• Tidak ada hasil yang ditemukan

D engan visa turis kami berdua, aku dan anakku, terbang

Dalam dokumen Catatan Hati Seorang Istri (Halaman 75-95)

menuju N egeri Kincir Angin, tepatnya 29 Juni 1986. Esoknya kami tiba di Bandara Schiphol, Amsterdam. Ya, inilah negeri bangsa kolonial. Pada zaman revolusi, ayahku bersama pasukan pejuang pernah menyabung nyawa, melawan Belanda.

Sekarang, di sinilah aku dan anakku, putri dan cucu seorang pejuang '45. D emi mengadu nasib, demi meraih masa depan, demi melacak jejak surga yang kudamba.

"Ya Tuhan ku... kami mo hon. Lindungilah kami berdua, lindungilah," desisku mengambang di udara mu sim panas negeri asing.

Beberapa saat aku mengh irup aroma N egeri Kincir Angin sebanyaknya-banyaknya, seluas paru -paruku mampu menam pungnya. Berharap bahwa ini ha nya mimpi belaka

yang segera terbangun, kemudian kutemukan anakku berada di ruang keluarga yang nyam an tempat favoritnya asyik bermain-m ain. Nam un tidak, ini adalah sepenggal awal perjalanan me lacak jejak surga!

"Mama... dia siapa?" suara mungil anakku merenggut seluruh khayal dan kenyataan yang sempat nyaris tak bisa kubedakan lagi.

Aku tersentak, mengikuti telunjuk mu ngil yang mengarah kepada seorang lelaki bule. Sosok itu, ya, ternyata berwajah keras, terkesan angkuh dan show-o ff dalam berbusana. Ini persis sekali dengan mantan suami. Seketika ada yang berdesiran dalam dadaku, sesuatu yang seharusnya kum aknai sebagai pertanda buruk.

Lelaki itu, G ez, menghampiri kami diikuti oleh beberapa orang yang diperkenalkannya sebagai keluarga besarn ya. D ia menyalam iku, tepatnya menciumi pipi-pipiku dengan atraktif. Apabila tak kucegah dengan gerakan tegas, bibirnya mem aksa akan m encium bibirku saat itu juga.

"Yeah... inikah jagoan kecilmu, hem?" ujarnya seraya hendak m emangku anakku dengan gerakan kasar.

"Mama... gak mau!" protes Peter spontan mengh indarinya, berlari dan bersembunyi di balik tubuhku sambil memegangi ujung blazerku.

Aku bisa melihat perubahan pada raut wajah G ez, perpaduan antara geram dengan hasrat menguasai. D ia berhasil mengekang dirinya dengan bersikap santun terhadap diriku, penyayang terhadap anakku. Empat lelaki dan tiga perempuan, keluarganya itu, berusaha pula menyam but kami bedua dengan ramah dan sukacita.

"N ah, kita berpisah di sini," berkata G ez saat berada di parkiran. "Mereka akan pulang ke apartemen masing-

masing dan kita... Yeah, kita harus segera menyelesaikan urusanku!"

"Urusanmu ?" buruku tak paham, sedetik kemudian kami sudah berad a di dalam mobilnya dengan an akku meringkuk di jok belakang.

"Maksudku urusan kita, D arling... jangan takut, semuanya akan mem buat dirimu puas, yakinlah!" sahutnya disertai kekehannya yang aneh. Aku berusaha keras mem bunuh rasa takut yang mu lai membayan gi setiap helaan napasku. Kulihat anakku sudah kelelahan dan tertidur lelap. Sungguh, dia anak yang m anis, tenang, sama sekali tak pernah rewel. Itu bukan anakku yang biasanya periang, banyak bertanya dan berkom entar. N amu n, aku tak bisa berpikir banyak lagi tentang perubahan sikap anakku. Benakku dipenuhi berbagai rencana, pengharap an dan kecemasan.

"Minum lah ini, D arling," G ez menyodorkan botol minuman, baru kusadari ada boks minuman keras di antara kaki-kaki kami.

"Bolehkah nanti saja supaya tetap segar?" Mu ngkin dia mengartikannya lain, bahwa aku m enjaga kesegaran selam a mendampinginya,meladeninya. Ya Tuhan, bulu kudukku merinding mendengar tawanya yang terbahak-bah ak, dan sorot m atanya yang ceriwis liar. N am un, lagi lagi semu anya telah telanjur. Tahu-tahu kami sudah sampai di apartemennya di Hilversurn. D alam sekejap kami pun telah berada di dalam ruangan yang segera dikunci dengan sigap oleh lelaki itu.

