• Tidak ada hasil yang ditemukan

1.

Risiko ketidakmampuan mempertahankan kualitas portofolio kredit dan pembiayaan milik Perseroan

Hasil usaha Perseroan akan terpengaruh secara negatif oleh NPL dan kesinambungan pertumbuhan Perseroan akan bergantung pada kemampuan Perseroan untuk mengelola risiko kredit secara efektif dan mempertahankan kualitas dari portofolio kredit dan pembiayaan Perseroan.

Total NPL Perseroan per 31 Agustus 2012 adalah sebesar Rp2.915 miliar, atau setara dengan 3,9% (NPL-bruto) dan 2,9% (NPL-neto) dari total kredit yang diberikan dan pembiayaan/piutang syariah yang diberikan oleh Perseroan. Per tanggal 31 Agustus 2012, rasio NPL-bruto untuk kredit dan pembiayaan perumahan dan kredit dan pembiayaan non perumahan adalah masing-masing 3,2% dan 0,7%. Selain itu, pada tanggal 31 Agustus 2012, Perseroan memiliki proporsi kredit yang diberikan dan pembiayaan/piutang syariah dalam perhatian khusus yang relatif tinggi, sebesar 13,4% dari total kredit dan pembiayaan/piutang syariah yang diberikan. Perseroan dapat menghapusbukukan (write-off) NPL tersebut dan telah menghapusbukukan beberapa kredit dari tahun 2009 hingga Agustus 2012. Perseroan tetap melakukan penagihan (collection) atas kredit-kredit tersebut, walaupun kredit tersebut dapat berubah menjadi NPL di masa depan. Selain itu, Perseroan terus menanggung risiko kredit pada sebagian kecil dari kredit yang disekuritisasi Perseroan karena Perseroan masih memiliki efek-efek atas bagian tersebut.

Walaupun Perseroan secara aktif mengelola dan memonitor portofolio kreditnya dan menyempurnakan kebijakan, prosedur dan sistem pengelolaan risiko kredit yang telah ada, Perseroan tidak dapat menjamin bahwa kebijakan, prosedur dan sistem tersebut sempurna. Kegagalan atas kebijakan, prosedur dan sistem pengelolaan risiko kredit ini dapat mengakibatkan bertambahnya NPL Perseroan sehingga dapat berdampak negatif atas kualitas portofolio kredit dan pembiayaan Perseroan. Tingkat suku bunga yang lebih tinggi juga mengakibatkan peningkatan pada NPL. Lebih lanjut, kualitas portofolio kredit dan pembiayaan Perseroan dapat juga memburuk akibat berbagai alasan lainnya, termasuk faktor-faktor yang berada di luar kendali Perseroan seperti kondisi ekonomi yang memburuk. Apabila hal ini terjadi, maka menurunnya kualitas portofolio kredit Perseroan tersebut dapat berdampak secara negatif terhadap kondisi keuangan dan hasil usaha Perseroan.

2.

Risiko terjadinya peningkatan penyisihan kerugian untuk menutup kerugian portofolio kredit yang terjadi

di masa mendatang

Penurunan nilai aset yang melebihi dari penyisihan kerugian penurunan nilai Perseroan berpengaruh negatif terhadap laba bersih Perseroan. Per tanggal 31 Agustus 2012, penyisihan kerugian kredit dan pembiayaan/piutang syariah Perseroan adalah sebesar Rp1.009 miliar atau 34,6% dari NPL bruto. Jumlah penyisihan akan ditentukan berdasarkan penilaian terkini atas portofolio kredit dan pembiayaan Perseroan dan ekspektasi terhadap berbagai faktor yang mempengaruhi kualitas portofolio kredit Perseroan. Faktor-faktor tersebut antara lain kondisi keuangan, itikad dan kemampuan melakukan pembayaran oleh debitur, nilai jaminan yang bisa direalisasikan dan kemampuan penjamin untuk memenuhi kewajiban mereka serta keadaan ekonomi makro di Indonesia, kebijakan ekonomi makro Pemerintah, tingkat suku bunga, nilai tukar valuta asing dan peraturan dan perundang-undangan yang berlaku. Faktor-faktor di atas berada di luar kendali Perseroan.

