• Tidak ada hasil yang ditemukan

H ari ini selesailah sudah seluruh drama rumah

Dalam dokumen Catatan Hati Seorang Istri (Halaman 97-118)

tanggaku, di tempat yang paling mu skil dan di hadap an orang-orang tak kukenal. Aneh memang! Sepuluh tahun itu, yang kum ulai dengan tawa sukacita, pesta pora, dan berkumpulnya segenap keluarga, ku akhiri pada hari ini dengan banjir air mata, dalam kesepian yang mencekam dan mem ilukan antara aku dan ayahku, dan para hakim serta panitera. Inilah tempat yang muskil itu, tempat

pertemuan terajaib di dunia bagi dua oran g yang mengaku suam i dan istri: Pengadilan Agam a!

Maka perpisahan itupun dipertegas lagi, setelah hakim ketua mengetukkan palunya, menyatakan bahwa perceraian kami sah, kami aku dan 'bekas' suam iku berjalan keluar ruang sidan g dan menuju arah yang berlainan.Pulang ke rumah masing-masing. Tak ada lagi saling menjemput dan mengingatkan waktu pulang. Tak ada lagi rumah yang menjadi tujuan bersam a. Tak ada lagi suami dan istri. Yang ada hanyalah pribadi-pribadi. Dia dan aku. Tak ada lagi 'kam i'.

Ya....perpisahan itu nyata sudah. Statusku kini berubah sudah . Aku bukan lagi istri seseoran g. Aku bukan milik siapa-siapa. Aku milik Allah dan ....kebebasan. Bahagiakah aku karena aku bebas? Tidak! Tak ada yang mem bahagiakan dari sebuah perceraian. Yang ada adalah rasa sedih karena semua ini harus terjadi, karena jalan ini harus kupilih, karena aku harus melakukan sesuatu yang meski halal tapi paling dibenci Allah, karena anak-anakku harus berpisah dengan ayah mereka. Ya! Ini adalah sebuah kerusakan. Tapi bahkan kerusakan sekalipun, ketika itu menjadi jalan satu-satu nya cara untuk tetap hidup, mengh indarkan diri dari kehancuran, untuk kemudian mem bangun hidup baru yang lebih baik, maka pilihan itupun harus diam bil dan dilakukan. Selebihnya mem perkuat kesabaran dan berlapang dad a menerima segala cobaan.

Maka ketika aku melewatkan malam-malam ku setelah itu dengan menan gis, tangisku bukanlah tangis penyesalan dan kehilangan , apalagi ketakutan. Tidak! Tangisku adalah percampuran antara rasa sedih karena harus mengalami sebuah perceraian dan gembira karena akhirnya aku berhasil mem buat keputusan teram at penting dalam

hidupku. Aku berhasil membuat sebuah pilihan yang m eski pahit dan m enyakitkan tapi kutahu merupakan pilihan yang benar agar aku tetap hidup. Hidup yang bahagia. Sebab, aku berhak untuk berbahagia.

(Oo-dwkz-oO)

Kilas Balik

Sungguh tak pernah terpikir olehku, akan beginilah nasib pernikahan yang sepuluh tahu n lalu ku-perjuangkan mati- matian. Oran g yang dulu kuyakini dapat bertanggung jawab atasku hingga aku rela meninggalkan rumah orang tuaku dan hidup bersamanya, ternyata suatu saat dapat menjadi orang yang paling tidak peduli padaku.

Betapa tipis batas antara suka dan tak suka, cinta dan tak cinta. Sikapnya yang semula baik, mu lai berubah pada tahu n kesekian pernikahan kami. Ia yang semula begitu kasihan m elihatku bekerja keras, malah menjadi orang yang paling tega rnembiarkanku bekerja seharian dan kemudian menggunakan hasil kerjaku untuk kepentingann ya; Mem buka bisnis ini dan itu, yang tak satupun berhasil.

Ia juga yang kemudian menjadi penganjur nomo r satu agar aku tetap bekerja, sebab bila tidak maka rum ah tangga kami akan limbung dan segala mimpi kami untuk dap at hidup berkecukupan akan hancur. Ia bahkan mem biarkanku bekerja di daerah lain, mem isahkanku dengan kedua anak kami.

