• Tidak ada hasil yang ditemukan

AFRIKA BARAT Guy Nicolas

Dalam dokumen ZIARAH DAN WALI DI DUNIA ISLAM (1) (Halaman 181-200)

Kata Pengantar

embicarakan tradisi kewalian dalam Islam adalah sesuatu yang kini cukup sensitif karena sangat terasa tekanan-tekanan dari kalangan reformis, baik beraliran Wahhabi maupun modernis, yang menentang praktik ziarah itu. Hal ini akhirnya menyebabkan tradisi pada umumnya kurang dibicarakan. Menyelidiki tradisi ini di Afrika Hitam lebih pelik lagi, melihat bahwa “Islam hitam”2 itu bagaimanapun juga cenderung dianggap marjinal3, karena para penganutnya berwarna kulit lain. Oleh karena itu, penelitian mengenai kewalian cenderung memperkuat berbagai prasangka dan stereotip yang menempatkan Islam itu di luar garis ortodoksi yang dicap “pusat” dan sekaligus “putih”. Seperti yang akan kami jelaskan di bawah ini, tradisi kewalian di Afrika Barat, daerah tempat dilakukannya penelitian ini, menempati suatu wilayah yang relatif lebih kecil daripada di Magribi dan di kawasan dunia Islam lainnya.

Istilah Afrika Barat hanya mencakup bagian “hitam” dari tonjolan yang nampak di bagian barat peta Afrika Barat, ditambah dengan bagian Sahara dari negeri-negeri yang dulu disebut “Negeri-Negeri Sudan” itu (sekarang ini disebut Sahel). Selain itu, konsep Afrika Barat, oleh karena berdasarkan peta perbatasan-perbatasan kolonial, sesungguhnya mencakup daerah-daerah yang terisolasi satu sama lainnya sampai dengan periode masuknya pengaruh Eropa. Pendeknya, yang dimaksud di sini dengan konsep Afrika Barat mencakup sebagian dari Sahara, sebagian dari lajur

1

Pada saat menyusun tulisan ini, penulis adalah Professor dan direktur Centre de Civilisation Islamique et cultures Musulmanes (Pusat Peradaban Islam dan Kebudayaan Muslim) di Institut National des Langues et Civilisations Orientales (INALCO, Lembaga Nasional Bahasa dan Kebudayaan Timur), Paris. Kini beliau sudah pensiun.

2

“Islam Hitam” adalah ungkapan baku yang berarti “Islamnya orang Afrika berkulit hitam” (catatan penerjemah).

3

V. Monteil (1964).

Guy Nicolas 182

kawasan Sahel sampai ke sebelah timur Danau Tchad, dan suatu lajur sepanjang pesisir yang meliputi daerah tadah hujan yang tinggi tempat bekas hutan lebat, semuanya itu ciri-ciri yang amat berbeda dari ciri kawasan-kawasan lainnya. Sampai dengan abad ke-19, kawasan-kawasan yang dicantumkan dalam kategori Afrika Barat amat beraneka ragam dari segi budaya. Penduduk daerah ini kini berjumlah sekitar 158 juta orang, yang tersebar dalam 16 negara yang sangat berlainan dimensinya. Negara Nigeria adalah yang terbesar, memiliki 60% dari penduduknya dan separuh dari orang Islam di kawasan itu.

Terhitung di Afrika Barat lebih dari 300 kelompok etnis, masing- masing dengan bahasa tersendiri, sedangkan bahasa-bahasa nasional dari negara-negara yang bersangkutan adalah bahasa dari bekas penjajahnya masing-masing, yaitu bahasa Inggris, Prancis, dan Portugis, kecuali untuk Mauritania. Negara terakhir ini yang populasinya kini bermayoritas Arab/Berber, pernah menjadi bagian dari Afrique Occidentale Française (AOF, ‘Afrika Barat Prancis’), namun ikatannya dengan AOF menjadi makin renggang. Sekarang ini, Mauritania adalah anggota dari Persatuan Negara-Negara Magribi Arab (UMA, Union du Maghreb Arabe). Bahasa Arab dipaksakan pada penduduk Afrika-hitamnya, suatu hal yang membuat negara tersebut mengalami ketegangan etnis dan rasial yang amat berat.