Apabila penilaian dan ekspektasi atas faktor-faktor tersebut diatas berbeda dari keadaan yang sesungguhnya atau apabila kualitas dari portofolio kredit dan pembiayaan Perseroan memburuk, atau apabila nilai agunan menurun, penyisihan yang telah dilakukan oleh Perseroan mungkin tidak cukup untuk menutupi kerugian yang terjadi, sehingga Perseroan perlu untuk melakukan penyisihan tambahan untuk kerugian tersebut. Kebutuhan untuk melakukan penyisihan tambahan untuk kerugian atas kredit yang diberikan dapat berdampak secara negatif dan material terhadap kondisi keuangan dan hasil usaha Perseroan.

3.

Risiko konsentrasi kredit pada sektor dan daerah tertentu

Per tanggal 31 Agustus 2012, 86,4% dari total kredit dan pembiayaan/piutang syariah Perseroan terdiri dari kredit dan pembiayaan yang terkait dengan sektor perumahan termasuk kredit dan pembiayaan yang dijamin dengan bangunan dan tanah. Sebagian besar jumlah terhutang berdasarkan KPR Perseroan dijamin dengan tanah dan bangunan yang terletak di Jabodetabek ( kawasan metropolitan di sekitar dan termasuk Jakarta, yang mencakup empat Kotamadya dan tiga Kabupaten, yang merupakan kawasan metropolitan terbesar di Indonesia), yang mana Perseroan yakini sejalan dengan konsentrasi ekonomi di Indonesia. Per 31 Agustus 2012, sebesar 41,0% dari total kredit dan pembiayaan syariah dan 66,9% dari total dana pihak ketiga Perseroan terkonsentrasi di area Jabodetabek.

Per 31 Agustus 2012, lima nasabah terbesar Perseroan mewakili 22,6% dari total portofolio dana pihak ketiga dan dari lima nasabah itu, terdiri dari dua institusi Pemerintah dan tiga perusahaan BUMN.

Karena portofolio kredit dan pembiayaan Perseroan sangat terkonsentrasi pada sektor dan wilayah tertentu dan portofolio dana pihak ketiga Perseroan terkonsentrasi secara signifikan pada wilayah dan tipe nasabah tertentu, maka Perseroan terkena risiko apabila terjadi masalah pada sektor properti atau di daerah-daerah dimana kredit yang diberikan oleh Perseroan terkonsentasi atau penurunan pendanaan dana pihak ketiga yang diperoleh dari kelima nasabah terbesar Perseroan, dimana akan berdampak negatif terhadap kondisi keuangan dan kinerja operasional Perseroan

4.

Agunan yang diberikan untuk menjamin kredit yang diberikan oleh Perseroan mungkin tidak mencukupi

dan Perseroan mungkin tidak bisa merealisasikan secara penuh nilai jaminan yang diberikan apabila nilai

properti berubah atau apabila terdapat penurunan pada nilai properti di masa yang akan datang

Sebagian besar kredit yang disalurkan oleh Perseroan pada umumnya dijamin dengan agunan dalam bentuk tanah dan bangunan dan pada kasus tertentu dengan jaminan deposito. Per tanggal 31 Agustus 2012, Perseroan memiliki rasio kredit terhadap nilai jaminan Perseroan sebesar 50,7%. Perseroan sangat bergantung pada nilai jaminan yang diberikan sebagai agunan untuk kredit perumahan yang disalurkan pada debitur dengan penghasilan menengah kebawah.

