• Tidak ada hasil yang ditemukan

S elarn a menikah, saya pikir tidak ada kamus cemburu

Dalam dokumen Catatan Hati Seorang Istri (Halaman 40-48)

dalam rum ah tangga kami. Seperti keluarga lain yang berusaha menerapkan kehidup an religius da lam keseharian, kami percaya prinsip saling jujur dan percaya merupakan hal yang harus ada.

Apakah suami saya tidak tampan?

Tentu saja bukan karena itu. Meskipun saya memilihnya bukan karena wajah atau penampilan luar, saya mengakui betapa menariknya suami. Ini terbukti dari banyak gadis di kamp usnya dulu yang jatuh hati, bahkan terang-terangan mengatakan itu ketika walirnahan. D i hadapan kami, dua orang gadis mengatakan sempat naksir kepada suami saya, semasa di kampus.

Saya yang mendengarkan kalimat yang disampaikan serius meski dengan nada bergurau itu hanya tersenyum. Usia saya masih terbilang mu da, hanya dua puluh dua tahu n, tetapi tidak sedikitpun rasa cemburu menyelinap. Apakah saya terlalu percaya diri? Saya kira tidak. Sebaliknya saya cukup tahu diri dengan wajah yang pas- pasan. Entahlah, tapi saya yakin suami mencintai saya apa adanya. D an caran ya mengu ngkapkan itu selam a ini jelas mem iliki andil besar dalam ketenangan saya.

Sebelum menikah saya tidak pernah berpacaran, mem ang sempat dekat dengan satu dua lawan jenis, tapi hubungan kami lebih seperti sahabat ketimban g pacar. Sekalipun ketika itu saya belum berjilbab, tetapi kesadaran menjaga diri saya mem ang cukup tinggi. Saya tidak mau berduaan di tempat sepi, bahkan ketika dibonceng mo tor pun, tangan saya bertahan hanya memegan g bawah jok mo tor, dan tidak pernah melingkar manis di pinggang teman pria.

Oto matis ketika menikah, maka suami menjadi lelaki pertam a di luar keluarga yang memiliki kontak fisik. D an saya percaya, hal inilah yang dengan cepat mem bangun cinta yang sebelum nya tidak ada di antara saya dan suami. Maklum kami menikah tidak melalui proses pacaran. Apalagi suami benar-benar memperlakukan saya seperti ratu. Tidak jaran g dia memberi surprise dengan menyiapkan sarapan pagi ketika dia bangun lebih awal, dan kejutan -kejutan m anis lainnya.

D ia adalah sosok suami dan ayah yang baik. T ipe family rnan yang lebih banyak mengh abiskan waktu di rumah selepas pulang kerja dan tidak pernah keluyuran.

Begitulah, hingga anak keempat lahir, tidak ada cemburu diantara kami. Ru mah tangga tetap ten-tram. D emi kom itmen kepada keluarga, sejak anak pertama lahir, saya mem utuskan bekerja di rumah. Perkerjaan saya sebagai illustrator buku anak cukup memungkinkan untuk itu.

Semua terasa sempurna. Saya kira itu jugalah yang ada di gambaran oran g luar tentang keluarga kami. Bahkan kerap saya atau suami menjadi tempat curhat keluarga lain.

Beberapa istri yang dihantui oleh kecemburuan karena suam i mereka yang sewaktu menikah cukup baik keislamannya, tetapi sekarang mulai tampak 'genit' selalu saya nasehati untuk tetap berpikir positif dan tidak berburuk sangka terhadap suami. "Barangkali pekerjaan suamimu menuntut itu."

"Lingkungan pergaulann ya mem ang kalangan Pro fessional, saya kira dia hanya berusaha tampil lebih luwes di kalangan um um."

"N ikm ati saja...kan bagus suami merawat diri. Istri-istri lain banyak lho yang ngeluh karena suami mereka sama sekali tidak m emedulikan penampilan ketika keluar rum ah." D an saya bahagia jika para istri yang cemburu dan khawatir suami mereka diam-diam sudah menikah lagi, kemudian bisa mengusap air m ata dan pulang dengan lebih tenang.

(Oo-dwkz-oO)

Karir yang melesat

Seiring waktu, karir suami melesat jauh lebih baik dari yang bisa kami harapkan. Ketika menikah, penghasilan suam i hanya dua atau tiga ratus ribu rupiah perbulan, dari pekerjaan nya di bidang edu-taintment. Tetapi sekarang meningkat berpuluh lipat, seiring bertambah nya anak kami.

Beberapa teman sesam a mu slimah sempat menggoda penampilan suami yang m enurut m ereka makin m odis. Ada juga yang mem bisiki saya dengan kalim at serius,

"Hati-hati puber kedua suami lho, dik..."