Bahkan ketika anak ketiga kami lahir, dan aku ingin berhenti bekerja, ia tetap meyakinkanku bahwa sebaiknya aku tak berhenti bekerja. Ia bahkan lebih suka melihatku pindah ke daerah tempatku bekerja dengan mem bawa

ketiga anak kami. Sementara ia tetap di daerah asal kami dengan alasan ia tak mu ngkin m eninggalkan dinasnya.

Maka begitulah. Perkawinan kami kian aneh saja. Aku yang lebih banyak menafkahi keluarga. D i satu pihak, aku menyadari bahwa rumah tanggaku mu lai timpang. Ada ketidakpuasan pada diriku dengan posisiku dalam rumah tangga. Ada yang salah. Aku iri melihat para istri yang berderet di depan ATM pada hari gajian suami-suami mereka. Aku iri melihat para ibu dengan tenang m engantar anak-anak mereka ke sekolah setelah melepas suam i pergi bekerja. Aku iri melihat para ibu sibuk menyiapkan penganan sore hari untuk suami yang baru pulang bekerja, kemudian dud uk bersantai di depan rumah se mbari mem andangi dan sesekali mentertawai kelucuan perilaku anak-anak mereka yang bermain di ha laman. Sungguh gam baran yang jauh dari rum ah tanggaku.

D i daerah asing, aku sendirian. Suamiku dengan tenang melepasku bekerja. Setiap pagi hatiku pilu meninggalkan anak-anakku di tangan pembantu rumah tanggaku. Melihat anak keduaku menan gis dan anak ketiga yang belum mengerti apa-ap a berada dalam gendongan pemban tuku. Sepulang bekerja, dalam keadaan lelah, aku masih harus mengajari si sulung pelajaran sekolahnya dan menunda waktu bersama si tengah dan si bungsu. Pedih hati ini karena begitu sedikit waktu untuk ketiga anakku. Tapi aku sendirian. Sungguh tak guna untuk terlalu banyak mengeluhkan keadaan.

Aku tak mungkin m emprotes suam iku. Tentulah ia benar menyuruhku untuk terus bekerja dan melepasku pergi ke daerah lain. Tentulah ia punya alasan yang baik, bahwa semua ini untuk kebahagiaan kami. Maka aku terima. Bukankah aku ingin m enjadi istri yang baik? Maka aku tak boleh berpikiran buruk tentang suamiku.

Tak mungkin ia bermaksud jahat dan hanya rne- manfaatkanku saja. Bukankah ia suamiku dan ayah anak- anakku? Maka ketika pikiran buruk itu berbagai prasangka yang kutujukan pada suamiku karena membiarkanku bekerja bahkan ke daerah lain datang, segera saja kusingkirkan dari benakku. Suamiku adalah orang yang mencintaiku dan aku haru s percaya padanya.

Ketika ia memintaku m embeli mo bil, tentunya karena ia ingin agar ketika kami berkumpul bersama, ia dap at mem bawa kami semu a sekaligu s. Atau ketika ia memintaku mem beli tanah dan rumah atas nam anya, tentunya ia berpikir bahwa menggunakan nam anya akan jauh lebih am an. Sebab ia lelaki, katanya. D an jauh lebih mu dah mengu rus semua surat jual beli sebab ia pegawai negeri.Tentu ia benar dengan semua itu. Atau ketika ia mem inta m odal dari-ku untuk berbisnis ini dan itu, tentulah ia ingin agar aku segera dapat berkumpul dengannya. Meski kemudian semuanya gagal karena ia tak pandai mengu rusnya.

Maka selam a hampir tujuh tahun kami menjalani kehidupan seperti itu. Terpisahkan oleh jarak. Beberapa kali aku mencoba menggali jalan pikiran suamiku tentang keadaan kami yang terpisah, tapi yang kudapatkan hanyalah ketidakpedulian tersamar. Suamiku selalu berkata, bahwa aku harus tetap bekerja demi masa depan keluarga kami. Setiap kali aku menanyakan kapan ia akan mengeluarkan ku dari situasi seperti ini,ia selalu berkata bahwa aku harus realistis. Tanpa penghasilanku rumah tangga kami akan kolaps.