Nilai agunan yang diberikan dapat berfluktuasi atau turun secara signifikan akibat berbagai faktor yang berada di luar kendali Perseroan, termasuk faktor ekonomi makro. Sebagai contoh, menurunnya keadaan ekonomi Indonesia dapat mengakibatkan menurunnya harga pasar perumahan yang mengakibatkan turunnya nilai properti yang dipergunakan untuk menjamin kredit yang disalurkan oleh Perseroan. Setiap penurunan dari nilai jaminan yang terjadi dapat mengurangi jumlah yang dapat direalisasikan oleh Perseroan pada saat melakukan eksekusi atas jaminan tersebut dan meningkatkan nilai penyisihan yang harus disediakan oleh Perseroan. Jika Perseroan perlu menyeimbangkan nilai agunan dengan adanya kemungkinan meningkatnya NPL, Perseroan dapat menurunkan penyisihan kerugian penurunan nilai kredit tersebut. Lebih lanjut dalam keadaan tersebut, Perseroan juga mungkin harus mencatatkan kerugian tambahan berdasarkan perubahan nilai pasar dari agunan, walaupun tidak terdapat perubahan kualitas kredit atas nasabah atau jika kredit tersebut sepenuhnya tidak tertagih. Perseroan melakukan revaluasi secara periodik terhadap agunan untuk menjamin kredit yang dimiliki oleh Perseroan, akan tetapi Perseroan tidak selalu melakukan revaluasi atas properti yang telah dinilai oleh penilai independen. Dengan demikian, Perseroan tidak selalu memiliki informasi terkini atas nilai agunan yang dimilikinya dan hal ini dapat berdampak pada ketepatan penilaian atas kredit yang dijamin dengan agunan tersebut dimasa yang akan datang. Dalam situasi tertentu, pada saat terjadi proses likuidasi, hak Perseroan atas agunan mungkin memiliki prioritas yang lebih rendah dibandingkan dengan hak pihak lainnya karena hukum atau berdasarkan perjanjian. Perseroan mungkin juga tidak dapat merealisasi nilai penuh agunan tersebut oleh karena kejadian tak terduga seperti tsunami, gempa bumi, dan banjir.

Di Indonesia, prosedur untuk merealisasikan nilai dari jaminan berbentuk aset tetap masih terbatas dan dapat mempersulit proses eksekusi dari agunan tersebut. Kesulitan mengeksekusi agunan menyebabkan Perseroan mengalami kesulitan untuk merealisasikan nilai jaminan pada saat nasabah mengalami wanprestasi. Penurunan nilai agunan dan ketidakmampuan Perseroan untuk merealisasikan nilai jaminan dapat berpengaruh negatif pada kondisi keuangan dan kinerja operasional Perseroan.

5.

Risiko kesulitan likuiditas dan risiko-risiko lainnya akibat perbedaan profil antara aktiva dan kewajiban

Sebagian besar dari pendanaan Perseroan diperoleh dari sumber pendanaan jangka pendek dan menengah, terutama dalam bentuk deposito berjangka dan tabungan. Per 31 Agustus 2012, rasio tabungan dan giro terhadap total dana pihak ketiga adalah 42,4%. Sebagian besar dari deposito berjangka Perseroan tersebut memiliki jangka waktu satu bulan atau tiga bulan. Akan tetapi sebagian besar dari aset Perseroan (KPR) memiliki jangka waktu jatuh tempo yang panjang antara 10 sampai dengan 15 tahun, sehingga dapat menimbulkan perbedaan likuiditas.

Secara historis, Perseroan dapat melakukan perpanjangan (roll over) terhadap sebagian besar deposito berjangka yang dimilikinya pada saat jatuh tempo, akan tetapi tidak ada jaminan Perseroan dapat terus melakukan hal itu di masa yang akan datang. Walaupun Perseroan tidak pernah mengalami kesulitan likuiditas di masa lalu, namun demikian tidak ada jaminan bahwa Perseroan dapat mempertahankan likuiditas yang cukup untuk menutup penarikan yang dilakukan oleh nasabah Perseroan di kemudian hari, terutama saat terjadi krisis ekonomi. Apabila sebagian besar nasabah Perseroan yang memiliki deposito berjangka tidak memperpanjang deposito berjangka mereka pada saat jatuh tempo, atau nasabah memutuskan untuk menarik simpanan mereka, maka hal ini akan berdampak negatif terhadap posisi likuiditas Perseroan. Apabila hal ini terjadi, Perseroan terpaksa harus bergantung terhadap pinjaman dari Bank Indonesia atau sumber-sumber pendanaan lainnya yang mungkin pada saat itu tidak tersedia atau tersedia dengan persyaratan komersial yang sangat tidak menarik.

