• Tidak ada hasil yang ditemukan

A pa yang D isa kukatakan tentangmu ?

Dalam dokumen Catatan Hati Seorang Istri (Halaman 143-149)

Suam iku yang bertanggung jawab.

Lelaki pengertian, yang selalu mem perlakukan istri, anak, orang tua, sanak saudara dan tetangga-tetan gganya dengan am at baik.

Engkau m engajariku hidup apa adanya.

"Jangan pernah lupa mensyukuri nikmat," nasihatmu berulang kali.

Engkau juga yang mengajariku untuk tidak mem permasalahkan hal-hal yang kecil.

Sebelas tahu n menikah, sulit bagiku untuk mencari kekuranganm u, sebaliknya harus kukatakan begitu banyak pelajaran yang kau ajarkan padaku, dengan sayang... dengan cinta.

Sebelas tahu n, mungkin cukup lama menurut orang, tapi masih terlalu singkat untukkku. D an selam a sebelas tahu n ini tidak sedetikpun perasaanku terhadapmu berubah. Jika saja boleh dan tidak diledek oleh para ABG , akan kuteriakkan perasaanku pada dunia:

Kau pujaanku, tambatan hatiku. Panutanku, kebanggaanku, Pahlawanku...

Kau, yang selalu mengalirkan kekuatan dalam setiap denyut nadiku.

Kekuatan yang kini coba kutemukan, dalam kesendirian, dengan mem bayangkan sosokm u.

Tahukah cinta, betapa tamp an dan berseri-serinya wajahm u malam itu? Saat kau mem inta maaf berulang- ulang. Awalnya kukira permintaan maaf itu karena keterlam batan pulang. Sebab kau masuk rum ah ketika jam berdentang dua kali di pagi hari. Selepas melawat salah satu tetangga kita yang ibu nya baru saja m eninggal.

"Maafkan ayah, Bu. Maafkan ayah..." Cinta, harusnya kau tahu betapa aku selalu mempercayaimu.Sebab tidak pernah ada kesalahanmu yang terlalu besar untuk kurnaafkan. Tapi seolah tak yakin, kau masih mengu lang- ulang kalim at yang sama hingga tiga kali,

Suaramu terdengar amat bersungguh-sungguh sambil mem eluk dan mencium keningku. Meski tidak mengerti kuanggukkan kepala, dan mengingatkanmu jika belum shalat isya.

Aku masih ingat bagaiman a kau langsung bangkit dan melaksanakan shalat. Setelahnya kau kembali mem eluk dan mencium ku, sembari m engulang-ulang permintaan maaf.

Ah, kesalahan apa yang harus kumaafkan, Cinta?

Tapi kubiarkan kau mem elukku erat hingga beberapa lama. Kutatap wajahm u yang tampak bercahaya. D ari lisanm u terlempar kalimat itu sekali lagi,

"Maafkan, ayah..."

Setelah kalim at itu kau sempat menyebut asma Allah lirih, sebelum terdiam. Hanya suara dengkuran lambat- lambat yang terdengar, kemudian kepalamu jatuh di bahuku.

Seharusnya aku mengerti. Maafkan aku yang mengira kau hanya tertidur pulas karena kecapekan. Sempat kubiarkan kau tertidur menelungkupiku. Tetapi karena merasa berat, aku coba rnernbangunkanm u agar berpindah ke sisiku.

"Ayah, bangun sayang..."

Tapi hingga berulang-u lang tubuhmu tetap bergeming. Kaku dalam pelukanku. Ketika akhirnya berhasil mem indah kan tubuhm u ke samping, aku mu lai panik. Kugoyang-go yangkan badanmu, tapi tak ada reaksi. Panikku bertam bah saat kaki dan tanganmu terasa dingin, hanya badanmu yang m asih hangat.

D alam keadaan bingun g dan perasaan bercampur adu k, kupanggil kedua orangtuaku yang tidur di ruangan sebelah,

kum inta mereka melihat keadaanmu. T angis mulai tumpah. Aku bahkan sempat m enjerit histeris melihat tubuhmu yang terbaring kaku. Meski dengan cepat aku beristighfar... berharap kau cuma pingsan, atau sengaja bercanda dengan berpura-pura pingsan. Kuyakinkan diri bahwa sebentar lagi kau akan bangun dan tersenyum padaku.

Orang-orang mu lai datan g. Sebagian memang berasal dari rum ah tetangga kita yang baru kau jenguk,mereka yang mengaji dan melawat sampai pagi. Seperti aku, mereka coba m enyadarkanmu dengan berbagai cara. Sementara kau terbaring tak ubahnya seseoran g yang tertidur pulas karena lelah, bahkan m asih terselip senyuman di wajah.

Perasaan ku semakin tak menentu. Lim bung. Kudengar orang-orang bertanya jika aku ingin memanggil dokter atau mem bawamu ke rumah sakit.

Aku menganggu k, tak sepenuhnya mengerti, meski dalam hati aku mu lai mem ohon: Cinta, jangan pergi...Jangan sekarang!

