• Tidak ada hasil yang ditemukan

Dua Pasang Suami Istr

Dalam dokumen Catatan Hati Seorang Istri (Halaman 129-143)

" D a lam keadaan cacat fisik dan kekurangan m ateri, apakah yang menjadi sumber kebahagiaan keduan ya?"

D

ua peristiwa.

D ua pasang suami istri yang tidak saya kenal. Satu pertemuan.

D an seumur hidup saya, kemungkinan besar hanya sekali itulah saya bersinggungan dengan keduanya. Itu pun tidak lebih dari sepuluh menit. Tapi ikatan kuat di hati setiap pasangan suami istri itu, begitu m enyentuh.

G unung Sahari, 22 O ktober 2006

Saya bertemu dengan pasangan suami istri ini saat bersama teman -teman Rumah C ahaya Pusat m elaksanakan kegiatan tahunan kami. Setelah selam a sebulan mengu mpulkan sum bangan dari teman-teman melalui milis dan biog, tiba saatnya m enyalurkan am anah yang diterima.

Persis seperti tahu n sebelum nya, beberapa hari menjelang hari raya Iedul Fitri kami menyusuri jalan-jalan Jakarta. D ari D epok, Buncit, Saharjo, m asuk ke Manggarai, terus menuju Jalan Proklamasi, mengarah ke M angga D ua, Tubagus Angke dan berakhir di G rogol, kemudian kembali dengan rute yang hampir sama.

Sebenarnya paket dalam kantung plastik hitam yang kami salurkan tidak terlalu banyak. Isinya pun sederhana saja, terdiri dari sirup, indomie, biskuit kaleng, astor, kurma dan susu kaleng, ditambah sedikit uang dalam amplop. Tetapi saya dan sahabat-sahabat dari rumah cahaya

berusaha untuk mem ilih betul target yang menerima, agar tidak salah sasaran ke pengemis mu siman yang hijrah berbondong-bond ong m emenuhi ibukota setiap lebaran .

Hari telah gelap ketika saya dan teman-teman melewati pemand angan yang tidak biasa: lelaki tua yang mengayuh sepeda bututnya pelan-pelan. D i belakangn ya duduk sang istri. Punggungnya penuh oleh buntalan baran g yang dihampirkan dengan sehelai kain batik.

Yang menarik adalah tangan si istri yang dipenuhi kantung plastik tapi berusaha keras meraih pinggang suam inya.Meski kadang terlepas karena mengatur keseim bangan .

Sepeda melaju tenang. Si bapak terlihat hati-hati. Sekilas pandang, saya yang melintas, bisa melihat wajah si bapak tua yang berkilat oleh keringat, seolah telah menem puh perjalanan jauh.

Beberapa kejap tatapan saya masih terpaku pada tangan kurus milik ibu tua yang seperti sebelum nya berusaha meraih pinggan g si bapak.

Mo men sederhana yang terasa penuh makna dan menyedot perhatian saya. D an kenyataan pakaian keduanya yang lusuh, atau sandal jepit sekarat yang m ereka kenakan menjadi tidak penting.

Sebelah tangan kurus yang jatuh bangun berusaha bertaut pada sosok tua si bapak. Ro mantis!

Ketika kami mem inta mereka berhenti, rau t keduanya tam pak kaget. Si bapak seketika turun. Istrinya melakukan hal yang sama, dan cepat mengam bil posisi di belakang, seolah mencari perlindun gan dari sosok kurus si bapak yang kini terlihat heroik dan gagah di mata saya. Saya dan sahabat-sahabat rumah cahaya sempat bercakap-cakap

dengan pasangan suami istri ini. D ugaan terdahulu saya benar, berduaan m ereka telah menem puh perjalanan cukup jauh untuk berdagang m akanan di suatu tempat.

Ah, berapa lama mereka sudah bersama? Palin g sedikit tiga puluh tahun, pikir saya sambil mengamati sepeda tua yang catnya telah mengelupas dan kedua bannya nyaris gund ul.

Ketika salah seorang dari kami mengu lurkan kantung plastik hitam yang tidak seberapa itu, wajah dua orang tua itu langsung saja tersenyum. Rasa syukur m ereka wujudkan dengan kalim at harnda-lah dan terima kasih berulang- ulang.

Saya melihat si ibu menerima bingkisan sambil melempar pandangan ke arah suaminya, penuh arti.

Kehidup an mereka pasti tak mudah, batin saya sambil merayapi guratan usia di wajah keduanya.

G aris-garis yang lahir ditempa kerasnya kehidupan di Jakarta.