"Apaaa... mau apa kamu ?!" seruku kaget saat G ez dengan gerakan tak terduga, tiba-tiba menodongkan pistol ke kepalaku.

"Sini, anak setan, siniiii!" G ez merenggut anakku dari tanganku, sedetik kemudian dia telah menyeret tubuh mu ngil kesayanganku itu ke dalam toilet, lalu m enguncinya rap at-rapat.

Mataku melotot hebat dan tubuhku lunglai, sendi-sendi tulangku bagai berlepasan.Seketika aku merasa hanyalah seonggok daging yang tak bernyawa. Separu h jiwaku, belahan nyawaku telah direnggu t dari dekapanku.

"Kamu diamlah! Jangan coba-coba melakukan tindakan bodo h. Kalau tidak, aku akan bunuh anak kesayanganmu itu!" ancamnya terdengar tidak main-m ain. G ez, sosok yang tam pak gentle dalam video itu, telah berubah dalam sekejap.

"Kumohon, kumo hon... demi Tuhan yang kamu sembah..." aku mulai meratap, mem ohon dengan segenap jiwaku. "Jangan sakiti anakku... D ia sama sekali tak berdosa." Hancur hatiku mendengar tangisan anakku lam at- lamat dari dalam toilet, hingga tak terdengar lagi, mungkin kelelahan atau pingsan?

G ez terbahak-bahak, semakin gencar menenggak minuman keras, sedang tangan nya yang satu lagi mu lai liar menggerayangi tubuhku.

Baru kusadari koper, tas, perhiasan, uang, paspor, semua bawaanku dari Indo nesia sudah diam ankan oleh G ez. Mengapa profilnya di video yang direkomendasi biro jodoh internasional itu tamp ak begitu simpatik, ganteng dan lembut? Belakangan baru kutahu bahwa semuanya mem ang telah direkayasa. G ez adalah seorang interniran militer, penipu, pemabuk dan... psikopat. Sejak saat itu, dia sering mengh ajar tubuhku hingga babak-belur.

Sejak saat itu pula, aku dipaksa melayani kebutuhan seksualnya secara biadab, kapan pun dan di mana pun. Bila

aku menjerit karena menah an sakit, dia akan tertawa terbahak-bahak dan bertindak dengan lebih keji dan brutal!

Aku berusaha keras untuk tidak menjerit, menan gis apalagi meratap-ratap, memohon belas kasihnya. D alam ketakberdayaan sekalipun, aku sungguh ingin tetap mem berontak. Beberapa kali aku mencoba mem bebaskan diri dari kungkungannya. N amu n, sebanyak itu aku mencoba lolos, sebanyak itu pula aku dipergoki, kemudian tanp a amp un lagi dihajar habis-habisan.

Yang paling tidak tahan adalah kalau dia mengancam akan mem bunuh anakku, tidak mem beri makan dan minum. Jika aku dibiarkan menem ui anakku, kami berpelukan dan kutahan sedemikian rupa air mataku agar tidak tump ah. Kuperhatikan anakku sudah seperti robot, sepasang mata bintangnya yang cemerlang telah hilang, disilih oleh dua butir mutiara hitam yang kelam , dingin dan suwung...

Suatu malam aku menem ukannya dalam keadaan mengenaskan, meringkuk di sudut kamar mandi, demam dan menggigil. D aya tahan tubuhnya anjlok drastis, tubuhnya seakan-akan menciut. Selain kelaparan niscaya mentalnya pun tak tahan lagi haru s sering dijauhkan dari ibunya.

"N ak, Anakku... aduuuh, demi Tuhan!" jerit tangisku kini tak terbendung lagi. Aku sungguh panik, dan merasa sangat berdosa karena tak mampu melindun ginya. "Bangunlah, N ak, bangun lah! Jangan tinggalkan Mama sekarang, jangaaan..." ratapku histeris, tak peduli lagi akan angkara G ez yang melongo k di belakang tubuhku. Melihat keadaan gawat begitu agaknya Laki-laki itu tergerak juga hatinya. Pasti dia hanya menakutkan dampak terhadap keselam atan nya sendiri.