Seperti biasa saya hanya tertawa. Tentu saja mata saya tidak luput terhadap perubahan penampilan suami. Tetapi kepercayaan terhadap lelaki itu tidak pernah berkurang sedikit pun. Sebab kecuali penampilan, tidak ada yang berubah. Perhatiannya terhadap saya dan anak-anak tidak berubah. Kejut an-kejutan manisnya masih ada. Kami masih sering jalan dan makan malam berdua seperti layaknya pengantin baru.

Bicara soal ibadah?

Alham dulillah suam i masih menjaga ibadah nya seperti ketika dia masih aktifis rohis di kamp us. Shalatnya masih

tepat waktu. Tidak hanya itu, kebiasaan shalat malamnya tidak hilang. Pun puasa Senin Kamis. Jadi apa yang harus saya khawatirkan? Setiap hari lelaki itu tetap pulang tepat waktu. Mem ang ada beberapa kali dalam sebulan, agenda keluar kota, biasanya ke Bogor, tetapi semua murni terkait pekerjaan .

Jadi tidak ada alasan bagi saya untuk cemburu hanya karena dia sekarang lebih rapi, memilih baju dan sepatu yang bermerek, atau rutin menyemprot parfum sebelum keluar rum ah.

Saya tidak ingin hati mengambil alih logika. Apalagi sejauh ini perasaan saya masih tentram dan sama sekali tidak ada kecurigaan apa-ap a. Sekalipun suami mem egang dua handpho ne kemana-ma na, saya merasa tidak perlu mencurigai apalagi terdoron g untuk mengecek siapa saja yang diteleponn ya seharian itu, atau m encuri-curi membaca deretan SM S yang diterimanya.

Hanya istri-istri yang tidak percaya pada kekuatan hubungan dengan pasangannyalah yang melakukan hal demikian, pikir saya.

Berita suam i si A selingkuh. Atau suami si B dan C berpoligami,tidak juga mem buat saya menjadi istri yang paranoid. Cem buru bagi saya hanya menyesakkan hati. Sementara dengan hati suram, bagaimana saya bisa maksim al merawat anak-an ak dan suami? Belum lagi mengerjakan order-order ilustrasi yang sering datang tiba- tiba?

Bisa-bisa gara-gara istri yang cemburuan suami menjadi pusing dan jenuh berad a di rumah. D an saya menjaga betul, agar suami senantiasa nyaman dan merasa teduh sepulang dari kantor.

Perempuan m isterius

Alham dulillah logika saya sejauh ini selalu menan g. Konon diantara mu slimah semasa di kampus, saya term asuk yang porsi logikanya sering disamakan dengan lelaki. Ketika mu slim ah lain menangis, ngarnbek dan marah-marah, saya masih bisa berpikir rasional dan m elihat masalah dengan jernih. Suami tahu itu dan kerap mem beri pujian.

Suatu hari ponsel suam i yang CD M A tertinggal. Kebetulan saya baru saja ganti handset karena ha-ndphone hilang sehari sebelum nya. Karena mem erlukan beberapa kontak, tanpa ragu saya pun meraih handpho ne suami. Sebab biasanya suami juga menyimpan beberapa nomor kontak saya.

Awalnya saya tidak terusik untuk mem buka in-box SMS suam i. Hanya menelusuri deret huruf kontak yang saya perlukan. Hingga kemudian saya menatap satu nama yang menurut saya ganjil berada di sana.

Suam i adalah tipe lelaki serius, pendiam dan sangat dewasa. Lalu bagaimana ada kontak bernama "Spongebob" di listnya?

Ada sesuatu yang tiba-tiba berdetak di hati, namu n saya lawan sebisanya. Pastilah ini hanya gurauan. Bisa jadi ketika saya buka, nom or tersebut merupakan nomor hand phone adik perempuan, sepupu atau keponakan atau bisa jadi teman kantor. Saya bayangkan suami akan terpingkal-pingkal ketika saya ceritakan hal ini.

Saya ingat sempat term enung beberapa lama sebelum mem buka kotak SM S. Bagi saya HP dan agenda adalah hal yang private dan saya sangat menghormati privacy suami.

Tapi entah ada apa hari itu, firasat seorang istrikah yang akhirnya mem buat saya bereaksi berbeda?

Untuk pertama kalinya logika saya kalah. Saya akhirnya tergoda untuk menggerakkan jari mem encet keyphon e untuk mem buka baris SM S yang masuk. D ebaran di hati saya bertam bah kencang ketika saya menem ukan empat SM S dari si 'Sponge bob'.

Saya mem baca basrnallah dan berdoa sebelum akhirnya mem utuskan mem baca SMS misterius tersebut. SMS pertam a dan kedua hanyalah kalim at resmi tentang janji temu.