Tapi kemesraan sederhana namu n indah yang samp ai ke mata saya dan teman-teman, terlalu rne-nyolok untuk luput dari perhatian.

D engan pemikiran seperti itu, saya melepas mereka. Kaki kurus si bapak kembali menggenjot sepeda, di belakangn ya sang istri dud uk dengan sebelah tangan mem egang erat-erat beberap a barang.

D an baran gkali seperti ribuan hari sebelum nya, sebelah tangannya yang lain, diantara kantung plastik lain yang mem enuhi tangannya, berusaha m enggapai pinggang bapak tua.

So ng G w ang Sa Temple, 3 September 2006

Pertem uan dengan bapak dan ibu tua yang berboncengan sepeda, menarik ingatan saya pada pasangan lain yang meninggalkan kesan serupa beberapa bulan sebelumnya.

Fieldtrip terakhir bersama rombongan W riters in Residence. Ada beberap a tempat yang telah ditentukan oleh Yea Jin , program manajer kami selam a di Korea, untuk dikunjungi: Oedo island, Bosung Tea Farm, dan dua temple terkenal.

Tempat-tempat yang indah. Oedo Paradise Island merupakan pulau pribadi yang seperti namanya, dibangun menyerupai bayangan surga oleh pemiliknya. Saya yakin hanya dengan cinta dan kesungguhan pulau yang konon awalnya tand us bisa ber ubah menjadi surga tanam an tropis, dengan lebih dari 3000 jenis tum buh-tumbuhan, diantaranya Canellias dan Kaktus.

Masih dengan benak menyimpan keindahan Oe do Island, saya dan rombongan melanjutkan perjalanan ke Son g G wang Sa Temple.

Saat bis akhirnya berhenti, kami semua turun dan melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki. Saya ingat hanya berjalan sendirian karena teman -teman lain mem utuskan untuk m akan siang dahulu.

Tetapi langkah-langkah cepat saya segera terhenti. Ada 'sesuatu' di hadapan yang menyita perhatian saya.Satu pemand angan yang bagi sebagian besar pendatang m ungkin bukan apa-apa, terbukti begitu banyak orang yang melintas hanya satu dua yang berhenti dan mengh ampiri. Sepasang pengemis tua yang buta, duduk di atas tikar kecil, tepat di sisi kiri jalan setapak, beberapa meter dari gerbang.

Hati saya langsung berdesir. Ah, cinta seperti apa yang mem pertemukan m ereka?

Cinta seperti apa pula yang tidak kunjung mem isahkan keduanya?

Im ajinasi saya sebagai penulis sontak mem bayangkan betapa suami istri tua itu telah melalui sebagian besar bilangan usia mereka dalam hari-h ari yang sulit. Bukan hanya bahu mem bahu untuk makan sehari-hari, tetapi juga saling mem bantu dalam melakukan aktivitas harian yang sederhana. Kesulitan yang semakin menjadi ketika usia bertam bah tua.

Barangkali mereka tidak memiliki anak. Hingga suami menjadi tumpuan istri, begitu pun sebaliknya.

Allah, bagaimana jika salah satu sakit? Bagaimana mereka merawat pasangan dalam keterbatasan fisik?

Ketika jalanan semakin sepi, saya melihat keduanya mengo brol. Ada senyum yang sesekali terlihat di wajah sang istri. Senyum yang sama yang terkadang terulas di bibir suaminya. Mungkin mereka mem bicarakan hal-hal yang lucu. Mungkin juga bergembira membayan gkan hasil mengem is hari itu.

Entahlah. Tapi kebersam aan keduanya sungguh di luar nalar saya. D alam keadaan cacat fisik dan kekurangan materi,apakah yang menjadi sum ber kebahagiaan keduanya?

Terlintas di pikiran saya tidak sedikit suami istri yang bertengkar karena kurangn ya saling pengertian, saling menyalahkan atas sikap-sikap yang dianggap menyinggu ng dan tidak berkenan. Atau seperti pasangan-pasangan lain meributkan uang belanja yang tidak cukup, sementara harga-harga sernbako semakin tinggi.

Ahh... sepasang pengemis tua yang buta itu mungkin tidak memiliki apa-apa.Saya yakin sebagian besar di antara kita jauh lebih kaya. Tetapi sesuatu yang teduh dan menenangkan menelusup dalam hati, ketika saya mem andang m ereka lekat.

Pertem uan dengan kedua pasang suami istri ini telah mem buka mata saya terhadap bentuk cinta yang indah.Sungguh, mereka memiliki cinta yang tidak setiap orang memiliki, bahkan oleh oran g-orang yang dilimpahi keberkahan materi sekalipun.