"D iamlah, perempuan dun gu! Kamu jangan berteriak- teriak terus!" sergahnya, diangkutnya sosok mu ngil kesayanganku, kemudian ditaruhnya di ruangan lain apartemen itu. Sejak malam itu anakku diperbolehkan menem pati ruangan yang layak huni, meskipun kemungkinan cuma gudang, sebab banyak barang. Hatiku agak lega, setidaknya anakku berangsur mem baik dan tidak selam anya dikurung di kamar mandi. Kami berdua diperbolehkan bersama kem bali. Pada saat-saat G ez 'm embutuhkanku', terpaksa kuberi pengertian anakku.

"Peter, Cinta, jangan berteriak-teriak, jangan nangis selam a Mama pergi, ya? Kalau kamu lakukan itu kita akan dipisahkan lagi," bisikku sambil menah an bendungan air mata yang nyaris tak tertahankan. Kubelai wajahnya, ooh, baru kusadari tamp ak tirus. Tubuhnya pun tidak lagi gemuk, pipi-pipinya yang tembam... ke mana gerangan?

"Iya... aku gak akan nangis, Mama. G ak akan jerit-jerit, Mama. Asalkan Mama ke sini lagi, hati-hati, ya Mama... D ia mengiyakanku sambil berlinangan air mata, di tahu, dan tak mau mengu ngkitnya di kemudian hari; apakah selam a ibunya ini diperlakukan keji, anak yang malang itu tetap tinggal di tempatnya? Ataukah dia diam-diam mengintip?

"Ya Tuhan, jangan tinggalkan kami, kumo hon, jangan tinggalkan kami," jeritku mengawang nun kelapisan ketujuh.Apabila laki-laki itu meninggalkan rumah, kami akan dikunci dari luar. Tiada televisi, tiada telepon, bahkan aliran listrik pun akan dimatikan. Makanan yang diberikan alakadarnya; sepotong roti keras, semangkuk sup krim dingin dan segelas susu tawar. Adakalanya aku diperbolehkan mem unguti rem ah-remah roti atau pizza bekas makanann ya.

"Aku masih lapar, Mama," pinta anakku takut-takut, mengerling secuil roti yang baru saja akan kumasukkan ke mu lutku.

"Ya, tentu saja... ini boleh buatmu, Cinta," segera kusuapkan roti jatahku itu ke mu lutnya. Tangisku pecah jauh di dalam dada melihat hasrat dan kelahapan anakku. Secuil roti yang hanya pantas buat mainan tikus dan kecoa saat di Tanah Air. Nam un, lihatlah, Tuhan! Hari-h ari ini begitu dibutuhkan anakku sebagai pengganjal perutnya. Entah bagaimana reaksi kakek-neneknya jika mengetah ui hal ini.

Adakalanya otakku berputar-putar dengan berbagai kemungkinan, berbagai macam hal. Apakah ayahnya masih peduli akan keberadaan kami, terutama anakku? Masihkah dia bernafsu untuk menculik dan menguasai anaknya? Mengapa aku begitu panik menghadapi ancaman- ancam annya? Bagaimana kalau itu hanya om ong kosong belaka? Bukankah sejak bercerai, dia tak peduli lagi, terbukti kewajibannya (janji hitam di atas putih, disaksikan pejabat KUA) untuk mem biayai anaknya pun telah diabaikan. Tak pernah m emberi biaya sepeser pun lagi sejak palu hakim diketukkan. Pikiran-pikiran itu acapkali sangat menyiksa diriku, mem buatku tak bisa mem ejamkan mata sekejap pun. Sungguh, rasan ya aku nyaris menjadi gila!

N am un, segera aku disadarkan akan realita yang tengah kuhadapi. Aku tak boleh menyerah,tak boleh mem biarkan diriku stress, frustasi. Aku harus menjaga otakku tetap sehat, waras, sebab dibutuhkan untuk mengatur strategi agar bisa keluar dari situasi buruk ini, melawan G ez!

Setelah dua pekan dikurung di dalam apartemen sumpek itu, akhirnya G ez mengajak kami ke luar rumah. Kami diperkenalkan kepada beberapa kenalannya. G ez berlagak gentle mem biarkanku bersosialisasi. D ia wara-wiri di antara teman -tem annya sambil menikmati makanan dan m inuman yang terhidang. Sikapnya berlagak penuh kasih sayang terhadap anakku.