"Kalau begitu, apa usaha Abang untuk rnelepaskanku dari situasi ini?" tanyaku selalu. Tetapi jawaban yang kuterima sungguh mengecewakan,

"Yah, kamu boleh saja berhenti bekerja, asalkan kamu sanggu p hidup dengan gajiku yang tak seberapa,"

D ari situ naluriku mulai bicara. Rasanya ada sesuatu yang salah dengan reaksi suamiku. Bukankah ia telah mengh abiskan begitu banyak uang untuk memulai berbagai usaha? D an ketika kutanya mengapa ia gagal, ia berkata, "Semua gara-gara kamu tidak cukup m endukungku!"

Lalu apakah namanya setelah begitu banyak tabunganku yang telah digunakannya untuk mem ulai usaha dan mem beli ini dan itu? Ah, baiklah...barangkali dukunganku belum cukup banyak. Mem beli rumah, tanah, dan sebagainya,belum lagi cukup untuk mendukungnya.

Tapi dalam hatiku aku bertanya tanya, bukankah sikap seperti itu adalah sikap laki-laki yang tak bertanggung jawab? Bukankah semestinya ia berusaha keras untuk menyatukan kami dalam satu atap, dan bukannya bertahan untuk terus berlama-lama hidup terpisah? Aneh....

Tapi kutekan semua prasangka itu dan selalu ku mem inta am pun pada Allah, setiap kali pikiran seperti itu mu ncul. Mu ngkin tak ada yang aneh dalam diri suamiku. Itu hanya perasaanku saja. Maka aku harus bersabar. Tapi aku tetap ingin lepas dari situasi itu. Aku tetap ingin menjadi ratu dalam rumah tanggaku. Aku ingin berada di rumah untuk anak-an akku, seperti perempuan lainnya. Maka satu pelajaran yang kupetik dari situasi itu adalah, bahwa akulah satu-satunya yang bisa melepaskan diriku dari himpitan kesulitan ini. Akulah yang harus berusaha. Maka aku bekerja lebih keras, mendorong suamiku untuk mem buka bisnis dan usaha sampingan dengan mem berinya mo dal. Sementara itu, hidup kami makin aneh saja. Pada suatu titik, suamiku mu lai terlihat berbeda. Bila kami bertemu, entah karena aku dan anak-anak pulang ke daerah kami, atau ia yang berkunjung ke te mp at kami, ia sering

tak mempedulikanku, memarahiku karena hal-hal rem eh seperti salah meletakkan pulpen atau kertas kerja miliknya, terlambat mem bayar tagihan, terlambat mem bukakan pintu gerbang, dan sebagainya.

Tentu aku tak mengatakan bahwa diriku benar. Aku mem ang salah, sunggu h tak kutampik kenyataan itu.Kekurangrnarnpuanku menjadi perempuan dan istri yang cermat dalam mengatur barang-barang nya, efisien dalam mengatur waktuku, mem ang tak bisa dibenarkan.

Masalahnya adalah, aku bekerja seharian di sebuah perusahaan swasta asing milik warga negara Jepang, yang terkenal disiplin dan ketat dalam mengatur waktu kerja. Maka, aku harus mem pekerjakan seorang pemban tu rum ah tangga, yang mengu rusi segala tetek bengek rumah tangga kami, termasuk keperluannya, yang semuanya di bawah instruksiku. Malangnya, pembantuku ini tidaklah selalu bisa bekerja dengan baik. Ada kalanya ia mem buat begitu banyak kesalahan. Malangnya lagi, setiap kesalahan yang diperbuatnya, akan merupakan bencana bagiku, karena begitu aku pulang dari bekerja, dalam keadaan lelah luar biasa, aku akan menerima segala am arah dan omelan dari suam iku.