Dilihat dari sudut agama, sensus-sensus yang diadakan pada periode kemerdekaan memberikan angka 45 juta penduduk yang beragama Islam. Namun angka tersebut paling sedikit telah berlipat dua sejak saat itu. Di samping orang muslim, terdapat pengikut dari berbagai kepercayaan tradisional yang tak terbilang jumlahnya. Kepercayaan-kepercayaan itu tetap hidup walaupun terus berubah bentuknya tanpa pernah berhasil menggali kembali dasar-dasar kunonya. Selain pengikut religi-religi itu, terdapat juga pengikut aliran-aliran Nasrani, yang walaupun kehadirannya relatif lebih baru, namun sangat aktif dan bersemangat misionaris. Kendati orang Islam merupakan sekitar 57% dari penduduk Afrika Barat pada waktu sensus agama yang terakhir, semua negara dari kawasan itu bersifat multiagama, kecuali Mauritania. Menurut sensus-sensus lama, kaum muslim merupakan lebih dari 75% penduduk di lima di antara ke-16 negara kawasan ini, yang kesemuanya terletak di daerah Sahel; antara 50% dan 75% di dua negara; antara 25% dan 50% di empat negara, dan kurang dari 25% di lima negara. Namun, berdasarkan angka statistik yang dikeluarkan di Taif pada saat pertemuan puncak OKI (Organisasi Konferensi Islam) tahun 19814, tujuh negara berpenduduk muslim antara 75% dan 100%; enam antara 50% dan 75%, dan dua antara 25% dan 50%. Hanya negara

4

Afrika Barat 183

Cape Verde (‘Tanjung Hijau’) yang memiliki penduduk Islam di bawah 25%. Dasar perhitungan angka-angka terakhir ini tidak diketahui. Yang harus dicatat adalah kenyataan bahwa semua negara dari daerah yang bersangkutan terdiri dari kelompok-kelompok religius yang berbeda. Yang paling dekat dengan gurun Sahara adalah yang paling terislamkan. Minoritas non Islam di situ kurang penting dan terus menyusut. Sebalik- nya, penduduk negara-negara pesisir pantai Atlantik pada umumnya terpengaruh agama Kristen atau menganut kerpercayaan-kepercayaan kuno.

Pada umumnya jumlah pengikut kepercayaan terakhir ini cenderung menyusut; mereka cenderung pindah agama dan menganut salah satu dari kedua agama samawi yang datang dari luar, yaitu agama Islam dan Nasrani, walaupun kini tercatat adanya proses pembaharuan dari kepercayaan-kepercayaan kuno itu5. Harus dicatat pula bahwa keper- cayaan-kepercayaan tersebut dalam kenyataannya sama sekali berbeda dengan apa yang selama ini dikatakan oleh para musafir Arab, pedagang budak, misionaris, kaum penjajah Eropa, penganut baru agama samawi, atau bahkan secara lebih meragukan, oleh sementara peneliti, terutama ahli kebudayaan Arab yang kesemuanya mengulang-ulang stereotip yang bersifat meremehkan: kepercayaan-kepercayaan kuno Afrika tidak dapat dicap begitu saja sebagai entah “animis”, “fetisyis” (percaya pada jimat) ataupun “naturis”. Keper-cayaan itu sesungguhnya sangat beraneka ragam, dibangun atas mitos-mitos yang amat canggih dan amat sulit dipahami oleh orang yang belum benar-benar masuk ke dalamnya untuk menjadi anggotanya. Dalam kepercayaan-kepercayaan itu terdapat unsur-unsur monoteis, politeis, kultus leluhur, dan ritus kesurupan. Kombinasi unsur- unsur itu berbeda menurut masyarakat, periode historis, dan budaya yang bersangkutan.

