aspek modal alam yang dapat digunakan oleh manusia, termasuk mineral, potensi sumber daya hayati, dan kapasitas lingkungan untuk menyerap pencemaran. Termasuk ke dalam pengertian natural capital ini adalah "cultivated capital", yaitu sumber daya alam yang telah mengalami transformasi dan adaptasi oleh manusia, seperti ternak dan hasil budi daya tumbuhan. Ibid., hlm. 85.

97 Ibid.

waktu ke waktu jumlahnya bertambah, atau setidaknya tidak berkurang, maka pembangunan dianggap berkelanjutan. Pandangan ini berarti SDA yang tersedia saat ini dapat dikonsumsi atau "dikorbankan" apabila hal tersebut lebih menguntungkan dibandingkan dengan tidak mengkonsumsi sumber daya tersebut, yaitu apabila persediaan SDA yang akan diberikan bagi generasi yang akan datang tidak mengalami pengurangan.

Dalam dokumen Buku Anotasi UU Nomor 32 Tahun 2009 (Halaman 70-75)