Baiklah! Aku ini perempuan. Sudah menjadi tugasku untuk mengatur semua urusan rumah tangga. Ketika pembantu rumah tanggaku alpa, maka itu adalah salahku. Tanggung jawabku! Aku terima. Aku pun terima ketika suam iku menegurku dengan cara mendiamkan ku berlama- lama, tak menerima maafku meski aku menan gis dan menyembah. Ketika itu kupikir, baiklah...aku mem ang salah.T entu seorang suami berhak mem arahi istrinya. Maka aku pun mem biarkan nya mendiam kanku beberapa hari bahkan ber minggu-minggu. Hingga lama-lama aku terbiasa dengan cara itu, bahkan ketika ia mem diam kanku selam a

beberapa bulan karena kesalahan yang tak jelas.Kupikir, sebagai istri aku harus menurut dan menerima. Barangkali mem ang begitu jugalah para suami lainn ya ketika mem arahi istrinya.

Aku tak pernah berpikir untuk melawan,aku malah berpikir bagaiman a cara menebus dan mem perbaiki semua kesalahanku. Bagaimana cara m embuatnya tenang dan mau berbaik-baik dengan ku. Bagaimana caran ya agar ia mencintaiku lagi.

Kupikir, baran gkali ego kelelakiannya telah kusi-nggung sebab aku berpenghasilan 5 kali lipat lebih besar dibandingkan penghasilannya.Barangkali ia cemburu dan begitulah caran ya menyalurkan kecemburuann ya, tapi di satu pihak ia tak sanggup mengh idupi kami.

Berpikir seperti itu mem buatku kasihan padanya. Maka kuputuskan untuk menyerahkan seluruh gaji dan bonus bonus yang kuperoleh dari perusahaan padanya. Aku hanya mengambil seperlunya untuk keperluan seharihari rumah tanggaku. Selebihnya, kubiarkan ia mengelola keuanganku. Kupikir dengan begitu ia akan merasa dipercaya dan tahu bahwa sunggu h aku tak pernah mem ikirkan uang. Yang penting bagiku adalah kami semua bahagia.

Akupun setuju ia mem beli tanah, rumah, dan banyak lagi yang lainnya. Aku juga makin mendukung sepenuhnya dan mem bebaskannya menggunakan ua ng hasil kerjaku untuk berbisnis. Meski, setiap kutanya apa hasilnya ia akan marah dan mendiamkan ku untuk beberapa lama.

Semakin ia marah dan makin lama mendiamkan ku, semakin aku merasa harus melakukan sesuatu untuk menebus kesalahanku. Entah mengapa aku selalu merasa bahwa semua sikapnya itu adalah reaksi dari perbuatan ku, dari kesalahan yang kubuat. Maka akupun m akin m encoba

mem beli perasaannya, cintan ya. Kubelikan ia hadiah- hadiah, yang seringkah malah tak cocok dengan seleranya dan menjadi kemarahan lainnya. Kubujuk ia untuk pergi ke toko bersamaku dan memilih baju atau apa saja kesukaann ya. Sungguh aku makin giat berusaha mendapatkan kembali cintanya.

D alam hati, sering mu ncul pertanyaan, "Mengapa suam iku sepertinya mem benciku? Apakah ia tidak mencintaiku lagi?" Lalu, sisi hati yang lain mem bantah, "Tentu ia m encintaimu. Bukankah ia suam imu?". "Tapi jika mem ang ia mencintaiku, mengapa ia selalu bersikap rnernusuhiku?" kata sisi hati lainnya.

Ku bertahan. Bahkan hingga aku hamil anak ke empat. Kupikir, dengan mem berinya seorang anak lagi, tentu ia akan senang dan sembuh dari semua kemarahann ya. Mem persembahkan seorang anak lagi, tentu akan merekatkan kembali hati kami. Ingin kutebus cintanya dengan anak kami yang keempat ini.

Tapi ternyata, harap anku tinggal harapan. Suamiku makin menjadi-jadi. Ia mendiam kanku berbu lan-bulan karena kesalahan-kesalahan kecil atau bahkan tak jelas apa yang mem buatnya marah padaku. Bahkan dalam keadaan aku hamil tua dan kemudian melahirkan, ia mendiamkan ku. Ketika itu, tepat ketika aku berjuang melawan rasa sakit karena melahirkan , aku sempat berpikir, barangkali sebaiknya aku mati saja. D engan begitu, selesailah semua penderitaanku. Aku menan gis sembari menahan rasa sakit yang amat sangat. Aku begitu putus asa. Sungguh aku tak tahu lagi cara mengambil hati suam iku.