Menyangkut agama Nasrani, umatnya kini terbagi dalam berbagai gereja yang bersaing satu sama lain, terutama di negara-negara yang berbahasa Inggris. Agama Nasrani kini berada di bawah tekanan-tekanan “fundamentalis” dan “Pantekostis” yang berasal dari Amerika Serikat yang sedang merubah dasar religius agama, kaderisasinya dan hubungannya dengan golongan-golongan agama lainnya. Pada waktu penjajahan, agama Nasrani hampir menikmati suatu monopoli atas pendidikan modern. Kini, agama Nasrani harus menyesuaikan diri dengan situasi baru, sesuatu yang dipersulit oleh kenyataan bahwa perbatasan antarwilayah kerap sama dengan perbatasan etnis atau perbatasan antargolongan. Akan tetapi, terdapat cukup banyak jembatan antaragama, karena banyak orang

5

J. P. Chrétien (ed., 1993); A. Mbembe (1988); G. Nicolas (1975), (1985a), (1993).

Guy Nicolas 184

memanfaatkan jasa dari lebih dari satu agama untuk berhubungan dengan Yang Suci. Meskipun demikian konflik antarkelompok religius cenderung meningkat, didukung oleh tekanan-tekanan dari luar serta, pada tataran lebih umum, oleh “munculnya kembali semangat religius” yang agresif.

Sedini abad ke-11, Islam sudah meresapi kawasan selatan Sahara melalui jalur-jalur kafilah yang menyeberangi Sahara. Menyusul perkem- bangan perdagangan jarak jauh dan perombakan sosial yang menyertainya, Islam, tanpa diperkuat oleh imigrasi massal Islam apa pun, dipeluk oleh masyarakat-masyarakat lokal dan sedikit demi sedikit dijadikan bagian integral dari budaya selatan Sahara6. Penyebaran Islam ini didukung oleh serentetan faktor tertentu: perihal masuk Islam para penguasa lokal yang berhubungan dengan Afrika Utara atau dunia Timur; gerak ekspansi kaum pengembara dari Sahara dan Sahel; munculnya secara besar-besaran gerakan reformis Islam yang diilhami oleh konsep jihad, perkembangan dan pengambilalihan perdagangan oleh orang muslim; gerak pedagang- pedagang menerobos ke kawasan hutan; munculnya berbagai kelompok ahli agama (ulama kecil dan besar, mistikus sufi atau marabout dari berbagai tarekat) dan pada akhirnya pengaruh dari kelompok etnis pengembara setempat, terutama orang Peul.

Berbeda dengan pandangan tentang adanya suatu ragam “Islam hitam” yang bersifat marjinal dan suka damai, suatu pandangan yang muncul setelah masa penjajahan, maka Islam pra-kolonial dari daerah Sahel sesungguhnya merupakan suatu ragam Islam yang dipelopori oleh penguasa dan penyebar agama yang bersenjata, dan situasi itu berlangsung sampai zaman penaklukan kolonial. Gerakan penaklukan itu kemudian ternyata harus berhadapan dengan suatu perlawanan Islam besar-besaran. Di bawah pemerintahan kolonial Eropa, agama Nasrani berkembang sepanjang lajur Pesisir Atlantik sedangkan terjadi juga depolitisasi dari masyarakat-masyarakat muslim setempat. Bersama dengan perkembangan ini, dan berdasarkan berbagai kebijakan kolonial Prancis yang taksa, kekuasaan Islam lokal diintegrasikan ke dalam sistem kolonial, sedangkan tarekat-tarekat mendapat dukungan resmi, sebagai suatu usaha untuk menahan pengaruh dari kaum reformis Islam dan kaum nasionalis, yang keduanya dianggap mempunyai kaitan dengan kepentingan Arab dan kelompok Islam dari luar.

6

P.B. Clarke & I. Linden (1984); P. Clarke (1982); J. Cuoq (1975); A. Doi (1984); J. Levtzion (ed., 1979); P. Marty (1917), (1917-20); R. Moreau (1982); G. Nicolas (1975), (1978-79), (1978a), (1979), (1981a), (1981b), (1981c), (1984), (1985a), (1985b), (1987); J. Sp. Trimingham (1959), (1963), (1980).