"Lihatlah, Kawan! Sekarang aku punya seoran g anak yang hebat, padahal dia berasal dari negara terbelakang... segalanya!" celotehnya kacau.

"Eeeh, apakah kamu baik-baik saja?" Paul Van Mo orsel, nam a lelaki itu, memandan gi wajahku lekat-lekat. D ialah satu-satunya yang berani menghampiri dan berkomunikasi dengan ku. Ia bertanya banyak hal tentang Indonesia, tentang alasanku m eninggalkan negeriku dan lain-lain.

"Aku tidak apa-ap a," sahutku pelan, kurasai sesungguhnya G ez tetap mengawasiku dari kejauhan. "Yah... tidak apa-apa, hanya sedikit tak enak badan. Terima kasih."

Aku menundu kkan kepala dalam-dalam , menatap lantai di ujung kakiku. Cepat-cepat kulindu ngi pelipisku dengan syal yang m enutupi sebagian wajah dan kepalaku. Sepasang kacamata berukuran raksasa juga menclok di wajahku. Semuanya itu kupakai demi menyembunyikan bilur-bilur ungu , tapak kekerasan yang kuterima selam a dua pekan.

"Jangan sungkan, N yonya, katakan kepadaku kalau kalian butuh sesuatu ," ujar Paul setengah berbisik, kemudian diraihnya tubuh anakku, dan didudukkannya di atas pangkuann ya. Anakku berjingkrak kegirangan saat lelaki itu mem berinya seraup perm en. Aku terharu sekali dengan perhatian yang diberikannya terhadap kami berdua. Sedangkan yang lainn ya bersikap acuh tak acuh,

belakangan kutahu juga alasan mereka. Sesungguhnya mereka malas berurusan dengan G ez, mengingat perilakunya yang kasar.

"Mama dan aku... sakit, Om Paul," gumam anakku dalam bahasa Inggris patah-patah. Jantu ngku sampai berdetak keras mendengarn ya, kuatir diketahui oleh G ez. Tapi lelaki itu tamp ak sedang asyik berbincang dan tertawa keras dengan seorang peremp uan beram but pirang.

"Aku sudah mendugan ya," desis Paul mu ram. "Kalian mendapat perlakuan... G ez menyakitimu dan anakmu, bukan?"

"Mm, jangan m emaksa." bisikku mencoba m enghindar "D engar," dia menundukkan kepalanya di belakang punggung anakku. "Kalian masih mem egang dokumen perjalanan?"

Aku menggeleng. W ajah Paul seketika rnengelam.

"Carilah! Kamu harus menem ukan dokumen perjalanan kalian. Aku akan berusaha mem bantu kalian." Secercah cahaya sekejap mem bernas dalam gulita hidupku. Titik air mataku bahna terharu. Semula aku mengira takkan pernah ada yang sudi mem edulikan kami berdua. Bahkan aku ham pir menganggap bangsa ini identik dengan si jahanam.

"Kamu harus secepatnya pergi dari apartemennya. Laporkan ke polisi!" Paul terus m enyemangatiku.

"Yeah... terima kasih," tangisku merebak dalam dada. Ketika Paul kemudian tampak lebih akrab dengan anakku, mo nster yang mu lai mabuk itu mendatangi tempat kami.

"Sudah saatnya kita pulang!" dengusnya seraya m encekal tanganku dengan kasar. Bau alkohol meru ap dari mu lutnya. Betapa sering hasratku untuk mengh abisi nyawanya nyaris

tak terbendung lagi, terutama saat m enemukannya terkapar mabuk berat. N amu n, aku segera disadarkan bahwa ada seorang anak yang menjadi tanggunganku. Bagaimana jadinya anakku jika aku menjadi seorang pembunuh, di negeri asing pula?

"Masih sore, G ez, biarlah mereka..." Mo orsel mencoba menah an kami.

"Tak ada yang menan yakan pendapatm u, Moorsel!" sergahnya galak. Kemu dian tanpa melepaskan botol mi num annya,tangannya mencoba menggaet leher anakku hingga minuman beralkohol itu tumpah. Paul bergerak refleks menepiskan tangan G ez, sehingga kepala anakku terhindar dari tump ahan minuman keras itu.

Plaaakkk!

"Aduuuh!" G ez menjerit tertahan. Agaknya pergelangan tangannya ditepis sekaligu s dipelintir keras oleh Paul Van Mo orsel. D alam sekejap keributan terjadi, suara G ez yang lantang menghamburkan kata-kata tak senonoh. Kurasa mereka berdua akan berbaku hantam, andaikan tak segera dilerai oleh teman-tem annya.