Tapi tangis bayi mem buatku m enarik keinginan itu. Bayi bermata indah itu mem butuhkanku. Juga ketiga anakku yang lain. Aku harus hidup. Apapun yang terjadi.

Maka kupilih untuk bersabar. Kupikir lagi, baran gkali kalau ada rizki dan aku bisa mem bawa suamiku berhaji, itu akan menjadi obat baginya, bagi kami. Maka itulah niatku. Aku mu lai mengum pulkan uang untuk bisa pergi haji.Aku ingin bermu najat pada Allah di tanah suci, agar aku bisa mendapatkan cinta suamiku. Aku juga ingin mendap at jawaban, mengapa aku tak lagi dicintai. Aku banyak berdoa, dan salah satu doa yang paling sering kuucapkan adalah: Allah humm a arinal haqqa haqqan, warzuknatti ba'ah, wa arinal batiia batilan warzuknajtinabah (Ya Allah, tunjukkanlah yang hak adalah hak dan berilah ham ba kekuatan untuk mengikutinya, dan tunjukkanlah yang batil adalah batil, dan berilah ham ba kekuatan untuk menjauhinya).

Malangnya, justru ketika uang untuk berangkat berhaji telah terkum pul, nasib berkata lain. Ru panya Allah SW T mendengar doaku. Aku mengetah ui mengapa suamiku mem benciku. Aku mem ergokinya memiliki peremp uan lain. Bukan hanya satu, tapi ia juga menggoda banyak perempuan. Awalnya aku tak percaya. Sempat aku mengabaikan pesan-pesan mesra di telepon genggamnya yang diakuinya sebagai orang salah kirim.Tapi belakangan, rasa penasaran mem buatku mencari tahu, hingga akhirnya aku m endapat pengakuan dari beberapa orang.

Maka terjawablah semua teka-teki mengapa ia lebih suka mem biarkanku bekerja di daerah lain dan dengan sukacita menerima semua uang penghasilanku tanpa rasa malu dan bersalah. Itu pula sebabnya ia tak mem pedulikanku dan banyak mendiamkan ku.

Semua itu m embuat hatiku hancur. Aku pun mulai mau mengakui bahwa naluriku yang merasakan hal-hal tak beres dalam rumah tangga kami ternyata benar adanya. Aku mengakui pula, bahwa suamiku bukanlah suami yang baik.

Meski pahit, tapi aku harus mu lai mau menerima kenyataan, bahwa apa yang dilakukan suamiku tidaklah benar menurut hukum perkawinan universal maupun hukum agama. Aku telah dikhianati.

Kenyataan bahwa suam iku menggoda beberapa perempuan,bahkan hingga pada tahap menjurus pada hubungan badan, telah mengh ancurkan kepercayaanku padanya. Aku pun merasa terhina. Harga diriku sebagai istri dan perempuan diinjak-injak. Aku m ulai tak terima dan putik-putik pemberontakan mu lai bersemi dalam benakku. Aku mu lai bertanya-tanya, kemana perkawinan kami ini akan kubawa? Sementara suamiku bukannya mengakui kesalahan dan meminta maaf, malah berbalik menyerang dan makin memojokkan dan menghinaku. Diam nya m akin menjadi-jadi. Ia bahkan mu lai tak peduli pada keluargaku yang datang menjenguk kami dan mengata-n gatai orang tuaku. Ya Allah...

Aku, dalam kekalutanku, mu lai mengalami stre-ss.Aku teromban g-am bing pada keadaan di mana aku menginginkan perceraian tapi aku takut untuk hidup sendiri.Sementara di pihak lain, aku tahu , aku tak lagi bisa mentolerir perbuatan suamiku. Aku mem bencinya dan hidup bersamanya serta harus melayaninya lahir dan bathin telah bergeser dari kenikm atan menjadi siksaan dan deraan yang mem buatku kian sakit dan terpuruk. Bagaimana mu ngkin aku terus hidup dengan orang yang mengkhianatiku? Yang mem boho ngiku? Yang menyia- nyiakanku?