Afrika Barat 185

Bersamaan dengan perkembangan di atas, Islam menyebar ke daerah-daerah pesisir yang belum pernah dimasukinya sebelumnya. Beberapa suku diislamkan seluruhnya. Namun, sementara daerah-daerah yang dikristenkan beruntung dilayani oleh sekolah-sekolah missi, yang mendidik elite-elite modern, lingkungan-lingkungan Islam menutup diri, terutama di kantong-kantongnya di Sahel. Kantong-kantong tersebut, yang mengalami proses pemiskinan yang kian mencekam, menutup diri terhadap bentuk modernitas yang dianggap identik dengan dominasi kaum “kafir”. Sikap yang demikian didukung oleh pemerintahan kolonial, yang melihat dalam gejala ini suatu alat untuk mengimbangi tuntuntan-tuntutan kemer- dekaan dari elite-elite didikan sekolah-sekolah missi. Selain itu, kaum penjajah selalu berusaha memisahkan daerah-daerah muslim dari daerah- daerah bukan muslim serta dari kegiatan-kegiatan missi Nasrani untuk menghindari terjadinya kerusuhan antaragama7. Daerah-daerah itu juga diisolasi dari pengaruh pusat-pusat budaya Arab di luar negeri, yang dikhawatirkan akan mempunyai pengaruh subversif. Pada waktu pengu- muman kemerdekaan, elite-elite Islam yang modern amat langka atau terkucil. Sejak dua dasawarsa terakhir ini, situasi itu sudah berubah. Orang- orang Islam setempat telah membuka diri pada modernitas dan diikut- sertakan dalam pemerintahan negara-negara di mana mereka berada dalam suatu suasana yang diwarnai sekularisme. Mereka juga makin terbuka terhadap dunia Islam luar. Hubungan-hubungan antara negara-negara Afrika Barat dan negara-negara Arab atau Islam dari belahan dunia lainnya makin banyak jumlahnya8. Kalangan-kalangan Islam setempat juga dijadikan sasaran perhatian “misionaris” dari berbagai negara-negara Islam luar kawasan Afrika Barat dan dari organisasi-organisasi internasional tertentu dengan tujuan eksplisit berusaha untuk mempercepat proses penyesuaian antara praktik-praktik masyarakat Islam lokal dan praktik- praktik masyarakat Islam luar9. Jaringan-jaringan reformis Islam ber- kembang biak, termasuk di antaranya berbagai cabang dari organisasi-

7 G. Nicolas (1993). 8 Ch. Coulon (1978); G. Nicolas (1978b). 9

Sepuluh negara Afrika Barat menjadi anggota Organisasi Konferensi Islam (OKI). Presiden Senegal Abdou Diouf menjadi presiden organisasi tersebut setelah pertemuan puncak di Dakar pada bulan Desember 1991. Warga Niger Ahmed Al Gabid memimpin Sekretariat Jendralnya. Namun, masuknya Nigeria dalam organisasi internasional itu menimbulkan ketegangan antaragama yang sedemikian tinggi di negara raksasa Afrika itu (Nigeria) sehingga pemerintahnya terpaksa mundur.

Guy Nicolas 186

organisasi fundamentalis Amerika-hitam10. Di beberapa negara, evolusi tersebut disertai ketegangan yang kian meningkat dengan orang-orang Nasrani. Muncul juga gejala-gejala seperti tuntutan penerapan hukum syariat dan pengembangan gerakan-gerakan politik agama, terutama di sekolah-sekolah dan universitas-universitas11. “Sekularisme” negara kian dipertanyakan, hingga timbul satu ketakutan kalau-kalau terjadi proses “Libanonisasi” dan “Pakistanisasi” dari negara-negara atau daerah-daerah tertentu. Namun sementara ini sebagian besar dari massa Islam setempat luput dari proses ini, terutama di daerah pesisir.