"N eem me niet kwaklijk... sterkte, ya Mevrouw. (Maafkan aku... kuatkan dirim u, ya N yonya.)”

Masih kudengar suara anak bungsu aktivis gereja, Mo orsel itu, tatkala G ez menggelandangku keluar dari klub. Simpati seorang Moorsel, meskipun hanya sebatas itu dan nyaris tak berpengaruh apa-apa terhadap keadaan kami, bagiku sunggu h berkesan. Keberaniannya menyadarkan diriku bahwa tak semua lelaki di negeri bekas penjajah bangsaku ini seperti G ez. Keberadaannya pun menyadarkan diriku akan pengharapan yang nyaris raib, ditelan kekejian seorang manusia berhati iblis. Malam itu,

untuk kesekian kalinya G ez melampiaskan kekejiannya terhadap diriku. Tubuhku melumbruk bagai tak bertulang, tak bersendi, tak bernyawa. Darah berceceran di mana- mana, mem basahi sekujur bagian bawah tubuhku. Kutahu sejak itu aku takkan pernah bisa menikmati hubungan intim lagi sepanjang hayatku! Ya Tuhaaan, kusebut nama-Mu dalam keyakinan yang tak tahu lagi apa namanya ini.

Lam at-lam at kutangkap suara isak anakku. Ya, berkat isak tangis belahan jiwaku itulah, diriku masih mampu bertahan, mengh abiskan sisa-sisa malam jahanam.

(Oo-dwkz-oO)

Tengah malam menjelang dinihari, tepatnya dua puluh satu hari dalam cengkeraman G ez. Aku sudah bertekad bulat, apapun yang terjadi, kami berdua harus keluar dari tempat yang bagaikan neraka ini. Kulihat anakku sudah terlelap tidur. Sementara G ez tengah keluar untuk mabuk- mabukan. Aku berjingkat mencari dokumen perjalanan milik kami. Aku menyisir dengan sangat cermat setiap laci- laci, lemari pakaian, gudang, basement, seluruh penjuru ruangan.

Tidak juga kutemukan!

"Ya Tuhan ku, di mana paspor dan tiket milikku itu? Kumohon, bantulah aku menyelamatkan diriku dan anakku, Tuhan? Kumohon, bukankah Engkau Maha Pengasih?" lolongku melindap dalam dad a.

Saat aku hampir putus asa, mataku sekonyong melihat sesuatu di sudut kamar G ez. Yup, sebuah kotak kecil yang terkunci. Semangatku bangkit kembali, dad aku seketika dipenuhi debar-debar asa. Adakah demikian perasaan ayahku, ketika bersama pasukan pejuang hendak merebut tangsi militer di Cimahi zaman revolusi dah ulu? D emikian

sempat terlintas dalam benakku, mem buat air mataku menitik perlahan.

Aku terus mengo tak-atik kunci kotak itu sambil berdoa, menyeru nam a Tuhanku, ayahku, ibuku, ka kakku, adik- adikku, seluruh keluarga besarku. Ya, semu anya saja kuseru dalam dad aku. Entah mengapa, seketika itu, sesuatu yang nyaris raib dari benakku mu ncul kembali. Ya, ternyata aku masih punya keyakinan, bahwa mereka niscaya masih mengingatku, masih mendoakan ku, terutama kedua orang tuaku yang m engasihi kami berdua.

Setelah kucoba dengan berbagai nomer serabutan, akhirnya kotak itu terbuka dengan angka-an gka kelahiran G ez. Benar saja, di sinilah agaknya pasporku disembunyikan. Hanya pasporku, sedangkan tiket, seluruh perhiasan dan uang milikku tidak kutemukan.

"Tidak mengapa, biarlah, ini juga sudah bagus," gum am ku penuh sukacita. D engan mengu cap rasa syukur untuk pertam a kalinya, aku mengambil paspor dan kusembunyikan baik-baik di dalam jaket anakku. Sejak bentrok dengan Paul, G ez bersikap hati-hati terhadap anakku. Mungkin karena diancam oleh Paul akan mem erkarakannya, apabila diketahuinya dia menyakiti anakku.

"N ak, bangunlah, Cinta," kuraih tubuh mu ngil kesayanganku, tanpa menunggu reaksinya lagi secepatnya kukenakan pakaiannya.