Tapi perceraian? Ya Allah, aku bahkan tak berani mem ikirkannya.Tak berani melafazkannya, apalagi melakukannya? Lagipula,bukankah itu perbuatan yang meski halal nam un sangat dibenci Allah?

Bercerai atau m en derita?

Aku teromban g-am bing dalam keadaan tanpa keputusan.Aku takut mengajukan gugatan cerai. Aku terpuruk, tenggelam dalam kekalutan dan kesedihan yang am at sangat. Aku takut mengam bil ke-putusan.Akupun mem perbanyak doa dan sholat malam, memohon pada Allah agar diberi petunjuk.

D an mem ang, Allah Maha Baik dan Mendengar. Aku bertemu dengan seorang laki-laki yang kebetulan bekerja di Pengadilan Agama. D arinya kudengar kalimat ini,

"Bu, dalam perkawinan, kedua belah pihak haruslah berbahagia. Bila satu pihak berbahagia di atas penderitaan pihak lainnya, maka perkawinan itu sudah tak bisa dikatakan baik. D alam hal ini, perempuan dan laki-laki mem iliki hak untuk berbahagia dengan porsi yang sama."

Kepadanya kuceritakan masalahku. Tentang kemarahan suam iku serta sikap diamnya, ia berkata,

"Kasus ibu termasuk dalam kekerasan rum ah tangga." Aku terpana.Bagaimana mu ngkin mendiamkan dan tidak mem ukul bisa dikatakan kekerasan ?

"Suami saya tak pernah mem ukul saya, Pak. Tidak pernah sama sekali!" bantahku.

"Kekerasan dalam rumah tangga itu bukan cuma tindakan mem ukul, Bu. Mem buat istri merasa tertekan bathinnya, menyakitinya terus menerus dan mengintimidasinya hingga mem pengaru hi kondisi kejiwaan dan rnentalnya juga disebut kekerasan. Membuat istri merasa khawatir dan ketakutan terus m enerus, juga disebut kekerasan."

Aku diam, mencoba m encerna kata-kata lelaki itu. Harus kuakui, aku m emang selalu merasa ketakutan dan khawatir suam iku akan meledak am arahnya hanya karena aku atau pembantuku salah meletakkan baran g miliknya, terlambat mem beri makan hewan peliharaannya, terlambat mem bukakan pintu gerbang, atau hal-hal lainnya.

"Sering mengancam, seperti mengancam akan mem bunuh, menyakiti, dan meneror dengan melontarkan kata-kata ancaman atau menghina dengan kata-kata yang tak pantas hingga mem buat pasangan kita merasa tertekan jiwanya dan merasa tak am an, juga disebut kekerasan. Sekarang terserah Ibu. Jika memang masih bisa diperbaiki,sebaiknya diperbaiki. Jika tidak, maka ambillah langkah yang benar. Sebab tinggal dan bertahan dalam rumah tangga yang sudah tak lagi dap at dipertahan kan akan m embuat semu a pihak menderita."

"Tapi anak-an ak saya...," kataku terbata.

"Orang seringkah lupa, bahwa rumah tangga yang tak harmonis, jika dibiarkan berlarut-laru t juga dap at mem pengaruhi anak-anak. Melihat oran g tuanya bertengkar setiap hari, tak ada kemesraaan, rumah tangga bagaikan neraka. Apalagi jika banyak terjadi kekerasan, meski tak ada pemu kulan, tapi suasana rumah yang selalu tegang dan mem buat takut para penghuninya sungguh bukan tempat yang baik bagi anak-anak. Jika keadaan sudah seperti itu, haruskah kita pertahankan meski mem bawa ke- mu dharatan ? Co ba pikirkan. Saya tak menyuruh bercerai. Tapi saya ingin Ibu memikirkan kondisi Ibu, dan mem buat keputusan yang tepat, sebab Ibulah yang paling tahu

Dalam dokumen Catatan Hati Seorang Istri (Halaman 97-118)