• Tidak ada hasil yang ditemukan

K alau bukan karena saya percaya kepada Mbak Asma

Dalam dokumen Catatan Hati Seorang Istri (Halaman 58-66)

N adia, penulis yang selam a ini saya lihat sangat mem perhatikan idealism e dalam karya-karya nya, dan berusaha berbagi kepada perempuan Indonesia, rasanya tidak mu ngkin saya menceritakan kisah ini dan meminta beliau m enuliskannya.

Men ikah den gan le laki ba ik

Panggil saya Amini. Usia dua puluh tahun saya menikah dengan lelaki yang dua tahu n lebih tua dari saya. Arief adalah lelaki yang sangat baik.

Kadang-kadang memang perkataannya keras dan menyakitkan, tapi saya bisa menerima sebab biasanya ada alasan kuat hingga dia merasa perlu menegur dengan keras.

Tetapi di luar itu tidak pernah Arief berlaku kasar apalagi hingga main tangan. Bukti kasih sayangnya pada saya, teruji ketika saya harus melahirkan. Kebetulan karena penyakit asma yang akut, saya tidak bisa melahirkan normal, hingga ketiga anak kami lahir melalui operasi caesar. W aktu itu kondisi ekonomi memang masih minim. Saya harus melahirkan di rumah sakit pemerintah, kelas tiga, karena hanya itulah kesanggupan kami.

Tetapi Arief menunjukkan tanggu ng jawab yang besar. Sejak konstraksi hingga akhirnya keputusan caesar, dia tidak pernah meninggalkan saya dan selalu menemani di rumah sakit. Bahkan rela tidur di kolong ranjang rumah sakit dengan alas seadanya. Dia juga tidak membiarkan saya ke kamar mandi sendiri, setelah hari kedua operasi. D engan sabar dan tanpa rasa jijik dia ikut m asuk ke kam ar

mandi, menunggui saya bahkan mengambil alih tugas mem andikan saya dari tangan suster.

Saya kira, sayalah yang paling beruntung dibandingkan keenam perempuan lain yang sama-sa ma operasi caesar. Saya menyaksikan sendiri bagaimana seorang ibu terpaksa menah an nyeri dan berjalan pelan sambil menenteng infus, ke kamar mandi, karena suami tidak bisa dibangunkan. Malah ada yang menyuruh istrinya berjalan sendiri. Sama sekali tidak khawatir jika istri yang mem bawa luka bedah yang belum kering terpeleset dan jatuh di kamar mandi misalnya.

Hal ini saya catat betul dalam hati. Kebaikan Arief yang mem buat saya sangat terharu. Apalagi setelah itu, Arief tidak segan-segan turun tangan untuk mem bantu mem andikan bayi, hingga urusan ganti diapers ketika anak- anak m enjelang batita.

Satu persatu anak-anak kami tumbuh, dekat tidak hanya kepada saya, tetapi juga kepada papa m ereka. Sebagai ayah, kom itmen Arief memang luar biasa.Saya sempat membaca buku Ru mah Cinta Penuh W arna karya Mbak N adia, dan menem ukan kemiripan sosok suami Mbak Nadia yang juga suka ber m ain dengan anak-anak.

Tipe lelaki rurnahan, begitulah Arief. Sepulang dari kantor, Arief selalu kembali ke rumah. Seperti tak sabar untuk berkumpul dengan istri dan anak-an aknya. Jarang lelaki itu keluar rumah kalau tidak perlu sekali. Jarang pula mengh abiskan waktu sekadar ngurnpul-ngurnpul dengan teman lelaki lain di kantor.

(Oo-dwkz-oO)

Ujian bagi rumah tangga kami muncul ketika usia perkawinan mencapai angka tu juh belas tahun.