"Ke mana kita, Mama?" tanyan ya setengah mengantuk saat kutuntun bocah yang m alang itu menuju pintu keluar.

"Kita harus pergi dari sini, N ak. Kuatkan dirimu dan hatimu, ya Cintaku, Buah Hatiku," bisikku meracau seraya mem bungkuk, sekali lagi kubetulkan kerah jaketnya.

Udara akhir Juli mu lai dingin dan aku tak tahu entah apalagi yang bakal menghadang kami di luar sana. Ketika ku baru saja hendak membongkar pintu depan dengan paksa, sebelum nya berhasil kurusak, seketika pintu terkuak. Sosok yang ingin sekali kubakar hidup-hidup itu, terhuyung-huyung limbung dengan botol minum an keras di tangannya.

"He... kalian mau ke mana?" suaranya menan dakan sedang m abuk parah.

"D engar, kami tidak akan membuat keributan di sini. Kami hanya ingin pergi dari sini, oke?" Sekali ini kutegakkan tubuhku dan bicara dengan sangat tegas.

"Jadi... m enyingkirlah!"

Kurasa jika mem ang diharu skan, diriku sudah bertekad akan melakukan apapun demi kebebasan kami berdua. Aku sudah tak peduli lagi jika haru s menjadi seorang pembunuh, atau menjadi mayat sekalipun. Aku tak sudi menjadi pecundang.

"Apa kamu bilang, perempuan tolol? Mem angn ya siapa dirimu itu, hah?" tangannya yang bebas meng gapai-gapai di udara,tubuhnya semakin limbung.Bagus, keadaannya menam bah keberanian dalam dadaku!

"Aku, putri seorang pejuang' 45, bangsa Indonesia!" sergahku lantang. D engan sisa-sisa kesadaran yang masih dimilikinya, telunjuknya menuding-nuding wajahku.

"Jij ben niks waard en je heb niks geen pass-port en geen tiket, dus godverdomm e wegwezen juiiie!" ("Kamu tidak punya apa-ap a, tidak berarti apa-apa, tidak punya paspor dan tiket, jadi pergilah kamu dari sini!")

Ya Tuhan, sunggu hkah ini? Ternyata begini mu dah kah kami terlepas dari cengkeram annya? Mengapa tidak dari

kemarin-kemarin aku melakukannya? Mengapa ketakutan akan kehilangan nyawa anakku begitu mengh ancurkan setiap hasrat bangkang dalam diriku? D emikian aku sempat menjeritkan kenaifanku. Ah, sudah lah, sudah lah, jerit hatiku kemudian. Akhirnya, Tuhan ku, Tuhan ku, terima kasih!

Bagaikan sinting rasan ya diriku mencekal kuat-kuat tangan anakku. Setengah berlari kuseret langkah kami berdua, bergegas pergi. Kami tak mem bawa apapun selain yang melekat di tubuh dan paspor, ditam bah beberapa lembar gulden yang kutemukan di laci dap ur. Aku tak mem ikirkan apapun lagi. Bagiku yang terpenting pergi sejauh mu ngkin. Samar-sam ar suaranya masih terdengar meracau tak jelas.

(Oo-dwkz-oO)

Udara dingin di penghujung bulan Juli pada dini-hari itu seketika menyergap tubuh kami. Beberapa saat kupangku anakku dan kudekap erat tubuhnya yang gemetar. Selang kemudian anakku minta diturunkan, tentu merasa kasihan kepadaku yang terhu yung-h uyung lim bung.

Kami berjalan kaki menuju stasiun terdekat selam a kurang lebih 20 menit. Tak ada pejalan kaki lainn ya kecuali kami berdua. Aku berjuang keras menah an rasa sakit yang menusuk-nusuk di bagian bawah tubuhku. Kuyakinkan pada diriku bahwa rasa sakit badaniah itu sungguh bukan apa-apa, jika dibandingkan dengan kebebasan yang baru kami dapatkan.

"Mama... sakit ya?" anakku merandek, lalu menengad ahkan wajahnya, sepasang bintang mencari-cari jawaban di wajahku.

"Tidak apa-apa, N ak... Mama baik-baik saja," sahutku seraya mem belai pipi-pipinya yang putih. "Masih kuat

Dalam dokumen Catatan Hati Seorang Istri (Halaman 75-95)