Barangkali karena cinta seperti itu hanya diberikan Tuhan kepada m ereka yang terpilih.

(Oo-dwkz-oO)

Mam i

" Mem ang Mam i sering m en angis di hadapan kam i, tapi sela lu m en angisi o rang la in. "

P

engorbanan,

Itu yang menjadi catatan pertama, ketika mencoba melakukan kilas balik dan belajar dari kehidupan Mami menjaga perkawinan selam a nyaris empat puluh tahun.

Terlahir dengan nama Liauw Min Hoa, ibunda saya adalah putri dari Leo Arifin, pengusaha berdarah Jawa dan Cina yang sukses mem bangun bisnis transportasinya kala itu.

Menikah dengan Papa baran gkali menjadi ke-putusan paling besar dalam hidup Mami. Sebab menikah dengan lelaki berdarah Aceh itu berarti Mami haru s meninggalkan tradisi Katholiknya dan menjadi seorang muslim. Keputusan yang m enim bulkan konflik baru: menikah tanpa restu.

Saya mem bayangkan kisah cinta romantis ketika mengetahui hal ini. Keberanian Papa,ketabahan dan kekuatan hati Mami. Pastilah ibunda saya memiliki banyak pertimbangan, kenapa tidak menem puh cara seperti yang belakangan popular di tanah air, pernikahan beda agam a. Padahal sebagai gadis belia paras Mami tergolong cantik dan menarik, keturunan keluarga terpandan g di Medan pula. Artinya tidak akan sulit

bagi Mami untuk m endapatkan pendamping lain.

D engan kata lain Mami bukan tidak memiliki bargai- ning position ke Papa. Meski mu ngkin tidak akan mudah, sebab Papa berasal dari keluarga mu slim yang dihormati baran gkali di seluruh Sum atra. Untuk satu titik temu itulah Mami berkorban.

D an mengikuti kehidupan gadis Liauw Min Hoa yang kemudian berubah nama menjadi Siti Maryam itu, berarti mengikuti tahap demi tahap kehidup an yang penuh perjuangan dan pengorbanan.Sebab Pa pa dengan profesi pemain musik kala itu tidak bisa mem berikan kehidup an mewah yang dulu m enjadi ke seharian Mami.

Saya masih ingat meski samar, betapa kami berempat (waktu itu adik saya belum lahir); Papa, Mami, saya dan kakak sempat tinggal di wilayah kumu h di samping rel kereta api G unung Sahari. Sebelum berpindah-pindah dari rumah petak satu (yang hanya memiliki satu kamar, dan kamar mandi di luar menyatu dengan rumah induk) ke rumah petak yang lain.

Sebagai pencipta lagu dan pemain m usik, Papa bukanlah sosok yang malas. Beliau berusaha sekuatn ya untuk menafkahi istri dan anak-an ak. Berm ain mu sik hingga menjelang pagi di tempat-tem pat hiburan, sementara menjual lagu ke produser rekam an begitu sulitnya, hingga bisa dibilang keluarga kami nyaris tidak memiliki pemasukan tetap setiap bulannya.

Saya kembali mem bayangkan perubahan drastis gadis bernam a Liauw Min Hoa dalam mengikuti kata hatinya.

Tetapi pernahkah saya melihat sedikit saja Mami mengeluh kepada kami, anak-an aknya? Tidak!

Pernah kah sedikit saja terbersit perasaan menyesal telah menikah dengan Papa? Tidak!

Pernah kah Mami termenung-menung lama bernostalgia dengan masa lalunya sebagai gadis cantik dari keluarga am at berada? Tidak.

D i mata kami, Mami selalu terlihat bersemangat dan tidak pernah putus asa.

Kami tiga kakak beradik tum buh rem aja dan mencatat perjuangan Mami yang luar biasa. Sebagai ibu dari tiga orang anak, Mami mendidik kami dengan tegas tapi juga hangat. Keluarga kami mem ang m inim secara m ateri, tetapi Mami mem astikan anak-anak berpakaian pantas, memiliki peralatan sekolah juga seluruh buku pelajaran. Tidak jarang

beliau mem bantu mencari tam bahan penghasilan dengan menjual sprei, baju dan apa saja yang diambilnya dari seorang teman.

Saya tidak mengatakan Mami berhasil mendidik anak- anaknya hingga jadi 'orang'. Sebab secara materi dan prestasi anak-anak Mami rasanya biasa saja. Malah masih banyak yang belum bisa kami berikan kepada oran g tua, terutam a Mami sebagai rasa hormat dan cinta kami pada perjuangan beliau.