Dunia Islam Afrika Barat tidaklah merupakan suatu kawasan yang homogen. Terdapat dalamnya berbagai garis pemisahan yang bersifat etnis, regional, sosio-historis, yang semuanya berlandasan dinamika historis yang sangat beragam. Tambahan pula, dunia Islam Afrika Barat terbagi oleh perbatasan negara-negara yang dibentuk pada zaman “Balkanisasi” benua Afrika12. Oleh karena itu masing-masing negara kini membentuk suatu kelompok religius yang berbeda. Masing-masing memiliki kelompok- kelompok Islam yang bertentangan satu sama lainnya dan oleh karena itu mengalami kesulitan yang hebat untuk memasukkan warga-warga Islamnya dalam kerangka nasional yang tunggal. Seperti di mana pun di dunia Islam, masyarakat setempat terbagi-bagi berdasarkan kelompok dan interpretasi ajaran agama: kendati hampir semua orang Islam Afrika Barat beraliran Sunni mazhab Maliki, seperti di kawasan Magribi tetangganya, sejak berabad-abad terdapat kelompok-kelompok skripturalis (yang membaca al- Qur’an secara harfiah), kaum sufi tarekat, kaum reformis modern, kaum fundamentalis (terutama yang menentang tarekat), kaum penganjur syariat yang ketat, dan kaum yang menganut agama secara longgar. Kendati kelompok pertama (skripturalis) kini menikmati lagi suatu pengaruh yang pernah surut pada periode penjajahan, sebagai dampak kegiatan kelompok fundamentalis di luar negeri, pada umumnya pengaruh mereka terhadap

10

Gerakan “Nation of Islam” didirikan oleh Elijah Muhammad dan Malcom X. Gerakan itu adalah wujud dari gerakan pencarian identitas oleh sebagian orang- orang “African American”, yang mengembangkan gerakan “black” dalam oposisi terhadap masyarakat kulit putih, Anglo-Saxon dan Protestan (WASP). Dari gerakan ini kini sedang muncul suatu cabang Islamis yang keras di bawah pengaruh Louis Farakhan, seorang “misionaris TV” yang muslim. Gerakan ini, yang tercangkok pada aliran “politically correct” dan budaya “rap”, sedang mengembangkan kegiatan-kegiatannya baik di Afrika maupun di dunia Barat. Lihat terutama R. Danin (1993); Muhammad Said al-Ashmawi (1989).

11

G. Nicolas (1984), (1989).

12

Yakni ketika kawasan itu dibagi-bagi dalam beberapa negara oleh penjajah pada tahun 1960-an, pada saat dekolonisasi (catatan penerjemah).

Afrika Barat 187

massa rakyat terbatas atau bersifat sesaat. Kendati ada saja orang-orang fundamentalis yang menentang segala jenis “inovasi”, kebanyakan orang muslim di Afrika Barat, seperti di tempat-tempat dunia Islam lainnya, mengamalkan suatu ragam Islam yang sinkretis, yang diwarnai berbagai praktik lokal yang berlaku di masyarakat. Praktik itu kadang-kadang menerima kompromi dengan tradisi-tradisi setempat atau merupakan rekonstruksi bermacam-macam, berciri “messianistis” (semacam ratu- adilis-me) atau “kenabian”. Jangan dilupakan juga pengaruh sekte Ahmadiyah dari Pakistan, yang menyebar di sepanjang pesisir negara- negara berbahasa Inggris, dan membentuk suatu elite modern yang sangat toleran.