Tetapi menginjak SMS ketiga, saya kaget menem ukan kalim at-kalimat m esra di dalamn ya. Tetapi bukankah siapa saja bisa berkata m esra?

Bukankah yang lebih penting adalah bagaimana sikap suam i terhadap yang bersangkutan dan bukan sebaliknya?

N alar saya bicara. Saya tutup kotak pesan masuk, dan mencoba menelusuri box sent item. Kepala saya mu lai berdenyut. Jari-jari saya gemetar saat menem ukan empat SM S dari suami sebagai balasan terhadap SMS si 'Spongebob'

SM S pertam a biasa saja. Tetapi SM S kedua?

Hari ini menem ani anak-anak karate. Sayang sedang apa? Jangan terlambat makan, ya?

Saya periksa tanggal SM S tersebut dikirimkan. Ahad lalu, hari yang sama ketika suami menem ani ketiga anak kami latihan karate. Sementara saya seharian di rumah menem ani si bungsu yang sedan g sakit.

Ketika mem baca SM S-SM S balasan berikutnya, perasaan saya semakin diremas-remas. Kedua kaki saya

seakan lumpuh dan tidak bertenaga. Sementara kepala sontak berdenyut-denyut. Ahh, bagaimana m ungkin?

Suam i saya lelaki yang taat beribadah. Al Ma' tsuratnya tak pernah tertinggal setiap shalat subuh. D ia mu ngkin lelaki terakhir yang akan saya curigai untuk berselingkuh.

Mu ngkinkah semua ini hanya guyonan?

Tidak, dia tipe pemikir dan amat menjaga pergaulan dengan lawan jenis. Saya tidak bisa menem ukan alasan suam i mem anggil perempuan lain dengan sebutan 'sayang'!

Kemesraan di dalam SMS-SMS berikutnya yang dikirim suam i, semakin mengu kuhkan jalinan cinta keduanya. Betapa pun saya berusaha berprasangka baik, sia-sia bagi saya menem ukan sudut pandang yang mungkin bisa mem bantah kecemasan saya.

Sesorean itu saya perpanjang shalat ashar dan menenangkan diri dalam tilawah. Saya menan gis. Lima belas tahu n pernikahan, belum pernah sekalipun suami mem buat saya menan gis. Tapi hari itu saya benar-benar terisak.

Ketika suam i pulang, saya mencoba menah an diri dan melayaninya seperti biasa. Tetapi tangis yang saya tahan akhirnya tumpah juga ketika kami sudah berada di tempat tidur dan siap beristirahat. D engan lembut seperti biasa suam i menan yakan apa yang m embuat saya begitu sedih.

Saya tidak menjawab. Saya raih handpho ne, mem buka sent item dan saya sodorkan SMS yang diketik suami untuk si 'Spongebob'.

Sikap saya berubah dingin. Saya perhatikan raut wajah suam i berubah, tidak lama kemudian dia te risak-isak dan merengkuh saya.

"Aa minta maaf. Aa khilaf..." Ada air mata yang kini juga jatuh di pipi suami. D ia pandangi saya, dia usap-usap wajah saya seraya rnengulangulang permintaan maafnya.

"Tapi belum jauh, dik. Tidak ada yang terjadi." Berawal di dunia maya, kedekatan m ereka terjalin. "Usianya tiga puluh tahun, belum menikah... dia tinggal di Bogor."

G adis itu sering curhat kepada suami soal apa saja. "Sudah berapa lama, Aa?" Suami saya diam. Matanya tam pak ragu.

"Saya ingin Aa jujur...Tidak apa."

Lelaki itu terdiam, mengh ela napas. "Tiga tahun, dik." Saya tercenung mendengar pengakuannya. Tiga tahu n...begitu lama. Bagaimana mata saya bisa dibutakan selam a itu? D i sisi saya, suami terisak.

Pembaca, setelah dialog malam itu, sulit bagi saya mem bangun kepercayaan kepada suami. Saya terus- menerus mem ikirkan angka 3 tahu n itu, imajinasi saya berputar-putar. Tiga tahun waktu yang lama, apa saja yang sudah terjadi di antara mereka? Hancur hati saya mem bayangkann ya.

Sementara ini saya mengu ngsi di rumah Ibu. Sudah enam bulan sejak pengkhianatan mereka saya ketahui (keduanya belum menikah). Saya hanya berharap waktu bisa mem beri saya kejernihan hati, untuk melakukan hal yang benar.

(Oo-dwkz-oO)

Sa at C in ta Ber paling Dar im u

" D ia tak m en gira ka lau kecantikan lugu itu akan m emo rak-mo randakan rum ah tangga mereka. "

Dalam dokumen Catatan Hati Seorang Istri (Halaman 40-48)