Setiap fluktuasi suku bunga bisa memiliki dampak yang signifikan terhadap profitabilitas dan hasil usaha Perseroan. Perseroan memperoleh pendapatan dari selisih antara pendapatan bunga dari aset dan biaya bunga yang dibayar atas kewajiban Perseroan. Karena penetapan pendapatan bunga dan biaya bunga umumnya ditetapkan pada waktu yang berbeda, kinerja Perseroan dapat dipengaruhi oleh fluktuasi suku bunga. Jika bunga sedang menurun, komposisi selisih tingkat bunga aset dan liabilitas Perseroan cenderung akan meningkat. Namun, jika terjadi kenaikan suku bunga, meskipun Perseroan akan berusaha lebih sering untuk menyesuaikan bunga aset Perseroan daripada bunga liabilitas Perseroan, Perseroan dibatasi oleh kemampuan Perseroan untuk melakukannya dan untuk mengurangi risiko ini. Berdasarkan laporan neraca Perseroan per tanggal 31 Agustus 2012, penyesuaian bunga atas liabilitas Perseroan lebih sering terjadi daripada bunga atas aset Perseroan. Contohnya, sumber pendanaan utama Perseroan adalah dari deposito berjangka, yang akan mengalami penyesuaian bunga berdasarkan suku bunga pasar setiap satu sampai tiga bulan. Meskipun demikian, Perseroan juga menyesuaikan suku bunga produk kredit dan produk pembiayaan Perseroan berdasarkan perubahan suku bunga Bank Indonesia. Sebagai contoh, obligasi Pemerintah yang mewakili 7,7% dari total aset Perseroan per 31 Agustus 2012 memiliki tingkat bunga tidak tetap yang disesuaikan setiap tiga bulan.

Apabila Perseroan tidak mampu mengatasi perbedaan profil antara aktiva dan kewajiban, hal ini dapat menurunkan kinerja operasional Perseroan.

6.

Risiko perubahan kebijakan Pemerintah sehubungan dengan KPR bersubsidi

Untuk hal-hal tertentu, Perseroan bergantung kepada Pemerintah untuk program KPR bersubsidi dengan suku bunga tetap yang Perseroan tawarkan kepada nasabah segmen menengah ke bawah dengan pendapatan maksimum sebesar Rp3 juta per bulan (untuk rumah tinggal) dan sebesar Rp5 juta per bulan (untuk apartemen sederhana). Program KPR bersubsidi dari Pemerintah meningkatkan portofolio kredit dan pembiayaan perumahan Perseroan. Per tanggal 31 Agustus 2012, KPR bersubsidi mewakili 34,1% dari total kredit dan pembiayaan/piutang syariah dan 44,3% dari total kredit konsumer dan pembiayaan/piutang syariah Perseroan. Dari waktu ke waktu, Pemerintah menetapkan kebijakan dan persyaratan program KPR bersubsidi yang bervariasi. Perseroan tidak dapat menjamin bahwa setiap perubahan dalam kebijakan dan persyaratan (termasuk suku bunga yang diterima Pemerintah atas dana yang ditempatkan di Perseroan) yang dikeluarkan oleh Pemerintah akan menguntungkan bagi Perseroan dan bisnis Perseroan. Jika ada perubahan tersebut yang tidak menguntungkan, Perseroan tidak dapat berpartisipasi dalam program subsidi tersebut atau Perseroan dapat mengurangi pinjaman Perseroan terkait program tersebut sehingga hasilnya pertumbuhan kredit Perseroan dapat menurun. Setiap perubahan yang merugikan dalam kebijakan dan ketentuan program ini dapat mempengaruhi bisnis, hasil usaha dan prospek Perseroan secara negatif. 7.