Pengelompokan lain adalah warisan dari sejumlah stratifikasi atau jaringan pra-kolonial: dinasti penerus “jihad” atau kerajaan-kerajaan Islam kecil zaman dulu, jaringan patron-klien setempat, jaringan penerapan syariat, “perkumpulan umat” di sekitar masjid setempat, jaringan pengajian yang luas. Terdapat juga ciri-ciri sosial biologis (perempuan, kaum muda), stratifikasi modern (cendekiawan versus “marabout”, kader-kader tradi- sional dan “wirausahawan baru” dsb.), pengelompokan berdasarkan ideologi (kaum konservatif, kaum “progresif”, kaum “revolusioner”), tanpa melupakan juga pengaruh dari kaum muda yang pernah mendapat beasiswa di universitas-universitas Islam di luar kawasan ini dan ingin mengubah tradisi-tradisi setempat. Jangan diabaikan juga pengaruh dari mubalig organisasi seperti: Jamaah Tabligh dari India, Wahhabiyah, al-Ikhw n al- Muslimūn atau penganjur revolusi Islam ala Iran. Dengan ini semua kita sangat jauh dari suatu “Islam Hitam” yang homogen dan terpencil.

Di tengah Islam Afrika Barat yang amat beraneka ragam itu, kultur tarekat menempati posisi tersendiri, yang sering dibesar-besarkan, karena kasus Senegal yang dikenal sebagai “sorga tarekat”. Namun tak dapat disangkal bahwa posisi tarekat tetap penting juga. Sistem tarekat telah memainkan suatu peran yang menentukan sebagai pembimbing jemaah sampai dengan hari ini, dan fungsi ini tidak akan hilang dalam waktu dekat. Salah satu ciri khas dari daerah studi kita adalah keberadaan dua tarekat induk besar sejak lama, yaitu tarekat Q diriyah, yang terkait dengan suatu jaringan internasional yang sudah lama ada, dan tarekat Tijaniyah, yang lahir pada awal abad yang lalu di Aljazair dan meluas ke kawasan Sahel sebagai hasil upaya seorang dari suku Tukulor dari Senegal, yakni El Haj Omar Tall. Setelah diusir dari Senegal oleh penjajahan Prancis, El Haj Omar Tall mengumumkan perang jihad dan lambat laun mendirikan suatu negara Islam besar yang mencakup seluruh kawasan pedalaman antara Senegal dan lekukan Sungai Niger. Tijaniyah melawan penjajah

Guy Nicolas 188

Peta pusat-pusat Islam terbesar di Afrika Utara dan Barat

Afrika Barat 189

maupun penduduk lokal yang masih menganut kepercayaan kuno dan bentrok juga dengan suatu koalisi beraliran Q diriyah yang dipimpin oleh seorang Syekh Kunta dari Timbuktu (bernama Al Bakai). Koalisi tersebut terdiri dari dua negara Islam yang juga timbul sebagai akibat dari gerakan “jihad”: negara Sokoto dan negara Massina. Daerah penyebaran tarekat Tijaniyah kemudian meluas ke sebelah timur Danau Tchad. Pada zaman kolonial, sementara pengaruh aliran Q diriyah surut, pengaruh tarekat Tijaniyah justru berkembang di seluruh Afrika Barat, terutama di Nigeria. Kemudian tarekat itu pecah dalam beberapa cabang yang kadang kala bertentangan satu sama lainnya: 1. cabang pengikut Omar, yang terdapat terutama di Senegal, dalam kalangan keturunan El Haj Omar; 2. cabang Tivavouane, yang dipusatkan di kota suci Senegal ini di sekitar dinasti Sy; 3. cabang Kaolack, suatu pecahan dari cabang no. 2 dan berpengaruh di sebagian kawasan ini, terutama di Kano; 4. cabang Hammalliyah, yang lahir pada zaman penjajahan di Mali, tempat mereka melawan Prancis dengan gigih dan menimbulkan berbagai kerusuhan, dan mengembangkan suatu pendekatan reformis dari tata masyarakat yang menentang kompromi-kompromi yang umumnya dianut dinasti-dinasti Senegal; 5. cabang Medina Gounass, di Senegal Timur, yang bersifat lebih funda- mentalis dan yang mempunyai dasar etnis di kalangan Peul/ Toucouleur13. Pusat-pusat utama tarekat Tijaniyah adalah kota Fez di Marroko dan kota- kota Tivavaouane dan Kaolack di Senegal.