Sepanjang perjalanan ke rumah sakit, aku masih berharap kau hanya pingsan. Tetapi kenyataan berkata lain. Setelah samp ai dan dilakukan pemeriksaan yang teliti, dokter mengucapkan kata-kata yang seolah menggodam kepalaku dengan keras. Badanku luluh lantak. Persendianku terasa copot. Jantungku bagai berhenti berdenyut.

"Maaf, bu. Kami tidak bisa menolongnya." Masya Allah!

Hatiku terasa hancur berkeping-keping. Sebelas tahu n perkawinan kita Cinta, dan inilah ujian terberat untukku. Kepergianm u...

Kupeluk kedua putri kita yang histeris melihatku menan gis. Aku sendiri berusaha keras untuk tetap berpijak pada amban g kesadaran, bahwa kau telah dipanggil Sang Pencipta. Aku peluk kedua putri kita lebih erat. Sungguh, jika tidak karena mereka, mu ngkin aku sudah putus asa, atau hilang kewarasan.

Kepergianm u yang tiba-tiba, bagaimana bisa?

Usiam u baru 40 tahun, sehat dan tidak kurang apa pun sebelum nya.

Hari itu Jum at, tepat pukul 3 pagi. Saat kau pergi meninggalkan aku dan dua putri kita yang masih mem butuhkan perhatianmu .

Cinta...

Sam pai saat ini aku masih sering tidak percaya jika kau benar-benar sudah pergi. Meninggalkan Tari gadis kita yang manis yang baru duduk di kelas 5 Sekolah D asar, dan Hana yang baru berusia 6 tahun.

Aku tahu , untuk mereka berdua aku harus kuat dan berjuang. Tetapi beratnya Cinta, betapa beratnya harus melakukan itu semua sendiri, tanpamu.

Alham dulillah semua prosesi pemakam an berjalan lancar. Banyak sekali oran g yang melayat, rnenyolatkan di masjid, hingga m engantar ke kuburan.

Hingga detik ini aku tidak pernah berhenti mengenan gm u, Cinta. Mengenan g perjalanan singkat kebahagiaan kita. Mem ang kehidupan kita sederhana dan tidak melimp ah dengan harta. Tetapi nyaris tak pernah terjadi perselisihan di antara kita. Sebaliknya begitu banyak hari di mana kau dan aku mensyukuri kebersam aan kita, juga karunia Allah berupa dua putri yang m embanggakan.

Tetapi takdir berkata lain, dan aku harus menerima. Meski terkadang aku m asih m erasa hamp a. Terlebih bulan- bulan pertam a kepergianmu . Begitu beratnya hingga aku tak yakin bisa melalui ujian ini. Tanpamu, setiap hari aku berjalan bagai tak m enapak, limbung dan kehilangan arah.

Aku nyaris tak bisa makan. Kalaupun akhirnya menyuapkan nasi ke m ulut, tak lebih mem enuhi kebutuhan fisik semata. Setiap malam tiba, mataku sulit dipicingkan. Terkadan g aku membayan gkan sosokmu , namu n dengan cepat angan ini hempas ketika melihat ruang kosong di sisi tempat tidur yang dulu terisi olehm u.

Allah, kusebut nam anya berulang-ulang.

Jika saja tak ada iman, Cinta, aku nyaris tak kuasa melanjutkan hidup tanpamu .

(T ak sabar kutunggu pertemuan itu, semoga Aliah mempertemukan cinta kita nanti, ketika maut menjemputku...)

(Oo-dwkz-oO)

Enam lembar surat curahan hati dari mbak Yayu, ibunda Hana, teman seperm ainan Adam, putra kedua saya, sampai ke tangan saya beberap a hari setelah kepergian suaminya.

Enam lembar yang ditulis dengan sepenuh hati dan mem berikan gambaran detik-detik sakaratul maut sang suam i, dan beratnya kehidup an setelah itu. Ketika berlembar-lembar tulisan yang diketik rapi itu sampai ke tangan saya, ide menyusun buku ini bahkan belum lagi mu ncul.

Saya menerima sambil mencatat dalam hati, suatu hari saya akan menulis ulang catatan hati mbak Yayu. Pada kenyataannya saya hanya mampu mengu bah penyajian

tulisan, sementara sebagian besar kata-kata mengalir persis seperti mbak Yayu mencatatnya. Sengaja saya tidak ingin mengu bah kenangan mbak Yayu terhadap almarhum suam i, saya ingin mbak Yayu melihat catatan hatinya secara utuh.

Terima kasih saya karena mbak Yayu berkenan menuliskannya untuk saya. Hal yang am at saya saran kan kepada perempuan-perem puan Indonesia. Menulis agar kita mem iliki sesuatu untuk dikenang. Menulis apa saja tentang hari-hari yang kita lalui sebagai istri dan ibu.

Apakah anda akan mem baginya dengan orang yang bisa anda percaya, atau tidak... tidak jadi soal. Paling tidak dengan menuliskannya bisa menjadi terapi tersendiri, saat hati terbebani ribuan masalah dan kesedihan.

* * *

(Yayu Purwaningsih dan Asma N adia) (Oo-dwkz-oO)

C atatan 11

Dalam dokumen Catatan Hati Seorang Istri (Halaman 143-149)