Tetapi tidak satu dua teman lama Mami yang masih mengh ubunginya hingga saat ini (Mami mem ang sangat menjaga silaturahirn, ini satu lagi nilai penting yang saya catat namu n belum bisa contoh dengan baik), mengo mentari Mami sebagai ibu yang beruntung karena berhasil mendidik anak-anaknya hingga semua mapan.

Ah, inikah jawaban bagi pertanyaan saya, ketika mendengar kisah hidup mereka yang berhasil padahal terlahir dari keluarga rniskin?Benarkah itu berpulang pada bagaimana sosok ibu dalam keluarga mem besarkan, mem beri energi positif dan menem patkan pendidikan sebagai prioritas bagi anak-anak nya, apapun kendalanya? Meski harus berhutang ke kanan kiri, meski harus bolak balik ke sekolah mem inta keringan an, meski harus berjuang hingga kaki menjadi kepala dan kepala menjadi kaki?

Pendidikan anak itu nomor satu!

Situasi berbeda yang saya temui ketika menem ani wartawan dari harian Boston, mencoba m enelusuri sindikat penjualan bayi. Kami mewawancarai seorang ibu yang pada awalnya dicurigai polisi telah menjual 3 anak kandu ngnya.

Belakangan terkuak bahwa perempuan itu telah dibodohi hingga mau 'm enitipkan' bayinya ke seorang ibu yang kemudian menjualnya ke pasangan asing secara ilegal.

Sebagai imbalan (yang sebetulnya nyaris tak ada) maka biaya melahirkan ditanggu ng dan ada ha diah berupa beras lim a kilogram, minyak tanah, gula dan susu beberapa kaleng yang diserahkan kepada keluarga yang m elahirkan.

Selama wawancara, saya perhatikan perempuan yang tam pak pucat karena baru saja melahirkan anak ke tujuhnya. Sang suami yang tidak memiliki pekerjaan , duduk di lantai dekat istrinya. Sementara ketiga anak mereka yang lain tampak bermain di luar.

D ari manakah sumber pendapatan keluarga?

Jawabannya tertumpu pada sosok anak lelaki mereka yang baru berusia 12 tahu n,yang telah berhenti sekolah sejak lama. Setiap hari anak lelaki ini pergi ke pasar menjual plastik atau memban tu ibu-ibu, mem bawakan barang belanjaan mereka yang berat.

"Sebulan bisa dapat tiga ratus ribu, mbak."

Hati saya miris membayangkan kehidup an bocah berusia 12 tahu n yang putus sekolah, juga adik-adiknya, yang bisa jadi tum buh besar kemudian menapaki siklus kemiskinan yang sama, yang telah dilakoni orang tuanya tanpa punya keteram pilan untuk mengubah nasib.

Yang paling menyedihkan adalah saya tidak m enemukan buku kecuali buku tulis di rumah mereka. Saya tahu pasti karena pada kedatangan kedua dan ketiga, saya mengikuti Jonathan, fotografer dari tabloid asing tersebut masuk hingga ke sudut-sudut rumah.

Saya ingat Mami dan kehidupan kami yang sama miskinnya dulu. D i luar hal-hal lain yang mem bedakan,

saya merasa beruntung karena Papa terus berusaha. Karena Mami tidak menyerah dan mengedepankan pendidikan. Semua anak-an ak Mami bisa mem baca sebelum sekolah dasar, meski tidak melalui pendidikan TK. Semu a anak- anak Mami mem iliki waktu belajar yang cukup. Untuk itu Mami tidak pernah merepotkan anak anak dengan tugas- tugas dapur, beliau m engerjakan semuanya sendiri, m eski di kemudian hari ini mem buat anak-an ak perempuan Mami tidak piawai untuk urusan m asak-mem asak.

Ahh, kembali pada ibunda yang saya cintai. Seolah ujian tidak cukup menghampiri beliau, di usia ke tujuh saya divonis dokter menderita gegar otak, jantung dan paru-paru hingga mem butuhkan pengobatan yang intensif bertahun- tahu n dengan biaya yang tidak sedikit.

Ru ntuhkah pertahanan Mami? Tidak!

Mem ang Mami sering menan gis di hadapan kami, tapi selalu menangisi orang lain.