Di Senegal pada abad ke-20 ini juga telah lahir tarekat ketiga, yang muncul dari induk tarekat Q diriyah, yaitu tarekat Muridiyah. Tarekat ini telah secara salah diperkenalkan sebagai model tarekat “hitam”, justru pada saat dia mulai menyimpang dari konsep asalnya di bawah pengaruh para “marabout dari daerah pertanian kacang tanah” serta di bawah pengaruh para “pemberi suara besar Senegal”14 dari Touba sebagai pusatnya15. Tarekat itu, yang lama mendapatkan pengikutnya dari suku Woloff saja, kini mengalami proses perkembangan ke dua arah sekaligus: di satu pihak, proses “kembali ke asal” dan pemurnian terhadap penyimpangan yang telah menodainya belakangan ini; di lain pihak ekspansi ke luar daerah asal

13

Peul sering disebut juga Fellata, Pullo atau Fulani (catatan penerjemah). Aboun Nasr Jamil (1965); I. Marone (1970); F. Dumont (1974).

14

Yaitu para marabout dari tarekat Muridiyah yang secara nyata sangat berpengaruh di dunia politik dan mengontrol ribuan pemilih, sehingga mereka sangat “disegani” oleh para politikus. Mereka mendapatkan hak pilih ketika hak tersebut dibatasi pada beberapa kelompok saja (catatan penerjemah).

15

L.C. Behrman (1970); Ch. Coulon (1951); J. Copans (1950); M. Diop (1985); F. Dumont (1975); S. Khadim (1993); O’ Brien Cruise (1971); Ch. T. Sy (1969); M. Magassouba (1983); J. Schmitz (1983).

Guy Nicolas 190

suku Woloff, terutama ke arah Eropa dan Amerika Utara. Di daerah-daerah terakhir itu tarekat ini mengislamkan orang Eropa dan orang Afrika Amerika yang tengah mencari identitas baru dalam suatu mistik lebih murni, berdasarkan ajaran-ajaran dari pendirinya, yakni Syekh Amadu Bamba.

Sebab didirikan atas prinsip-prinsip tasawuf dari aliran sufi mazhab Sunni dan dipengaruhi oleh kebiasaan-kebiasaan para anggota tarekat di Magribi, maka semua tarekat itu mengatur hierarki para pemimpinnya berdasarkan beberapa keluarga turun-temurun—kebanyakan dari Senegal- —dan berdasarkan satu birokrasi religius yang kompleks. Namun kohesi tarekat itu lebih longgar di luar Senegal dan di luar tempat-tempat keramat lokal. Berbeda dengan pandangan umum yang terlalu sempit, sistem hierarki dalam tarekat-tarekat Afrika Barat hidup berdampingan dengan sistem-sistem hierarki lainnya, baik secara bersaing maupun berbaur. Di antaranya, suatu elite berciri Islam yang terdiri atas berbagai imam (almamys), sultan, dan raja, serta ulama reformis yang banyak di antaranya justru menentang tarekat, ditambah lagi imam-imam masjid lokal, ustad- ustad, dan hakim-hakim setempat yang menerapkan syar ’ah, serta juga berbagai perkumpulan dan kelompok Islam modern yang menuntut pembaharuan Islam, arabisasi, dan berlakunya satu pemerintahan Islam, ditambah lagi sekte-sekte pinggiran, yakni “pengusaha agama” yang baru yang muncul dari kalangan-kalangan “terdidik” serta kader-kader beberapa ormas Islam nasional yang kurang lebih dikontrol oleh negara, dan sebagainya. Pola hierarki tarekat tersebut sangat berlainan menurut daerah, negara, serta kelompok-kelompok masyarakat lokal bersifat etnis, atau lainnya. Selain itu, di beberapa negara semakin banyak terjadi konflik terbuka antara kelompok Islam tertentu, terutama kaum reformis atau “Wahhabi” dan tarekat. Demikianlah secara singkat rangka umum dari tradisi kewalian di wilayah Afrika barat itu.

Dalam dokumen ZIARAH DAN WALI DI DUNIA ISLAM (1) (Halaman 181-200)