Saya tidak sengaja menekan tombol play pada video yang direkam di hp Arief. Awalnya masih berprasangka baik, meski heran...bagaimana Arief bisa tertarik merekam seseoran g gadis. Tidak ada adegan mesra. Hanya sosok si gadis, berjilbab yang berbicara sambil tertawa-tawa (sepertinya ditujukan kepada Arief yang sedang merekam). Ada pun isi kata-katanya tidak terlalu jelas terdengar.

G adis itu, saya tidak mengenalnya dengan dekat. Saya hanya mengetah ui sosoknya sebagai adik dari seorang teman yang sempat mengh adiri satu seminar dengan Arief, dan kemudian beberapa kali rapat terkait bisnis. Beberapa kali saya dan kakak si gadis bertemu dan menjadi akrab.

Meski tanpa tendensi apa-ap a, video itu saya perlihatkan kepada Arief. Saya agak kaget melihat reaksi Arief yang luar biasa terkejut. W ajahnya berubah dan terlihat 'menarik diri'. D ari situ saya jadi bertanya-tanya, apa yang sebenarnya terjadi diantara mereka? Tapi percakapan kami tertunda karena Arief harus beran gkat ke kanto r.

Malamnya Arief mengajak saya makan di luar. Sudah cukup lama kami tidak berdua, karena kebersam aan rasan ya hanya lengkap jika ada anak-anak.

Saya perhatikan Arief mem andang saya lama sekali. Lalu mencium tangan saya dan menangis. Berulang kali saya tanya kenapa Arief menangis, tapi Arief tak bisa menjelaskan. Baru setelah reda dia sanggup berkata-kata,

"Arief sudah menyia-n yiakan cinta Amini. Arief minta maaf."

Saya terpukul, otak saya menarik benang merah dari sosok gadis di video itu.

"Arief sudah menikah dengan dia?" pertanyaan itu reflek saja meluncur dari mulut saya.

Suam i dengan cepat menggeleng. "Sejauh apa?"

"Jangan dibayangkan yang tidak-tidak, Amini."

Jawaban Arief dengan cepat meneduhkan saya. Bagaimana pun Arief lelaki baik, suami dan ayah yang baik. Soal salah saya kira semua manusia pasti melakukan kesalahan, tidak ada yang sempurna.

Malam itu seperti jadi babak baru dalam kehidupan rumah tangga, yang pada akhirnya malah menam bah kemesraan hubungan saya dan Arief.

(Oo-dwkz-oO)

Setelah dua bulan

Saya hampir yakin semuanya baik-baik saja, hingga suatu malam menjelang sahur di bulan puasa, saya terbangun oleh dering SMS masuk. Setelah saya cari, ternyata berasal dari hp suami. Saya pikir urusan biasa saja, hingga tanpa ragu saya mem buka. Mem baca isinya yang ternyata berasal dari kakak si gadis, saya sungguh terperanjat. Kasar sekali. Banyak caci maki di dalam SMS itu.Intinya mengancam suami saya yang dituduh tidak bertanggung jawab.

Ada kata-kata... Ibu akan melabrak ke rum ah dan mem buat malu, atau kalau perlu membantai anak-an ak elo!

Saya benar-benar terpukul. Jika yang mereka tudu hkan benar, berarti hubungan Arief memang sudah jauh, hingga mereka menuntut Arief untuk bertanggung jawab.

Saya coba berpikir tenang. Saya tidak ingin terbawa emosi dan akhirnya terdorong untuk mengam bil tindakan impulsif, yang pada akhirnya malah mem buat situasi semakin runyam.

Jujur saya tidak menyangka, si kakak yang selam a ini tam pak ramah dan 'terdidik' bisa melontarkan kalim at- kalim at sedemikian kasar. Mereka mengancam juga akan mendatan gi dan m embuat anak-anak malu di sekolah!