Anak cacat yang dilihatnya dalam perjalanan ke pasar. Pengemis tua yang nyaris tak bisa lagi berjalan, ibu-ibu yang berpakaian lusuh dan tanpa alas kaki yang mencegatnya meminta tambah an ongkos. Kami bahkan biasa melihat Mami menan gis ketika dari layar tivi yang hitam putih, terpampang peristiwa pem bongkaran pedagang kaki lim a yang dikejar-kejar aparat, atau berita kebakaran dan musibah lain di tanah air.

"Kasihan..." ucap beliau dengan isak yang keras seolah salah satu keluarga dekat kami baru saja m eninggal dunia.

Ibunda kam i tak pernah kehilangan syukur, harap an juga doa.

D oa dengan caran ya yang lugu, sebab Papa dengan kesibukannya mencari nafkah tidak cukup punya waktu

untuk mem bimbing Mami menjadi mu slimah dengan pemahaman agama yang lebih. Tetapi rasa syukur Mami rasan ya melamp aui pemaham annya yang sederhana tentang Islam.

Setelah dua anaknya menikah dan mulai bisa memberi, berapa pun pemberian kami, rasa terima kasih Mami jauh lebih besar.

"Terima kasih ya, sayang. Mami doakan semoga kamu sekeluarga sehat dan diberikan kelapangan rejeki."

"Terima kasih banyak, Rani... memban tu sekali." "Terima kasih banyak Evy..." "Eron juga sekarang sudah bisa bantu, Mami. Alhamdulillah anak-anak Mami sayang sama Mami."

Padahal pemberian kami tidak seberap a.

Padahal M ami layak mendapatkan lebih dari itu!

Ketika saya mendengar kisah dari teman-teman yang sudah menikah dan kerap 'direcoki' orang tua, saya nyaris tidak menem ukan itu. Mami tidak pernah meminta kepada anak-anaknya.

Mami masih sosok perempuan yang sama yang mem besarkan kami tanpa keluh kesah. Yang am at 'tahu diri' dan berusaha keras tidak merepotkan an ak-anaknya setelah mereka m enikah.

"Kalian kan punya keluarga sendiri sekarang, harus hemat-hem at, nggak usah kasih Mami apa-apa."

Kalaupun sangat terdesak, Mami akan memilih mem injam ke teman-temannya ketim bang mengadu pada anak. Hal yang m embuat saya kembali ingin menan gis.

"Anak-anak Mami mu ngkin belum kaya, tapi Mami nggak perlu pinjam ke orang lain untuk urusan ini itu," tegur saya suatu hari.

Sementara Mami hanya menatap sayang kepada saya dan menjawab hati-hati,

"Mami takut kam u lagi susah."

Bukan hanya perkara uang yang mem buat saya haru, tetapi bagaiman a Mami mencatat kebaikan, sedikit apapun dari anak-anaknya dengan rasa syukur yang luar biasa.

"Rani itu anak istimewa," cetusnya suatu hari ketika seorang wartawan dari Bandun g mewawancarai saya dan kebetulan menemukan sosok M ami.

D an Mami pun menjelaskan panjang lebar kepada si wartawan, betapa anaknya yang bernama Rani itu selalu prihatin sejak kecil dan tidak pernah m elawan orang tua.

"Sampai besar pun dia tidak pernah m enyakiti hati saya," lanjut M ami lagi.

Apakah anaknya nomor dua itu tidak pernah berbuat salah?

"Bagaimana dia sempat menyakiti atau bikin dosa kepada, saya jika sehabis bertemu selalu mencium tangan dan minta maaf? Co ba bayangkan, orang gajian misalnya, kan wajar jika ada keterlam batan. Tetapi Rani jika mem berikan bulanan misalnya terlambat satu atau dua hari, pasti dia sms atau telepon, kasih tahu dan meminta maaf. Itu sebabnya... bagi saya dia anak istimewa."

Allah.. .

Saya mendengar cerita itu dari Mami di taksi, setelah saya bertanya sebenarnya apa saja yang Mami obrolkan dengan si wartawan.

Saya geleng-geleng kepala dengan 'anak istimewa' yang Mami bicarakan. Julukan itu sunggu h tidak pantas saya sandang. Sebagai manusia kesalahan saya bertump uk, sebagai anak, saya masih belum bi sa mem balas kebaikan orang tua.

Saya tatap Mami lekat-lekat dalam sisa perjalanan, dengan hati mengucap doa:

Semoga Allah mencatat setiap pengorbanan, setiap rasa syukur, setiap keikhlasan Mami dan memberinya kebaikan yang berlim pah. Allahum ma Amin.

(Oo-dwkz-oO)

Dalam dokumen Catatan Hati Seorang Istri (Halaman 129-143)