Perseroan mungkin tidak dapat mengelola pertumbuhan Perseroan yang cepat

Pertumbuhan Perseroan yang cukup signifikan didorong antara lain oleh kredit non-perumahan, pembiayaan dan piutang syariah Perseroan. Untuk tahun yang berakhir tanggal 31 Desember 2009, 2010 dan 2011, total aset Perseroan masing-masing adalah Rp58.448 miliar, Rp68.386 miliar dan Rp89.121 miliar, yang meningkat sebesar 17,0% untuk perbandingan antara tahun 2009 dan 2010 dan 30,3% untuk perbandingan antara 2010 dan 2011. Didukung oleh pertumbuhan nasabah Perseroan, pendapatan Perseroan juga meningkat selama periode ini. Untuk tahun yang berakhir pada tanggal 31 Desember 2009, 2010 dan 2011, total nasabah Perseroan masing-masing adalah sebesar 5.279.630, 6.023.246 dan 6.177.586, yang merupakan peningkatan sebesar 14,1% untuk perbandingan antara tahun 2009 dan 2010 dan 2,6% untuk perbandingan antara 2010 dan 2011. Demikian pula, untuk tahun yang berakhir tanggal 31 Desember 2009, 2010 dan 2011, laba bersih Perseroan mencapai masing-masing adalah sebesar Rp490 miliar, Rp916 miliar dan Rp1.119 miliar, yang merupakan peningkatan sebesar 86,9% untuk perbandingan antara tahun 2009 dan 2010 dan 22,2% untuk perbandingan antara tahun 2010 dan 2011.

Saat ini, Perseroan juga mengalami pertumbuhan dalam kredit non-perumahan dan bisnis syariah. Per tanggal 31 Agustus 2012, kredit dan pembiayaan non-perumahan Perseroan yang terdiri dari kredit konsumer lainnya, kredit dan pembiayaan komersial lainnya meningkat sebesar 31,7% atau Rp2.463 miliar menjadi Rp10.222 miliar, dari sebelumnya Rp7.759 miliar untuk tahun yang berakhir 31 Desember 2011. Selama periode delapan bulan yang berakhir 31 Agustus 2012, pembiayaan/piutang syariah meningkat sebesar 23,1% atau Rp975 miliar, menjadi Rp5.201 miliar, dari sebelumnya Rp4.226 miliar untuk tahun yang berakhir 31 Desember 2011, sementara pendanaan syariah Perseroan (termasuk didalamnya Giro Wadiah, tabungan Wadiah dan Mudharabah, dan deposito berjangka Mudharabah) meningkat sebesar 10,3% atau Rp.392 miliar, menjadi Rp4.209 miliar, dari sebelumnya Rp3.817 miliar untuk tahun yang berakhir pada tanggal 31 Desember 2011. Pertumbuhan tersebut akan memberikan tekanan terhadap kemampuan Perseroan untuk mengelola dan mengontrol risiko-risiko yang pernah terjadi dan risiko-risiko yang akan muncul di kemudian hari secara efektif seperti risiko-risiko kredit, risiko-risiko pasar, tagihan NPL dan biaya operasional, yang dapat mempengaruhi profitabilitas dan kecukupan modal Perseroan. Rasio NPL neto Perseroan per 31 Agustus 2012 meningkat menjadi 2,9% dari 2,2% pada 31 Desember 2011, rasio NPL untuk bisnis baru, seperti kredit dan pembiayaan komersial, yang dikembangkan oleh Perseroan lebih tinggi dibandingkan dengan rasio NPL dari bisnis Perseroan yang telah ada saat ini. Per tanggal 31 Agustus 2012, rasio NPL-bruto untuk kredit dan pembiayaan komersial Perseroan adalah 5,2%, dibandingkan dengan rasio NPL-bruto sebesar 3,9% untuk KPR bersubsidi. Ketidakmampuan Perseroan untuk secara efektif mengelola salah satu dari hal-hal tersebut di atas dapat mempengaruhi secara negatif terhadap pertumbuhan bisnis Perseroan dan menurunkan kinerja keuangan di masa depan.

8.

Risiko kegagalan atas penerapan rencana strategi Perseroan

Portofolio kredit dan pembiayaan Perseroan sebagian besar terdiri dari KPR yang ditargetkan kepada nasabah dengan penghasilan menengah kebawah, terutama untuk penyaluran KPR bersubsidi dan kredit dan pembiayaan terkait perumahan lainnya. Per 31 Agustus 2012, proporsi kredit dan pembiayaan perumahan Perseroan mencapai 86,4% dari total kredit yang diberikan dan pembiayaan/piutang syariah Perseroan yang terdiri dari 34,1% KPR bersubsidi dan 34,0% KPR non subsidi, 6,8% kredit dan pembiayaan perumahan lainnya dan 11,5% kredit dan pembiayaan konstruksi. Per 31 Agustus 2012, kredit perumahan lainnya dan pembiayaan mencapai 13,6% dari total kredit yang diberikan dan pembiayaan/piutang syariah yang terdiri atas kredit dan pembiayaan konsumer lainnya sebesar 2,1% dan kredit dan pembiayaan komersial lainnya sebesar 11,5%.