Tentu saja saya sedih dan marah dengan ketidakjujuran Arief. Jika diturutkan mau rasanya saya m eluapkan am arah dan mem bangunkan dia saat itu juga. Saya juga jadi tidak yakin apakah dengan ketidakjujuran ini, saya masih bisa mem aafkan Arief? Bahkan terlintas untuk meminta cerai, karena bagi saya kejujuran itu penting artinya.

Keinginan untuk melindungi anak-anak yang mem buat saya kemudian mem utuskan untuk mengirim SM S ke si akak perempuan yang sudah mem aki-maki Arief. Intinya satu, saya tidak ingin mereka merasa memanfaatkan ketidaktahu an saya terhadap hubungan terlarang itu, dan mengancam Arief.

D etik berikutnya saya sudah menyusun kata-kata dan mem balas SM S si kakak langsung melalui hp saya. Sama sekali bukan SMS kasar atau penuh kemarahan. Saya hanya mem inta mereka untuk jernih melihat persoalan, bahwa keduanya (suami dan perempuan itu) punya andil dalam affair ini. D an tidak adil menimpakan kesalahan hanya kepada satu pihak. Tidak berapa lama SMS saya berbalas. Intinya m enurut perempuan itu saya tidak pantas menerima perlakuan Arief. D an bahwa ini bukan kesalahan pertama atau kedua Arief. Saya saja yang menurutnya tidak tahu. SM S berikutnya menyusul kemu dian,

Jika pergi berduaan ke hotel, aktivitas apa yang biasanya mereka lakukan ? Silahkan cek kembali.

Saya menggigit bibir. Menah an perih di dada dan mencoba tetap tenang ketika merespon.

Saya sudah tahu apa yang saya perlu tahu. Arief sudah menceritakan segalanya pada saya. Jika kamu ingin mem buat saya sakit hati dan terluka, saya sudah lama ter luka. Tapi saya sudah mem aafkan Arief dan D ian, untuk semua pengkhianatan mereka pada saya.

Tahu? Sebenarnya apa yang saya tahu?

Tentu saja tidak banyak. Saya juga tidak tahu kalau ternyata mereka masih berhubungan sebab gadis itu mengancam bunuh diri jika ditinggalkan!

Sekarang apa yang bisa dilakukan?

Saya tidak tahu apakah orang-o rang akan percaya atau tidak, jika saya katakan saya sungguh bersimpati kepada D ian, gadis itu. Memahami rasa kehilangannya. Tapi ada satu sisi di hati saya yang ingin mem ercayai bahwa Arief bersungguh-sungguh ketika meminta saya mem aafkann ya. Sam pai di sini, saya bangunkan Arief. Saya tunjukkan SM S-SMS itu kepadanya. Saya minta dia berterus terang jika dia mencintai gadis itu, jika dia ingin meninggalkan saya dan anak-anak, saya katakan tidak akan mencegahnya. Saya hanya ingin dia memilih, dia yang mengambil keputusan.

Lelaki itu menggeleng. Mem eluk saya dan meminta- minta maaf.

Saya tanyakan sekali lagi, apa dia yakin itu yang menjadi keputusannya, untuk kembali kepada keluarga.Saya lihat Arief menganggu k, matanya tampak sunggu h-sungguh, meski sebenarnya saya sulit m emercayainya lagi.

D engan jawaban dari Arief, baru saya mem balas SMS. Saya katakan, jika mem ang orang sudah berbuat salah, apa yang harus kita lakukan? Apakah menjerum uskannya lebih jauh kepada dosa, atau rnernaafkannya? Sekarang adalah tugas bersama untuk menjaga pihak masing-masing. Saya menjaga

Arief dan keluarga mereka mem berikan pondasi yang lebih kuat hingga Dian bisa bertawakal kepada Ali ah.

Tapi SMS berikut yang saya terima masih bernada kemarahan.