Beberapa tahun terakhir, Perseroan mengembangkan produk dan pelayanannya diantaranya penawaran kredit non perumahan untuk nasabah di segmen menengah ke atas, memperbaiki margin Perseroan, mengurangi risiko konsentrasi kredit dan mengelola maturity mismatch. Perseroan juga memulai perbankan syariah sejak tahun 2005. Per 31 Agustus 2012, Perseroan memiliki 48 kantor cabang dan kantor cabang pembantu syariah dan 240 outlet channeling syariah dan Perseroan akan terus mengembangkan jaringannya. Perbankan syariah membutuhkan kemampuan dan pengawasan yang berbeda dengan perbankan konvensional, sehingga Perseroan harus membentuk tim pengawasan tersendiri untuk perbankan syariah. Perbankan syariah tidak mengikuti standar perbankan konvensional dan beberapa standar akuntansi perbankan tidak dapat digunakan dalam perbankan syariah. Pada masa mendatang Perseroan berencana mengembangkan kredit non perumahan

dan kredit pembiayaan dalam portofolio kredit seperti kredit pembiayaan kendaraan yang saat ini telah ditawarkan dalam divisi perbankan syariah.

Rencana strategis Perseroan bertujuan untuk mencapai diantaranya peningkatan dalam jumlah kredit dan pembiayaan yang diberikan kepada debitur menengah atas, pengembangan kredit dan pembiayaan non perumahan dan peningkatan fee-based

income Perseroan. Ekspansi dari kegiatan usaha Perseroan pada bidang-bidang bisnis ini dapat menyebabkan munculnya

risiko-risiko dan tantangan tertentu bagi Perseroan, termasuk tetapi tidak terbatas pada:

x Perseroan tidak memiliki pengalaman atau keahlian pada produk dan layanan baru sehingga tidak dapat bersaing secara efektif dalam hal ini atau Perseroan mungkin tidak dapat melaksanakan rencana ini dengan efektif;

x Produk dan layanan baru Perseroan mungkin tidak diterima oleh nasabah Perseroan atau memenuhi ekspektasi keuntungan Perseroan;

x Perseroan perlu untuk merekrut personil tambahan yang mungkin tidak tersedia pada saat itu;

x Perseroan gagal mendapatkan persetujuan berdasarkan peraturan yang berlaku atas produk atau layanan baru Perseroan;

x Perseroan mungkin tidak berhasil dalam meningkatkan kemampuan mengelola risiko dan sistem teknologi informasi Perseroan untuk mendukung produk dan layanan yang lebih luas;

x Rasio NPL Perseroan dalam total portofolio kredit dan pembiayaan Perseroan dapat meningkat sebagaimana rasio NPL dalam portofolio kredit non perumahan yang secara historis lebih tinggi daripada rasio NPL di portofolio KPR Perseroan; x Kompetitor lainnya mungkin memiliki posisi dengan basis nasabah yang lebih baik dari debitur menengah keatas. Komposisi portofolio kredit dan pembiayaan non perumahan Perseroan dibandingkan total kredit dan pembiayaan syariah meningkat dari 9,4% per 31 Desember 2010 menjadi 12,2% per 31 Desember 2011 dan 13,6% per 31 Agustus 2012. Perseroan tidak dapat menjamin bahwa Perseroan akan dapat mempertahankan dan meningkatkan pertumbuhan portofolio kredit dan pembiayaan non perumahan Perseroan. Kegagalan pencapaian target produk dan layanan baru perbankan yang direncanakan Perseroan ini akan mempengaruhi kinerja bisnis, keuangan dan hasil usaha Perseroan secara negatif. 9.

Fluktuasi dari Nilai Pasar Obligasi Pemerintah dan Surat Berharga Lainnya

Per tanggal 31 Agustus 2012, Perseroan memiliki Rp8.449 miliar obligasi Pemerintah dan efek-efek yang merupakan 8,9% dari total aset Perseroan. Untuk periode delapan bulan yang berakhir pada 31 Agustus 2012, Perseroan membukukan pendapatan bunga atas obligasi Pemerintah yang dimiliki sebesar Rp179 miliar atau 3,2% dari total pendapatan bunga Perseroan. Setiap keterlambatan atau ketidakmampuan dalam pembayaran bunga atau pokok oleh Pemerintah pada saat jatuh tempo akan memiliki dampak yang negatif secara signifikan pada kondisi keuangan, likuiditas dan hasil usaha Perseroan. Meskipun Pemerintah telah mengembangkan kebijakan untuk menstimulasi likuiditas di pasar sekunder untuk obligasi Pemerintah sejak tahun 2002, harga obligasi Indonesia masih memiliki volatilitas yang cukup besar. Hal ini tergantung pada banyak faktor seperti arah kebijakan suku bunga, peringkat kredit Pemerintah, jumlah obligasi Pemerintah yang tersedia di pasar modal dan tingkat suku bunga, serta ketersediaan investasi pendapatan tetap lain. Perseroan tidak dapat menjamin bahwa Perseroan akan dapat menjual obligasi Pemerintah yang dimiliki tanpa mengalami kerugian yang mungkin signifikan. Selain itu, Perseroan tidak bisa menjamin bawah peringkat kredit Pemerintah, yang menyebabkan nilai obligasi Pemerintah yang dimiliki Perseroan, menurun di masa mendatang.

Setiap pengurangan yang signifikan atas nilai atau likuiditas dari obligasi atau surat-surat berharga lainnya milik Pemerintah, perubahan atas peraturan yang berlaku terhadap obligasi rekapitulasi atau surat-surat berharga Pemerintah, atau perubahan persyaratan prinsip akuntansi yang berlaku umum di Indonesia untuk melakukan perhitungan berdasarkan harga pasar (mark

to market) dari obligasi atau surat-surat berharga Pemerintah yang disimpan sampai dengan jatuh tempo (held to maturity)

dapat berdampak negatif terhadap kondisi keuangan, likuiditas dan hasil usaha Perseroan. 10. Risiko Pemerintah sebagai pemegang saham mayoritas Perseroan

Saat ini sekitar 70% dari saham Perseroan dimiliki oleh Pemerintah Republik Indonesia melalui Kementerian Negara BUMN dan setelah transaksi PUT I dan pelaksanaan keseluruhan MESOP yang akan berakhir antara tahun 2015 dan 2017, kepemilikan Pemerintah akan menjadi sekitar 60% dari saham yang ditempatkan Perseroan. Pemerintah juga merupakan pemegang Saham dwiwarna, yang memiliki hak suara khusus. Hak dan pembatasan material yang berlaku untuk saham seri B Perseroan juga berlaku untuk saham dwiwarna, kecuali bahwa Pemerintah tidak dapat mengalihkan Saham dwiwarna dan sebagai pemegang Saham dwiwarna, Pemerintah harus menghadiri rapat umum pemegang saham dan memiliki kewenangan untuk memberikan persetujuan sehubungan dengan (i) pencalonan, pemilihan dan pemberhentian Direktur; (ii) pencalonan, pemilihan dan pemberhentian Komisaris; (iii) perubahan Anggaran Dasar dan (iv) merger, akuisisi, pembubaran atau likuidasi. Oleh karena itu, Pemerintah akan memiliki kontrol yang efektif bahkan jika kepemilikan saham biasa Pemerintah menurun hingga kurang dari mayoritas. Prinsip hukum perusahaan yang berkaitan dengan hal-hal seperti validitas prosedur perusahaan, kewajiban atas manajemen Perseroan, Direksi, Komisaris dan pemegang saham pengendali serta pemegang saham minoritas Perseroan diatur oleh hukum Indonesia dan Anggaran Dasar Perseroan. Beberapa prinsip hukum berbeda