Mu ngkin benar kak, keluarga nggak ngasih pondasi yang kuat sampai adik saya berani bunuh diri (apalagi karakter orang beda, kakak imannya kuat, dia nggak...) tapi berarti ibunya Arief juga mu ngkin salah pond asi sampai mengh asilkan anak yang men dorong oran g bunuh diri. Lebih kasihan lagi ibunya Arief udah tahu anaknya bejat lemp ang aja tuch!

Saya mencoba mem ahami kemarahan si kakak, dan keluarga besar mereka. Saya tahu Arief salah. Tetapi kesalahan seperti ini hanya mungkin terjadi ketika perempuan m emberikan peluang.

Keluarga kita nggak pernah ingin Dian kawin sama Arief, amit2!! Juga nggak ingin kk cerai dari Arief. Itu urusan kalian. Urusan kita harga diri keluarga. Kk, ngerti masalahnya nggak? Ini urusan nyawa. Kalau D ian nggak samp e bunuh diri, saya nggak peduli. Coba bayangkan yang bunuh diri adik kakak, gimana? Di luar salah siapa tapi ada yang terluka seperti ini. Masalahnya nggak sesederhana itu. Ini bukan sekadar affair biasa.

Ahh, luka.

Hubungan suami saya dan Dian baru berkisar hitungan bulan. Belum lagi mencapai tahun. Lantas bagaimana dengan saya? Tujuh belas tahun pernikahan, dengan tiga orang anak di belakang saya.

Tidakkah saya juga terluka, lebih terluka? (Oo-dwkz-oO)

Men o leh ke belakang

Setelah kejadian itu, yang kemudian terdengar ke pihak keluarga kami entah bagaimana, saya menerima support yang luar biasa dari pihak keluarga. Macam -macam bentuknya. D ari mendukung meneruskan perkawinan, hingga meyakinkan saya untuk mem inta cerai.

Terus terang pemikiran cerai ini mem ang menghinggapi saya. Sebab saya kehilangan kepercayaan kepada suam i, dan tidak tahu apakah tahu n demi tahun yang berlalu bisa mem berikan penawar. Tapi biarlah semu a berjalan mengalir dulu seperti seharusnya.

Saya dan suami sama-sama tidak pernah menyinggu ng masalah ini lagi. Secara bertahap saya dorong suam i untuk mengu ran gi kontak dengan D ian, hingga gadis itu kuat untuk melanjutkan hidup sendiri. Alhamdulillah, sepertinya pihak keluarganya berusaha keras untuk itu, hingga akhirnya Dian hilang dari kehidupan kami.

Tulus, meski gadis itu telah menorehkan luka, saya mem aafkan dan mendoakan agar Allah mem berinya pengganti yang lebih baik. Bagi saya dia tak ubahnya adik kecil yang ketika itu bingung dan kehilangan pegangan. Mengingat jeda usia, saya beranggapan suamilah yang mem egang porsi kesalahan terbesar.

Sanak saudara yang tahu peristiwa ini sering bertanya, bagaimana saya bisa melaluinya? Bagaimana saya bisa mem aafkan Arief dan melanjutkan kehidupan kami seolah- olah tidak terjadi apa-apa.

Saya tidak tahu dariman a kekuatan dan ketenangan itu datang. Yang saya tahu Allah Maha Penerima Taubat. Jika Allah mem aafkan , kenapa saya tidak? Meski mem aafkan juga tidak berarti melupakan.

Saya hanya tidak ingin kehilangan syukur ke pada-N ya. Sebab di luar kesalahan-kesalahan suam i yang manusiawi, saya telah mengecap begitu banyak bilangan hari dalam kebahagiaan. Jejak kebaikan Arif bagi saya dan anak-anak telah am at panjang jika disebutkan satu persatu.D an kebaikan seseorang tidak boleh hilang dari ingatan, hanya karena sebuah atau dua, atau tiga kekhilafan...

(Berdasarkan kisah Amini)

(Oo-dwkz-oO)

Dalam dokumen Catatan Hati Seorang Istri (Halaman 58-66)